PEMERINTAH PROVINSI AKAN MENGAMBIL ALIH PENYELESAIAN KONFLIK KEPEMILIKAN GUNUNG KELUD YANG...

20

Click here to load reader

Transcript of PEMERINTAH PROVINSI AKAN MENGAMBIL ALIH PENYELESAIAN KONFLIK KEPEMILIKAN GUNUNG KELUD YANG...

PEMERINTAH PROVINSI AKAN MENGAMBIL ALIH PENYELESAIAN KONFLIK KEPEMILIKAN GUNUNG KELUD YANG MELIBATKAN PEMKAB. BLITAR DAN PEMKAB. KEDIRIBerita Terkini Feb 032011

Konflik perebutan hak Gunung Kelud yang berkepanjangan mendapat sorotan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Ia mengaku belum lama ini telah menerima laporan kasus tersebut yang melibatkan Pemkab. Blitar dan Pemkab. Kediri. Gubernur Jawa Timur Sokerwo mengaku, Pemerintah Provinsi akan mengambil alih penyelesaian masalah tersebut untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan status kepemilikan Gunung Kelud. Pemerintah Provinsi berencana memanggil sejumlah ahli geologi dan topografi untuk ikut memecahkan masalah tersebut. Sementara Bupati Blitar Herry Noegroho sendiri menyatakan optimis Pemkab. Blitar dapat memenangkan hak kepemilikan Gunung Kelud. Bupati mengaku pemerintah telah mengantongi cukup bukti diantaranya peta penjajahan Belanda yang menunjukan Gunung Kelud berada di wilayah Kab. Blitar. Di mana dari sisi pemetaan geografi dan topografi nasional gunung setinggi 1.731 m itu sebagian besar wilayahnya berada di kawasan Kabupaten Blitar. Sebagai bentuk keseriusan untuk mendapatkan hak penuh kepemilikan, Pemkab. Blitar mulai merintis jalur baru sepanjang tujuh kilometer menuju lereng gunung di Desa Tulungrejo Kecamatan Gandusari.

1

BAB I PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Gunung Kelud terletak di Provinsi Jawa Timur, termasuk gunung berapi aktif. Letaknya berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Sejak tahun 2008 pengelolaan wisata Gunung Kelud dipegang Pemerintah Kabupaten Kediri, setelah sebelumnya dipegang Pemerintah Kabupaten Blitar. Kedua pemerintah daerah bertetangga itu pun sampai saat ini masih meributkan keberadaan Gunung Kelud dari segi kewilayahan secara administratif. Awalnya, Bupati Blitar, Harry Noegroho mengklaim bahwa kawah Gunung Kelud yang saat ini berubah bentuk menjadi kubah lava itu berada di wilayahnya dan bukan berada di wilayah Kabupaten Kediri. Seakan tak mau kalah dengan manuver yang dilakukan tetangganya itu, Pemkab Kediri pun mengeluarkan pernyataan, bahwa peta RBI tidak bisa dijadikan referensi resmi mengenai garis-garis batas administrasi nasional atau internasional. Berbekal surat yang ditandatangani Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal, Sobar Sutisna, Pemkab Kediri menyatakan, bahwa garis batas sebagaimana tertera pada masing-masing peta tersebut belum dilakukan survei pengecekan di lapangan sehingga memungkinkan terjadinya kekurangtepatan penarikan garis batas. Pemkab Kediri kemudian meminjam dokumen Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) berupa peta Peta Konvensional Topografi. Dalam peta yang dibuat oleh de Haan pada tahun 1840 itu disebutkan, batas wilayah Kabupaten Kediri di sebelah utara dengan Kabupaten Renbang (kini Jombang). Sedang di sebelah timur laut, Kabupaten Kediri berbatasan dengan Kabupaten Surabaya, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Malang, sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Blitar, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wajak (kini Tulungagung). Dalam peta itu juga tampak puncak Gunung Kelud masuk wilayah Kabupaten Kediri, sedang lereng bagian timur laut masuk wilayah Kabupaten Malang, dan kaki gunung di sebelah tenggara berada di wilayah Kabupaten Blitar. Konflik kepemilikan hak Gunung Kelud yang berkepanjangan telah mendapat sorotan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Ia mengaku belum lama ini telah menerima laporan kasus tersebut yang melibatkan Pemkab. Blitar dan Pemkab. Kediri. Gubernur Jawa Timur Sokerwo mengaku,2

