pena

12

Click here to load reader

Transcript of pena

Page 1: pena

MODEL ASESMEN PEMBELAJARAN

AKHLAK MULIA Oleh: Dr. Zurqoni, M.Ag

1)

Pendahuluan

Akhlak mulia menjadi aspek penting dalam kehidupan manusia, baik dalam posisinya

sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai bangsa. Penguatan akhlak mulia

dinilai strategis untuk mengatasi problem moral ditengah kompleksitas kehidupan

bermasyarakat. Selain itu akhlak mulia dapat menjadi barometer keshalehan seseorang di

hadapan Ilahi dan sesama, karenanya seseorang yang berakhlak mulia akan mendapatkan

sebutan dari masyarakat sebagai orang shaleh.

Pembinaan akhlak mulia dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan di

Indonesia diperkuat oleh berbagai regulasi kependidikan berupa undang-undang, peraturan

pemerintah, peraturan menteri, dan aturan lainnya. Dalam konteks ini, setiap institusi

pendidikan harus mampu melakukan pembinaan terhadap akhlak peserta didiknya.

Pembinaan akhlak mulia melalui institusi pendidikan memiliki esensi bagi terwujudnya

kepribadian peserta didik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Pembinaan akhlak mulia yang dimaksud, yakni pembentukan karakter dan perilaku terpuji

peserta didik yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari yang bersumber dari syara’.

Pelaksanaan pendidikan akhlak pada institusi pendidikan Islam tidak terlepas dari

kualitas pembelajaran dan sistem penilaiannya. Sistem penilaian yang baik menurut Djemari

Mardapi (2005:11) akan mendorong guru dalam menentukan strategi mengajar yang baik dan

1 Makalah disampaikan dalam Studium General STAIN Samarinda, Samarinda, Maret 2011.

ABSTRAK

Pelaksanaan pendidikan akhlak mulia di sekolah-sekolah

tidak terlepas dari kualitas pembelajaran dan sistem penilaiannya. Penilaian akhlak mulia peserta didik sebagai hasil pembelajaran di sekolah masih bersifat parsial dan konvensional. Penilaian akhlak mulia lebih mengedepankan assessment of learning dari pada assessment for learning. Penilaian terjadi bias karena dilakukan secara parsial, subyektif, dan bersifat perabaan.

Tulisan ini merupakan pengembangan model asesmen akhlak mulia peserta didik, yang di dalamnya terdiri dari dimensi-dimensi willingness, conscience, value, attitude, dan moral behavior. Model asesmen ini menggunakan pendekatan self- dan peer-assessment secara terpadu dengan melibatkan peserta didik secara inter dan intra individu. Struktur internal model asesmen pembelajaran akhlak mulia yang terdiri yang dari dimensi-dimensi willingness, conscience, value, attitude, dan moral behavior melalui pendekatan self- dan peer-assessment ini dinyatakan tepat digunakan untuk menilai akhlak mulia peserta didik.

Page 2: pena

memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Penilaian menjadi aspek penting bagi upaya

peningkatan kualitas pendidikan, karena melalui kegiatan penilaian akan diperoleh informasi

mengenai pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa untuk dijadikan acuan pemberian

feed back bagi keduanya (Black & Wiliam, 1998: 139-148).

Penilaian akhlak mulia sebagai hasil dari pembelajaran dalam penerapannya dapat

memanfaatkan keterlibatan siswa secara inter dan intra individu siswa. Keterlibatan siswa

dalam penilaian akan mendorong partisipasi aktif yang bersangkutan untuk merealisasikan

ketercapaian tujuan pembelajaran sekaligus membuatnya sadar posisi dalam konteks

kompetensi yang harus dicapai.

Realita penilaian akhlak mulia hasil dari pembelajaran pada berbagai institusi

pendidikan selama ini masih menerapkan penilaian yang bersifat parsial dan konvensional.

Penilaian akhlak mulia siswa cenderung mengedepankan hasil akhir pembelajaran

(assessment of learning) dibanding penilaian secara berkelanjutan (assessment for learning).

Selain itu praktek penilaian akhlak siswa bersifat tunggal, bersifat ‘perabaan’, dimensi-

dimensi dan instrumen penilaian tidak jelas sehingga dapat menimbulkan bias penilaian.

Kondisi demikian memunculkan pemikiran mengenai pentingnya dikembangkan

model penilaian akhlak mulia dengan menetapkan dimensi-dimensi yang jelas, instrumen

yang tepat, dilakukan secara berkala dan memanfaatkan keterlibatan intra dan inter individu

siswa. Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian disertasi, yang salah satunya

menghasilkan model pengukuran akhlak mulia. Model pengukuran (measurement model)

akhlak mulia merupakan struktur internal terdiri dari dimensi-dimensi akhlak yang baik

digunakan untuk menilai akhlak siswa. Model asesmen ini menggunakan pendekatan self-

dan peer-assessment secara terpadu dengan melibatkan siswa dalam melakukan penilaian

akhlak.

