Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

12
Pendahuluan Pajak adalah sumber utama pendapatan pemerintah. Fungsi utama dari otoritas pajak di seluruh dunia adalah untuk mengurangi kesenjangan pajak yakni perbedaan dalam potensi pajak dan pendapatan pajak yang sebenarnya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak di Indonesia berkewajiban memperkuat strategi kepatuhan dengan tujuan untuk meminimalkan kesenjangan pajak ini. Sementara itu, melimpahnya data elektronik saat ini baik yang berasal secara internal (langsung dari Wajib Pajak kepada DJP) atau secara eksternal (dari departemen/institusi pemerintah lainnya, perbankan, asuransi, dan asosiasi keuangan, dan negara lain kepada DJP) tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh DJP. Karena DJP sekarang dalam proses perubahan menjadi institusi yang lebih berteknologi maju dengan pengembangan coretax, teknik data mining dianggap sebagai kebutuhan untuk membantu otoritas pajak dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP). Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan kemungkinan yang tak terbatas dari teknik data mining yang dapat digunakan oleh DJP untuk membantu otoritas pajak meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Penulis juga membahas beberapa penelitian tentang data mining yang diusulkan dalam administrasi pajak serta pengalaman dari negara lain. Terakhir, tantangan yang mungkin dihadapi DJP dalam menggunakan teknik data mining akan disajikan. Tax Gap di Indonesia Kesenjangan pajak (tax gap) dapat secara sederhana didefinisikan sebagai perbedaan antara potensi penerimaan pajak dan peneriman pajak aktual yang diterima oleh pemerintah. Tingkat kesenjangan pajak digunakan di seluruh dunia sebagai pengukuran kepatuhan pajak. Karena pajak adalah sumber utama pendapatan pemerintah, maka sangat penting bagi pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pajak. Tujuan akhir dari semua otoritas pajak adalah meningkatkan kepatuhan, dan dengan demikian mengurangi kesenjangan pajak. Salah satu peran yang paling penting dari otoritas pajak adalah untuk memperkuat kepatuhan untuk mengurangi kesenjangan pajak. Gambar 1 menjelaskan hubungan antara potensi penerimaan pajak, kesenjangan pajak, dan penegakan kepatuhan WP yang digunakan oleh otoritas pajak untuk mengurangi kesenjangan pajak. Gambar 1 menunjukkan bahwa penegakan kepatuhan WP dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan dengan demikian mengurangi kesenjangan pajak. Penegakan kepatuhan WP akan menghasilkan WP membayar pajak baik secara sukarela maupun “terpaksa”. Gambar 1 Tax Gap dan Penegakan Kepatuhan WP

Transcript of Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Page 1: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Pendahuluan

Pajak adalah sumber utama pendapatan pemerintah. Fungsi utama dari otoritas pajak di

seluruh dunia adalah untuk mengurangi kesenjangan pajak yakni perbedaan dalam potensi pajak dan

pendapatan pajak yang sebenarnya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak di Indonesia

berkewajiban memperkuat strategi kepatuhan dengan tujuan untuk meminimalkan kesenjangan

pajak ini. Sementara itu, melimpahnya data elektronik saat ini baik yang berasal secara internal

(langsung dari Wajib Pajak kepada DJP) atau secara eksternal (dari departemen/institusi pemerintah

lainnya, perbankan, asuransi, dan asosiasi keuangan, dan negara lain kepada DJP) tidak dimanfaatkan

secara maksimal oleh DJP. Karena DJP sekarang dalam proses perubahan menjadi institusi yang lebih

berteknologi maju dengan pengembangan coretax, teknik data mining dianggap sebagai kebutuhan

untuk membantu otoritas pajak dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP). Dalam tulisan ini,

penulis ingin memberikan kemungkinan yang tak terbatas dari teknik data mining yang dapat

digunakan oleh DJP untuk membantu otoritas pajak meningkatkan kepatuhan pembayar pajak.