Pemerintah Provinsi akan mengambil alih penyelesaian masalah tersebut untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan status kepemilikan Gunung Kelud. Pemerintah Provinsi berencana memanggil sejumlah ahli geologi dan topografi untuk ikut memecahkan masalah tersebut. Sementara Bupati Blitar Herry Noegroho sendiri menyatakan optimis Pemkab. Blitar dapat memenangkan hak kepemilikan Gunung Kelud. Bupati mengaku pemerintah telah mengantongi cukup bukti diantaranya peta penjajahan Belanda yang menunjukan Gunung Kelud berada di wilayah Kab. Blitar. Di mana dari sisi pemetaan geografi dan topografi nasional gunung setinggi 1.731 m itu sebagian besar wilayahnya berada di kawasan Kabupaten Blitar. Sebagai bentuk keseriusan untuk mendapatkan hak penuh kepemilikan, Pemkab. Blitar mulai merintis jalur baru sepanjang tujuh kilometer menuju lereng gunung di Desa Tulungrejo Kecamatan Gandusari. Dalam persoalan ini, pemerintah kabupaten Blitar tidak bisa melangkah sendiri karena menyangkut keberadaan pemrintahan lain yakni pemrintah kabupaten Kediri. Dalam peta tahun 1941 memang tercatat kalau gunung Kelud masuk wilayah Blitar. Namun karena saat itu pemerintah kabupaten Kediri juga memiliki bukti otentik terhadap kepemilikan gunung Kelud , maka pemerintah kabupaten Blitar perlu melibatkan pemerintah pusat untuk menentukan batas wilayah. Meski demikian, pemerintah kabupaten Blitar harus segera mengambil langkah cepat untuk segera kordinasi dengan pemerintah pusat. Mengingat dalam waktu dekat ini di kabupaten Blitar juga akan dibangun mega proyek jalan tembus menuju kawah yang dimulai dari desa Tulungrejo, Gandusari. Batas daerah antara Pemkab Blitar dan dan Pemkab Kediri, secara fisik di lapangan masih terdapat titik-titik batas di lapangan yang belum tegas, artinya belum sepakati antara kedua daerah bahkan terjadi semacam perdebatan yang berkepanjangan. Salah satu masalah belum dicapainya kesepakatan mengenai titik-titik batas antara kedua daerah ini terutama menyangkut bagian wilayah yang mungkin dianggap memiliki nilai strategis oleh kedua belah pihak. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan teknis mengaplikasikan batas yuridis dari undang-undang pembentukan daerah ke bentuk fisik lapangan, namun tentunya lebih kompleks dari hal tersebut sehingga kesepakatan antara kedua pihak belum dapat tercapai hingga sekarang.

3

BAB II LANDASAN TEORI

Fokus penelitian ini adalah konflik dalam penegasan batas daerah antara PEMKAB. BLITAR DAN PEMKAB. KEDIRI. Berkaitan dengan tema konflik mengenai batas daerah tersebut, dapat dikatakan bahwa kasus ini merupakan salah satu kasus dari sejumlah kasus konflik mengenai batas daerah yang terjadi di daerah-daerah lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya bahasan, kajian, atau pun studi berkaitan dengan tema tersebut yang beberapa di antaranya digunakan dalam laporan penelitian ini sebagai referensi. Demikianlah sangat disadari bahwa bahasan dalam penelitian ini tidak dapat terasing dari kajian-kajian, bahasan, studi-studi dengan tema yang relevan lainnya yang dilakukan sebelumnya. Memahami tema penelitian secara teoretis akan membantu dalam memahami permasalahan penelitian secara lebih mendalam dan terarah. Oleh karena itu, dalam bab ini diuraikan secara teoretis terjadinya konflik mengenai batas daerah di era otonomi, memahami anatomi konflik yang terjadi dan bagaimana dimensi konflik tersebut dikaji, pendekatan teoretis terhadap faktor-faktor penyebab konflik dan dampaknya. Di samping itu perlu dikemukakan batasan-batasan terminologi yang digunakan sebagaimana dirumuskan dalam definisi konsep dan operasional.

