PEMBERIAN NAFKAH IDDAH TERHADAP MANTAN ISTRI...
Transcript of PEMBERIAN NAFKAH IDDAH TERHADAP MANTAN ISTRI...
PEMBERIAN NAFKAH IDDAH TERHADAP MANTAN ISTRI YANG DITALAK CERAI KARENA NUSYUZ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Slawi No. 2408/Pdt.G/2014/PA Slawi)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
M. SAEKHONI NIM. 1111044100099
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2015 M
ii
v
ABSTRAK
M. Saekhoni, 1111044100099, Pemberian Nafkah Iddah Terhadap Mantan Istri yang Ditalak Cerai Karena Nusyuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Slawi No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. x + 91 halaman + 15 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim Pengadilan Agama Slawi dan pandangan hakim tentang putusan cerai talak yang menetapkan nafkah iddah kepada istri yang nusyuz pada perkara Nomor 2408/Pdt.G/201/Pa. Slw. serta kedudukan nafkah iddah bagi istri yang nusyuz perspektif hukum Islam dan hukum positif serta implikasi hukum yang terjadi dari adanya ketentuan nafkah iddah tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada putusan pengadilan tersebut. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan yuridis-normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan Undang-undang. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada hakim yang memutus perkara di Pengadilan Agama Slawi serta hakim lainnya. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.
Studi ini menunjukkan bahwa istri yang telah bercerai dari suaminya dengan talak raj’i maka masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya yang disebut nafkah iddah selama menjalani iddahnya. Namun, istri yang melakukan nusyuz dan suami menceraikannya maka hak nafkahnya gugur. Sebagaimna dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 ayat 7 yang berbunyi Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz dan pasal 152 berbunyi Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz. Namun tidak semua perkara yang disebabkan nusyuz istri gugur mendapatkan nafkah iddah, apabila dalam persidangan suami suka rela dan sanggup untuk memberikan nafkah iddah kepada mantan istrinya. Maka dalam hal ini hakim dapat memutuskan bahwa mantan istri dapat mendapatkan nafkah iddah dari mantan suaminya tersebut dengan alasan adanya kerelaan dan kesanggupan.
Kata Kunci : Nusyuz, Perceraian, Iddah, Nafkah Iddah Pembimbing : Drs. Siril Wafa, MA Daftar Pustaka : Tahun 1985 sampai Tahun 2013
vi
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Yang dengan rahmat dan
hidayah-Nya selalu memberikan kekuatan iman dan Islam, sehingga setelah melalui
proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy).
Shawalat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad saw, yang telah membawa dan menyempurnakan agama Islam sebagai
penyelamat umat manusia di muka bumi ini.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak
terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan
motivasi, saran dan kritik yang membangun. Maka, sudah barang tentu menjadikan
suatu kewajiban bagi penulis untuk menghaturkan terimakasih yang setinggi-
tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Asep
Saepudin Jahar, MA.
2. Dr. Abdul Halim, MA., dan Arip Purkon, MA., selaku Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
vii
3. Dosen pembimbing skripsi Siril Wafa, MA, yang telah meluangkan waktu dan
pikiriannya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi
ini.
4. Dr. H. Kamarusdiana, MA selaku dosen pembimbing akademik, terimakasih atas
nasihat dan arahannya.
5. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., dosen Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah ikhlas berbagi pengetahuan dan pengalamannya
dalam kegiatan belajar dan mengajar yang penulis jalani.
6. Terimakasih kepada lembaga Pengadilan Agama Slawi, khususnya kepada Drs.
H. Suharto, MH., yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Terimakasih kepada staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas
kemudahan, arahan dan bantuannya kepada penulis dalam memperoleh data-data
kepustkaan dalam penulisan skripsi ini.
8. Salam hormat beriring doa penulis haturkan kepada kedua pelita yang selalu
menerangi tiap langkah dalam hidup ini, ayahanda tercinta Bapak Suhito dan Ibu
Siti Khodijah, terimakasih atas doa dan limpahan kasih sayangnya.
9. Kaka tercinta teteh Endang Isnaini beserta suami Edy Sufyan terimakasih atas
dukungan yang diberikan selama ini.
10. Kedua adik tercinta Aufa Riski Rabbani dan Azka Arsaka Shafwan, hadirnya
kalian menjadi semangat dan motivasi dalam hidup ini.
viii
11. Marti Riani Maghfiroh tersayang, terimakasih atas dukungan yang diberikan dan
tak bosan memberikan motivasi dalam setiap goresan tinta dalam skripsi ini.
12. Teman-teman seperjuangan, Ahmad firdaus, M. Nazir, Badru Tamam,
Rahmatullah Tiflen, Ahmad Farhan Qodumi, Savira Maharani, Lilis Sumiati dan
seluruh teman-teman Peradilan Agama A/B, tetap semangat dan teruslah
menggapai cita-cita kalian.
13. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat Kamal Fuadi, LC., M.Si
Moh. Ali Husen, Anisa Hidayati, Hasna Fikriyani, Ali Eseren, yang telah
memberikan motivasi kepada penulis disaat penulis menemukan kejenuhan.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini penulis
haturkan banyak terimakasih semoga kebaikan kalian menjadi amal sholeh dan
dilipat gandakan pahalanya oleh Allah SWT.
Akhirnya kepada Allah swt jualah penulis serahkan segalanya serta panjatkan
doa dan semoga amal kebaikan mereka diterima oleh-Nya. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya serta bagi para pembaca pada
umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jakarta, 11 Juli 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
PERSETUJUAN BIMBINGAN .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK.................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 12 D. Review Studi Terdahulu ...................................................... 13 E. Metode Penellitian ............................................................... 15 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 19
BAB II Tinjauan Umum Tentang Nusyuz
A. Pengertian Nusyuz ............................................................... 21 B. Dasar Hukum Nusyuz .......................................................... 22 C. Macam-macam Nusyuz dan Cara Penanggulangannya......... 25 D. Faktor-Faktor Istri Melakukan Nusyuz ................................ 39
BAB III Nafkah Iddah
A. Pengertian Nafkah Iddah ..................................................... 41 B. Dasar Hukum Nafkah Iddah ................................................ 42 C. Nafkah Sebelum Perceraian ................................................. 47 D. Ketentuan Pemberian Nafkah Iddah ..................................... 57
x
BAB IV Analisis Putusan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Slawi
No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi
A. Profil Pengadilan Agama Slawi ........................................... 62 1. Lokasi dan Sejarah ......................................................... 62 2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Slawi ................ 63 3. Kekuasaan atau Yuridiksi .............................................. 65
B. Duduk Perkara No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi .................. 68 1. Gambaran Putusan ......................................................... 69 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Majlis Hakim ............. 73
C. Analisis Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi ............... 79 1. Analisa Proses Persidangan............................................ 79 2. Amar Putusan ................................................................ 80
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ......................................................................... 84 B. Saran-saran .......................................................................... 85
Daftar Pustaka ............................................................................................. 87
Lampiran-lampiran
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi 2. Surat Permohonan Data/Wawancara Ke PA Slawi 3. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Slawi 4. Putusan Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA Slawi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berpasang-pasangan merupakan salah satu sunnatullah atas seluruh
ciptaan-Nya, tidak terkecuali manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah swt.
