PENANANAMAN WAWASAN DAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN …
Transcript of PENANANAMAN WAWASAN DAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN …
PENANANAMAN WAWASAN DAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI
DI ERA PEMBERLAKUAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Sukma Perdana Prasetya
Universitas Negeri Surabaya1
Abstrak
Tugas pendidikan tidak hanya sekedar menstranfer ilmu pengetahuan dalam konteks
pengembangan disiplin ilmu akademik tetapi juga membangun watak, akhlak, dan kepribadian
sehingga generasi muda dapat melangsungkan kehidupannya secara lebih baik sekarang dan di
masa yang akan datang. Hubungan fungsional struktural lingkungan alam yang terdiri segala
spera (lapisan) ada di bumi ini sesungguhnyas tunduk kepada Sunatullah, namun karena campur
tangan keserakahan manusia yang ‘mengobok-obok’ kesetimbangan alam itu, maka akibatnya
kondisi geosfera tersebut menjadi terganggu kelestariannya. Oleh sebab itu pemahaman
wawasan kegeografian tidak cukup diberikan hanya sebatas kajian ilmiah (pengetahuan) belaka
tetapi perlu penanaman nilai-nilai moral keimanan dan ketaqwaan yang pada akhirnya akan
membentuk insan geograf yang berwawasan rahmatan alamiah sebagai realisasi bukti akhlakul
karimah yang mulia. Pendekatan kognitif yang bersifat intellectual intelligence dalam
mempelajari geografi perlu disertai dengan pendekatan emotional intelligence atau pendekatan
humaniora (humanity approach) dimana unsur moral, etika dan agama yang merupakan ciri dari
hakekat manusia perlu dikembangkan dalam penanaman wawasan geografi. Dalam menghadapi
dipeberlakukannya kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), negara yang sumberdaya
manusianya memiliki pengetahuan luas tentang kondisi geografis wilayah, maka negara tersebut
akan dapat menguasai potensi wilayahnya. Pemahaman tentang geografi sebagai ilmu
pengetahuan terkandung muatan intelektual dan praktikal. Muatan intelektual tercermin pada
pengetahuan bahwa bumi itu dihuni oleh berbagai suku bangsa yang berbeda adat istiadatnya,
beserta isu-isu lokal, regional, dan global. Muatan praktikal geografi berusaha untuk
memecahkan berbagai permasalahan wilayah melalui solusi yang diambil berdasarkan
pertimbangan sebaik-baiknya dengan mengkaji segala aspek dalam ruang secara komprehensif.
Kata Kunci: wawasan geografi, nilai geografi, pembelajaran geografi
1 Staf Pengajar Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabya
Pendahuluan
Eksistensi geografi terjadi karena adanya variasi ruang di muka bumi (spatial variation of
the earth surface). Ruang muka bumi dalam studi geografi terdiri dari unsur-unsur litosfera,
atmosfera, hidrosfera, biosfera dan antroposfera. Kesemua spera membentuk satu system yang
disebut geosfera. Di dalam system geosfera terdapat sistem ekologi (ecosystem) dan sistem social
(social system) yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Sistem sosial itu sendiri merupakan garapan bidang disiplin ilmu soiologi, antropologi,
politik dan ilmu sosial lainnya. Sistem social baru menjadi garapan studi geografi kalau sistem
sossial itu dilihat sebagai suatu bagian integral dengan sistem geosfera. Demikian pula halnya
dengan komponen litosfera, hidrosfera, atmosfera dan biosfera yang membentuk sistem ekologi,
baru berarti bagi studi geografi jika komponen-komponen itu “dilihat” secara integral saling
berkaitan satu sama lain, baik secara sederhana antar dua komponen bilateral, maupun secara
simultan multi dimensional dalam sistem geosfera yang lebih kompleks. Itulah yang dimaksud
dengan wawasan geografi.
