Pendidikan Dasar dan Bahasa Daerah (Suatu Mutualisme menuju ke Integritas)
Click here to load reader
description
Transcript of Pendidikan Dasar dan Bahasa Daerah (Suatu Mutualisme menuju ke Integritas)
1
Pendidikan Dasar dan Bahasa Daerah
(Suatu Mutualisme menuju ke Integritas)
Oleh: Yohanes Manhitu*
SEBELUM mengulas hubungan antara pendidikan dan bahasa daerah, perlu kita memahami
definisi kedua istilah ini. Secara etimologis (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI,
Balai Pustaka, edisi ke-3, 2002), pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dan
pendidikan dasar berdefinisi pendidikan minimum (terendah) yang diwajibkan bagi semua warga
negara (dalam hal ini di sekolah dasar). Sedangkan bahasa daerah - masih menurut referensi
yang sama - berarti bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah atau bahasa suku bangsa, seperti
bahasa Dawan (Uab Meto), bahasa Tetun, bahasa Rote, dan lain-lain.
Berhubung tidak sedikit orang Indonesia menguasai bahasa daerah pertama-tama sejak
awal hidup mereka, maka bahasa daerah pun menjadi bahasa ibu. Walaupun dua istilah ini
kadang dapat dipertukarkan (interchangeable), perlu disadari bahwa tidak setiap bahasa daerah
serta merta menjadi bahasa ibu. Sebagai contoh, seorang anak laki-laki lahir di Madrid dari
pasangan ibu yang berbahasa Batak dan ayah yang berbahasa Melayu Kupang. Karena pasangan
ini sudah lama menetap di Spanyol dan sejak awal telah sepakat untuk mendidik anak-anak
mereka tidak lain hanya dalam bahasa negara itu, maka bahasa ibu si anak adalah bahasa
Spanyol, bukan bahasa Batak ataupun bahasa Melayu Kupang.
=========
Pendidikan dasar dan bahasa daerah
Penulis ingin sejenak mengajak pembaca untuk mencermati dan merenungkan kembali hubungan
pendidikan dasar dan bahasa daerah, yang jumlahnya sangat banyak di NTT. Situs
www.ethnologue.com, sebagaimana dilaporkan di situs Fakultas Sastra Universitas Leiden,
Belanda (http://www.let.leidenuniv.nl), mencatat bahwa ada 7.000 bahasa di seantero planet ini,
700 bahasa terdapat di Indonesia, dan sekitar 60-70 bahasa di NTT. Jadi 10% dari seluruh bahasa
di dunia terdapat di Indonesia, dan 1% ada di NTT. Pertanyaannya sekarang adalah apakah
2
sejauh ini hubungan pendidikan dasar dan bahasa daerah di NTT khususnya sudah "mesra" dan
lestari? Dan hubungan macam apakah yang dapat dianggap ideal bagi keduanya?
Untuk menjawab pertanyaan pertama di atas, kita perlu mengamati sejauh mana bahasa
daerah di NTT dimanfaatkan dalam kegiatan pendidikan dasar. Misalnya digunakan sebagai
bahasa pengantar di tingkat sekolah dasar (SD) sebagai muatan lokal, atau yang lebih hebat dan
ideal, dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang sederajat dan semartabat dengan mata
pelajaran yang lain di sekolah, sepertimata pelajaran bahasa Jawa (diajarkan hingga SMU) dan
bahasa Sunda (hingga SMP). Sebenarnya sejak tahun 1951 UNESCO telah mendukung
penggunaan bahasa yang dikuasai peserta didik (bahasa daerah/ibu) sebagai bahasa pengantar,
karena dipandang lebih efektif. Bahkan lebih jauh lagi, lembaga antarbangsa yang bergengsi ini
telah menetapkan 12 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional, yang diperingati sejak
tahun 2000 (baca juga Pikiran Rakyat, Kamis, 15 Februari 2007). Namun yang sering terjadi
justru sebaliknya: para peserta didik dilarang menggunakan bahasa daerah di sekolah. Akibatnya,
rasa takut menggunakan bahasa daerah terus tumbuh dan berkembang dan pada akhirnya
menghasilkan buah yang tak diharapkan, yaitu sifat meremehkan dan menganggap hina bahasa
daerah sendiri, yang sesungguhnya merupakan identitas dan alat ungkap terbaik bagi budaya
mereka. Kiranya kita akan sepakat bahwa adalah absurd untuk memahami suatu kebudayaan
secara komprehensif tanpa terlebih dahulu mempelajari dan mengerti bahasa kebudayaan itu.