Bagi umat-Nya sebagai sarana untuk memperbanyak keturunan dan
mempertahankan hidup setelah Dia membekali dan mempersiapkan masing-
masing pasangannya agar dapat menjalankan peran mereka untuk mencapai
tujuan tersebut dengan sebaik-baiknya.1 Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-
Hujrat [49]:13 dan QS. An-Nisa [4]:1.
Sarana yang diberikan oleh Allah terhadap laki-laki dan perempuan untuk
menjalin hubungan yang sah tercakup dalam sebuah ikatan yang sakral
berupa pernikahan, yang berdasarkan ridha keduanya. Dari ikatan yang sakral
tersebut akan memunculkan sikap kasih sayang, cinta mencintai antara laki-
laki dan perempuan tersebut. Pernikahan adalah salah satu sunah dan
menyebabkan ikatan lahir batin melalui akad dengan tujuan membentuk
rumah tangga yang bahagia.
Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal (1) adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
1 Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia Rahma,
Cet II (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 193
2
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 2 perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan gholidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.3
Menurut hukum Islam pernikahan ialah suatu akad suci dan luhur antara
laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri
dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.4
Pernikahan merupakan sarana yang paling benar untuk memadu kasih
sayang dan cinta sejati, upaya untuk bekerja sama dan berpadu didalam
mengarungi kehidupan dunia, membina rumah tanggga dan memakmurkan
dunia.5
Perkawinan juga merupakan syariat islam yang tujuannya bukan saja
untuk menyalurkan hasrat biologis manusia dan meletakkannya pada jalan
yang benar, tapi berfungsi sebagai sarana reproduksi manusia untuk
mengagungkan nama Allah.6 Tidak hanya bernilai ibadah kepada Allah saja,
namun mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban
2 Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturaan Perkawinan Di
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1985), h. 3 3 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), cet 4, (Jakarta: CV Akademika Pressindo,
2010), h. 114 4 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 62 5 Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia Rahma,
Cet II (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 327 6 Yayan Sopyan, Islam Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 172
3
antara suami istri. Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban merupakan
hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya.7
Perkawinan yang merupakan suatu perjanjian yang mengakibatkan
perikatan antara suami istri, yang menempatkan suami istri dalam kedudukan
yang seimbang dan mengandung hak dan kewajiban yang seimbang pula bagi
kedua belah pihak. Namun, penting dipahami bahwa perikatan yang
bersumber dari perjanjian dalam perkawinan itu adalah perikatan lahir dan
batin antara seorang laki-laki yang kemudian berstatus sebagai suami dan
seorang perempuan yang kemudian berstatus sebagai istri.8
Akad pernikahan yang terjadi, menimbulkan konsekuensi-konsekuensi
diantara laki-laki dan perempuan. Maka konsekuensi-konsekuensi yang ada
wajib untuk dilaksanakan dan hak suami istri wajib ditunaikan. Pelaksanaan
kewajiban dan penunaian tanggung jawab oleh masing-masing suami istri
merupakan suatu yang dapat mewujudkan kedamaian dan ketenangan jiwa.
Dari itu, kebahagian suami istri akan tercipta.9
Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur
di dalam pasal 30-34. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam
pasal 77-84. Pengaturan tentang hak dan kewajiban suami istri yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam lebih sistematis dibandingkan dalam Undang-
7 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II (Jakarta : Sinar Grafika, 2007),
h. 51 8 Muhamad Syaifuddin, dkk. Hukum Perceraian (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 386-
387 9 Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia Rahma,
Cet II (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 411
4
Undang Perkawinan.10 Terkait dengan hak dan kewajiban suami istri pun,
setidaknya ada dua pandangan yang mengemuka. Pertama pandangan
tradisional seperti halnya yang ada dalam kitab-kitab klasik, sementara
pandangan kedua, yang diwarnai oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat
modern yang semakin hari semakin mementingkan hak-hak perempuan.11
Terselenggaranya akad nikah, seperti yang telah dikemukakan di atas akan
menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Diantara
kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah kewajiban memberi
nafkah, baik berupa makanan, pakaian, (kiswah), maupun tempat tinggal
bersama.12
Kewajiban suami terhadap istri yang terdapat dalam kitab Uqud al-Lujjain
adalah berlaku adil, dalam mengatur waktu untuk istri, memberi nafkah, dan
lemah lembut dalam berbicara terhadap istri.13 Namun, kewajiban yang
diberikan suami merupakan hak bagi istri. Sebagaimana Soemiyati
berpendapat bahwa hak istri yaitu suatu yang merupakan milik atau dapat
dimiliki oleh istri yang diperolehnya dari hasil perkawinannya. Hak ini dapat
hapus apabila yang berhak rela jika haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh
pihak lain. Sedangkan kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau
10 A. Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2013), h. 148-
149 11 A. Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013) h. 249 12 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 163 13 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 /1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h.181
5
diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak
lain.14
Namun dalam mengarungi kehidupan yang mempunyai banyak dinamika
dalam kesehariannya. Mengharuskan suami istri untuk dapat bertahan dan
mewujudkan tujuan pernikahan. Dimana tujuan pernikahan adalah untuk
penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi, untuk
menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman
ajaran agama serta bertujuan untuk membentuk perjanjian yang suci antara
seorang pria dan seorang wanita.15 Sehingga keluarga yang kekal dan bahagia
dapat terwujud.
