Pendidikan karakter antikorupsi Oleh I Putu Mas Dewantara

download Pendidikan karakter antikorupsi   Oleh I Putu Mas Dewantara

If you can't read please download the document

Transcript of Pendidikan karakter antikorupsi Oleh I Putu Mas Dewantara

15Pendidikan Karakter Antikorupsi:Upaya Menyikapi RealitaOleh I Putu Mas Dewantara1. PendahuluanKorupsi merupakan sebuah masalah pelik yang tiada habisnya diperbincangkan di negeri rupiah ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai pada sanksi hukum tindakan korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum berbuah maksimal. Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di sekitar kita. Bahkan jika mau jujur, korupsi sudah dilakukan secara terang-terangan (masyarakat menyebutnya rahasia umum [?]). Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak mudah. Sebab para koruptor ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Betapa terkejutnya publik saat seorang koruptor bisa ke luar tahanan dan menonton pertandingan olah raga di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda tempat-tempat yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor. Begitu besar kekuatan uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Sebelum kasus ke luarnya koruptor dari balik jeruji besi, negari ini juga pernah dihebohkan dengan ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. AC, TV, DVD, dan perlengkapan lain menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang telah dilakukan. Sebelum berbicara lebih jauh menyangkut korupsi di negeri ini, penting rasanya untuk mengetahui apa korupsi itu agar dapat dilakukan pelabelan tindakan mana yang tergolong korupsi dan mana tindakan yang bukan korupsi. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Menurut Tegar (2010) timbulnya korupsi disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya budaya lokal. Budaya yang dianut dan diyakini masyarakat kita telah sedikit banyak menimbulkan dan membudayakan terjadinya korupsi. Pada masyarakat Jawa dikenal budaya Patron-Klien. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan Klien terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap Patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan Patron, serta membenarkan setiap tindakan Patronnya. Hal tersebut didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal dari Patron dianggap memiliki nilai budaya luhur. Keadaan ini mengakibatkan Patron memiliki kebebasan dalam bertindak, termasuk tindakan yang tidak terpuji, anti-manusiawi, merugikan orang lain yang kemudian disebut korupsi. Umunya Klien sering memberikan barang-barang tertentu kepada Patronnya, dengan harapan mereka akan diberikan pekerjaan ataupun upah lebih tinggi. Klien juga memberikan penghormatan yang berlebihan kepada Patronnya. Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran korupsi tersebut disebut dengan continous imitation (peniruan korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa terjadi tanpa disadari oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya. Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.Di era reformasi seperti sekarang ini, masih jarang dijumpai masyarakat secara individual yang memiliki keberanian mengungkap kasus korupsi. Korupsi yang sudah dilakukan secara sistematis dan terorganisir mungkin adalah salah satu penyebab ketakutan setiap orang untuk membedah tindak korupsi. Siapa yang berontak akan sangat mungkin malah tersisihkan. Hal ini tentunya akan berujung pada keterbatasan ruang gerak si pembedah korupsi. Salah satu contoh praktek korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan calon pegawai negeri. Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit untuk dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor penegak hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus ini. Ironisnya, pelajar yang dalam hal ini dikategorikan sebagai orang terdidik tidak mampu berbuat banyak. Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Ketakutan dan kecemasan tentunya muncul ketika seseorang dihadapkan pada sebuah sistem yang kukuh. Ketakutan dan kecemasan itu muncul karena adanya ancaman terhadap nilai eksistensi dasar manusia (Teori Rollo May dalam Friedman dan Schustack, 2006). Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu memberikan bekal keberanian dan kesetiaan akan kejujuran? Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti.Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Apa yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini.Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan pembenahan-pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang gencar dibicarakan belakangan ini adalah masuknya pendidikan karakter antikorupsi pada tingkat pendidikan prasekolah hingga perguruan tinggi pada tahun ajaran 2011. Kurikulum tersebut, menurut Mendiknas, Muhammad Nuh, nantinya akan masuk dalam silabus-silabus mata pelajaran. Sedangkan pengajarnya adalah guru-guru yang telah diberi training bagaimana mengajarkan pendidikan karakter antikorupsi. Penyebaran pendidikan antikorupsi ini pun akan dilakukan secara bertahap.Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter antikorupsi tidak berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas menganalogikan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu melekat dalam diri seseorang.Pendidikan antikorupsi sesungguhnya abstrak, bukan melalui logika saja. Pendidikan ini memerlukan tahap penalaran, internalisasi nilai dan moral, sehingga mata pelajarannya didesain tidak hanya menekankan aspek kognitif, melainkan lebih pada aspek afektif dan psikomotorik (http://www.riaumandiri.net). Menekankan bagaimana agar anak didik melakukan sesuatu, atau menghindari sesuatu untuk mendapat pengharagaan sosial dari orang lain. Bagi anak-anak, proses penalaran moral berkembang sejalan dengan proses belajar sendiri dan belajar dari lingkungan. Melalui pendidikan antikorupsi yang terarah dan efektif, terbuka kemungkinan internalisasi nilai-nilai. Peran guru, orang tua, dan orang-orang di sekitar menjadi kunci. Mereka harus memberi teladan berperilaku antikorupsi, terutama berperilaku jujur sebagai dasar pembentukan karakter secara dini.Pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter antikorupsi mengambil pengalaman-pengalaman berupa best practices masyarakat transparansi internasional dan pengalaman kita dengan pendidikan P4. Hal yang harus dihindari adalah adanya indoktrinasi, pembelajaran yang menekankan pada aspek hafalan semata-mata. Pendidikan karakter antikorupsi haruslah bermakna belajar dengan mengalami atau experiential lerning jadi tidak sekadar mengkondisikan para peserta didik hanya untuk tahu, namun juga diberi kesempatan untuk membuat keputusan dan pilihan untuk dirinya sendiri. Peserta didik kita seringkali hanya diberi pengetahuan normatif sesuatu hal namun tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri mengapa siswa harus mengambil keputusan tertentu dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah siswa ambil.Program pendidikan karakter antikorupsi bertujuan untuk memberikan pemahaman yang sama dan terpadu serta terbimbing dalam rangka menekan kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan korupsi. Kemudian harapannya berdampak pada adanya respon atau tanggapan balik dari rakyat untuk bisa menyuarakan kearifannya mengenai penyimpangan korupsi. Di samping itu juga bertujuan untuk membentuk kesadaran publik terhadap setiap kegiatan yang mengarah kepada adanya tindakan korupsi oleh para penguasa atau pengambil kebijakan yang tidak mempedulika rakyat (Tim MCW dalam http://niamw.wordpress.com).Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan seketika. Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum maksimal. Banyak pelaku tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu, jalur pendidikan ditilik sebagai wahana terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan moral generasi penerusnya. Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum tentunya mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pelaksanaan program ini. Untuk itu perlu rasanya dilakukan suatu pengkajian mengenai kelemahan dan keunggulan pendidikan karakter antikorupsi yang hangat dibicarakan sekarang ini.2. PembahasanA. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Bukan SolusiDalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, arah pendidikan nasional dinyatakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kata cerdas sering kali dianggap tidak mencakup aspek moralitas, sehingga dirasa tidak mencukupi. Dikotomi ini senantiasa muncul dalam tujuan pendidikan nasional sehingga rumusannya tidak pernah simpel.Sejatinya istilah mencerdaskan meliputi penyempurnaan akal budi, nalar, watak, dan bahkan fisik. Perkembangan psikologi kognitif dewasa ini menunjukkan bahwa ranah kecerdasan yang sebelumnya seolah sebatas intelegensi (intelligence quotient/IQ), kini meluas hingga pada kecerdasan emosional (emotional quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Malah Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul Multiple Intelligence memperkenalkan kecerdasan majemuk yang terdiri atas tujuh jenis intelegensi, yaitu intelegensi musik, kinestik, logis-matematis, linguistik, spasial, interpersonal, dan intrapensonal (dalam