Menurut hemat penulis, hubungan yang dipandang ideal bagi pendidikan dasar dan
bahasa daerah adalah relasi saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Yang pertama,
pendidikan dasar memanfaatkan bahasa daerah sebagai jembatan emas untuk menyampaikan
materi-materi yang perlu diketahui peserta didik yang belum memiliki pengetahuan bahasa
Indonesia yang memadai. Pemanfaatan positif yang demikian akan meningkatkan martabat
bahasa daerah dan sekaligus mendewasakannya di ranah pendidikan formal. Melalui penggunaan
bahasa daerah dalam kegiatan pendidikan dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda
harapan daerah dan nasional, sejak dini telah diarahkan untuk mengenal, memahami, dan
menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri, yang pada gilirannya akan melengkapi
mosaik indah kebudayaan nasional. Bila kesadaran akan hakekat bahasa daerah telah tertanam
kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk
menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari dan memelihara
keberadaannya. Demi kemajuan, kiranya tidak salah bila kita mencontoh kebiasaan
3
menggunakan bahasa Jawa secara luas di kalangan para murid SD di Yogyakarta, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur.
Yang kedua, bahasa daerah memberi sumbangsih yang sangat berarti bagi pendidikan
dasar, khususnya dari segi keterampilan berbahasa. Dalam arti, apabila para peserta didik telah
memiliki pemahaman yang baik tentang bahasa daerah, atau bahasa ibunya, ia akan memperoleh
kemudahan dalam mempelajari bahasa kedua dan seterusnya. Tidak adanya penjelasan yang
tuntas dan pemahaman yang baik tentang perbedaan kedua bahasa tersebut akan merugikan para
peserta didik. Sangat mungkin akan terjadi kesalahan-kesalahan berbahasa yang fatal. Setiap
guru bahasa yang jeli akan berkisah banyak tentang kendala jenis ini.
Sikap orang tua dan guru
Jika demikian, sikap suportif apakah yang diharapkan dari para orang tua dan guru guna
mewujudkan simbiosis mutualisme pendidikan dan bahasa daerah tersebut di atas? Para orang
tua, meskipun memiliki bahasa daerah yang berbeda, diharapkan sejak dini dengan sadar dan
bijaksana membimbing anak-anak mereka untuk mengenal bahasa daerah, dan tidak perlu
melarang mereka bergaul dengan teman bermain mereka yang menggunakan bahasa daerah. Para
orang tua tidak perlu khawatir anak-anak mereka akan gagal belajar bahasa kedua (dalam hal ini
bahasa Indonesia), karena pada usia dini kemampuan mereka untuk belajar bahasa masih sangat
tinggi; mereka memiliki daya meniru yang sangat bagus. Anak-anak pada umumnya sanggup
belajar dua bahasa sekaligus, asalkan para orang dapat mendidik mereka tanpa menerapkan
diskriminasi bahasa dalam keluarga.
Sikap suportif yang diharapkan dari para guru adalah pengertian dan keluwesan
menggunakan bahasa daerah guna mengajar di tingkat dasar. Dan bagi mereka yang diberi
tanggung jawab untuk mengajar bahasa daerah sebagai mata pelajaran diharapkan terus-menerus
memperdalam pengetahuan mereka tentang bidang itu. Penggunaan bahasa daerah yang benar
oleh para guru akan dijadikan model oleh para murid. Dan para guru pada situasi tertentu
diharapkan terus-menerus memotivasi para peserta didiknya agar dapat meningkatkan
keterampilan berbahasa daerah. Sikap apresiatif dan tanggapan yang positif para guru terhadap
bahasa daerah akan menimbulkan kebanggaan berbahasa daerah di kalangan para guru dan
peserta didik, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
4
Bahasa daerah, bahasa Indonesia, atau bahasa asing?
Pengajaran bahasa asing pada usia dini di Indonesia masih bersifat kontroversial. Tak sedikit ahli
pendidikan yang berpendapat bahwa pada tingkat pendidikan dasar, pengajaran bahasa asing
dipandang belum perlu karena akan mengacaukan pengajaran bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Dan kurang bijaksana jika membebani anak dengan terlampau banyak materi yang
harus diserap pada usia yang terlalu dini. Kelak bila mereka telah memiliki dasar pengetahuan
bahasa daerah dan bahasa nasional yang kuat, mereka boleh belajar bahasa asing. Dalam
artikelnya tentang humaniora (Kompas, Kamis, 10 Oktober 2002), J. Drost, SJ, ahli pendidikan,
menganjurkan agar diajarkan dua bahasa asing sejak SMP sampai kelas III SMU. Tetapi apabila
jam pelajaran untuk dua bahasa asing tidak cukup, maka lebih baik satu bahasa asing saja, yaitu
bahasa Inggris. Ia berpendapat bahwa dengan empat jam seminggu selama enam tahun, hasilnya
akan cukup memuaskan.
