PENDAHULUAN Latar Belakang -...
Transcript of PENDAHULUAN Latar Belakang -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pada bulan Agustus 2015 perlawanan terhadap Pasar Ritel Indomaret
terjadi di sebuah desa yang terletak di ujung selatan Kabupaten Malang, yaitu
desa yang dinamakan Arjowilangun. Desa ini pernah mengalami keterpurukan
ekonomi di tahun 1980-an, namun kemudian bangkit atas kemandirian dan
kekompakan warga desa membangun perekonomian desa dengan usahanya
sendiri melalui bidang usaha perdagangan ritel1 mulai dari toko kelontong yang
dekat dengan ciri modal kecil dan pengelolaan sederhana sampai dengan toko ritel
dengan modal besar dengan manajemen semi-modern sampai modern. Toko ritel
modal besar dan modern ini kebanyakan dimiliki oleh warga desa yang pernah
menjadi buruh migran dan, ada juga warga desa yang sudah kaya lama di desa.
Kebangkitan ekonomi desa ini diproses tanpa melibatkan pengusaha toko ritel
(baca: masyarakat) dari luar desa, termasuk intervensi aktor Pasar melalui
kesepakatan sosial, yaitu melalui kesepakatan untuk tidak memberikan ijin
menetap dan memasarkan barang dagangan bagi pelaku ekonomi di luar warga
asli Desa Arjowilangun. Oleh karenanya, ketika Pasar Ritel seperti Indomaret
hendak ikut mengintervensi dalam proses perekonomian desa harus berhadapan
1Euis Soliha, Analisis Industri Ritel di Indonesia, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, September 2008,
Vol. 15, No. 2, hlm. 131, mendiskripsikan evolusi permkembangan industri ritel di Indonesia: 1) Perdagangan ritel tradisional mulai berkembang sebelum tahun 1960 yang terdiri atas pedagang-pedagang independen; 2) Tahun 1960 an: Era perkenalan ritel modern dengan format departemen store. Gerai pertama yang muncul adalah Sarinah di Jl. MH. Thamrin Jakarta; 3)Tahun 1970-1980 an: Era perkembangan ritel modern dengan format supermarket dan departemen store ditandai dengan peritel modern yakni Matahari, Hero; 4) Tahun 1990 an: perkembangan convenient store ditandai dengan pertumbuhan minimarket seperti Indomaret, pertumbuhan high class departement store (Sogo, Metro), pertumbuhan format cash and carry (Makro, Goro, Alfa), dan; 5) Tahun 2000-2010: Era perkembangan hypermarket dan perkenalan e-retailing yang berbasis pada penggunaan internet (Carrefour, Lippo-Shop), dan pertumbuhan ritel dengan format waralaba. Bisnis Ritel sebagaimana dijelaskan oleh The Richest dalam http://bisnis.liputan6.com/read/774226/10-perusahaan-ritel-terbesar-di-dunia-i bahwa “bisnis ritel yang biasanya fokus di bidang barang dan makanan minuman merupakan salah satu bagian penting dari ekonomi global. Meski proses bisnisnya cenderung sederhana, tetapi bisnis ritel mampu memberikan keuntungan besar bagi para pemiliknya”. Diakses tanggal 20 Juni 2017, pukul 11.01
2
dengan kekuatan mayor yang sudah membangun kebangkitan perekonomian Desa
Arjowilangun setiap harinya, sejak tahun 1980-an.
“Arjowilangun sebuah ‘kota kecil’ yang penduduknya punya loyalitas terhadap kemajuan desa, dari sektor usaha, kerja bisnis, dan dari sinilah perkembangan desa untuk membangun Desa Arjowilangun entah dari usaha jasa, ataupun dagang. Tetapi tidak dapat dipungkiri dari usaha dagang ‘bisnis’ yang berkembang cepat itu bermodal dari luar negeri meskipun begitu tidak sedikit yang usahanya bermodal dari Arjowilangun sendiri. Pemilik modal yang mendirikan usaha dagang itu bersumber dari luar sebagai TKI (Adis, Pemuda Desa Arjowilangun, 2015)”.2
Studi ini mengeksplorasi topik relasi Masyarakat dan Pasar Ritel dalam
bidang perdagangan/bisnis ritel. Istilah Masyarakat dalam tesis ini adalah warga
desa yang bersemangat membangun perekonomian desa dengan ketentuan secara
administratif catatan sipil sebagai warga desa setempat yang ditunjukkan dari
KTP dan memiliki usaha pertokoan ritel baik dengan modal kecil, sedang, atau
besar, bersumber dari modal dari saluran buruh migran dan atau berasal dari
ekonomi lama di desa, atau pun dengan sistem menejemen bisnis tradisional, semi
modern, atapun modern. Mereka tergolong pengecer (retailer) kecil tradisional
yang kebanyakan menggunakan bangunan rumah (tempat tinggal) sebagai lokasi
usaha dan pemilik masih tinggal di bangunan tersebut3, meskipun ada juga
Masyarakat yang tinggal terpisah dengan tokonya. Sedangkan, Pasar Ritel adalah
pedagang besar yang ikut mengusai perdagangan ritel dengan manajemen modern
seperti Salim Group dengan anak perusahaan PT. Indomarco Prismatama/
Indomaret dan Alfamart. Dalam tesis ini meskipun Indomaret berbentuk
minimarket dengan pola franchise4 –sebagaimana di negara maju pola franchise
2Kajian Tadjuddin Noer Effendi menunjukkan mobilitas pekerja yang membawa remiten dapat
merangsang pertumbuhan peluang berusaha, tidak hanya menimbulkan efek negatif. Meskipun menurutnya efek keterkaitan dengan peluang berusaha di sektor industri pedesaan masih sangat terbatas. Selengkapnya lihat pada Tadjuddin Noer Effendi, Mobilitas Pekerja, Remiten dan Peluang Berusaha di Pedesaan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, Nopember 2004, hlm. 226. 3 Cara berdagang seperti ini menurut Edy Priyono dan Erlinda Ekaputri adalah bentuk ‘bertambahnya fungsi lahan’ bukan ‘alih fungsi lahan’ karena fungsi sebagai lahan perumahan tidak hilang, dikutip dari Edy Priyono dan Erlinda Ekaputri, Analisis Cost-benefit Kehadiran Pengecer besar dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 9 (2), April 2008, hlm. 17 4Franchise mengeluarkan modal tidak lebih dari 200 juta sehingga dikelompokkan sebagai pengecer kecil sebagaimana ketentuan dalam SK Menperindag RI Nomor: 23/MPP/Kep/1/1998 Tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan yaitu didefinisikan pengecer kecil dengan krtiteria modal di luar tanah dan bangunan tidak lebih dari Rp. 200 juta; hanya memperkerjakan beberapa orang atau dikerjakan pemiliknya sendiri dan keluarganya. Penjelasan mengenai kebijakan
3
termasuk sebagai UMKM- namun Indomaret meski dengan pola franchise
dimiliki oleh jaringan pengecer besar (pedagang besar/grosir) yang memiliki
akses langsung ke produsen5. Oleh karenanya, Indomaret dalam tesis ini sangat
dekat dengan kategori pedagang besar.
Pertama kali terjadi perlawanan terhadap toko ritel Indomaret6 pada
tanggal 12 April tahun 2000 dengan klaim 2900 usaha kecil di wilayah
Jabodetabek terancam mati dengan kehadiran Indomaret. Toko ritel dengan sistem
berjejaring ini mulai berdiri di wilayah Jabodetabek tanggal 17 Agustus 1998.
Perlawanan ini dilakukan oleh LSM dan dibawa ke dalam mekanisme politik
formal dengan melayangkan gugatan di KPPU. Gugatan LSM ini adalah
gambaran awal bahwa di dalam relasi Pasar dan Masyarakat dalam bidang
perdagangan ritel di Indonesia sedang mengalami ketegangan mulai tahun 20007.
Ini kali pertama Indomaret mendapatkan riuh-riuh ketegangan dari Masyarakat
berupa perlawanan setelah tiga tahun sejak kehadiran pertamanya di
perekonomian Indonesia tahun 1998.
Ternyata perlawanan tidak hanya berhenti di tahun 2000, mulai muncul di
berbagai kota-kota kecil lain di Indonesia, bahkan sampai desa. Dari berbagai
media massa baik online maupun cetak memberitakan tentang adanya perlawanan
terhadap Indomaret termasuk Alfamart. Perlawanan mulai santer diberitakan di
tahun 2011 hingga ditulisnya tesis ini. Cerita perlawanan muncul diberbagai
daerah mulai di kampung-kampung yang ada di Kabupaten Bantul dan
Tangerang, Kelurahan Situ Cirebon, Batam, Bengkulu, Simolungan, Pandeglang
Tumohon, Sleman dan masih banyak yang lain. Perlawanan terjadi dalam
‘pilihan’ strategi demonstrasi sejumlah pelaku ekonomi dengan membawa
berbagai macam spanduk, kertas yang berisi kalimat-kalimat penolakan
perlawanan, dan memasang spanduk di depan gerai Indomaret (gambar 1.1). Dari pememerintah ini secara detail dapat dibaca pada karya Edy Priyono dan Erlinda Ekaputri, Analisis Cost-benefit Kehadiran Pengecer besar dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 9 (2), April 2008, 5Edy Priyono dan Erlinda Ekaputri,ibid., hlm. 16 6 Indomaret dan Alfamart adalah pemain utama dalam ritel modern skala minimarket di Indonesia. Ada beberapa pemain ritel di Indonesia mulai dari Circle K, Starmart, Yomart, AMPM, dan beberapa pemain lokal. Lihat dalam http://indomaret.co.id/konsumen/seputar-indomaret/berita/2009/05/14/minimarket-pun-kian-meraja/, diakses 31 Mei 2017, pukul 14.20 7 LSM menggugat Pasar (Indomaret) telah melakukan monopoli perdagangan. KPPU menyatakan adanya dugaan berlangsungnya monopoli perdagangan ritel, yang bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
4
sekian banyaknya cerita perlawanan dari berbagai wilayah memiliki klaim yang
mirip dengan yang terjadi di Jabodetabek yakni Indomaret dianggap mengancam
dan menyebabkan penghasilan atau omset penjualan para pengusaha kecil turun
drastis, banyak usaha kecil gulung tikar, dan biaya kehidupan rumah tangga para
pengusaha kecil terancam dikarenakan toko ritel merupakan mata pencaharian
untuk biaya hidup8. Klaim yang dibawa dalam perlawanan ternyata tidak menjadi
kesepakatan bersama seluruh Masyarakat Indonesia. Tuduhan dilayangkan kepada
para pelaku usaha kecil pun bergaung kuat. Perlawanan yang terjadi dituduh
sebagai ekspresi ketidakdewasaan dan ketidakmauan para pelaku ekonomi
menghadapi tuntutan jaman yang semakin modern. Tuduhan ini datang dari
berbagai Masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tidak memiliki usaha
sejenis.
Gambar 1. 1 Potret Perlawanan Indomaret dan Alfamart di Indonesia Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2017
8 Dikutip dari Poin Tentang Duduk Perkara dalam Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-L-I/2000, hlm. 2
5
Perlawanan terhadap bidang usaha perdagangan ritel dengan format
berjejaring tidak hanya terjadi di Indonesia. Bangsa lain juga melakukan
perlawanan terhadap toko-toko ritel yang berjejaring. Kasus Bristol Inggris9
misalnya. Tesco adalah salah satu supermarket dengan kepemilikan cabang kecil10
di sepanjang kota yaitu Tesco Express atau Tesco Mestro yang diprotes
pembukaan outletnya yang ke 32 oleh penduduk Bristol dengan cara demonstrasi
pada tahun 2011. Selain dengan strategi demonstrasi, perlawanan dilakukan
dengan membuat grafiti (gambar 1.1). Demonstrasi tersebut berujung pada
konfrontasi kekerasan dan Tesco mengalami kerusakan parah setelah pihak
kepolisian memecah demonstrasi tersebut.