Secara sederhana, wawasan geografi merupakan pengejawantahan dari sudut pandang
keruangan, kewilayahan dan keekologian terhadap objek material yang berwujud geosfera. Sudut
pandang keruangan dan keekologian melahirkan berbagai konsep relasi, interelasi, interaksi,
interdependensi antar berbagai komponen geosfera. Misalnya dalam bentuk ekosistem yang
lebih spesifik mulai dari ekosistem daratan, lautan, pegunungan, lembah, pantai, wilayah suatu
Negara, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa sampai kepada yang lebih spesifik lagi,
kesemuanya harus dilihat secara sistemik yaitu system geosfera.
Kalau seorang dosen mengajar tentang kependudukan suatu desa misalnya. Maka ia
hanya melukiskan tentag jumlah penduduk, kepadatan penduduk, angka kelahiran, angka
kematian,angka migrasi, jumlah penduduk usia subur, jumlah pengikut keluarga berenca, dan
lain-lain. Uraian seperti itu baru mencerminkan keadaan demografi, belum tampak wawasan
geografinya. Kajian itu baru akan tampak wawasan geografinya jika setiap fakta dan data
demografi dihubungkan dengan komponen-komponen geosfera secara fungsional dan struktural.
Dalam contoh desa diatas, maka unsur demografi itu dikaitkan dengan keadaan tanah, keadaan
udara atau iklim, flora dan fauna, topografi wilayah yang membentuk suatu sistem geosfera desa
yang menjadi objek kajian.
Demikian pula seorang dosen mengajar tentang litosfera tanpa mengaitkan dengan spera
yang lainnya, misalnya hanya membicarakan tentang terjadinya pegunungan, patahan, relief,
topografi, erosi, kesuburan tanah, dan sebagainya. Hal tersebut semua belum menunjukkan
bahasan wawasan geografi, mungkin hanya merupakan fakta geologi dan geomorfologi. Baru
fakta-fakta itu menjadi fakta dan data geografi jika telah dilihat secara integral dalam kaitannya
dengan spera yang lain.
Kalau diambil fenomena “erosi” misalnya. Sebagai salah satu fenomena dari komponen
litosfera. Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan dan bisa dijadikan indikator khas geografi
misalnya. Di mana terjadinya erosi? Bagaimana persebarannya di muka bumi? Apa dan
bagaimana hubungan erosi itu dengan unsur atmosfera atau iklim (curah hujan, angin,
kelembaban, suhu, penyinaran matahari)?, Bagaimana hubungan erosi itu dengan komponen
biosfera (penutup vegetasi, gembalaan hewan, hewan pembuat lubang)?, Bagaimana hubungan
erosi itu dengan komponen hidrosfera (arus sungai, air limpasan, kandungan kimiawi air, kondisi
DAS)?, Kemudian dipertanyakan pula hubungan erosi itu dengan relief, kecuraman lereng, jenis
tanah dan jenis batuan. Serta bagaimana hubungan fungsionalnya dengan faktor manusia,
termasuk kedalamnya kepadatan penduduk, jenis mata pencaharian penduduk, tingkat
pendidikan, peradaban, tingkat teknologi, pandangan dan visi hidupnya. Kesemuanya
mempunyai keterkaitan dan hubungan fungsional struktural, membentuk suatu kesatuan sistem
geosfera. Artinya tidak ada suatu fenomena geosfera yang terisolir dan bebas dari ikatan
pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Kesemuanya berlangsung dalam proses, baik secara
natural maupun secara artificial.
Sesungguhnya hubungan fungsional struktural lingkungan alam yang terdiri segala
spera (lapisan) ada di bumi ini, seperti hidrosfera, atmosfera, litosfera, biosfera dan pedosfera
itu tunduk kepada Sunatullah (ketentuan Allah), namun karena campur tangan keserakahan
manusia yang ‘mengobok-obok’ kesetimbangan alam itu, maka akibatnya kondisi geosfera
tersebut menjadi terganggu kelestariannya. Oleh sebab itu pemahaman wawasan kegeografian
tidak cukup diberikan hanya sebatas kajian ilmiah belaka tetapi perlu penanaman nilai-nilai
moral keimanan dan ketaqwaan yang pada akhirnya akan membentuk insan geograf yang
berwawasan Rahmatan Alamiah sebagai realisasi bukti akhlakul karimah yang mulia.