Penulis juga membahas beberapa penelitian tentang data mining yang diusulkan dalam administrasi

pajak serta pengalaman dari negara lain. Terakhir, tantangan yang mungkin dihadapi DJP dalam

menggunakan teknik data mining akan disajikan.

Tax Gap di Indonesia

Kesenjangan pajak (tax gap) dapat secara sederhana didefinisikan sebagai perbedaan

antara potensi penerimaan pajak dan peneriman pajak aktual yang diterima oleh pemerintah. Tingkat

kesenjangan pajak digunakan di seluruh dunia sebagai pengukuran kepatuhan pajak. Karena pajak

adalah sumber utama pendapatan pemerintah, maka sangat penting bagi pemerintah untuk

mengurangi kesenjangan pajak. Tujuan akhir dari semua otoritas pajak adalah meningkatkan

kepatuhan, dan dengan demikian mengurangi kesenjangan pajak. Salah satu peran yang paling

penting dari otoritas pajak adalah untuk memperkuat kepatuhan untuk mengurangi kesenjangan

pajak. Gambar 1 menjelaskan hubungan antara potensi penerimaan pajak, kesenjangan pajak, dan

penegakan kepatuhan WP yang digunakan oleh otoritas pajak untuk mengurangi kesenjangan pajak.

Gambar 1 menunjukkan bahwa penegakan kepatuhan WP dilakukan untuk meningkatkan penerimaan

pajak dan dengan demikian mengurangi kesenjangan pajak. Penegakan kepatuhan WP akan

menghasilkan WP membayar pajak baik secara sukarela maupun “terpaksa”.

Gambar 1 Tax Gap dan Penegakan Kepatuhan WP

Page 2: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Sumber: Silvani et al. (2008)

Mekanisme Saat Ini untuk Mengurangi Kesenjangan Pajak

Indonesia menggunakan sistem self-assessment, yang berarti bahwa semua wajib pajak

mempunyai kewajiban untuk mengisi laporan pajak dengan benar, lengkap, jelas dan benar. Otoritas

pajak (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) kemudian harus meninjau dan menilai laporan pajak

yang diajukan oleh wajib pajak. Tindakan saat ini yang digunakan oleh DJP untuk meminimalkan

kesenjangan pajak dilakukan dengan cara Penelitian dan Pemeriksaan. Penelitian adalah serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk meninjau kelengkapan pengisian laporan pajak dan lampirannya

termasuk peninjauan terhadap penulisan dan perhitungan kebenaran. Penelitian dilakukan oleh

pejabat DJP yang juga dikenal sebagai Account Representative (AR). Satu AR harus mengawasi hingga

sebanyak ratusan wajib pajak, sehingga hanya dapat mengawasi wajib pajak yang lebih berisiko tinggi.

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan dan mengolah data, pernyataan,

dan/atau pembuktian yang dilakukan secara obyektif dan profesional berdasarkan standar

pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban pajak dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka

melaksanakan peraturan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan oleh pejabat DJP yang dikenal sebagai

Pemeriksa Pajak (Fungsional Pemeriksa). Sekelompok pemeriksa pajak akan memilih kasus-kasus

pembayar pajak risiko tertinggi dengan kemungkinan pengembalian yang lebih tinggi.

Untuk AR dan Pemeriksa Pajak, set data pemicu akan disajikan dalam beberapa dashboard

internal. Kumpulan data ini berisi informasi yang diproses yang dikumpulkan dan disajikan dari fungsi

analitis di kantor pusat DJP. Informasi yang diproses membantu AR dan Pemeriksa Pajak untuk

mengidentifikasi wajib pajak yang belum mematuhi peraturan pajak. Namun demikian, informasi yang

Page 3: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

disajikan hanya merupakan indikasi atas kemungkinan terjadinya ketidakpatuhan wajib pajak. AR dan