Gambar 1. 2 Graffiti di Stokes Croft, Bristol Sumber:https://www.theguardian.com/cities/2017/apr/20/fight-independents-should-
cities-ban-chain-stores-toronto
9 Colin Horgan, Retail Revolution: Should Cities Ban Chain Stores? https://www.theguardian.com/cities/2017/apr/20/fight-independents-should-cities-ban-chain-stores-toronto, diakses pada 12 Juni 2017, pukul 17.12 10 Munculnya toko-toko kecil ini adalah hasil percobaan di Inggris pada pemerintahan Perburuhan yang berturut-turut memerangi era Thatcher yang melampaui batas superstore raksasa dan supermarket di pusat kota. Kebijakan ini telah membawa pada proliferasi ruang yang lebih kecil. Misal Tesco adalah hanya salah satu supermarket yang telah menumbuhkan jalanan kota Inggris dengan cabang kecil. Kebijkan ini diperiksa oleh Rafaella Sadun dari Harvard Business School, dengan kesimpulan dalam sebuah laporan tahun 2013 bahwa “peraturan tersebut menjadi bumerang yakni rantai besar hanya membuat gerai yang lebih kecil. Peritel independen sebenarnya dirugikan oleh penciptaan hambatan masuk terhadap toko-toko besar. Alih-alih hanya mengurangi jumlah toko besar baru memasuki Pasar, peraturan masuk menciptakan insentif bagi rantai ritel besar untuk berinvestasi dalam format yang lebih kecil dan lebih terpusat, yang bersaing lebih langsung dengan independen dan mempercepat penurunan mereka.” Lebih detail lihat pada Colin Horgan, Retail Revolution: Should Cities Ban Chain Stores? https://www.theguardian.com/cities/2017/apr/20/fight-independents-should-cities-ban-chain-stores-toronto, diakses pada 12 Juni 2017, pukul 17.12
6
Sebelumya, pada tahun 2006 Nantucket Massachusetts melarang toko
rantai berdiri di pusat kota yang kemudian diikuti usulan pembatasan rantai toko
pada tahun yang sama oleh kelompok Masyarakat New York City East Village.
Pertengahan tahun 2000-an kota Fransisco mengadopsi kebijakan untuk
membatasi toko rantai yang lebih disebut dengan ‘formula ritel’. Kota ini
mendefinisikan formula ritel sebagai toko dengan 11 atau lebih lokasi di mana
pun di dunia, estetika yang seragam dan beberapa kriteria lainnya.11
Ide pembangunan modernisasi yang dibawa neo-liberalisme salah satunya
melalui praktik Indomaret dengan mengusung konsep minimarket ritel modern
yang dimiliki oleh perusahaan besar mengalami benturan di Masyarakat Indonesia
yang sudah sejak lama mempraktikkan usaha dagang ritel yang biasa disebut
dengan toko kelontong. Sebagaimana, kasus-kasus perlawanan di Indonesia yang
sudah disebut di atas menegaskan kelompok aktor yang melawan adalah para
pelaku ekonomi yang memiliki usaha sejenis ritel baik yang memiliki toko
ditempat tinggalnya, dan atau di pasar tradisional, yang biasanya difasilitasi oleh
ormas. Sedangkan, secara umum pemerintah baik nasional maupun daerah
mendukung ide modernisasi tersebut. Hal ini terlihat dari menjamurnya dan
meningkatnya jumlah minimarket ini di berbagai wilayah Indonesia dari tahun ke
tahun.
Di Kabupaten Malang sendiri perlawanan terhadap Indomaret
sebagaimana terekam dari berbagai media berita online, koran lokal mulai muncul
tahun 2009. Perlawanan itu datang dari Masyarakat Desa Sengguruh yang terdiri
dari 83 orang dengan klaim keberadaan Indomaret berjarak 100 meter dari Pasar
Tradisional Sengguruh akan mengurangi pendapatan para pedagang di sekitarnya.
Di tahun berikutnya, perlawanan dari P3KM. Objek yang dilawan lebih luas tidak
hanya Indomaret sebagai minimarket modern tetapi minimarket-minimarket
modern lainnya, seperti Alfamart. Klaim yang dibawa yaitu a).supaya Pemkab
Malang dan DPRD membuat raperda penataan Pasar tardisional; b). kepala desa
supaya membuat perdes yang bisa melindungi pedagang tradisional di
wilayahnya. Selang dua tahun, muncul kembali perlawanan terhadap Indomaret di
11Colin Horgan, Retail revolution: should cities ban chain stores? https://www.theguardian.com/cities/2017/apr/20/fight-independents-should-cities-ban-chain-stores-toronto, diakses pada 12 Juni 2017, pukul 17.12
7
Desa Sidorahayu Kecamatan Wagir. Kemudian, di Desa Sidorahayu terulang lagi
tahun 2015 dengan membawa klaim keberadaan Indomaret akan mematikan toko-
toko usaha kecil Masyarakat. Di tahun 2016, paguyuban Pasar Desa Dengkol
Kecamatan Singosari dan pedagang Pasar Wonosari juga melakukan perlawanan
terhadap keberadaan Indomaret. Secara ijin praktik bisnis, Indomaret kerap
dilabeli dengan toko yang belum mengantongi ijin pemerintah dan Masyarakat
namun sudah beroperasi jual-beli.
Kasus perlawanan Indomaret oleh para pelaku ekonomi desa dalam studi
ini memuat cerita tentang kompetisi/persaingan bisnis, namun yang ingin penulis
lakukan adalah membawa cerita persaingan bisnis ini ke dalam bidang politik12.
Melalui tujuan studi, untuk mengetahui dinamika relasi Masyarakat dan Pasar
Ritel yang dilacak dari ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan Masyarakat
Arjowilangun melawan Pasar yaitu Indomaret serta implikasi ‘pilihan’ strategi
dan metode perlawanan. Dengan asumsi, adanya bentuk ‘pilihan’ strategi dan
metode perlawanan oleh sebagian pemilik toko ritel Desa Arjowilangun adalah
implikasi langsung dari bangunan relasi yang dinamis antara pelaku ekonomi desa
–Masyarakat- dan Indomaret –Pasar Ritel-, yaitu relasi antara aktor Masyarakat
dan Pasar tidak statis. Khususnya, dengan studi kasus di Desa Arjowilangun, yang
dikenal dengan kekompakan Masyarakatnya dalam membangun perekonomian
desa. Tujuan ini didasarkan adanya refleksi empiris yaitu bangunan relasi Pasar
yang mendominasi terhadap Masyarakat dalam akses terhadap sumber daya
ekonomi yang tersedia, termasuk mendominasi pemerintah sehingga,
menempatkan Masyarakat vis a vis dengan Pasar. Dominasi Pasar yang dimaksud
merupakan refleksi dari dua kondisi:
Pertama, akademisi ekonomi-politik Ahmad Erani Yustika, menyebut
proses ekonomi Indonesia khususnya bidang perdagangan ritel sedang berjalan ke
arah oligopoli sejak pemberlakuan Keppres No. 96/2000 tentang bidang usaha
tertutup dan terbuka bagi penanaman modal asing. Keppres tersebut adalah hasil
12 Menurut, Heath & Waymer, perbedaan antara politik dan bisnis adalah juga tidak mutlak, paling tidak karena "politik bukan hanya lapangan permainannya, tapi wasit dan pelatih " dan karena banyak bisnis memiliki agenda politik dan beroperasi dalam konteks politik, dalam Jesper Strömbäck (Mid Sweden University) & Spiro Kiousis (University of Florida), Political Public Relations: Old Practice, New Theory-Building, Public Relations Journal Vol. 7, No. 4 ISSN 1942-4604 © 2013 Public Relations Society of America hlm. 11
8
tinjauan dari Keppres No.96/1998. Kedua regulasi tersebut menyebut bidang
usaha perdagangan eceran merupakan salah satu bidang yang terbuka bagi pihak
asing. Di awal dibukanya kran bidang usaha perdagangan ritel tahun 1998
berjalan tanpa konsentrasi pemain. Namun berjalannya waktu tahun 2000 berubah
terjadi proses oligopoli yang memperlihatkan proses ekonomi terkonsentrasi pada
segelintir pemain mulai dari usaha perdagangan skala besar, sampai dengan
penguasaan ritel oleh pedagang besar13 termasuk, akuisisi perusahaan ritel
domestik oleh ritel multinasional asing dan atau kerjasama ritel domestik dan
asing yang kemudian mengibarkan bendera bisnis ritel baru di Indonesia, seperti
Lion Superindo (Indomarco/Salim Group yang juga pemilik Indomaret dengan
Delhaize/Belgium)14. Pedagang besar bisa ikut menjadi pedagang pengecer
disebabkan oleh alasan politik dan perkembangan pengetahuan bisnis. Secara
politik, kebijakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada 1998 tidak
memberikan batasan definisi yang jelas antara pedagang pengecer, grosir, dan
pedagang besar. Di sisi lain pada dunia bisnis dipandu oleh manajemen
pengetahuan yang terus berkembang yaitu melalui desain waralaba.15 Bobot
kekuatan Pasar secara ekonomi dan pengetahuan manajemen bisnis memang kuat,
terlebih dengan berongganya kebijakan ekonomi perdagangan ritel saat itu.
Kedua, tidak hanya pada proses perdagangan ritel, Pasar Ritel menjadi
mendominasi. Potret dominasi Pasar Ritel terhadap pemerintah pun secara empiris
terjadi. Pada bulan November 2012 hingga Mei 2013, terjadi perlawanan para
Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri terhadap proses penggusuran yang dilakukan oleh
PT. KAI. Salah satu kondisi yang menyulut perlawanan dalam kasus tersebut
adalah ritel seperti Alfamart dan Indomaret tidak digusur oleh PT. KAI walaupun
13 Sejarah struktural masuknya ritel di Indonesia dapat dibaca pada artikel Ahmad Erani Yustika, Refleksi Hypermarket dan Pasar Tradisonal, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 9 (2), April 2008, hlm. 1 dan Susan Sugiharti, Analisis Strategi Bersaing Dalam Bisnis Ritel: Studi Kasus PT. Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), Tesis, S2 Magister Manajemen UGM, 2010, hlm. 54 14 Rizal Edi Halim, Dampak Pembentukan Kapabilitas yang Dinamis Melalui Penelusuran ‘Entrepreneurial Proclivity’ sebagai Pemicu Kinerja Pedagang pada Pasar Tradisional, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 9 (2), April 2008, hlm. 48 15 Ahmad Erani Yustika, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, Vol. 9 (2), op.cit.,hlm. 1
9
tempatnya berdampingan dengan tempat usaha Pegiat Usaha Stasiun.16
Pertanyaanya, entah mengapa Indomaret juga mampu mendominasi pemerintah?
Di Kabupaten Malang, pengaturan tentang batasan jarak yang boleh
dibangun Indomaret sudah diketok dan diperpanjang dari 500 meter menjadi 1500
dari pasar tradisional dan antar toko Indomaret termasuk Alfamart (baca: variasi
nama perusahaan dari Pasar Ritel). Pengaturan ini termasuk memberi ruang politis
kepada Masyarakat lokal sebagai pemegang prioritas apabila Indomaret
melakukan pola franchise. Pengaturan tentang jarak tidak berbanding lurus
dengan penurunan jumlah Indomaret. Jumlah Indomaret dari tahun ke tahun
semakin meningkat di Kabupaten Malang. Dari data Badan Perizinan dan
Pelayanan Terpadu (BP2T) Kota Malang jumlah usaha perdagangan ritel dalam
bentuk minimarket modern overload menembus 223 unit17. Tidak jauh berbeda
data di Kabupaten Malang menunjukkan perkembangan jumlah minimarket
modern ditahun 2014 lebih dari 50 persen jumlah Pasar tradisional yang tersebar
di kecamatan dan di desa-desa (lihat tabel 1).
Tabel 1. 1 Perkembangan Jumlah Bisnis Ritel Modern
di Kabupaten Malang Tahun Alfamart Indomaret 2011 37 54 2014 65 78
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang (disperindag.malangkab.go.id)
Cerita-cerita kasus perlawanan terhadap Indomaret yang terjadi di negeri
ini tentu menjadi pedang yang siap untuk menggores citra pengambil kebijakan
negeri ini. Yang terjadi kemudian dilema oleh para pengambil kebijakan. Salah
satu contohnya pemerintah Kabupaten Malang yang kemudian mencoba membuat
sebuah kebijakan sebagai ‘jembatan’ untuk menekan perlawanan terhadap
Indomaret ini. Yaitu dengan menampilkan identitas ‘putra daerah’ sebagai
pemegang joint bussines dengan Indomaret. Perhitungan sosial-ekonomi-politik
mencoba diseimbangkan dengan ‘jembatan’ ini, yaitu melalui pasal 11 Perda 16 Baca ulasan pada Harian Indoprogress (Media Pemikiran Progresif), artikel berjudul Merebut Hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri, edisi 21 Februari 2014, ditulis oleh Dicky Dwi Ananta, 17 Jumlah Minimarket Overload, edisi 2 Juni 2015, diakses pada http://radarmalang.co.id/jumlah-minimarket-overload-14786.htm, tanggal 21 Juni 2016.