Otda dan bahasa daerah
Dalam penjelasan atas UU RI No 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan
8 Juli 2003 (Tambahan Lembaran Negara RI Th 2003 No 4301) khususnya Pasal 37 ayat (1)
tentang butir bahasa dijelaskan sebagai berikut: Bahan kajian bahasa mencakup bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dengan pertimbangan: satu, bahasa Indonesia
merupakan bahasa nasional. Dua, bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik. Tiga,
bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang sangat penting
kegunaannya dalam pergaulan global (L. Sunato, "Bahasa Jawa Bukan Muatan Lokal", Suara
Merdeka, Senin, 30 Mei 2005).
Dalam kaitannya dengan pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, dengan adanya
otonomi daerah dewasa ini dan diberlakukannya muatan lokal pada pendidikan dasar, pemerintah
daerah (pemda) - dalam hal ini dinas pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten - beserta para
guru muatan lokal, perlu bergandengan tangan dalam upaya mengejawantahkan undang-undang
tersebut di atas. Demi keberhasilan pengajaran bahasa daerah, perlu dirancang materi dan
digunakan metode pengajaran yang tepat.
Berhubung di NTT pada umumnya belum tersedia bahan ajar tertulis yang memadai
untuk bahasa daerah (kecuali beberapa edisi buku cerita rakyat yang sudah diterbitkan dalam
bahasa Indonesia), maka penggunaan berbagai bahan lokal bentuk lisan seperti dongeng, pantun,
5
lagu-lagu daerah, teka-teki, fabel dan lain-lain yang mengandung kearifan lokal (local wisdom),
dipandang membantu, dan bisa lebih interaktif guna menggairahkan suasana belajar-mengajar.
Tidak tertutup kemungkinan bagi munculnya produk bahan ajar lisan dan tertulis yang
merupakan hasil kreativitas para guru dan murid sendiri, bukan bersumber pada tradisi lisan yang
"baku" dalam masyarakat.
Pemda di alam otonomi daerah (otda) ini, dengan kewenangan untuk mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri (termasuk pengembangan bahasa daerah), dapat mendukung
pengajaran bahasa daerah secara lebih luas dan leluasa dengan mengusahakan penyebaran
informasi yang merata dalam bahasa daerah, di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan bahasa pemersatu kita. Misalnya dengan menyediakan layanan informasi lewat
Radio Pemerintah Daerah (RPD) yang terdapat di setiap kabupaten dalam bahasa daerah. Salah
satu contoh yang dipandang tepat adalah acara siaran pedesaan bagi kebutuhan lokal. Atau
menyediakan versi bahasa daerah untuk situs internet (website) atau brosur tentang pariwisata
daerah. Masih banyak bentuk dukungan lain yang dapat diberikan pemda demi pelestarian
bahasa daerah dewasa ini.
Sebagai penutup, kesimpulan saya adalah (1) pendidikan dasar meletakkan fondasi yang
kuat bagi penggunaan bahasa daerah (atau bahasa ibu) di ranah pendidikan formal dan
menumbuhkembangkan kebanggaan peserta didik akan kekayaan budayanya; (2) para orang tua
dan guru yang masing-masing memainkan perananpenting bagi pendidikan anak di keluarga dan
sekolah menjadi pribadi-pribadi kunci bagi penanaman kesadaran yang lebih dini akan
pentingnya penggunaan dan rasa hormat terhadap bahasa daerah, yang adalah bagian tak
terpisahkan (integral) dari budaya daerah dan nasional; dan (3) Pemda, sebagai perpanjangan
tangan pemerintah pusat republik ini, sudah saatnya memperhatikan dan melibatkan bahasa
daerah dalam setiap kebijakan lokalnya dan menjadikannya alat komunikasi yang akrab,
bersahabat, dan nyaman dalam masyarakat di wilayahnya.
=========
* Penulis, peminat bahasa dan sastra, tinggal di Yogyakarta
========
Sumber: http://www.indomedia.com/poskup/2007/05/03/edisi03/opini.htm
OPINI di Harian "Pos Kupang", Kamis, 03 Mei 2007