SAPUAN GUNUNG KELUD BENCANA DAN MITIGASI …
Transcript of SAPUAN GUNUNG KELUD BENCANA DAN MITIGASI …
1
SAPUAN GUNUNG KELUD
BENCANA DAN MITIGASI LETUSAN PADA MASA KOLONIAL DAN REPUBLIK
Hana Nabilah, Kasijanto
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
Abstrak Penelitian ini membahas sejarah bencana alam Gunung Kelud beserta mitigasi bencananya. Bencana gunung meletus menarik untuk dibahas mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Dampak bencana yang tersebut juga mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya, khususnya masyarakat sekitar Gunung Kelud. Skripsi ini membandingkan penanganan mitigasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan republik Indonesia terhadap letusan Gunung Kelud tahun 1901, 1919, 1951,1966, dan 1990. Hasil dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa penanganan mitigasi bencana paling efektif dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan dibangunnya terowongan air di Gunung Kelud. Keefektifan mitigasi bencana tersebut tercermin pada letusan 1951 dan letusan-letusan setelahnya. Penanganan mitigasi bencana dari masa kolonial ke masa republik mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini terbukti dengan beberapa upaya mitigasi bencana yang dilakukan pascaletusan di wilayah Kediri dan Blitar, seperti perbaikan dan pembangunan terowongan, bendungan, waduk, dan kantong lahar yang berefek menurunkan jumlah korban jiwa dan dampak lainnya pada kejadian yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka, wawancara, dan penelitian lapangan.
Kata kunci: sejarah bencana alam, Blitar, Kediri, Gunung Kelud, mitigasi bencana
KELUD MOUNTAIN: DISASTER AND ERUPTION MITIGATION IN COLONIAL
AND REPUBLIC PERIODE
Abstract
This research discussed the history of natural disaster of Kelud Mountain and its mitigation. The volcano eruption disaster topic was interested to be discussed since Indonesia is the country that has high level of disaster. The local communities also got affected by this, especially communities around Kelud Mountain. This research were compared the mitigation which handled by Colonial government and Indonesian government on Kelud Mountain
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
2
eruptions in the period of 1901, 1919, 1951,1966, and 1990. The results of this comparison showed that the most effective disaster mitigation management carried out by the colonial government with the construction of a tunnel at Mount Kelud. The effectiveness of disaster mitigation is reflected in the eruption of 1951 and subsequent eruptions. Handling disaster mitigation from the colonial period to the period of the republic has increased significantly. This proved by the constructions of mitigation was built post disaster in Kediri and Blitar, as example, tunnels, dams, reservoirs, and lava pockets, which reduced the number of fatalities in this incident. The method in this thesis is literature research, interview and field research.
Key words: history of natural disasters, Blitar, Kediri, Kelud Mountain, disaster mitigation
Pendahuluan
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama pembentuk kerak bumi, yaitu
Lempeng Eurasia yang bergerak ke arah tenggara, Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke
arah utara dan Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat. Pertemuan lempeng tersebut
mengakibatkan kepulauan Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam baik bencana alam
vulkanik maupun tektonik yang selain banyak mengakibatkan kerugian juga
menganugerahkan kesuburan tanah serta kekayaan akan mineral barang tambang.1 Hal itu
membuat Indonesia menjadi negara yang rawan bencana dan perlu mitigasi bencana yang
efektif untuk mencegah dampak buruknya.
Kerawanan bencana di Indonesia disebabkan pula oleh gunung berapi yang tumbuh di
sepanjang lempeng tersebut. Rangkaian gunung api yang muncul di sepanjang lempeng itu
tersebut disebut Ring of Fire. Tercatat sebanyak 400 gunung berapi ada di Indonesia, 128
gunung diantaranya tergolong aktif.
Beberapa gunung berapi itu mempunyai sejarah yang tak terlupakan bagi Indonesia
dan dunia. Dua di antaranya terkenal dengan rekor letusan yang sangat merusak dan
mempunyai dampak global, yaitu erupsi Gunung Tambora 1815 (terbesar dalam abad
modern) dan erupsi Gunung Krakatau 1883. Letusan Gunung Tambora menyebabkan
terjadinya “musim tanpa matahari” atau dunia tanpa musim panas dan Gunung Krakatau
menyebabkan suhu di muka bumi turun 5 derajat celcius dan gelombang tsunami setinggi 41
meter.
1 Lihat Zakaria, 2008.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
3
Bencana alam dapat mengancam segala segi kehidupan masyarakat, baik ekonomi,
sosial, dan budaya. Setiap lapisan masyarakat perlu untuk mengetahui, memahami, dan
menguasai segala bentuk pencegahan dampak bencana alam guna meminimalkan kerugian
dan korban dari bencana tersebut. Dari segi sosial, dampak dapat dikurangi apabila setiap
anggota masyarakat menyadari betapa pentingnya hidup berdampingan, bergotong royong,
saling membantu, dan menghilangkan rasa saling curiga.2 Gunung Kelud secara
administrasi terletak di provinsi Jawa Timur tepatnya di antara tiga kabupaten, yaitu
Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang. Gunung Kelud yang
berketinggian mencapai 1731 meter merupakan produk dari proses tumbukan antara lempeng
Asia tepatnya di sebelah selatan Jawa.3 Titik koordinat Gunung Kelud terletak antara
7°56’00″LS dan 112°18’30″BT. Gunung Kelud mengalami letusan terbesarnya pada tahun
1919. Akibatnya, letusan tersebut menempati posisi ketiga di Indonesia dan posisi ketujuh di
dunia dalam kategori jumlah korban jiwa terbanyak saat letusan terjadi.
Sebagai kajian ilmiah, topik mengenai sejarah bencana alam dan mitigasi bencana ini
menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama mengenai sejarah bencana gunung meletus di
Indonesia, khususnya Gunung Kelud yang saat ini masih berstatus gunung api aktif di Pulau
Jawa dan memiliki sejarah letusan yang panjang. Masyarakat sekitar Gunung Kelud dengan
mitigasi bencana yang bersifat kultural dan mitos-mitos yang berkembang mengenai Gunung
Kelud juga patut menjadi perhatian mengingat masyarakat Jawa yang memiliki perspektif
tersendiri dalam memandang gunung.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada metode
penelitian sejarah dengan empat tahap, yakni heuristik, verifikasi, intepretasi, dan
historiografi. Heuristik adalah tahap pengumpulan sumber, baik sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber-sumber primer didapat dari arsip, dokumen resmi , dan artikel koran-koran
sejaman. Sumber sekunder didapatkan dari jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku dan artikel tulisan
yang membahas mengenai Gunung Kelud.