10
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan pemberdayaan Pasar tradisional
serta penataan dan pengendalian pusat perbelanjaan dan toko modern, yang
menegaskan:
“Pendirian Minimarket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi Minimarket dimaksud”
Relasi Masyarakat dan Pasar (Indomaret) dapat dilihat dari kacama mata
neoliberalisme. Pasar dalam paragraf ini dibaca lebih luas tidak hanya Indomaret,
namun tidak meninggalkan identitas pelaku ekonomi dengan modal ekonomi
besar atau pedagang besar. Disebut David Harvey bahwa definisi Pasar adalah
seperti bisnis dan perusahaan (Harvey, 2005, hal. 76-77), sehingga dalam ini
Indomaret adalah Pasar dalam bidang perdagangan ritel yang kemudian disebut
Pasar Ritel. Pasar atau dalam klasifikasi Budi Winarno disebut sebagai The
Gainer yaitu kelompok beruntung yang sebagian kecil penduduk yang terdiri dari
para pemilik modal, pejabat, dan birokrat, dan kelompok menengah atas.
Bonnie Setiawan memberikan sebuah penjelasan bahwa neoliberalisme itu
sebuah paham liberalisme baru yang menempatkan mekanisme Pasar bebas pada
kedudukan utama dalam sebuah sistem ekonomi. Bahkan sebenarnya
menempatkan sistem ekonomi hanya sebagai sebuah mekanisme Pasar. Jadi
sangat sempit. Akibatnya semua hal dalam kehidupan ekonomi hanya diukur
berdasarkan mekanisme Pasar semata, yang menempatkan aktor-aktor ekonomi
privat dan pemburu keuntungan pribadi seperti pengbisnis, Pasar saham, bisnis
kapitalis, serta resep Pasar bebas seperti investasi asing, utang, pertumbuhan
ekonomi sebagai penentu utama. Ini adalah sebuah sesat ekonomi dan sebenarnya
merupakan cara dari bagaimana sistem kapitalisme menguasai kehidupan.
Sementara yang tidak bersesuaian atau tidak sejalan akan disingkirkan karena
dianggap menghambat efisiensi ekonomi. Ini seperti BUMN, UKM, serikat-
serikat buruh, petani, masyarakat adat dan lain-lainnya, yang dianggap tidak
sejalan dengan mekanisme Pasar. Neolib adalah sistem keserakahan ekonomi
(kapitalis) berbasis kepentingan individu yang paling baru (yaitu sejak 1980-an),
dan karenanya sangat berbahaya.18 Secara jelas dari artikel ini Bonnie Setiawan
18 https://liputanislam.com/wawancara/bonnie-setiawan-menjawab-neoliberalisme/
11
mengatakan, bahwa relasi Masyarakat dan Pasar seolah niscaya mengalami
ketegangan, yang berupa upaya penyingkiran diantara keduanya.
Kemudian untuk menyiasati praktik neoliberalisme muncul berbagai
penolakan dalam bentuk gerakan anti-kapitalis19, atau ada juga yang menyebut
gerakan anti-neoliberalisme atau post-developmentalisme20. Fuad Setiawan
Khabibi dalam tesisnya tentang revitalisasi koperasi dengan bentukan UKM Mart
Al-Amin di Kabupaten Kulon Progo atas intervensi dari kerjasama pemerintah
dengan NGO lain sebagai sebuah gerakan perlawanan. Gerakan ini dinilai sebagai
inovasi gerakan new post-developmentalisme yang kemudian dalam beroperasinya
koperasi ini menjalankan proses manipulasi terhadap konsep mix-marketing yang
notabene strategi yang digunakan oleh Alfamart dan menggunakannya untuk
menjalankan kegiatan solidarity economy yang merupakan bagian dari gerakan
post-developmentalism. Gerakan ini dinilai akibat telah terjadi dualisme sistem
perekonomian yakni sistem perekonomian yang berpihak kepada rakyat dan
kapitalisme global (pro rakyat dan neoliberalisme). Sistem perekonomian ini
mengakibatkan adanya keberpihakan pemerintah kepada produsen luar negeri
yang memproduksi barang-barang asing (neolilberalisme) dan produsen lokal
yang memproduksi hasil olahan barang-barang lokal (pro rakyat). Menurutnya
secara teoritis hal ini kelihatan baik, namun praktek di lapangan sistem dualisme
ini seringkali menyebabkan tergerusnya produk UKM lokal oleh produk-produk
asing, karena produk UKM lokal kalah bersaing di Pasaran.21 Hasil kajian serupa
berasal dari penelitian Gregor di Timor Leste, yang menegaskan akibat
pembangunan neoliberal yang menjadikan Masyarakat sebagai korban, telah
membangkitkan Masyarakat melawan dengan cara menarik, memanipulasi, dan
memanfaatkan program developmentalisme, dan mencari peluang untuk
menerapkan ide-ide post developmentalisme guna memperkuat komunitas lokal.22
19Eric Hiariej, Gerakan Anti Kapitalisme Global, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, Nopember 2004 (139-160. Karya ini mengulas berbagai pemetaan cara gerakan anti-kapitalis, dan menilai implikasi keanekaragam tersebut 20 Fuad Setiawan Khabibi, Tesis, Inovasi Gerakan Post-Developmentalism Dalam Revitalisasi Koperasi Untuk Melindungi Eksistensi Produk UKM Lokal, Prodi Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM, 2014 21 Fuad Setiawan Khabibi, ibid., 22 Andrew McGregor, Development, Foreign Aid and Post-Development in Timor-Letse, Third Eorld Quarterly, Vol. 28, No. 1 (2007), pp 155-170, USA: Taylor dan Francis, Ltd, JSTOR
12
Leroux dalam (Khabibi, 2014, hal. 19) melihat ketidakadilan neo-
liberalisme atau kapitalisme lahir karena paham tersebut begitu individualis.
Sehingga kedua paham tersebut berbisnis mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,
tanpa memperhatikan etika dan tanggung jawab moral kepada Masyarakat lokal di
lingkungan sekitar mereka. Hal itulah yang mendasari lahirnya gerakan solidarity
economicdevelopment. Akan tetapi, kondisi bangkit melawan pembangunan
model neoliberalisme tidak selamanya terjadi. Misalnya kajian Susvia Delta
Kusdiane23 menampilkan pilihan strategi ‘mengalah’ oleh pedagang sembako di
Pasar tradisional untuk mempertahankan eksistensinya di tengah berekspansinya
Pasar-Pasar modern yang juga menjual barang dagangan sembako di Kota Serang
dan ditambah perhatian yang kurang dari pemerintah, dengan cara mengubah jam
jualan mereka dari tengah malam hingga pagi hari, dan menjaga kepercayaan dari
pelanggan, dan suplier. Sikap ini akibat tidak ada manfaatnya hasil revitalisasi
Pasar yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan masih menyisakan kekalahan
dalam berdagang, ditambah kekawatiran pedagang karena di ritel modern
menawarkan kenyamanan, dan diskon harga.
Beberapa notasi hasil kajian terdahulu dapat dikelompokkan pada sudut
pandang paham neoliberalisme. Penelitian sebelumnya menempatkan Masyarakat
sebagai korban dari bekerjanya aktor Pasar sehingga, yang terjadi adalah
ketegangan antara Masyarakat dan Pasar. Selanjutnya, diikuti eksplorasi strategi
gerakan Masyarakat sebagai objek –korban- untuk melawan, menyiasati
liberalisasi ekonomi agar dapat meminimalisir korban ekonomi politik rakyat.
Dengan mengingat dalam paham neoliberalisme, ada politik sebagai legitimasi
kekuasaan manapun yang sifatnya sangat cair sehingga penelitian ini berupaya
mengungkap relasi baru Masyarakat dan Pasar. Asumsinya, dengan
memperhatikan struktur politik, dan ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan
yang diambil oleh Masyarakat Desa Arjowilangun melawan Pasar maka dinamika
relasi Masyarakat dan Pasar tidak hanya mengarah atau tergambarkan pada
ketegangan relasi Masyarakat dan Pasar, akan tetapi memungkinkan antar
Masyarakat, atau antar kelas di Masyarakat (orang kaya lama dan orang kaya
baru). Mengingat neoliberalisme menciptakan kondisi untuk pembentukan kelas, 23 Susvia Delta Kusdiane, 2014, Kontestasi Pedagang Sembako Pasar Rau dengan Pasar-Pasar Modern di Kota Serang-Banten, Jurusan Sosiologi, UGM.
13
dan sebagai kelas yang kekuatan memperkuat sehingga kecenderungan muncul
untuk kelas yang sedang mencari kebebasan diri dari ketergantungan pada
kekuasaan negara, dan untuk mengarahkan kembali kekuasaan negara bersama
baris neoliberal (Harvey, 2005, hal. 72).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang diajukan: Bagaimana
dinamika relasi Masyarakat (pelaku ekonomi ritel desa) dan Pasar Ritel
(Indomaret) dalam bidang perdagangan ritel di wilayah perekonomian Desa
Arjowilangun? Dengan pertanyaan turunan sebagai berikut:
a. Bagaimana ‘pilihan’ strategi dan metode Masyarakat melawan
intervensi Pasar Ritel dalam proses perekonomian perdagangan ritel di
Desa Arjowilangun?
b. Bagaimana implikasi dari ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan
terhadap ketegangan politik di Desa Arjowilangun?
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai, pertama, menjelaskan dinamika
relasi Masyarakat dan Pasar yang dieksplorasi dari kasus perlawanan rencana
kehadiran bisnis ritel skala besar di desa. Kedua, menjelaskan ‘pilihan’ strategi,
metode perlawanan dan implikasinya terhadap ketegangan politik di Desa
Arjowilangun. Ketiga, memahami struktur ekonomi Masyarakat desa dari
perspektif politik.
3. Tinjauan Pustaka
Sub bab ini mendiskusikan tiga literatur tentang relasi mayarakat dan
Pasar, yakni posisi aktor Masyarakat dan Pasar dalam praktik neoliberalisme di
Indonesia, logika dari aktor Pasar Ritel dan Masyarakat dalam pembangunan
Indonesia, dan gagasan ketegangan politik sebagai alat analisa utama membaca
relasi Masyarakat dan Pasar Ritel. Poin-poin utama literatur ini kemudian akan
dijelaskan dalam kerangka analisa.
a. Masyarakat dan Pasar dalam Neoliberalisme
Pasar dengan ciri dikuasai oleh korporasi besar dan kelas borjuasi telah
menjadi nalar yang mendominasi dibandingkan Masyarakat/komunitas dalam
14
kebijakan publik karena kemampuan Pasar sebagaimana secara teoritik tercatat
dalam teori pembangunan neoliberalisme. Kajian Harahap & Nofrian24
menggambarkan adanya kedekatan politik dengan Pasar. Mereka menilai
pendekatan yang digunakan oleh banyak negara –pemda-, mengacu pada
pendekatan rasional ekonomi, yakni pertumbuhan modal (yang biasanya
dilakukan oleh aktor bermodal besar), dan abai terhadap aktor skala kecil yang
biasanya adalah rakyat kebanyakan. Hasil investigasi Zaenal Soedjais seorang
Presiden Direktur PT. Pupuk Sriwijaya dalam tulisannya perda kurang favorable
terhadap investasi di daerah di awal-awal desentralisasi melalui UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemda.25 Sekarang dalam perkembangannya, malah
sebaliknya. Iklim investasi telah terbuka di daerah. Bukan hanya investasi luar
negeri akan tetapi investasi nasional juga merambah dalam wilayah administratif
daerah, dan desa.
Pasar dengan representasi pelaku ekonomi bermodal besar seperti
Indomaret diharapkan oleh pemerintah dapat memacu aktivitas ekonomi,
pembangunan, menyediakan lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Oleh
karenanya, Pasar diintervensi oleh politik (baca: negara), karena dianggap
memberikan keuntungan. Akibatnya, intervensi berupa dukungan negara terhadap
Pasar, salah satu mendukung Pasar agar lebih mendominasi yaitu mengakomodasi
sebagai paradigma dominan dalam kebijakan.26
Ikut masuknya pedagang besar dalam bidang usaha ritel/eceran yang
diikuti dengan kemampuan mendominasi dalam bidang usaha perdagangan ritel
mendorong semakin besarnya peluang perlawanan Masyarakat terhadap Pasar
Ritel. Dominasi Pasar bisa jadi tidak selamanya menimbulkan adanya ketegangan
Masyarakat dan Pasar yang tercermin dari adanya penolakan. Akan tetapi, sejauh
Pasar dilekatkan sebagai sesuatu yang merugikan, tidak menguntungkan
Masyarakat pada akhirnya Pasar memiliki arti negatif. Apalagi saat pertumbuhan
24 Tulisan aslinya, lihat pada Sofyan S. Harahap & Fahru Nofrian, “Ekonomi Memikir atau Ekonomi Merasa”, Media Indonesia, Selasa, 11 Desember 2007. 25 Baca Zaenal Soedjais, GoodGovernance, Daya Saing Dan Investasi Global, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 6, Nomor 3, Maret 2003 (309-328), hlm. 311 26 Lihat kajian Deborah Stone dalam Joash Tapiheru dari Stone, Deborah(1997), “Policy Paradox: the Art of Political Decision Making,” W&W Norton & Company, New York; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy Paradox and Political Reason,”: Chapter I “The Market and the Polis”
15
Pasar berdampak pada marginalisasi retail kecil mulai dari ekonomi, jaringan
bisnis, teknologi, manajemen, dan sosial-politik.27 Olehkarenanya Pasar yang
sedang atau akan ikut masuk dalam proses ekonomi sebuah wilayah tertentu
mendapatkan stigma sebagai entitas yang harus dilawan.