Pernikahan pada dasarnya itu dilakukan untuk selamanya, sampai
wafatnya salah seorang suami istri, inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh
Islam. Kehidupan suami istri hanya tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih
sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan
kewajiban dengan baik. Namun dalam hal tertentu terdapat hak-hak yang
menghendaki putusnya perkawinan. Dalam arti bila hubungan perkawinan
dilanjutkan maka kemadharatan yang terjadi dalam rumah tangga tersebut.16
Terkadang dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
mulus, pasti ada kesalah pahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan
dalam menangani permasalahan keluarga ini, ada pasangan yang dapat
mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika
14 Muhammad Syaifuddin, dkk. Hukum Perceraian, (Jakarta : Sinar Grafik, 2013), h. 387 15 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 15-16 16 Amir syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, cet. 4 (Jakarta : Kencana, 2013) h. 124
6
keluarga sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya
dalam porsi yang tidak terlalu banyak. Namun ada juga keluarga yang tidak
dapat mengatasi percekcokan yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Jika
keutuhan keluarga tersebut dipertahankan, baik suami atau istri akan
mengalami penderitaan. Di mana masing-masing pasangan merasa teraniaya
oleh yang lainnya.17
Percekcokan yang sudah tidak dapat diatasi dan perselisihan yang semakin
hari semakin tidak terkendali. Di mana antara satu pihak dengan yang lainnya
saling menyalahkan dan jika terus dipertahankan maka akan menimbulkan
mafsadat (madharat) bagi suami atau istri. Maka Islam memberikan solusi
melalui penetapan talak sebagai obat untuk perselisihan kekeluargaan ketika
obat selainnya tidak bermanfaat. 18
Talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan
sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya
dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam
Undang-Undang Perkawinan.19
Ketentuan talak atau perceraian ditegaskan dalam pasal 38 undang-undang
nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. Perceraian, c. atas
Keputusan Pengadilan”.
17 Yayan Sopyan, Islam Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 172-173 18 Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nur Khozin, (Jakarta: Amzah,
2012), h. 330 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 /1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 207
7
Talak yang diucapkan oleh suami kepada istri merupakan pelepasan ikatan
pernikahan. Ucapan talak ini terjadi dikarenakan oleh beberapa sebab, salah
satunya terjadinya nusyuz oleh istri. Nusyuz dalam artian kedurhakaan yang
dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk
pelanggaran perintah, penyelewengan, dan hal-hal yang dapat mengganggu
keharmonisan rumah tangga.20
Talak yang terjadi dalam hal tersebut adalah talak raj’i. talak raj’i adalah
talak di mana suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui
nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Talak raj’i itu adalah
talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan oleh pihak istri.21
Akibat dari talak raj’i yang telah diucapkan oleh suami tidak serta merta
putusnya perkawinan secara mutlak. Dalam talak raj’i ini mantan suami tidak
dilarang untuk berkumpul (selain berhubungan badan) dengan mantan
istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(kepemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungan yang halal (kecuali
persetubuhan). Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum yang lain, selama masih dalam masa iddah
istrinya.22
Status hukum perempuan dalam talak raj’i itu sama dengan istri dalam
masa pernikahan dalam semua keadaanya, kecuali dalam satu hal, menurut
20 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 /1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 209
21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam: Antara Fiqh Munakahat Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 220-221
22 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 307
8
sebagaian ulama, yaitu tidak boleh bergaul (bersetubuh) dengan mantan
istrinya.23
Istri yang dalam talak raj’i ini tetap mendapatkan nafkah dari mantan
suaminya, baik tempat tinggal, pakaian dan uang belanja tetapi bagi istri yang
durhaka (nusyuz) maka tidak berhak mendapat apa-apa. Sebagaimana hadist
yang diriwayatkan oleh Nasa’i.24
)رواه النسائى(السكني و النفقة لمن لزوجھا علیھا الرجعة انما
Artinya:”Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal
(rumah) dari suaminya adalah apabila suaminya itu berhak merujukinya kembali”. (HR. Nasa’i)
Kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri dalam Islam disebutkan
dalam Al-quran surat At-Thalaq ayat 1.
ربكم لا تخرجوھن من بیوتھن ٱللھ ٱتقواو ٱلعدةفطلقوھن لعدتھن وأحصوا ٱلنساءإذا طلقتم ٱلنبي یأیھالا تدري ۥفقد ظلم نفسھ ٱللھومن یتعد حدود ٱللھ ود وتلك حدمبینة جن إلا أن یأتین بفحشةولا یخر
١ ایحدث بعد ذلك أمر ٱللھلعل
Artinya:”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. At-Thalaq: 1)
23 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam: Antara Fiqh Munakahat Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 221 24 An-Nasai, Sunan An-Nasai, Jilid 6 (libanon, Beyrouth- Dar El-fikr, 2005) h. 144-445
9
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa seorang wanita yang
berada dalam masa iddah hanya dibenarkan tinggal di rumah keluarga mereka.
Bila wanita tersebut melanggar, maka berarti ia melakukan nusyuz.25
Para ulama sepakat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i
memiliki hak nafkah dan tempat tinggal selama perempuan tersebut masih
dalam iddahnya.26
Muhammad Bagir Al-Habsyi berpendapat bahwa ada hak perempuan yang
berada dalam masa iddah yaitu perempuan dalam masa akibat talak raj’i
berhak menerima tempat tinggal dan nafkah, mengingat bahwa statusnya
sebagai istri belum lepas semuanya karenanya tetap memiliki sebagian hak-
hak sebagai istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal yang
dianggap durhaka yakni melanggar kewajiban taat kepada suaminya) maka ia
tidak berhak apa-apa.27
Hal ini pun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam
pasal 149 yang berbunyi bahwa bilamana perkawinan putus karena talak,
maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri tersebut belum dicampuri.
25 Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshary, Problematikan Hukum Islam
Kontemporer 1, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 200 26 Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nur Khozin, (Jakarta: Amzah,
2012), h. 358 27 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 /1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 249
10
b. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian)
kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Hal yang sama juga dijelaskan dalam pasal 152 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang berbunyi:
“Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali
bila nusyuz”.
Hal ini bertentangan dengan Putusan Pengadilan Agama Slawi Nomor
2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi yang memberikan putusan bahwa istri yang
nusyuz mendapatkan nafkah iddah selama dalam masa iddahnya.
Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis putusan hakim
Pengadilan Agama Slawi tersebut. Untuk itu maka penulis memberi judul:
“Pemberian Nafkah Iddah Terhadap Mantan Istri Yang diTalak Karena
Nusyuz (Analisis Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak
menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas, maka penulis
membatasi pembahasan ini pada masalah Pemberian Nafkah iddah
Terhadap Mantan istri Yang diTalak Cerai Karena Nusyuz pada putusan
Pengadilan Agama Slawi Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi.
