Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

18
Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi Masyarakat Adat di Sumatera Selatan Rustandi Adriansyah (Ketua BPH AMAN Sumsel) Disampaikan pada Seminar “Legislasi Pengakuan Wilayah Masyarakat Hukum Adat di Sumatera Selatan Merujuk Putusan MK 35/2012, UU Desa (UU No. 6/2014), Permendagri No. 52/2014” Palembang, 09 Februari 2015

Transcript of Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Page 1: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Pembubaran Marga danImplikasinya bagi Masyarakat Adat di

Sumatera Selatan

Rustandi Adriansyah(Ketua BPH AMAN Sumsel)

Disampaikan pada Seminar “Legislasi Pengakuan Wilayah Masyarakat Hukum Adat di Sumatera Selatan Merujuk Putusan

MK 35/2012, UU Desa (UU No. 6/2014), Permendagri No. 52/2014”

Palembang, 09 Februari 2015

Page 2: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Kilas Tentang Marga

• Menurut sejarahnya, Marga di Sumatera Selatan sejak sekitar abad 16, ditandaidengan adanya Kitab Simbur Cahaya yang dibuat oleh Ratu Sinuhun. Kitab SimburCahaya (Simboer Tjahaja) adalah Kitab Undang Undang yang mengatur NegeriHuluan Kesultanan Palembang yang dibuat dalam bahasa Melayu. UndangUndang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:

1. Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving, Huwelijh, Echtscheiding)

2. Adat Perhukuman (Strafwetten)

3. Adat Marga (Marga Verordeningen)

4. Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen)

5. Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbow Verordeningen)

• Undang Undang Simbur Cahaya berkonstrubusi besar dalam mempengaruhi tatapemerintahan, kehidupan ekonomi social budaya Masyarakat Adat (Marga) diSumatera Selatan (termasuk Kep. Bangka Belitung), bahkan juga di sebagian besarMarga di Bengkulu, Jambi, dan sebagian Lampung.

Page 3: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Keterangan Gambar : sebaran koordinat Marga diambil

berdasarkan Ibukota (Domisili Pesirah Marga) yang diolah dari

sumber Zaak Almanak Zuid Sumatera 1936

Page 4: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Marga yang berkembang di Sumatera Selatan berasal dari 13 Suku. Sumber di Kompasiana menyebutkan:“Pertambahan ataupun penyebaran penduduk, merupakan salah satu penyebab terjadinya pemekaran suatu marga. Karena pemekaran itu, maka jumlah marga di Sumatera Selatan selalu bertambah dari masa ke masa. Menurut catatan yang dibuat pada tahun 1879 dan 1932 seluruh marga yang ada di Sumatera Selatan (pada waktu itu disebut Karesidenan Palembang) berjumlah 174 marga.Pada tahun 1940, menjelang masa kemerdekaan, jumlah itu menjadi 175 marga, sedang pada masa kemerdekaan di awal masa orde baru, tahun 1968, berjumlah 178 marga. Pada tahun 1983, ketika marga-marga dibubarkan, jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.”

http://politik.kompasiana.com/2011/07/02/kilas-balik-pemerintahan-marga-di-sumatera-selatan-377426.html, diunduh tgl 18/12/2014.

Page 5: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Marga dipimpin oleh Pesirah sebagai Kepala Marga, Pembarap dan Kriosebagai Kepala Dusun, .Lebay Penghulu untuk urusan Keagamaan Margadan ditingkat Dusun oleh Khatif dibantu oleh Kaum, Kemit Marga/KemitDusununtuk urusan keamanan Marga/Dusun. Dewan Marga dinamakanProatin (Perwatin) sebagai lembaga musyawarah Marga/Dusun.

• Kearifan Lokal yang menjadi landasan peri kehidupan ekonomi, politik, social dan budaya masyarakat tercermin dalam pasal – pasal dalam KitabUndang Undang Simbur Cahaya, cerita sejarah adat, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Hal – hal tersebut mengatur masyarakatmeskipun secara tidak tertulis. Mengatur tentang tata pemerintahan, norma dan etika social (adab bujang gadis, adab perkawinan), aturanperekonomian (perdagangan, peternakan, perkebunan, perburuan, pemanfaatan hutan), keagamaan, peradilan.