Pasar memiliki sumberdaya yang berlebih dibandingkan dengan politik
(baca:negara). Oleh karenanya politik bekerja untuk Pasar yaitu para pemilik
modal untuk memberikan jaminan aktivitas ekonomi berjalan lancar. Maksudnya,
politik dalam neoiliberalisme harus memastikan Pasar berfungsi dengan baik
(Harvey, 2005, hal. 2 dan 64). Mulai dari hak kepemilikan privat (private
property rights), Pasar bebas, dan perdagangan bebas harus diamankan dan
dijamin oleh negara. Yang mana struktur hukum, militer, pertahanan, polisi, diatur
sedemikian rupa untuk tidak menghambat dan mengganggu Pasar. Bahkan, jika
diperlukan, negara harus menggunakan monopoli sarana kekerasan untuk
melestarikan kebebasan Pasar. Namun, jangkauan negara terhadap Pasar tidak
boleh lebih dari tugas tersebut. Intervensi politik hanya sebatas mengamankan
Pasar, ketika Pasar belum atau tidak hadir di setiap sektor, maka negara harus
menghadirkannya. Selanjutnya di sepanjang aktivitas ekonomi (perdagangan,
bank, perusahaan) intervensi negara diminimalkan perannya. Hal ini dikarenakan,
negara dianggap tidak memiliki cukup informasi tentang harga, munculnya
kelompok kepentingan (partai politik, anggota parlemen, dsb) yang dikhawatirkan
mendistorsi Pasar, serta kecenderungan intervensi negara bias (untuk kepentingan
sendiri).
Disebut Harvey bahwa Pasar seperti bisnis dan perusahaan tidak hanya
berkolaborsi erat dengan aktor negara tetapi memperoleh peran yang kuat dalam
menulis undang-undang, menentukan kebijakan publik, dan pengaturan kerangka
peraturan -yang terutama menguntungkan untuk diri mereka sendiri- (Harvey,
2005, hal. 76-77), seperti mendukung politisi untuk mengeluarkan kebijakan
pemotongan pajak bagi Pasar. Esklusifitas Pasar karena mereka memiliki ciri
‘orang kaya’ yang dianggap oleh filsuf neoliberal telah mengeluarkan banyak
27 I Wayan Adnyana, Marginalization of Small Retailers As A Consequence Of The Growth of Minimarket in DenPasar City, 2013, diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/ecs/article/view/6330
16
uang untuk menegakkan jaring pengaman sosial28. Tidak hanya pengurangan
pajak, yang lebih ekstrem lagi praktik teori neoliberalisme hanya diisi kompetisi
hasil monopoli atau oligopoli, dimana perusahaan lebih kuat mengusir yang lemah
(Harvey, 2005, hal. 67).
Dalam tulisan Winarno dan Khabibi menyebut pembangunan Indonesia
yang menjalankan model neoliberalisme tidak jarang mengalami benturan,
penolakan dan resistensi di Masyarakat. Winarno dalam bukunya Etika
Pembangunan mengatakan telah bekerjanya model pembangunan neo-liberal yang
tidak mengedepankan etika pembangunan, mengejar pertumbuhan namun
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan lapisan masyarakat bawah, yaitu
model pembangunan yang selalu menghasilkan the loser (kelompok pecundang),
kelompok yang dikorbankan yang selalu dalam berperan menanggung derita di
tengah pembangunan yang hanya berpihak kepada The Gainer (kelompok
beruntung, yang merupakan sebagian kecil dari penduduk, mereka terdiri dari para
pemilik modal, pejabat dan birokrat, dan kelompok menengah atas).29 Lebih jauh,
Musyaddad menegaskan model pembangunan neo-liberalisme atau kapitalisme
yang diadopsi oleh negara tidak pernah terwujud seluruhnya di Indonesia, dan
membawa Indonesia ke arah yang tidak menentu. Sehingga, upaya untuk
meminimalkan peran negara telah membawa fragmentasi serius dan pada
gilirannya membuka konflik atas sumber daya ekonomi-politik30.
Studi mengenai Masyarakat dan Pasar, sejauh ini baru dilihat dari dua
sisi. Pertama, dari teori kebijakan publik yaitu Masyarakat dan Pasar sebagai
nalar kebijakan politik pemerintah daerah. Kedua, Masyarakat dan Pasar dilihat
dari teori pembangunan neoliberalisme yakni Pasar semakin memiliki peluang
ancaman resistensi oleh Masyarakat khususnya dari pelaku ekonomi yang
sebidang dengan Pasar. Hal ini karena Pasar mendominasi dalam bidang
perdagangan ritel. Dominasi terjadi akibat Pasar dan politik saling melekat kuat.
Dari aspek yang kedua ini, mendeklairkan Pasar memang berpeluang besar
28https://www.youtube.com/watch?v=XIUWZnnHz2g diterjemahkan oleh Amalinda Savirani, Bahan Ajar Kuliah Politik Perburuhan, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, hlm. 24 29Budi Winarno, Etika Pembnagunan, Jakarta: Caps Publishing, 2013 30 A. Musyaddad, Kapitalisme Indonesia: Langkah-langkah Tanpa Peta, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 7, Nomor 1, Juli 2003 (35-62).
17
mengalami ketegangan politik dengan Masyarakat. Pembahasan dari aspek kedua
ini menjadi payung besar studi tentang relasi Masyarakat dan Pasar ini perlu
dilihat lebih dalam dan sistematis. Dan karenanya, belum banyak yang melihat
fenomena ini dari sisi relasi diantara keduanya, khususnya dinamika relasi
ketegangan politik masing-masing aktor nya di tengah struktur politik yang
memberikan ruang aktor-aktor tersebut berdinamika dan perkembangan
pengetahuan dan teknologi dalam bidang usaha. Oleh karena itu, tesis ini ditulis
untuk mengisi gap pembahasan mengenai relasi Masyarakat dan Pasar dalam
proses-proses ekonomi di Indonesia, secara khusus di bagian kecil wilayah
otonomi Indonesia yaitu desa.
b. Logika Bertindak Masyarakat dan Pasar dalam Pembangunan Ekonomi
Masyarakat dalam filsafat politik, berperilaku seakan-akan mereka
digerakkan oleh intensi kolektif31. Masyarakat dibaca juga sebagai sebuah
komunitas, yang menekankan pada keanggotaan. Pendefinisian Masyarakat dalam
tesis ini meminjam Masyarakat model komunitas. Bahwasanya
Masyarakat/komunitas menekankan tentang keanggotaan. Komunitas itu lebih
sering berkonflik tentang apa tujuan mereka dan siapa saja anggota komunitas
mereka, dan bahkan ketika setiap tujuan komunal pada akhirnya harus dicapai
melalui perilaku individu-individu anggota komunitas. Konflik terjadi karena,
dalam Masyarakat menekankan perdebatan keanggotaan.
Sedangkan, menurut Deborah Stone32 Pasar sebagai sebuah sistem sosial,
dimana didalamnya individu-individu mengejar kemakmuran masing-masing
dengan saling mempertukarkan barang/jasa bilamana pertukaran itu dianggap
menguntungkan oleh masing-masing individu yang terlibat. Ini tidak berarti
bahwa individu-individu itu bertindak ‘mementingkan diri sendiri’ (selfishly);
kepentingan mereka bisa saja mencakup pula, misalnya, kesejahteraan keluarga
dan teman-temannya. Dalam konteks tesis ini, Pasar dimaknai sebagai aktor
31 Tulisan ini iterjemahkan oleh Joash Tapiheru dari Stone, Deborah(1997), “Policy Paradox: the Art ofPolitical Decision Making,” W&W Norton & Company, New York; pertama kali dipublikasikan 1988 dengan judul “Policy Paradox and Political Reason,”: Chapter I “The Market and the Polis” 32Joash Tapiheru, ibid.,
18
ekonomi yang memiliki sejumlah sumberdaya kapital besar dan mampu
menegoisasikan kepentingannya terhadap politik (negara) dan Masyarakat. Aktor
ini memiliki logika mengejar kemakmuran masing-masing dan kepentingan
segelintir kerabat.
c. Ketegangan Politik Dalam Relasi Masyarakat dan Pasar
Untuk memahami dinamika relasi Masyarakat dan Pasar dalam kasus
perlawanan terhadap Indomaret, penulis menggunakan teori Contentious Politics
sebagai teori utama. Teori ini membantu penulis untuk menjelaskan terkait
ketegangan yang terjadi antara Masyarakat dan Pasar, atau perlawanan
Masyarakat terhadap Pasar. Sedangkan untuk menjelaskan secara komperehensif
dinamika relasi Masyarakat dan Pasar, penulis meminjam konsep Masyarakat dan
Pasar Deborah Stone sebagaimana sudah dijelaskan di poin b di atas. Konsep
Masyarakat dan Pasar digunakan untuk memetakan dan menganalisa keangotaan
Masyarakat dan Pasar serta bekerjanya logika Masyarakat dan Pasar dalam kasus
perlawanan tersebut.
1) Gagasan Dasar Perlawanan Masyarakat
Perlawanan Masyarakat adalah wujud aktualisasi dari partisipasi politik
Masyarakat. Di Indonesia, beberapa tahun belakangan ini aktualisasi politik
Masyarakat tersalurkan dengan saluran ekstra-parlementer. Saluran ekstra-
parlementer menjadi saluran yang lebih populer di kalangan Masyarakat karena
daya pengaruhnya yang dinilai lebih efektif dibandingkan dengan saluran politik
Masyarakat yang mengikuti aturan birokrasi yang panjang. Masih menjadi pilihan
yang populer dibandingkan melalui jalur formal, meskipun reformasi telah
menyediakan, membuka, melindungi secara hukum saluran politik formal untuk
Masyarakat. Kecenderungan ini karena akses gerakan sosial (aktivitas politik
ekstra-parlementer) lebih mudah, tanpa berbelit belit, dan tanpa menunggu dan
membuang-buang waktu untuk segera diproses atau ditanggapi oleh pemerintah.
Gerakan sosial adalah wujud saluran politik Masyarakat dari saluran non-
jalan ‘damai’(Situmorang, 2013, hal. v). Situmorang mencontohkan, sejarah
perubahan peradaban ke peradaban lainnya yaitu revolusi di Eropa Barat dari
fedeoalisme ke industri memancing protes sosial (gerakan sosial dari kelompok
19
termarginalisasi. Sebagai saluran non-jalan damai, kemudian tidak jarang gerakan
sosial sangat dekat dengan stigma negatif atau meminjam istilah Benny Hari
Juliawan dalam tulisannya Tradisi Marxis dalam Kajian Gerakan Sosial33 tidak
sesuai budaya ketimuran. Kajian Gerry Van Klinken misalnya menunjukkan
pembenaran stigma tersebut. Karena biasanya gerakan sosial diikuti aksi kolektif
yang di luar batas-batas formal terkadang diikuti dengan kekerasan (Klinken,
2007, hal. 17). Tanpa mengabaikan ciri aktivitas saluran politik Masyarakat,
apakah itu melalui saluran formal atau istilan Gerry Van Klinken saluran di luar
batas-batas formal yang menggelitik pembahasan dalam rangka apa politik
Masyarakat tersebut. Jika meminjam dari tujuan gerakan Masyarakat ini adalah
tidak lain untuk merubah kebijakan34. Begitu halnya dengan melalui saluran
formal. Artinya, kebijakan politik menjadi salah satu subjek penggerak
masyarakat untuk melakukan gerakan sosial. Meminjam pembelajaran yang
terjadi di massa yang telah lewat, tepatnya memasuki pasca perang dunia kedua
dalam perkembangan peradaban masyarakat segala bentuk diskriminasi baik
berdasarkan ras, jenis kelamin, asal negara, umur, usia, kesempatan bekerja dan
hak sipil politik, ekonomi dan sosial masyarakat marjinal adalah bentuk
penindasan. Sebagai upaya menghapus penindasan tersebut bukan dilakukan
dengan jalan damai, sebagai contoh yang terjadi di Amerika yaitu gelombang
protes kelompok masyarakat terkait diskriminasi ras dan kulit (Situmorang, 2013,
hal. vi).