11
2. Rumusan Masalah
Di dalam pasal 149 angka b Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menjelaskan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas
suami wajib memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah
(pakaian) kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri
telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
Serta dalam pasal 152 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan
bahwa Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya,
kecuali bila nusyuz. Namun kenyatan yang terjadi di lapangan nafkah
iddah kepada istri yang nusyuz di berikan oleh Hakim di Pengadilan
Agama Slawi. Hal inilah yang membuat penulis terdorong untuk
menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan
tersebut.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim Mengenai Cerai Talak Yang
Menetapkan Nafkah iddah Kepada Termohon Yang Nusyuz Pada
Perkara Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi?
2. Bagaimana pandangan hakim terhadap putusan cerai talak yang
menetapkan nafkah iddah kepada istri yang nusyuz pada perkara
Nomor 2408/Pdt.G/201/Pa. Slw?
12
3. Bagaimana Perspektif hukum Islam dan hukum positif terhadap
putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama Slawi terhadap Perkara
Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang
ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya ruang lingkup perkara
istri nusyuz di Pengadilan Agama Slawi. Seiring dengan pembatasan dan
perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
a. Mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Slawi dalam memutus perkara nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi.
b. Mengetahui pandangan hakim tentang putusan cerai talak yang
menetapkan nafkah iddah kepada istri yang nusyuz pada perkara
Nomor 2408/Pdt.G/201/Pa. Slw.
c. Mengetahui kedudukan nafkah iddah bagi istri yang nusyuz perspektif
hukum Islam dan hukum positif dalam perkara nomor
2408/Pdt.G/2014/PA Slawi.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang penulis kaji untuk:
a. Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada penulis agar dapat
lebih memahami tentang hak-hak istri ketika diceraikan oleh suami
dan hal-hal yang dapat menggugurkan tersebut.
13
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dan memperkaya
keilmuan dalam memutus perkara talak dengan memperhatikan hak-
hak pemohon ketika terjadi perceraian.
c. Hasil penelitian ini setidaknya bisa ikut andil dalam memperkaya
kajian keislaman tentang perceraian, khususnya pemberian nafkah bagi
mantan istri.
D. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti
tersebut sudah dibahas atau belum sama sekali.28 Oleh karena itu untuk
menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah melakukan review kepustakaan
terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat
pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh penulis jika dilihat
secara umum, namun jika ditelusuri lebih mendalam tentu ada perbedaan dari
sudut pambahasan maupun objek kajian didalam penelitian ini. Adapaun
penelitian tersebut diantaranya:
1. Nafkah Iddah bagi istri nusyuz (Analisis putusan hakim Pengadilan
Agama Bogor no. 169/pdt.g/2011/PA. Bgr dan putusan hakim pengadilan
agama Depok no.96/pdt.g/2009/pa.dpk) oleh IIn Winiarti dalam skripsi ini
menjelaskan pandangan hakim terhadap nafkah iddah yang diberikan
kepada istri nusyuz di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama
Depok. Dan hanya membandingkan pandangan hakim yang memutus di
Pengadilan Agama Bogor dan Depok. Sedangkan yang menjadi perbedaan
28 Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardhan, Rancangan penelitian kebijakan sosialisasi,
(Jakarta: Postekkom Dikbud dan CV Rajawali, 1984) h. 80
14
dari skripsi yang ingin penulis angkat ialah penulis ingin membahas
pandangan hakim Pengadilan Agama Slawi dalam memutus perkara
tentang nafkah iddah yang diberikan kepada istri yang nusyuz dan
argumentasi hakim dalam memutus perkara ini.
2. Hak Nafkah Iddah Istri Dalam Cerai Talak Akibat nusyuz (Studi
Komparatif Putusan No. 0033/Pdt.G/2011/PA JT dan Putusan No.
1550/Pdt.G/2011/PAJS) oleh Hani Nurhanipah dalam skripsi ini
menjelaskan tata cara penyelesaian perkara karena istri nusyuz di
Pengadilan Agama dan tidak menyinggung pengenai permasalahan nafkah
iddah ketika seorang istri diceraikan oleh suaminya karena nusyuz dan
mengkomparasikan pemberian nafkah iddah terhadap istri nusyuz antara
pengadilan Agama Jakarta Timur dan Jakarta Selatan . Sedangkan yang
menjadi perbedaan dari skripsi yang ingin penulis angkat ialah penulis
ingin membahas pandangan hakim Pengadilan Agama Slawi dalam
memutus perkara tentang nafkah iddah yang diberikan kepada istri yang
nusyuz dan argumentasi hakim dalam memutus perkara ini.
3. Implementasi Pemberian Nafkah Iddah Bagi Istri Nusyuz (Analisa Putusan
Perkara No. 1223/Pdt.G/2011/PA. Depok) oleh Ahmad Faisal dalam
skripsi ini hanya menjelaskan tentang mekanisme implementasi pemberian
nafkah iddah bagi istri nusyuz. Sedangkan yang menjadi perbedaan dari
skripsi yang ingin penulis angkat ialah penulis ingin membahas pandangan
hakim Pengadilan Agama Slawi dalam memutus perkara tentang nafkah
15
iddah yang diberikan kepada istri yang nusyuz dan argumentasi hakim
dalam memutus perkara ini.
4. Nafkah iddah bagi mantan istri korban kekerasan dalam rumah tangga
(analisis putusan perkara nomor 103/pdt.g/2008/pa.jt) oleh Hanif Bagus
Azhar, dalam skripsi ini menjelaskan tentang nafkah iddah perkara cerai
gugat yang diberikan kepada istri akibat korban kekerasan dalam rumah
tangga. Sedangkan yang menjadi perbedaan dari skripsi yang ingin penulis
angkat ialah penulis ingin membahas pandangan hakim Pengadilan Agama
Slawi dalam memutus perkara tentang nafkah iddah yang diberikan
kepada istri yang nusyuz dan argumentasi hakim dalam memutus perkara
ini.
E. Metode Penelitian
Dalam penggumpulan bahan/data penyusunan skripsi agar mengandung
suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan normatif. Dilakukan pendekattan ini yaitu
untuk lebih mengidentifikasikan konsep dan dituangkan dengan meneliti
hasil pertimbangan hakim dalam memutus perkara nomor
2408/Pdt.G/2014/PA. Slwi. Dengan dilakukannya pendekatan ini, penulis
melakukan wawancara dan akan lebih aktual mendapatkan informasi
tentang Nafkah Iddah yang diberikan kepada istri yang nusyuz.
16
2. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kaualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan
deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari fenomena yang diteliti atau
dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Penelitian kualitatif
dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada, sehingga
penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi jenis
data.
