PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... -...

14
Artikel - 1 Workshop Nasional : Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal Fakultas Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013 PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR PRODUKTIF DAN KONDISI RPH DI PULAU JAWA DAN NUSA TENGGARA Oleh : Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah Fakultas Peternakan Unpad Abstrak : Studi mengenai Pemotongan Sapi Betina Produktif dan kondisi Rumah Potong Hewan di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, telah dilakukan di 20 RPH yang berada di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara sejak bulan Juli-Agustus 2013. Studi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar proporsi pemotongan sapi betina umur produktif, kelayakan kondisi fisik RPH, dan perlakuan pemotongan ternak lokal maupun impor serta rantai pasok sapi dan daging sapi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. Kegunaan studi ini, diharapkan memberikan kontribusi pada upaya meningkatkan daya saing produk daging sapi domestik, melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah survey terhadap jumlah pemotongan sapi betina umur produktif di RPH. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan diskusi dan pembahasan, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : (a) Selama periode studi, terjadi pemotongan sapi lokal betina umur produktif 31,04% dari jumlah sapi lokal yang dipotong. RPH yang banyak memotong betina umur produktif berada di wilayah produsen dibandingkan di wilayah konsumen. Pemotongan sapi lokal betina umur produktif mengalami peningkatan yang cukup tinggi menjelang bulan puasa, dan pada hari raya, sedangkan pada rentang waktu yang lainnya (saat bulan puasa dan setelah hari raya) pemotongan betina produktif secara proporsional mengikuti arus fluktuasi pemotongan sapi di setiap RPH. (b) Kondisi RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 20 % yang termasuk kategori layak, 40 % termasuk kategori kurang layak Sedangkan 30 % yang tergolong tidak layak dan 10 % yang tergolong sangat tidak layak. (c) Prosedur teknis pemotongan sapi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 10 % yang termasuk kategori layak, 40% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 10 % berada pada kategori tidak layak, dan 40 % berada pada kategori sangat tidak layak. (d) RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak dan layak, sebesar 25% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 35 % berada pada kategori tidak layak dan 35 % berada pada kategori sangat tidak layak. Kata Kunci : pemotongan, umur produktif dan kondisi RPH

Transcript of PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... -...

Page 1: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 1

Workshop Nasional : Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal

Fakultas Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013

PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR PRODUKTIF DAN KONDISI RPH DI

PULAU JAWA DAN NUSA TENGGARA

Oleh :

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah

Fakultas Peternakan Unpad

Abstrak :

Studi mengenai Pemotongan Sapi Betina Produktif dan kondisi Rumah Potong Hewan di

Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, telah dilakukan di 20 RPH yang berada di Pulau Jawa dan Nusa

Tenggara sejak bulan Juli-Agustus 2013. Studi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar

proporsi pemotongan sapi betina umur produktif, kelayakan kondisi fisik RPH, dan perlakuan

pemotongan ternak lokal maupun impor serta rantai pasok sapi dan daging sapi di Pulau Jawa dan

Nusa Tenggara. Kegunaan studi ini, diharapkan memberikan kontribusi pada upaya meningkatkan

daya saing produk daging sapi domestik, melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi

potong lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah survey terhadap jumlah pemotongan sapi

betina umur produktif di RPH. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif.

Berdasarkan diskusi dan pembahasan, maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : (a)

Selama periode studi, terjadi pemotongan sapi lokal betina umur produktif 31,04% dari jumlah

sapi lokal yang dipotong. RPH yang banyak memotong betina umur produktif berada di wilayah

produsen dibandingkan di wilayah konsumen. Pemotongan sapi lokal betina umur produktif

mengalami peningkatan yang cukup tinggi menjelang bulan puasa, dan pada hari raya, sedangkan

pada rentang waktu yang lainnya (saat bulan puasa dan setelah hari raya) pemotongan betina

produktif secara proporsional mengikuti arus fluktuasi pemotongan sapi di setiap RPH. (b)

Kondisi RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya

sebesar 20 % yang termasuk kategori layak, 40 % termasuk kategori kurang layak Sedangkan 30

% yang tergolong tidak layak dan 10 % yang tergolong sangat tidak layak. (c) Prosedur teknis

pemotongan sapi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 10

% yang termasuk kategori layak, 40% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 10 % berada

pada kategori tidak layak, dan 40 % berada pada kategori sangat tidak layak. (d) RPH di lokasi

studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak dan layak, sebesar 25%

termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 35 % berada pada kategori tidak layak dan 35 %

berada pada kategori sangat tidak layak.