Sebagaimana disebut di atas aksi protes bisa jadi perkara ekonomi.
Sebagai contoh pemikir besar Karl Mark terilhami dari gerakan buruh pada era
industrialisasi, yaitu ketika kelompok pedagang mendapatkan kekuasaan untuk
mengatur negara dan sumber-sumber ekonomi, balik buruh melakukan protes
kepada para pemilik modal karena buruh merasa tidak bisa menerima keuntungan
dari proses produksi yang dikuasai dan dinikmati oleh para pemilik
modal(Situmorang, 2013, hal. v-vi).
33 Dapat dibaca di laman catatan Facebook Benny Hari Jualiawan edisi 19 November 2016. Tulisan ini pernah dimuat di kolom Basipedia majalah Basis edisi Maret-April 2016 34 Manalu, Dimpos. (2009). Gerakan Sosial Dan Perubahan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press bekerja sama dengan KSPPM. Sebagaimana yang ditegaskan dalam buku ini gerakan sosial untuk merubah kebijakan publik.
20
2) Contentious Politics antara Masyarakat dan Pasar
Dalam ketegangan politik (contentious politics) tidak dapat dilepaskan dari
bekerjanya mekanisme-mekanisme. Mustahil terjadi ketegangan politik tanpa
adanya mekanisme-mekanisme yang saling bertemu dan bekerja. Sederhananya,
kemungkinan tidak ada ketegangan antara aktor Pasar dan Masyarakat tatkala
tidak ada mekanisme yang bekerja. Mekanisme ini memberikan pengaruh yang
sangat signifikan, karena berpotensi untuk merubah. Kemudian, setelah
mekanisme-mekanisme bekerja akan mendorong aktor-aktor terlibat atau tidak
dalam ketegangan politik. Charles Tilly, Sidney Tarrow, Mc Adam
mendefinisikan ketegangan politik adalah tentang pertentangan, aksi kolektif dan
politik yang melibatkan interaksi dimana aktor melakukan klaim atas nama
kepentingan bersama dan pemerintah terlibat contentious performances dan
perdebatan repertoar. Ketegangan politik secara sederhana paling tidak memuat
mekanisme sehingga membentuk interaksi aktor dengan membawa klaim atas
nama kepentingan bersama; perdebatan repertoar atau ‘pilihan strategi’
perlawanan; dan keterlibatan pemerintah.
Mekanisme yang Mempengaruhi Relasi Ketegangan Politik Masyarakat dan Pasar
Gerakan masyarakat itu pun lebih mudah terjadi tatkala struktur peluang
negara lebih besar dibandingkan dengan tekanan negara35. Menurut Ahmad Erani
Yustika36 sistem politik yang demokratis sekurang-kurangnya memberikan tempat
bagi hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk “memperjualbelikan” kepentingan
dalam sebuah iklim kompetisi yang sehat dan terbuka. Rezim yang memberikan
ruang partisipasi Masyarakat dalam proses implementasi kebijakan pemerintah
merupakan faktor pendorong terbentuknya tuntutan di Masyarakat. Kondisi akan
jauh berbeda apabila kita menengok Indonesia ke belakang (Orde Baru). Dimana
saluran-saluran bersuara ditutup oleh rezim pada saat itu. Namun dengan
terbukanya ruang partisipasi juga tidak bisa menjamin partisipasi substantif
35 Benny Hari Juliawan, Memanfaatkan Sumberdaya Peluang (3), edisi 26 November 2016. Tulisan ini lebih detail dapat dibaca pada halaman catatan facebook beliau, atau di dalam Rubrik Basipedia majalah Basis edisi Mei-Juni 2016 36
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 246
21
Masyarakat, apabila tidak ada budaya inisiatif sendiri untuk berperan aktif.
Memutar balik pada massa Soeharto, aktualisasi politik Masyarakat sulit untuk
muncul kepermukaan, bahkan termasuk media massa dibungkam untuk
memberitakan kebrobokan pemerintah. Alih-alih untuk memprotes kebijakan
pemerintah, untuk bertanya saja sangat dibayang-bayangi dengan mata tajam
pemerintah (baca:presiden). Baru setelah reformasi berdendang aktor-aktor yang
belum mapan di Masyarakat mulai menyuarakan kepentingannya dengan
menggunakan alat atau sumberdaya sekadarnya. Ini disebut Tilly dan McAdam
dan Sidney Tarrowtelah berkontestasinya dan terlibatnya sejumlah aktor-aktor
politik baru dan mempergunakan pedekatan baru (bukan mapan) sebagai alat
politik dalam sebuah peristiwa, atau kasus-kasus ketegangan politik (contentious
politics).
Ketegangan politik (contentious politics) ini menurut pendifinisian Tilly,
Mc Adam dan Sidney Tarrow atau lebih dikenal dengan McTeam, merupakan
peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-tiba di ruang publik ketimbang di
organisasi pemerintahan dan perusahaan, bukan termasuk peritiwa yang terjadi
secara reguler seperti pemilihan parlemen, presiden, pembayaran pajak dan
penegakan hukum (Situmorang, 2013, hal. 51). Pelacakan yang dilakukan oleh
Sutoro Eko Yunanto terkait perkembangan teori contentious politics ini
dipaparkan dengan tatanan yang sangat rapi. Sejauh pelacakannya, contentious
politics disebut oleh para pemikir gerakan sosial tidak ada bedanya dengan
gerakan sosial yaitu hanya berusaha di pertukarkan. Sutoro Eko Yunanto
mengidentifikasi dari berbagai studi Mark I. Lichbach, 1998; Karen Stanbridge,
2006; David S. Meyer dan Daisy Verduzco Reyes, 2010.37 Namun, McTeam
menegaskan, contentious politics lebih luas daripada gerakan sosial. Ketegangan
politik menekankan terjadinya interaksi kolektif di antara pembuat klaim dan
objek pembuat klaim, misalnya dengan pemerintah menjadi pengklaim atau objek
klaim atau sebuah kelompok mengklaim dan bila terjadi akan mempengaruhi
paling tidak salah satu objek yang diklaim (Situmorang, 2013: 51-52). Sutoro Eko
Yunanto mencari jawaban pembeda gerakan sosial dengan contentious politics
dengan melacak karyanya. Hasil penelusurannya ia menemukan respon McTeam 37Sutoro Eko Yunanto, Drama Reformasi Kejayaan dan Keruntuhan Bupati I Gede Winasa di Jembrana, Disertasi, 2015, hlm. 39. Disertasi ini menggunakan teori contentious politics McTeam.
22
terhadap kritik terhadap contentious politics. Mereka menegaskan contentious
politics lebih besar daripada gerakan sosial (tidak semua gerakan sosial adalah
contentious politics) dan bukan sekadar politik yang rutin (upacara, kegiatan
pendidikan, pengumpulan informasi. Ketegangan politik memuat politik yang
mana menurut Tarrow pertarungan politik dalam ketegangan politik jauh lebih
luas daripada kampanye gerakan sosial (Yunanto, 2015, hal. 39-40)
Perkembangan politik masyarakat setelah runtuhnya Orde Baru, mulai
berani dan pesat melakukan bargaining dengan pemerintah. Termasuk interaksi
Masyarakat dengan kelompok kepentingan yang lain seperti dengan perusahaan,
pemilik modal, organisasi Masyarakat sipil, dan sebagainya. Interaksi dalam tesis
ini dibaca sebagai ketegangan politik (baca:gerakan sosial). Sebagaimana Tilly,
Mc. Adam dan Tarrow ketegangan politik ini bisa terjadi di dalam arena politik
karena dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu mekanisme, proses, dan peristiwa. Ketiga
hal ini merefleksikan teori ini menekankan adanya dinamika yang lebih luas tidak
statis sebagaimana perspektif social movements sebelumnya, yang memahami
banyaknya aktor berinteraksi dengan satu sama lain (Klinken, 2007, hal. 17).
Mekanisme sendiri didefiniskan oleh McTeam sebagai sebuah kejadian
yang mengubah hubungan-hubungan diantara elemen-elemen tertentu, dengan
berbagai cara yang menyesuaikan situasi -a delimited class of events that alter
relations among specified sets of elements in identical or closely similar ways
over a variety of situations-.38 Dengan mekanisme, menurut McTeam terjadi
peristiwa pembatasan kelas yang mana terjadi perubahan relasi antara elemen
kelompok tertentu dalam cara yang sama atau mirip melalui berbagai situasi.
Selanjutnya, mereka membedakan tiga mekanisme yang memberikan pengaruh
terhadap ketegangan politik, yaitu mekanisme pertama adalah lingkaran
kesempatan dan kendala beroperasi melalui rentetan perubahan lingkungan,
interprestasi perubahan, melakukan aksi dan aksi balasan(Situmorang, 2013, hal.
54). Mekanisme pertama menyangkut lingkungan (environmental mechanisms).
38Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, Dynamics Contention, Australia: Cambridge University Press, 2004, hlm. 25 dan bisa juga dilihat pada Terjemahan dari tulisan Bert Klandermans, loc.cit., hlm. 1856 38 Yunping Xie, From Social Movements To Contentious Politics A Comparative Critical Literature Review Across The U.S And China, Submitted to the faculty of the University Graduate School in partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts in the Department of Sociology, Indiana University, May 2013, hlm 16
23
McTeam menjelaskan mekanisme lingkungan berarti kondisi eksternal yang
mempengaruhi kehidupan sosial. Mekanisme tersebut bisa beroperasi secara
langsung, McCharty dan Zald memberikan contoh: penipisan atau peningkatan
sumber daya mempengaruhi kapasitas Masyarakat untuk terlibat dalam
ketegangan politik (Doug Mc Adam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004, hal. 25).
Mekanisme kedua ini disebut mekanisme relasional (relational
mechanisms). Menurut McTeam, mekanisme relasional berpotensi mengubah
hubungan antar orang, kelompok, dan jaringan interpersonal yaitu melalui
broker/pialang/perantara. Mereka mendifiniskan, sebagai penghubung dua atau
lebih situs sosial yang sebelumnya tidak terkait oleh unit yang menengahi
(mediates) hubungan mereka satu sama lain dan/ atau dengan situs lain. Sebagian
besar analis melihat broker sebagai mekanisme yang menghubungkan kelompok
dan individu satu sama lain di tempat yang stabil, tetapi bisa juga menjadi
mekanisme relasional untuk mobilisasi selama periode ketegangan politik
(contentious politics), karena kelompok baru dilemparkan bersama oleh interaksi
dan ketidakpastian yang meningkat, sehingga mereka menemukan kesamaan
kepentingan (interests) (Doug Mc Adam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004, hal.
26).
Mekanisme ketiga adalah pembentukan kategori menciptakan identitas.
Sebuah kategori sosial terdiri dari sekumpulan perbedaan yang membedakan satu
kelompok Masyarakat dengan kelompok Masyarakat lainnya (Situmorang, 2013,
hal. 54). Mekanisme ketiga ini menyangkut kesadaran (cognitive mechanisms).
Menurut McTeam, mekanisme ini bekerja melalui perubahan persepsi individu
dan kolektif (seperti mengenali, memahami, menafsirkan ulang, dan
mengklasifikasikan karakteristik mekanisme). Sketsa McTeam dari Paris dan
Greenwood menunjukkan orang-orang akan bergeser kesadaran dengan apa yang
terjadi melalui aksi kolektif. Hal ini dapat dilihat dengan pengamatan terhadap
individu atau perorangan di dalam tempat kerjanya. Sebagai contoh, mekanisme
kognitif dimana orang-orang secara individu memilih untuk tidak mengambil
risiko dari tindakan kolektif kemudian mereka menarik diri tanpa menyakiti orang
lain yang solidaritasnya mereka hargai terkadang dengan biaya menderita
kerugian serius (Doug Mc Adam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004, hal. 26).
24
Komponen-komponen ini diposisikan sebagai subjek bukan sebagai objek,
sebagai kata kerja bukan kata benda (Situmorang, 2013, hal. 51).