Lihat UU Simbur Cahaya Bab II: Aturan Marga, lihat juga artikel Muhammad Aqil Irham, “LEMBAGA PERWATIN DAN KEPUNYIMBANGAN DALAM MASYARAKAT ADAT LAMPUNG: ANALISIS ANTROPOLOGIS” Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149701&val=5898&title=LEMBAGA%20PERWATIN%20DAN%20KEPUNYIMBANGAN%20DALAM%20MASYARAKAT%20ADAT%20LAMPUNG:%20ANALISIS%20ANTROPOLOGIS,

Page 6: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Pertanian-perladangan, Kebun, Perdagangan, aktifitaspertambangan dilakukan oleh masyarakat bersumberutama pada memanfaatkan hasil dan mengolah hutandan sungai dalam wilayahnya mengacu pada aturanhukum dan nilai – nilai kearfian local yang berlaku.

Lihat UU Simbur Cahaya Bab II: Aturan Marga, lihat juga artikelMuhammad Aqil Irham, “LEMBAGA PERWATIN DAN KEPUNYIMBANGAN DALAM MASYARAKAT ADAT LAMPUNG: ANALISIS ANTROPOLOGIS” Analisis, Volume XIII, Nomor 1, Juni 2013, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=149701&val=5898&title=LEMBAGA%20PERWATIN%20DAN%20KEPUNYIMBANGAN%20DALAM%20MASYARAKAT%20ADAT%20LAMPUNG:%20ANALISIS%20ANTROPOLOGIS,

Page 7: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Penghapusan Marga, Pengambil-alihan Wilayah dan Sistem Pemerintahan Adat;

Menurut Harry Truman:“Sejak diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan Desa maka terjadi konversi Marga ke dalam struktur desa yang merupakan model pengorganisasian masyarakat menurut sistem di Jawa. Konversi itu kemudian juga berdampak pada hancurnya identitas, kepemimpinan lokal, otonomi adat, serta pola hubungan sosial di tingkat Marga. Marga yang dulu tumbuh dan berkembang dengan kearifan lokal yang unik dan disokong berbagai perangkat kelembagaan dan kekuasaan yang khas, diubah menjadi desa yang monoton. Konversi itu juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran gagasan demokrasi dalam pemerintahan Marga. Demokrasi Marga yang dulu dibingkai dengan tiga tata kelola yaitu tata kerama (fatsoen), tata susila (etika) dan tata cara (aturan main) atau rule of law yang dihasilkan dari kontak sosial masyarakat, menjadi demokrasi yang hanya mengandalkan kompetisi politik belaka. Para pemimpin dan masyarakat Marga hanya melihat bahwa demokrasi akan berjalan apabila terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote”

http://adetaris.blogspot.com/2007/03/sistem-marga-di-sumatera-selatan.html, diunduh tgl 18/12/2014

Page 8: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Dihapuskannya Sistem Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan melalui Surat Keputuasn (SK) Gubernur Sumatera Selatan No.142/KPTS/III/1983 tentang penghapusan sistem Marga di Sumatera Selatan, tertanggal 24 Maret1983 yang bunyinya a.l sebagai berikut :• Pembubaran Sistem Marga di Sumatera Selatan.• Pasirah (pemimpin Marga) dan semua instrumen

Marga dipecat dengan hormat.• Dusun, di dalam sebuah Marga, diganti dengan Desa

sesuai dengan definisi yang ada pada UU No. 5/ 1979.• Kerio sebagai Kepala Dusun, akan menjadi Kepala Desa

yang akan ditunjuk melalui pemilihan Kepala Desa sesuai dengan UU No. 5/ 1979.