2.1 Konflik Mengenai Batas Daerah di Era Otonomi Era otonomi yang dimaksud menunjuk pada suatu era yang dimulai sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu ditandai dengan pelaksanaan asas desentralisasi yang dilaksanakan dengan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan pelaksanaan asas desentralisasi sebelumnya dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab saja (UU Nomor 5 Tahun 1974), sehingga masih terkesan sentralistis. Salah satu bentuk kewenangan pemerintahan menurut UU No. 22 / 1999 adalah kewenangan lintas daerah seperti sungai, perikanan, jalan, tambang, hutan, dsb. Kewenangan jenis ini sangat potensial memunculkan konflik antar daerah. Pada masa Orde Baru, konflik antar daerah ini tidak menonjol karena peran pemerintah Pusat yang sangat dominan sebagai penentu kebijakan dan sekaligus sebagai mediator konflik. Namun4

dengan berlakunya UU Pemda yang baru, maka Pusat tidak dapat lagi memainkan peran lamanya, sehingga daerah dituntut untuk membangun konsensus dengan daerah lain dalam penyelenggaraan kewenangan lintas daerah. Kenyataan menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Munculnya gejala-gejala negatif tersebut diatas patut mendapatkan perhatian serius karena cepat atau lambat akan mempengaruhi disintegrasi bangsa. Melihat letak dan kondisi geografis Indonesia serta perbedaan kondisi sosial budaya, ekonomi, dan politik seperti sekarang ini maka hubungan antara pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain patut mendapatkan perhatian serius. Bagaimanapun hubungan antara mereka merupakan perekat sosial yang menentukan ketahanan nasional. Hubungan antara satu kabupaten dengan kabupaten lain, antara kabupaten dengan kota, antara kota yang satu dengan kota yang lain, atau juga antara kabupaten/kota dengan propinsi harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Dengan kata lain, tingkat kohesi antara mereka harus selalu diperhatikan. Pruitt dan Rubin menjelaskan bahwa konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak dan lebih jauh masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut. Mengacu pada penjelasan Pruit dan Rubin tersebut, dapat diasumsikan ada obyek bernilai yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak. Rumusan obyek bernilai ini membantu untuk mengidentifikasi bagian wilayah yang disengketakan sebagai obyek bernilai. Berbagai implikasi muncul karena implementasi UU yang baru tersebut, satu diantaranya yaitu bahwa daerah menjadi memandang sangat penting perlunya penegasan batas daerah. Salah satu sebabnya adalah karena daerah menjadi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya. Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya di daerahnya. Kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Oleh karena itu daerah-daerah menjadi terdorong untuk mengetahui secara pasti sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang memiliki potensi sumber daya yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD). Faktor strategis lainnya yang menyebabkan batas daerah menjadi sangat penting adalah karena

