PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FILSAFAT SUNDA (Aktualisasi...
Transcript of PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FILSAFAT SUNDA (Aktualisasi...
PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS FILSAFAT SUNDA (Aktualisasi Pendidikan Islam pada Lembaga Pendidikan berbasis Yayasan)
TESIS
Oleh :
Nanang Rahmat NIM. 11.2.00.1.03.09.0054
Pembimbing :
Suparto, M.Ed., Ph.D.
Konsentrasi:
Pendidikan Islam
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2017
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PROMOSI
Tesis yang berjudul “Pendidikan Karakter Berbasis Filsafat Sunda” (Aktualisasi Pendidikan Islam pada Lembaga Pendidikan berbasis Yayasan), ditulis oleh Nanang Rahmat
Nim. 11.2.00.1.01.09.09.0054 telah dinyatakan lulus pada Ujian Promosi Magister
yang diselengarakan pada hari Selasa, 15 September 2015. Tesis ini telah diperbaiki
sesuai dengan saran dan komentar para penguji sehingga layak untuk diterbitkan
dalam bentuk buku.
Jakarta, September 2017
TIM PENGUJI
1. Prof. Dr. Maykuri Abdillah ( …………………………..)
(Ketua Sidang Penguji)
2. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA (……………………………)
(Penguji)
3. Dr. Nurlena Rifa’i, MA (……………………………)
(Penguji)
4. Dr. Suparto, M.Ed (……………………………)
(Promotor/Penguji)
5. Dr, JM. Muslimin, MA (……………………………)
(Sekretaris Sidang)
LEMBAR BUKTI PENYERAHAN
TESIS DENGAN FORMAT BUKU BER ISBN
Berikut ini adalah bukti bahwa tesis yang telah diformat ulang dalam bentuk buku ber ISBN
telah diserahkan pada penguji sidang promosi, Promotor dan Sekretaris Sidang pada Ujian
Promosi atas nama Nanang Rahmat, sebagai salah satu syarat pengambilan Ijazah.
Jakarta, Oktober 2017
TIM PENGUJI
1. Prof. Dr. Maykuri Abdillah ( …………………………..)
(Ketua Sidang Penguji)
2. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA (……………………………)
(Penguji)
3. Dr. Nurlena Rifa’i, MA (……………………………)
(Penguji)
4. Dr. Suparto, M.Ed (……………………………)
(Promotor/Penguji)
5. Dr, JM. Muslimin, MA (……………………………)
(Sekretaris Sidang)
i
KATA PENGANTAR
Bismillah, Segala puji hanya milik Allah SWT. yang telah memberikan kita
berbagai karunia, terutama keimanan dan ilmu, serta kesehatan dan kesempatan
kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan tugas penelitian tesis ini.
S}alawat dan salam semoga tercurah limpah kepada tauladan kita, Nabi Muhammad
SAW. beserta keluarganya, sahabatnya dan umatnya yang istiqomah menegakan
Islam hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini, penulis sampaikan salam penghormatan serta
penghargaan setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah memberikan
motivasi tiada henti terutama kepada ibu tercinta Nani Sumarni yang telah
melahirkan ku kedunia ini dan selalu melantunkan do’a dalam setiap s}alat-nya, istri
tercinta Titin Farida yang selalu menemani dalam susah dan senang serta ketiga
buah hatiku, Fajar Fathurrahman, Pikri Aditia Ilham Kusumah dan Salman Zivani
Alia Kusumah semoga kalian menjadi anak yang berguna bagi Agama, Negara,
masyarakat dan Orang tua, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, antaralain kepada:
1. Suparto, M.Ed., Ph.D. yang telah membimbing dan memberikan saran serta
pemikirannya selama penulis menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. J.M. Muslimin, MA., Selaku Wakil Direktur II Ketua Prodi Magister SPS
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para penguji Prof. Dr. Abuddin Nata,
MA. Dan Dr. M. Zuhdi, M.Ed., Ph.D. yang telah memberikan pencerahan dan
bantuannya selama perjalanan penulisan akhir tesis ini.
3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan kesempatan penulis untuk belajar di SPS dan Prof. Dr.
Masykuri Abdillah, MA. selaku direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas belajar yang nyaman dan
kondusif bagi mahasiswa/i nya.
4. Tidak lupa segenap Dosen SPS dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tesis ini dari awal hingga akhir penyusunannya.
Mudah-mudahan amal baik yang telah diberikan, mendapat balasan dari
Allah Swt.. Jaza>kumulla>hu Ahsanal Jaza>. A>mi>n. Semoga tesis yang penuh dengan kekurangan baik dari segi isi, sistematika
serta metode penulisannya ini, dapat menjadi sumbangan literatur bagi para
pencinta ilmu dan penelitian. Kritik dan saran menjadi sebuah harapan demi
perbaikan menuju karya yang lebih baik lagi. Walla>hu A'la>mu bi al-Shawwa>b.
Jakarta, 27 September 2017
Penulis
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertandatangan dibawah ini,
Nama : Nanang Rahmat
NIM : 11.2.00.1.03.09.0054
Tempat/Tanggal Lahir : Bandung, 22 Juni 1981
Alamat : Kp. Sukanegla RT. 05 RW. 07 Ds. Sukamantri
Kec. Paseh Kab. Bandung – Jawa Barat
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa tesis berjudul “PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FILSAFAT SUNDA : Aktualisasi Pendidikan Islam pada Lembaga Pendidikan berbasis yayasan” adalah karya asli saya, kecuali kutipan-
kutipan yang jelas sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di
dalamnya, sepenuhnya jadi tanggung jawab saya dan dapat berdampak pada gelar
akademik saya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari
siapapun.
Jakarta, 27 September 2017
Materai 6000
Nanang Rahmat
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis sudara Nanang Rahmat, yang berjudul “PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FILSAFAT SUNDA : Aktualisasi Pendidikan Islam pada Lembaga Pendidikan berbasis Yayasan”, telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk
dimajukan pada Ujian Promosi.
Jakarta, September 2017
Pembimbing,
Dr. Suparto, M.Ed.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini membuktikan bahwa jargon filsafat budaya lokal yang
dikolaborasikan dengan konsep agama akan menghasilkan sebuah konsep
pendidikan karakter. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Actional Quotient merupakan tujuan utama dari perpaduan antara Intelegensi Quotient, Emosional Quotient dan Spiritual Quotient sehingga terbetuk sebuah konsep pendidikan
karakter. Penelitian ini selaras dengan pertama: Hidayat Suryalaga dalam tulisannya
menyatakan bahwa nilai-nilai pandangan hidup yang terkandung dalam Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal,
kedua: Hilmiana dalam disertasinya menyatakan bahwa pengaruh dari perilaku
budaya silih asih, silih asah, silih asuh jelas signifikan pada pengembangan
semangat kerja dan pendidikan, Ketiga: Jacob Sumardjo dalam hasil penelitiannya
berpendapat bahwa kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan paradoks
pemerintahan yang ditunjukkan secara ringkas dalam trias politika Sunda yang
terdiri dari silih asah, silih asih, dan silih asuh, Keempat: Garna, dalam
penelitiannya menyampaikan bahwa hubungan antara sesama yang mengandung
nilai-nilai dasar manusiawi memiliki berbagai sisi dalam menghargai orang lain
seperti diungkapkan dalam konsep silih asih, silih asah,silih asuh, Kelima: Sri
Wahyuni Tanshzil, mengatakan bahwa model pendidikan karakter dilingkungan
pondok pesantren meliputi nilai fundamental, instrumental serta praksis yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-H}adith serta nilai-niai luhur Pancasila merupakan
sebuah proses pembinaan pendidikan karkater dalam membangun kemandirian dan
disiplin santri/peserta didik. Keenam: Jalaludin, menjelaskan bahwa pendidikan
holistik berbasis karakter yang menekankan pada dimensi etis-religius menjadi
sangat relevan sebagai suatu konsep pendidikan yang bertujuan untuk menerapkan
dan mengembangkan pendidikan individu yang dapat menemukan identitas, makna
dan nilai-nilai spiritual. Ketujuh: Aang Kunaepi, menjelaskan bahwa untuk
membangun karakter peserta didik yang mempunyai karakter baik dibutuhkan
sebuah konsep pendidikan yang menerapkan metode humanis dan internalisasi
nilai-nilai Islam, moral dan budaya religius dalam keseluruhan proses pendidikan.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode lapangan, dengan jenis
penelitian kulitatif dan cara penyampaian data deskriptif analitik, dengan sumber
data primer konsep pendidikan di yayasan pendidikan Al-Ma’soem, serta data
sekunder bersumber dari buku, jurnal, media cetak dan elektronik serta data hasil
wawancara lapangan di lokasi penelitian. Analisis dilakukan dengan
mengidentifikasi informasi hasil penelitian, kemudian dijadikan sumber data untuk
mengetahui dan memberikan makna terhadap data yang dikumpulkan yang
selanjutnya direlevansikan dengan paradigma pemikiran pendidikan yang
berkembang dewasa ini.
Kata Kunci: Agama Islam, Filsafat Sunda, Pendidikan Karakter.
v
ABSTRACT
This study confirms that local philosophy which collaborates with the
religious concepts constructs the concept of character education. This study also
justifies that Actional Quotient is the main goal of the amalgam among Intelligence Quotient, Emotional Quotient, and Spiritual Quotient there of the concept of
character education was constructed.
The findings in this study support the notion of firstly, Hidayat Suryalaga
who asserted that the principles of silih asih, silih asah, and silih asuh are relevant
to universal life values. Secondly, this study is also in line with Hilmiana’s findings
that the cultural acts of silih asih, silihasah, and silihasuh affected significantly on
the improvement of working and learning spirit. Thirdly, this study is in consonant
with Jacob Sumardjo’s research which affirms that Sundanesetriaspolitica which is
concluded in silih asih, silih asah, and silih asuh principles contributed favorably to
the Sundanese culture preservation. Fourthly,this study is in agreement with Garna
who concluded that interpersonal relationship has basic human values of respecting
others as concluded in silih asih, silihasah, and silih asuh. Fifthly, this study
supports Tanshzil’s research which defines that character education model in
pesantren consists of fundamental, instrumental, and practical values from Quran,
hadiths, and Pancasila in building the students’ disciplines and autonomy. Sixthly,
it is relevant to Jalaludin’s study which explains that holistic and character-based
education emphasizing on ethic-religious dimension is compatible as an educational
concept aiming at applying and developing students’ identity, meaning, and
spiritual values. Lastly, this study is in accordance with Aang Kunaepi’s study
which explains that character education requires an application of humanist method
and internalization of Islamic, moral, religious, and cultural values in the whole
education process.
Qualitative study in the form of field research was employed, where the
data were presented in analytical descriptive way. The primary data consist of the
educational concept of Al Ma’soem foundation while the secondary data comprise
of books, journals, printed media, electronic media, and field interview. The data
was analyzed by firstly identifying the previous study results which then used as
the data source to investigate and analyze the collected data. Lastly, the data was
then linked back its relevance to the currently growing educational paradigm.
Key words: Islamic values, Sundanese philosophy, character education
vi
الملخص
يوكد هدا البحث ان فلسفت الثقافة الطعلمه بالدىن ستولونظر به الستحصسه ويوكد
هدا البحث ابضا ان المحارة العمليه هي العراضى االساسى من التربيه السحسيه المسكلة من
النظرية التربويه المحسوريه على المهارة العفعلية والمهارة العفعلية والمهارة االنفعالىه ثم
المهارة النفسية
هداية يوافق هدا البحث اراء المفى كرين فى الفلسفة والتربية منهم. االول:
,silih asih, silih asah في كتابه التى استخلص فيها قيم الحىياة المتركزة على سرياالجا,
silih asuh : صت فى , فى حيث استخالهيلمياناالمحتوية على القيم االنسانية العالمتة. الثانى
واضحة وفقالة silih asih, silih asah, silih asuhرسالة كتوراة لها ان اثار تصرفات ثقافة
الدي اكد فى بحثه ان دوام ثقافة جاكوب سومارجو,فى تطويرنشاط العمل والتربية. الثالث :
,silih asihسونداين يقوم على الخالق المتعاكس المستخلص من سياسه سوندا الثالثية وهى
silih asah, silih asuh : الدي استخلص فى بحثه ان المالقة بين الناس جارنا, الربع
silih asih, silihالمشتملة على القيم االنسانية لها نواحى منتلفة فى اقرام الغير كما دل عليه
asah, silih asuh ,التى قالت ان منهج التربية الشخصية فى سري واحيوني تانسيل, الخامس
معهد االسالم يحتوى على المبادئ والتصبيقات المتاصلة من القران والدريث والمستقة من ال
العالية وهو عبارة عن اجراء التربية السخصية فى بناء االعتماد على النفس Pancasilaقيم
الدى بين ان التربية الشاملة المبانية جالاللدين, واالنقياد بالنظام فى نفس طالبه. السادس :
لى الشخصية المهتمة بجانب االخالق والدين اصبحت مهمة وفعالة فى ايجاد نظرية التربية ع
ااغ كو نايبي, الشخصية فى محاولة الحصول على الهوية والمعانى والقيم النفسية. السابع :
الدي بين ان بناء الشخصية الصالحة للطالب يحتاج الى نظرية التربية التى تطبق منهج
لشمولية بين قيم االسالم واالفالقة والثقافة الدى يفية فى جميع اجراءات التربية. االنسانية وا
يستخدم هداالبحث منهج البحث المبدانى وهو بحث كيفى وتعرض البيانات فىه على
سبيل االستعراض والبحثى, ويعتمد هدا البحث فى بياناته االساسية على البيانات المحصولة
اماالبيانات الثنوية تتكون منالكتاب والدوريات "المعصوم" وية عليها من المؤسسة الترب
والنظر فى البينات يقوم على . فى مكان البحثالعلمية والجرائد واالعالم االكترونى المقابالت
تشخيص المعلومات مهصول على المعانى المجموعة المتصلة بوجهات النظر فى الفكر
التربوى المعاصر.