Tilaar, 2000).Rencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum dengan tujuan mengatasi krisis moral yang terjadi memunculkan sikap pesimis masyarakat. Mereka beranggapan bahwa menggagas pendidikan karakter antikorupsi bukanlah solusi yang tepat mengatasi masalah korupsi yang melanda negeri ini. Ada beberapa alasan yang dilontarkan guna menolak gagasan pendidikan karakter antikorupsi masuk kurikulum.Pertama, akan menyamarkan arah pendidikan nasional. Mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah akan menggiring proses pendidikan kita semakin masuk ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan, yang ditandai oleh indoktrinasi nilai-nilai yang cenderung membelenggu akal sehat. Akibatnya, bangsa ini akan menjadi semakin irasional dan tidak kreatif. Dengan demikian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak akan pernah tercapai.Kedua, pelaksanaannya di tingkat sekolah akan sulit dihindari korelasinya dengan mata pelajaran tertentu yang disangka berpengaruh besar pada pembentukan karakter, seperti pendidikan agama, moral, budi pekerti, kewarganegaraan, dan pendidikan nilai lainnya. Padahal berbagai nilai kebajikan telah diajarkan sejak dulu melalui bidang studi tersebut. Namun kenyataannya masyarakat kita pada hari ini bagai tidak beranjak dari Manusia Indonesia, seperti digambarkan oleh Mochtar Lubis pada 1977: hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, dan berwatak lemah.Ketiga, lembaga pendidikan dalam sebuah negara merupakan sebuah subsistem sosial-politik, sehingga apa yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan tumbuhnya karakter dari sebuah sistem pendidikan yang telah gagal tanpa didahului oleh reformasi yang menyeluruh adalah kesia-siaan. Prioritas utama bangsa Indonesia sekarang ini adalah penataan kembali bidang pendidikan dalam sebuah kerangka strategi pembangunan ekonomi dan strategi kebudayaan, bukan tambal sulam seperti yang diusulkan dan terjadi selama ini.Hampir mirib dengan alasan ketiga, alasan keempat untuk menyatakan ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum adalah karena dunia pendidikan kita masih dibelit oleh beragam masalah. Penambahan atau penyisipan pengetahuan melalui mata pelajaran-mata pelajaran yang ada ditakutkan hanya akan menjadi penumpukan teori yang tidak pernah mendapat ruang untuk realisasinya. Tirtaraharja dan La Sulo (2005:250) berpendapat bahwa hambatan yang dialami sekolah adalah sulitnya memerogram pendidikan afektif secara eksplisit karena dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi (hiden curriculum) yang keterlaksanaanya sangat tergantung kepada kemahiran dan pengalaman guru. Menilai hasil pendidikan afektif juga dirasa tidak mudah dan memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik. Inilah yang menjadi alasan kepesimisan beberapa kalangan akan keberhasilannya pencapaian sasaran yang diharapkan. Pendidikan karakter antikorupsi tidak harus masuk dalam kurikulum. Sebab, beban kurikulum di sekolah sudah berat. Jika ditambah kurikulum antikorupsi, beban siswa dan guru pun semakin berat.Selain masalah tersebut, pendidikan karakter antikorupsi juga dibayangi oleh tindak korupsi di tengah institusi pendidikan. Banyak tindak korupsi yang kita temukan di institusi pendidikan, seperti penyelewengan dana BOS, korupsi waktu mengajar, korupsi nilai (katrol nilai), dan lain sebagainya. Padahal pendidikan karakter antikorupsi baru akan berjalan kena sasaran dan efektif bila didukung oleh kondisi termasuk lingkungan sekolah dan masyarakat yang tidak korup. Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengatasi korupsi di dalam institusi pendidikan. Akan sia-sia jika pendidikan karakter antikorupsi ada dalam lingkungan yang penuh tindakan korupsi.B. Pendidikan Karakter Antikorupsi Sangat DibutuhkanSelain mendapat respons negatif seperti yang telah dipaparkan di atas, ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum juga mendapat respons positif dari masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden pada 27 Mei 2010 menunjukkan sebanyak 87% responden beranggapan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia (Djabbar, 2009).Sejumlah alasan pun dilontarkan untuk menunjukkan dibutuhkannya pendidikan karakter antikorupsi untuk menyikapi realita. Pertama, pendidikan lebih dominan berorientasi pada penguasaan iptek, sedangkan sesuatu yang menyangkut budaya dan perilaku (karakter) relatif masih terabaikan. Artinya, integrasi antara pendidikan iptek dan seni dengan moral dan etika belum dapat dilakukan secara serasi dan seimbang. Oleh karena itu, hadirnya pendidikan karakter antikorupsi dipandang sebagai pembaharuan yang tepat bagi pendidikan di Indonesia.Pendidikan antikorupsi bagi siswa mengarah pada pendidikan nilai, yaitu nilai-nilai kebaikan. Suseno (dalam Djabbar, 2009) berpendapat bahwa pendidikan yang mendukung orientasi nilai adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya. Menurut Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi. Ketiga sikap moral fundamental tersebut adalah kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis (dalam Djabbar, 2009) mengatakan bahwa bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Sikap moral yang selanjutnya dibutuhkan adalah rasa tanggung jawab. Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga.Alasan kedua yang dilontarkan untuk mendukung pendidikan karakter antikorupsi masuk kurikulum adalah melaui pendidikan karakter antikorupsi para siswa sejak usia dini sudah mengetahui tentang seluk-beluk praktek korupsi sekaligus konsekuensi yang akan diterima oleh para pelaku. Ketiga, memberikan proses pembelajaran tentang kepakaan terhadap praktek-praktek korupsi yang ada disekitar kita. Keempat, mendidik para siswa dari usia dini tentang akhlak atau moral yang sesuai dengan ajaran-ajaran sosial keagamaan. Kelima, menciptakan generasi penerus yang bersih dari perilaku penyimpangan, dan keenam, membantu seluruh cita-cita warga bangsa dalam menciptakan clean and good-goverment demi masa depan yang lebih baik dan beradab.C. Menyikapi RealitaMemerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan bagai jamur di musim hujan.Hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC menyebutkan Dalam survei tahun 2010, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih (www.bisniskeuangan.kompas.com" www.bisniskeuangan.kompas.com).Upaya pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang bekerja sama dengan KPK menyikapi realita korupsi yang menjamur di negeri ini patutlah kita apresiasi positif. Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis dan sistemis memang harus selalu bertolak dari sejumlah landasan atau azas-azas tertentu guna mewujudkan masa depan yang lebih baik (Tirtaraharja dan La Sulo, 2005). Lembaga pendidikan pun ditilik sebagai tempat terbaik menyiapkap SDM yang bermoralitas tinggi. Hal ini sejalan dengan pandangan Socrates (469-399 SM) yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar adalah membentuk individu menjadi lebih baik dan cerdas. Dengan kata lain, pendidikan hendaknya diarahkan kepada kebajikan atau nilai individu yang mencakup dua aspek, yaitu intelektual dan moral (Aristoteles dalam http://www.insistnet.com).Lembaga pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam menanamkan mental antikorupsi. Masyarakat terdidik inilah yang nantinya memiliki peranan yang cukup dominan dalam masyarakat. Pendidikan karakter antikorupsi diharapkan mampu membentuk kesadaran publik terhadap kegiatan yang mengarah ke tindakan korupsi, memberikan bekal pemahaman mengenai efek tindak korupsi bagi kehidupan bangsa dan negara, serta mampu memberikan pemahaman penggunaan ilmu pengetahuan dengan cara-cara yang benar tanpa ikut andil dalam tindakan korupsi. Penanaman mental antikorupsi sejak usia dini diharapkan dapat melahirkan generasi penerus yang siap berperang melawan korupsi.Memang sudah saatnya pendidikan kita disentuh oleh masalah-masalah real yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Ketika korupsi menjalar bagai akar di setiap bidang kehidupan, maka sudah sepatutnya peserta didik yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa diperkenalkan dengan permasalahan korupsi. Agar mereka tahu betapa bahayanya tindakan korupsi bagi kelangsungan hidup bangsa sehingga mereka memiliki sikap tidak tergoda dengan tindak korupsi.Penanaman nilai-nilai luhur sejak dini diharapkan mampu menjadi pondasi yang kokoh bagi peserta didik dalam menyikapi realita kemerosotan moral yang terjadi di tengah masyarakat. Melalui pendidikan karakter antikorupsi juga diharapkan munculnya rasa tanggung jawab untuk memberantas korupsi dan memberikan contoh pada masyarakat luas tidak hanya dari tuturan, tetapi juga melalui perbuatan yang mencerminkan karakter yang ulet, jujur, toleran, dan lain sebagainya.Selama ini pendidikan mengenai nilai-nilai luhur sebenarnya telah terangkum dalam mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun, hasil yang digapai hanya sebatas kemampuan kognitif yang berfokuskan pada pencapaian nilai dalam selembar kertas. Pemahaman mengenai nilai luhur tersebut akan hilang ketika anak didik ke luar dari pagar sekolah. Banyak kejadian dalam masyarakat yang mereka jumpai tidak sejalan dengan teori-teori yang ditanamkan sekolah, dan anak didik tidak mampu