3. Sumber Data
Jenis-jenis data dalam proposal skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi
menjadi dua:
a. Data Primer
Sumber data didapat dari Pengadilan Agama berupa putusan
perceraian kerena istri nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama
Slawi. Melalui penelitian lapangan yaitu wawancara langsung terhadap
pihak-pihak yang terkait dan berkaitan degan penelitian terutama
hakim-hakim yang memutus perkara No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi
tentang pemberian nafkah kepada istri yang nusyuz.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan degan
masalah yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-
Quran, Hadist, buku-buku ilmiah, undang-undang Perkawinan,
17
Kompilasi Hukum Islam (KHI), undang-undang pengadilan Agama
serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan skripsi ini.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan
yang diperlukan, maka di lakukan pengolahan data dengan cara sebagai
berikut:
a. Studi Dokumentasi (Document research)
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia
dalam catatan dokumen.29 Melalui studi ini untuk dapat menelaah
bahan-bahan atau data-data yang diambil dari dokumentasi dan berkas
yang mengatur tentang pemeriksaan putusan yang terkait masalah
pemberian nafkah iddah kepada istri yang nusyuz dalam perkara
nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi serta putusan-putusan seorang
majlis hakim dalam memutus.
b. Wawancara (interview)
Dengan mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama Slawi,
penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research), yang
bertujuan untuk memperoleh kejelasan dan kesesuaian antara teori dan
praktek yang terjadi di lapangan mengenai pemberian nafkah iddah
kepada istri yang nusyuz di Pengadilan Agama Slawi.
Dilakukan dengan cara interview, adalah suatu proses tanya jawab
lisan, dalam mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, yang
29 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
h. 158
18
lain dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga
sendiri dari suaranya.30 Penulis mewawancarai hakim yang memutus
perkara No. 2408/Pdt.G/2014/PA Slawi.
c. Studi Pustaaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku
perpustakaan, tulisan-tuisan sebagai dasar teori dalam pembahasan
masalah. Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara
dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok yang masalah
yang terdapat dalam proposal skripsi ini.
5. Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis mengolah
data dengan metode deskriptif dan komparatif. Dan kemudian dalam
penyajian tersebut dikomparatifkan antara data yang tertera pada teori
yang diambil dari studi pustaka dan kenyatan sesungguhnya yang
didapatkan dari penelitian di lapangan dan data-data yang menyangkut
masalah pemberian nafkah kepada istri yang nusyuz.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif,
yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
30 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petujuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, cet II,
(Yogyakarta: UGM Press, 2004), h. 88
19
yang penting dan apa yang dipelajari31 serta menghasilkan data deskriptif
analisis, yang tujuannya untuk menggambarkan masalah-masalah yang
terkait terhadap kasus-kasus yang diteliti. Dan dalam teknis penulisan,
penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi dan buku
metode penelitian.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penyususan penelitian ini ialah berformat karangka outline
dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan
berikut:
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu serta
sistematika penulisan.
BAB II Penulis membahas, pengertian nusyuz, dasar hukum nusyuz,
macam-macam nusyuz dan cara menanggulanginya, faktor-faktor
istri melakukan nusyuz. Sehingga penulis mengkaitkan kepada
pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pengertian nafkah iddah,
dasar hukum nafkah iddah, nafkah sebelum perceraian dan
ketentuan nafkah iddah akibat nusyuz. Sehingga penulis
mengaitkan kepada pasal 149 huruf b dan pasal 152 Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
31 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif, cet. 26, (Bandung: PT Remaja
rosdakarya, 2009), h. 248
20
BAB IV Bab ini penulis menerangkan profil Pengadilan Agama Slawi,
duduk perkara no. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw, Pertimbangan hakim,
putusan atau amar, analisis terhadap putusan Pengadilan Agama
No. 2408/Pdt.G/2014/PA Slawi kemudian penulis menganalisis
pertimbangan majlis hakim terhadap putusan tersebut tentang
pemberian nafkah kepada istri yang nusyuz.
BAB V merupakan tahap akhir dari penulisan proposal skripsi yang berupa
kesimpulan dari beberapa persoalan yang dibahas dan saran dari
penulis untuk masyarakat.
21
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Nusyuz
A. Pengertian Nusyuz
Nusyuz berasal dari kata nasyaza, yansyuzu, nusyuzan, yang memberi
beberapa maksud, antaranya nusyuz memberi maksud bangkit dari tempatnya
atau bangun.1 Kata nusyuz yang berasal dari bahasa Arab yang secara
etimologi berarti ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat2, membangkang
atau durhaka3. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap
suami tanpa alasan yang tidak dibenarkan oleh hukum.4 Kalau dikatakan istri
nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi
kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban
mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan istri
terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah
atasnya.5 Maksudnya, seorang istri melakukan perbuatan yang menentang
suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati
suaminya atau menolak diajak ke tempat tidurnya.6 Secara arti luas nusyuz
1 Norzulaili Mohd Ghazali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Shiqaq dan
Hakam,: menurut Al-Quran, Sunnah dan Undang-undang Keluarga Islam, (Malaysia: KUIM, 2007) h. 1-2
2Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. I, h. 190
3 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), h. 185
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 970
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. I, h. 190-191
6 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 185
22
adalah perbuatan suami atau istri yang meninggalkan kewajiban bersuami
istri yang membawa kesengjangan hubungan diantara keduanya.7
Selain itu nusyuz membawa maksud tempat yang tinggi atau suami istri
saling membenci antara satu sama lain. Ulama memberi berbagai definisi
mengenai nusyuz, salah satunya menurut Imam Syirazi, nusyuz ialah
perbuatan istri yang mendurhakai, angkuh serta ingkar terhadap apa yang
telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka mengenai tanggung jawab
yang perlu dilaksanakan terhadap suami.8 Abu Malik Kamal berpendapat
bahwa nusyuz berarti tempat yang tinggi, sedangkan dari segi istilah, nusyuz
adalah pembangkangan istri pada suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan
oleh Allah untuk menaatinya, seolah-olah yang meninggikan diri dan merasa
lebih tinggi dari pada suaminya.9
B. Dasar Hukum Nusyuz
1. Al-Quran
Tindakan nusyuz istri merupakan perbuatan yang diharamkan, sebab
Allah telah menyiapkan serangkaian hukuman bagi istri pembangkang jika
ia tidak bisa disembuhkan. Adapun ayat yang berkenaan dengan nusyuz ini
adalah firman Allah QS. An-Nisa [4]: 34
7 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipata, 1991), h. 95 8Norzulaili Mohd Ghazali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Shiqaq dan
Hakam,: menurut Al-Quran, Sunnah dan Undang-undang Keluarga Islam, (Malaysia: KUIM, 2007) h. 1-2
9 Abu Malik Kamal Bin Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Khairul Amru Harahap, Faisal Saleh, editor, Besus Hidayat Amin, Cet. 1 (Jakarta : Pustakan Azzam, 2007), h. 350.