. دين االسالم, فلسفة سوندا, تربية الشخصية كلمات البحث :
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:
Table of the system of transliteration of Arabic words and names used by
the Institute of Islamic Studies, McGill University.
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sh = ش
s{ = ص
d{ = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Short: a = ´ ; i = ; u =
Long: a< = ا ; i> = ي ; ū = و
Diphthong: ay = ا ي ; aw = ا و
Nama orang, nama-nama dan istilah-istilah yang sudah dikenal di Indonesia
tidak termasuk dan tidak terkait dengan pedoman ini, contoh: Shalat, fitnah,
Fatimah, dan lain-lain.
Singkatan-singkatan:
H. = Hijri>yat t.th. = tanpa tahun
M. = Masehi t.tp. = tanpa penerbit
SWT. = Subha>nahu wa Ta’a>la> t.t. = tanpa tempat
SAW. = Sallalla>hu ‘alaihi wassallam
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ iii
ABSTRAK .................................................................................................. iv
ABSTRACT .................................................................................................. v
vi .................................................................................................. الملخص
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Permasalahan............................................................................... 18
1. Identifikasi Masalah .............................................................. 18
2. Pembatasan Masalah ............................................................. 19
3. Rumusan Masalah ................................................................ 19
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 19
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ............................................. 19
E. Kajian Terdahulu Yang Relevan ................................................. 20
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 24
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 27
BAB II DISKURSUS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
ILMU DAN BUDAYA
A. Konsep Umum Pemikiran Pendidikan Karakter ........................... 29
B. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam ............................... 44
C. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Filsafat Sunda ................. 57
BAB III RELASI PEMAHAMAN AGAMA ISLAM DAN FILSAFAT
SUNDA SEBAGAI KONSEP PEMBENTUK LEMBAGA
PENDIDIKAN AL-MA’SOEM4
A. Biografi H. Ma’soem dan Cikal Bakal Pendirian Lembaga
Pendidikan Al-Ma’soem Berbasis Filsafat Sunda ........................ 6544
B. Ciri Khas Lembaga Pendidikan Al-Ma’soem ............................... 73
C. Interaksi Pemahaman Konsep Agama Islam dengan Filsafat
Sunda dalam Konsep Lembaga Pendidikan Al-Ma’soem ............ 81
BAB IV REALITAS PENDIDIKAN KARAKTER PADA LEMBAGA
PENDIDIKAN BERBASIS FILSAFAT SUNDA4
A. Filosofi Sunda; Dasar Implementasi Pendidikan Karakter ............ 87
B. Penerapan Filsafat Sunda dalam Manajemen Pendidikan ...... ...... 101
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 121
B. Saran-saran & Rekomendasi ........................................................ 122
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 123
GLOSARIUM ......................................................................................................... 135
INDEX .................................................................................................................. 139
BIODATA .............................................................................................................. 141
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbedaan pemahaman dalam suatu pendapat bisa menumbuhkan sebuah
teori atau pemahaman baru yang mengakibatkan terjadinya sebuah pembaharuan
terhadap suatu hal yang memiliki nilai serta makna yang baru, selanjutnya
perbedaan tersebut sering dianalogikan sebagai sesuatu perkara yang negatif
namun dalam sebuah teori sosial ternyata menyatakan bahwa perbedaan tidak
selalu menghasilkan perkara negatif akan tetapi perbedaan tersebut juga bisa
membuahkan sesuatu perkara yang positif.1
Gambaran dari keberhasilan sebuah sistem sosial dapat dibuktikan
dengan tercapainya tujuan dari sistem tersebut yang tercermin dalam sebuah
aplikasi kehidupan secara bersama. termasuk dalam dunia pendidikan, sebuah
pendidikan yang memiliki karakteristik budaya sosial dapat tercermin melalui
sebuah pendekatan sistemik dan masiv yang ditopang oleh tiga unsur sudut
pandang, yaitu: self-organisasi sebagai adaptasi, self-organisasi sebagai regulasi
dan self-organisasi sebagai penentuan nasib sendiri.2
1 Perbedaan tidak hanya memiliki makna negatif akan tetapi bisa juga membuahkan hal yang
positif, hal tersebut disebabkan oleh beberapa fungsi perbedaan dalam sebuah sistem sosial, terlebih
khusus yang hubungannya dengan perubahan sebuah model kelembagaan, kemajuan teknis dan
produktivitas, yang selanjutnya berhubungan langsung antara perbedaan konsep sosial dan perubahan
sistem sosial. Sebuah sistem sosial membutuhkan perbedaan untuk memperbaharui kekuatan sosial
yang ada dan merevitalisasi kekuatan kreatif. Perbedaan pemahaman pada individu masyarakat atau
kelompok-kelompok masyarakat dapat mencegah kebiasaan miskinkan kreatifitas menjadi kaya akan
kretifitas. Benturan nilai, kepentingan dan ketegangan antara kelompok menimbulkan konflik, yang
mengganggu akan kepentingan pribadi atau pun kelompok, sehingga menimbulkan pembagian
kekuasaan, kekayaan dan status, sebagaimana yang tejadi di Eropa dengan munculnya peradaban
Renaissance. Dengan konflik dapat menghasilkan norma-norma baru, lembaga-lembaga baru. Dengan
konflik yang terjadi di antara aktifitas serikat pekerja dan pemilik modal bisa menjadikan kebaikan
terhadap kedua belah pihak, yaitu satu sisi produktifitas semakin meningkat dan menimbulkan
perbaikan pula terhadap tingkat upah pekerja. Lihat Lewis A. Coser, “Social Conflict and The Theory
of Social Change”, The British Journal of Sociology, Vol. 8, No. 3. (1957): 197-207. 2 Permasalahan sosial masyarakat bergerak dari efisiensi ekonomi. Hal ini menunjukkan
bahwa dasar metodologi untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan pembangunan pendidikan secara
psikologis dianggap sebagai psikologi antropologi sebagai cabang ilmiah baru, yang mencerminkan
kecenderungan perkembangan psikologi sekarang hari. Dimana motivasi berprestasi memiliki
perbedaan kualitatif tergantung pada karakter identitas sosial-budaya. Jika identitas sosial-budaya
positif, motivasi untuk mencapai keberhasilan adalah garis kehidupan umum. Mengungkapkan
koneksi komponen fungsi positif dan menunjukkan motivasi berprestasi telah dipertimbangkan dalam
konteks penelitian kami sebagai penuh, pengalaman subyektif, yang sangat penting bagi orang itu
sendiri, seperti yang terhubung dengan nilai-nilai dasar manusia dan semacamnya pengertian sehari-
hari sebagai kebahagiaan, hidup bahagia. Ketika ditandai pengalaman kesejahteraan psikologis oleh
seseorang, maka perlu untuk menyebutkan bahwa itu mengandaikan perbandingan keberadaan
seseorang dari norma, sampel atau ideal. Lihat Irina Loginova, Victoria Chupina and Yulya Zhivaeva
Department of Clinical Psychology, “Sociocultural Characteristics of Psychological Education in the
Context of Systemic-Anthropological Approach.” Journal of Social Sciences 8 (2): 281-293, 2012 di
unduh tanggal 08 Mei 2013.
2
Secara realita manusia dilahirkan ke dunia dari rahim ibunya dalam
keadaan yang tidak mengetahui apa-apa, karena itu Allah SWT melengkapi
manusia dengan pendengaran, penglihatan dan hati nurani yang merupakan
bekal serta potensi sekaligus sarana untuk membina dan mengembangkan
kepribadiannya secara bertahap yang pada akhirnya membentuk sebuah
kepribadian yang menghantarkan hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.3
Panca Indera yang dimiliki manusia tersebut merupakan potensi yang
dianugerahkan Allah SWT kepada manusia sehingga manusia mampu mengolah
segala yang yang ada pada alam semesta ini dan menggunakannya secara tepat
untuk mengembangkan dan mempergunakan potensi tersebut melalui sebuah
proses belajar yang dinamakan pendidikan.4
Proses pendidikan memiliki peranan penting dalam pembentukan dan
pembinaan individu, keluarga dan masyarakat sehingga akan memunculkan
sebuah bangsa yang berkarakter, sejalan dengan pengertian pendidikan yang
menyatakan bahwa pembentukan nilai-nilai kejujuran merupakan titik awal dari
pembentukan sebuah karakter bangsa,5 sehingga dalam pelaksanaannya proses
pendidikan yang merupakan proses pembinaan yang dilakukan orang dewasa
terhadap peserta didik dalam merubah pengetahuan (kognitif), pemahaman
(afektif) dan perilaku (psikomotor) kearah yang lebih baik merupakan sebuah
sistem atau pola yang harus diatur secara terorganisir dan menyeluruh oleh
sebuah lembaga atau organisasi pendidikan.6
Proses pendidikan juga tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan sangat berperan dan terdapat pengaruh positif
terhadap maju dan mundurnya suatu bangsa, sejarah mengatakan bahwa bangsa
yang maju adalah bangsa yang ilmu pengetahuannya berkembang dengan baik
walaupun bangsa tersebut bukan merupakan bangsa yang memiliki negara yang
besar secara geografis, sebagi contoh Jepang, Singapura, Malaysia, Korea dan
3 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: Bumi Restu, 1986), dalam Qs. Al-Nahl
ayat 78. ه ونشيوٱلل ملاتعلمه هتكه م
هأ ون ممنبهطه خرجكه
أ مه معاوجع لكه بصروٱلس
فوٱلأ
وندٱلأ ره متشكه ٨٧لعلكه
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
4 Bahwa pengertian pendidikan secara luas adalah: pengembangan pribadi dalam semua
aspek yang mencakup jasmani, akal dan hati. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya: 1992), 26 cet.1.
5 Nilai kejujuran merupakan satu diantara 5 nilai moral Islam, nilai kejujuran yang dilandasi
oleh nilai-nilai religius pararel dengan nlai-nilai etika moral yang berlaku secara umum. Pada akhirnya
pengembangan nilai-nialai kejujuran tersebut diyakini sangat efektif melalui pendidikan yang hasilnya
akan tercermin dalam kehidupan masyarakat sehingga terwujud sebuah pembentukan karakter tatanan
masyarakat yang baik. Emosda, “Penanaman nilai-nilai kejujuran dalam menyiapkan karakter bangsa” Universitas Jambi: Innovatio journal for religious innovation studies Volume X, No. 1, (Edisi Januari
– Juni 2011), 151-155. 6 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21 (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru,
2003), 5.