menyumbangkan pemikirannya dalam mengatasi persoalan itu. J.H. Gunning (dalam Tirtaraharja dan La Sulo, 2005) berpendapat bahwa seharusnya pendidikan yang sehat mampu menunjukan titik temu atau menjembatani antara teori dan praktek.Abduhzen (2010) berpendapat bahwa strategi pendidikan kita pada berbagai tingkatannya sangat kurang menghiraukan pengembangan nalar sebagai basis sikap dan perilaku. Pembelajaran di sekolah kita lebih cenderung pada mengisi atau mengindoktrinasi pikiran. Akibatnya, apa yang diperoleh di sekolah seperti tidak berkorelasi dengan kehidupan nyata. Pendidikan harus mampu menciptakan keseimbangan dalam kehidupan peserta didiknya. Hal ini sejalan dengan ajaran filsafat I Ching (kristalisasi marxisme di Tiongkok) yang memandang bahwa nilai yang paling tinggi dalam kehidupan manusia adalah keseimbangan (Artadi, 2004).Agar pendidikan karakter antikorupsi dapat mencapai sasaran, beberapa langkah dapat dilakukan pemerintah dan Kemendiknas, seperti pelatihan-pelatihan kepribadian kepada guru-guru untuk menanamkan sikap antikorupsi. Hasilnya nanti terlihat dalam sikap keseharian guru dalam menjalankan tugasnya. Sikap-sikap antikorupsi yang ditunjukkan oleh guru tentu akan lebih tajam pemikiran siswa mengenai korupsi dibandingkan dengan teori-teori hapalan mengenai tindak korupsi. Langkah lain yang dapat diambil untuk memaksimalkan tujuan pendidikan karakter antikorupsi adalah memberikan sanksi tegas kepada guru dan pegawai-pegawai dinas pendidikan yang melakukan tindakan korupsi. Sehingga dunia pendidikan terlepas dari tindakan korupsi yang akan berdampak pada penciptaan kondisi yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi.Melihat berbagai kendala yang membentang dalam pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi ini, maka sudah sepatutnyalah dilakukan perbaikan dalam tubuh institusi pendidikan terlebih dahulu. Agar jangan sampai rencana manis hanya berbuah tawar atau tiada berguna. Guru sebagai ujung tombak pendidikan karakter antikorupsi haruslah merefleksi diri. Penanaman sikap luhur ini akan tercapai apabila guru sanggup menjadi contoh sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil bagi siswanya. Bukan hanya pemberian teori mengenai ciri-ciri sikap jujur, baik, bertanggung jawab, dan adil yang sasaranya hanya hapalan semata. Edith Wharton (dalam Lewis, 2004) mengatakan bahwa ada dua cara untuk menyebarkan terang: menjadi lilinnya atau menjadi cermin yang memantulkannya. Lewis (2004) menyebut pemberian contoh-contoh sikap luhur itu sebagai kepemimpinan lewat teladan. Dalam kepemimpinan ini, seorang guru akan menjadi tolak ukur di mana peserta didik akan mengukur diri mereka sendiri. Guru akan menjadi inspirasi bagi peserta didiknya.Untuk dapat menjadi pemimpin yang mampu menerangi jalan peserta didiknya, seorah guru hendaknya kembali memegang teguh trilogi kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Artinya, di depan guru sebagai pemimpin mesti memberi teladan, di tengah-tengah peserta didik, guru membangun semangat serta menciptakan peluang untuk berswakarsa, dari belakang guru mendorong dan mengarahkan peserta didiknya. Trilogi inilah yang mungkin terlupakan dalam sistem pendidikan penanaman nilai di negeri ini.Selain penerapan Trilogi pendidikan, sebelas prinsip yang dikemukakan Lickona dkk (http://diksia.com) agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif juga patut kita jadikan rujukan untuk menuju ke arah perbaikan sistem pendidikan nasional. Kesebelas prinsip itu adalah (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.D. Perubahan Kerangka Pendidikan Menuju Pendidikan HolistikPendidikan dikatakan holistik apabila pendidikan itu menyeluruh. Artinya, pembangunan manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Pendidikan harus mampu menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri. Hal inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan dalam pendidikan karena selama ini, hanya otak kiri saja (hafalan) yang lebih banyak ditekankan. Inilah penyebab tujuan pendidikan menciptakan manusia seutuhnya jauh dari kenyataan.Dalam bahasa Inggris holistik itu berasal dari kata holy dan healty. Orang bijak biasanya disebut holinan. Harus diakui bahwa ada sesuatu yang kurang dalam sistem pendidikan kita selama ini. Manusia melalui pendidikan haruslah dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuannya, interaksi sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya. Perdebatan mengenai wacana pendidikan karakter antikorupsi signifikan atau tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir, sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti, tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistik), kokoh dan tangguh.Dalam perkembangan selanjutnya, mengingat Indonesia adalah negara yang multikultur, sagat memungkinkan pendidikan karakter antikorupsi akan berbasis multikultural. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah kepingan unik dari sebuah mozaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat.Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan karakter antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya. Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas korupsi.3. PenutupRencana masuknya pendidikan karakter antikorupsi dalam kurikulum menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Ada kepesimisan akan keberhasilan program ini memotong arus korupsi yang begitu deras di negeri ini. Apalagi, korupsi telah dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Penembahan pendidikan karakter antikorupsi juga dipandang hanya akan menambah beban kurikulum yang sudah sarat muatan. Di samping itu, guru-guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi dipandang belum memiliki kompetensi yang memadai untuk menanmkan nilai-nilai antikorupsi yang hendak ditanamkan. Hal ini akan semakin sulit dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit instansi pendidikan. Selain itu masih banyak lagi alasan lain diberikan guna menunjukkan ketidaksetujuan masuknya pendidikan karakter antikorupsi ke dalam kurikulum.Terlepas dari banyaknya kendala pelaksanaan pendidikan karakter antikorupsi semenjak usia dini, banyak masyarakat yang menyambut positif rancangan perubahan yang dilakukan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa semua masalah yang ada tentunya akan dapat diatasi jika ada kerjasama dari semua pihak untuk mengatasi masalah tersebut. Pendidikan karakter antikorupsi selain di sekolah, juga harus ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga adalah tempat pertama penanaman nilai pada seorang anak.Upaya pemerintah untuk memperbaiki moral bangsa ini patutlah kita apresiasi positif agar bangsa yang kita cintai ini dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi. Sebagai generasi penerus bangsa, usaha yang dapat kita lakukan adalah memulai sikap antikorupsi dari hal-hal kecil. Contohnya berusaha melakukan sesuatu dengan tepat waktu. Bukankah bangsa ini juga terkenal dengan jam karetnya?. Oleh karena itu, marilah lakukan perubahan dari hal kecil. Jangan hanya berteori tanpa ada praktek nyata. Jika kita mau berusaha dan bekerja sama, niscaya apa yang kita lakukan akan ditiru oleh orang lain dan begitu seterusnya sehingga lambat laun negeri ini akan menggapai atmosfer berbeda. Atmosfer kehidupan yang bebas korupsi.4. Daftar PustakaAbduhzen, Mohammad. 2010. Perdidikan Karakter, Perlukah?. Dalam http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/pendidikan-karakter-perlukah/" http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/12/13/pendidikan-karakter-perlukah/. Diakses 1 Desember 2010.Artadi, I Ketut. 2004. Nilai, Makna, dan Martabat Kebudayaan: Kebudayaan Bangsa-bangsa dan Posmoderen. Denpasar: Sinay.Djabbar, Faisal. 2009. Tentang Kurikulum Antikorupsi dalam http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/" http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/. Diakses 5 Desember 2010.Friedman, Howard S. dan Mariam W. Schustrack. 2006. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.http://diksia.com/kemendiknas-siapkan-kurikulum-pendidikan-budaya-dan-karakter-bangsa/" http://diksia.com/kemendiknas-siapkan-kurikulum-pendidikan-budaya-dan-karakter-bangsa/. Diakses 10 Desember 2010.http://niamw.wordpress.com/2010/04/30/pendidikan-anti-korupsi-pak-salah-satu-model-pendidikan-karakter/" http://niamw.wordpress.com/2010/04/30/pendidikan-anti-korupsi-pak-salah-satu-model-pendidikan-karakter/. Diakses 1 Desember 2010.http www.bisniskeuangan.kompas.com" www.bisniskeuangan.kompas.com. Diakses 10 Desember 2010.http://www.insistnet.com. Diakses 1 Desember 2010.http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14543%3Acegah-korupsi-butuh-pendidikan-budi-pekerti-&catid=60%3Atajuk&Itemid=1" http://www.riaumandiri.net/rm/index.php?option=com_content&view=article&id=14543%3Acegah-korupsi-butuh-pendidikan-budi-pekerti-&catid=60%3Atajuk&Itemid=1. Diakses 5 Desember 2010.Lewis, Barbara A. 2004. Character Building untuk Remaja. Batam: Karisma.Tegar, Ahaddian. 2010. Korupsi dan Pengertiannya. Dalam http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/" http://soloraya.net/blog/2010/01/11/korupsi-dan-pengertiannya/. Diakses 1 Desember 2010.Tilaar, H.A.R. 2000. Paradikma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta