PENATAAN RUANG.pdf
-
Upload
melyana-woo -
Category
Documents
-
view
69 -
download
0
Transcript of PENATAAN RUANG.pdf
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 1
IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007
TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA
Oleh:
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Dep. Pekerjaan Umum
I. PENDAHULUAN
Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan telah memiliki
landasan hukum sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang. Dengan penataan ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tetapi hingga saat ini kondisi yang tercipta
masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi terutama
semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; semakin meningkatnya
kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan; belum terselesaikannya masalah permukiman
kumuh; semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;
serta belum terpecahkannya masalah ketidakseimbangan perkembangan antarwilayah.
Berbagai permasalahan tersebut mencerminkan bahwa penerapan UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada,
terutama memberikan arahan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Kondisi ini merupakan latar belakang dari penyusunan dan
pemberlakuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang
dimaksudkan untuk memperkuat norma penyelenggaraan penataan ruang yang sebelumnya
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Adanya berbagai ketentuan baru dalam UUPR memiliki implikasi terhadap berbagai aspek
penyelenggaraan penataan ruang, baik aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek teknis, serta
aspek sosiologis. Implikasi terhadap aspek kelembagaan mencakup implikasi terhadap
tatanan organisasi penyelenggara pemerintahan, tata laksana, dan kualifikasi sumber daya
manusia, baik yang bekerja pada sektor publik (pemerintah), swasta, maupun masyarakat
pada umumnya. Makalah ini akan membahas garis besar implikasi penerapan UUPR
terhadap kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya para perencana
ruang serta peran asosiasi profesi perencana (IAP) ikut dalam merespon perubahan yang
terjadi.
II. ISU STRATEGIS PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PASCA
PEMBERLAKUAN UUPR
Sebagaimana telah disampaikan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang memuat ketentuan-ketentuan baru bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 2
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Penerapan ketentuan-ketentuan baru merupakan
isu yang menarik untuk dibahas, terutama bila dikaitkan dengan implikasinya terhadap
peran perencana dan asosiasi profesi perencana yang akan dibahas di bagian berikutnya.
Beberapa ketentuan baru berikut isu terkait penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Pembagian kewenangan secara tegas antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
Dapat dipahami bahwa pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional
(mewujudkan ruang wilayah Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional) menuntut
peran seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah di semua tingkatan. Untuk
menghindari tumpang tindih kewenangan, UUPR menegaskan peran dari Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan
ruang.
Penegasan kewenangan ini berarti pula penegasan tugas masing-masing tingkatan
pemerintahan dalam penyelenggaraan penataan ruang. Penerapan dari ketentuan ini
menyaratkan pemahaman pemangku kepentingan (termasuk pemerintah dan konsultan
perencana ruang) terhadap tugas masing-masing. Dengan demikian pemerintah di
berbagai tingkatan dapat fokus pada apa yang menjadi tugasnya serta tidak mencampuri
substansi yang menjadi tugas pemerintah di atas/bawahnya. Namun demikian hal ini
perlu diimbangi dengan keterbukaan sikap untuk menciptakan sinergi di antara
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga
penyelenggaraan penataan ruang dapat mencapai hasil optimal.
2. Penegasan muatan rencana tata ruang
UUPR secara tegas mengatur muatan rencana tata ruang wilayah di semua tingkatan
administrasi. Pengaturan muatan rencana tata ruang juga mencakup hal-hal yang harus
diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang, serta pemanfaatan rencana tata
ruang untuk penyusunan RPJP, RPJM, program beserta pembiayaannya, serta sebagai
landasan kegiatan pemanfaatan ruang sekaligus sebagai alat untuk melakukan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di
mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang
wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari
wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah
yang berbatasan);
Terkait dengan muatan rencana, UUPR mengatur bahwa rencana tata ruang wilayah
harus memuat:
a. tujuan , kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 3
b. rencana struktur ruang yang mencakup rencana sistem perkotaan dan rencana
sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan kelistrikan,
telekomunikasi, dan sumber daya air);
c. rencana pola ruang yang mencakup rencana pemanfaatan ruang untuk kawasan
lindung dan kawasan budi daya;
d. penetapan kawasan strategis;
e. arahan pemanfaatan ruang berupa indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan (dengan memperhatikan kemampuan pendanaan pemangku kepentingan);
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang yag mencakup arahan perizinan, arahan
insentif dan disinsentif, indikasi arahan peraturan zonasi, serta arahan sanksi
(administratif);
g. khusus untuk wilayah kota, rencana tata ruang juga harus memuat:
- rencana penyediaan ruang terbuka hijau;
- ruang terbuka nonhijau
- rencana penyediaan dan pemanfaatan jaringan pejalan kaki, angkutan umum,
kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana.