23
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur
mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa
[4]: 34).
QS. An-Nisa [4]: 128
ا وٱلصلح ا فلا جناح علیھما أن یصلحا بینھما صلحوإن ٱمرأة خافت من بعلھا نشوزا أو إعراض ١٢٨ا یر وأحضرت ٱلأنفس ٱلشح وإن تحسنوا وتتقوا فإن ٱللھ كان بما تعملون خبخیر
Artinya:”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.(QS. An-Nisa [4]: 128)
2. Hadist Nabi
Hadist Rasulullah SAW, yaitu
ان : ماحق زوجة احدنا علیھ قال , یا رسول اهللا: قلت :عن حكیم بن معاویة القشیري عن ابیھ قال رواه ابو (تطعمھا اذا طعمت وتكسوھا اذا كتسیت وال تضرب الوجھ وال تقبح وال تھجر اال في البیت
)دود
Artinya:" Dari Hakim Bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari Ayahnya ia berkata, saya
bertanya kepada rasulullah, wahai rasulullah, apakah hak seorang istri
kepada suaminya?, beliau bersabda. “hendaklah engkau memberi
24
makan jika engkau makan, berilah pakaian kepadanya seperti engkau
berpakaian. Jangan pukul mukanya, jangan engkau menjelekkannya,
dan jangan engkau meninggalkannya kecuali dalam serumah,” (HR Abu
Daud).10
3. Dasar Hukum Kompilasi Hukum Islam pasal 8411
Ayat 1
Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah
Ayat 2
Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
Ayat 3
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah
isteri tidak nusyuz
Ayat 4
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus
didasarkan atas bukti yang sah.
Penjelasan pasal di atas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan
mengenai permasalahan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuz istri saja
serta akibat hukum yang ditimbulkannya.12 Mengawali pembahasannya
10 Abi Thoyib Muhamad Syam, Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abu Daud, Jilid 6
(Libanon: Dark Fikr, 2003), h. 143 11 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 587 12 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana hanya menyebutkan nusyuz terhadap
istri saja tanpa menyebutkan ketentuan nusyuz suami, hal ini sangat bias terhadap gender dan KHI lebih mengunggulkan suami dari pada istri dan adanya pandangan subordinat ,
25
dalam persoalan nusyuz, Kompilasi Hukum Islam berangkat dari
ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan
rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir batin
kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Dan
istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-
kewajiban sebagaimana maksud tersebut. Walaupun dalam masalah
menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus
didasarkan atas bukti yang sah.13
C. Macam-macam Nusyuz dan Cara Penanggulangannya
Mengarungi kehidupan rumah tangga terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan perceraian diantaranya adalah nusyuz. Dalam hal ini, nusyuz
dapat dilakukan oleh suami atau istri, nusyuz dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu:14
1. Nusyuz Istri
steriotype dan diskriminasi. Tidak menyebutkannya ketentuan dan sanksi untuk suami jika melakukan nusyuz membuat suami seperti penguasa (Raja) yang ketika salah tidak ada hukuman. Seperti dikatakan The king can do no wrong. Sehingga pasal ini terlihat mengekang kebebasan hak-hak perempuan dan tidak mendudukkan hubungan suami istri secara seimbang. Nusyuz merupakan keniscayaan dalam ajaran Islam sehingga nusyuz itu ada. Akan tetapi, nusyuz itu semestinya tidak tidak hanya diberlakukan terhadap istri saja, tetapi juga terhadap suami. Karena baik suami atau istri, kedua-duanya punya peluang untuk nusyuz. Jika istri melakukan nusyuz, maka suami mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan. Demikian juga sebaliknya, jika suami melakukan nusyuz maka istri pun mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan. Sehingga suami atau istri tidak melakukan tindakan sewenang-wenang yang merugikan salah satu pihak. Untuk itu harus adanya perbaikan terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) agar tidak ada lagi hak-hak salah satu jenis kelamin yang dirugikan dan KHI lebih ramah terhadap gender sehingga menimbulkan keadilan dan kesetaraan gender, baca Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Zaitunah Subhan.
13 Hani Nurhanipah, Hak Nafkah Iddah Istri dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz, (Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 37
14 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta:Kencana, 2004), h. 209
26
Kita ketahui bahwa nusyuz bisa terjadi pada perempuan dan juga laki-
laki. Akan tetapi watak perempuan berbeda dengan watak laki-laki. Oleh
karena itu, penyembuhannya berbeda juga secara teori, karena berbedanya
bentuk nusyuz antara mereka berdua. Meskipun terdapat kesamaan antara
keduanya dan bahwa pada setiap diri mereka mencemaskan bagi
lainnya.15
Kadang-kadang perilaku istri menyalahi aturan, ia berpaling dalam
bergaul dengan suaminya, lalu ucapannya menjadi kasar, tampaklah
kedurhakaan, meninggalkan ketaatan, dan menampakkan perlawanan.16
Nusyuz yang dilakukan oleh istri dapat juga berupa pelanggaran perintah,
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga.
Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri, yang termasuk
nusyuz, antara lain sebagai berikut:17
a. Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang telah
disediakannya tanpa alasan yang pantas.
b. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian
pada suatu saat istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan
bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami.
15Ali Yusuf As-Subekti, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nurkhozin, Cet. 2 (Jakarta :
Amzah, 2012), h. 302 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Akamal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia :
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 1/1974 Sampai KHI, h. 209 17 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 185-186
27
c. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang
telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri
meninggalkan rumah tanpa izin suami.