Dalam hubungannya dengan MEA geografi mempunyai kemanfatan dalam dunia modern
terutama menghadapi tantangan di era MEA, dimana ruang regional ASEAN semakin terbuka.
Interkoneksi antara wilayah di ASEAN semakin cepat maka kebutuhan praktis dari pengetahuan
geografi semakin kritis. Muatan praktikal dari geografi tersebut tidak hanya berguna bagi
geografi saja, tetapi bermanfaat juga bagi semua pihak yang memerlukan. Seorang pengusaha
(pelaku ekonomi) perlu mengetahui daerah penghasil bahan baku dan daerah potensial
pemasaran, seorang dokter perlu mengetahui kondisi lingkungan untuk menangani wabah
penyakit pada suatu daerah, Negara Indonesia harus mengetahui kekuatan dan kelemahan
sumberdaya-sumberdaya negara-negara Asia Tenggara untuk menyusun strategi persaingan,
sehingga Indonesia dalam MEA tidak hanya sebagai market potensial saja bagi negara lain tetapi
harus mampu mengembagkan dan mengekspor komoditinya ke negara lain berdasarkan
optimalisasi sumberdaya yang dimilikinya. Seorang yang mempunyai pengetahuan geografi luas
akan lebih bijaksana dalam memecahkan isu lokal, regeonal dan global, karena kebijakan
tersebut diambil berdasarkan pertimbangan sebaik-baiknya dengan mengkaji segala aspek dalam
ruang secara komprehensif2.
Proses Penanaman wawasan dan Nilai Geografi
Fungsi pendidikan untuk mengembangkan kebudayaan dan membangun karakter bangsa
dalam menghadapi perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta persaingan
dalam era globalisasi. Tugas pendidikan tidak hanya sekedar menstranfer ilmu pengetahuan
(knowledge) dalam konteks pengembangan disiplin ilmu akademik tetapi juga membangun
watak, akhlak, dan kepribadian sehingga generasi muda dapat melangsungkan kehidupannya
secara lebih baik sekarang dan di masa yang akan datang. Persaingan kehidupan yang semakin
ketat dalam era globalisasi harus mampu dihadapi oleh generasi penerus dengan kepribadian
yang kuat, kreatif, memiliki kecerdasan, keterampilan, dan memiliki tanggung jawab terhadap
kelestarian lingkungan hidup3.
Banyak mahasiswa geografi khususnya yang begitu intens dalam mempelajari ilmu
geografi namun sangat kering akan pemahaman keimanan, sehingga ilmu yang diterimanya tidak
mengakar kuat sampai kelubuk hati. Ilmu yang diterimanya hanya menjadi syarat untuk
mencapai nilai IPK yang baik dan untuk menunjang pencarian pekerjaan di masa depan belaka.
2 Prasetya, S.P.2015. Peran Pendidikan Geografi Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Surabaya: Seminar Nasional
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya. 3 Sutmaatmadja, N, S. 2005. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.
Akibatnya mahasiswa hanya memiliki basis akademisi belaka tanpa menghayati bahwasanya
ilmu yang dimilikinya itu harus dilandasi dengan moral, iman dan taqwa. Mahasiswa perlu juga
adaptif dalam menghadapi perkembangan jaman. Mahasiswa selalu bersama dalam kuliah,
bahkan dengan prestasi yang sama, dikemudian hari akan berbeda prestasinya. Mereka yang
memiliki kesadaran akan adanya tantangan dan mempersiapkan diri akan lebih berhasil
dibanding dengaan mereka yang sudah merasa puas terhadap apa yang telah dicapai.