Di sinilah mekanisme seperti broker, difusi, tindakan terkoordinasi,
sertifikasi dan pergeseran identitas, dan proses seperti mobilisasi, demobilisasi
dan pergeseran skala ikut bermain.39 Berangkat dari paparan peran mekanisme
dalam teori contentious politics, tesis ini mengupas dinamika ketegangan
Masyarakat dan Pasar. Yang selanjutnya dipotret dari pilihan strategi dan metode
perlawanan sebagaimana yang menjadi bagian dari ketegangan politik.
Pilihan Bentuk Strategi
Untuk menjelaskan dinamika ketegangan politik (baca:gerakan sosial)
berupa tumbuh dan berkembangnya, para akademisi seperti Charles Tilly, Sidney
Tarrow, Mark Beissinger dan Marco Giugni memakai pilihan bentuk strategi dan
taktik aksi kolektif atau secara istilah adalah repertoir of contention (Situmorang,
2013, hal. 46-47).
Lebih jauh lagi dalam ketegangan politik menceritakan contentious
performances, dimana biasanya dilakukan sebagai rutinitas. Merujuk pada teori
Tilly dan Tarrow (T&T) ketegangan politik (contentious politics) adalah tentang
pertentangan, aksi kolektif dan politik yang melibatkan interaksi di mana aktor
melakukan klaim atas nama kepentingan bersama dan pemerintah terlibat
contentious performances dan perdebatan repertoar.40 Menurut McTeam
“Contentious performances sometimes clump into repertoires of claim making
routines that apply to the same claimant-object pairs: bosses and workers,
peasants and landlords, rival nationalist factions, and many more”.41 Piven dalam
(Xie, May 2013, hal. 16) menyebut contentious performaces seperti istilah
repertoire yang tercetak di memori budaya oleh organisasi atau pemimpin dalam
konflik yang pernah terjadi sebelumnya. Repertoar perdebatan menurut McTeam
berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara rezim. Sebagai contoh, parade di
Francis diawal sejarahnya selama masa kerajaan tahun 1830-an tidak memiliki
39 Ditertejemahkan oleh penulis kedalam bahasa Indonesia tulisan Bert Klandermans, Contentious Politics (Charles Tilly and Sidney Tarrow), Social Forces, Vol. 86 No 4 (Juni, 2008): Oxford University Press, hlm. 1856 40 Bert Klandermans, ibid., hlm. 1856 41 Yunping Xie,op.cit.,hlm 16
25
daya tekan politik dan bersifat rutin, namun kemudian parade berubah menjadi
bentuk aksi utama selama masa republik kedua pada tahun 1985-19851 yang
sekarang disebut dengan demonstrasi (Situmorang, 2013, hal. 48). Gerakan sosial
terdiri dari berbagai aktor dengan mengejar banyak strategi di tempat institusi dan
tempat esktra-institusional. Terkadang satu organisasi menggabungkan sarana
pengaruh institusional seperti lobi dan politik elektoral dengan strategi ekstra-
institusional seperti demonstrasi dan boikot.42
Menurut Van Klinken dalam bukunya Perang Kota Kecil, teori contentious
politics versi Tarrow dan Tilly dan Mc Team memiliki inovasi penting
dibandingkan teori gerakan sosial mobilisasi sumberdaya sebelumnya yang
berfokus pada kaum elit yakni teori contentious politics terbuka dengan faktor
kultural artinya penting untuk mengeksplorasi pikiran orang mengapa ikut terlibat
dalam ketegangan politik bukan sekedar mobilisasi (Klinken, 2007, hal. 89).
Faktor kultural sebagaimana dikutip dari (Klinken, 2007, hal. 109-110)
secara heuristik membedakan dua pola tindakan yang didorong oleh identitas,
yaitu ‘embedded’ (berakar), dan ‘detached’ atau lepas. Identitas berakar merujuk
pada identitas yang mewarnai tentang hubungan-hubungan sosial yang luas,
seperti keluarga di sebuah desa. Perseteruan yang melibatkan identitas berakar
cenderung mengetahkan rangkaian aksi perseteruan yang sangat khas seperti
bercirikan tindakan yang partikularistik (dilekatkan pada kelompok-kelompok,
isu-isu atau tempat lokal tertentu) dengan skala tindakan yang kecil (melibatkan
beberapa kelompok orang), bersifat langsung tanpa ada perantara yang memiliki
kedudukan istimewa, dan aksi perseteruan itu terkesan spontan. Sebaliknya,
identitas-identitas lepas mewarnai hubungan-hubungan sosial yang sangat sempit
(contoh: keanggotaan partai politik), cenderung mengetahkan pengajuan tuntutan
yang berbeda dari yang dikaitkan dengan identitas-identitas berakar, hubungan
sosial bersifat ‘modular’ –tidak terikat pada tempat-tempat tertentu, skala tindakan
besar sehingga membutuhkan koordinasi yang luas, dan membutuhkan mediator –
membutuhkan para perantara politis dan jaringan-jaringan komunikasi.
42 William A. Gamson dan David. S. Meyer, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, Mayer N. Zald , Comparative Perspectives on Social Movements, Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hlm. 283
26
Teori contentious politics memasukkan konsep ‘framing’ sebagai upaya
untuk mengetahui bagaimana perasaan dan apa yang dipikirkan oleh massa atau
istilah Van Klinken ‘bagaimana perasaan massa yang terdiri atas orang
kebanyakan’43. Analisis gerakan sosial fokus pada kaum elit. Definisi framing
yaitu proses kolektif menafsirkan, atribusi (attribution), dan konstruksi sosial,
memediasi antara kesempatan (opportunity) dan tindakan, dengan praktik secara
minimal, orang harus merasa dirugikan pada beberapa aspek hidup dan optimis
bahwa akting secara kolektif bisa memperbaiki masalah (Snow, dkk, 1986; Snow
dan Benford 1988).44 Menurut McTeam, gerakan ‘frame’ keluhan spesifik dalam
kerangka kerangka tindakan kolektif umum yang mengajukan klaim,
menghubungkan mereka dengan orang lain, dan membantu menghasilkan sebuah
Identitas Kolektif di kalangan para penggugat (claimants).45
Framing adalah diskusi penting dalam ketegangan politik. Lebih jauh,
menurut McTeam, ‘framing’ sebagai proses pertarungan internal dalam gerakan
dengan aktor yang berbeda untuk mengambil posisi yang berbeda. Van Klinken
menyarikan definisi framing dari berbagai penulis seperti Gamson dan Meyer,
Snow dkk, dan Snow dan Benford secara jernih, bahwa framing adalah berkaitan
dengan bagaimana para organisator gerakan berusaha memberikan arti pada
kejadian-kejadian kontemporer dengan jalan membangun seperangkat
kepercayaan-kepercayaan umum inti.46 Snow Benford dkk dalam Van Klinken
menegaskan dalam framing ada tugas inti bagi para organisator. Yaitu:
“mempigurai masalah kontemporer sedemikian rupa, sehingga masalah itu bergaung bagi pendengarnya. Para oragnisator harus melukiskan situasinya sebagai sebuah masalah, menyodorkan sebuah solusi, dan akhirnya melontarkan seruan untuk mengangkat senjata. Pendengar akan merespons framing ini jika apa yang dikatakan menyentuh apa yang sudah mereka yakini di titik-titik sentral. Proses ini disebut ‘frame alignment’. Jika sukses, orang-orang yang dulu biasa menyalahkan diri sendiri karena kesulitan-kesulitan mereka sekarang mendadak sadar bahwa masalahnya adalah tidak adanya ketidakadilan di dunia luar sana, dan mereka bisa melakukan sesuatu untuk membenahi hal itu.”47
43 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2007, hlm 89 44 Dalam Doug Mc Adam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, Dynamics of Contention, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hlm 41 45Doug Mc Adam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, Dynamics of Contention, loc.cit. 46 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, op.cit., hlm. 115 47 Gerry Van Klinken,Perang Kota Kecil,ibid., hlm. 116
27
Juga disebut oleh Gamson, W.A dan Meyer dalam karyanya Framing
political opportunity, yaitu kesepakatan ‘framing’ bervariasi tergantung dengan
gerakan dan tipikal dari proses ketegangan internal, dan definisi dari peluang
sering menjadi perdebatan. Dengan kata lain Gamson dan Meyer ingin
menyampaikan kesepakatan ‘framing’ tergantung dari proses mendefinisikan
peluang dan cara kerjanya (framing consensus, then is variable between
movenments and typically a contentious internal process,and the definition of
opportunity is often at the center of what is most contentious. This sugest that we
need to focus on this process of defining opportunity and how it works).48
Peran Pemerintah dalam Ketegangan Politik
Dalam ketegangan politik, pemerintah juga menjadi bagian dari perhatian
teori ini. Pada hakikatnya pemerintah dalam konsep McTeam disebut sebagai
pihak yang bertugas membuat kebijaksanaan untuk menengahi ketegangan politik
kelompok-kelompok/individu dengan masing-masing klaim kepentingannya.
Penganalogian secara sederhana oleh Sophie Long sebagai berikut sangat
membantu memahami bagaimana posisi pemerintah:
“Dalam tingkatan kehidupan pribadi dan sehari-hari, kita mengalami saat-saat pertengkaran ketika kita memperdebatkan, mana film untuk menonton atau dimana untuk makan malam, tujuan dan kepentingan kita diadu orang lain, dan jika kita menempatkan kepentingan kita sendiri di atas mereka, kita akan menggunakan berbagai metode untuk memastikan kami menang. Disebut sebagai ketegangan politik ketika dampak pertengkaran terhadap agen pemerintah atau bersinggungan dengan beberapa bantalan pada kepentingan pemerintah. Yang kemudian, pemerintah merespon dengan membentuk mode perselisihan, melalui undang-undang dan norma kewirausahaan, atau dikelola dengan menanggapi klaim bukan menekan atau mengabaikan mereka yang saling bertengkar, seperti halnya yang terjadi di Amerika Selatan, ketika sebuah kelompok warga secara kolektif melakukan klaim atas aktor lain-pemerintah, badan keagamaan- dalam kasus hak pilih perempuan dan ‘pro-life’ negara sering akan bertanggung jawab untuk mengatur hak untuk protes dan kebijakan tentang protes.49”
48 William A. Gamson dan David. S. Meyer, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, Mayer N. Zald , Comparative Perspectives on Social Movements, Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hlm. 283 49 Ditertejemahkan oleh penulis kedalam bahasa Indonesia tulisan Sophie Long, Book Review: Contention Politics by Charles Tilly and Sidney Tarrow, diakses pada http://blogs.lse.ac.uk/lsereviewofbooks/2016/01/05/book-review-contentious-politics-by-charles-tilly-and-sidney-tarrow/
28
Analogi tersebut menunjukkan ketegangan politik (contentious politics)
merujuk pada usaha saling menuntut dan mengajukan klaim yang mana
ketegangan berlangsung dengan menjadikan struktur politik formal sebagai
sasaran ataupun pihak ketiga dengan membawa tuntutan (klaim). Klaim adalah,
Claims and counterclaims do not occur randomly; they take their shape from surrounding regimes, cultures, and interaction. They respond to a regime’s opportunities, threats, and constraints.50
Munculnya tuntutan dalam contentious politics McTeam ditegaskan tidak
terjadi secara acak. Tuntutan klaim berangkat dari tiga kategori: identitas,
pendirian (standing), dan program. Hampir sama dengan gerakan sosial.