5

batas daerah mempengaruhi luas wilayah daerah yang merupakan salah satu unsur dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi hasil sumber daya alam (SDA). Daerah melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh melampaui batas daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila batas daerah tidak jelas akan menyebabkan dua kemungkinan akibat negatif. Pertama, suatu bagian wilayah dapat diabaikan oleh masing-masing daerah karena merasa itu bukan daerahnya atau dengan kata lain masing-masing daerah saling melempar tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan di bagian wilayah tersebut. Kedua, daerah yang satu dapat dianggap melampaui batas kewenangan daerah yang lain sehingga berpotensi timbulnya konflik antardaerah. Kekaburan batas daerah mungkin juga dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari sekedar potensi konflik antardaerah karena potensi strategis dan ekonomis suatu bagian wilayah, seperti dampak pada kehidupan sosial dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan bahkan mungkin juga menimbulkan dampak politis khususnya di daerahdaerah perbatasan. Oleh karena itu dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, penegasan batas daerah menjadi penting untuk dilaksanakan. Namun demikian penetapan batas daerah secara fisik dan pasti di lapangan bukan merupakan suatu hal yang mudah, meskipun penyelenggaraan administrasi pemerintahan daerah telah berjalan dan berkembang sejak lahirnya NKRI dan batas-batas yuridis telah ditetapkan dengan undangundang pembentukan masing-masing daerah. Pada kenyataannya menentukan titik-titik batas fisik dengan mengacu pada undang-undang pembentukan daerah itu sendiri sering menimbulkan permasalahan antara daerah-daerah yang bersangkutan karena masing-masing pihak tidak dengan mudah untuk sepakat begitu saja mengenai letak titik-titik batas fisik yang ditentukan. 2.2 Faktor Pemicu Konflik Pada tahap ini, faktor penyebab belum menimbulkan konflik berupa potensi yang dapat aktif maupun tidak tergantung perilaku aktor yang terlibat konflik selanjutnya. Faktor pemicu konflik yang dimaksud di sini adalah faktor langsung yang menyebabkan peristiwa perselisihan yang lebih terbuka atau terjadinya aksi dan atau reaksi dari pihakpihak yang terlibat konflik. Dalam konteks penegasan batas daerah, yang dapat dikategorikan menjadi faktor pemicu konflik adalah faktor kepentingan yang berupa kepentingan terhadap eksistensi daerah.6

2.3 Faktor Akselelator Faktor ini merupakan sebab-sebab yang meningkatkan ketegangan perselisihan antara kedua belah pihak yang berkonflik atau faktor yang menyebabkan masing-masing pihak semakin bersemangat menggolkan aspirasinya. Adapun yang dapat digolongkan menjadi faktor akselelator, yaitu: a. Faktor kepentingan, yang berupa kepentingan politis elit, baik elit politik ataupun elit birokrasi. b. Faktor hubungan antar manusia. Dari beberapa fenomena yang telah (dan diprediksikan akan muncul, kita dapat ) membuat analisa tentang beberapa aspek yang terkait dengan konflik antar pemerintahan, terutama yang menyangkut pola, sumber dan tahapan penyelesaian konflik. Dilihat dari pola dan sumber konflik yang telah terjadi atau potensial berkembang dimasa mendatang, paling tidak terdapat lima kategori: 1. Konflik yang terjadi karena adanya suatu asset yang bersifat lintas daerah. Asset yang tergolong sebagai public goods yang memiliki ciri utama indivisible (tidak dapat dibagi-bagi), merupakan sumber utama bagi munculnya konflik dalam kategori ini. Jalan raya, perikanan/kelautan, sungai/sumber mata air, dan areal pertambangan, adalah contoh asset yang tidak mungkin dikelola secara parsial oleh lembaga atau daerah tertentu. Adalah mustahil untuk membatasi usaha pertambangan semata-mata berdasarkan batas geografis daerah. Demikian pula, tidaklah mungkin bagi daerah hulu untuk menutup aliran sungai ke daerah hilir. Pelarangan bagi nelayan untuk mencari ikan diradius mil tertentu, juga bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan demi alasan pelayanan umum, adalah sangat aneh pula jika pembangunan dan pemeliharaan jalan dihentikan seketika di tugu batas daerah. Wujud konkrit dari konflik ini dapat bermacam-macam. Konflik yang menyangkut sumber daya air misalnya, daerah hilir bias jadi hanya menerima ekses negatif dari penggunaan air di daerah hulu seperti pencemaran atau penyebaran wabah melalui air sungai. Pada bidang pertambangan, pengelolaan dan bagi hasil usaha menjadi potensi masalah yang sangat menonjol. Sementara dalam kasus rebutan lahan garapan antar nelayan, secara riilkonflik terjadi antar anggota/kelompok masyarakat, namun sesungguhnya merepresentasikan konflik antar pemerintahan daerah pula. Sedangkan kesenjangan kualitas pelayanan umum7

di perbatasan, misalnya dalam pemenuhan infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan, akan menimbulkan rasa ketidakadilan atau ketidakmerataan bagi sesama warga negara.