Penanaman wawasan geografi kepada peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Pertama, dengan pengembangan kognitif (pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
evaluasi dan kreasi) mengenai berbagai fenomena geosfera. Dengan pendekatan kognitif ini
peserta didik dimotivasi agar mereka berupaya mengenal dan mengetahui apa hakekat unsur
geosfer. Kemudian peserta didik diberi kesempatan untuk menelaah hubungan relasi, interelasi,
interaksi dan interdependensi antara satu komponen dengan komponen lainnya. Dengan
demikian akan muncul berbagai pengertian pada dirinya secara komprehensif, apa yang
dimaksud geosfera itu. Kemudian mereka diharapkan mampu menerapkan berbagai konsep
keruangan itu secara relasional. Dengan kemampuan relasional natar fenomena geosfer, berarti
peserta didik mampu membuat eksplanasi secara sistemik. Artinya akan disadari jika
mempelajari suatu fenomena, ia akan menyadari bahwa eksistensi fenomena itu tidak berdiri
sendiri, tetapi mempunyai pengaruh terhadap aspek lainnya. Daya intelektual yang kritis, kreatif,
dan sistemik ini dapat diaplikasikan di dalam berbagai bidang kehidupan.
Pendekatan kognitif yang bersifat intellectual intelligence tersebut perlu disertai dengan
pendekatan emotional intelligence atau pendekatan humaniora (humanity approach) dimana
unsur moral, etika dan agama yang merupakan ciri dari hakekat manusia perlu dikembangkan
dalam penanaman wawasan geografi. Mengapa pendekatan yang kedua ini perlu? Karena
peserta didik adalah warga negara, sehingga penanaman wawasan geografi tidak lepas dari
tujuan pendidikan nasional. Peserta didik harus dikembangkan menjadi manusia Indonesia
seutuhnya dengan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur.
Dari uraian diatas, jelas proses penanaman wawasan geografi tidak sekedar menyentuh
aspek ontologi dan epistemologi keilmuan geografi, tetapi juga secara simultan harus senantiasa
berorientasi kepada aspek aksiologi, yaitu ketercapaian tujuan pendidikan nasional, sebagai
muara dari kegiatan ilmiah dan upaya pendidikan dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya. Tanpa ada kesadaran tersebut, penanaman wawasan geografi dan seluruh kegiatan
pembelajaran hanya menghasilkan manusia-manusia yang tahu tentang wawasan geografi, tetapi
kosong dari nilai-nilai kemanusiaan dan keIlahian. Tahu tentang sesuatu, tetapi tidak mampu
berprilaku yang sesuai dengan pengetahuannya. Memiliki pengetahuan tetapi tidak terampil
memanifestasikan karena tanpa isi iman dan takwa serta akal budi. Tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan hanya sebatas di mulut, tidak tercermin dalam prilaku manusia
terdidik, sebagai akibat sistem pembelajaran yang hanya mementingkan transfer pengetahuan,
tidak dilatih menghayati dan mengamalkan nilai-nilai esensial yang sesuai dengan hakekat
kemanusiaan dan sifat keIlahian4.
Perubahan Sosial dan Lingkungan
Perubahan sistem sosial erat kaitannya dengan perubahan nilai sosial dan banyak
hubungannya dengan perubahan lingkungan atau wilayah tempat suatu masyarakat
melaksanakan proses-proses sosial. Antara sistem sosial dan sistem ekologi terjadi saling
interaksi dan interdependensi. Suatu negara sebagai suatu wilayah misalnya, merupakan
perpaduan antara tanah air sebagai ekosistem, dan bangsa atau rakyat sebagai sistem sosial.
Keduanya berinteraksi dalam keseimbangan dan kedinamisan, atau dalam kondisi konflik yang
juga penuh dinamika dan perubahan yang senantiasa harus diwaspadai dengan penuh kearifan.
Selain perubahan sosial, perubahan juga terjadi pada sistem ekonomi. Pencarian nafkah,
pengembangan dan perdagangan sumberdaya, memproduksi dan mendistribusikan produk
barang dan jasa menjadi kegiatan utama dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan tersebut sangat
tergantung pada kondisi lokal dan global. Pemahaman integrasi ekonomi lokal, regional (seperti
MEA) dan ekonomi global penting untuk mengetahui bagaimana manusia itu berinteraksi.