Penjelasannya dari ketiga kategori tersebut adalah
From their eighteenth-century origins onward, social movements have proceeded not as solo performances but as a interactive campaigns; social movements combine three kinds of claim: program, identity and standing.” “The struggle we have witnessed always featured programs of political change, but they also include claims that the proponents of those program enjoyed the capacity for autonomous, effective action and that participants had the political standing to speak publicly on the issues at hand” (Tilly and Wood 2009: 35). On the other hand, in the Contentious Politics Tilly and Tarrow also mention that collective claims fall into three categories: identity, standing and program. Identity declare that an actor exists; standing claims say that the actor belongs to an established category within the regime and therefore deserves the rights and respect that members of that category receive; program claims call for their objects to act in a certain way.51
Tuntutan (klaim) terbentuk dari bentuk rezim, budaya, dan interaksi, yang
kemudian pada akhirnya tuntutan yang terbentuk digunakan untuk merespon
rezim struktur peluang politik (political opportunity structures), ancaman, dan
hambatan. Struktur peluang politik menjadi hal yang penting dan diperhitungkan
dalam ketegangan politik (Stanbridge, 2006). Menurut Tarrow ada empat variabel
struktur peluang politik, yakni:
The main variables in most models of the structures of political opportunity are: the degree of openness or of closure of the polity; the stability or instability of political alignments; the presence or absence of allies and support groups;
50 Yunping Xie, From Social Movements To Contentious Politics A Comparative Critical Literature Review Across The U.S And China, Submitted to the faculty of the University Graduate School in partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts in the Department of Sociology, Indiana University, May 2013, hlm. 14 51 Yunping Xie, loc.cit,
29
divisions within the elite or its tolerance for protest; and the policy-making capacity of the government.52
Contentious politics merujuk pada bagaimana menemukan peluang
(opportunity) atau kesempatan untuk mengubah kebijakan atau menghentikan
sejenak kebijakan, dengan proses bekerja yang memiliki tingkatan waktu
perjuangan (baca: proses lama). Struktural politis sangat diperhitungkan
dinamikanya, yaitu tekanan pada struktur peluang politik (political opportunity)
berupa peluang-ancaman bagi para aktivis dan fasilitasi oleh negara.53 Kemudian
dari perhitungan dinamika struktural politis tersebut muncullah gerakan penolakan
diikuti dengan klaim yang dibawa. Secara ringkas, contentious politics terjadi
ketika bertemunya komponen pertengkaran, aksi kolektif, dan politik bertemu dan
saling bersinggungan. Dalam ketegangan politik, perjuangan mendapatkan
kekuasaan oleh aksi kolektif dilakukan dengan mengambil semua kemungkinan
sumber daya peluang politik yang kontroversial dan menambah perjuangan di luar
arena pemerintah.54
Bagan 1. 1 Komponen Contentious Politics Dikutip dari (Charles Tilly & Sidney Tarrow, 2015, hal. 10)
52 Terjemahan dari tulisan Bert Klandermans, Contentious Politics (Charles Tilly and Sidney Tarrow), Social Forces, Vol. 86 No 4 (Juni, 2008): Oxford University Press, hlm. 1856 52 Yunping Xie, op.cit., hlm 14-15 53 Benny Hari Juliawan, Memanfaatkan Sumberdaya dan Peluang, dikutip dalam catatan facebook 26 November 2016. Tulisan ini juga pernah terbit dalam rubrik Basipedia di Majalah Basis edisi Mei-Juni 2016 54 Charles Tilly & Sidney Tarrow, Contentious Politics, Second Edition (United States, Oxford University Press, 2015, 10)
Politics contentionn
Collective Action Contentious Politics
30
Dengan memperhitungkan bahkan saling memperebutkan struktur peluang
politik, ketegangan diantara Masyarakat dan Pasar memungkinkan mengalami
dinamika. Memperhitungkan dan memperebutkan struktur peluang politik yang
penulis maksud, adalah peluang politik adalah sebagai subyek dan objek. Sebagai
subyek artinya, ketegangan politik berupa tindakan kolektif dengan disertai klaim
dapat muncul ketika peluang politik terbuka. Sedangkan, sebagai objek, artinya
peluang politik adalah sasaran yang sedang diperebutkan dalam ketegangan
politik. Gamson dan Meyer menamai ini dengan adanya interaksi antara gerakan
(movement) dan peluang (opportunities), yaitu peluang yang terbuka adalah jalan
aksi politik terjadi, tetapi gerakan juga membuat peluang55.
Dalam teori contentious politics, aktor-aktor yang terlibat berupaya
mengejar bentuk political opportunity yang diinginkan. Dengan tujuan untuk
menyeimbangakan kekuasaan (balancing power). Keberpihakan politik, dan hadir
atau tidak nya alinasi dan kelompok pendukung protes menjadi faktor yang
memungkinkan ketegangan mengalami dinamika. Lebih lanjut, secara kontekstual
kondisi struktur politik (pemerintah desa Arjowilangun) berdiri pada struktur
ekonomi Masyarakat desa yang mulai tahun 1998 mandiri. Artinya, dalam kasus
penolakan rencana kehadiran Pasar, struktur peluang politik di desa menjadi unsur
yang diperhitungkan, selain struktur peluang politik di tingkat kabupaten.
4. Kerangka Analisa
Relasi Masyarakat dan Pasar dalam studi ini dimaknai sebagai bangunan
interaksi antara aktor demokrasi yang berdinamika dalam proses-proses ekonomi.
Berdinamika karena proses-proses ekonomi tidak mungkin bersifat a-politis. Tesis
ini memiliki asumsi, ‘pilihan’ strategi dan perlawanan Masyarakat di Desa
Arjowilangun sebagai gambaran telah terjadinya ancaman pergeseran aktor dalam
relasi tersebut. Kedua, pergeseran aktor memungkinkan merujuk pada antar
anggota di dalam Masyarakat akan mengarah pada ancaman gesekan karena
mekanisme-mekanisme ketegangan (mekanisme lingkaran kesempatan, broker,
dan kognitif) tidak dapat diabaikan berproses dalam sebuah kasus perlawanan
55William A. Gamson and David S. Meyer, Framing Political Opportunity, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, Mayer N. Zald , Comparative Perspectives on Social Movements, Cambridge: Cambridge University Press, 1996, hlm. 276
31
khususnya perlawanan terhadap entitas yang diyakini sebagai pembawa
modernisasi pembangunan. Asumsi ini sejalan dengan pandangan Zizek saat
struktur politik seperti pemerintah Orde Baru dengan jargon “seluruh rakyat
mendukung pembangunan”, akan terjadi definisi melingkar timbal balik tentang
rakyat (baca:Masyarakat), sehingga yang disebut rakyat adalah mereka yang
medukung pembangunan, dan akibatnya rakyat yang tidak mendukung
pembangunan menjadi musuh rakyat (Robet, 2010, hal. 162-163).
Ada dua hal terkait kerangka pikir relasi Masyarakat dan Pasar. Pertama,
terkait dengan siapa yang dimaksud dengan Masyarakat dan siapa yang dimaksud
dengan Pasar. Dalam tubuh Masyarakat dalam tesis ini didefinisikan selalu
menggunakan kehendak kolektif dan menekankan pada keanggotaan (Deborah).
Menyadari begitu luas nya imajinasi tentang Masyarakat, dan pertimbangan arena
politik ketegangan ada dalam arena bisnis ekonomi maka dalam konteks ini perlu
ditegaskan Masyarakat adalah pelaku ekonomi desa yang bergerak dalam bidang
perdagangan ritel yang ada secara khusus di Desa Arjowilangun. Konteks desa
sebagai tempat yang masih menekankan nilai-nilai kehendak kolektif, maka
pelaku ekonomi di desa pun diandaikan dalam tesis ini juga mengedepankan
kehendak kolektif. Selain itu pendifinisian ini karena penulis tidak menutup mata
atas pro kontra pandangan pelaku ekonomi desa terhadap Pasar.
Kedua, terakait dengan bagaimana dinamika relasi antara Masyarakat dan
Pasar yang dimaksud dalam studi ini, perlu ada kesepakatan di awal dalam studi
ini. Dinamika disini merujuk pada kemungkinan pergeseran aktor yang
bersitegang, apakah itu masih didominasi ketegangan antara Masyarakat secara
keseluruhan (seluruh pelaku ekonomi desa) face to face dengan Pasar; ataukah ada
pengurangan derajat ketegangan yang teraktualisasi dari rasa kebencian dan
keinginan menyingkirkan Pasar dari proses ekonomi desa oleh Masyarakat secara
keseluruhan, misal akibat kemunculan aktor ekonomi desa baru yang powerfull
secara modal ekonomi seperti TKI; ataukah Masyarakat itu sendiri menuju pada
ancaman ketegangan karena pengaruh-pengaruh mekanisme dalam ketegangan
politik; ataukah akan terjadi kombinasi dari kemungkinan dinamika tersebut.
Ketiga, melacak ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan Masyarakat di
Desa Arjowilangun. ‘Pilihan’ strategi dan metode ini digunakan untuk membaca
32
fakta dinamika relasi ketegangan Masyarakat dan Pasar. Bertebaran di berbagai
media massa online yang menunjukkan Masyarakat (pelaku ekonomi) dihadapkan
pada musuh bersama Pasar (Indomaret). Dari pelacakan ‘pilihan’ strategi dan
metode ini dapat dibaca cerita dibalik fenomena ketegangan politik antara
Masyarakat dan Pasar dalam proses-proses ekonomi. Selain itu pelacakan
‘pilihan’ strategi dan metode ini sebagai penguat kesimpulan dan argumen tesis
ini di bab penutup.
Terakhir, melakukan ekplorasi tentang implikasi dari ‘pilihan’ strategi dan
metode perlawanan. Upaya eksplorasi terakhir ini membantu penulis menemukan
kesesuaian teori contentious politics Mc Team dengan kasus Indonesia, khususnya
desa.
Untuk menjawab dinamika relasi Masyarakat dan Pasar, studi ini memakai
kasus perlawanan Masyarakat Desa Arjowilangun terhadap Indomaret (Pasar).
Kasus ini pertama-tama dijelaskan faktor-faktor yang memungkinkan berlangsung
perlawanan terhadap Indomaret, mulai dari faktor yang ada di desa. Faktor tidak
hanya dilihat dari skop desa, tetapi juga tingkat kabupaten, karena pengaturan
politik tentang ijin Indomaret tidak bisa dipisahkan dari aturan politis dan
teknokratis kabupaten. Tidak terkecuali faktor dari si empu yang ditolak oleh
Masyarakat, yaitu Indomaret dengan daftar perjalanan bisnisnya.
Sebagai panduan dalam kerangka analisa di atas, studi ini mem-breakdown
teori contentious politics56 dan konsep Masyarakat dan Pasar ke dalam definisi
konseptual dan kemudian diturunkan lagi ke dalam operasionalisasi konsep.
Menurut Allan Isaak57 konsep adalah abstraksi dari berbagai fenomena yang
bertujuan untuk menggambarkan sesuatu dan agar mudah dipahami maka
diperlukan upaya pendifinisan secara operasional. Dalam proses penelitian setelah
menemukan masalah, hal yang harus dilakukan adalah melengkapi elemen 56 Dalam studi ini, unsur-unsur dalam teori contentious politics digunakan secara utuh mulai dari mekanisme, proses, dan peristiwa. Tesis ini mencoba menjajal teori contentious politics pada kasus perlawanan Indomaret (bidang perdagangan ritel) di Indonesia, dengan melihat apakah tahapan ketegangan politik, mulai dari bagaimana identitas kelompok terbentuk diawal, kemudian berekskalasi menjadi lebih besar melibatkan aktor yang lebih besar, dan sampai teroganisir menjadi aktor politik tunggal. Ilustrasi penggunaan unsur dari teori contentious politics ini dapat ditemukan dalam karya Gerry Van Klinken yang berjudul Perang Kota Kecil Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi di Indonesia. 57 Leli Soemantri, diakses dari https://www.academia.edu/20318953/Operasionalisasi_dan_Konseptualiasi_Jurnal, 23 Mei 2017, 20.00 WIB
33
penelitian yaitu mem-breakdown masalah ke dalam konseptualisasi dan
operasionalisasi. Konsep dalam penelitian politik (political research) sebagai
persepsi yang digunakan untuk mewakili karakteristik politik.58 Langkah
selanjutnya menerjemahkan konsep ke dalam peristiwa yang bisa diamati
(observable events), sebagai contoh konsep sosialisasi politik (political
socialization) dianalisis dengan membandingkan partai yang dipilih oleh first-time
voters dan partai yang dipilih oleh orang tua59. Definisi konseptual dan
operasionalisasi konsep ini digunakan sebagai batasan penelitian:
a. Definisi Konseptual:
1. Ketegangan politik (contentious politics), yaitu peristiwa ketegangan
atau pertentangan antar aktor baru yang terjadi secara episodik di luar
politik formal dengan membawa klaim-klaim kepentingan atas nama
kepentingan bersama atau kehendak kolektif dengan memperhatikan
stuktur peluang politik dan pemerintah terlibat sebagai pembentuk
mode perselisihan dalam ketegangan politik dan perdebatan repertoire.
2. Relasi Masyarakat dan Pasar disini dibaca dengan perspektif
ketegangan politik (contentious politics) McTeam dengan konteks
perdagangan ritel. Sehingga relasi Masyarakat dan Pasar adalah
pertentangan, aksi kolektif dan politik yang melibatkan interaksi antara
aktor Masyarakat dan Pasar khususnya dalam bidang perdagangan ritel
di Indonesia dengan melakukan klaim atas nama kepentingan bersama.
3. Masyarakat menurut Deborah menekankan bertindak dengan cara
pandang komunitas. Artinya di dalam individu-individu yang bertindak
untuk memenuhi kehendak kolektif dan seringkali berkonflik akibat
memperdebatkan keanggotaan dari komunitas/ Masyarakat. Secara
konteks studi ini, Masyarakat Arjowilangun dengan konteks pedesaan
secara umum cenderung bertindak dengan cara pandang komunitas.