Pemeriksa Pajak masih harus menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis data secara mendalam

dan memutuskan kasus mana yang harus dipilih. Oleh karena itu, hasil penelitian dan pemeriksaan

memiliki "hit-rate" yang rendah (kurang dari yang diharapkan). Selain itu, informasi yang disajikan

dalam dashboard ini sering dianggap "tidak valid" dan bukan merupakan informasi terbaru dari wajib

pajak tersebut. Di sisi lain, karena AR dan Pemeriksa Pajak memiliki kewenangan penuh untuk memilih

mana yang akan diperiksa, tidak ada kontrol atas kemungkinan terjadinya kecurangan dalam

hubungan antara pembayar pajak dan AR/Pemeriksa Pajak. AR atau Pemeriksa Pajak dapat memilih

untuk tidak meninjau kasus-kasus tertentu dari wajib pajak meskipun para wajib pajak ini memiliki

beberapa indikator bahwa mereka tidak membayar pajak sesuai dengan aturan.

Mekanisme saat ini untuk mengurangi kesenjangan pajak melalui penelitian dan

pemeriksaan memiliki beberapa keterbatasan yaitu:

memakan waktu dan sumber daya;

sering menghasilkan hit-rate yang rendah (tidak akurat);

bergantung pada data dan informasi yang diberikan oleh kantor pusat DJP sebagai indikasi

ketidakpatuhan wajib pajak yang biasanya tidak mutakhir dan/atau tidak valid; dan

tidak memiliki kontrol yang kuat terhadap kemungkinan fraud yang dilakukan oleh pejabat

pajak.

Inefisiensi mekanisme penegakan kepatuhan di DJP saat ini sudah menjadi masalah yang

perlu segera ditangani. Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya di DJP sangat penting untuk

tata kelola DJP yang efektif, sementara meningkatkan kualitas penilaian ketidakpatuhan wajib pajak

sangat penting untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya. Untuk meningkatkan efisiensi

sumber daya sekaligus meningkatkan kualitas penilaian ketidakpatuhan, DJP telah mengusulkan

model Compliance Risk Management (CRM). Dengan model CRM, kantor pusat DJP menggunakan set

data dan informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan wajib pajak dan mempresentasikan data dalam

bentuk matriks wajib pajak berdasarkan tingkat risikonya. Dalam piloting terkini CRM pada tahun

2018, AR dan Pemeriksa Pajak di KPP yang tertunjuk dalam piloting harus memilih wajib pajak yang

akan diteliti/diperiksa berdasarkan tingkat risikonya. CRM dikembangkan dengan harapan untuk

digunakan bersamaan dalam Core Tax baru yang diusulkan. Core Tax adalah sistem revolusioner

administrasi pajak yang akan mengawasi semua fungsi dalam DJP (termasuk penelitian dan

pemeriksaan). Core Tax saat ini masih dalam proses pengadaan dan diharapkan akan berfungsi

sepenuhnya dalam lima tahun ke depan. Dengan CRM dalam Core Tax yang baru, fungsi penelitian

dan pemeriksaan DJP diharapkan akan mengurangi konsumsi waktu dan sumber daya, serta akan

Page 4: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

memiliki kontrol yang lebih kuat terhadap kemungkinan terjadinya fraud antara wajib pajak dan

pejabat pajak (karena AR dan Pemeriksa Pajak tidak akan dapat menebang pilih kasus).

CRM dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan sistem saat ini dalam menilai wajib pajak yang

berisiko tingi yang akhirnya digunakan untuk menyeleksi wajib pajak yang harus diteliti/diperiksa oleh

AR/Pemeriksa Pajak. Namun demikian, CRM yang diusulkan dalam tahap piloting masih memiliki

beberapa kelemahan, yakni:

data tidak valid dan tidak mutakhir (misalnya pada piloting 2018, hanya data dari 2014 dan

2015 yang digunakan.Data tersebut hampir mencapai masa daluwarsa untuk digunakan

sebagai bukti dalam kegiatan pemeriksaan);