Kata Kunci : pemotongan, umur produktif dan kondisi RPH

Page 2: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 2

PRODUCTIVE COWS SLAUGHTER AND THE SLAUGHTERHOUSE

CONDITIONS IN JAVA AND NUSA TENGGARA ISLAND

by :

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah

Animal Husbandry Faculty Universitas Padjadjaran

abstract :

The Studies on productive cows slaughter and the slaughterhouse conditions in Java and Nusa

Tenggara Island has been held in 20 slaughterhouses located in Java and Nusa Tenggara Island

since first of July to 21st August 2013. This study aims to find out how many productive cows are

slaughtered, the physical condition of eligibility slaughterhouse, and treatment of local and

imported cattle slaughter, and beef cattle supply chains in Java and Nusa Tenggara. Usefulness of

this study, is expected to contribute to improving the competitiveness of domestic beef products,

through the increase in population and productivity of local cattle. The research method used was

a survey of the number of productive cows slaughter in the abattoir. The collected data was

analyzed by descriptively.

Based on the discussion and analysis, the research results are as follows: (a) During the study

period, there were local cows productive slaughter 31.04% of the number of local cattle

slaughtered. Abattoir that many cows slaughters in the producers region than in the consumer

area. Local cows productive slaughter has increased quite high before the month of fasting , and

the feast of Idul Fitri, while the other timescales (the fasting month and after the feast) in

proportion to the slaughter of cows productive cattle slaughter to follow fluctuations in any

slaughterhouse. (b) slaughter house conditions in the study area showed no very viable category,

only 20% were viable category, 40% are less worth while 30% were classified as not feasible, and

10% were classified as very improper. (c) the technical procedures slaughter shows no very viable

category, only 10% were viable category, 40% are less worthy. While 10% are in the category of

not feasible, and 40% were in the category of very improper. (d) the feasibility of slaughterhouses

in the study area showed no very viable category and viable category, 30 % are less worthy.

Whereas 35% is the category of not worth it and 35% are in the category of very improper.

Keywords: slaughter, productive cows, and the conditions of slaughter houses

Page 3: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 3

Pendahuluan

Kebutuhan daging sapi untuk konsumsi rumah tangga maupun industri pengolahan daging

masih belum mampu sepenuhnya disediakan di dalam negeri, sehingga penyediaan daging sapi

nasional dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Demikian juga

teknologi pasca panen terutama aktivitas pemotongan hewan di dalam negeri masih belum

mampu memperbaiki kinerja, padahal berbagai kebijakan mengenai standarisasi RPH telah

dimiliki pemerintah, antara lain SNI (Standar Nasional Indonesia) tentang RPH dan NKV (nomor

kontrol veteriner) untuk menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Dalam rangka menata dan memperbaiki situasi tersebut, bisnis daging sapi harus dilihat

secara holistik mulai dari keberadaan populasi bibit dan reproduksinya di daerah produksi sapi

potong, sampai dengan ketersediaan daging sapi di pusat-pusat konsumen. Fenomena terjadinya

karut marut bisnis daging sapi di Indonesia pada akhir-akhir ini, yang diikuti dengan maraknya

pemotongan sapi betina umur produktif di RPH merupakan indikator menurunnya kemampuan

penyediaan atau kesulitan memperoleh sapi siap potong. Menurut Puslitbangnak (2011) jumlah

pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan sekitar 150.000 – 200.000 ekor.

Sebenarnya, kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif tersebut sudah tertuang

dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya pengembangan

peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program penyelamatan dan atau

penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya pemerintah untuk tetap mencegah

terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri. Hal tersebut menjadi sangat penting,

mengingat salah satu kriteria penunjang keberhasilan program swasembada daging adalah

ketersediaan bibit sapi potong secara berkelanjutan.

Studi mengenai Pemotongan Sapi Betina Produktif dan kondisi Rumah Potong Hewan di

Pulau Jawa dan Nusa Tenggara, telah dilakukan di 20 RPH yang berada di Pulau Jawa dan Nusa

Tenggara sejak bulan Juli-Agustus 2013. Studi ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar

proporsi pemotongan sapi betina umur produktif, kondisi fisik RPH, dan perlakuan pemotongan

ternak lokal maupun impor serta rantai pasok sapi dan daging sapi di Pulau Jawa dan Nusa

Tenggara. Kegunaan studi ini, diharapkan memberikan kontribusi pada upaya meningkatkan daya

saing produk daging sapi domestik, melalui peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong

lokal. Luaran studi yang diharapkan adalah : a. Mendapatkan informasi penting tentang

pemotongan sapi betina umur produktif di beberapa RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. b.

Mendapatkan informasi tentang prosedur operasional pemotongan sapi potong lokal dan impor

di beberapa RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. c. Mendapatkan gambaran kondisi fisik RPH

(hygienitas, fasilitas, dan persyaratannya) di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara. dan d. Mendapatkan

gambaran lalu lintas ternak sapi potong dan daging antar provinsi di Pulau Jawa dan Nusa

Tenggara.