3
Taiwan yang secara ilmu pengetahuan memiliki kemajuan sekaligus kemajuan
tersebut merubah tatanan hidup bangsa-bangsa tersebut.7
Sebagai salah satu contoh, dalam ajaran Islam proses yang mengawali
sebuah kenabian juga melalui proses pendidikan hal tersebut dapat kita jumpai
pada wahyu pertama yang Allah turunkan kepada Rasulullah SAW yaitu
al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang memiliki kandungan sebuah perintah
kepada Rasulullah SAW untuk membaca, hal ini menujukan bagaimana
keutamaan ilmu pengetahuan sebab secara filosofis membaca merupakan kunci
seluruh ilmu pengetahuan serta didalamnya juga mengandung makna bahwa
kalam merupakan alat transformasi ilmu pengetahuan, dalam ayat tersebut juga
dikatakan bahwa belajar serta ilmu pengetahuan merupakan simbol kemuliaan
dan sebuah nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.8
Ajaran Islam bukan sekedar mengajarkan tentang ibadah ritual semata
atau disebut dengan fiqih, melainkan ajaran Islam juga mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia dan bahkan banyak kajian-kajian dalam Ilmu keislaman
tersebut termasuk ilmu mengenai pendidikan Islam itu sendiri, bagaimana cara
Islam meramu sebuah konsep pendidikan hanya saja sampai saat ini belum
banyak lembaga pendidikan bahkan penerimaan legalisasi akan konsep
pendidikan Islam masih menemukan kebuntuan karena kurangnya kajian dan
aktivitas yang dilakukan oleh para ahli pendidikan terhadap hal tersebut.9
Pendidikan karakter merupakan sebuah konsep yang lebih luas
cakupannya apabila dibandingkan dengan pendidikan moral, sebab pendidikan
karakter berkaitan dengan pembiasaan terhadap kesadaraan diri dalam
melaksanakan setiap kehidupan, karakter juga sering dimaknai sebagai
“interpretasi kebiasaan,”10 sehingga realitas pilihan konsep pendidikan dewasa
ini yang difahami sebagai langkah strategis dari misi pembangunan nasional
cenderung melangkah pada pengaplikasian konsep pendidikan karakter yang
bertujuan agar guru atau orang tua dapat memberikan sebuah gambaran dan
keleluasaan kepada peserta didik sehingga peserta didik dapat merespon secara
empatik dengan memahami cara atau tindakan apa yang seharusnya dilakukan
sebab guru merupakan contoh model atau cerminan dari perilaku prososial bagi
peserta didiknya.11
7 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 1. 8 Yususf al-Qarad}a>wi>, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 91. 9 Abuddi nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), 1. 10 Dengan mengutip John Dewey, Althof mengatakan bahwa karakter akan melahirkan suatu
kebiasaan dan tindakan. Wolfgang Althof, “Moral Education and Character Education”, Journal of Moral Education 35, no. 4 (Dec 2006), 497.
11Ahmad Darmaji, “Perilaku Prososial Vs Kekerasan Sosial: Sebuah Tinjauan Pendidikan
Islam”, Jurnal El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam IV no. 1 (2011),
http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI (diunduh pada tanggal 08 April 2013).
4
Pandangan tersebut diatas dilatar belakangi oleh realita permasalahan
kebangsaan yang berkembang saat ini,12 sehingga memberikan pengaruh
terhadap kesenjangan antara pendidikan moral, agama dan spiritualitas yang
mempengaruhi relativisme moral agar terhindar dari pemahaman sekuler,
selanjutnya memberikan sebuah konsekuensi perubahan dalam konsep mendidik
individu yang memiliki pemikiran moral dan tindakan yang mengakui nilai-nilai
moral yang berbudaya.
Pada akhir abad kedua puluh dan awal abad dua puluh satu, banyak
terjadi perubahan perilaku yang mengakibatkan peningkatan aktivitas bermoral,
cerminan kenakalan remaja dan kejahatan yang terjadi dewasa ini memberikan
sebuah rangsangan kebutuhan sebuah konsep pendidikan untuk kembali kepada
moral dan nilai-nilai yang dianggap sebagai pendidikan yang tepat abad ini,13
pendidikan dipandang sebagai moral untuk mendukung perwujudan cita-cita
pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan
pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini,
maka pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional.
Semangat yang diemban tersebut secara implisit ditegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025,
dimana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan
visi pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila,”
dengan menjadikan dasar bahwa sistem pendidikan nasional sebagai suatu
organisasi haruslah bersifat dinamis, fleksibel, sehingga dapat menyerap
perubahan-perubahan yang cepat untuk menyeimbangkan dengan terjadinya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan masyarakat menuju
masyarakat moderen yang semakin demokratis dan menghormati hak-hak asasi
manusia.14
Proses perubahan pendidikan di sekolah yang dikehendaki masa depan
bukan hanya aktivitas pembelajaran antara siswa dengan gurunya, namun
bagaimana siswa dapat berkesempatan menerjemahkan dan menjelaskan
problem-problem nyata yang sedang dihadapinya. Artinya pendidikan
merupakan sebuah proses pembekalan terhadap peserta didik agar dapat
12Tim Penyusun, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta, Kementrian
Pendidikan Nasional Pusat Kurikulum dan pembukuan, 2011), 5. Bahwa permasalahan bangsa yang
terjadi saat ini antaralain: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan
perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa;
ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Sumber: Buku Induk Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). 13 Ahmad Saghafi, Badri Shatalebi, “Analyzing the Role of Teachers in the Nature Character
Education of Students from the Attitudes of Them,” Arabian Journal of Business and Management Review (OMAN Chapter) 1, no.7; (February 2012), http://search.proquest.com/docview/
1239541843/fulltextPDF (diunduh pada tanggal 24 April 2013). 14 A. R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 6.
5
menghadapi kehidupan nyata dimasa yang akan datang.15 Sehingga sebuah
lembaga pendidikan dalam hal ini memiliki peran yang sangat positif dan urgen
sebagai pengelola, pengatur dan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap
keberlangsungan kemajuan sebuah pendidikan yang bersifat formal.
Tujuan dari sebuah proses pendidikan adalah penyempurnaan akhlak.
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan suatu tatanan moral yang baik dan
sebagai sebuah karakter jiwa yang sempurna dalam diri manusia, oleh karena itu
manusia memerlukan bimbingan untuk mendapatkan karakter yang sempurna
berupa akhlak mulia (al-akhla>q al-kari>mah). 16
Beberapa contoh fakta tentang kondisi kerusakan akhlak para pelajar
sekolah menengah umum yang teridentifikasi yang menjadi sebuah realitas
permasalahan yang banyak terjadi dewasa ini dapat digambarkan melalui
fenomena berikut di antaranya Pada tahun 2010, setidaknya terjadi 128 kasus
tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011,
yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari-Juni 2012,
telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar.17 Pada tahun 2011, siswa
SMP pengguna napza berjumlah 1.345 orang. Tahun 2012 naik menjadi 1.424
orang, sedangkan pengguna baru pada Januari-Februari 2013 tercatat 262 orang.
Di kalangan SMA, pada 2011 tercatat 3.187 orang, tahun berikutnya menjadi
3.410 orang. Adapun kasus baru tahun 2013 tercatat 519 orang.18 Kemudian
selain hal terseniut telah terjadi tawuran antar pelajar SLTA di Kota Bandung
yang tidak jelas sebab-sebabnya,19 penyerangan SMA Negeri 20 oleh geng
motor dari SMA Negeri 7 Bandung serta pembunuhan adik oleh kakaknya di
Cianjur yang disebabkan karena adiknya mau membunuh orang tuanya ketika
sedang mabuk,20 ataupun maraknya geng motor yang merajalela dan meresahkan
masyarakat dibeberapa tempat di Indonesia dengan kekejamannya sehingga
merenggut nyawa pengguna jalan, dimana anggota nya merupakan remaja usia
sekolah baik usia SMP ataupun usia SMA. Atau yang paling baru berita dimedia
TV menghebohkan anak SMP di Surabaya berprofesi sebagai mucikari cilik
dengan menjual teman temannya lewat media face book.21
Contoh-contoh tersebut tersebut menunjukan pada kita wajah buram
pendidikan Indonesia serta telah terjadi sebuah pergeseran nilai karakter dari
tujuan yang diharapkan sebagian fakta di atas yang memprihatinkan, fenomena
tersebut merupakan sebuah ketimpangan atau ketidak sesuaian antara teori
15 Maisah, Inovasi dan masa depan pendidikan, journal Innovatio journal for religious
innovation studies x, no. 1, edisi januari – juni 2011 ), 97. 16 Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq (Bandung, Mizan :1997), 56-81. Terj.
Kitab Tahdhib al-Akhlaq. 17http://video.tvonenews.tv/arsip/view/62132/2012/09/27/data_tawuran_pelajar_selama_201
02012.tvOne 18http://regional.kompas.com/read/2013/03/07/03184385/Pengguna.Narkoba.di.Kalangan.Re
maja.Meningkat 19 H.U. Pikiran Rakyat, 6 Maret 2012. 20 H.U. Lampu Merah, 12 Maret 2012. 21 Redaksi berita SCTV, dalam Liputan 6 SCTV, Minggu, 09 Juni 2013.
6
pendidikan dengan kenyataan dilapangan. Bukan hanya akses pendidikan yang
sulit, dan fasilitas yang kurang memadai saja, namun kelulusan yang terjadi
tidak mencerminkan fungsi sekolah dan kampus sebagai lembaga pendidikan
yang sejatinya dipercaya untuk mendidik anak-anak bangsa, justru sekedar
melahirkan tenaga kerja yang hanya siap menjadi buruh di negeri sendiri, bahkan
sebagian diantaranya menjadi mesin-mesin perusak, baik terhadap diri, keluarga,
maupun masyarakat.
Berdasarkan contoh paparan tersebut diatas, menunjukan bahwa upaya-
upaya penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan Islam saat ini belum
sejalan dengan hasil (output) pendidikan yang diharapkan yaitu melahirkan
lulusan yang bertaqwa dan berkualitas atau dalam UU Sisdiknas tahun 2003
bahwa melalui pendidikan diharapkan terbentuk peserta didik yang beriman dan
bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.
Ditambah hasil observasi dan pengamatan di beberapa SMA dan MA di
kota dan kabupaten Bandung yang dilakukan peneliti pada bulan september
2012 sampai januari 2015 diketahui bahwa masih banyak para pendidik yang
dipandang belum mampu membantu masyarakat untuk meningkatkan akhlak
mulia sebagaimana diajarkan dalam al-Qur’a>n dan al-H}adith masih banyak
pendidik yang cenderung bias dalam mengajarkan pendidikan akhlak, efeknya
banyak peserta didik (remaja) yang menunjukan krisis akhlak (melanggar etika
dan norma dengan moralnya) yang pada akhirnya membentuk sebuah karakter
yang buruk.
Kondisi tersebut merupakan gambaran yang sangat memprihatinkan
khususnya bila dihubungkan dengan tingkat keberhasilan yang dicapai oleh
sebuah lembaga pendidikan dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik,
sebenarnya mengapa kemerosotan akhlak dikalangan remaja tersebut terjadi
padahal penanaman dan bimbingan terhadap sikap moral telah lama dilakukan
diberbagai lembaga pendidikan khususnya di lembaga-lembaga pendidikan yang
mengadopsi manajemen kurikulum pendidikan terpadu atau yang pada saat ini
menjadi primadona yaitu kurikulum berbasis pendidikan karakter, sebagai
contoh terakhir yang menjadi bahan perbincangan dewasa ini adalah rancangan
dalam kurikulum 2013 yang di rancang oleh kementrian pendidikan dan
kebudayaan RI dimana penekanan pelaksanaan kurikulum lebih pada pelajaran
agama dan budi pekerti untuk pembentukan sikap yang baik atau moralitas pada
penerapan integrasi kompetensi bahkan sekarang ini kembali kepada konsep
kurikulum tingkat satuan pendidikan.22 Pada akhirnya ditahun 2015 ini
pelaksanaannya belum dapat dilaksanakan dan dikembalikan kepada kurikulum
KTSP kembali.
Secara detail penekanan tersebut memberikan gambaran bahwa melalui
konsep kurikulum yang dirancang sekarang diharapkan setiap lembaga
pendidikan formal dapat merubah keadaan serta mencegah berkembangnya
22 Dhoni Setiawan, Madiun (ANTARA News) Sabtu, diunduh tgl. 11 Mei 2013 19:53 WIB |
1822 Views (ANTARA/Dhoni Setiawan). dari http://www.scribd.com/doc/ 49754748/teori-
Pendidikan-Karakter.
7
distorsi akhlak yang terjadi dewasa ini, Indonesia memerlukan sumberdaya
manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama
dalam pembangunan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia
tersebut manajemen lembaga pendidikan dalam pelaksanaannya memiliki peran
yang sangat penting dan dominan.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional untuk mengebangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.23
Manajemen sebuah lembaga pendidikan merupakan pilar penekanan
terhadap rancangan pendidikan yang dapat menghantarkan kepada tujuan
pendidikan dimana proses tersebut merupakan sebuah tugas berat yang
membutuhkan pemikiran fokus sehinga pelaksanaan pendidikan dapat
terprogram secara terencana dan sistematis baik secara planning, organizing, actuating, controling, maupun evaluating. Sehingga aplikasi dalam kurikulum
yang diselenggarakan baik materi, waktu, sumber acuan sehinggga proses inter
aksi belajar mengajar yang dilakukan di lingkungan sekolah berjalan sesuai
dengan tujuan atau visi dan misi dari sebuah pendidikan yang ideal.