Konsepsi Akhlak Mulia

Akhlak merupakan kondisi internal psikologis yang mendorong seseorang untuk

melakukan suatu perbuatan (Miskawaih, 1966: 49; Anis, 1972: 202; Al-Ghazali, t.th.: 56).

Perbuatan tersebut dilakukan secara reflektif tanpa adanya rekayasa dan didasarkan pada

kesadaran dan kehendak orang yang melakukannya (Amin, 1974:63). Akhlak mulia

(akhlaqul karimah) menurut Saefudin (2002: 70), yakni jenis-jenis perilaku yang memiliki

nilai kebajikan dan menjadi ukuran untuk menentukan suatu tindakan dinyatakan benar atau

salah berdasarkan norma Islam. Norma-norma Islam diwujudkan dalam bentuk perintah-

larangan, dorongan-cegahan, dan pujian-kecaman (Zulkabir, 1993: 98). Tindakan yang baik

dan benar adalah segala hal yang diperintahkan, didorongkan, dipuji dan diharapkan oleh

Islam untuk dilakukan. Sebaliknya tindakan yang dikecam dan dilarang dikategorikan

sebagai tindakan tercela.

Asmaran (2002:207) menegaskan, bahwa akhlak mulia itu sebagai sifat-sifat dan

perilaku sesuai dengan norma atau ajaran Islam secara lahiriyah dan bathiniyah. Akhlak

mulia secara lahiriyah merujuk pada perilaku terpuji yang tampak, sedangkan akhlak mulia

secara bathiniyah merujuk pada sifat-sifat terpuji dalam jiwa. Dengan demikian, akhlak

mulia pada hakekatnya adalah kondisi psikologis (kejiwaan) dan perilaku terpuji berdasarkan

norma-norma Islam. Perilaku tersebut sebagai refleksi jiwa secara wajar tanpa adanya

rekayasa. Akhlak mulia terdiri atas aspek-aspek bathiniyah dan lahiriyah.

Page 3: pena

Akhlak setiap individu merupakan manifestasi dari kondisi bathinnya. Akhlak mulia

sebagai manifestasi kondisi bathin terpuji, sebaliknya akhlak tercela sebagai manifestasi dari

kondisi bathin yang tidak terpuji (Asmaran, 2002:208). Dengan demikian akhlak mulia

seseorang dalam wujud perbuatan nyata (lahiriyah) memiliki keterkaitan erat dengan kondisi

bathinnya. Penetapan akhlak mulia tidak hanya dilihat dari eksistensinya (perbuatan

lahiriyah), tetapi juga dilihat dari esensinya (kondisi bathin) yang mendorong dan

menentukan perbuatan lahiriyah seseorang. Oleh karena itu dalam menilai akhlak

seseorang, Al-Ghazali mengingatkan agar dalam penilaian tersebut tidak semata-mata

didasarkan pada perbuatan lahiriyahnya, tetapi penilaian juga didasarkan pada sifat/kondisi

yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya lahir macam-macam perbuatan.

Aspek-Aspek Akhlak Mulia

Aspek-aspek akhlak menurut Abdullah (2007: 200-232) meliputi akhlak kepada

Allah, akhlak kepada sesama, dan akhlak pada lingkungan. Akhlak kepada Allah

diwujudkan melalui pentauhidan, beribadah, bersyukur, bertaqwa, berdo’a, berdzikir, dan

bertawakkal kepada-Nya. Akhlak kepada sesama dipetakan atas akhlak kepada orang tua,

saudara, tetangga, dan masyarakat pada umumnya. Kemudian akhlak pada lingkungan

(alam) dilakukan dengan cara memanfaatkan, memelihara dan melestarikannya.

Selanjutnya dinyatakan oleh Darraz (1973: 14), bahwa akhlak di dalam al-Qur’an

dapat dipetakan atas akhlak pribadi, akhlak kekeluargaan, akhlak kemasyarakatan, akhlak

kenegaraan dan akhlak keagamaan. Pemetaan akhlak tersebut masih bersifat global sehingga

Jalaluddin dan Said (1994: 47) membaginya menjadi sembilan kategori utama, yakni: akhlak

terhadap Allah, akhlak terhadap Rasul, akhlak terhadap Al-Quran, akhlak terhadap diri

sendiri, akhlak terhadap kedua orang tua, akhlak terhadap anak, akhlak dalam rumah

tangga, akhlak terhadap sesama manusia dan lingkungan. Pemetaan akhlak berdasarkan

pendapat di atas tampak keduanya menekankan pada realisasi atau penerapan akhlak dalam

kehidupan manusia sebagai pribadi, hamba, umat beragama, anggota keluarga dan

masyarakat.