Metode Studi

Studi ini menggunakan metode survey terhadap pemotongan sapi betina umur produktif di

beberapa RPH di Pulau Jawa (meliputi enam Provinsi, yaitu: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat,

Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur), dan Nusa Tenggara (meliputi dua Provinsi, yaitu:

NTB dan NTT). Wilayah studi ditentukan secara purposive dan RPH ditetapkan yang berada di

pusat konsumen dan sekitarnya di setiap provinsi. Sementara data pemotongan diperoleh

berdasarkan sistematik sampling selang 3 hari sejak tanggal 1 Juli 2013 – 23 Agustus 2013

Page 4: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 4

(sebelum puasa, puasa, lebaran dan setelah lebaran). Data yang terkumpul dilakukan analisis

sesuai tabel berikut :

No Variabel Analisis KPI

1 Kondisi fisik RPH Perbandingan dengan

Permentan

% standarisasi

2 Jumlah Pemotongan betina

produktif

Rasio betina produktif

dengan total pemotongan

Rasio (%)

3 Rantai pasok daging sapi Analisis rantai pasok Transparansi

4 Prosedur Pemotongan

Ternak

Perbandingan Tingkat kesesuaian dengan

SOP RPH-Permentan

Selanjutnya dilakukan analisis pembobotan terhadap data dan dilakukan kaidah keputusan seperti

pada Tabel di bawah ini:

Kisaran Nilai Keputusan Keterangan

Per

sya

rata

n

Ko

nd

isi

fisi

k

RP

H

< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z

Y - SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z

X - SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y

99 – SD= X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %

100 Sangat Layak Persyaratan Fisik RPH terpenuhi 100%

Pro

sed

ur

Pem

oto

nga

n

< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z

Y – SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z

X – SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y

99 – SD = X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %

100 Sangat Layak Prosedur pemotongan RPH terpenuhi 100%

Kel

ay

ak

an

< Z Sangat Tidak Layak Persyaratan RPH < Z

Y – SD = Z Tidak Layak Persyaratan RPH = Nilai Y sd nilai Z

X – SD = Y Kurang Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai Y

99 – SD = X Layak Persyaratan RPH = nilai X sd nilai 99 %

100 Sangat Layak Kelayakan RPH terpenuhi 100%

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan pada rasio jumlah penduduk (BPS) dengan jumlah ternak (Ditjenak)

memperlihatkan bahwa DIY, JATIM, NTB, NTT termasuk wilayah produsen sapi, sedangkan

Banten, DKI Jakarta, JABAR, JATENG termasuk wilayah konsumen. Jumlah pemotongan tahun

2012 (BPS) menunjukkan pemotongan

terbanyak pada provinsi Jawa Timur yaitu

412.970 ekor atau 20,86 % dari pemotongan

nasional , DKI Jakarta 400.000 ekor (20,21

%), Jawa Barat 320.596 ekor (16,19%), Jawa

Tengah 204.006 ekor (10,30%) dan yang

terendah adalah DIY sebanyak 36.434 ekor

(1,84%). Selain itu, wilayah studi ini

memiliki aktivitas pemotongan sapi sebesar

82,94% dari pemotongan nasional (1.979.079

ekor), artinya wilayah studi ini cukup

representatif mewakili jumlah pemotongan di RPH secara nasional.

Produksi daging Indonesia dari tahun 2007 sampai 2012 mengalami peningkatan tercatat

pada tahun 2012 mencapai 508.906 ton. Provinsi yang paling tinggi produksi dagingnya terdapat

di provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2012 produksi daging di provinsi Jawa Timur mencapai

Page 5: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 5

110.762 ton, selanjutnya disusul oleh Jawa Barat yaitu mencapai 74.312 ton (BPS 2012). Produksi

daging di Indonesia dipenuhi oleh daging lokal dan ada juga daging yang diimpor dari Australia.

Beberapa wilayah yaitu Jawa Barat dan Banten yang mengimpor daging dari Australia untuk

memenuhi kebutuhan daging konsumen sehingga tidak hanya daging yang dipotong di RPH

wilayah konsumen saja.

Pemotongan Sapi Betina umur Produktif

Selama rentang waktu studi ini, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi

yang dipotong di 20 buah RPH terpilih. Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa jenis sapi lokal

yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi Jawa/Peranakan Ongole (PO),

Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan Lokal dengan Brahman dan Angus

(Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental (SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan

Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor

adalah ACC (Australia Commercial Cross).

Tabel 1. Jumlah Sapi yang dipotong di RPH menurut jenisnya (dalam ekor).