Deskripsi di atas menggambarkan betapa komprehensifnya sebuah rencana tata ruang
wilayah harus disusun. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah dan para perencana
untuk menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dalam
UUPR. Apabila spesifikasi tersebut dapat dipenuhi, kita dapat bersikap optimistik
bahwa produk rencana tata ruang dapat berfungsi secara optimal sebagai acuan
pembangunan nasional dan daerah. Pengalaman selama ini yang menunjukkan produk
rencana tata ruang tidak berfungsi optimal mengindikasikan bahwa produk tersebut
belum sepenuhnya memenuhi spesifikasi produk yang ditetapkan dalam UUPR.
3. Sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK
Isu ini pada dasarnya masih terkait dengan isu pertama dan kedua yang disampaikan di
atas. Meski demikian perlu ditegaskan bahwa UUPR mengatur agar muatan RTRWN,
RTRWP, dan RTRWK tidak saling tumpang tindih. Oleh karena itu, muatan rencana
tata ruang wilayah sebagaimana disampaikan pada butir 2 di atas harus dikaitkan
dengan pembagian kewenangan sebagaimana disampaikan pada butir 1.
Penegasan sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK dimaksudkan
agar ketiga produk rencana tersebut bersifat saling melengkapi, sehingga apabila
disatukan akan membentuk rencana tata ruang yang serasi dan selaras antar tingkatan
wilayah administrasi. Untuk itu hal yang harus diperhatikan adalah: substansi yang
telah diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi tidak diatur
berbeda dalam rencana tata ruang wilayah administrasi di bawahnya. Dengan kata lain,
substansi yang telah diatur dalam RTRWN harus diacu dalam RTRWP. Sementara
substansi yang telah diatur dalam RTRWN dan RTRWP harus diacu dalam RTRWK.
Penerapan dari ketentuan ini diperkirakan akan menghadapi kendala manakala
substansi yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah administrasi yang lebih tinggi
tidak sejalan dengan aspirasi wilayah administrasi yang lebih rendah. Untuk itu,
komunikasi yang intensif antartingkatan pemerintahan dalam proses penyusunan
rencana tata ruang merupakan tantangan yang harus dihadapi secara efektif.
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 4
4. Penerapan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang
UUPR menekankan pentingnya penerapan standar pelayanan minimal (SPM) dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemerintah
daerah dapat menjalankan fungsi sesuai dengan kewenangannya dengan baik, di
samping untuk menjamin hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Tantangan ke depan dari ketentuan mengenai SPM dalam bidang penataan ruang
adalah menyusun SPM dan indikator pencapaiannya, menyosialisasikan kepada
pemerintah daerah, serta melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dalam
menerapkan SPM yang telah ditetapkan. Tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah
merumuskan mekanisme pengambilalihan kewenangan pemerintah daerah yang tidak
mampu menerapkan SPM yang telah ditetapkan.
5. Perhatian yang lebih besar terhadap kelestarian lingkungan hidup
Kondisi lingkungan hidup yang tidak kunjung membaik selama penerapan UU No.
24/1992 tentang Penataan Ruang telah mendorong kesadaran akan pentingnya
pengaturan aspek lingkungan hidup dalam UUPR yang baru. Disamping perhatian
terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana telah
disampaikan di atas, beberapa ketentuan dalam UUPR yang terkait dengan lingkungan
hidup, antara lain, adalah:
a. ketentuan agar alokasi kawasan hutan dalam satu daerah aliran sungai (DAS)
sekurang-kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas DAS dengan distribusi
disesuaikan dengan kondisi ekosistem DAS;
b. ketentuan agar alokasi ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan sekurang-
kurangnya 30% (tigapuluh persen) dari luas kawasan perkotaan, di mana 2/3nya
adalah RTH publik dengan distribusi disesuaikan dengan sebaran penduduk.