Akhlak pribadi merujuk pada perlakuan seseorang pada dirinya sendiri secara Islami.

Akhlak sebagai hamba berkaitan dengan hubungan manusia dengan Ilahi. Akhlak umat

beragama diarahkan pelaksanaan ajaran agama dan pola relasi dengan agama lain. Akhlak

sebagai anggota keluarga mencakup hubungan antar pihak-pihak di dalam keluarga,

termasuk ketaatan dan penghormatan anak terhadap orang tuanya. Selanjutnya akhlak dalam

konteks kemasyarakatan mengatur relasi antar sesama di dalam suatu komunitas tertentu.

Berdasarkan uraian di atas jelas eksistensi manusia dalam menjalani kehidupan di

dunia ini memiliki keterkaitan dengan dirinya sebagai hamba sehingga berkewajiban

mengabdi kepada Allah. Selain itu manusia sebagai bagian komunitas masyarakat perlu

menjunjung tinggi tata aturan kehidupan bermasyarakat, kemudian memelihara diri dan

lingkungannya. Dengan demikian akhlak mulia memiliki aspek ketuhanan (hablun minallah)

dan aspek kemanusiaan (hablun minannas).

Terkait dengan aspek ketuhanan, bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah

yang berarti memiliki kecenderungan bertauhid kepada Allah. Manusia dalam hubungannya

dengan Ilahi berposisi sebagai makhluq (yang diciptakan) sedangkan Allah berposisi sebagai

al-Khaliq (pencipta). Manusia sebagai hamba memiliki kewajiban berakhlak mulia kepada

Page 4: pena

Allah dengan cara mengimani dan menjalankan segala hal yang telah diperintahkan.

Berakhlak mulia kepada Allah secara umum dapat diwujudkan melalui keimanan dan

ketaqwaan serta ibadah secara luas.

Mengenai aspek kemanusiaan, bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk

yang dilengkapi dengan akal sehingga dikategorikan sebagai makhluk paling sempurna

diantara makhluk-makhluk lainnya. Berdasarkan akal tersebut manusia menyatakan

kesanggupannya untuk memikul amanah, dan karena akal itu pula manusia dibebani

kewajiban selain mendapatkan hak-haknya dalam kehidupannya.

Islam mengajarkan bagaimana manusia memenuhi hak-haknya dengan tidak

merugikan hak orang lain. Islam juga menyeimbangkan antara hak dan kewajiban manusia

untuk menghindari pertentangan diantara sesamanya, mengingat dalam suatu hak seseorang

terdapat kewajiban oleh orang lain, demikian halnya dalam suatu kewajiban terdapat hak

yang diterima orang lain sehingga keduanya merupakan hubungan timbal balik.

Selain akhlak terhadap diri sendiri dan sesama, bahwa manusia hidup berdampingan

dalam suatu lingkungan, yakni segala sesuatu yang berada di sekitar tempat tinggal seseorang

baik manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang dan berbagai makhluk lainnya. Dengan demikian

lingkungan dapat dibedakan atas lingkungan masyarakat dan lingkungan dalam makna alam.

Lingkungan masyarakat adalah komunitas manusia yang berada di sekelilingnya, bekerja

bersama-sama, saling membutuhkan dan dapat mengorganisasikannya dalam lingkungan

tersebut sebagai suatu kesatuan sosial.

Lingkungan dalam konteks akhlak ini termasuk di dalamnya adalah alam beserta

isinya (QS. 2: 168; QS.28:77; QS. 30:41). Ayat-ayat ini menggambarkan pentingnya

keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian alam. Allah menyerahkan semua yang ada

dalam alam ini untuk kepentingan hidup manusia (QS. 2:29), manusia diberi kebebasan

untuk menggunakannya dengan mengikuti aturan dalam proses penggunaan alam (QS. 7:56;

28:77). Prinsip-prinsip akhlak mulia berkaitan dengan penggunaan alam telah diatur dalam

Islam, misalnya manusia perintahkan untuk menyayangi binatang dan tumbuh-tumbuhan,

tidak membunuh binatang tertentu (yang tidak boleh dibunuh), tidak menebang pohon secara

sembarangan yang menyebabkan terjadinya erosi dan rusaknya lingkungan, tidak boros

menggunakan air, tidak kencing di tempat-tempat yang terdapat komunitas kehidupan

makhluk lain, menjaga kebersihan dan sebagainya (Hamzah Ya’cub, 1985: 171-173).

Akhlak mulia terhadap lingkungan seharusnya melekat pada diri peserta didik.

Perwujudan atas pemeliharaan lingkungan alam ini antara lain dengan menjaga kebersihan,

keasrian dan pelestarian lingkungan.