Lokal Impor

To

tal

Kese

luru

ha

n

RPH

Local

X B

Local

X B

r

Ja

wa

/PO

SO

Bali

Ma

du

ra

SIM

PO

LIM

PO

PF

H

To

tal

AC

C

To

tal

A - - - - 857 - - - - 857 - - 857

B - - - - 116 - - - - 116 - - 116

C - - - - 212 - - - - 212 - - 212

D - - - - 136 - - - - 136 - - 136

E - - 3 - 88 - 9 79 38 217 - - 217

F - 175 192 - 2 635 36 2 398 1440 - - 1440

G - 2 23 - - - 22 - 17 64 - - 64

H - - 521 - - - - - - 521 - - 521

I 2 5 96 - - - 114 100 - 317 - - 317

J - - 302 - - - 17 13 - 332 601 601 933

K - - 532 - - - 12 41 - 585 - - 585

L - - 97 - - - 22 133 - 252 - - 252

M - 6 221 57 124 33 115 21 - 577 - - 577

N - 1 - - 381 - - - 2 384 - - 384

O - - 275 - - - 95 - - 370 39 39 409

P - - - - - - 524 4 - 528 520 520 1048

Q - - 4 - 276 4 - - - 284 291 291 575

R - 11 119 - 31 - 81 41 - 283 439 439 722

S - 9 94 - 21 - 32 18 - 174 386 386 560

T - 37 56 - 11 - 141 114 - 359 598 598 957

Total 2 246 2535 57 2255 672 1220 566 455 8008 2874 2874 10882

% 0.02 3.07 31.66 0.7 28.16 8.39 15.23 7.07 5.68 73.59 26.41

100

Sapi yang didistribusikan ke RPH yang dipotong selama periode pengamatan terdiri atas

73,59 % sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41 % sapi impor (2.874 ekor). Jumlah sapi lokal betina

Page 6: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 6

umur produktif yang dipotong di 20 RPH selama periode studi adalah sebanyak 2.489 ekor atau

sekitar 31,08 % dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Berdasarkan kategori umurnya,

sebesar 65,29% (1.623 ekor) dengan kisaran bobot 117 kg – 354 kg sapi betina yang dipotong

tersebut masih berumur dibawah 4 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa selain pemotongan sapi

lokal betina tersebut telah dijadikan alternatif untuk memenuhi kekurangan pasokan sapi lokal

jantan siap potong di RPH, juga didorong oleh pelaksanaan pengawasan dan pengendalian

terhadap pemotongan sapi lokal betina di RPH yang masih sangat lemah, padahal mengenai

pengawasan ini telah diamanatkan dalam Undang-Undang 18 tahun 2009. Apabila dilihat sebaran

pemotongan betina produktif di masing-masing RPH tampak pada Gambar 2.

Tabel 2. Sebaran Pemotongan Betina Umur Produktif di RPH

Pada Gambar 2, tampak bahwa pemotongan betina umur produktif marak terjadi di

wilayah produsen ternak, dibandingkan di wilayah konsumen. Hal ini disebabkan sapi-sapi jantan

dikirim ke wilayah konsumen sementara yang tersisa sapi-sapi betina, harga betina lebih rendah,

tidak tegasnya penegakkan hukum, adanya permintaan khusus dan penjualan betina umur

produktif oleh peternak.

Jumlah pemotongan sapi yang meningkat diiringi pemotongan sapi betina umur produktif

nampak merata tinggi sejak seminggu sebelum Ramadhan sampai awal Ramadhan. Pada periode

pertengahan Ramadhan dan pasca hari Lebaran, jumlah pemotongan sapi dalam keadaan normal.

Namun meningkat kembali pada 10 hari menjelang Idul Fitri terjadi peningkatan jumlah

pemotongan ternak sapi, baik jantan maupun betina umur produktif, namun jumlahnya tidak

terlalu signifikan dibandingkan peningkatan jumlah pemotongan sapi jantan.

Page 7: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 7

Gambar 3. Grafik Jumlah Pemotongan Sapi di RPH Selama Studi

Rantai Pasok

Umumnya rantai pasok sapi potong yang terungkap pada studi ini mengikuti pola Peternak

Belantik Pasar Hewan/Pedagang Pengumpul Feedloter Jagal RPH/TPH

Konsumen. Anggota primer pelaku bisnis rantai pasok adalah peternak sama feedloter sebagai

pemasok. Belantik, pasar hewan/pedagang pengumpul sebagai distributor. Analisis rantai pasok

menunjukkan bahwa pola rantai pasok sapi dan daging dipengaruhi oleh anggota atau pelaku

bisnis rantai pasok yang terlibat di dalamnya. Lokasi dan tingkat kebutuhan konsumen sangat

menentukan jumlah pelaku rantai pasok. Secara umum lokasi konsumen menuntut adanya peran

belantik, pasar hewan/pedagang pengumpul, jagal, dan RPH/TPH. Demikian juga sistem yang

yang dibangun di antara pelaku rantai pasok menentukan model struktur rantai pasok.