Tantangan dari penerapan ketentuan ini adalah:
a. kemungkinan penurunan luas kawasan hutan dan RTH dalam satu wilayah
administrasi yang memiliki kawasan hutan dan/atau RTH lebih dari 30% (tigapuluh
persen) sebagaimana disyaratkan dalam UUPR;
b. pendistribusian kawasan hutan dalam satu DAS yang disesuaikan dengan kondisi
ekosistem DAS dapat berujung pada konsentrasi kawasan hutan di wilayah hulu;
dipandang tidak menguntungkan daerah yang berlokasi di wilayah hulu:
- membutuhkan mekanisme insentif-disinsentif dan mekanisme subsidi silang
yang tepat agar daerah yang berlokasi di wilayah hulu tidak dirugikan akibat
kehilangan peluang pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki;
- membutuhkan koordinasi yang sangat baik agar seluruh daerah administrasi
menyepakati distribusi kawasan hutan dalam satu DAS.
6. Keterkaitan antara rencana tata ruang dengan program pembangunan
Sebagaimana disampaikan di atas, rencana tata ruang wilayah disusun dengan
memperhatikan RPJP dan RPJM yang ada. Selain itu rencana tata ruang wilayah juga
memuat indikasi program utama jangka menengah lima tahunan yang mejadi pedoman
pemangku kepentingan dalam menyusun program sektoral beserta pembiayaannya.
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 5
Ketentuan ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara rencana tata
ruang dengan program pembangunan sektoral dan wilayah.
Keterkaitan ini dipertegas dalam ketentuan mengenai kewajiban masyarakat, di mana
dalam memanfaatkan ruang masyarakat diwajibkan untuk menaati rencana tata ruang
yang berlaku. Selain itu terdapat larangan bagi pejabat yang berwenang menerbitkan
izin pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Ketentuan tersebut memiliki konsekuensi berupa sanksi pidana (penjara dan
denda) serta sanksi administratif yang tidak ringan.
Terkait dengan hal tersebut di atas, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana
menyusun rencana tata ruang wilayah yang berkualitas, terutama dalam memahami
peluang dan tantangan pengembangan wilayah, mendefinisikan arah perkembangan
wilayah yang akan dituju, serta merumuskan indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan yang rasional. Dapat dipahami bahwa menyusun indikasi program
pembangunan untuk jangka waktu yang panjang (20 tahun sesuai dengan masa berlaku
rencana) bukan merupakan hal yang mudah.
7. Penegasan mengenai hak masyarakat
Sejalan dengan semakin meningkatnya demokratisasi di Indonesia, hak masyarakat
merupakan obyek pengaturan yang mendapat perhatian cukup besar dalam UUPR.
Hak-hak masyarakat yang diatur dalam UUPR perlu mendapat perhatian dari
pemerintah dan para perencana dalam menyusun dan mengimplementasikan rencana
tata ruang. Hak-hak masyarakat tersebut adalah;
a. hak untuk mengetahui rencana tata ruang
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari penataan ruang;
c. menerima penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin
apabila pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan
kerugian.
Dengan adanya hak-hak tersebut di atas, pemerintah dan perencana tata ruang dituntut
untuk menyusun sebuah rencana tata ruang yang berkualitas, yang penerapannya tidak
menimbulkan kerugian masyarakat. Bila tidak, pemerintah akan menghadapi banyak
tuntutan dari masyarakat yang mengalami kerugian akibat pelaksanaan pembangunan,
meski pelaksanaan pembangunan tersebut telah sesuai dengan rencana tata ruang.
8. Penegasan kewajiban dan larangan serta ketentuan sanksi
UUPR secara tegas mengatur kewajiban masyarakat sebagai berikut:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 6
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagia milik umum.
Selain itu UUPR juga melarang pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin
pemanfaatan ruang untuk menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.
Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan tersebut di atas memiliki konsekuensi
berupa ancaman pidana penjara dan denda di samping sanksi administratif.