Dimensi-Dimensi Akhlak Mulia

Kondisi psikologis seseorang terkait dengan pembelajaran masuk dalam domain

afektif. Dimensi-dimensi afektif ini meliputi kehendak, kata hati (Amin, 1976: 61-80),

perasaan, nilai, sikap (Anderson, 1981: 32-35; Gable, 1986: 2; Djemari Mardapi, 2005: 63-

64), dan perilaku akhlak (behavior/moral action) (Derryberry, 2005:71; Peter Ji, 2004:2;

Hendrix, 2004:60; Rudd, 2004:156, dan Lickona,1991:52-62). Berdasarkan uraian di atas, maka

dimensi-dimensi akhlak setidaknya mencakup kehendak (willingness), kata hati (conscience),

nilai (value), sikap (attitude), dan perilaku akhlak (moral behavior).

Kehendak merupakan keinginan yang kuat (niat) untuk melakukan ataupun

menghindari suatu perbuatan. Kehendak menjadi daya penggerak yang dapat menimbulkan

perbuatan. Setiap perilaku manusia lahir dari kehendaknya, dan setiap kehendak lahir dari

keyakinan yang tertanam dalam jiwanya (Skinner, 1976: 11). Kehendak baik bila terefleksi

Page 5: pena

menjadi perbuatan, maka perbuatan tersebut dikategorikan baik. Perbuatan baik tidak dinilai

hanya dari tampilannya, namun juga dinilai dari kehendaknya (Amin, 1976:61). Penilaian

terhadap baik-buruknya suatu perilaku menurut Asmaran (2002: 36-38) harus menyertakan

aspek kehendak (niat).

Kata hati merujuk pada penciptaan manusia yang fitrah, sehingga memiliki

kecenderungan terhadap hal-hal yang benar, baik dan yang suci. Setiap orang mempunyai

potensi untuk berbuat baik disebabkan adanya fitrah yang tertahan dalam hati nurani. Dia

memiliki kecenderungan ingin berbuat sesuai dengan hukum-hukum akhlak, sehingga segala

perbuatan yang menyimpang dari padanya merupakan penyimpangan dan melawan fitrahnya

(Q.S. 30/30; 7/172). Dia merasa dalam jiwanya terdapat pertentangan, merasa berdosa dan

menyesal ketika melakukan perbuatan tidak terpuji. Kekuatan ini disebut sebagai kata hati

yang mendahului perbuatan, mengiringi dan menyusulnya (Amin, 1976: 80). Kata hati

menurut al-Ahwani (t.t: 102) dapat memantulkan bermacam-macam perilaku dan menilai

baik-buruknya suatu perbuatan. Kata hati dapat membimbing manusia untuk berbuat baik

dan menjauhkannya dari perbuatan buruk.

Selanjutnya, nilai adalah konsepsi keinginan yang seharusnya diinginkan terhadap

sesuatu (Getzels, 1966:98). Konsep nilai ini mengarah pada keyakinan terhadap sesuatu

yang seharusnya dipilih dan dilakukan. Allport (Mulyana, 2004:9) menegaskan, bahwa nilai

itu sebagai keyakinan yang mengarahkan seseorang bertindak atas dasar pilihannya.

Keyakinan tersebut ditempatkan sebagai wilayah psikologis yang lebih tinggi dari wilayah

lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan dan kebutuhan. Nilai dalam ilmu behavioral

lebih mempertimbangkan pentingnya nilai-nilai perilaku. Nilai-nilai tersebut merupakan

petunjuk yang terinternalisasi dalam ekspresi perilaku yang ditampilkan seseorang.

Aktualisasi nilai kedalam akhlak terpancar dari konsepsi dan perseptual seseorang tentang

kehidupan dalam relasinya dengan Ilahi maupun sesama, dan nilai tersebut dapat berupa

aqidah Islamiyah/ keyakinan terhadap kebenaran ajaran agama (Islam). Aqidah menjadi

sumber kekuatan batin bagi setiap orang, sehingga seseorang yang berpegang teguh padanya

akan mendapatkan ketenteraman bathin, sementara yang meninggalkan akan mengalami

keresahan dalam bathinnya.

Perihal sikap dinyatakan Gagne (1974:64), bahwa sikap itu sebagai keadaan internal

(internal state) yang mempengaruhi pilihan tindakan individu. Sikap terhadap perilaku

tertentu menurut Azwar (2005:12) dipengaruhi oleh keyakinan mengenai perilaku normatif

yang membentuk norma subyektif dalam diri individu. Sikap pribadi seseorang yang

berjiwa sosial-religius berkembang dalam pola hidup yang menghubungkan antara dirinya

dengan Allah SWT. (hablun minallah) dan dengan masyarakatnya (hablun minannas). Sikap

dapat dinyatakan dalam bentuk respons persetujuan atau penolakan terhadap suatu perbuatan.

Perilaku akhlak berdasarkan konsepsi moral dinamakan moral behavior. Perilaku

akhlak sebagai manifestasi dari kehendak, kata hati, nilai dan sikap. Perilaku akhlak

merupakan perbuatan atau tindakan nyata yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-

hari. Derryberry (2005:71) menyatakan, bahwa perilaku akhlak merupakan kumpulan sifat-

sifat yang dipengaruhi oleh berbagai aspek. Perilaku akhlak mencakup competence dan

habit (Lickona, 1991:52-62). Dimensi perilaku akhlak yang dimaksudkan, yakni

kemampuan seseorang untuk berperilaku terpuji secara nyata dalam kehidupannya. Perilaku

ini merupakan manifestasi dari seperangkat karakteristik afektif termasuk kehendak yang

dimiliki. Selain itu perilaku didasari oleh kekuatan dalam diri seseorang untuk melakukan

sesuatu yang dipikirkan untuk selanjutnya dibiasakan dalam berperilaku. Berdasarkan

Page 6: pena

dimensi-dimensi akhlak mulia yang perlu untuk dinilai selanjutnya dapat digambarkan

berikut ini.

Dimensi-dimensi akhlak mulia di atas dapat dijelaskan secara operasional sebagai

berikut:

1. willingness, yakni kehendak (niat) seseorang untuk melakukan suatu perbuatan terpuji,

ataupun menghindari perbuatan tercela. Kehendak menjadi daya penggerak jiwa,

memberi alasan dan dasar setiap individu untuk melakukan perbuatan tertentu. Kehendak

peserta didik dalam melakukan suatu perbuatan (akhlak) dilihat berdasarkan arah dan

intensitasnya.

2. conscience yang berarti kata hati merujuk pada penciptaan manusia yang hanif, yakni

kecenderungan terhadap hal-hal yang benar, baik dan suci. Kecenderungan tersebut

menjadikan kata hati setiap individu merasa senang dapat melakukan perbuatan terpuji,

dan sebaliknya merasa bersalah, berdosa, was-was dan sejenisnya jika melakukan

perbuatan tidak terpuji maupun meninggalkan amalan yang diwajibkan. Dengan

demikian akhlak peserta didik dari dimensi ini dinilai berdasarkan kata hati mereka ketika

melakukan perbuatan terpuji ataupun tercela, dan ketika meninggalkan kewajibannya.

3. value (nilai) merupakan keyakinan seseorang yang mengarahkannya untuk berperilaku

berdasarkan keyakinannya. Nilai menjadi acuan yang terinternalisasi dalam ekspresi

perilaku seseorang. Nilai-nilai dalam kaitannya dengan akhlak mencakup nilai intelektual

(benar-salah) dan etika (baik-buruk). Nilai-nilai intelektual dan etika yang diyakini

peserta didik didasarkan pada ajaran Islam.

4. attitude (sikap) sebagai kondisi yang turut memberi kontribusi terhadap tindakan dan

perilaku. Sikap dalam hal ini merujuk pada respons peserta didik atas perbuatan tertentu

perlu dilakukan ataupun dihindari dalam konteks kewajiban-larangan dan

kemaslahatannya melalui pernyataan setuju-tidak setuju.

5. moral behavior, yakni perilaku akhlak seseorang yang secara nyata ditampilkan dalam

kehidupan sehari-hari. Perilaku akhlak ini teramati dan dapat dinilai oleh diri sendiri

maupun orang lain.

Pendekatan Asesmen Pembelajaran

Asesmen pembelajaran sebagai kegiatan pengumpulan informasi mengenai

proses dan hasil belajar. Praktek asesmen pembelajaran dapat memanfaatkan

keterlibatan inter dan intra individu siswa. Pelibatan inter individu siswa dalam

pelaksanaan asesmen pembelajaran dikenal dengan pendekatan self-assessment,

sedangkan pelibatan intra individu siswa dikenal dengan peer-assessment. Dikaitkan

asesmen akhlak sebagai hasil dari proses pembelajaran PAI, maka self-assessment

WillingnessWillingnessWillingnessWillingness ConscienceConscienceConscienceConscience ValueValueValueValue AttitudeAttitudeAttitudeAttitude Moral BehaviorMoral BehaviorMoral BehaviorMoral Behavior

Akhlak Akhlak Akhlak Akhlak MuliaMuliaMuliaMulia Gb. 1: Dimensi-Dimensi

Akhlak Mulia

D

I

M

E

N

S

I

A

K

H

L

A

K

Page 7: pena

dapat digunakan untuk menilai keseluruhan dimensi akhlak oleh dan untuk dirinya

sendiri. Selanjutnya peer-assessment digunakan untuk menilai akhlak teman

sejawatnya yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi akhlak yang

dapat dinilai oleh teman sejawat, yakni moral behavior. Kedua pendekatan tersebut

dapat diterapkan secara terpadu.