AR dan Pemeriksa Pajak masih harus memilih secara manual dari kasus yang disajikan

sehingga membuka kemungkinan terjadinya tebang pilih kasus;

Data, Data, Data

“Data is King—those who master data will rule the world.” –Anonymous

Saat ini kita hidup dalam lingkungan yang penuh dengan data elektronik. Data terkait

perpajakan tidak hanya berasal dari data DJP yang langsung berasal dari wajib pajak (umumnya dikenal

sebagai data internal) tetapi juga dari berbagai sumber lain. Data elektronik DJP yang berasal langsung

dari wajib pajak dikenal sebagai data internal. Saat ini, DJP telah berusaha untuk memfasilitasi wajib

pajak dengan system e-filing, sistem e-billing, dan sistem faktur pajak elektronik. Sistem pengarsipan

elektronik (umumnya dikenal sebagai e-filing) adalah platform yang memungkinkan wajib pajak untuk

melaporkan pajak mereka secara online. Sistem billing elektronik, (atau e-billing) adalah mekanisme

di mana wajib pajak dapat membayar pajak online mereka langsung ke akun nasional (dikenal sebagai

MPN). Sementara sistem faktur pajak elektronik, juga dikenal sebagai e-Faktur, adalah sistem yang

membolehkan wajib pajak yang memenuhi syarat untuk menerbitkan dan/atau mengkreditkan faktur

Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sistem elektronik ini dibangun agar DJP untuk dapat mengikuti

modernisasi dalam teknologi dan data elektronik serta dapat meningkatkan efisiensi dalam

administrasi perpajakan. Layanan elektronik dari DJP dirangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1 Layanan Elektronik dari DJP

Layanan

Elektronik

DJP

Penjelasan

Page 5: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

E-Filing platform yang memungkinkan wajib pajak untuk melaporkan pajak mereka secara

online

E-Billing mekanisme di mana wajib pajak dapat membayar pajak online mereka langsung ke

akun nasional (dikenal sebagai MPN)

E-Faktur adalah sistem yang membolehkan wajib pajak yang memenuhi syarat untuk

menerbitkan dan/atau mengkreditkan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Sumber: Penulis

Selain mencoba untuk mendigitalkan data internal mereka, DJP juga telah berhasil

mengumpulkan informasi dari departemen dan institusi lain di dalam pemerintah, perbankan,

asuransi, dan lembaga keuangan lainnya, serta informasi dari negara lain. Di DJP, data dari sumber

luar ini juga dikenal sebagai data eksternal. Beberapa sumber data eksternal mencakup data yang

terkait dengan perpajakan dari badan pemerintah lainnya, departemen, asosiasi, dan lembaga lain

(data ILAP), Advance Pricing Agreement antara DJP dan beberapa negara lain, pertukaran informasi

internasional baik bilateral, multilateral, atau perjanjian internasional, dan informasi keuangan dan

perbankan (yang tercakup dalam Automatic Exchange of Information/AEOI). Tabel 2 menunjukkan

kumpulan data eksternal yang diperoleh DJP, peraturan terkait, dan penjelasannya.

Tabel 2 Kumpulan Data Eksternal yang Diperoleh DJP

Jenis Data/Informasi

Eksternal Peraturan Penjelasan

Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan

PMK 95/2013 Peraturan Menteri Keuangan ini memandatkan 28 instansi pemerintah, departemen, asosiasi, dan institusi lainnya untuk menyerahkan data dan/atau informasi terkait dengan perpajakan ke DJP

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)

PMK 7/2015 Mengatur Advance Pricing Agreement antara DJP dan: (1) otoritas Singapura; (2) otoritas Jepang; (3) pembayar pajak (APA Unilateral); (4) otoritas Amerika Serikat; (5) hubungannya dengan Belanda sebagai negara mitra Tax Treaty; dan (6) hubungannya dengan Belgia sebagai negara mitra Tax Treaty.