Page 9: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Peristiwa ini menjadi salah satu preseden hukum yang buruk di republik ini. Hal itu disebabkan Undang-Undang dasar 1945 menyebut Marga dan Dusun di Sumatera Selatan ini termasuk kategori Zelfbestuuren dan volkgemenschappen yaitu suatu wilayah yang memiliki keistimewaan karena susunannya yang khas dan harus dihormati oleh Negara Republik Indonesia,

http://stitqi.ittifaqiah.com/simbur-cahaya-muatan-lokal-pendidikan-sumsel-2/, diunduh tgl 18/12/2014

• Menimbulkan krisis social; Pertama, menyangkut soal ‘sengketa otonomi’ dari apayang disebut dalam konstitusi (sebelum amandemen) sebagai ‘susunanasli’,sebagaimana yang terwujud ke dalam fenomena sosial yang disebut ‘desa diJawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dst…’ dalam konteks tata pemerintahan diIndonesia; dan kedua,soal eksistensi dan pengakuan atas‘hak - hak masyarakathukum adat’ dihadapan ‘hak menguasai negara’ (HMN) yang menjadi landasansistem tenurial baru, sebagaimana yangdiatur oleh berbagai peraturan-perundangan keagrariaan pasca-kemerdekaan.

R. Yando Zakaria, Makna Amandemen Pasal 18 UUD 1945 bagi Pengakuan dan PerlindunganMasyarakat Adat di Indonesia, http://www.academia.edu/3463487/Makna_Amandemen_Pasal_18_UUD_1945, diunduh tgl18/12/2014

Page 10: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Dalam penjelasan UUD 1945, pasal 18 (II):,

“Dalam territorial Negara Republik Indonesia terdapat lebah kurang 250 Zelfbestuurende lanschappen dan volkgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau,Marga dan Dusun di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Page 11: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Secara substansi, pembubaran Marga mengakibatkanMasyarakat Adat (Marga) mengalami degradasi yang massif secara politik, ekonomi, social, dan budaya. Masyarakat adatkehilangan ruang pegambilan keputusan menurut kehendak(inisiatif – aspiratif – partisipatif) kecuali menjalankan agenda sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Negara. Proses iniberjalan dalam kurun waktu yang panjang (1983 – 2014).

• Hal- hal yang mempengaruhi juga seiring prosespenghancuran (marga) adalah diputuskannya pertaliansejarah, adat istiadat budaya dalam kurikulum pendidikan

• Dampak industrialisasi di kawasan pedesaan pada tatakehidupan social; perburuhan, prostutusi – yang mana situasiseperti ini tidak berlaku dan belum pernah terjadi pada masapemerintahan Marga.

Page 12: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Penguasaan Sumber Sumber Penghidupan MasyarakatAdat oleh Negara dan Korporasi;

Industry sektoral agrarian monokultur (a.l: sawitdan akasia mangium), pertambangan berdirijutaan Hektar diatas Luas wilayah provinsiSumatera Selatan secara keseluruhan 87,017.41 ha, dengan cara a.l ; • menguasai 4.416.837 ha Kawasan Hutan Luas

Kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan sesuai SK Menhut No.76/Kpts-II/2001 tanggal15 Maret 2001 tentang Penunjukan KawasanHutan dan Perairan Provinsi Sumatera Selatan yang di klaim sebagai Hutan Negara.

Page 13: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Dibangun diatas lahan kritis; Pada tahun 2011 lahan

kritis di Sumsel seluas 3.886.062 ha (kritis 3.668.355 ha dansangat kritis 217.707 ha).

• Memanfaatkan Lahan Bukan Hutan (KawasanNon Hutan) ataupun Areal Penggunaan Lain (APL) melalui ijin pelepasan kawasan bukanhutan.

Page 14: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

Peta Overlay Sebaran Izin Pertambangan, Perkebunan KelapaSawit, HTI, HGU dan Indikatif Wilayah Marga di Sumatera Selatan

(diolah dari berbagai sumber), UKP3 Wilayah AMAN Sumsel, 2014

Page 15: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Peta diatas dengan jelas menunjukkan indikasi jumlah luasan yang begitubesar penguasaan dan Sebaran Izin Pertambangan, Perkebunan KelapaSawit, HTI, HGU pada wilayah Masyarakat Adat Marga di Sumatera Selatan.

• dari 8,7 juta hektar lahan Sumsel, sekitar 4,9 juta hektar menjadi perkebunan. Paling banyak dikuasai perkebunan sawit sekitar satu juta hektar dan pertambangan batubara seluas 2,7 juta hektar.