Apabila kita memperhatikan sejarah perkembangan kurikulum yang
terjadi di Indonesia, sekurang-kurangnya telah terjadi 11 (sebelas) kali
perubahan kurikum,24 antara lain kurikulum: 1947 (Rencana Pelajaran dirinci dari rencana pelajaran terurai), 1964 (Rencana Pendidikan Sekolah Dasar), 1968
(Kurikulum Sekolah Dasar), 1973 (Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan/PPSP),1975 (Kurikulum Sekolah Dasar),1984 (Kurikulum 1984), 1994 (Kurikulum 1994),1997 (Revisi Kurikulum 1994),2004 (Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK),2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) dan 2013 (Kurikulum 2013), hingga akhirnya kembali lagi kekurikulum KTSP sekarangn ini.
Dalam perkembangannya perubahan kurikulum tersebut memiliki 3
(tiga) aspek landasan pengembangan, antara lain aspek filosofis, aspek yuridis,
dan aspek konseptual yang pada perkembangannya penekanan ketiga landasan
tersebut memiliki peran yang sangat besar terhadap keberhasilan pencapaian
tujuan dari pendidikan tersebut.25
23 Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma, di unduh pada tanggal 25 Mei 2013
dari http://www.scribd.com/doc/ 49754748/teori-Pendidikan-Karakter 24 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Pengembangan Kurikulum 2013 (Jakarta:
Kemendikbud), 4. November 2012 25 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Pengembangan Kurikulum 2013 (Jakarta:
Kemendikbud), 5. November 2012
8
Secara realisasi pelaksanaannya kurikulum tersebut tidak lepas dari
dasar bimbingan dan asuhan yang diberikan oleh orang tua yang merupakan
cikal bakal dari sebuah pendidikan karakter, perlakuan orang tua terhadap anak
akan sangat memberikan sebuah kontribusi besar terhadap perubahan sosial
sehingga anak akan dapat bertahan dalam menghadapi konflik seperti apapun
dengan menyikapinya melalui kemampuan keakhlakan yang utuh yang dilandasi
oleh pendidikan dan penanaman akhlak mulia sebagai perwujudan atau
aktualisasi dari tiga unsur yaitu intellectual quotient (IQ) yang ukurannya rasio
logika benar salah, emotional quotient (EQ) yang ukurannya adalah perasan
(emosi) dan spiritual quotient (SQ) yang ukurannya adalah iman dan taqwa.26
dan seluruh perwujudannya tergambar dalam actional quotient (AQ) yang
ukurannya kebaikan dan keburukan.27
Suatu keprihatinan yang besar pada saat kita melihat wajah pendidikan
masa kini, lembaga pendidikan dihadapkan pada persoalan yang semakin berat,
dimana para pendidik, peserta didik, masyarakat lingkungan pendidikan bahkan
sistem pendidikan itu sendiri diterpa krisis akhlak.28 Fenomena yang
teridentifikasi dilapangan berkaitan dengan terjadinya depresi moral dan akhlak
adalah kurangnya arahan yang diberikan orang tua melalui pendidikan
keteladanan dengan akhlak yang baik padahal akhlak merupakan salah satu
pembentuk karakter yang menjadi sebuah makna yang selalu menyertainya
sebab sebaik apapun nilai seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan maka harus
didasari dan didukung pula dengan nilai karakter terbaiknya.29
Orientasi dunia pendidikan sekarang secara tidak disadari dalam
pelaksanaannya lebih cenderung mengarah kepada peningkatan kemampuan
intelektual, dan hanya sedikit yang menekankan kepada aspek akhlak, moral-
religius, dan kepribadian yang mulia. Fenomena tersebut memberikan sebuah
gambaran yang nyata bagi kita bahwa pentingnya pemberian pendidikan
terhadap pembentukan sebuah karakter seseorang sehingga akan terbangun
26Sebagaimana dikutip oleh Junanah menurut Pamela Phelps, Ph.D dan Laura Stannard,
Ph.D (dalam Kurniawan dan Widayanti. Hidayatullah, 2011:71) terdapat empat tahapan penyelesaian
konflik yang dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangan anak, yaitu: 1. Tahap Pasif (Passive), 2.
Tahap Serangan Fisik (Physical Aggression), 3. Tahap Serangan Bahasa (Verbal Aggression), dan 4.
Tahap Bahasa (Language) . Junanah, “Pendidikan Anak Usia Dini serta Implementasinya dalam
Pendidikan Formal dan Informal,” Jurnal El-Tarbawi, Jurnal Pendidikan Islam IV no. 1 (2011),
http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI (diunduh pada tanggal 08 April 2013). 27 HR Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayan Jati, (Bandung, Yayasan Nur Hidayah
2010),14. 28Fenomena yang terjadi dilapangan mengidentifikasikan bahwa krisis moral bukan hanya
terjadi dikalangan peserta didik saja, bahkan guru sampai kepala sekolah pun dewasa ini tidak lagi
mencerminkan akhlak yang baik. Sebagai contoh pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru
SD di Surabaya, Kepala sekolah SMAN di Tangerang yang memakai narkoba, dan masih banyak lagi
fenomena-fenomena lain yang terjadi di lingkungan masyarakat kita . www.detik.com 29dalam tulisannya yunus mengutip perkataan Van Peursen yang menyatakan bahwa
pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan, sehingga etika merupakan suatu
penilaian yang memeperbincangkan bagaimana akibat dari teknik yang mengelola kelakuan manusia.
Firdaus M Yunus, “Etika Multikulturalisme Upaya Membangun Identitas Kultur Ke-Indonesiaan” Meulaboh Aceh Barat: Jurnal Bidayah Studi Ilmu-Ilmu Keislaman 2, no. 1 (Januari 2011), 3.
9
sebuah tatanan moral yang baik sebagai nuansa aplikatif yang menjadi tolak
ukur dari keberhasilan pendidikan yang selanjutnya dapat di ukur dalam sebuah
norma etika sebagai sistem nilai yang bersifat teoritis Filosofis.30
Kaitannya dalam merumuskan tujuan pendidikan pada hakekatnya
merupakan sebuah proses perumusan kajian filsafat atau pemikiran yang
mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan
kegiatan, jika beliau memahami secara benar filsafat yang mendasarinya.
Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan terhadap aspek pembentuk
komponen sebuah sistem pendidikan,31 pada pelaksanaannya setiap komponen
pendidikan tersebut merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
sehingga membentuk sebuah kesatuan utuh yang dinamakan lingkungan yang
bermoral.32
Dari hasil penelitian para ahli pendidikan sebagaimana dituliskan
Abuddin Nata, setidaknya terdapat delapan penyakit yang di jumpai pada
masyarakat moderen sehingga dapat mengurangi kemajuan atau berkembangnya
sistem pendidikan sehingga kurang berkembangnya kelembagaan pendidikan di
Indonesia antaralain: Pertama, kakunya spesialisasi ilmu pengetahuan atau
disintegrasi antar ilmu pengetahuan. Kedua, Kepribadian yang terpecah (splite personality) sebagai akibat dari kehidupan yang dipolakan oleh ilmu
pengetahuan yang terlampau terspesialisasi dan tidak berwatak nilai-nilai
ketuhanan, Ketiga, dangkalnya rasa keimana, ketakwaan, serta kemanusiaan.
sebagai akibat dari kehidupan yang terlampau rasionalistik dan individualistic,
Keempat, timbulnya pola hubungan yang materialistik sebagai akibat dari
kehidupan yang mengejar duniawi yang berlebihan, Kelima, cenderung
menghalalkan segala cara, sebagai faham dari hedonisme yang melanda
kehidupan. Keenam, mudah stress, frustasi, sebagai akibat dari terlampau
percaya dan bangga terhadap kemampuan dirinya, tanpa dibarengi sikap tawakal
dan percaya kepada kketentuan tuhan. Ketujuh, Perasaan terasing ditengah-
tengah keramaian (Lonely) sebagai akibat dari sikap Individulistik, Kedelapan, kehilangan harga diri dan masa depannya, sebagai dari akibat perbuatan yang
30Pemahaman terhadap arti dari sebuah kata dalam bahasa Indonesia seringkali di sejajarkan
seperti kata moral dan etika yang biasanya di sejajarkan dengan kata budi pekerti, tata susila,
kesusilaan, tata karma atau sopan santun, atau kata akhlaq dalam bahasa arab. Kedua kata tersebut
(Moral dan etika) merupakan kata yang sama yang membicarakan tentang perilaku dan pebuatan
manusia namun kata moral merupakan sebuah kata yang bersifat aflikatif dari perilaku tersebut
sedangkan etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai kerangka acuan untuk mengkaji sistem nilai
dari falsafah tingkah laku tersebut. Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Analisis Historis (Jakarta: PT. Mitra Cendikia, 2004), 164.
31Diantara komponen pendidikan yaitu: Pendidik, peserta didik, alat pendidikan, Metode
pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, serta evaluasi pendidikan. Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2002). 29.
32 Dalam prakatanya pada buku, Educating for Character, karya Thomas Lickona, Suster
Chatherine McNamee, C.S.J., seorang Presiden, National Catholic Education Association mengatakan: bahwa Lingkungan yang bermoral tidak terjadi begitu saja. Tapi membutuhkan upaya
dan usaha dari para orang tua, pendidik, pimpinan gereja, dan lembaga yang ada pada komunitas yang
mendidik untuk membentuk karakter sehingga akan menjadi sumber yang unik bagi siapa saja yang
ingin mengemban tanggung jawab luar biasa ini.
10
menyimpangnya. Problem yang dihadapi manusia tersebut menghendaki visi dan
orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak,
tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak, dan kepatuhan dalam
menjalankan ibadah sehingga dibutuhkan sebuah konsep manajemen lembaga
pendidikan yang sesuai dan memiliki konsep model pendidikan yang menjadi
solusi masalah tersebut.33
Dalam perkembangannya penerapan model serta pendekatan yang
digunakan dalam pendidikan formal juga mengalami perubahan dan bervariasi,
sebagaimana terdapat beberapa model dan pendekatan yang digunakan oleh
ilmuwan pendidikan berkaiatan dengan model serta pendekatan dalam
pelaksanan pendidikan karakter. Sebagai contoh pendekatan kontemporer yang
dikemukakan oleh Berkowitz dan Bier (2005) memberikan kesimpulan bahwa
pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara efektif dengan pendekatan dan
model praktek, yaitu: solusi masalah, empati, keterampilan, sosial, resolusi
konflik, membangun perdamaian dan life skill.34
Model pendekatan lain juga dirumuskan sebuah model pendidikan etika
integratif (integrative ethical education, IEE) yang di rumuskan oleh
Narvanez,35 baginya perilaku baik siswa akan bersamaan dengan pemahaman
dan pengetahuan tentang etika yang didapatnya dalam pelajaran. Maka keahlian
dalam penguasaan etika yang sebenarnya membutuhkan sebuah kompetisi yang
selaras dengan variasi tantangan yang ada di sekitar lingkungannya melalui
proses, pengetahuan dan keterampilan.
Thomas Rusnak,36 yang mengemukakan model pendidikan karakter
dengan model memikirkan (Thinking), apa yang mesti dilakukan atau dipelajari,
feeling, menghargai apa yang di pelajari dan action, pengalaman melalui
tindakan bukan sekedar diskusi. Menurutnya ada enam prinsip dalam pendidikan
karakter. Pertama, Pendidikan Karakter jangan dipandang sebagai mata
pelajaran tersendiri, kedua, Pendidikan karakter merupakan pendidikan perilaku
(tindakan) yang melibatkan komitmen dari guru dan siswa, ketiga, Pendidikan
Karakter harus dibangun dan dibentuk oleh lingkungan sekolahyang bersuasana
positif, baik iklim serta semangat sekolah. Keempat, Pendidikan Karakter harus
menjadi misi dan kebijakan yang dibuat di sekolah. Kelima, Pendidikan
Karakter harus diajarkan oleh guru yang mumpuni dan tidak terikat oleh sistem
33 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta, Prenada Media: 2001), 82. 34 James Arthur, “Traditional Approaches to Character Education in Britain and America,”
in Handbook of Moral and Character Education, ed. Larry P Nuccy dan Darcia Narvaez (London:
Routledge, 2008), 91. 35 Narvaez, D. Integrative Ethical Education. In M. Killen & J. Smetana (Eds.), Handbook of
Moral Development (pp. 703-733). Mahwah, NJ: Erlbaum.
http://www.nd.edu/.../NarvaezIEEProofUSE, 2006) 154-155. (diunduh pada tanggal 20 April 2013). 36 Dalam bukunya James Arthur, “Traditional Approaches to Character Education in Britain
and America,” in Handbook of Moral and Character Education, ed. Larry P Nuccy dan Darcia Narvaez
(London: Routledge, 2008), 93.
11
kuriikulum yang ada, serta Keenam, Pendidikan Karakter harus melibatkan
komponen sekolah serta masyarakat lokal yang ada di lingkungan sekolah.