Proses heuristik dilakukan di enam wilayah, yakni di Jakarta, Depok, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, dan Kediri. Tempat – tempat heuristik di Jakarta yang dikunjungi
2 Sukandarrumidi, Bencana Alam dan Bencana Anthropogene Petunjuk Praktis Untuk Menyelamatkan
Diri dan Lingkungan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2010. 3 Ropingi El Ishaq, Komunikasi Kosmis Masyarakat Lereng Kelud, Surabaya: Jenggala Pustaka Utama,
2015, hlm 21.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
4
antara lain Perpustakaan Pusat Nasional Republik Indonesia (Jalan Salemba Raya No.28 A,
Jakarta Pusat), Arsip Nasional Republik Indonesia (Jalan Ampera Raya No.7, Jakarta
Selatan), Pusat Informasi Kompas (Jalan Palmerah Selatan No. 26-28, Jakarta Pusat), dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Jalan Pramuka No. 38, Jakarta Timur). Wilayah
Depok yang dikunjungi penulis untuk pencarian data adalah Perpustakaan Pusat Universitas
Indonesia (Kampus Universitas Indonesia, Depok). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (Jalan Diponegoro No. 57, Bandung) adalah tempat heuristik yang penulis datangi di
Bandung. Selanjutnya, tempat-tempat heuristik yang penulis kunjungi di wilayah Yogyakarta
antara lain Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (Jalan Nusantara No.
1, Yogyakarta), dan Jogja Library Center (Jalan Malioboro No. 175, Yogyakarta). Selain itu,
penulis juga mendatangi tempat-tempat heuristik di Surabaya antara lain Perpustakaan Pusat
Universitas Airlangga (Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya), Badan Arsip dan
Perpustakaan Provinsi Jawa Timur (Jalan Menur Pumpungan No. 32, Surabaya), dan Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur (Jalan Kendangsari Industri No. 43-44, Surabaya).
Terakhir, untuk pencarian data penulis labuhkan pada tema utama tulisan ini, yaitu Kediri,
Jawa Timur di mana Gunung Kelud berada. Di Kediri, penulis mengunjungi tempat-tempat
heuristik antara lain Perpustakaan Umum Kota Kediri (Jalan Diponegoro, Kediri), dan Desa
Sugihwaras, Kediri)
Setelah berhasil mengumpulkan data-data yang relevan, penulis kemudian melakukan
tahap kritik sumber, yakni pengujian terhadap data-data dan sumber-sumber sejarah yang
berhasil dikumpulkan, dikoreksi kebenarannya dan diperbandingkan satu sama lainnya,
sehingga dapat diketahui apabila ada data ataupun sumber yang isinya keliru atau tidak
didukung sumber-sumber lainnya. Kritik sumber ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
berupa kritik ekstern maupun intern. Pertama-tama penulis harus melakukan kritik eksternal,
yaitu kritik terhadap fisik dan keabsahan sumber dan data yang telah diperoleh melalui tahap
heuristik. Sedangkan untuk kritik internal, penulis berusaha memilah-milah data dan sumber
tersebut dengan kadar relevansinya terhadap tema penelitian.
Setelah sumber-sumber yang didapat telah dikoreksi kebenarannya, maka dilakukan
tahap interpretasi mengenai fakta-fakta yang didapat dari sumber terkait. Fakta-fakta ini
disambungkan dengan konteks zaman, serta fakta-fakta lainnya agar informasi yang ada di
dalam data tersebut dapat dianalisa dan dimaknai untuk menjelaskan sebab dan akibat, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi suatu peristiwa.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
5
Tahapan terakhir adalah historiografi atau tahapan penulisan sejarah. Pada tahap ini
seluruh fakta yang telah diinterpretasi dan memiliki hubungan satu sama lain ditulis sesuai
dengan kronologi waktu yang memiliki benang merah, serta menuliskan analisis mengenai
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Erupsi, Dampak, dan, Mitigasi Gunung Kelud Masa Kolonial 1901 dan 1919
Letusan 1901 dan 1919 dirangkum dalam Kajian Kebencanaan dalam Naskah
Pajeblugipun Redi Kelut.4 Naskah tersebut merupakan naskah kuno Jawa yang berisi uraian
mengenai bencana alam yang terjadi di wilayah Blitar dan sekitarnya pada 1919, khususnya
mengenai peristiwa meletusnya Gunung Kelud pada 20 Mei 1919. Naskah tersebut ditulis
oleh dua orang yang tinggal di tempat yang berbeda, yaitu S. Dayawiyata tinggal di
Prambanan, Yogyakarta dan Mas Yudakusuma yang tidak disebutkan tempat tinggalnya.
Naskah tersebut tidak hanya membahas letusan Kelud 1919, tetapi juga letusan 1901 sebagai
pembanding antara letusan 1901 dan 1919. Naskah itu ditulis pada 29 Juni 1919, selang satu
bulan dari letusan Mei 1919.
1. Letusan Gunung Kelud 1901
Letusan Gunung Kelud pada abad ke-20 dimulai pada tanggal 21 Mei 1901. Letusan
tahun 1901 dikenal dengan sebutan udan awu Kamis wage (hujan abu Kamis wage). Letusan
pertama pada tahun tersebut terjadi pada dini hari sekitar pukul 00.00—01.00 dan pukul 03.00
terjadilah letusan utamanya. Dikabarkan letusan ini sangat besar karena terdengar sampai
Pekalongan, bahkan hujan abu pun turun di daerah Sukabumi dan Bogor.5 Setelah meletus,
muncul hujan abu panas di Kediri.
Informasi mengenai korban jiwa dikatakan sebanyak 141 orang Jawa dan 3 orang
Belanda meninggal dunia.6 Adanya korban jiwa disebabkan oleh air danau kawah Kelud
sebanyak 19 juta meter kubik terlempar dan material padat sebanyak 200 juta meter kubik
dikeluarkan selama letusan. Jumlah korban bencana tersebut dapat dikatakan tidak terlalu
besar karena terdengar suara bergemuruh yang sangat kuat ketika letusan terjadi sehingga
orang-orang yang saat itu tidur segera bangun dan bergegas menyelamatkan diri.
4 Suyami, Taryati, Sumarno, Kajian Kebencanaan Dalam Naskah : Panjeblugipun Redi Kelut,
Yogyakarta: Badan Pelestarian Nilai Budaya, 2015 5 Endang Sri Sulistyarini, Gunung Kelut, Danau Kawah yang Menjadi Kubah, Surabaya: Iranti Mitra
Utama, 2011, hlm 15. 6Suyami, Taryati, Sumarno, Op.Cit, hlm 46.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
6
Pada 1905, dilakukan upaya mitigasi bencana, yaitu dengan sebuah dam (bendungan)
yang didirikan sepanjang lahar Badak untuk mencegah kerusakan yang tertuju pada daerah
Blitar. Selain itu, untuk mengurangi volume air kawah Gunung Kelud yang berlebih,
dilakukan penggalian di lereng barat Gunung Kelud pada tanggal 11 Juli 1907. Penggalian
yang dilakukan ternyata hanya mengurangi volume air danau kawah setinggi 7,4 meter atau
setara dengan pengurangan volume sebanyak 4.000.000 kilometer kubik.7 Pada tahun 1909,
dua tahun setelah penggalian tahun 1907, Hugo Cool membuat saluran di tepi kawah Gunung
Kelud.8 Kedua upaya yang dilakukan itu ternyata kurang berhasil karena kenyataannya pada
20 Mei 1919 ketika Gunung Kelud meletus terjadi banjir lahar panas dengan hebat dan
menelan korban lebih banyak.9
2. Letusan Gunung Kelud 1919
Delapan belas tahun kemudian, Kelud melepaskan letusan terbesarnya, yaitu pada
tanggal 20 Mei 1919. Letusan yang terjadi pada tanggal 19—20 Mei 1919 ini diperkirakan
merupakan bencana terbesar yang dihasilkan oleh Gunung Kelud pada abad 20. Letusan 1919
dikenal dengan udan awu Selasa kliwon (hujan abu Selasa kliwon).
Erupsi Gunung Kelud yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1919 pukul 00.00 mempunyai
durasi yang cukup pendek dalam hal penurunan dan peningkatan aktivitas kegunungapian.
Letusan itu ditandai dengan dentuman keras yang kabarnya terdengar sampai ke Kalimantan.
Kelud saat itu diperkirakan meletus sekitar pukul 01.15 yang ditandai dengan letusan yang
amat keras dan diikuti oleh hujan abu, kerikil, dan batu. Beberapa saat kemudian, sekitar
pukul 01.30 muncul aliran air bercampur lumpur panas yang memporak-porandakan ribuan
hektar sawah, rumah, ladang, ternak dan fasilitas masyarakat.
Kota Blitar seketika berubah menjadi lautan lahar. Langit gelap gulita karena tertutup
awan yang disebabkan oleh derasnya hujan abu. Lahar yang mencapai 1,6 meter menerjang
apapun yang dilintasinya, seperti rumah-rumah warga, area persawahan, perkebunan, dan
lain-lain. Perkampungan Cina dan Belanda pun tidak luput dari serangan lahar. Rumah
tahanan juga menjadi sasaran serangan banjir lahar yang berisi sekitar 900 orang.10 Sungai-
sungai yang dialiri lahar terlihat seperti air yang mendidih. Banyak mayat, bangkai binatang
dan ikan yang mengapung terlihat matang dan melepuh di sepanjang aliran banjir tersebut.
7 Lihat Kusumadinata, 1979. 8L. Pardyanto, “Suatu Tinjauan Mengenai Terowongan Pembuangan Air Gunung Kelud
Setelah Erupsi Februari 1990”, Bandung: Direktorat Vulkanologi, 1990, hlm 2. 9 Suyami, Taryati, Sumarno, Loc.Cit. 10 Ibid, hlm 30.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
7
Banyak pula mayat yang tersangkut di dahan pohon. Di jembatan Kediri, setidaknya
ditemukan kurang lebih 600 jiwa dan di jembatan Kertosono ditemukan sekitar 700 jiwa yang
tersangkut.11 Pemandangan ini benar-benar menggambarkan betapa dahsyatnya letusan
tersebut menyerang daerah tersebut. Ribuan mayat berserakan seperti daun-daun yang
berguguran akibat letusan ini.
Banyak korban manusia yang terjebak lahar Kelud 1919 karena tidak siap atau tidak
mengerti akan terjadinya bencana lahar Gunung Kelud.12 Dalam bencana ini, tidak hanya
penduduk Jawa sekitar Kelud saja yang menjadi korban, tetapi juga para pendatang, yang
umumnya pegawai Belanda. Para korban tersebut mengalami kondisi yang memprihatinkan.
Mereka kehilangan keluarganya, harta bendanya, dan mengalami trauma pascabencana.
Letusan yang sulit diprediksi dengan dampak yang besar membuat pemerintah
Belanda saat itu perlu membuat satu sistem mitigasi bencana. Sistem ini diyakini menjadi
sistem mitigasi pertama yang benar-benar dilakukan untuk mencegah ancaman bencana
gunung meletus. Penelitian pada Gunung Kelud menjadi awal dari adanya pembangunan
terowongan air sebagai solusi dari masalah ini.
Letusan Gunung Kelud 1919 membuat pemerintah saat itu, yaitu pemerintah kolonial
Belanda, harus mengambil tindakan sebagai langkah pencegahan pascaletusan. Sebenarnya,
pada 1901, ketika Gunung Kelud meletus pertama kali, pemerintah Belanda sudah berupaya
untuk melakukan pencegahan terhadap bahaya letusan, yaitu dengan membuat suatu jalur
untuk mengalihkan lahar tersebut yang dinamakan Kali Badak.
Kali Badak yang telah kokoh berdiri bertahun-tahun sebagai salah satu mitigasi saat
itu harus hancur karena letusan Gunung Kelud 1919. Letusan kali itu membuat pemerintah
kolonial Belanda berpikir lebih jauh lagi mengenai mitigasi bencana gunung meletus di
Gunung Kelud ini. Keputusan awal saat itu adalah dilakukannya penelitian oleh
Vulkaanbewakingdienst (Dinas Penjagaan Gunung Api) yang dibentuk pada 16 September
1920.13
Tugas awal dari penelitian ini adalah meneliti mengenai Gunung Kelud dan efek
letusannya pada tahun 1919. Dari tugas awal ini muncul pendapat bahwa perlu adanya
terowongan untuk mengurangi jumlah volume air di kawah Gunung Kelud. Akhirnya, pada
bulan September 1919, dimulai pembangunan terowongan dan berakhir pada tahun 1926.
11 Ibid, hlm 31. 12 Ibid, hlm 94. 13 Rahadian Rundjan, “Menjinakkan Amukan Kelud”, Historia, 2014, hlm 24-27.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
8
Sebanyak tujuh terowongan dibangun yang berhasil melakukan tugasnya dalam mengurangi
volume air walaupun menelan korban dalam pengerjaannya. Terowongan Gunung Kelud ini
merupakan upaya rekayasa pertama kali untuk mengurangi bahaya dari letusan gunung api.
Erupsi, Dampak, dan, Mitigasi Gunung Kelud Masa Republik 1951, 1966, dan 1990
1. Letusan Gunung Kelud 1951
Setelah letusan terbesarnya pada tahun 1919, Gunung Kelud kembali meletus pada
tahun 1951, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1951. Letusan tahun 1951 dikenal dengan
sebutan udan awu Jumat legi (hujan abu Jumat legi). Letusan 1951 terjadi pada pagi hari
dimulai sekitar pukul enam atau tujuh pagi.14 Beberapa menit sebelum meletus, terlihat asap
tebal berwarna putih yang diikuti suara bergemuruh. Selama letusan berlangsung, terjadi pula
gempa vulkanik sebanyak dua kali. Tidak hanya itu, hujan batu juga mengiringi letusan ini
selama satu jam.
Diperkirakan dalam letusan ini menelan lima korban, yaitu tiga orang petugas gunung
api dan dua orang penduduk setempat yang sedang bekerja di hutan. Ketiga petugas ini
meninggal ketika sedang bertugas untuk memeriksa suhu danau kawah. Ketiganya yang
menjadi korban letusan Gunung Kelud ditemukan di dalam terowongan Gunung Kelud
sewaktu mengeluarkan material letusan.15 Petugas bernama Diman ditemukan pada tanggal
18 September 1951 dan Suwarnaatmadja pada tanggal 28 September 1951. Terakhir, petugas
bernama Napan pada 7 Oktober 1951. Terdapat pula keterangan lainnya mengenai seseorang
yang menjadi korban mati dalam letusan Gunung Kelud 1951. Seseorang tersebut sebelumnya
berada di Perkebunan (Onderneming) Satak, ia meninggal karena kejatuhan batu.16 Dengan
adanya keterangan tersebut dapat dikatakan korban letusannya menjadi enam orang.
Walaupun letusannya besar, volume air di danau kawah Gunung Kelud cenderung
stabil karena adanya terowongan air yang dibangun pemerintah kolonial Belanda.
Terowongan ini telah meminimalisir dampak letusan bagi masyarakat. Sayangnya,
pascaletusan, terowongan ini dipenuhi oleh material letusan yang tidak terbawa air.
14 Wawancara dengan Sugiyanto (tukang becak), Mbah Ronggo (juru kunci Gunung Kelud), Selamet
(warga sepuh di Desa Sugihwaras), dan Mbah Lan (sepuh dan tokoh adat di Desa Sugihwaras) di Kediri 3—7 Januari 2016.
15 Merto, “Laporan Ringkas Gunung Kelud 1951 di Jawa Timur”, Bandung: Direktorat Vulkanologi, 1951, hlm 3.
16 Arsip Nasional Republik Indonesia, “Telegram Letusan Gunung Kelud 1951”, Telegram Kabinet Presiden RI, 1951.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
9
Selanjutnya, mengenai penelitian tentang Gunung Kelud tidak berhenti sampai disitu.
Penelitian tetap dilakukan walaupun sempat terhenti saat pemerintahan Jepang. Pada masa
republik terbentuklah Dinas Gunung Berapi (DGB) yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia.
Adanya DGB ini menjadi cikal bakal dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) yang berpusat di Bandung. Pada tahun 1951, terowongan air ini tersumbat oleh
material-material letusan. Oleh karena itu, menurut DGB, diperlukan adanya rehabilitasi demi
mencegah dampak yang lebih luas lagi. Rehabilitasi dilakukan pada tahun 1953 dan selesai
pada tahun 1955 yang dipimpin oleh M.J. Van Yzendoorn yang berhasil masuk ke titik rendah
dari kawah untuk mendapat gambaran mengenai perbaikan terowongan.17.
2. Letusan Gunung Kelud 1966
Lima belas tahun kemudian, Gunung Kelud kembali meletus pada 26 April 1966
pukul 20.15. Letusan ini terjadi secara tiba-tiba, sesuai dengan sifat spesifik Gunung Kelud
yang dapat meletus kapan saja. Di beberapa jam sebelum letusannya pun, tidak ada tanda-
tanda yang berarti untuk menentukan Gunung Kelud akan meletus yang dicatat oleh peralatan
observasi vulkanologi.
Sebelum terjadi letusan, pada pukul 19.55, terlihatnya percikan-percikan api yang
menyerupai halilintar (kilat) di sekitar puncak Gunung Kelud. Kemudian, letusan terjadi pada
pukul 20.15 memperlihatkan Gunung Kelud yang sedang mengamuk dengan api sebesar
rumah yang terbang membumbung ke atas. Dari puncak gunung terlihat api setinggi 100
meter pecah berhamburan seperti bunga api. Lima menit kemudian, yaitu pukul 20.20, di Kali
Badak mulai terlihat turunnya lahar berupa air yang belum bercampur dengan material
letusan. Pukul 20.30, lahar primer tiba di Kali Badak dengan suara gemuruh yang
mengakibatkan jebolnya kali tersebut. Diketahui, sesudah letusan tahun 1951, dasar kawah
baru lebih rendah 79 meter dari dasar kawah sebelumnya. Penurunan dasar kawah tersebut
membuat volume air danau saat itu mencapai sekitar 21,6 juta meter kubik sebelum meletus
kembali.
Suasana mencekam tersebut mulai meredam pada pukul 22.05 WIB dengan
berhentinya suara gemuruh letusan. Diikuti dengan berhentinya laju lahar primer pada pukul
23.30. Namun, pada pukul 01.00 terjadi letusan hebat yang membuat aliran listrik mati selama
sepuluh menit di Kota Blitar. Selanjutnya, pukul 03.30, berhentinya hujan abu Gunung Kelud.
17 L. Pardyanto, Loc.Cit.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
10
Letusan ini menyebabkan sebanyak 210 orang menjadi korbannya dan membuat
adanya aliran lahar ke beberapa kali di sekitar gunung. Terdapat keterangan lain bahwa
korban meninggal dari bencana alam ini sebanyak 181 orang dari desa-desa sekitar Blitar dan
31 orang dari daerah perkebunan.18 Total semua korban 212 orang.
Suasana saat itu menggambarkan bagaimana paniknya warga menyelamatkan dirinya
dari bahaya letusan Gunung Kelud.19 Kota Blitar kembali menjadi daerah yang mengalami
kerusakan paling parah daripada daerah lain. Tanggal 26 April 1966 pukul 10.00, saat itu
tidak ada sama sekali pemberitahuan atau tanda-tanda bahwa Gunung Kelud akan meletus.
Hal ini ditandai dengan adanya peninjauan sebelumnya dari Pepelrada Jawa Timur dan Bimas
SS BM dati II/Kota Blitar. Selang delapan jam dari peninjauan itu, kepanikan mulai muncul
di tengah-tengah masyarakat, Djaman, salah satu fotografer yang ikut peninjauan mengatakan
bahwa pada langit sebelah utara telah terjadi kilat yang saling sambar-menyambar. Kemudian
mulai muncul suara teriakan-teriakan dari arah barat ke timur. Orang-orang mulai memenuhi
jalan, berlari sekuat tenaga mereka untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Saat letusan, kilat-kilat saling menyambar, suara teriakan sana-sini sungguh pekik.20
Air lahar mengalir ke arah tenggara, selatan dan barat. Lahar tersebut mengalir mulai dari
pukul 20.30. Pukul 22.15 lahar setinggi tujuh meter sudah mencapai Blitar dan Kali Lahar
yang terletak di sebelah utara atau selatan Kota Blitar
Saat itu, berkembang cerita mengenai adanya tanda yang diberikan oleh arwah
penunggu Gunung Kelud mengenai ke mana arah aliran lahar letusan ini. Warga yang
rumahnya berdekatan dengan aliran lahar menceritakan bahwa mereka mendengar suara
ramai layaknya pawai sebelum datangnya lahar dari letusan Gunung Kelud. Di barisan depan
pawai tersebut terlihat seperti ada orang yang memegang obor. Ada yang memberikan
komando; “ayo terus...terus...iki disingkrihi....dilewati...” (ayo terus..terus...ini dihindari,
dilewati...”.21 Suara-suara ini diketahui ternyata adalah suara-suara yang merujuk pada tempat
yang diterjang lahar dan tempat yang dihindari.
Dengan beberapa tanda yang didasarkan pengalaman dan cerita dari nenek moyang
mereka, jumlah korban letusan dapat berkurang cukup besar. Mereka yang mendapat tanda-
tanda akan datangnya letusan, langsung mengungsikan diri mereka ke tempat yang lebih
aman.
18Kompas, “Mbah Rono Pensiun” 31 Juli 2015. 19Minggu Pagi, “Gunung Kelud Meletus”, 5 Mei 1966, hlm. 5-7. 20 Kompas, “Gunung Kelud Masih Bekerdja”, 10 Mei 1966, hlm. 1. 21 Ropingi El Ishaq, Op.Cit, hlm. 53.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
11
Pada hari Rabu, 27 April 1966, satu hari setelah letusan, para warga masih dalam
keadaan panik cenderung syok setelah menyaksikan kedahsyatan lahar Gunung Kelud.22.
Syok yang mereka alami dapat dikatakan sebagai kurangnya kesiapan dalam menghadapi
letusan Gunung Kelud. Perlu diakui, letusan 1966 ini tidak memperlihatkan tanda-tanda akan
meletus, warga pun masih beranggapan jika terjadi letusan pasti tanda-tandanya sama seperti
letusan sebelumnya. Terlebih lagi, sudah beredar di tengah masyarakat bahwa pada hari Jumat
Legi baru akan meletus.
Setelah letusan 1966, terowongan yang dibangun tahun 1926 kembali rusak dan
diperlukan adanya rehabilitasi. Pembangunan terowongan ini dimulai dari pengajuan dana
dari Departemen Pertambangan untuk usaha penanggulangan bencana. Surat tersebut
diajukan kepada Wakil Perdana Menteri bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan dan
Wakil Perdana Menteri bidang Sosial Politik Kabinet Dwikora.23 Dalam surat bernomor
279/DM/Pertamb/66, dijelaskan mengenai Rencana Kerja Penanggulangan Bencana Kelud.
Rencana tersebut sebagai berikut.
1. Pembuatan Terowongan (baru) pada ketinggian 1.113 meter di atas permukaan
laut dan rehabilitasi terowongan-terowongan lama pada ketinggian 1.132 dan
1.137 meter di atas permukaan laut untuk menyalurkan air danau kawah keluar.
Proyek ini ditaksir memerlukan biaya sebesar Rp3.000.000.000,- (uang lama).
2. Rehabilitasi Penjagaan Gunung Kelud ditaksir memerlukan biaya sebesar
Rp500.000.000,- (uang lama).
Rencana kerja tersebut dikerjakan pada masa kemarau tahun 1966 dan perlu segera
diselesaikan agar pada musim penghujan volume air di danau kawah dapat terkendali. Dalam
pengerjaannya, proyek ini menjadi tanggung jawab dari Direktorat Pertambangan dan
Direktorat Geologi.
Rehabilitasi terowongan Gunung Kelud dilakukan pada bulan September 1966.24 Hal
ini dilakukan secepatnya mengingat saat itu sedang musim kemarau sehingga nanti ketika
musim hujan diharapkan tidak ada air yang tertampung di dalam kawah dengan jumlah yang
besar.
22 Minggu Pagi. Op.Cit, hlm 5-7. 23 “Rentjana Anggaran Biaja, Proyek Penerowongan/Rahabilitasi Pendjagaan Gunung Kelud”, 3 Juni
1966, hlm 2. 24 Sinar Harapan, “Rehabilitasi Terowongan Gn. Kelut, 1 Oktober 1966, hlm 11.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
12
Usaha mitigasi yang dilakukan pemerintah Jawa Timur dan pemerintah setempat terus
berkembang setelah letusan Gunung Kelud 1966. Beberapa usaha tersebut adalah rehabilitasi
terowongan dengan membangun terowongan baru, pembangunan kantong lahar, dam dan
waduk. Bangunan-bangunan tersebut dibangun dengan harapan dapat mengurangi dampak
dari letusan Gunung Kelud.
Adanya peningkatan suhu kawah dapat dijadikan tanda bahwa Gunung Kelud tak lama
lagi akan meletus. Walaupun pada nyatanya, letusan Gunung Kelud selanjutnya terjadi pada
tahun 1990, tetapi pemerintah langsung mengambil tindakan untuk segera membangun
bangunan antisipasi dampak letusan. Selain membangun terowongan, pemerintah juga
membuat beberapa proyek, yaitu proyek pengendalian Kali Brantas dan proyek pengatur arus
lahar dan pasir dari Gunung Kelud. Realisasi dari proyek ini adalah pembangunan Bendungan
Karangkates dan Selorejo.
Dalam menanggulangi masalah penduduk yang kehilangan harta benda dan tempat
tinggal, pemerintah mengajukan solusi, yaitu transmigrasi. Beberapa dari mereka
ditransmigrasikan ke Pulau Sumatra dan Sulawesi. Pada tanggal 8 Agustus 1966, telah
diberangkatkan sebanyak 243 KK (Kepala Keluarga) atau 917 juta jiwa ke Sumatera Utara
dan Aceh.25 Sebanyak 37 KK dan 72 KK korban letusan Gunung Kelud dan bencana lahar
dingin menjadi calon karyawan atau buruh perkebunan di Sumatera Utara dan Aceh.
Pada tanggal 20 Agustus 1966, diberangkatkan kembali calon karyawan atau buruh ke
Sumatra Utara dan Aceh sebanyak 301 KK atau 1.088 jiwa, termasuk 65 KK atau 229 jiwa
korban bencana Gunung Kelud, 82 KK atau 285 jiwa korban banjir Sala Wonogiri dan
lainnya terdiri dari petani miskin dari daerah-daerah minus Jawa Tengah, Jawa Timur.26
3. Letusan Gunung Kelud 1990
Aktivitas Gunung Kelud belum berhenti sejak letusan terakhirnya pada tahun 1966.
Letusannya kali ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1990 pukul 11.41 sampai pukul 12.21.
Sebelumnya, terdapat peningkatan aktivitas yang mulai terlihat dari pertengahan November
1989. Peningkatan itu berupa kenaikan suhu permukaan dan dasar air danau kawah,
perubahan pH dan warna air, kegempaan dan nilai akustik.27
25 Sinar Harapan, “Transmigran Untuk Perkebunan”, 11 Agustus 1966. 26 Kompas, “Transkaryawan ke Sumut/Atjeh”, 22 Agustus 1966, hlm 2. 27L.Pardyanto, “Evaluasi Kegiatan Vulkanik Erupsi Gunung Kelud 1990”, Bandung: Direktorat
Vulkanologi, 1990, hlm. 1.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
13
Letusan Gunung Kelud terjadi secara tiba-tiba, sesuai dengan sifat spesifik Gunung
Kelud yang dapat meletus kapan saja. Beberapa jam sebelum letusannya pun, kembali tidak
adanya tanda-tanda yang berarti untuk menentukan Gunung Kelud akan meletus yang dicatat
oleh peralatan observasi vulkanologi. Tidak adanya aktivitas yang berarti walaupun tetap
terjadi aktivitas vulkanik.
Pada tanggal 9 Februari 1990 pukul 12.17—21.59, seismograf mencatat adanya
gempa di sekitar Gunung Kelud.28 Gempa vulkanik sebanyak 323 kali sebelum Gunung
Kelud meletus.29 Keesokkan harinya, pada tanggal 10 Februari 1990, pukul 03.02, rentetan
gempa mulai muncul kembali dan makin membesar skalanya sampai pukul 09.32. Saat itu
seketika langit menjadi gelap disertai hujan debu dan batu. Menjelang siang hari, sekitar
pukul 11.41, letusan pertama terjadi. Pada letusan pertama, terlihat asap setinggi lima
kilometer dan hujan lumpur. Disusul pada pukul 12.32, terjadi letusan kembali yang
mengeluarkan suara gemuruh, menampakkan kilat, asap berwarna hitam dan awan panas yang
mengarah ke barat daya. Beberapa menit kemudian, yaitu pada pukul 12.35, erupsi makin
membesar, tinggi asap berwarna hitam yang di dalamnya terdapat kilat sudah mencapai
sepuluh kilometer, dan awan panas meluncur ke segala arah.
Situasi pascaletusan 1990 agaknya berbeda dengan situasi pascaletusan di tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini terjadi karena letusan 1990 tidak disertai dengan lahar panas atau dingin,
tetapi hujan kerikil, pasir, dan abu yang menjadi hambatan kali ini. Material dengan jutaan
meter kubik ini membuat keadaan makin memprihatinkan. Bahaya yang benar-benar
mengancam adalah banjir lahar yang diakibatkan bercampurnya air hujan dengan lahar panas
atau pun material letusan.
Keadaan yang juga mengkhawatirkan adalah kesehatan para penduduk yang
mengungsi.30 Adanya debu dan pasir tersebut dapat memicu berbagai penyakit, seperti
penyakit mata dan gangguan saluran pernapasan. Kekhawatiran ini membuat Departemen
Kesehatan Jawa Timur mengirimkan bantuan berupa obat-obatan. Akan tetapi, sudah hampir
seminggu dari pihak Departemen Kesehatan belum mengirimkan bantuan tenaga medis. Pada
hari Kamis, 15 Februari 1990, ditemukan sebanyak lima orang yang mengalami penyakit-
28 Direktorat Vulkanologi, “Laporan Letusan Gunung Kelud 10 Februari 1990”, Bandung: Direktorat Vulkanologi, 1990, hlm 4.
29 Kompas, “Letusan Kelud, Awal Kemelut”, 14 Februari 1990, hlm. 8. 30 Jawa Pos, “Depkes Jatim Mewaspadai Akibat Debu Gunung Kelud”,16 Februari 1990, hlm 4.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
14
penyakit tersebut, tetapi beberapa hari kemudian bertambah tajam menjadi 50 orang
penderita.31
Pemerintah pusat dan daerah segera bergegas menyelidiki berbagai keadaan setelah
letusan terjadi. Hal tersebut mulai dari penyelidikan kawah, terowongan dan dasar kawah.
Para bupati kedua daerah yang mengalami dampak paling parah, yaitu Bupati Blitar, Siswanto
Adi dan Bupati Kediri, Asmono, benar-benar memusatkan perhatian mereka pada hal ini.
Berbagai usaha penanggulangan mereka lakukan untuk membuat penduduk lebih tenang dan
setidaknya merasa aman walaupun keadaan mencekam. Kerjasama dan kesiapan antar semua
pihak saat letusan dan banjir lahar Gunung Kelud tahun 1990 patut diapresiasi. Pemerintah
pusat dan daerah bersinergi untuk usaha penanggulangan atau mitigasi lebih tertata rapi dan
efektif dampaknya bagi penduduk sekitar Gunung Kelud.
Beruntung, saat letusan Gunung Kelud tahun 1990, volume air di danau kawah hanya
2,5 juta meter kubik. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan letusan Gunung Kelud
tahun 1966 yang mencapai sekitar 21,6 juta meter kubik. Sesudah bahaya letusan Gunung
Kelud reda, perhatian dan usaha penanggulangan ditujukan terhadap bahaya aliran lahar.
Guna mengetahui akan ancaman terhadap aliran lahar hujan, maka setelah letusan Februari
1990, Direktorat Vulkanologi telah menyiapkan peta “Sebaran Endapan Piroklastik Hasil
Letusan Gunung Kelud 1990”, dengan maksud untuk mengetahui ketebalan dan arah
penyebaran yang akan dipergunakan untuk mengevaluasi potensi lahar hujan Gunung
Kelud.32 Berdasarkan keadaan ini, pemerintah beserta Direktorat Vulkanologi membuat
mitigasi bencana dengan membuat kantong-kantong lahar baru di dekat kantong-kantong
lahar sebelumnya.
Tindakan mitigasi atau penanggulangan juga direncanakan oleh Proyek Gunung
Kelud. Sarana mitigasi direncanakan membangun bangunan semipermanen yang selesai
dalam waktu tiga bulan. Bangunan tersebut meliputi perbaikan tanggul sungai yang dianggap
rawan banjir, pembuatan tanggul daerah rawan, perbaikan tebing sungai yang relatif rendah,
dan memperbaiki jalur sungai yang sempit.33 Pembangunan sarana tersebut akan dimulai dari
Kali Badak, Blitar.
Penyelesaian masalah Gunung Kelud dapat dikatakan cepat karena hanya dalam
beberapa bulan pemerintah melakukan rehabilitasi di mana-mana. Sekitar 192 KK atau 697
31 Jawa Pos, “Mbak Tutut Temui Pengungsi G. Kelud, 18 Februari 1990, hlm 1. 32 Syarifuddin, M.Z, “Laporan Penyelidikan G. Kelud (Jawa Timur) 1989—1990”, Bandung: Direktorat
Vulkanologi, 1990, hlm 1. 33 Jawa Pos, “Awan Panas Masih Selimuti Areal Puncak Gunung Kelud”, 15 Februari 1990, hlm 1.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
15
jiwa warga yang tinggal di daerah terpencil dan rawan dipindahkan ke tempat tinggal yang
lebih aman, tapi masih di sekitar gunung.34
Pemerintah daerah berkomitmen untuk upaya rehabilitasi letusan Gunung Kelud
dengan mengalokasikan dana sebesar Rp 1,1 Miliar dari APBD Jawa Timur.35 Alokasi dana
tersebut diprioritaskan untuk pembangunan gedung Sekolah Dasar yang rusak parah, proyek
air minum, transportasi dan proyek-proyek lainnya yang sifatnya prioritas. Selain bantuan dari
pemerintah daerah, pemerintah pusat melalui dana APBN membantu untuk pembangunan
pemukiman kembali dengan memberikan anggaran pembangunan rumah sebesar Rp600.000,
mushola Rp3,2 juta dan MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus) Rp500.000.
Selain membuatkan pemukiman baru, pemerintah juga menawarkan program
transmigrasi bagi penduduk yang daerahnya mengalami kerusakan parah. Sebagian besar
penduduk yang mengungsi setuju dengan program transmigrasi.36 Para penduduk lebih
menyukai transmigrasi dengan jebol desa. Transmigrasi jebol desa maksudnya adalah
transmigrasi dengan memindahkan “desa”nya ke luar jawa.
Menurut Asmono, Bupati Kediri, karena mendesaknya keadaan, untuk tahap awal
transmigrasi dilaksanakan adalah transmigrasi spontan ke Jambi.37 Pemberangkatan
transmigrasi dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 1990. Selanjutnya, transmigrasi dibuka
kembali, transmigran yang mendaftarkan diri sebanyak 50 KK, terdiri dari 30 KK dari
Kecamatan Ngancar, 12 KK dari Wates dan 2 KK dari Kecamatan Kandat.38 Pemberangkatan
transmigrasi kali itu ditujukan ke Riau.
Penjelasan di atas memberikan gambaran kronologi, kondisi masyarakat dan Gunung
Kelud sendiri pascaletusan 10 Februari 1990, dampak yang terjadi akibat letusan dan banjir
lahar Gunung Kelud, dan mitigasi yang dilakukan pemerintah Indonesia. Mitigasi yang
dilakukan pemerintah daerah maupun pusat benar-benar berdasarkan pada keselamatan
masyarakat sekitar Gunung kelud. Usaha penanggulangan dilakukan walaupun belum
mendapat izin dari pusat, mengingat prosesnya yang cukup lama sehingga usaha
penanggulangan dilakukan segera dan dengan biaya seadanya. Walaupun begitu, bantuan
terus datang dari pihak-pihak lain, seperti media massa, perusahaan-perusahaan lokal, dan
atas nama pribadi.