Perspektif ekonomi dari seseorang tercermin dari keingintahuan tentang bagaimana orang yang
berbeda memperoleh nafkah dan bagaimana orang-orang yang berbeda tersebut saling
berhubungan melalui perdagangan barang dan jasa baik antar manusia, antar daerah, bahkan
antar negara. Diberlakukannya MEA merupakan akibat dari proses globalisasi yang tidak isa
dihindari. Perlu diwapadai dari diberlakukannya MEA adalah persaingan yang sangat ketat di
4 Prasetya, S. P. 2010. Pembentukan Karakter Dalam Pembelajaran Geografi. Surabaya: Seminar Nasional Pendidikan Karakter.
Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Surabaya.
negara-negara kawasan ASEAN, sehingga memicu untuk mengelola sumberdaya wilayah secara
maskimal. Jangan sampai motif ekonomi “Melalui pengorbanan sekecil-kecilnya untuk
mendapat keuntungan sebesar-besarnya” menjadi disalah artikan dengan mengekspoitasi
sumberdaya wilayah tanpa memikirkan dampak lingukngannya di masa depan. Pemahaman yang
salah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam demi mengedepankan keutungan ekonomi semata
dalam rangka memenangkan persaingan MEA akan menciptakan manusia-manusia yang
“serakah” tanpa mempedulikan pembangunan berkelanjutan.
Kegagalan penanaman nilai dalam rangka memberikan wawasan geografi kepada para
peserta didik akan melahirkan generasi yang serakah yang tidak memiliki kesadaran lingkungan.
Jika ia sukses dalam bidang ekonomi, maka melalui pabriknya ia akan merusak hutan,
menimbulkan pencemaran yang membahayakan masyarakat. Ia akan hanya mementingkan
keuntungan sesaat “kini dan di sini”. Visinya menerawang jauh ke depan, tidak memikirkan
nasib generasi yang akan datang. Tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan tidak
termanifestasikan dalam perilaku akibat keserakahannya.
Perubahan lingkungan kewilayahan, baik dalam arti fisikal, sosial maupun kultural juga
sering terjadi akibat dari proses alamiah, terjadi dengan sendirinya sesuai dengan sunatullah.
Misalnya akibat pengaruh gempa bumi yang dahsyat, letusan gunungapi, perubahan landskap
alam akibat banjir, pertambahan penduduk secara alami dan lain sebagainya. Perubahan-
perubahan juga dapat dipicu oleh perbuatan manusia secara artificial, misalnya pertambahan
penduduk karena migrasi, karena tekanan penduduk seperti di pulau jawa, menyebabkan
kerusakan lingkungan alam sebagai bagian dari system geosfera. Pembangunan indsutri yang
tidak berwawasan lingkungan bias menimbulkan pencemaran dan kerusakan hutan.
Semua perubahan lingkungan erat kaitannya dengan system geosfera, yang harus disadari
dan menjadi perhatian insan-insan dalam pendidikan geografi. Perubahan lingkungan geosfera
akan mempengaruhi cara hidup dan mengakibatkan perubahan nilai. Perubahan nilai akan
mengakibatkan perubahan sistem social. Ketimpangan lingkungan bisa mengakibatkan
disintegrasi dalam sosiokultural yang menimbulkan keresahan sosial.
Jika penanaman wawasan kegeografian hanya berfokus kepada proses-proses keilmuan
empiric dan kategoris, hanya mengkaji adanya what to be, yang bebas dari nilai, tanpa
memperhatikan nilai normative akan menghasilkan manusia-manusia pemuja ilmu (scientism)
yang harus diwaspadai oleh para pendidik, termasuk pendidik geografi. Kondisi tersebut akan
melahirkan masyarakat pengisi ruang geosfera yang hanya mementingkan pragmatism dan skuler
yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila.