d. Apabila istri berpergian tanpa suami atau mahramnya walaupun
perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak
dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Bagi suami jika telah jelas baginya bahwa nusyuz karena berpalingnya
perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan
dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan
suami untuk menempuh tiga tingkatan.18 Langkah-langkah tersebut antara
lain:
a. Memberi Nasihat
Hendaknya seorang suami menasihatinya dengan lembut dan
mengingatkannya tentang wajibnya menaati suaminya dan haramnya
menentang suami sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah.19
Hendaklah ia mendorong untuk lebih mengharap pahala dan ridho
dari Allah dengan cara mematuhinya. Peringatkan pula agar ia selalu
berusaha menjadi wanita yang sholehah, yaitu wanita yang taat
kepada Allah, senantiasa menjaga diri ketika suami tidak berada di
18 Ali Yusuf As-Subekti, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nurkhozin, h. 303 19 Abu Malik Kamal Ibnu As-Sayid Salim, Fiqh Sunnah Wanita Jilid 2, diterjemahkan
oleh Agus Faisal Karim, cet. III (Depok : Madina Adipustaka, 2013) h. 268
28
sisinya. Serta, jangan lupa untuk mengingatkannya kepada ancaman
dan siksa dari Allah jika ia berani membangkang kepada suaminya.20
Ada sebagian wanita yang bisa diluruskan dari kebandelan dan
kekeliruannya dengan kata-kata, lalu sadar dan menuruti nasihat
tersebut. Jika sudah demikian halnya, suami tidak boleh melakukan
aksi pisah ranjang apalagi memukulnya. Sebagaimana firman Allah:
)34: النساء (فان أطعنكم فال تبغوا علیھن سبیال
Artinya:”Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”(QS. An-Nisa [4]: 34)
Namun tidak sedikit wanita yang tidak terpengaruh dengan kata-
kata maupun nasihat. Jika menghadapi istri seperti ini, suami bisa
menempuh pendekatan kedua.
b. Mendiamkan Saat di ranjang
Pendekatan kedua yang bisa ditempuh untuk menyadarkan istri
yang bersikap nusyuz adalah dengan cara mendiamkannya.
Pendekatan ini dapat dilakukan bila istri tidak memperlihatkan
perbaikan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi
dengan perhitungan yang objektif, maka suami dapat menggunakan
cara yang kedua yaitu mendiamkan istri atau pisah tempat ranjang,
dalam artian suami menghentikan hubungan seksual.21 Sebagaimana
firman Allah, Yaitu:
واھجروھن في المضاجع
20 Abu Malik Kamal Ibnu As-Sayid Salim, Fiqh Sunnah Wanita Jilid 2, h. 268 21 Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah Wanita Jilid II, h. 269
29
Artinya:”Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” (QS. An-
nisa [4]: 34)
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa suami mula-mula dapat
memberikan ultimatum untuk mendiamkannya dan tidak melakukan
hubungan intim dengannya, dengan harapan jika istri termasuk
perempuan yang tidak tahan untuk tidak melakukan hubungan intim,
maka ia akan segera sadar dan taat. Namun jika tetap membangkang,
maka aksi pisah ranjang harus benar-benar dilakukan.22
Mekanisme Pisah Ranjang
Banyak pendapat yang berkembang di kalangan ulama mengenai
pisah ranjang. Ada yang mengatakan, tidak berhubungan intim
dengannya. Ada lagi yang mengatakan suami tidak boleh
berhubungan intim dengannya, namun tanpa bicara sepatah katapun
dengannya sewaktu melakukannya. Alasan bagaimanapun senggama
adalah hak bersama keduanya, dan hukum kedisiplinan tidak boleh
sampai mengandung unsur bahaya. Adapula yang mengatakan,
menolak bercumbu dengannya ketika istri sangat menginginkannya
dan saat libidonya naik tinggi. Bukan pada saat si suami bergairah dan
ingin melakukan hubungan intim, sebab pisah ranjang ini bertujuan
untuk menghukum isteri dan bukan suami.23
Pendapat yang benar, suami boleh mendiamkannya dengan cara
apapun yang ia sukai sesuai kondisi si istri, selama memang bisa
22 Abu Malik Kamal, Fiqh Shahih Sunnah jilid 4, h. 351-352 23 Abu Malik Kamal, Fiqh Shahih Sunnah jilid 4, h. 352
30
membuat sang istri jera dengan pembangkangannya. Akan tetapi,
perlu diingat, suami seyogyanya tidak mendiamkan istri kecuali di
dalam rumah saja, merujuk pada sabda Nabi SAW dalam riwayat
وال تھجر اال في البیت
Muawiyah dari Haidan ra, “…dan janganlah engkau mendiamkannya
kecuali di dalam rumah.24
Etika lain, suami seyogianya tidak memperlihatkan aksi
pendiamnya di hadapan anak-anak, sebab hal itu dapat berefek buruk
bagi pribadi mereka.25
Batas Waktu Pisah Ranjang
Mengenai batas waktu terlama mendiamkan istri dalam tempat
tidurnya, berkembang dua arus pendapat di kalangan ulama, yaitu:26
1) Waktu mendiamkan istri adalah sebulan, dan bisa diperpanjang
hingga empat bulan. Ini adalah pendapat kalangan mazhab
Maliki, mengacu pada perbuatan nabi SAW yang mendiamkan
istri-istri beliau selama sebulan, dan batas waktu ila’.
2) Tidak terbatas, sampai istri menyadari kekeliruannya. Ini adalah
pendapat jumhur kalangan mazhab Hanafi, Syafi’I dan Hanbali.
c. Memukul Istrinya yang Berbuat Nuysuz
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan
teks Al-Quran diperintahkan untuk memukul istrinya. Pemukulan ini
24 Abi Thoyib Muhamad Syam, Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abu Daud, Jilid 6
(Libanon: Dark Fikr, 2003), h. 143 25 Abu Malik Kamal, Fiqh Shahih Sunnah jilid 4, h. 353 26 Abu Malik Kamal, Fiqh Shahih Sunnah jilid 4, h. 353
31
tidak wajib secara syara dan tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja
ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu
menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan, nasihat, dan
pemisahan. Hal tersebut adalah hubungan fisik dari segi syara’ dan
tidak dimaksudkan terbatas pada pemberian rasa sakit pada fisik
perempuan yang durhaka. Atau untuk mempertahankan perempuan
agar tidak pergi dan marah darinya. Akan tetapi, ini merupakan usaha
untuk menyalamatkan tabiat keluarga dari kehancuran, membersihkan
rumah tangga dari keterpecahan yang dihadapinya. Tiadalah seorang
pun yang ragu bahwa memukul itu lebih sedikit madharatnya terhadap
keadaan dari terjadinya perceraian bagi perempuan yang bercerai-
berai dalam lingkungan keluarga. Termasuk bagian dari kebodohan
adalah meningalkan semua perkara yang membawa pada hubungan
yang lebih parah antara kedua keadaan, tanpa mencurahkan usaha
untuk mengubah kesempitan perempuan antara dua bahaya yang lebih
ringan.27 Sebagaimana kaidah fiqh mengatakan:
اذا تعارض مفسدتان روعي اعظمھما ضررا بارتكاب اخفھا
Artinya: “Apabila dua mafsadat bertentangan maka diperhatikan
mana yang lebih besar madhoratnya dengan dikerjakan yang lebih
kecil atau ringan madharatnya.28
Namun dalam melakukan pemukulan ini, suami harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:29
27 Ali Yusuf Subekti. Fiqh Keluarga. h. 307-308 28 Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001). h. 40
32
1) Tidak terlalu keras, misalnya hingga mematahkan tulang atau
melukai daging layaknya pukulan orang yang dibakar dendam.