Page 6: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Jenis Data/Informasi

Eksternal Peraturan Penjelasan

Pertukaran Informasi Internasional (International Exchange of Information)

PMK 39/2017 Pertukaran informasi termasuk: (1) Perjanjian Pertukaran Informasi terkait Perpajakan; (2) Konvensi tentang Bantuan Administratif Mutual dalam Hal-hal Pajak; (3) Perjanjian Otoritas Kompeten Multilateral atau Bilateral; (4) Perjanjian Antarpemerintah.

Pembayaran melalui Kartu Kredit

PMK 39/2016

Berdasarkan peraturan ini, per 31 Mei 2016 23 bank / penerbit kartu kredit harus menyerahkan data transaksi pelanggan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Data tersebut setidaknya harus berisi: (1) nomor kartu kredit; (2) ID pedagang; (3) nama pedagang; (4) nama pemegang kartu; (5) alamat pemegang kartu; (6) nomor ID pemegang kartu / nomor paspor; (7) nomor ID pembayar pajak; (8) bulan penagihan; (9) tanggal transaksi; (10) detail transaksi; (11) nilai transaksi; (12) batas transaksi .

Informasi Perbankan/Keuangan

Perppu 1/2017 Perbankan, asuransi, dan entitas jasa keuangan lainnya harus melaporkan kepada informasi DJP yang mengandung paling sedikit: (1) ID pemegang rekening; (2) nomor rekening; (3) ID badan penerbit; (4) saldo akhir dari rekening; (5) pendapatan terkait dengan rekening.

Kas Register Elektronik

akan dilaksanakan

Sistem kasir elektronik untuk ritel sedang dalam pengembangan dan direncanakan akan digunakan pada 2019.

Sumber: Penulis,.

Kelimpahan data dan informasi yang berasal dari internal maupun eksternal memberikan

kesempatan yang matang bagi DJP untuk memanfaatkan data dan informasi elektronik tersebut.

Page 7: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Walaupun demikian, dalam situasi saat ini, data ini sering tidak digunakan, sehingga meninggalkan

banyak potensi pajak yang belum dieksploitasi. Di era data yang berlimpah, teknik data mining sangat

penting untuk membantu otoritas pajak agar dapat memanfaatkan data elektronik tersebut sebaik-

baiknya.

Bagaimana Data Mining Dapat Membantu DJP dalam Meningkatkan Kepatuhan WP

Data mining adalah istilah yang digunakan secara bergantian dengan ilmu/disiplin lain.

Statistik, database dan/atau data warehouse, machine learning, dan artificial intelligence (AI) adalah

ilmu yang terkait dengan data mining. Hubungan antara data mining dan disiplin ilmu lainnya

dijelaskan oleh Sayed (2012) dan dapat diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Hubungan antara Data Mining dan Disiplin Ilmu Lainnya

Sumber: Sayed (2012)

Menurut Sayed (2012), data mining adalah bidang multi-disiplin yang menggabungkan

statistik, machine learning, artificial intelligence dan teknologi database. Data mining menjelaskan

masa lalu dan memprediksi masa depan dengan menggunakan teknik analisis data. Statistik

didefinisikan sebagai ilmu mengumpulkan, mengklasifikasikan, meringkas, mengatur, menganalisis,

dan menafsirkan data. Artificial Intelligence (AI) adalah studi tentang algoritma komputer yang

berhubungan dengan simulasi perilaku cerdas untuk melakukan kegiatan tertentu yang biasanya

dianggap membutuhkan kecerdasan manusia. Machine Learning (ML) adalah ilmu yang mencakup

perancangan dan pengembangan algoritma komputer berdasarkan data empiris sehingga komputer

Page 8: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

mampu secara otomatis “belajar mandiri” tanpa perlu pemograman ulang. Database didefinisikan

sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaan data sehingga

pengguna dapat mengambil, menambah, memperbarui atau menghapus data tersebut. Sedangkan

data warehouse (DW) adalah ilmu dan teknologi pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaan data

dengan layanan pelaporan multidimensional yang canggih untuk mendukung proses pengambilan

keputusan. Penjelasan untuk disiplin ilmu terkait data mining ini dirangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3 Berbagai Disiplin Ilmu terkait dengan Data Mining