Penanaman geografi tidak lepas dari proses pendidikan yang berkaitan dengan unsur-
unsur kejiwaan (iman, rasa, dan rasio). Penanaman geografi harus disertai pendidikan nilai yang
penting dalam membentuk watak, sikap dan perilaku peserta didik. Dengan demikian penanaman
wawasan geografi yang sarat nilai merupakan suatu keniscayaan yang tinggi dalam pembentukan
kepribadian warga negara yang baik. Melalui penerapan kurikulum 2013 (K-13), sebenarnya
merupakan kebijakan pendidikan nasional yang strategis dalam mewujudkan manusia Indonesia
Seutuhnya. Diterapkannya K-13, pembelajaran geografi dapat dikemas dengan memperhatikan
kompetensi sikap (spiritual dan sosial), pengetahuan, dan keterampilan menjadi satu kesatuan
utuh melalui strategi pembelajaran yang inovatif (berpusat pada siswa).
Dewasa ini hampir semua negara terutama negara berkembang menghadapi berbagai
masalah lingkungan yang tercermin dari adanya ketimpangan kehidupan sosial, seperti adanya
gejala di beberapa daerah kantung-kantung kemiskinan ditengah-tengah atau berdampingan
dengan kawasan kemewahan. Pemekaran wilayah perkotaan dan daerah industry serta daerah
pemukiman yang tidak terkendali, berkembangnya slum area di beberapa bagian kota, berbagai
bentuk pencemaran limbah industry, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan cerminan dari
masalah rendahnya kesadaran lingkungan yang seharusnya merupakan perhatian insan pendidik
melalui penanaman wawasan geografi.
Penting mengupayakan agar perubahan masyarakat tidak mengarah kepada kondisi yang
tidak diharapkan, maka penanaman wawasan kegeografian harus dimulai dan dimuati nilai-nilai
normative (what should be) dengan arah teleologis aksiologi berdasarkan nilai keillahian, sesuai
dengan nilai Pancasila yang relijius. Lebih jelasnya, harus selalu berorientasi kepada tujuan
pendidikan nasional yang sering dilupakan oleh para pengajar, termasuk ke dalamnya para guru
dan dosen geografi. Tidak sedikit guru dan dosen yang telah merasa lega, jika ia telah selesai
mengajarkan materi sesuai dengan Silabus atau Rencana Perkuliahan Semester (RPS) yang telah
dirancangnya. Padahal tujuan pendidikan esensial bukan sekedar mentransfer sejumlah
pengetahuan materi, tetapi bagaimana perubahanperilaku peserta didik dalam pengembangan
potensi kepribadiannya sehingga menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Perspektif Pendidikan Geografi
Pendefinisian geografi telah banyak dikemukanan oleh para ahli. Jika diatanyakan
kepada beberapa mahasiswa jurusan geografi, tentang apa itu geografi, masih banyak yang
menjawab dengan mengemukakan geografi secara lancar, tetapi tidak memahami hakekat
kegeografiannya. Disamping itu tidak sedikit para mahasiswa dan pengajar geografi dijalur
pendidikan sekolah, jika diajukan pertanyaan yang sama mereka menjawab bahwa geografi itu
mempelajari keadaan geologi, keadaan iklim, bentuk daratan, hasil bumi, bencana dan
sebagainya. Jadi yang mereka fahami hanya sekedar materi yang terpisah-pisah, tanpa
keterkaitan, jauh dari wawasan yang memandang geosfera sebagai suatu system. Kurangt
mampu mengadakan eksplanasi hubungan fungsional structural secara sistemik.