Gambar 4. Rantai Pasok Sapi dan daging di Wilayah Studi

Page 8: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 8

Pelaku rantai pasok yang telah membangun kerjasama dalam jangka waktu yang lama

cenderung akan mempertahankan model rantai pasokan yang telah dibangun. Terdapat tiga model

rantai pasok sapi dan daging dari mulai pemasok sampai ke konsumen yang terungkap pada studi

ini yaitu di Nusa Tenggara; di wilayah ini RPH mendapatkan sapi lokal yang berasal dari wilayah

sekitarnya dan di distribusikan sampai ke konsumen akhir, yaitu di dalam dan ke luar provinsi, di

pulau Jawa Bagian Timur dan Tengah; di wilayah ini pola rantai pasoknya terdapat pelaku bisnis

feedloter namun tidak menggunakan sapi impor, di Pulau Jawa bagian barat; di wilayah ini pola

rantai pasok terdapat juga feedloter. Pasokan sapi ke RPH selain berasal dari sapi lokal juga

mendapat pasokan sapi siap potong yang berasal dari sapi impor.

Kondisi RPH di Wilayah Studi

Pemotongan sapi dilakukan di RPH yang berada di provinsi masing – masing. Kementrian

Pertanian menargetkan akan merevitalisasi 150 Rumah Potong Hewan (RPH) dari jumlah

keseluruhan sebanyak 800 RPH. Saat ini baru terdapat 36 RPH yang memenuhi standar nasional

Indonesia. Sekitar 25 RPH di antaranya telah memenuhi standar Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

atau telah teregistrasi dan memiliki sertifikat halal, hygenis dan identitas yang jelas dan 11 RPH

lainnya telah memenuhi NKV dan kesejahteraan hewan yang diaudit secara independen oleh

auditor yang diakui oleh pihak Australia. Di wilayah studi dari 20 RPH yang memiliki NKV

hanya 3 RPH. Hal ini menjadi pertimbangan untuk merevitalisasi RPH.

RPH dinilai layak atau tidaknya dari kondisi fisik dan prosedur pemotongan di RPH

tersebut. Berdasarkan hasil analisis kondisi fisik RPH, ternyata dari 20 buah RPH yang diamati

tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 20 % yang termasuk kategori layak,

40 % termasuk kategori kurang layak Sedangkan 30 % yang tergolong tidak layak dan 10 % yang

tergolong sangat tidak layak. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak kondisi fisik RPH

yang belum sesuai dengan Standard Nasional Indonesia maka, perlu adanya rehabilitasi kondisi

fisik RPH tersebut.

Prosedur Teknis Pemotongan

Berdasarkan penilaian terhadap prosedur teknis pemotongan sapi di 20 buah RPH di lokasi

studi, ternyata tidak ada yang termasuk kategori sangat layak, hanya sebesar 10 % yang termasuk

kategori layak, 40% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 10 % berada pada kategori tidak

layak, dan 40 % berada pada kategori sangat tidak layak. Berdasarkan hasil studi ini, maka harus

ada rehabilitasi prosedur pemotongan sapi di RPH karena tidak semua menjalankan kegiatan

pemotongan sesuai dengan SOP dan Permentan.

Kelayakan RPH

Berdasarkan penilaian terhadap Kelayakan 20 buah RPH di lokasi studi, ternyata tidak ada

yang termasuk kategori sangat layak dan kategori layak. Sebesar 30% termasuk kategori kurang

layak. Sedangkan 35 % berada pada kategori tidak layak dan 35 % berada pada kategori sangat

tidak layak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, kriteria yang ditetapkan pemerintah dalam bentuk

peraturan menteri belum berorientasi kepada norma budaya masyarakat. Kebijakan ini,

berorientasi kepada standarisasi ideal rumah potong hewan di negara-negara maju.

Page 9: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 9

Tabel 2. Analisis Kelayakan RPH

No RPH

40% 60%

Total Keputusan Kondisi

Fisik

Prosedur

Pemotongan

1 A 19.71 41.38 61.08 Tidak Layak

2 B 31.61 49.13 80.74 Kurang Layak

3 C 20.75 26.50 47.25 Sangat Tidak Layak

4 D 14.11 17.38 31.49 Sangat Tidak Layak

5 E 29.15 41.38 70.52 Kurang Layak

6 F 31.60 17.50 49.10 Sangat Tidak Layak

7 G 22.80 19.25 42.05 Sangat Tidak Layak

8 H 38.44 20.25 58.69 Tidak Layak

9 I 33.84 47.72 81.56 Kurang Layak

10 J 22.26 43.12 65.38 Tidak Layak

11 K 30.92 45.98 76.91 Kurang Layak

12 L 14.90 28.63 43.53 Sangat Tidak Layak

13 M 29.79 35.26 65.05 Tidak Layak

14 N 22.32 37.82 60.15 Tidak Layak

15 O 29.49 39.38 68.87 Tidak Layak

16 P 33.34 50.29 83.63 Kurang Layak

17 Q 30.29 26.68 56.96 Tidak Layak

18 R 28.09 25.45 53.54 Sangat Tidak Layak

19 S 20.82 25.45 46.27 Sangat Tidak Layak

20 T 36.73 46.72 83.44 Kurang Layak

Prospek Industrialisasi RPH di Wilayah Studi

Perencanaan pengembangan RPH menjadi suatu sistem industri seharusnya memperhatikan

berbagai aspek yang ada di wilayah atau kawasan baik fisik, sosial, ekonomi, budaya (adat

istiadat), potensi dan keunggulan lokal, pendekatan komoditas, pasar dan pelaku bisnis. Prospek