Penggunaan self-assessment didasarkan pada kondisi internal psikologis dalam

akhlak, sehingga siswa sendiri yang dapat memahami, merefleksi diri dan menilai

kondisi internal psikologis dalam dirinya. Penggunaan peer-assessment didasarkan

pada banyaknya jumlah siswa didalam kelas dibanding jumlah guru PAI yang sangat

kecil kemungkinan guru dapat mengamati perilaku masing-masing siswa secara detail.

Penilaian akhlak antar siswa dalam suatu kelompok diasumsikan dapat memberi

informasi secara memadai tentang akhlak para siswa. Penilaian akhlak oleh teman

sejawat dapat dijadikan pertimbangan dalam mengupayakan pembinaan akhlak mulia

siswa. Penilaian ini dikhususkan pada perilaku akhlaki yang termanifes dalam diri

setiap individu siswa.

Asesmen pembelajaran akhlak di madrasah didasarkan pada materi-materi

akhlak yang dinukil dari rumpun mata pelajaran PAI. Strategi penilaian dapat dilihat

pada Gambar 2.

Willingness

Conscience

Value

Attitude

Moral Behavior

Akhlak

Mulia

Aqidah Akhlak

F i q h

Al-Qur’an Hadis

Self-Assessment

Peer-Assessment

Gb. 2: Strategi Penilaian

Sebagaimana tampak pada gambar di atas, bahwa pendekatan self-assessment

digunakan untuk menilai akhlak dari dimensi willingness, conscience, attitude, dan

moral behavior. Sedangkan pendekatan peer-assessment hanya digunakan untuk

menilai akhlak dari dimensi moral behavior.

Validasi Model Asesmen Akhlak

Penetapan dimensi-dimensi willingness, conscience, value, attitude, dan moral

behavior untuk menilai akhlak mulia peserta didik didasarkan pada hasil penelitian

dan pengembangan (research and development). Prosedur pengembangan secara garis

besar dibagi menjadi tiga tahapan, yakni tahap pra-pengembangan, pengembangan model

konseptual, dan penerapan model (Plomp, 1982; Cennamo & Kalk, 2005:6).

Proses pengembangan model penilaian ini melibatkan expert judgment yang dikemas

dalam bentuk Teknik Delphi. Selain itu proses pengembangan juga melibatkan para

akademisi dan praktisi melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Uji coba model

ditempuh melalui kegiatan uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil, dan uji coba

lapangan (Tessmer, 1993), dengan melibatkan sebanyak 320 siswa.

Page 8: pena

Validitas isi dilakukan melalui

dilakukan melalui uji data empirik

setiap butir instrumen didasarkan pada

(Nunally, 1981: 346; Fernandes,

Perihal reliabilitas instrumen

minimal 0,7 (Koplan, 1982: 106; Allen & Yen, 1979: 121; N

estimasi reliabilitas composit

(1981: 248) sebagai berikut:

Penghitungan estimasi reliabilitas

formula estimasi inter rater

(2007:106). Formula tersebut, yakni:

inter-rater, penghitungannya menggunakan

Selanjutnya untuk mendapatkan suatu model pengukuran akhlak digunakan t

analisis Confirmatory Factor A

Lisrel. Model pengukuran dinyatakan

besar dari 0,05 (ρ >0,05), Root Mean Square Error of Approximation

Goodness of Fit Index (GFI)

Berdasarkan hasil uji coba lapangan

muatan faktor terendah 0,39, indeks reliabilitas

inter rater mencapai 0,76.

melebihi batas minimal tersebut dapat dinyatakan, bahwa butir

akhlak mulia dalam penelitian ini memenuhi syarat kehandalan.

Struktur internal model asesmen pembelajaran akhlak mulia yang terdiri dari dimensi

willingness, conscience, attitude, value,menilai akhlak mulia peserta

Analysis (CFA) seperti tampak pada gamber berikut:

rνν = 1

aliditas isi dilakukan melalui penilaian para ahli, sedangkan validitas konstruk

data empirik dengan menggunakan Analisis Faktor. Ukuran valid dari

didasarkan pada nilai factor loading sekurang

(Nunally, 1981: 346; Fernandes, 1984:28).

instrumen penilaian didasarkan pada koefisien Cronbach’s

minimal 0,7 (Koplan, 1982: 106; Allen & Yen, 1979: 121; Nunnally, 1978:230), sedangkan

posite linier menggunakan formula yang direkomendasikan Nunally

enghitungan estimasi reliabilitas penilaian akhlak oleh teman sejawat

reliability yang diadaptasi dari Ebel (1951; Saifuddin Azwar

(2007:106). Formula tersebut, yakni: rxx’ = (Ss2 – Se

2)/Ss2. Uji validitas dan reliabilitas

nya menggunakan software SPSS, dan Microsof Office Excel.