4. Pasar menurut Deborah di dalamnya terdiri dari individu-individu yang
mengedepankan pengejaran kemakmuran pribadi, termasuk di
58Isaak, An Introduction to Political Science and Political research, hlm. 15, didownload dari http://www.angelo.edu/faculty/ljones/gov3301/bookpdf/Jones%20ch01.qxd.pdf 59Isaak, An Introduction to Political Science and Political research 16 http://www.angelo.edu/faculty/ljones/gov3301/bookpdf/Jones%20ch01.qxd.pdf
34
dalamnya kesejahteraan teman dan keluarga dan tidak mengedepankan
keanggotaan di dalamnya.
5. Pilihan strategi dan taktik atau repertoire adalah alat interaksi
sekelompok Masyarakat dalam jumlah besar bukan diantara individu
namun bisa berupa satu aktor wakil sekelompok Masyarakat terhadap
objek klaim.
6. Dinamika ketegangan merujuk pada adanya perubahan hubungan
antara aktor Pasar dan Masyarakat yang diakibatkan karena adanya
mekanisme yaitu sebuah kejadian yang mengubah hubungan-hubungan
antar elemen, berupa mekanisme lingkungan, mekanisme
relasional/broker, dan mekanisme kognitif, termasuk di dalamnya
framing.
7. Framing adalah pembingkaian yang menyebabkan aktor bergabung
atau tidak dalam ketegangan politik. Merujuk sebagaimana Van
Klinken menyarikan definisi framing dari berbagai penulis seperti
Gamson dan Meyer, Snow dkk, dan Snow dan Benford secara jernih,
bahwa framing adalah berkaitan dengan bagaimana para organisator
gerakan berusaha memberikan arti pada kejadian-kejadian
kontemporer dengan jalan membangun seperangkat kepercayaan-
kepercayaan umum inti.
b. Operasionalisasi Konsep
Tabel 1. 2 Operasionalisasi Konsep Variabel Dimensi Operasionalisasi Contentious politics
1. Struktur peluang politik
2. Tuntutan (klaim) 3. Peran pemerintah
sebagai mode perselisihan
4. Pilihan strategi dan taktik (repertoar)
1. Menggali struktur peluang politik di level Kabupaten Malang dan level desa yang mempengaruhi ketegangan politik Masyarakat dan Pasar
2. Klaim yang dimunculkan oleh aktor-aktor ketegangan mulai dari Masyarakat, Pasar –dalam hal ini termasuk Masyarakat yang tergabung dengan Pasar (Indomaret)-, dan pemerintah.
3. Bagaimana peran pemerintah Kabupaten Malang, Kecamatan Kalipare dan Desa Arjowilangun dalam
35
ketegangan politik Masyarakat dan Pasar yang terjadi di Desa Arjowilangun? Politik disini merujuk pada dua level yaitu kabupaten dan desa. Peran pemerintah dalam teori McTeam adalah sebagai mode perselisihan. Dalam studi ini, penggalian mendalam tentang peran pemerintah ini mengarah kepada temuan teoritik.
4. Bagaimana ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan oleh pelaku ekonomi Desa Arjowilangun untuk melawan Indomaret?
Relasi Masyarakat dan Pasar
1. Interaksi antara aktor yang bersitegang dan pemerintah
1. Bagaimana interaksi antara pelaku ekonomi desa dengan Indomaret?
2. Bagaimana interkasi antara pelaku ekonomi desa dengan politik (pemdes)?
3. Bagaimana interaksi antar pelaku ekonomi Desa Arjowilangun?
Masyarakat 1. Anggota komunitas
2. Klaim bertindak atas nama kehendak kolektif
1. Mengidentifikasi siapa-siapa aktor yang tergabung dalam kelompok yang mengatasnamakan pelaku ekonomi desa yang melawan Pasar.
2. Mendiskripsikan klaim perlawanan yang mengatasnamakan kehendak kolektif Masyarakat desa Arjowilangun.
Pasar 1. Terdiri dari individu-individu
2. Alasan bertindak
1. Mengidentifikasi siapa aktor-aktor Masyarakat sebagai pelaku ekonomi desa yang menginginkan Pasar supaya terlibat dalam proses ekonomi Desa Arjowilangun.
2. Menggali alasan sebagian pelaku ekonomi desa tergabung menerima Pasar (Indomaret)
Dinamika ketegangan
1. Mekanisme lingkungan
2. Mekanisme relasional
3. Mekanisme kognitif/kesadaran
4. Framing
1. Bagaimana kondisi eksternal yang mempengaruhi munculnya perlawanan oleh Masyarakat Arjowilangun khususnya kelompok yang mengatasnamakan pelaku ekonomi desa bidang ritel? kondisi eksternal dalam dimensi ini
lebih luas tidak hanya stuktur peluang politik (watak politik kebijakan ekonomi Kabupaten Malang) tetapi meliputi rentetan
36
aksi perlawanan di Kabupaten Malang, kelangkaan sumberdaya peluang ekonomi)
2. Bagaimana perlawanan Indomaret pada akhirnya dilakukan oleh Masyarakat Arjowilangun?
3. Bagaimana perlawanan Indomaret tidak melibatkan seluruh Masyarakat yang memiliki usaha ritel desa?
4. Bagaimana para pelaku ekonomi desa di Arjowilangun meskipun terpecah menjadi dua kubu tetapi tetap bisa membuat Pasar gagal mengintervensi proses perekonomian Desa Arjowilangun?
5. Metode Penelitian
Studi ini bercorak penelitian kualitatif dengan metode studi kasus (case
study). Menurut Creswell, penelitian studi kasus adalah sebuah penelitian dengan
pendekatan kualitatif yang menginvestigasi dan menggali sebuah atau beberapa
kasus secara utuh (bounded) dengan rentang waktu yang khusus atau spesifik,
dilakukan secara detail, penggalian data secara mendalam dari berbagai sumber
informasi (observasi, wawancara, rekaman suara dan gambar, dokumen, dan
laporan yang mendeskripsikan atau menginformasikan topik tertentu yang dipilih
dalam studi ini)(Creswell, 2007, hal. 73). Penelitian kualitatif dalam studi ini
secara khusus menggunakan metode studi kasus intrinsik (instrinsic case study)60.
Metode ini berfokus dengan kasus itu sendiri, dengan melihat dan menggali
keunikan dari kasus yang diteliti, khususnya keunikan kasus perlawanan
(Creswell, 2007, hal. 74).
Ide dasarnya adalah untuk mengetahui dinamika relasi antara Masyarakat
dan Pasar dalam kasus perlawanan Masyarakat terhadap Indomaret sebagai aktor
kapitalistik yang bermodal besar dalam bidang usaha ritel. Peneliti berasumsi
bahwa relasi Masyarakat dan Pasar memiliki cerita-cerita yang berbeda-beda
Masyarakat dan Pasar di wilayah tertentu (Khabibi, 2014)(Kusdiane, 2014). Kasus
di Arjowilangun ini dipilih karena dua hal: secara kontesktual, Arjowilangun
60Ada tiga metode penelitian studi kasus, yakni studi kasus tunggal, studi kasus banyak, dan studi kasus intrinsik. Lebih detail lihat pada John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design. Choosing Among Five Approach. Second Edition. London: Sage Publications, hlm. 74
37
memiliki historis perjalanan ekonomi desa yang kemudian membentuk
kesepakatan tidak tertulis yaitu dalam bidang usaha ekonomi Masyarakat secara
keseluruhan ‘tertutup’ dengan intervensi pelaku ekonomi dari luar desa. Kedua
perlawanan di Desa Arjowilangun tetap terjadi meskipun struktur politik ekonomi
Kabupaten Malang dalam pemberian ijin telah memprioritaskan Masyarakat
setempat sebagai pemegang investasi/ tuan rumah dengan Indomaret melalui pola
franchise yang bertujuan untuk menutup kesenjangan kecemburuan sosial dan
perlawanan terhadap Indomaret. Ketiga, kemunculan para pelaku ekonomi baru
yaitu para mantan buruh migran yang mendirikan toko ritel dengan skala modal
besar dan manajemen semi modern membawa pada pertanyaan bagaimana
perlawanan masih terjadi di Desa Arjowilangun, sedangkan sebagaimana berbagai
kasus perlawanan di berbagai wilayah terjadi karena adanya kecenderungan
permasalahan gap modal antara pelaku ekonomi ritel kecil dengan jejaring peritel
besar (Indomaret), atau kalah secara modal ekonomi.
Sederhananya, menggunakan studi kasus karena penulis dapat mencermati
kekhasan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam kasus ini yang kemudian
dapat menjelaskan ‘pilihan’ strategi dan metode sebagai gambaran ada dinamika
aktor ketegangan yaitu Masyarakat dan Pasar, serta kemungkinan variabel teori
contentious politics yang terangkum dalam ketiga mekanisme tersebut.
Teknik penggalian data dengan menggabungkan teknik desk study dan
field study. Desk study terhadap hasil penelitian terkait Desa Arjowilangun, studi
media, dokumen di desa yang sejalan dengan studi ini. Untuk field study
dilakukan dengan wawancara mendalam pada aktor kunci yang terlibat dalam
perlawanan yaitu pelaku ekonomi desa yang memiliki toko ritel, pemerintah desa,
dan broker. Penelitian ini menggali data secara detail terkait relasi Masyarakat dan
Pasar saat masuknya intervensi Pasar di Desa Arjowilangun. Unit analisa utama
dalam tesis ini adalah Masyarakat. Pasar diasumsikan telah melebur di
Masyarakat mengingat dua hal:
a. Sistem pendirian usaha dengan pola franchise terbuka bagi Masyarakat
yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh perusahaan
PT. Indomarco Prismatama.
38
b. Karena akibat struktur politik Kabupaten Malang yang mengatur
‘pemegang’ investasi adalah pelaku usaha yang domisili sesuai dengan
lokasi minimarket yang akan dibangun.
Meskipun begitu, negara diwakili pemerintah kabupaten dan desa tetap
menjadi unit analisa karena negara bisa menjadi entitas sumber daya peluang
kekuatan Masyarakat ataupun Pasar yang sedang diperebutkan untuk
memenangkan atau minimal mencapai keseimbangan posisi.
6. Struktur Tesis
Bab I Pendahuluan
Bab ini adalah berisi uraian yang mengarahkan dan mengkerangkai tesis ini yang
berkaitan dengan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, literatur
review, kerangka analisa, metode penelitian dan rencana struktur tesis.
Bab II Munculnya Interaksi Aktor-aktor Ketegangan
Bab ini adalah penjelasan konteks yang terdiri dari paparan mekanisme-
mekanisme yang mempengaruhi terjadinya ketegangan politik antara Masyarakat
dan Pasar. Bekerjanya makanisme-mekanisme tersebut kemudian membentuk
siapa-siapa aktor baru yang terlibat dalam perlawanan (baca: ketegangan politik)
terhadap Indomaret di Desa Arjowilangun, mulai bertindak sebagai broker, aktor
yang mengklaim, dan objek klaim. Selain itu, dalam bab ini ditunjukkan
bagiamana mekanisme membuat Masyarakat sebagai pelaku ekonomi desa
mengalami fragmentasi, artinya aktor yang melawan Pasar tidak melibatkan
seluruh pelaku ekonomi di desa. Begitupula, pelaku ekonomi desa yang kuat
secara modal pun juga melawan Pasar dengan cara menyingkirkan, termasuk
bagaimana peran pemerintah desa dalam ketegangan tersebut.
39
Bab III ‘Pilihan’ Strategi dan Metode Melawan Rencana Intervensi
Indomaret dalam Proses Ekonomi Desa Arjowilangun
Bab ini menggali ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan yang digunakan untuk
melawan Indomaret. Bab ini menunjukkan ‘pilihan’ strategi dan metode
perlawanan menjadi cerminan akan ancaman dinamika relasi ketegangan
Masyarakat dan Pasar berupa pergeseran aktor yang bersitegang.
Bab IV Implikasi ‘Pilihan’ Strategi dan Metode Perlawanan
Bab ini mendiskusikan implikasi langsung dan tidak langsung dari ‘pilihan’
strategi dan metode perlawanan pelaku ekonomi desa. Bab ini menjadi diskusi
penting dalam tesis ini terkait dinamika relasi Masyarakat dan Pasar yang terjadi
saat ‘pilihan’ strategi dan metode perlawanan itu dipilih. Termasuk lebih jauh,
mengidentifikasi tentang sumberdaya peluang politik yang diperebutkan dan
dipergunakan di dalam persaingan bisnis.
Bab V yaitu Kesimpulan. Berisi temuan empiris dan refleksi teoritis.