Disiplin Ilmu dalam

Data Mining

Penjelasan menurut Sayed (2012)

Data Mining bidang multi-disiplin yang menggabungkan statistik, machine learning,

artificial intelligence dan teknologi database. Data mining menjelaskan

masa lalu dan memprediksi masa depan dengan menggunakan teknik

analisis data

Statistik ilmu mengumpulkan, mengklasifikasikan, meringkas, mengatur,

menganalisis, dan menafsirkan data

Artificial Intelligence studi tentang algoritma komputer yang berhubungan dengan simulasi

perilaku cerdas untuk melakukan kegiatan tertentu yang biasanya

dianggap membutuhkan kecerdasan manusia

Machine Learning ilmu yang mencakup perancangan dan pengembangan algoritma

komputer berdasarkan data empiris sehingga komputer mampu secara

otomatis “belajar mandiri” tanpa perlu pemograman ulang

Database ilmu pengetahuan dan teknologi pengumpulan, penyimpanan, dan

pengelolaan data sehingga pengguna dapat mengambil, menambah,

memperbarui atau menghapus data tersebut

Data Warehousing ilmu dan teknologi pengumpulan, penyimpanan, dan pengelolaan data

dengan layanan pelaporan multidimensional yang canggih untuk

mendukung proses pengambilan keputusan

Sumber: Sayed (2012)

Beberapa penelitian akademis telah mengusulkan penggunaan teknik data mining untuk

meningkatkan kepatuhan. Spathis (2002) memperkenalkan pemanfaatan artificial neural network

untuk menentukan apakah suatu kasus audit memerlukan audit lebih lanjut dengan menggunakan

teknik klasifikasi untuk membantu dalam strategi perencanaan audit. Hemberg et al. (2015)

Page 9: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

menggunakan genetic algorithm yang digunakan untuk model penggelapan pajak yang dilakukan oleh

wajib pajak menggunakan kombinasi struktur bisnis seperti kemitraan dan perusahaan anak dengan

menggunakan jaringan transaksi yang kompleks. Sementaraitu, Castellón & Velásquez (2013)

menggunakan clustering algorithm dan neural gas algorithm untuk mengidentifikasi kelompok

perilaku serupa pada seluruh wajib pajak dan kemudian menggunakan decision tree, neural network,

dan bayesian network untuk mengidentifikasi variabel yang terkait dengan perilaku fraud, mendeteksi

pola perilaku terkait dan menetapkan sejauh mana kasus fraud dapat dideteksi dengan informasi yang

tersedia. Ringkasan penelitian saat ini dalam teknik data mining untuk meningkatkan kepatuhan pajak

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Teknik Data Mining untuk Meningkatkan Kepatuhan Pajak

Teknik Data Mining

Sumber Penjelasan

Artificial Neural Network

Spathis (2002)

pemanfaatan artificial neural network untuk menentukan apakah suatu kasus audit memerlukan audit lebih lanjut dengan menggunakan teknik klasifikasi untuk membantu dalam strategi perencanaan audit

Genetic Algorithm Hemberg et al. (2015)

menggunakan genetic algorithm yang digunakan untuk model penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak menggunakan kombinasi struktur bisnis seperti kemitraan dan perusahaan anak dengan menggunakan jaringan transaksi yang kompleks

Network Graph Analysis/Social Network Analysis

Maes et al. (2002)

Memanfaatkan data jaringan untuk menetapkan skor risiko untuk transaksi dan asosiasi perusahaan, yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendekatan machine learning

Clustering Algorithms and Neural Gas Algorithms

Castellón & Velásquez (2013)

Digunakan untuk mengidentifikasi kelompok wajib pajak dengan perilaku serupa

Decision Tree, Neural Network and Bayesian Network

Castellón & Velásquez (2013)

mengidentifikasi variabel yang terkait dengan perilaku fraud, mendeteksi pola perilaku terkait dan menetapkan sejauh mana kasus fraud dapat dideteksi dengan informasi yang tersedia

Sumber: Berbagai sumber.

Page 10: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Pengalaman Negara Lain

Di seluruh dunia, pemerintah dari berbagai negara telah menyadari pentingnya teknik data

mining untuk membantu administrasi pajak dalam mengurangi kesenjangan pajak mereka. Salah satu

contoh yang paling menonjol adalah di Inggris. HM Revenue and Customs (HMRC) menggunakan

sejumlah metode untuk mendeteksi kegiatan ekonomi yang tersembunyi (underground economy).

Metode dan alat yang digunakan oleh HMRC mencakup alat analitis (Connect), metode analitis

(seperti tolok dynamic benchmarking dan analisis prediktif), dan akuisisi dan eksploitasi Big Data

(kebanyakan difokuskan pada pencocokan alamat). Semua alat dan metode ini digabungkan untuk

mengurangi ukuran underground economy di Inggris.

Contoh lain dari teknik data mining yang digunakan adalah di Minnessota Department of

Revenue (DOR). Pendekatan berbasis data mining (classification model) digunakan untuk

meningkatkan pemilihan kasus-kasus terkait pemeriksaan pajak di DOR Minnessota. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data mining dalam pemilihan kasus terkait pemeriksaan

pajak di DOR Minnessota meningkatkan efisiensi audit sebesar 63,1%.

Tantangan ke Depan untuk Penggunaan Teknik Data Mining di DJP

Kelimpahan data (baik data internal maupun eksternal) dan kompleksitas informasi

elektronik memberikan potensi bagi otoritas pajak di seluruh dunia untuk meningkatkan efisiensi

mereka dan pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan pajak. Teknik data mining telah diteliti

untuk menjadi salah satu alat yang sangat berguna untuk meningkatkan efisiensi dalam fungsi

penguatan kepatuhan wajib pajak pada DJP dengan mengurangi waktu dan sumber daya yang

diperlukan untuk mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi serta meminimalkan risiko fraud yang

mungkin terjadi dengan metode penelitian/pemeriksaan yang ada saat ini. Teknologi informasi yang

berkembang dengan cepat harus diimbangi dengan kemampuan DJP untuk memanfaatkan secara

maksimal seluruh potensi data elektronik yang tersedia. Pentingnya teknik data mining membawa

lebih banyak tantangan untuk ditangani terutama dalam pengembangan sistem Core Tax. Tantangan

baru ini mencakup:

membangun database yang valid dan penyimpanan data yang aman; dan

mempekerjakan data scientist atau orang-orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hal

teknik data mining.

Bibliografi

Bird, R. M., & Zolt, E. M. (2008). Technology and Taxation in Developing Countries: From Hand to

Mouse. SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.1086853

Page 11: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Bogdanov, D., Jõemets, M., Siim, S., & Vaht, M. (2015). How the Estonian Tax and Customs Board

Evaluated a Tax Fraud Detection System Based on Secure Multi-party Computation. Lecture

Notes in Computer Science, 227–234. doi:10.1007/978-3-662-47854-7_14

Castellón González, P., & Velásquez, J. D. (2013). Characterization and detection of taxpayers with

false invoices using data mining techniques. Expert Systems with Applications, 40(5), 1427–

1436. doi:10.1016/j.eswa.2012.08.051

Hemberg, E., Rosen, J., Warner, G., Wijesinghe, S., & O’Reilly, U.-M. (2015). Tax non-compliance

detection using co-evolution of tax evasion risk and audit likelihood. Proceedings of the 15th

International Conference on Artificial Intelligence and Law - ICAIL ’15.

doi:10.1145/2746090.2746099

Hsu, K.-W., Pathak, N., Srivastava, J., Tschida, G., & Bjorklund, E. (2014). Data Mining Based Tax Audit