RPH menjadi suatu industri setidaknya kondisi fisik RPH harus memadai atau sesuai dengan SNI,

agar produk yang dihasilkan memiliki daya saing yang tinggi. Sarana yang menunjang untuk

menjadikan RPH suatu industri mulai dari persyaratan lokasi RPH yaitu tidak berada di

pemukiman padat penduduk, dan tidak melanggar RUTR, tidak mengganggu lingkungan, jauh

dari industri logam, tidak banjir, tidak ada asap pabrik, lahan cukup datar, syarat sarana akses

jalan cukup besar dan memiliki sumber air baik artesis maupun PDAM.

Prospek kedepan industri RPH di Nusa Tenggara dan Pulau Jawa dilihat dari kondisi yang

ada dapat dipertimbangkan beberapa sumber daya penting yaitu Sumber Daya Alam, Sumber

Daya Manusia, Sumber Daya Kapital (modal), Sumber Daya Kelembagaan, Sumber Daya

Teknologi. Secara ekonomi RPH yang dibangun harus menguntungkan (ekonomi profit) baik

untuk pemerintah sendiri maupun pebisnis daging. Faktor yang harus dipertimbangkan yaitu

kapasitas pemotongan sesuai dengan besar kecilnya RPH, jumlah tenaga kerja, pengiriman daging

ke konsumen harus lebih menguntungkan. Pengiriman ke daerah konsumen bisa dilakukan balam

bentuk beku baik melalui darat maupun pesawat udara, sehingga lebih cepat sampai di konsumen.

Apabila dilihat dari segi sosial, lokasi RPH harus sesuai dengan RUTR rencana umum tata ruang

wilayah dan kabupaten harus jauh dari pemukiman dan padat penduduk sehingga limbah/kotoran

dari RPH tidak menggangu masyarakat di sekitar RPH. Kalau ada sedikit penduduk harus

memiliki ijin secara tertulis bahwa RPH tersebut dibangun tidak mengganggu masyarakat

sekitarnya.

Page 10: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 10

Analisis SWOT Industrialisasi RPH

Analisis SWOT Prospek industrialisasi RPH di wilayah studi. Analisis SWOT dikenal dua

bagian utama, yaitu faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang berasal dari dalam RPH

sendiri dan faktor eksternal (Peluang dan ancaman) yaitu faktor luar yang mempengaruhi

terhadap pengembangan RPH.

Tabel 3. Matrix Analisis SWOT RPH di wilayah studi

Teknis Penyembelihan sapi di RPH

Mengenai proses datangnya sapi diturunkan menggunakan loading 75% dilakukan oleh 15

RPH di wilayah Studi lalu sapi digiring ke kandang melalui gang Way 80% dilakukan oleh 16

RPH, Sapi diistirahatkan selama ± 12 jam 65% dilakukan oleh 13 RPH, proses penimbangan atau

penaksiran berat badan, proses penyembelihan dan proses pengeluaran darah sapi 100% dilakukan

oleh 20 RPH di Wilayah Studi, sedangkan proses pemingsanan (Stunning Gun) hanya dilakukan

di 4 RPH (20%). Keempat RPH ini mengikuti program NLIS (National Livestock Identification

System) Australia sebagai prasyarat “supply Chain” bagi sapi-sapi asal Australia.

Grafik 5. Proses penyembelihan Sapi

Proses pembersihan sapi dari kotoran hanya dilakukan oleh 15 RPH (75 %). Setelah

penyembelihan terdapat beberapa proses seperti pengulitan dan Eviskerasi 100 % dilakukan oleh

20 RPH di Wilayah Studi. Proses Pembelahan Karkas 85% dilakukan, Proses Perecahan karkas

55 % , Proses pencucian dan pembungkusan daging 20 % , Pengepakan karkas/recahan 25 % ,

Proses penimbangan daging yang telah di packing 50%, Pelaksanaan Pemerikasaan Postmortem

hanya dilakukan 60% RPH Wilayah Studi jika ditemui kasus, sedangkan proses pendinginan dan

Page 11: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 11

pembekuan daging tidak dilakukan di RPH Wilayah Studi. Namun kenyataannya, tidak semua

RPH melaksanakan ketentuan yang sesuai dengan Permentan tersebut. Oleh karena itu perlu

dilakukannya revitalisasi revitalisasi, rehabilitasi dan relokasi sesuai dengan Standarisasi Nasional

Indonesia tentang RPH dan NKV untuk menghadapi Era Industrialisasi di masa yang akan datang.