Sebagaimana model-model pendidikan karakter yang ditawarkan
tersebut yang digunakan sebagai solusi merubah dari kebiasaan anak didik
dimana bentuk pendidikannya lebih mengedepankan sisi praktis daripada
teoritis. Dengan indikator keberhasilan dari metode ini adalah perubahan
kegiatan keseharian anak didik dari karakter moral yang buruk menjadi karakter
moral yang baik walaupun proses pembelajarannya tidak mengedepankan sisi
teoritisnya melainkan contoh praktis dari guru pendidiknya. Secara umum para
ahli pendidikan muslim pun sepakat bahwa model serta pendekatan yang
digunakan dalam sebuah konsep pendidikan karakter harus memiliki pendekatan
terhadap etos sekolah sebagai lingkungan serta dukungan lingkungan terhadap
konsep pendidikan karakter secara terprogram, sekaligus memiliki metode
pendidikan yang berpengaruh terhadap perilaku anak.37
Sedangkan dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat
diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan
pendidikan adalah dua hal. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita
mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan
tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius
dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.38
Al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan
ahli filsafat pendidikan mengenai tujuan pendidikan. Beliau menekankan tugas
pendidikan ialah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak yang
berdasarkan pada konsep religius, dimana keutamaan (faz{ilah) dan proses
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah merupakan tujuan yang paling
penting dalam pendidikan.39
Temuan dan ungkapan yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam
membuat sebuah corak model pendidikan karakter, memberikan gambaran
mengenai pentingnya mendidik dan membimbing anak dengan akhlak mulia.
Pendidikan dan bimbingan dilakukan dengan latihan yang sesuai perkembangan
jiwa anak. Latihan diberikan agar anak terhindar dari hal-hal yang menyesatkan
dengan demikian pembetukan karakter seorang anak telah dibentuk dari sejak
37Bahwa metode pendidikan yang berpengaruh terhadap anak adalah: metode penddikan
keteladanan, metode pendidikan dengan adat kebiasaan dan metode pendidikan dengan Nasihat.
Abdullah Nashih Ulwan, Ensiklopedia Pendidikan Akhlaq Mulia (Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi
2006) Jilid 7. Terj. Tarbiyah Al-awlad Fi> al-Islam ( Cairo, Mesir : Darus Salam, 2006).. 38Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1997), 86. 39Sesuai penegasan Al-Ghazali : “manakala seorang ayah menjaga anaknya dari siksaan
dunia, hendaknya ia menjaganya dari siksaan api neraka/akhirat, dengan cara mendidik dan
melatihnya serta mengajarkan dengan keutamaan akhirat, karena akhlaq yang baik merupakan sifat
Rasullullah saw dan sebaik-baik perbuatan orang yang jujur, terpercaya dan merupakan realisasi
daripada buahnya ketekunan orang yang dekat kepada Allah. Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 134.
12
dini. Apabila dipandang dari perpektif psikologi pendidikan maka perubahan-
perubahan yang terjadi tersebut bukanlah sebuah kebetulan semata akan tetapi
merupakan sebuah efek dari pembelajaran atau pengetahuan yang diterima oleh
individu tersebut baik yang bersifat intern ataupun extern.40
Pendapat Al-Ghazali tersebut didukung oleh M. Athiyah Al-Abrasy
(1969) yang menjelaskan bahwa pendidikan budi pekerti merupakan jiwa dari
pendidikan Islam (pendidikan yang dikembangkan oleh kaum muslimin), dan
Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah
jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan
sebenarnya dari pendidikan.41 Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa
Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak
dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi
kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam
kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara.
Selanjutnya Mahmud Yunus menyatakan bahwa tugas yang pertama dan
terutama yang terpikul atas pundak alim ulama’, guru agama dan pemimpin
Islam ialah mendidik anak-anak, pemuda-pemuda, putra-putri, orang-orang dan
masyarakat umumnya itu berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang halus.
Padahal hidup bermasyarakat, tolong-menolong, berlaku jujur dan peramah,
berlaku adil dalam segala hal, berkasih sayang antara yang satu dengan yang
lain.42 Hal ini menunjukan bahwa pentingnya penerapan konsep pendidikan
karakter dalam membentuk sebuah generasi baru yang berkarakter.
Secara Filosofis Muhammad Natsir dalam tulisannya “Ideologi
pendidikan Islam”, memberikan sebuah pengertian bahwa pendidikan, ialah
suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti
kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.43 Untuk mencapai sebuah tujuan
pendidikan, menurut al-Ghazali juga dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan
di dunia dan akhirat.44 Dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk
masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju
kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat
perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan
40Pada hakekatnya inti persoalan psikologi pendidikan terletak pada bagaimana seorang
pendidik mengarahkan anak didiknya dalam melaksanakan sifat-sifat umum ativitas manusia, dinatara
persoalan yang dipelajari mengenai sifat umum aktivitas manusia tersebut adalah seperti
mempehatikan, mengamati, berkhayal (fantasi), mengingat (berfikir), perasaan, dan motif-motif, yang
selanjutnya dapat terlihat dalam sebuah aplikasi realisasi pelaksanaan sikap. Sumadi Surya Brata,
Psikologi Pendidikan, Universitas Gajah Mada (Jakarta: CV Rajawali, 1990) 13-74. 41M. Athiyah Al-Abrasy,at-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha (Kairo: 1969), 45. 42Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran (Jakarta: Hida Karya Agung,
1978), 12. 43 Moh. Natsir, Kapita Selekta (Bandung: s’Gravenhage, 195), 87 44Al-Gazali Menyatakan: “Dan sungguh engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan
adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan
ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh
pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghormatan menurut kebiasaannya.” Zainuddin, dkk.,
Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta, Bumi Aksara, 1990), 46
13
seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai
alat dan tempat tinggal sementara, bukan bagi orang yang memandangnya
sebagai tempat untuk selamanya, menurutnya pembentukan karakter manusia
didasarkan pada periodisasi kejadian dan penciptaannya dengan tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan oleh Al-Ghazali, meliputi45 :
1. Aspek keilmuan, yang mengantarkan manusia agar senang berpikir,
menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi
manusia yang cerdas dan terampil.
2. Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia,
berbudi pekerti luhur dan berkepribadian kuat.
3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam pandangan Al-Ghazali pembentukan karakter manusia
didasarkan pada periodisasi kejadian dan penciptaannya tersebut,46 Al-Ghazali
menekankan pengertian dan hakikat kejadian manusia pada rohani atau jiwa,
hakikat manusia itu berada pada jiwanya, jiwanyalah yang membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya sebab dengan jiwa tersebut
manusia bisa berpikir, merasa, berkemauan dan berbuat lebih banyak, ada empat
istilah untuk pengertian jiwa, yakni: jiwa (Al-nafs), roh (Al-ruh)}, hati (Al-Qalb), dan akal (Al-‘Aql). Ditinjau dari segi kejiwaan, empat istilah tersebut
mempunyai arti yang hampir bersamaan, akan tetapi dari segi fisik keempat
istilah tersebut menurutnya mempunyai arti yang berbeda.47 Hal tersebut
disebabkan karena pemahaman serta pengetahuan manusia dalam hal memahami
sebuah teks secara historis terpengaruh pada zamannya keadaan umat di bidang
material dianggap maju, akan tetapi belum maju dibidang moral dan spiritual
begitulah cerminan keadaan manusia dewasa ini.
Al-Ghazali berpendapat, bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah
yang seimbang dan sehat. Kedua orangtuanyalah yang memberikan agama
kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh silat-sifat yang
buruk ia mempelajari sifat-sifat buruk dari lingkungan yang dihidupinya. Dari
corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukannya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna.
Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan
makanan.48
45Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 48. 46Uraian yang dikemukakan Al-Ghazali yang dapat ditelaah dari kitab-kitabnya
menunjukkan bahwa manusia tersusun dari materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang
berfungsi sebagai ‘abdi dan al-khalil Allah di bumi. Al-Ghazali, Jaw>ahir Al-Qur’a>n (Beirut, Libanon :
1997M/1417H), 50-53. Al-Ghazali, mengutip ayat Al-Qur’an Suarat Al-Haj ayat 5, 18, 61, lihat juga
Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n juz I. 47Al-Ghazali, Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n (Juz III), 3-4. Dan dapat dilihat juga dalam kitab Mukhtas}ar
Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n Jalan Menuju Penyucian Jiwa. (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 239-241 Cetakan Ke-
2 Januari 2010. Penerjemah Mujahidin Muhayan, Lc. Dkk 48Al-Ghazali menjelaskan bahwa setiap anak yang dilahirkan berada dalam keadaan Fithrah
tergantung orang tuanya lah yang memberikan pemahaman apakah mau di Yahudikan, Nashranikan
14
Demikian pula halnya dengan tabiat yang difitrahkan kepada anak, yang
merupakan kebajikan yang diberikan al-Khaliq kepadanya, tabiat ini dalam
keadaan berkekurangan dan dalam keadaan belum berkembang dengan-
sempuma. Tabiat ini mungkin dapat disempumakan serta diperindah dengan
pendidikan yang baik, yang oleh Al-Ghazali dipandang, sebagai salah satu
proses yang penting dan tidak mudah yang memerlukan sebuah konsep yang
sistematis dan bersifat praktis.
Sejalan dengan pemahaman Al-Ghazali yang mengatakan bahwa
penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang perihal
badan serta macam-macam penyakitnya, dan tentang cara-cara
penyembuhannya, demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan
pendidikan akhlak. Keduanya membutuhkan pendidik yang tahu tentang tabiat
dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya.
Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit, begitupun kebodohan
guru dan pendidik akan merusak akhlak siswanya. Sesungguhnya setiap
penyakit mempunyai obat dan cara penyembuhannya.49
Untuk mencapai tujuan supaya manusia berkarakter baik atau berakhlak
mulia tidaklah mudah, karena pada diri manusia tersebut harus tertanam rasa
keimanan kepada Allah Swt. keimanan itu terwujud dalam unsur ketuhanan
(Rabbaniyah}). Sehingga akan muncul penjelmaan unsur ketuhanan yaitu pada
diri manusia tertanam sifat kemalaikatannya, namun sebaliknya jika unsur-unsur
kemalaikatan terabaikan maka manusia akan dekat kepada pangkat hewan
rendah dan setan. Kedekatan unsur hewani dan setan membuat manusia jauh
dari Tuhan-Nya dan tentu akan menunjukkan akhlak buruk atau akhlak yang
tidak baik.50
Pemaknaan proses hidup sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghazali,
dapat diwujudkan dengan ditopang oleh kebulatan iman, sebab dengan
kebulatan iman manusia akan dapat mengokohkan kehidupan batin, dapat
atau Majusikan. Al-Ghazali, Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n (Juz III), 52. Dan Al-Ghazali, Jawa>hir Al-qur’an
serta Hadis Nabi SAW. 49Al-Ghazali berkata: "...demikian guru yang diikuti, yang mengobati jiwa siswa-siswanya
dan hati orang-orang yang diberi petunjuk, hakekatnya tidak membebani mereka dengan berbagai
latihan dan tugas dalam bidang khusus dengan beban metode yang khusus pula sebelun ia mengetahui
akhlaq serta penyakit mereka. Apabila dokter mengobati seluruh pasien dengan obat yang sama, maka
ia akan membunuh banyak manusia. Demikian pula halnya dengan guru. Apabila ia mengarahkan
seluruh siswa kepada satu macam pola latihan yang sama, niscaya ia akan menghancurkan mereka
dengan mematikan hati mereka. Oleh karena itu, hendaknya guru memperhatikan penyakit, keadaan,
usia dan tabiat serta motivasi pendidikannya". Al-Ghazali, Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n (Juz III), 52. 50Al-Ghazali, Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n (Juz III), mengemukakan sebagai berikut: 1. Manusia itu
terletak antara hewan yang rendah dan malaikat, sebab ia memiliki sifat-sifat asal dari keduanya.
Semakin banyak orang mengabaikan sifat kemalaikatannya maka semakin dekat ia kepada pangkat
hewan-hewan rendah dan setan. Tentang ini ada ayat-ayat Al-Quran yang menegaskannya. Semakin
banyak ia mengembangkannya maka ia semakin menyerupai malaikat. Sedang untuk menyerupai
malaikat, jadi semakin mendekati Tuhan, itulah tujuan perjuangan moral, 2. Prinsip-prinsip baik dan
buruk adalah potensi-potensi yang wujud pada struktur dan konstitusi manusia. Tiada seorang pun
dapat bebas dari dosa walaupun ia seorang wali. Bebas dari dosa hanya mungkin berlaku pada
malaikat sebab mereka tidak memiliki nafsu dan amarah.
