PENANGANAN PTERIGIUM REKUREN
-
Upload
frc-hario-fanacha -
Category
Documents
-
view
18 -
download
3
description
Transcript of PENANGANAN PTERIGIUM REKUREN
PENANGANAN PTERIGIUM REKUREN
DEFINISI
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Asal kata pterigium adalah dari bahasa yunani, yaitu yang artinya
sayap.
EPIDEMIOLOGI
Pterigium banyak tersebar diseluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah beriklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Pasien di bawah umur
15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama
decade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 tahun dan 49.
Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki-laki 4
kali lebih beresiko dari pada perempuan dan berhubungan dengan riwayat terpapar
lingkungan di luar rumah.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigium adalah
terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya
pterigium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
PATOGENESA
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima
tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap
matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya
insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan
dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan
vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat
pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterigiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus
tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.
GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASI
Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa
unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di
nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal
jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan,
menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi
dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel
kornea anterior dari kepala pterigium (stoker's line).
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau
halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.
Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :
- Progresif pterigium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala
pterigium (disebut cap pterygium).
- Regresif pterigium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi
ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan
fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya
pergerakan mata. Pembagian lain pterigium yaitu :
1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai
pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
2. Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke
fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam
keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.6
DIAGNOSA BANDING
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu
pinguekula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami
inflamasi. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering
pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya membentuk sudut
miring seperti pseudopterigium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterigium mirip
dengan pterigium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva
bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma
bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterigium, cirinya tidak
melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati
bagian bawah pseudopterigium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada
pterigium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan
pseudopterigium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true
pterygium.
PENATALAKSANAAN
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan
menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan
kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2.
Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata
pelindung ultraviolet.
Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya
ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan
yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.
Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin.
Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium dengan menggunakan pisau
yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah
pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma
jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva
digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai
dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi
fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan
TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterigium. Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan.
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan
menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.
KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea,
pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot
rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan
degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft
hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts,
skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang
terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi.
PROGNOSA
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali.
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
terpapar sinar matahari.
TEKNIK BARE SCLERA
- Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal.
- Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum.
- Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc.
- Dilakukan eksisi badan pterigium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus.
Kemudian pterigium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan
menggunakan gunting1-6.
TEKNIK CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT
- Setelah pterigium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.
- Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar
1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda.
- Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva
dari tenon selama pengambilan autograft.
- Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft.
- Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan vicryl 8.0
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh
letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar
ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak
diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta
dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik),
bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga
perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada pembedahan
akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal
gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka
kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia.
Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata
pelindung sinar matahari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2010
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007. hal:2-6,
116 – 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh dari :http://emedicine.medscape.com/
article/ 1192527-overview. 2011
5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s General Ophthalmology 17th edition.
Philadelpia : McGrawHill. 2007
6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New York :
Thieme. 2000
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia:
Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;
1996. p.142