Berdasarkan pengamatan, ternyata perbedaan prosedur pemotongan ternak sapi lokal dan

sapi impor, adalah sebagai berikut: Sapi-sapi impor ditempatkan di kandang-kandang khusus,

karena sapi-sapi tersebut tidak dikeluh. Sapi-sapi tersebut dilakukan penyembelihan dengan

menggunakan gang way dan restraing box dan pemingsanan menggunakan stunning gun.

Sementara itu, bagi sapi lokal tidak memerlukan gangway dan restraning box maupun alat

pemingsanan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari hasil pengamatan dan analisis terhadap pemotongan sapi betina umur produktif serta

kondisi fisik dan prosedur teknis pemotongan di RPH di lokasi studi diperoleh kesimpulan sebagai

berikut :

Kesimpulan khusus:

1. Selama periode studi, terjadi pemotongan sapi lokal betina umur produktif 31,08% dari

jumlah sapi lokal yang dipotong. RPH yang banyak memotong betina umur produktif

berada di wilayah produsen dibandingkan di wilayah konsumen. Pemotongan sapi lokal

betina umur produktif mengalami peningkatan yang cukup tinggi menjelang bulan puasa,

dan pada hari raya, sedangkan pada rentang waktu yang lainnya (saat bulan puasa dan

setelah hari raya) pemotongan betina produktif secara proporsional mengikuti arus

fluktuasi pemotongan sapi di setiap RPH.

2. Kondisi RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat layak,

hanya sebesar 20 % yang termasuk kategori layak, 40 % termasuk kategori kurang layak

Sedangkan 30 % yang tergolong tidak layak dan 10 % yang tergolong sangat tidak layak.

3. Prosedur teknis pemotongan sapi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat

layak, hanya sebesar 10 % yang termasuk kategori layak, 40% termasuk kategori kurang

layak. Sedangkan 10 % berada pada kategori tidak layak, dan 40 % berada pada kategori

sangat tidak layak.

4. Kelayakan RPH di lokasi studi menunjukkan tidak ada yang termasuk kategori sangat

layak dan kategori layak. Sebesar 30% termasuk kategori kurang layak. Sedangkan 35 %

berada pada kategori tidak layak dan 35 % berada pada kategori sangat tidak layak.

Kesimpulan umum:

1. Berdasarkan keberadaan pelaku usaha dan sumber sapi di wilayah penelitian, terdapat

tiga pola rantai pasok sapi dan daging yaitu : (a). Pola rantai pasok RPH di Nusa Tenggara

(b). Pola rantai pasok RPH di Pulau Jawa bagian timur dan tengah (c). Pola rantai pasok

RPH di Pulau Jawa bagian barat.

Page 12: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 12

2. Rasio jumlah populasi sapi dengan jumlah penduduk pada setiap provinsi di wilayah studi

memberikan indikasi adanya dua karakteristik wilayah Provinsi, yaitu: wilayah produsen

sapi meliputi provinsi NTT, NTB, Jawa Timur dan DIY (angka rasio diatas rasio

nasional), dan wilayah konsumen sapi meliputi provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat DKI

Jakarta dan Banten (angka rasio dibawah rasio nasional).

3. Perspektif pengembangan RPH berdasarkan pendekatan analisis SWOT diperlukan

strategi merevitalisasi fisik dan prosedur teknis RPH, perkuatan sistem logistik dan rantai

pasok sapi, dan kebijakan proteksi pasar daging di dalam negeri.

4. Upaya penyelamatan sapi betina umur produktif di setiap RPH tidak akan mampu

dilakukan oleh petugas RPH semata, karena setiap ekor sapi yang berada di lokasi RPH

sudah memasuki sistem transaksi jual beli antara pedagang sapi dengan pedagang daging

yang tidak dapat dibatalkan sepihak, apalagi dalam waktu singkat.

Rekomendasi

1. Perlu dilakukan penelitian rantai pasok sapi potong betina umur produktif di wilayah

produsen maupun konsumen, guna meminimalisasi jumlah pemotongan sapi betina umur

produktif.

2. Pengendalian dan penyelamatan pemotongan sapi betina produktif perlu dilakukan

melalui program tundajual secara terstruktur, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia,

sosialisasi izin potong di RPH dan pemberian insentif penyelamatan bagi peternak.

3. Perlu dilakukan revitalisasi Fungsi dan Peran RPH, sistem dan prosedurnya yang sesuai

dengan SNI dan NKV bagi RPH melalui kegiatan renovasi, rehabilitasi dan relokasi serta

standarisasi model RPH.