Tantangan dalam penerapan ketentuan tersebut di atas adalah dalam penegakan hukum,
mengingat selama ini masyarakat telah terbiasa dengan kasus pelanggaran rencana
tata ruang tanpa konsekuensi sanksi apa pun. Di sisi lain, para pejabat yang berwenang
menerbitkan izin pemanfaatan ruang cenderung untuk menahan diri dalam
menerbitkan izin yang dapat berdampak pada penurunan investasi. Untuk itu
diperlukan upaya penyadaran seluruh pemangku kepentingan mengenai pentingnya
penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang dalam rangka mewujudkan
ruang kehidupan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
9. Batas waktu penyesuaian rencana tata ruang dengan ketentuan UUPR
Sehubungan dengan perubahan ketentuan terkait dengan rencana tata ruang, UUPR
mengatur batas waktu penyesuaian rencana tata ruang sebagai berikut:
a. RTRWN harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu satu setengah
tahun sejak pemberlakuan UUPR;
b. RTRWP harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 2 (dua) tahun
sejak pemberlakuan UUPR;
c. RTRWK harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR dalam waktu 3 (tiga) tahun
sejak pemberlakuan UUPR;
Waktu penyesuaian yang sangat terbatas tersebut di atas tentu merupakan tantangan
tersendiri bagi pemerintah dan para perencana ruang. Apalagi apabila dikaitkan dengan
ketentuan bahwa rencana tata ruang wilayah harus mengacu pada rencana tata ruang di
atasnya. Artinya, penyesuaian RTRWP harus menunggu selesainya proses penyesuaian
RTRWN dan penyesuaian RTRWK harus menunggu proses penyesuaian RTRWP.
III. PELUANG DAN TANTANGAN PERENCANA DAN IAP PASCA
PEMBERLAKUAN UUPR
Dengan memperhatikan berbagai tantangan yang disampaikan pada bagian sebelumnya,
pada bagian ini akan disampaikan peluang dan tantangan yang dihadapi para perencana
sebagai berikut:
1. Peluang lapangan kerja sehubungan dengan kewajiban penyesuaian rencana tata
ruang wilayah dengan ketentuan UUPR.
Disamping RTRWN, terdapat tidak kurang dari 33 RTRWP dan lebih dari 450
RTRWK yang harus disesuaikan dengan ketentuan UUPR. Volume pekerjaan yang
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 7
tinggi ini tentunya akan cukup sulit untuk ditangani dengan ketersediaan tenaga
perencana (konsultan) yang dapat membantu proses penyesuaian. Namun apabila dunia
usaha mampu mengelola supply perencana untuk merespon demand yang ada, situasi
ini merupakan keuntungan bagi para perencana.
Peluang lapangan kerja ini masih berlanjut dengan kewajiban peninjauan kembali
rencana tata ruang setiap lima tahun. Bahkan untuk kondisi tertentu proses peninjauan
kembali dapat dilakukan dalam waktu kurang dari lima tahun sejak penetapan.
2. Tantangan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyusun rencana tata ruang yang
berkualitas
Berbagai uraian pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa rencana tata ruang yang
berkualitas merupakan sebuah prasyarat bagi terselenggaranya penataan ruang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUPR. Untuk itu, setiap individu
perencana dituntut untuk memiliki kemampuan yang mumpuni dalam proses
penyusunan rencana tata ruang. Kemampuan tersebut, antara lain, mencakup:
a. kemampuan untuk memahami perkembangan lingkungan strategis (global, regional,
dan nasional) beserta pengaruhnya terhadap wilayah prencanaan;
b. kemampuan untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang
dimiliki wilayah perencanaan dalam mencapai tujuan pembangunan;
c. kemampuan untuk menterjemahkan aspirasi pemangku kepentingan tentang arah
pembangunan yang hendak dituju pada akhir masa berlaku rencana;
d. kemampuan untuk memahami lingkup substansi perencanaan dikaitkan dengan
batasan kewenangan pemerintah;
e. kemampuan untuk menuangkan semua informasi yang diperoleh dalam rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang berikut kebijakan dan strategi
implementasinya secara rasional;
f. kemampuan untuk menterjemahkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang
ke dalam program-program pembangunan yang sesuai dengan kemampuan
pemangku kepentingan serta sesuai dengan aspirasi pembangunan nasional dan
daerah terkait;
g. kemampuan untuk mengidentifikasi dampak/pengaruh yang dapat ditimbulkan dari
penerapan rencana tata ruang terhadap wilayah perencanaan dan wilayah yang lebih
luas.
Di balik batasan kompetensi yang umum tersebut tentu terdapat berbagai deskripsi
tentang kompetensi yang lebih rinci. Sebagai contoh, kompetensi perencana dalam
mengarahkan tenaga ahli perekonomian untuk menganalisis kondisi perekonomian
dunia/regional dan memprediksi dampaknya terhadap wilayah perencanaan.
Kompetensi ini tentu tidak dapat dimiliki seorang perencana apabila tidak memiliki
pengetahuan yang cukup dalam bidang ekonomi makro.
Perlu disadari bahwa rencana tata ruang yang berkualitas sangat tergantung pada
integritas dari penyusunnya. Seringkali terdengar rumor tentang perencana yang
menangani jumlah pekerjaan lebih dari batas kemampuannya, sehingga produk yang
dihasilkan hanya bernilai cukup atau bahkan kurang berkualitas. Hal ini tentu tidak
terjadi seandainya perencana memiliki integritas tinggi yang ditunjukkan oleh kepuasan
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 8
terhadap hasil pekerjaan yang berkualitas dan dapat diimplementasikan. Kondisi ini
merupakan tantangan bagi para perencana dan IAP untuk semakin meningkatkan
profesionalisme para perencana ruang.
Disadari bahwa profesionalisme perencana ruang memiliki hubungan dengan
kompensasi yang diperoleh dari profesi yang dijalani. Tindakan seorang perencana
yang mengambil porsi pekerjaan di atas kemampuan profesionalnya sangat mungkin
dilandasi oleh alasan ekonomi untuk mendapatkan penghasilan yang layak. IAP
diharapkan mampu menjembatani kepentingan ekonomi para perencana agar dapat
bekerja secara lebih profesional dan mampu menghasilkan produk rencana yang
berkualitas.
Selain hal yang disampaikan di atas, IAP juga diharapkan dapat berperan lebih aktif
dalam melakukan pembinaan terhadap perencana ruang agar kemampuan teknis yang
dimiliki dapat terus meningkat dan sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Pendidikan dan pelatihan dalam rangka penyegaran dan peningkatan kemampuan
teknis merupakan salah satu program yang perlu lebih ditingkatkan di masa mendatang.
3. Kebutuhan pengembangan kode etik perencana
Sejalan dengan peningkatan tuntutan profesionalisme perencana, diperlukan rambu-
rambu yang jelas bagi para perencana dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Rambu-rambu ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para perencana sekaligus
sebagai acuan bagi pemangku kepentingan lain dalam menilai kinerja perencana ruang.
UUPR telah mengatur sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang, baik yang
dilakukan oleh pejabat pemberi izin maupun masyarakat yang memanfaatkan ruang.
Namun sejauh ini belum ada jawaban atas pertanyaan sanksi apa yang akan
dijatuhkan kepada perencana tata ruang yang tidak mampu menghasilkan rencana tata
ruang yang tidak berkualitas?
Sebagi ilustrasi, seorang perancang bangunan dapat dikenai sanksi apabila terjadi
kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan dalam perancangan. Apakah
kegagalan rencana tata ruang tidak selayaknya memiliki konsekuensi sanksi bagi
perencananya? UUPR tidak mengatur sanksi untuk perencana, dan sejauh ini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Untuk mengisi kekosongan ini,
kode etik perencana yang tegas merupakan perangkat yang tepat, sehingga perlu
menjadi agenda IAP untuk meninjau kembali kode etik yang dimiliki, termasuk
mekanisme pengawasannya.
IV. KESIMPULAN
Dari berbagai pemaparan di atas secara garis besar dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
merupakan upaya untuk lebih mengefektifkan fungsi penataan ruang sebagai pendekatan
strategis dalam pembangunan yang bertujuan untuk mewujudkan ruang kehidupan yang
aman, nyaman, produktf, dan berkelanjutan.
-
C:\My Documents\Dirjen-Kongres-IAP-301007.doc 9
2. Penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menghadapi
tantangan yang cukup berat, terutama dalam penerapan berbagai ketentuan baru
terutama berkaitan dengan pembagian kewenangan, perubahan muatan rencana,
penegasan hak dan kewajiban masyarakat, pengenaan sanksi, keterkaitan antara rencana
tata ruang dan program-program pembangunan sektoral/wilayah, serta batas waktu
penyesuaian rencana tata ruang wilayah dengan ketentuan UUPR yang baru. Untuk
mengatasi berbagai tantangan tersebut diperlukan kesatuan tekad para pemangku
kepentingan untuk menerapkan UU No. 26/2007 secara konsisten termasuk para
perencana.
3. Tantangan yang dihadapi dalam penerapan UU No. 26/2007 merupakan tantangan
seluruh pemangku kepentingan, termasuk para perencana ruang dan asosiasi profesinya
(IAP). Ke depan, para perencana dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan
profesionalnya dalam menyusun rencana tata ruang yang berkualitas, di mana IAP dapat
berperan sangat strategis dalam pembinaan teknis dan pengembangan serta pengawasan
kode etik perencana.