Para pengajar di jurusan Pendidikan Geografi yang memegang berbagai mata kuliah
pendukung disiplin ilmu geografi, seperti: geologi, geomorfologi, oseanografi, klimatologi,
antropologi, dan sebagainya, masih tampak setiap pengajarnya hanya mengajarkan materi
perkuliahannya secara structural sesuai disiplin kelilmuan masing-masing. Kurang
memperhatikan kegeografiannya. Pembahasannya kurang bermuatan konsep-konsep wawasan
keruangan atau keekologian. Materi perkuliahan disajikan secara terlepas-lepas, kurang
mengandung hubungan tentang konsep relasi, interelasi, interaksi dan interdependensi antar
berbagai materi yang disajikan di dalam setiap kuliah tersebut dalam suatu system geosfera yang
terintegrasi. Adanya kenyataan tersebut, bukan hanya kurang mendidik untuk penanaman
wawasan geografi, tetapi juga akan membingungkan para peserta didik. Mereka telah banyak
belajar materi-materi pendukung disiplin ilmu geografi, tetapi mereka kurang memahami
“hakekat geografi” itu.
Subjek material dari geografi adalah permukaan bumi dan proses pembentuknya,
hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, serta hubungan antara manusia
dengan tempatnya. Hal ikhwal yang dipelajari geografi tersebut dalam masa mendatang akan
semakin kompleks dan ruwet, lingkungan fisikal akan semakin mengancam, dan ekonomi global
semakin kompetitif dan interkonektif. Pemahaman tentang dunia, dalam hal lingkungan,
ekonomi global memerlukan kompetensi geografi tingkat tinggi, karena geografi
mengemukakan suatu sensitivitas terhadap lokasi, skala, gerakan, pola, sumber daya, dan
konflik, peta dan geo-grafik.
Semua individu sebenarnya memerlukan wawasan geografi, yang mereka perlukan
adalah pemahaman terhadap konteks spasial antara manusia, tempat, dan lingkungan di
permukaan bumi ini. Satu fakta geografis yang terisolir/terpisah bukan merupakan kajian
geografi. Gunungapi Semeru sebagai gunungapi tertinggi di Jawa Timur, selama tidak dikaitkan
dengan konteks spasial terhadap fenomena geografis lainnya tidak mempunyai arti geografi.
Gunungapi tersebut baru mempunyai arti geografi apabila dikaitkan dengan bagaimanakah
aktivitas erupsinya, berapa jumlah penduduk yang tinggal, dan bagaimana distribusinya, bencana
alam apa yang mungkin timbul, dan sebagainya. Pandangan kebanyakan orang bahwa geografi
itu ilmu tentang nama tempat, jelas merupakan pandangan yang menyesatkan.
Pemahaman tentang geografi sebagai ilmu pengetahuan terkandung muatan intelektual
dan praktikal. Muatan intelektual tercermin pada pengetahuan bahwa bumi itu dihuni oleh
berbagai suku bangsa yang berbeda adat istiadatnya, beserta isu-isu lokal, regional, dan global.
Dengan mengetahui tempat di bumi dengan baik maka manusia akan berpandangan lebih luas,
tidak picik, dan tidak pula etnosentris. Seandainya pengetahuan geografi bagi seluruh rakyat
Indonesia pada tingkat menengah keatas dapat dipahami secara nyata, maka konflik
daerah/propinsi, yang menjurus pada perpecahan republik ini tidak akan terjadi.
Pengetahuan geografi yang menekankan pada kajian fenomena interelasi tentang
penduduk, tempat-tempat dan lingkungannya yang menarik di bumi ini, memungkinkan manusia
untuk mencintai bumi beserta isinya sehingga akan membuat keputusan yang bijaksana dalam
bertindak dan memanfaatkan bumi ini.
Melalui wawasan geografi yang dimiliki lulusannya akan mampu menjadi pengambil
kebijaksanaan dan keputusan, sehingga harus memiliki perspektif nasional dan internasional
serta mempunyai kompetensi terhadap pembangunan lingkungan. Misalnya setelah lulus dari
perguruan tinggi menjadi pengusaha kehutanan yang justru hutannya dibabat habis, atau menjadi
direktur tekstil yang bertaraf internasional tetapi membuat kebijakan yang salah dalam
membuang limbah, atau menjadi kepala daerah tetapi tidak mengetahui potensi sumberdaya
daerahnya dan tidak mengetahui permasalahan ligkungan fisikal dan sosial dengan baik dari
wilayahnya.