15
mengembangkan perasaan moral, susila, dan akhlak, dapat membangun mental
dan spiritual yang stabil, dapat menyuburkan rasa keadilan dan perasaan.51 Pada
proses pembentukan karakter sehingga menjadi sebuah moral sangat dipengaruhi
oleh faktor kepercayaan (al-i>maan) yang pada akhirnya kembali pada sumber
awal pembentukan kepercayaan tersebut.52 Sehingga terbentuklah aliran-aliran
etika yang menjadi tolak ukur dari sebuah pembentukan nilai moral moral
tersebut.53
Kesenjangan antara pendidikan moral/akhlak yang diberikan oleh sebuah
lembaga pendidikan yang bersumber dari kurikulum yang diterapkan dengan
penyimpangan moral/akhlak yang terjadi dikalangan pelajar saat ini, apabila kita
ambil kesimpulan awal hal tersebut disebabkan oleh tiga kemungkinan:
Pertama, pelaksanaan pendidikan akhlak di sekolah masih banyak kekurangan
yang perlu ditinjau dan disempurnakan. Kedua, pendidikan moral/akhlak di
sebuah lembaga pendidikan dilihat dari sisi konsep maupun aplikasi pelaksanaan
hanya menitik beratkan kepada aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan
psikomotorik sebagai pengamalan akhlak sehari-hari belum sepenuhnya
tercapai. Ketiga, rancangan kurikulum pendidikan Islam khususnya pada tingkat
pengaplikasian belum sepenuhnya memenuhi dan sejalan dengan konsep
pendidikan Islam yang secara normatif dikehendaki oleh prinsip-prinsip
al-Qur’an, al-Al-Hadith serta pemikran para pakar pendidikan Islam yang
ketiganya merupakan sumber ilmu pendidikan Islam.
Ilmu pendidikan Islam ini memberikan bahan-bahan informasi tentang
pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya.54 Maka, dapat dikatakan bahwa
segala kegiatan kependidikan harus dilandaskan kepada ilmu pendidikan Islam
sebagai dasar tinjauan termasuk tentang konsep kurikulum untuk mendapatkan
sebuah konsep pendidikan yang lebih luas, mendalam, tajam, dan tepat sehingga
dapat menjadi pemecahan masalah pendidikan akhlak dikalangan pelajar saat
ini.
Sebuah lembaga pendidikan yang mempunyai tujuan terciptanya
generasi berkarakter islami hendaknya berperan untuk mengembangkan proses
51Al-Ghazali, Terjemahan Mukhtas}ar Ih}ya> ‘Ulum al-Di>n Jalan Menuju Penyucian Jiwa
(Jakarta: Pena Pundi Aksara). 257- 268. 52Bahwa sistem moralitas terbagi kepada dua blok: Pertama, Sistem moral yang berdasarkan
kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan yang telah mati yang bersumber kepada kitab suci
dan dapat kita temui pada sitem moral dalam Islam, Nasrani dan Yahudi. Kedua, Sistem moral yang
tidak mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber – sumber sekuler atau hanya mempergunakan akal
saja dalam mengambil sumber untuk membentuk moralnya. Abu Al-A’la Al-Maududi, Ethical View Point of Islam (Moralitas Islam), terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Publicita, 1971), 19, yang
dikutip oleh Faisal Ismail dalam bukunya, Paradigma Pemikiran Islam Studi Kritis dan Analisis Historis (Jakarta: PT. Mitra Cendikia, 2004), 165.
53Bahwa terdapat beberapa aliran etika antara lain: Aliran Hedonisme, aliran Intuisi, aliran
Evolusi, aliran Adat Kebiasaan, aliran Utilitarianisme, aliran Naturaliusme, aliran Vitalisme, dan
aliran Teologi. Faisal Ismail, Paradigma Pemikiran Islam Studi Kritis dan Analisis Historis (Jakarta:
PT. Mitra Cendikia, 2004), 166-169. 54Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 25. Lihat
juga Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992 cet
I), 12. Lihat juga Nur Uhdiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), 13-15.
16
pendidikan dengan berdasarkan kepada sistem pendidikan keagamaan dalam hal
ini penanaman muatan materi pembinaan terhadap keislaman harus lebih
ditojolkan dalam setiap pelaksanaannya dengan mengkolaborasikan sistem
kepesantrenan bagi siswa/i nya dan memiliki ciri khas pendidikan dengan
kedisiplinan yang islami juga menjadikan falsafah budaya lokal sebagai unsur
keistimewaan dab ciri khas sebab falsafah sunda sebagai falsafah lokal yang
dikembangkan dan dikorelasikan sebagai penanaman karakter yang luhur secara
prinsip memiliki tujuan dan mengandung makna sejalan dengan isi kandungan
dalam konsep pendidikan Islam.
Sehingga pada kenyataannya sebuah konsep pendidikaan yang
dibutuhkan saat ini adalah sebuah konsep pendidikan yang mengedepankan
sebuah keseimbangan antara aspek akal/fikiran atau aspek yang bersifat
jasmaniyah serta aspek spiritual atau rohaniyah dengan tidak mengesampingkan
aspek budaya loakal yang ada sehingga sebuah lembaga pendidikan bukan hanya
semata mengurusi masalah ilmu pengetahuan dan teknologinya saja namun juga
memberikan pendidikan aplikatif tentang akhlak dan budi pekerti sehingga
terbentuk seorang insan yang paripurna, antara akal dan hatinya, jasmani dan
rohaninya, serta keterampilan dan akhlaknya.55
Secara formal peran lembaga pendidikan yang dilaksanakan harus
mengaplikasikan integrasi ilmu pendidikan terhadap konsep agama. Secara
holistik terdapat beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi ilmu
terhadap agama, yaitu: Keesaan Allah (al-tauhid/sirna ning rasa) sebagai
kesadaran dan pengakuan tertinggi menjadi hamba Allah, keyakinan pada
realitas dan keterbatasan pengetahuan manusia, keyakinan pada alam yang
memiliki tujuan serta komitmen terhadap nilai-nilai moral.56 Berdasarkan hal
tersebut, sebuah lembaga pendidikan seperti lembaga pendidikan Al-Ma’soem
dalam melaksanakan pengembangannya perlu melakukan sebuah inovasi,
adapun sebagaimana dikutip oleh Maisah dalam journal Innovatio journal for religious innovation studies. Menururt A. Van de van, control problems in the management innovation lebih lanjut dalam todey rabbins, manging, (1994):
inovasi merupakan suatu ide baru yang dapat diaplikasikan dengan harapan
dapat menghasilkan atau dapat memperbaiki sebuah produk, proses maupun
jasa.57 Sementara Gibson mengartikan inovasi sebagai kekuatan dorongan yang
ada dalam diri yang akan mengarahkan perilaku.58
Terdapat beberapa hal yang memerlukan inovasi dalam dunia
pendidikan, diantaranya: standar proses pembelajaran, standar kelulusan siswa,
standar pembiayaan, standar sarana dan prasarana pendidikan, standar
55Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Tarbi>yah al-Isla>mi>yah wa madrasah Hasan al-Banna> (Kairo: Maktab
Wahbah, 1992), 23. 56Arqom Kuswanjono, Integrasi Ilmu & Agama Perspektif Filsafat Mulla> Sadra>
(Yogyakarta: Badan PenerbitFilsafat UGM, 2010), 87-90. 57 Maisah, Inovasi dan masa depan pendidikan, journal Innovatio journal for religious
innovation studies x, no. 1 (edisi januari – juni 2011), 84. 58Suwanto, Perilaku Keorganisasian (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1999), 77.
17
pengelolaan.59 Dimana semua komponen standar tersebut memerlukan fokus
manajemen yang berbeda-beda namun saling melengkapi.
Inovasi dalam sebuah lembaga pendidikan menurut Hamzah B. Uno,
antaralain: pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses
pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak, pendidikan
menghasilkan tindakan perdamaian, pendidikan anak berwawasan integratif,
pendidikan membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia
demokrasi, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan,
dan sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan.60
Dari pemaparan definisi inovasi tersebut diatas dalam kontek aplikatif,
sejalan dengan tujuan daripada kearifan budaya lokal yang terdapat dalam
falsafah kehidupan masyarakat Sunda adalah meletakkan pentingnya
keharmonisan hubungan antar manusia dan masyarakat (jiwa sosial) yang saling
ketergantungan (interdependency) satu dengan yang lainnya dengan tidak
melupakan jati diri dan habitatnya masing-masing hal tersebut merupakan
kesadaran yang harus dibangun bagi para anggota masyarakatnya.61 Untuk
membangun kesadaran tersebut, maka salah satu kearifan budaya yang menjadi
landasannya falsafah Sunda mengacu kepada jargon: silih asih, silih asah, silih asuh dalam kehidupan masyarakatnya. Jargon tersebut sangat dikenal dalam
kehidupan masyarakat Sunda yang perlu ditelusuri konsep dasarnya, mengapa
dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan masyarakat
untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dari pemahaman jargon tersebut
menjelaskan bahwa posisi budaya lokal seperti budaya Sunda yang diwakili oleh
jargon silih asih, silih asah dan silih asuh memiliki posisi sebagai sebuah
pendekatan yang berwawasan integratif kebangsaan, sekaligus penanaman akan
sebuah keharmonisan hubungan asosial antar sesama yang dibangun dari sisi
nurani individu.
Makna yang terkandung dalam jargon tersebut mengandung nilai-nilai
kebersamaan yang saling ketergantungan dalam kehidupan komunitas
masyarakat, yang secara tradisi telah tertanam melalui kebudayaannya. Silih asih dimaknai sebagai saling mengasihi dengan segenap kebeningan hati. Silih asah bermakna saling mencerdaskan kualitas kemanusiaan. Silih asuh tak pelak
lagi dimaknai kehidupan yang penuh harmoni.62 Orientasi dari konsep nilai yang
terkandung di dalamnya ternyata dapat dimaknai sebagai proses pemberdayaan
masyarakat dalam menumbuhkan keberdayaan individu dalam kehidupan
bermasyarakat yang berfungsi untuk mencapai kualitas kemanusian agar
berharkat dan bermartabat.
59Maisah, Inovasi dan masa depan pendidikan, journal Innovatio journal for religious
innovation studies x, no. 1, edisi januari – juni 2011 ), 91. 60 Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (problem, solusi, dan reformasi Pendidikan di
Indonesia) (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 9. 61HR Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayan Jati, (Bandung, Yayasan Nur Hidayah 2010), 126. 62HR Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayan Jati, (Bandung, Yayasan Nur Hidayah 2010), 106.
18
Jargon kearifan lokal tersebut dalam suatu komunitas masyarakat
memegang peranan penting untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap
perkembangan kebudayaan masyarakat tersebut. Karena kebudayaan dapat
diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk
mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki nasib
hidupnya.63 Dalam kebudayaan inilah teridentifikasi dan termanifestasi
kepribadian suatu masyarakat yang tercermin dalam orientasi yang
menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilai dalam persepsi untuk melihat
dan menanggapi dunia luarnya, sehingga pola serta sikap hidup yang diwujudkan
dalam tingkah-laku sehari-hari melalui gaya hidup yang mewarnai
kehidupannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
permasalahan mengenai “PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FILSAFAT
SUNDA: Aktualisasi Pendidikan Islam pada Lembaga Pendidikan berbasis Yayasan”. Sejalan dengan permasalahan yang akan dibahas tersebut, selanjutnya
dalam undang-undang RI. No 20 tahun 2003, mengenai pendidikan dijelaskan
bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”64 Secara
mikro pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, beretika (beradab dan berwawasan
budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (maju, cakap, kreatif, inovatif, dan
bertanggung jawab), berkemampuan berkomunikasi sosial (tertib dan sadar
hukum, komperatif dan kompetitif, demokrasi), dan berbadan sehat sehingga
menjadi mandiri.65
B. Permasalahan
1) Identifikasi Masalah
Apabila ditinjau dari sisi keilmuan terdapat beberapa permasalahan
yang muncul yang terkait dengan Konsep pendidikan karakter pada sebuah
konsep lembaga pendidikan apabila ditinjau dari perspektif kearifan budaya
Sunda dalam makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Relevansinya bagi
pembentukan manusia yang berkarakter. studi ini merupakan sebuah upaya
pengembangan pendidikan karakter berbasis filsafat Sunda pada sebuah
lembaga pendidikan yang menggunakan konsep pendidikan berbasis pada
Agama yang sinergi dengan budaya lokal dengan berobjek material berupa
63Poespowardojo, Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda (Bandung: PT. Kiblat
Buku Utama 2011), 275. 64Undang-Undang RI. No. 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Penjelasannya (Yogyakarta: Media Wacana Press, 2003), 12. 65E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya,
2003),21
19
makna silih asih, silih asah, silih asuh dengan objek formal berupa filsafat
nilai. Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana proses bimbingan pendidikan karakter yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan yang berdasar pada filsafat Sunda dalam perspektif
Agama Islam?
b. Bagaimana model pendidikan yang digunakan dalam proses integrasi
ilmu pengetahuan terhadap Agama pada lembaga pendidikan berasis
pemahaman makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh dalam filsafat
Sunda?
c. Bagaimana realisasi praktis yang digunakan dari sebuah konsep
pendidikan karakter baik secara kurikulum, metode, peserta didik,
pendidik, media pendidikan, sarana prasarana, dan lain-lain yang
terkandung dalam manajemen pendidikan melalui realisasi makna nilai
silih asih, silih asah, silih asuh ?
2) Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang detail dan tidak bersifat
umum, kerena itu, penulis akan membatasi masalah hanya pada realisasi
praktis terhadap konsep bimbingan lembaga pendidikan berbasis filsafat
Sunda dalam membina karakter peserta didik.
3) Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas, maka masalah
penelitian tesis ini dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai
berikut: Bagaimana realisasi pendidikan karakter berbasis filsafat Sunda
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Al-Ma’soem ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai peran
sebuah lembaga pendidikan dalam merumuskan dan mengaplikasikan konsep
pendidikan yang berdasarkan kepada keilmuan dan keagamaan. Secara lebih
rinci tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menelaah serta menganalisa konsep lembaga pendidikan
berbasis filsafat Sunda;
2. Menelaah pelaksanaan metode bimbingan dan pengajaran pendidikan
karakter lembaga pendidikan berbasis filsafat Sunda.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan atau manfaat dari penelitian ini dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) klasifikasi kegunaan atau manfaat, yaitu:
1. Manfaat dan Kegunaan secara Teoritis Akademis, secara konseptual hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan untuk mengembangkan
20
prinsip-prinsip pelaksanaan Pendidikan Karakter Lembaga Pendidikan
Islam berbasis filsafat Sunda dalam konteks praktis.
2. Maanfaat dan Kegunaan secara Praktis, secara praktis hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kearah pengembangan
konsep bimbingan pendidikan karakter yang telah diaplikasikan oleh
lembaga Pendidikan Al-Ma’soem dalam rangka mengembangkan konsep
pendidikan karakter.
3. Manfaat dan Kegunaan secara rinci hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat untuk berbagai pihak, yaitu :
a. Sebagai bahan renungan atau refleksi bagi lembaga pendidikan berbasis
lembaga akan keberhasilan dari proses pendidikan yang telah
dilaksanakan dalam membina karakter peserta didik.
b. Memberikan umpan balik (feed back) bagi para pembimbing/guru dalam
merumuskan prioritas program bimbingan yang dilaksanakan dalam
upaya membantu peserta didik mewujudkan konsep pendidikan karakter
berdasarkan Konsep Ilmu Pendidikan Islam.
c. Memberikan bahan informasi dan kajian empiris bagi para ahli
kurikulum pendidikan, khususnya dalam mengembangkan formula pada
lembaga pendidikan yang tepat mengenai pelaksanaan bimbingan
pendidikan secara terintegrasi dan terfokus pada pencapaian konsep
akhlak/moral berdasarkan ajaran pendidikan karakter dalam Islam.
E. Kajian Terdahulu yang Relevan
Selama perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, konsep pelaksanaan
pendidikan pada sebuah lembaga pendidikan telah banyak mengalami
perubahan, sehingga menimbulkan perhatian yang lebih dari setiap pengamat
pendidikan dan juga setiap lapisan masyarakat sebagai pelaku terkait dalam
pendidikan. Terdapat beberapa kajian penelitian yang dilakukan sejalan dengan
konsep pembinaan bimbingan pendidikan dalam pembentukan karakter peserta
didik. Diantara penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini
antaralain:
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat Suryalaga,66 dengan judul “Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh: Kearifan Budaya Sunda dalam Proses Menata Lingkungan Hidup yang Harmonis”. Judul penelitian tersebut merupakan salah
satu pokok bahasan dalam buku yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati telah
diterbitkan 3 edisi, dan edisi terakhir diterbitkan tahun 2010. Dalam tulisan
tersebut disimpulkan bahwa, bila disimak dengan cermat, ternyata nilai-nilai
pandangan hidup yang terkandung dalam Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh
sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seandainya dapat
diterapkan dalam proses komunikasi keseharian, insya-Allah akan mewujudkan
66 HR Hidayat Suryalaga, Kasundaan Rawayan Jati, (Bandung, Yayasan Nur Hidayah 2010),
144.
21
masyarakat tatar Sunda yang tata tengtrem karta raharja. Pada gilirannya
semoga menjadi kontribusi orang Sunda pada negara dan bangsa Indonesia serta
kemanusiaan yang universal untuk mewujudkan kehidupan Madani Mardhotillah
di Buana Panca Tengah ini, sebagai kritik terhadap penelitian tersebut diatas
adalah bahwa konsep yang disodorkan oleh suryalaga hanya fokus dari sisi
pemaparan pilosofis jargon tersebut semata tidak dalam teknik aplikatif
pendidikan secara langsung.
Penelitian Hilmiana,67 dalam disertasinya berjudul “Pengaruh Perilaku Budaya Sunda dan Kepemimpinan serta Orientasi Gender terhadap Etos Kerja di Lingkungan Bisnis Perbankan di Kotamadya Bandung, yang memberikan
kesimpulan bahwa, bagi orang yang bekerja di tatar Sunda, pengaruh dari
perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh jelas signifikan pada
pengembangan semangat kerja. Artikulasi budaya Sunda seringkali dilakukan
secara kurang cermat dalam mengartikulasikan perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh, orang sering mengabaikan mutualitasnya. Banyak orang pada
waktu ditanya apa makna dan perilaku Budaya itu, sering menyatakan perilaku
tersebut sebagai perilaku Asih, Asah, dan Asuh, serta mengabaikan aspek Silih-
nya. Pengabaian aspek mutualitas ini dapat menimbulkan bias yang besar dan
dapat mengurangi nilai dari suatu penelitian dengan perilaku ketiga budaya ini.
Praktek kepemimpinan di lingkungan Bank yang beroperasi di tatar Sunda,
diperkirakan masih kuat dipengaruhi oleh Budaya Sunda, khususnya yang
dipresentasikan oleh perilaku budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh.
Hilmiana merekomendasikan dalam penelitian tersebut, bahwa apabila dikaji
secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku Budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh secara bersama-sama merupakan tonggak bagi
tumbuhnya budaya belajar yang kini mulai banyak dikembangkan di lingkungan
organisasi di seluruh dunia. Karena itu, di sini disarankan agar di masa depan,
konsep Budaya Sunda ini diartikulasikan dalam konteks belajar organizational.
Dengan cara ini konsep budaya Sunda dapat memiliki daya tarik untuk
diterapkan secara universal. Penelitian ini merupakan penelitian awal.
Jacob Sumardjo68 dalam hasil penelitiannya, yang ditulis dalam buku
dengan judul”Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda”
pada tahun 2009, di dalamnya membahas tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh sebagai salah satu pokok bahasan dalam buku tersebut menyimpulkan
bahwa hetrogenitas dalam homogenitas, sebuah paradoks. Justru kelestarian
budaya Sunda akibat dari penciptaan paradoks ini. Dalam pengertian modern,
memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asih, bersilih asah dan bersilih asuh, tetapi tidak setiap orang mampu mengasih, mengasah, mengasuh.
Kenyataan bhineka diakui oleh budaya Sunda, bahwa setiap manusia itu
berbeda-beda, yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi
67 Hilmiana, Pengaruh Perilaku Budaya Sunda Dan Kepemimpinan Serta Orientasi Gender
Terhadap Etos Kerja Di Lingkungan Bisnis Perbankan Di Kotamadya Bandung, (Bandung, Desertasi
Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan), 204-205. 68 Jacob Sumardjo, Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tasir-tafsir pantun Sunda,
(Bandung: Kelir, 2009), 338 – 342.
22
yang miskin, yang kuat mengasuh yang lemah. Perbedaan-perbedaan itu harus
disatukan dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang
lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan, yang ketiganya berbeda namun saling
melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap
mempertahankan aslinya yang dimaknai sebagai homogenitas.
Garna,69 dengan judul ”Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan”, menyimpulkan bahwa hubungan antara sesama yang mengandung
nilai-nilai dasar yang manusiawi memiliki berbagai sisi dalam menghargai orang
lain seperti diungkapkan oleh ’silih asih, silih asah,silih asuh’. Ungkapan itu
juga mengandung makna kesetaraan dan mendidik serta menghendaki diri
sendiri, orang lain, dan siapapun manusia untuk saling mengasihi, saling
mengasah (membina) dan saling mengasuh dalam menciptakan masyarakat yang
teratur, tenteram dan kewibawaan setiap orang yang saling berhubungan itu
dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Herlina Lubis,70 dalam makalahnya yang termuat dalam Prosiding
Konferensi Internasional Budaya Sunda tahun 2006 dengan judul “Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda”, menyimpulkan bahwa, konsep silih asih, silih asah, silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting dalam membina
hubungan antar masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik. Penelitian
ini menunjukan bahwa bagaimana sebuah konsep budaya lokal melalui jargon
SA menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pendidikan non formal
bermasyarakat, maka berbeda dengan penelitian ini yang justru konsep jargon
tersebut bukan hanya dalam keseharian pendidikan non formal melainkan dalm
lembaga pendidikan formal guna membentuk masyarakat yang baik.
Warnaen dkk.,71 dalam hasil penelitiannya berjudul “Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda”,
menyimpulkan bahwa pada dasarnya hubungan antara manusia dengan sesama
manusia itu harus dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Artinya, saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh sehingga
tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan,
kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, tetapi tidak boleh sekedar terbawa-
bawa akan tetapi harus menjadi sebuah karakter dari bangsa tersebut.
Thomas Lickona,72 dalam bukunya “Educating for character : How Our School Can Teach Respect and Responsibility ” secara gambalang menjelaskan
bahwa bagimana lembaga pendidikan seharusnya dapat memberikan pelayanan
69 Garna, Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, (Bandung; Lembaga
Penelitian UNPAD dan Judistira Garna Foundation, 2008), 140. 70 Herlina Lubis, Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, (Bandung, Yayasan
Kebudayaan Rancage bekerjasama dengan PT. Dunia Pustaka Jaya, 2006), 273 – 274. 71 Warnaen dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan
dan Sastra Sunda, (Bandung, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda
(Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1987-
1988), 19. 72Thomas Likona, Terjemahan Educating For Character; How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility (Jakarta, Bumi Aksara : 2012).
23
pendidikan mengenai sikap hormat serta tanggung jawab atau moral kepada
peserta didik secara berkelanjutan (never ending proces).
Sri Wahyuni Tanshzil,73 mengatakan bahwa sebuah model pendidikan
karakter yang dikembangkan dalam lingkungan pondok pesantren meliputi nilai
fundamental, instrumental serta praksis yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-
Al-Hadith serta nilai-niai luhur Pancasila merupakan sebuah proses pembinaan
pendidikan karkater dalam membangun kemandirian dan disiplin santri yang
dilaksanakan dengan pendekatan menyeluruh, melalui pembelajaran, kegiatan
ekstrakulikuler, pembiasaan, serta kerjasama dengan masyarakat dan keluarga
yang dilaksanakan melalui metode pembiasaan, pemberian pelajaran atau
nasihat, metode pahala dan sanksi, serta metode keteladanan dari para kiyai
serta pengajarnya. namun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan metode
pembinaan karakter dalam membangun kemandirian dan kedisiplinan santri
bersifat internal dan eksternal dengan k eunggulan hasil yang dikembangkan
dalam membangun kemandirian dan kedisiplinan santri dibuktikan dengan
adanya perubahan sikap, tatakrama serta prilaku santri; munculnya kemandirian
santri dalam berfikir dan bertindak; Munculnya kedisiplinan santri dalam
mengelola waktu serta menaati tata peraturan, serta lahirnya figur-figur panutan
dalam lingkungan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, keagamaan,
kesehatan serta organisasi kemasyarakatan.
Rasyd Yunus,74 menyatakan bahwa transformasi budaya huluya atau
sifat kebersamaan yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat dan penguasa
merupakan dasar untuk membentuk sebuah struktur karakter sebuah bangsa,
dengan mengaplikasikan seluruh tahapan yang termasuk dalam budaya huluya tersebut antara lain: kegiatan dalam bentuk ambu (budaya tolong menolong
untuk kepentingan umum), hileya (budaya tolong menolong yang dilakukan
secara spontanitas) dan huluya dalam Ti’ayo (budaya tolong menolong yang
dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang.
Dengan kesimpulan bahwa pengembangan pembentukan karakter bangsa dapat
dilaksanakan dengan mengaplikasikan atau membiasakan pelaksanaan nilai-nilai
budaya yang mendasari suatu daerah sebagai contoh budaya huluya Gorontalo.