2.

Konflik yang terjadi karena dibutuhkannya suatu asset di daerah tertentu oleh daerah lain. Seiring dengan semakin majunya pembangunan perkotaan, keberadaan lahan terbuka dengan sendirinya semakin sempit. Padahal, kebutuhan lahan terbuka (yang semestinya juga relatif jauh dari perkampungan penduduk) sangat vital bagi suatu daerah, misalnya sebagai sarana pembuangan sampah. Ketika perjanjian yang saling menguntungkan tidak terjadi, maka muncullah konflik dalam kategori ketiga ini. Contoh klasik adalah konflik antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga (PR, 12 Juni 2002).

3.

Pengalaman Penanganan Konflik dan Pergeseran Dominasi Peran Pemerintah Dalam hal terjadi salah satu dari kelima konflik diatas, pemerintah tidak hanya bertindak selaku penentu kebijakan (policy formulator and provider), tetapi sekaligus sebagai mediator. Namun berbeda dari pemahaman teoretis bahwa mediator tidak memiliki kewenangan untuk campur tangan terhadap materi yang dipersengketakan. Fungsi mediasi pemerintah justru sangat penetratif, dalam pengertian bahwa pemerintah dapat menentukan apa saja yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena penetrasi pemerintah sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik, maka wajarlah jika lembaga arbitrasi tidak dikenal dalam berbagai kasus yang terjadi di sektor publik.

8

BAB III PEMBAHASAN

3.1

Penyebab Terjadinya Konflik Gunung Kelud dengan ketinggian sekitar 1.731 meter dpl (di atas permukaan laut)

itu merupakan bagian wilayah Kabupaten Blitar. Hanya saja, Pemkab Blitar kurang memberi perhatian. Kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Pemkab Kediri yang cukup maksimal dalam mengelola Gunung Kelud sebagai obyek wisata alam andalan. Hingga akhirnya Gunung Kelud diklaim milik Pemkab Kediri dengan membangun prasarana jalan menuju ke puncak. Konflik yang terjadi antara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri terjadi karena perebutan gunung yang terletak diperbatasan kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri. Kedua daerah itu merebutkan gunung Kelud karena gunung tersebut dijadikan sebagai tempat wisata yang berpotensi besar untuk menambah pendapatan daerah.

3.2

Cara Menyelesaikan Konflik Dalam hal, pemerintah tidak hanya bertindak selaku penentu kebijakan, tetapi

sekaligus sebagai mediator. Namun berbeda dari pemahaman teoretis bahwa mediator tidak memiliki kewenangan untuk campur tangan terhadap materi yang dipersengketakan. Fungsi mediasi pemerintah justru sangat penting, dalam pengertian bahwa pemerintah dapat menentukan apa saja yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena peran pemerintah sangat dominan dalam penyelesaian suatu konflik. Pemerintah perlu memanggil sejumlah ahli geologi dan topografi untuk ikut memecahkan masalah tersebut. Di sini, pemerintah harus benar-benar adil dalam menentukan kebijakan dan segala hal yang dapat menyelesaikan konflik tersebut. Pemerintah harus mendengarkan penjelasan dari kedua daerah dan meneliti sejarah perbatasan dan segala hal yang berkaitan dengan perbatasan daerah antara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri yang nantinya dapat menentukan status kepemilikan gunung Kelud yang menjadi sumber konflik. Sampai saat ini polemik soal Gunung Kelud belum juga selesai. Klaim atas wilayah Gunung Kelud menghangat antara PemkabBlitar dengan Pemkab Kediri saat Pemkab Blitar masih dipimpin Bupati Imam Muhadi. Saat itu Kabupaten Kediri menggarap proyek wisata Gunung Kelud dengan kawah sebagai objek utamanya.9