Selanjutnya untuk mendapatkan suatu model pengukuran akhlak digunakan t

tor Analysis (CFA), yang penghitungannya menggunakan software

dinyatakan baik (fit model), jika memenuhi kriteria

Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA)

> 0,90.

uji coba lapangan (validasi model) penilaian akhlak

, indeks reliabilitas composite linier 0,94, dan indeks reliabilitas

. Dengan merujuk pada indeks validitas dan reliabilitas yang

melebihi batas minimal tersebut dapat dinyatakan, bahwa butir-butir instrumen penilaian

ak mulia dalam penelitian ini memenuhi syarat kehandalan.

Struktur internal model asesmen pembelajaran akhlak mulia yang terdiri dari dimensi

willingness, conscience, attitude, value, dan moral behavior dinyatakan baik untuk

menilai akhlak mulia peserta didik. Hal ini didasarkan pada hasil Confirmatory Factor

seperti tampak pada gamber berikut:

∑σi2 - ∑rii σi2

= 1 - -----------------

σ2ν

validitas konstruk

Ukuran valid dari

sekurang-kurangnya 0,3

Cronbach’s Alpha

unnally, 1978:230), sedangkan

yang direkomendasikan Nunally

penilaian akhlak oleh teman sejawat digunakan

yang diadaptasi dari Ebel (1951; Saifuddin Azwar

Uji validitas dan reliabilitas

Microsof Office Excel. Selanjutnya untuk mendapatkan suatu model pengukuran akhlak digunakan teknik

menggunakan software

kriteria ρ- value lebih

(RMSEA) < 0,08, dan

(validasi model) penilaian akhlak diperoleh

, dan indeks reliabilitas

indeks validitas dan reliabilitas yang

butir instrumen penilaian

Struktur internal model asesmen pembelajaran akhlak mulia yang terdiri dari dimensi

dinyatakan baik untuk

Confirmatory Factor

Page 9: pena

Gb. 3: Model Pengukuran Akhlak

Penentuan sebagai model pengukuran yang baik (goodness of fit) untuk menilai

akhlak mulia peserta didik didasarkan pada nilai Lambda terendah 0,39 (λ>0,30), ρ-value=

0,080 (p>0,05), RMSEA =0,074 (RMSEA < 0,08), dan GFI = 0,98 (GFI > 0,90). Dimensi

willingness adalah niat/kehendak yang mendasari peserta didik untuk melakukan perbuatan

tertentu, conscience merupakan kata hati yang menyertai setiap perbuatan, value adalah

nilai-nilai etika dan religius yang diyakini peserta didik dalam kaitannya dengan

pembentukan akhlak, attitude sebagai sikap terhadap suatu perbuatan akhlak, dan moral

behavior merupakan perilaku nyata yang ditampakkan siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Dimensi-dimensi tersebut menjadi satu kesatuan model penilaian akhlak mulia peserta didik

sebagai hasil dari proses pembelajaran.

Penutup

Struktur internal model asesmen pembelajaran yang baik digunakan untuk menilai

akhlak mulia siswa terdiri dari dimensi willingness, conscience, value, attitude dan moral

behavior. Dimensi-dimensi tersebut terkandung di dalamnya aspek akhlak kepada Allah,

akhlak kepada sesama, akhlak kepada diri sendiri dan akhlak pada lingkungan.

Implikasi dikembangkannya model asesmen pembelajaran akhlak mulia ini dapat

dijadikan acuan sekaligus mendorong kreativitas guru-guru PAI dalam melakukan penilaian

akhlak siswa. Model asesmen ini bermanfaat bagi guru dan pihak sekolah dalam menentukan

kriteria kualitas akhlak siswa. Penilaian akhlak mulia peserta didik tidak bersifat tunggal

semata-mata dilakukan oleh guru, namun penilaian akhlak tersebut menuntut dilibatkannya

siswa secara inter dan intra individu.

Page 10: pena

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin. (1974). Kitab al-akhlaq. Beirut-Lubnan: Dar al-Kitab al-‘Araby.

Al-Ghazali. (1970). Khuluq al-muslim. Kuwait: Darul Bayan.

Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Colifornia: Broks/Cole

Publishing Company.

Anderson, L.W. (1981). Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and

Bacon

Asmaran As. (2002). Pengantar studi akhlak. Jakarta: Rajawali

Azwar, S. (2005). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-------- (2007). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Black, P. dan Wiliam, D. (1998). Inside the black box: Raising standards through classroom

assessment. Phi Delta Kappa, 80, 2, 139-148.

Cennamo, K. & Kalk, D. (2005). Real world instructional design. Canada: Thomson Learning,

Inc.

Darraz, M.A. (1973). Dustur al-akhlaq fi al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Derryberry, W.P. & Thoma, S. J. (2005). Moral judgment, self understanding, and moral action:

the role of multiple constructs. ProQuest education journals, 52, 1, 67-92.