4. Jika terpaksa dilakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif yang memiliki potensi

genetik karena sesuatu hal, maka pemerintah dapat memanfaatkan oocyt dari ovarium

ternak tersebut guna menyelamatkan potensi genetiknya.

5. Perlu dilakukan pembentukan lembaga penyelamat betina umur produktif ditingkat

peternak/belantik/jagal/pasar hewan baik pemerintah maupun swasta yang terintegrasi

dengan RPH disetiap Kota/Kabupaten.

Daftar Pustaka

Anonymous. 2010. Data pemotongan hewan betina produktif. Pemptec. Jakarta.

Dinas Peternakan Jawa Barat (2009). Supply-Demand Sapi Potong Jawa Barat. Dinas Peternakan

Jawa Barat.

Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. (2002). Improving

Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, Canberra

Kementrian Pertanian (1992) SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310 /7/1992, tentang

Syarat dan tata cara pemotongan hewan. Jakarta

Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

13/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan

ruminansia dan Unit Penanganan Daging. Jakarta.

Page 13: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 13

Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

19/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan PSDS 2014. Jakarta.

Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

20/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 Tentang Pemasukan dan Pengawasan

Peredaran Karkas Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri yang masuk ke Indonesia.

Jakarta.

Kementrian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

381/Permentan/OT.140/1/2005 Tahun 2005 Tentang Nilai kontrol veteriner. Jakarta.

Kementrian Pertanian 1993. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992

(Manual Kesmavet, 1993) Tata cara penanganan daging. Jakarta

Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine Untuk

Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong, Jakarta.

Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta, Prenhallindo

Lestari, P.T.B.A., 1994a. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia. P. T. Bina Aneka

Lestari, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Bina Aneka

Lestari, Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan Hewan

Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Rusastra, I.W, Wahyuning K.S., Sri Wahyuni, Yana Supriyatna, (2006). Analisis Kelembagaan

Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Peertanian. Departemen Pertanian.

Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi (1987) Metode Penelitian Survey; LP3ES Jakarta

Statistik Peternakan. 2012. Populasi Sapi potong dan Konsumsi Daging Nasional 2012. Jakarta.

Sullivan, G. M. and K. Diwyanto. 2007. A Value Chain Assessment of the Livestock Sector in

Indonesia. United States Agency for International Development.

Tawaf, R (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC). Dinas Peternakan Perikanan

Kabupaten Bandung – Fapet Unpad.

Tawaf, R. (2009) Dampak Impor daging Sapi dari Australia Terhadap Bisnis Feedlot di

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan

Sumberdaya Lokal; Fapet Unpad.

Tawaf, R, Rachmat Setiadi, Robi Agustiar (2010) Eksistensi Feedlot dalam Supply Demand

daging Sapi di Jawa Barat ; Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia.

Tawaf, R. Rachmat Setiadi dan Andre Daud (2011) Kajian Pengembangan Sapi Potong di Jawa

Barat; Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Jawa Barat.

Tawaf R. dan Hasni Arief (2011) Strategi Pendekatan Ketersediaan Daging Sapi Nasional Di

Indonesia; Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan III Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran Jatinangor, 2 Nopember 2011.

Tawaf R, Rachmat Setiadi dan Cecep Firmansyah. (2011) The role of Feedlot Business In Beef

Supply Chains In West Java Indonesia; proceeding on "Tradition, Performance and

Efficiency in Animal Husbandry - 60 Years of Animal Science Higher Education in

Moldova" which will be held between 14th

– 15th of April 2011 at Faculty of Animal

Sciences, University of Agricultural Sciences and Veterinary Medicine Iaşi, România.

Page 14: PEMOTONGAN SAPI BETINA UMUR ... - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2013/...sapi_betina_umur_produktif.pdf · yang dipotong di RPH terdiri dari: Sapi Bali, Sapi Madura,

Artikel - 14

Tawaf, R (2012) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong Dalam Penyediaan Daging Sapi

Di Jawa Barat; Seminar Pembangunan Jawa Barat diselenggarakan oleh Jaringan Peneliti

Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM Unpad, Jatinangor tangal 12-13 Juni 2012.

Tawaf, R (2012) Mewujudkan Pengelolaan RPH Indonesia yang Berprinsip Kesrawan, seminar

diselenggarakan oleh PB ISPI-PDHI pada Pameran Indolivestock, Jakarta 5 Juli 2012.

Tawaf, R (2012) Dampak Penerapan Kesrawan Terhadap Peningkatan Produktivitas Sapi

Potong, Traveling Seminar di Bandung, Jakarta, Lampung dan Medan, kerjasama PB ISPI

– PB PDHI - Meat Livestock Australia. Februari – Maret 2012.

Undang – undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan. Jakarta.