Selection: A Case Study of a Pilot Project at the Minnesota Department of Revenue. Real World

Data Mining Applications, 221–245. doi:10.1007/978-3-319-07812-0_12

Janssen, M., van der Voort, H., & Wahyudi, A. (2017). Factors influencing big data decision-making

quality. Journal of Business Research, 70, 338–345. doi:10.1016/j.jbusres.2016.08.007

Jordan, M. I., & Mitchell, T. M. (2015). Machine learning: Trends, perspectives, and prospects. Science,

349(6245), 255–260. doi:10.1126/science.aaa8415

Maciejewski, M. (2016). To do more, better, faster and more cheaply: using big data in public

administration. International Review of Administrative Sciences, 83(1_suppl), 120–135.

doi:10.1177/0020852316640058

Maes, S., Tuyls, K., Vanschoenwinkel, B., & Manderick, B. (2002, January). Credit card fraud detection

using Bayesian and neural networks. In Proceedings of the 1st international naiso congress on

neuro fuzzy technologies (pp. 261-270).

Pomeranz, D. (2015). No Taxation without Information: Deterrence and Self-Enforcement in the Value

Added Tax. American Economic Review, 105(8), 2539–2569. doi:10.1257/aer.20130393

Rahimikia, E., Mohammadi, S., Rahmani, T., & Ghazanfari, M. (2017). Detecting corporate tax evasion

using a hybrid intelligent system: A case study of Iran. International Journal of Accounting

Information Systems, 25, 1–17. doi:10.1016/j.accinf.2016.12.002

Sayed, A. (2012). Data mining applications in the oil and gas industry. Journal of Petroleum

Technology, 64(10), 88-95.

Page 12: Pendahuluan - Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Schneider, F., Raczkowski, K., & Mróz, B. (2015). Shadow economy and tax evasion in the EU. Journal

of Money Laundering Control, 18(1), 34–51. doi:10.1108/jmlc-09-2014-0027

Silvani, C., Brondolo, J., LeBorgne, E., & Bosch, F. (2008). Tax Administration Reform and Fiscal

Adjustment: The Case of Indonesia (2001–07). IMF wp, 8, 129.

Spathis, C. T. (2002). Detecting false financial statements using published data: some evidence from

Greece. Managerial Auditing Journal, 17(4), 179-191.

Stankevicius, E., & Leonas, L. (2015). Hybrid Approach Model for Prevention of Tax Evasion and Fraud.

Procedia - Social and Behavioral Sciences, 213, 383–389. doi:10.1016/j.sbspro.2015.11.555

Tian, F., Lan, T., Chao, K.-M., Godwin, N., Zheng, Q., Shah, N., & Zhang, F. (2016). Mining Suspicious

Tax Evasion Groups in Big Data. IEEE Transactions on Knowledge and Data Engineering, 28(10),

2651–2664. doi:10.1109/tkde.2016.2571686

Tkáč, M., & Verner, R. (2016). Artificial neural networks in business: Two decades of research. Applied

Soft Computing, 38, 788–804. doi:10.1016/j.asoc.2015.09.040

Warner, G., Wijesinghe, S., Marques, U., Badar, O., Rosen, J., Hemberg, E., & O’Reilly, U.-M. (2014).

Modeling tax evasion with genetic algorithms. Economics of Governance, 16(2), 165–178.

doi:10.1007/s10101-014-0152-7

“Saya menyatakan artikel ini merupakan hasil pengalaman, pemikiran dan pemaparan asli

saya sendiri, dengan kontribusi, referensi, atau ide dari sumber lain dinyatakan secara implisit

maupun eksplisit pada tubuh dan/atau lampiran artikel. Demikian pernyataan ini saya buat

dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan

ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi pelanggaran

kode etik sesuai dengan peraturan di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yaitu

berupa pencabutan capaian IKU atau dapat dikenakan sanksi pelanggaran disiplin/kode etik”