Djemari Mardapi. (2005). Pengembangan instrumen penelitian pendidikan. Yogyakarta:

Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta.

Fernandes, H.J.X. (1984). Testing and measurement. Jakarta: National Education Planning,

Evaluating and Curriculum Development.

Gegne, E.D. (1981). The cognitive psychology of school learning. Boston: Little Brown.

Getzels, J.W. (1966). The problem of interest: A reconsideration. Dalam H.A. Robinson (ed.).

Reading: Seventy-five years of progress. Supplementary Education Monographs, 97-106

Ibrahim Anis. (1972). Al-Mu’jam al-wasit. Mesir: Darul Ma’arif.

Jőreskog, K.G. & Sőrbom, D. (1996). Lisrel 8: User’s reference guide. Chicago: Scientific

Software International.

Page 11: pena

Koplan, R.M. & Saccuzzo, D.P. (1982). Psychological testing: Principles, aplication and issue.

Monterey: Broks/Cole Publishing Company.

Lickona, T. (1991). Education for character: How our schools can teach respect and

responsibility. New York: Bantam Books.

Lickona, T. (Ed.). Moral development and behavior: Theory, research, and social issue. New

York: Holt. Rinehart and Winston.

Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan pendidikan nilai. Bandung: Alfabeta

Nunally, J.C. (1970). Introduction to psychological measurement. New York: McGraw-Hill Inc.

-----------. (1981). Psychometric theory. New York: McGraw-Hill Inc.

Plomp,T. (1982). Design methodology and developmental research in education and training,

Enschende-Netherland: Faculty of Educational Science and Technology (FEST),

University of Twente.

Rudd, A. & Stoll, S. (2004). Measuring students' character in secondary education: The

development of the principled thinking inventory. Journal of research in character

education, 2, 109-120.

Skinner, B.F. (1976). About behaviorism. New York: Vintage Books.

Solimun (2002). Structural equation modelling (SEM), lisrel dan amos. Malang: FMIPA

UNIBRAW.

Tessmer, M. (1993). Planning and conducting formative evaluation. London: Kogan Page Ltd.

Diambil pada tanggal 16 April 2007, dari http:// www. geocities. com/

zulkardi/books.html.

Page 12: pena

CURRICULUM VITAE

Zurqoni, lahir di Lamongan 15 Maret 1971. Pendidikan MI-MA di Lamongan

(1990), S1 Fak. Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda (1991-1995), dan S2 UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta (1999-2001). Pendidikan S3 (2005-2009) pada PPs. UNY, Program

Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP).

Pengalaman pekerjaan, antara lain menjadi guru honorer SD/MI, SMP/MTs,

SMA/MA, Dosen STAIN Samarinda (1995-sekarang), Sekretaris Jurusan Tarbiyah (1997-

1998), Ketua Jurusan Tarbiyah (2001-2005), dan Pembantu Ketua II STAIN Samarinda

(2009-sekarang).

Karya tulis yang dimuat dalam berbagai Jurnal Ilmiah, yakni: Paradigma Pendidikan

di Indonesia Abad 21 (2000); Islam dan Modernisasi: Menengok Akar Sejarah Pembaharuan

Islam (2001); Revolusi Abbasiyah: Latar Historis dan Implikasi bagi Pengembangan Ilmu

Pengetahuan serta Pembentukan Watak Kosmopolitanism Masyarakat Muslim (2003);

Aktualitas Filsafat Ilmu bagi Upaya Peningkatan Kualitas pendidikan Tinggi (2004); Speech

Disorder sebagai penyebab Kesulitan Belajar (2004); Urgensi Civic Education bagi

Perkembangan Demokratisasi di Indonesia (2004); Keberagamaan Masyarakat Modern:

Memotret Fenomena Gerakan Tasawuf dan “Sempalan” di Indonesia (2005); Analisis

Kinerja Guru Madrasah (2007); Mutu Pembelajaran Dosen PTAI (2008); Revitalisasi

Penerapan Active Learning pada PTAI (2008), Insan Saleh dalam Perspektif Psikologi Islam

dan Modern (2009), Kontekstualisasi Pembelajaran PAI di Madrasah (2009), dan

Peningkatan Kualitas Sistem Pendidikan Tinggi Agama Islam (2009).

Beberapa karya dalam bentuk buku yang sedang dalam proses penerbitan, yakni:

“Strategi Penilaian Akhlak”, “Menakar Peran Pendidikan Tinggi Agama”, “Antologi

Keislaman”, dan “Pengantar Statistik Pendidikan”.

Beberapa karya lainnya dalam bentuk penelitian, dan makalah-makalah yang disampaikan

dalam berbagai forum seminar, workshop dan lokakarya pendidikan.