Penanaman wawasan dan nilai geografi sangat penting dalam menghadapi MEA terutama
untuk lebih bangga terhadap tanah air sendiri. Geografi adalah mata pelajaran yang diberi amanat
untuk memperkenalkan keadaan tanah air Indonesia. Siapa pun yang menjauhkan bangsa
Indonesia dari mengenal tanah airnya sendiri, termasuk pihak yang merongrong NKRI, dan
geografi adalah mata pelajaran yang memperkenalkan sumberdaya negara sekaligus memberi
wawasan tentang tata cara pengelolaan dan melestarikan lingkungan hidup, karena itu perlu terus
didukung dengan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai agar warga bangsa dapat
hidup dengan mengolah tanah airnya sendiri sehingga secara bertahap dapat mengurangi
ketergantungan dari negara lain.
Simpulan
Geografi merupakan ilmu dasar dan terapan yang mempunyai manfaat bagi kehidupan
manusia dan pembangunan di Indonesia. Pemahaman geosfer oleh manusia semakin diperlukan
dalam rangka menata kehidupan dan pembangunan berkelanjutan. Penanaman wawasan dan nilai
geografi yang mengglobal merupakan masalah tersendiri yang perlu diperhatikan.
Penanaman wawasan geografi tidak saja bertujuan untuk mengembangkan dan memenuhi
ingatan para peserta didik. Tetapi, lebih dari itu, melainkan untuk membina dan mengembangkan
mental peserta didik untuk sadar akan tanggung jawabnya, baik bagi dirinya maupun masyarakat
dan negara. Pendidikan geografi mengupayakan dan menerapkan teori, konsep serta prinsip
kajian wilayah untuk menelaah pengalaman, peristiwa, gejala, dan masalah alam serta sosial
yang secara nyata terjadi dalam kehidupan di kehidupan masyarakat.
Dalam rangka menghadapi MEA peran geografi dalam pemahaman karakteristik, potensi
dan masalah disuatu masalah meruapakan dasar pijakan dalam mewujudkan kesejahteraan
negara Indonesia. Terbukanya pasar ASEAN tersebut memberikan peluang untuk semakin
terbukanya akses bagi masyarakat kepada sumber-sumber potensi wilayah, tidak saja di dalam
negeri tetapi juga pasar internasional. Dalam menghadapi MEA, sumberdaya wilayah menjadi
salah satu modal dasar pembangunan bagi negara Indonesia. Sebagai modal dasar, sumberdaya
wailayah harus dimanfaatkan sepenuh-penuhnya tetapi dengan cara yang tidak merusak. Oleh
karena itu, cara-cara yang dipergunakan harus dipilih yang dapat memelihara dan
mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk pembangunan dimasa
datang. Penguasaan potensi wilayah dapat dikembangkan melalui pemahaman studi geografi.
Penanaman geografi harus disertai pendidikan nilai yang penting dalam membentuk watak, sikap
dan perilaku peserta didik yang berjiwa nasional dan berfikir global.
Berdasarkan pada paparan diatas, nampak bahwa pendidikan geografi sangat diperlukan
eksistensinya dalam rangka mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tentang
pengelolaan wilayah yang majemuk dan berbeda di Indonesia.
Daftar Pustaka
Daldjoeni, N., 1997, Pengantar Geografi Untuk Mahasiswa Dan Guru Sekolah Bandung:
Penerbit P.T Alumni.
Djamari, 1999, Penanaman Wawasan Kegeografian. Bandung: Seminar Nasional Universitas
Pendidikan Indonesia.
Donoseputro, Marsetio, 2002, Pendidikan Menyongsong Globalisasi.Bandung: Angkasa
Prasetya, S. P. 2010. Pembentukan Karakter Dalam Pembelajaran Geografi. Surabaya: Seminar
Nasional Pendidikan Karakter. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Surabaya.
Prasetya, S.P.2015. Peran Pendidikan Geografi Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean. Surabaya: Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya.
Sutmaatmadja, N, S. 2005. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.