Di pihak lain, Kabupaten Blitar juga mulai membuka jalan pintas menuju Gunung Kelud. Kedua pihak saling mengumbar klaim sebagai pemilik di media massa, dibumbui dengan bukti-bukti yang menurut mereka sah. Sayangnya, keduanya belum pernah duduk bersama membangun kesepakatan. Karena itu, dikatakan sampai sekarang masalah ini belum tuntas. DPRD Kabupaten Blitar hingga sekarang sedang mendesak penyelesaian sengketa status wilayah Gunung Kelud melalui gelar perkara dengan melibatkan Pemprov Jatim, Pemkab Kediri, Pemkab Blitar, Badan Geologi dan Pemetaan di Bandung, serta sejumlah pihak terkait. Pemerintah Kabupaten Blitar meyakini Gunung Kelud merupakan bagian wilayah geografisnya karena berada di kawasan Blitar bagian utara. Saat ini pemerintah setempat telah membangun jalan menuju gunung melalui Desa Tulungrejo, Kecamatan Gandusari. Pemerintah Blitar sendiri hanya memiliki bukti peta dan pengukuran Bakosurtanal yang menunjukkan Gunung Kelud masuk wilayah Kabupaten Blitar.

10

BAB IV PENUTUP4.1 Kesimpulan

Konflik yang terjadi antara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri terjadi karena perebutan gunung yang terletak diperbatasan kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri. Kedua daerah itu merebutkan gunung Kelud karena gunung tersebut dijadikan sebagai tempat wisata yang berpotensi besar untuk menambah pendapatan daerah. Dalam hal, pemerintah tidak hanya bertindak selaku penentu kebijakan, tetapi sekaligus sebagai mediator. Di sini, pemerintah harus benar-benar adil dalam menentukan kebijakan dan segala hal yang dapat menyelesaikan konflik tersebut. Pemerintah harus mendengarkan penjelasan dari kedua daerah dan meneliti sejarah perbatasan dan segala hal yang berkaitan dengan perbatasan daerah antara kabupaten Blitar dengan kabupaten Kediri yang nantinya dapat menentukan status kepemilikan gunung Kelud yang menjadi sumber konflik. Pemerintah harus bijaksana mengambil sikap karena menyangkut aspek kehidupan ribuan penduduk yang berdomisili di sekitar Gunung Kelud. Sehingga bukti dan dokumen pendukung harus menjadi faktor yang paling diperhatikan dalam mengambil keputusan.

4.2

Saran

Cara yang efektif untuk menentukan solusi permasalahan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip demand driven, yaitu: 1. Apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif . Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau 2. Apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena11

dampak, melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut. Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus

diaggregasikan dan diartikulasikan untuk mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Berita, Tempo Interaktif, Batas Wilayah Pemicu Konflik Antar Daerah,, Kamis, 30 September 2004 :14:50 WIB, WWW.tempointeraktif .com, 10 Maret 2008: 22:40 WIB 2. Sodjuangun Situmorang, 2006, Persoalan Batas Wilayah Administrasi di Era Otonomi Daerah, artikel, Majalah Profil PUM edisi Juli-Desember 2006, bagian Visi. 3. Asep Nurjaman dalam Nurudin, dkk., 2006, Kebijakan Elitis Politik Indonesia, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, hal.156 4. Zuhro, Siti R, et.al, 2004, Konflik & Kerjasama Antar Daerah: Studi Pengelolaan Hubungan Kewenangan Daerah dan Antar Daerah di Jawa Timur, Bangka, Belitung, dan Kalimanatan Timur, Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta, hal. 163 5. http://www.blitarkab.go.id/03/02/2011/pemerintah-provinsi-akan-mengambil-alihpenyelesaian-konflik-kepemilikan-gunung-kelud-yang-melibatkan-pemkab-blitar-danpemkab-kediri/ 6. http://gresnews.com/ch/Regional/cl/Gunung-Kelud/id/1715581/read/1/raquo-KediriMengklaim-Blitar-Marah

7. triwidodowutomo.blogspot.com/.../konflik-antar-pemerintahan-dan-prospek.html

13