34 Surabaya Post, “Binalnya Gunung Masih Menjanjikan Kenikmatan”, 30 Agustus 1990, hlm 3. 35 Jawa Pos, “1,1 Miliar Untuk Ledakan Kelud”, 20 Februari 1990, hlm 2. 36 Jawa Pos, “Kemarin Kelud Semburkan Asap Bau Belerang”, 19 Februari 1990, hlm 1. 37 Ibid. 38 Jawa Pos, “Lagi, Korban Kelud Ditransmigrasikan”, 13 Maret 1990, hlm 4.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
16
Penutup
Berbagai program mitigasi bencana dicanangkan oleh pemerintah baik pemerintah
kolonial maupun pemerintah Indonesia. Pemerintah kolonial membangun suatu saluran air
yang berkembang menjadi terowongan. Terowongan ini dianggap sebagai sistem mitigasi
untuk gunung yang pertama kali diterapkan di dunia. Letusan terbesar Gunung Kelud terjadi
di masa pemerintahan kolonial, yaitu tahun 1919. Jika dibandingkan antara jumlah penduduk
saat letusan 1919 dengan letusan lainnya, tentu jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Akan
tetapi, korban tewas akibat letusan 1919 jauh lebih banyak dibandingkan letusan lainnya. Hal
ini terjadi karena ketidaksiapan penduduk saat itu terhadap bencana gunung meletus dan
kurangnya pengetahuan mengenai mitigasi bencana. Oleh karena itu, pemerintah membuat
mitigasi yang benar-benar efektif dalam mengurangi dampak letusan Gunung Kelud, yaitu
pembangunan terowongan.
Seiring berjalannya waktu, pemerintahan pun berganti menjadi pemerintahan republik
Indonesia. Letusan pada masa republik yang dibahas, yaitu letusan 1951, 1966, dan 1990.
Ketiga letusan tersebut memiliki jangka waktu yang berbeda, tetapi tetap memberikan
dampak bagi masyarakat. Tindakan mitigasi yang dilakukan pada masa republik lebih
bermacam-macam. Segala upaya ditempuh oleh pemerintah Republik Inodnesia untuk
mengatasi dampak bencana alam Gunung Kelud.
Dalam dua masa pemerintahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemerintah
menaruh perhatian besar terhadap Gunung Kelud. Mitigasi bencana Gunung Kelud terus
dilakukan sampai saat ini. Akan tetapi, membandingkan upaya pemerintah kolonial dengan
pemerintah republik dalam hal mitigasi bencana, upaya paling efektif adalah upaya yang
dilakukan pemerintah kolonial, yaitu dengan terowongan air yang masih diandalkan sampai
saat ini. Namun, pemerintah republik tidak hanya mengandalkan terowongan saja untuk
mitigasi bencana. Hal ini terbukti dengan adanya pembangunan kantong lahar, bendungan,
dan program mitigasi sosial, seperti pembangunan pemukiman baru dan transmigrasi.
Daftar Referensi
Arsip
Arsip Nasional Republik Indonesia Telegram Letusan Gunung Kelud 1951. Telegram Kabinet Presiden RI. 1951.
Arsip Nasional Republik Indonesia. Laporan Bencana Alam Gunung Kelud 1966. Laporan Wakil Perdana Menteri bidang Ekonomi, Uang dan Pembangunan. 4 Mei 1966.
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
17
Arsip Nasional Republik Indonesia. Surat Rencana Kerja Pembangunan Terowongan dan Rehabilitasi Terowongan Gunung Kelud 1966. Laporan Wakil Perdana Menteri bidang Ekonomi, Uang dan Pembangunan. 3 Juni 1966.
Dokumen Resmi Direktorat Vulkanologi. 1990. Laporan Letusan Gunung Kelud 10 Februari 1990. Bandung:
Direktorat Vulkanologi. L. Pardyanto. 1990. Evaluasi Kegiatan Vulkanik Erupsi Gunung Kelut 1990. Bandung:
Direktorat Vulkanologi. L. Pardyanto. 1990. Suatu Tinjauan Mengenai Terowongan Pembuangan Air Gunung Kelud
Setelah Erupsi Februari 1990. Bandung: Direktorat Vulkanologi. Merto. 1951. Laporan Ringkas Gunung Kelut di Djawa Timur. Bandung: Direktorat
Vulkanologi. Syarifuddin, M.Z. 1990. Laporan Penyelidikan G. Kelud (Jawa Timur) 1989—1990.
Bandung: Direktorat Vulkanologi.
Surat Kabar dan Majalah Minggu Pagi, “Gunung Kelud Meletus”, 5 Mei 1966, hlm 5-7. Rahadian Rundjan, 2014, “Menjinakkan Amukan Kelud”, Majalah Historia, 2014, hlm 24-27.
Jawa Pos, 1990. Kedaulatan Rakyat, 1951.
Kompas. 1966, 1990, 2015. Sinar Harapan,1966.
Suara Merdeka, 1966. Surabaya Pos, 1990.
Buku El Ishaq, Ropingi. 2015. Komunikasi Kosmis Masyarakat Lereng Kelud. Surabaya: Jenggala
Pustaka Utama.
Sri Sulistyarini, Endang. 2011. Gunung Kelut, Danau Kawah yang Menjadi Kubah. Surabaya: Iranti Mitra Utama.
Sukandarrumidi. 2010. Bencana Alam dan Bencana Anthropogene Petunjuk Praktis Untuk Menyelamatkan Diri dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suyami, Taryati, dan Sumarno. 2015. Kajian Kebencanaan Dalam Naskah Panjeblugipun Redi Kelut. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
Wawancara Wawancara di Desa Sugihwaras, Kediri, Jawa Timur, tanggal 3—7 Januari 2016.
Sumber Internet Badan Kebencanaan Geologi. G. Kelud. http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/538-g-kelud diakses diakses pada hari Rabu, 9 Maret 2016 pukul 21.01 WIB)
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016
18
Sapuan Gunung ..., Hana Nabilah, FIB UI, 2016