Jalaludin,75 menyatakan bahwa pendidikan holistik berbasis karakter
yang menekankan pada dimensi etis religius menjadi sangat relevan untuk
diterapkan dalam membangun SDM bangsa dewasa ini, sebagai suatu konsep
73Sri Wahyuni Tanshzil, Model Pembinaan Pendidikan Karakter Pada Lingkungan Pondok
Pesantren dalam Membangun Kemandirian dan Disiplin Santri (sebuah kajian pengembangan
pendidikan kewarganegaraan) Jurnal Penelitian Pendidikan vol. 13. no. 2 oktober tahun 2012.
http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/edition/244/vol-13.-no:-2-oktober-2012 diunduh tanggal 26
juni 2013. 74Rasyd Yunus, Transformasi Nilai-nilai Buadaya Lokal Sebagai Upaya Pembangunan
Karakter Bangsa (Penelitian Studi Kasus Budaya Huyula di Kota Gorontalo) Jurnal Penelitian Pendidikan vol. 14 no. 1 April 2013. http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/edition/281/vol-14,-
no.-1-april-2013 diunduh tanggal 26 juni 2013. 75Jalaludin, Membangun SDM Bangsa Melalui Pendidikan Karakter. Jurnal Penelitian
Pendidikan vol. 13. no. 2 oktober tahun 2012. http://jurnal.upi.edu/penelitian-
pendidikan/edition/244/vol-13.-no:-2-oktober-2012 diunduh tanggal 26 juni 2013.
24
pendidikan yang bertujuan untuk menerapkan dan mengembangkan pendidikan
individu yang dapat menemukan identitas, makna dan nilai-nilai spiritual.
Dengan demikian konsep pendidikan karakter ini dianggap dapat membentuk
generasi bangsa yang memiliki karakter yang mengakar pada nilai-nilai
tradisi/budaya dan nilai-nilai religius bangsa.
Aang Kunaepi,76 menjelaskan bahwa untuk membangun karakter peserta
didik yang mempunyai karakter yang baik dibutuhkan sebuah konsep pendidikan
yang menerapkan metode humanis dan internalisasi nilai-nilai Islam, moral dan
budaya religius dalam keseluruhan proses pendidikan.
Lisa D. Lucas,77 dalam penelitian Desertasinya “Character Education as Perceived and Implemented by Selected Middle School Teachers of One Rural County in West Virginia”, menjelaskan bahwa pentingnya penggunaan metode
lima proses pendekatan yaitu: rasa hormat, tanggung jawab, kepercayaan,
kepedulian, keadilan, dan kewarganegaraan sebagai sebuah model pendidikan
dalam meningkatkan sebuah proses penilaian terhadap peningkatan perhatian
guru sebagai proses pendekatan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi memiliki arti sebagai ilmu atau uraian tentang metode.
Sedangkan metode memiliki arti cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu yang dikehendaki, atau cara
kerja yang dilakukan secara sistemik untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.78
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini tergolong kategori penelitian lapangan (field Research)
Jenis penyampaian data yang digunakan adalah dengan metode pendekatan
kualitatif,79 dengan cara mendeskripsikan dan menganalisis fenomena,
peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi pemikiran orang
secara individual atau kelompok.80 yaitu menelaah sejumlah data hasil
penelitian lapangan yang berkaitan dengan masalah yang hadapi yaitu
76 Aang Kunaepi, Membangun Pendidikan Tanpa Kekerasan Melalui Internalisasi PAI dan
Budaya Religius. Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi no. I vol. IV. 2011. http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/viewFile/2775/2555 diunduh tanggal 03 Juli 2013.
77 Pendekatan yang digunakan dalam memberikan pendidikan karakter antarlain:
pendekatan kurikuler, ekstrakurikuler, keteladanan, kontekstual, dan struktural. Lisa D. Lucas,
Character Education as Perceived and Implemented by Selected Middle School Teachers of One Rural
County in West Virginia (Morgan town: Desertasi Doctor of Education in Curiculum & Instruction,
West Virginia University), 2009. 78 Tim penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: BalaiPustaka, 2007),
740-741. 79 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosda
Karya,1991),cet ke-III. 3 80Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006), 60.
25
aktualisasi realitas bimbingan pengembangan pendidikan karakter yang
dilaksanakan pada lembaga pendidikan yang berbasis yayasan.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diteliti adalah data hasil observasi, wawancara, studi
dokumentasi dan penelaahan terhadap realitas pengembangan pendidikan
karakter yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan Islam berbasis lembaga,
maka data yang terkumpul dapat diklasifikasikan ke dalam data kualitatif.81
Sedangkan Penentuan sumber data dilakukan dengan teknik criterian based selection.82 Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk memilih “data
apa” dan “informan siapa” yang dianggap mampu menyajikan data dan
mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya
untuk mencari sumber data yang mantap dan lengkap. Dalam penelitian ini
sumber data dapat dipilah menjadi dua, data primer dan data skunder.
Sumber data yang dijadikan adalah lembaga pendidikan yaitu Lembaga
Pendidikan Al-Ma’soem yang beralamatkan di Jl. Raya Cileunyi–Rancaekek
No. 22 Jatinangor–Sumedang
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung atau data dasar.83
Adapun yang dijadikan sumber data primer adalah konsep pelaksanaan
lembaga Pendidikan berbasis filsafat Sunda. Sementara data sekunder yaitu
data yang diperoleh dari sumber data kedua, atau sumber skunder dari data
yang dibutuhkan.84 Posisi data sekunder ini akan menjelaskan data primer.85
Data sekunder ini berupa buku, hasil penelitian, peraturan dan perundang-
undangan, serta artikel ilmiah di berbagai jurnal yang terkait dengan topik
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data sebagai bahan penelitian, cara yang
digunakan adalah dengan teknik non-interaktif dan interaktif.86 Pertama,
teknik non interaktif ditempuh dengan studi kepustakaan atau dikenal
81Data kualitatif melibatkan pengukuran tingkatan sesuai ciri khas tertentu dari objek yang
diteliti. Lebih lanjut Lexy J. Moleong menyatakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang dan
prilaku yang diamati. Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1997).2 82H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar, Teori dan Terapannya dalam
Penelitian, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2002), 54. 83Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya), (Jakarta: Kencana, 2006), 30. Lihat juga, Soejono Soekanto
dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 12. 84 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan
Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya), 30. 85Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, 15. 86H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar, Teori dan Terapannya dalam
Penelitian, 58.
26
dengan metode dokumenter.87 Melalui teknik ini, akan diperoleh berbagai
data tentang proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam berbasis lembaga
terkait dengan standar pendidikan yang terdapat pada lembaga pendidikan
pendidikan Al-Ma’soem.
Kedua, teknik interaktif dilakukan dengan melakukan wawancara,
yaitu percakapan dengan maksud tertentu.88 Pada metode ini peneliti dan
responden berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi
secara lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan
permasalahan penelitian.
Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah meliputi
berbagai unsur: pengurus dan staf serta guru dan karyawan lembaga
pendidikan Al-Ma’soem. Teknik wawancara dalam penelitian ini
menggunakan dua bentuk, seperti kemukakan oleh Michael Quinn Patton:
wawancara pembicaraan informal (informal conversational interview) dan
wawancara terbuka yang standar (standardized open-ended interview).89
Model pertama digunakan untuk menggali informasi secara tidak
terstruktur dan tidak kaku tapi mengarah pada kedalaman informasi.90 Ini
juga berguna untuk memangkas jarak antara peneliti dengan informan.
Sementara model kedua berfungsi untuk menyempurnakan pembicaraan
informal dengan tetap mengacu pada pertanyaan baku yang telah dirumuskan
secara sistematis. Dengan demikian, proses pengambilan data melalui
wawancara dapat terarah dan terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan.
4. Teknik Analisis Data
Analisis dari data kualitatif secara khas adalah satu proses yang
interaktif dan aktif. Morse dan Field mencatat, bahwa analisis kualitatif
adalah proses tentang pencocokan data bersama-sama, bagaimana membuat
yang samar menjadi nyata, menghubungkan akibat dengan sebab. Juga
merupakan suatu proses verifikasi dan dugaan, koreksi dan modifikasi, usul
dan pertahanan.91 Atas dasar itu, teknik inilah yang akan digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini.
Pada tahap implementasi, analisis data pada penelitian ini
menggunakan empat proses analisis kualitatif sebagaimana yang digagas
oleh Morse dan Field. Pertama, memahami. Awal proses analitik, peneliti-
87Lebih rinci, teknik kini dapat dilihat pada Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba,
Naturalistic Inquiry, (Baverly Hill: Sage Publication, 1981), 228. 88Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 135. 89Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation and Research Methods, (Newbury Park:
Sage Publication, 1990), 280-290. Lihat juga, Catherine Marshal & Gretchen B Rossman, Designing Qualitative Research, (California: Sage Publication, 1995), 180.
90Walliman Laurence Nauman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, (International: Pearces Education, 2006), 284.
91J. M. Morse and Field P. A., Qualitative Research Methods for Professionals (2nd ed.).
(Thousand Oaks, CA: Sage, 1995), 84.
27
peneliti kualitatif berusaha untuk bisa mempertimbangkan data dan
menghubungkan satu sama lain. Bila pemahaman telah dicapai, peneliti akan
menyajikan secara deskriptif. Kedua, sintesis. Sintesis meliputi penyaringan
data dan menyatukannya. Pada langkah ini, peneliti mendapatkan pengertian
dari apa yang “khas” mengenai suatu obyek dan apa variasi dan cakupannya.
pada akhir proses sintesis, peneliti dapat mulai membuat pernyataan umum
tentang obyek yang dikaji. Ketiga, teoritis. Yaitu meliputi sistem pemilihan
data. Selama proses teori, peneliti mengembangkan penjelasan alternatif dari
obyek penelitian dan kemudian menjaga penjelasan ini sampai menentukan
apakah “cocok” dengan data, proses teoritis dilanjutkan untuk dikembangkan
sampai yang terbaik dan penjelasan paling hemat diperoleh. Keempat, rekontextualisasi. Proses dari rekontextualisasi meliputi pengembangan teori
lebih lanjut dan aplikabilitas untuk kelompok lain yang diselidiki, didalam
pemeriksaan terakhir pengembangan teori, adalah teori harus generalisasi dan
sesuai konteks. 92
G.Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan hasil penilitian tesis ini, penulis
menggunakan sistematika yang di sampaikan dalam buku pedoman penulisan
yang dikeluarkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,93
dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama menjelaskan tentang pendahuluan, yang membahas tentang
latar belakang masalah, permasalahan; identifikasi masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan atau
tinjauan pustaka, tujuan penelitian, manfaat penelitian; baik manfaat secara
teoritis, manfaat secara praktis dan manfaat bagi beberapa pihak secara
terperinci, metode penelitian serta sistematika penulisan hasil penelitian.
Pada Bab ke-dua penulis menjelaskan tentang perdebatan akademik atau
landasan teori serta landasan berfikir tentang konsep umum pendidikan karakter,
pendidikan karakter dalam perspektif Islam, serta pendidikan karakter dalam
perspektif filsafat Sunda.
Pada Bab ke-tiga penulis mengetengahkan tentang relasi agama dan
filsafat Sunda dalam pembentukan lembaga pendidika al-Ma’soem. Kajian pada
bab ini dimaksudkan untuk menggambarkan secara seksama proses dinamika
pemikiran keagamaan dan kebudayaan dalam membentuk sebuah lembaga
pendidikan al-Ma’soem, selain dari pada hal tersebut peneliti juga hendak
memaparkan tentang Biografi H. Ma’soem sebagai pendiri lembaga pendidikan
Al-Ma’soem, serta, ciri khas lembaga pendidikan yang berbasis filsafat sunda,
serta hubungan interaksi konsep agama Islam dengan filsafat Sunda dalam
92J. M. Morse and Field P. A., Qualitative Research Methods for Professionals (2nd ed.).
(Thousand Oaks, CA: Sage, 1995), 105. 93Team, Pedoman Penulisan Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan
Notes dalam Karya Ilmiah, (Jakarta, SPS Uin Syahid : 2011)
28
konsep lembaga pendidikan al-Ma’soem.
Pada Bab ke-empat penulis menjelaskan tentang realitas pendidikan
karakter pada lembaga pendidikan berbasis filsafat Sunda. Meliputi filsfat
Sunda sebagai dasar implementasi pendidikan karakter, serta praktek penerapan
budaya pendidikan yang meliputi aspek pengorganisasian, struktur Kurikulum,
materi bahan pelajaran guru dan tim pengajar.
Pada Bab ke-lima merupakan penutup yang membahas tentang
kesimpulan, saran serta rekomendasi terhadap hasil penelitian.