• Selama kurun waktu tahun 2003 s.d. 2012 terdapat 21(dua puluh satu) pemegang ijin IUPHHK-HTI (Izin untuk kegiatan Hutan Tanaman Industri) dengan luas konsesi 1.385.672 hektar

• Di sector pertambangan; dari luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel yang mencapai 2,7 juta hektar sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan. Sekitar 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar berada di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain.Konsensi itu dipegang oleh 359 perusahaan, sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi, sekitar 23 perusahaan belum terindentifikasi NPWP-nya. --http://www.mongabay.co.id/2014/09/19/pertambangan-batubara-di-sumsel-akan-dipantau-for-batu-kenapa/, diunduh tgl 19/12/2014

Page 16: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• AMAN Sumsel mencatat Sekitar satu juta warga adat dari 119 marga di Sumatra Selatan (Sumsel) terlibat konflik lahan dengan perkebunan sawit sejak 1990-an.

• Walhi Sumsel mencatat, sejak tahun 1989 hingga 2011 konflik berdimensistructural di sector perkebunan dan kehutanan mencapai 268 kasus. Konflik SDA itu hingga kini belum mendapatkan penyelesaian secara permanen dan sewaktu-waktu dapat terpicu hingga menimbulkan bentrokan fisik. Hingga pertengahan tahun 2013, tingginya angka konflikSDA di Sumsel menurut Walhi menempatkan Sumsel sebagai Provinsidengan konflik SDA tertinggi di Sumatera

• Ikhwanuddin, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol-Linmas) Sumatera Selatan menjelaskan, hingga tahun 2014 tercatat 84 kasus pertanahan di Sumsel. Konflik tersebut menyebar di 13 kabupaten dan kota.“Sebanyak 72 di antaranya merupakan konflik lahan perkebunan, 8 konflik lahan pertambangan, 3 konflik HTI, dan 1 konflik di lokasi transmigrasi.

• Konflik di Sumatera Selatan masuk dalam peringkat kelima luasan areal konflik menurut sektor di Indonesia pada tahun 2013 menyusul NTT dinomor urut 1, yang diikuti oleh Jatim, Jabar dan Riau pada peringkat 4 (catatan Konsorsium Pembaruan Agraria)

Page 17: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Proses penghilangan Sistem Pemerintahan dan MasyarakatMarga dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massive (TSM) dilakukan semata untuk menjalankan politik kekuasaannegara yang berorientasi pada kemajuan makro, dan pasar(modal) sehingga identitas adat, hak –hak masyarakat adatuntuk memutuskan dan menjalankan agenda sesuai normadan kearifan local senantiasa tergerus dan tidak mampuberhadapan face to face dengan hegemoni (propaganda program, kebijakan dan aparat serta hukum represif) negaradan pasar.

• Proses “depolitisasi” masyarakat adat (Marga) di Sumatera Selatan yang sudah berlangsung setidaknya selama lebih dari30 tahun telah “sukses besar” memutuskan sejarah dansemangat pertalian norma, hukum dan kearifan kearifan local dalam kehidupan masyarakat Marga sehingga MasyarakatMarga kehilangan identitas dan spirit (ruh) terhadap tanahairnya.

Page 18: Pembubaran Marga dan Implikasinya bagi MHA di Sumsel

• Bahwa pemahaman dan eksplorasi tentang Sistem MasyarakatMarga dan Kearifan – Kearifannya diperlukan sebagai“spirit” aspek yuridis, basis filosofis dan sosiologispembentukan hukum -- arah perubahan kebijakan untukpemulihan, revitalisasi dan rekonstruksi Masyarakat Adatdalam rangka tercapainya cita cita Kedaulatan, Kemandirian, dan Martabat sebagai sebuah Bangsa.

• Perubahan iklim politik kekinian seharusnya mampu memberiruang baru yang lebih terbuka bagi upaya pembelaan, pemulihan dan rekonstruksi masyarakat Marga di Sumsel --Dengan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh setiapkomunitas Marga. menegaskan kembali keberadaanidentitasnya dengan wilayah, pranata adat , norma – system hukum dan kearifan local, guna memenuhi criteria – criteria yang telah ditetapkan oleh Negara.