Sebab firman Allah,
واضربو ھن
”Dan pukullah mereka” (QS.An-Nisa [4]: 34), dibatasi dengan
bentuk pukulan yang tidak terlalu keras dan tidak melukai. Misi
dari pemukulan ini adalah untuk menasehati, bukan untuk
melukai atau merusak. Sehingga yang dituntut adalah pemukulan
yang melukai perasaan dan dapat menyadarkannya, bukan yang
melukai fisik.
2) Tidak lebih dari sepuluh kali pukulan, merujuk kepada sabda
Nabi SAW,
30)البخاري(ال یجلد فوق عشرة اسواط اال في حد من حدود اهللا
Artinya:”Janganlah pukul (cambuk) lebih dari sepuluh kali Pukulan (cambukan) kecuali dalam kasus pelanggaran salah satu had (hukum) Allah”. (HR Bukhari)
3) Tidak memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yang rentan
(mudah cidera). Merujuk pada sabda Nabi SAW dalam Hadist
yang diriwayatkan Muawiyah bin Haidah:
ال تضرب الوجھ وال تقبح وال تھجر اال في البیت
4) Beranggapan kuat bahwa pukulan atau tamparannya itu akan
membuatnya jera. Sebab, bagaimanapun pukulan dalam konteks
ini merupakan salah satu sarana memperbaiki kondisi, dan sebuah
29 Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, h. 355 30 Muhammad Ismail bin Ibrahim bin Mughiroh Bukhori, Abu Abdullah, Shahih Bukhori,
(Kaairo: Darul As-shiab, 1987), h. 215
33
sarana tidak dianggap sah jika ada dugaan kuat tidak
terimplementasikannya tujuan yang dimaksud. Jika suami tidak
yakin bisa menginsyafkannya dengan pukulan, maka ia sebaiknya
tidak memukulnya.
5) Menghentikan pukulan jika istri menarik pembangkangannya dan
telah menaatinya.
Setelah melakukan tindakan yang telah dianjurkan dan sesuai
dengan tahapan-tahapan yang disebutkan di atas istri tetap melakukan
nusyuz. Maka barulah ikut campur orang ketiga dibutuhkan. Suami
dianjurkan meminta bantuan orang tua atau orang bijak yang dituakan
untuk menasehati istri tersebut. Orang tua atau orang bijak tersebut
diharapkan dapat menyadarkan istri agar kembali kepada kewajiban-
kewajiban yang semestinya ditunaikan istri, bukan untuk memisahkan
atau menceraikan keduanya.31 Hal ini sesuai dengan Firman Allah
Surat An-Nisa [4]: 35.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulannya bahwa
durhakanya atau nusyuznya istri ada tiga tingkatan, yaitu:32
1) Ketika tampak tanda-tanda kedurhakan atau nusyuz istri, maka
suami berhak memberikan nasihat kepadanya.
31 Mesraini, Fiqh Munakahat, (Ciputat: Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren, 2008),
h. 131 32 Tihami & Sobari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.187
34
2) Sesudah nyata kedurhakan atau nusyuznya, suami berhak untuk
berpisah tidur dengannya
3) Kalau istri tetap msih durhaka, suami berhak memukulnya.
4) Jika dari tahapan diatas istri tetap nusyuz, maka baru mencari juru
damai dari orag ketiga untuk menasehati istri agar kembali dari
nusyuznya.
2. Nusyuz Suami
Nusyuz ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi dapat juga datang
dari suami. Selama ini sering kali disalah pahami bahwa nusyuz hanya
datang dari pihak istri saja. Padahal al-Quran menyebutkan adanya
nusyuz dari suami33 seperti yang terlihat dalam QS. An-Nisa [4]: 128.
ا ا فلا جناح علیھما أن یصلحا بینھما صلحخافت من بعلھا نشوزا أو إعراض ٱمرأة وإن
ایركان بما تعملون خب ٱللھوإن تحسنوا وتتقوا فإن ٱلشح ٱلأنفسأحضرت وخیر ٱلصلحو
١٢٨
Artinya:“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir.Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 128)
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Nusyuz suami terjadi
33 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI,, h. 210
35
bila suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik
meninggalkan kewajibannya yang bersifat materi atau nafakah atau
meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi di antaranya
Mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istri dengan baik.34
Nusyuz suami juga dapat berupa suami menjauhi istri, bersikap kasar,
meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidurnya,
mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.35
Nusyuz yang dilakukan oleh suami terhadap istri mempunyai
beberapa tahap penyembuhannya sesuai dengan keadaan yang
menuntutnya, yaitu:36
a. Hendaknya diminta darinya ketetapan istri akan kemuliaan
pemeliharaannya beserta sifat-sifat yang dituntut bagi istri seperti hak
memberikan tempat tinggal, nafkah atau yang lainnya.
b. Sebaiknya bagi istri mengadakan perjanjian perdamian terhadap
suaminya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika dikemudian
hari suami kembali nusyuz.37 Hal ini sesuai dengan surat an-Nisa ayat
128. Menurut sayuti Thalib ayat inilah yang mendasari perjanjian
yang berbentuk dalam taklik talak, tetapi bentuk dan cara-caranya itu
34 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 193 35 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 317 36 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 318 37 Sayuti Thallib, Hukum Kekeluargaan, (Jakarta : UI-Press, 2009), h.94
36
hendaklah diperbaiki dengan lebih jelas sehingga betul-betul lebih
merupakan perjanjian dua pihak.38
Pendapat Mahmud Syaltut yang dikutip oleh Abdul Manan
menjelaskan bahwa perjanjian taklik talak adalah jalan terbaik dalam
melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami.
Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak ketika
akad nikah dilaksankan dan perjanjian itu telah disepakati bersama, maka
perjanjian taklik talak itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik.
Apabila suami melanggar perjanjian tersebut, maka istri dapat
mengajukan cerai kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak yang
berwenang. Inilah yang merupakan sarana yang baik dalam
menanggulangi nusyuz dari pihak suami yang ada di Indonesia.39
Bila dibandingkan dengan tata cara menanggulangi nusyuz istri
sebagaimana diatur dalam QS. An-Nisa [4]: 34 dan 128 yang berbicara
tentang penanggulangan nusyuz suami terkesan sangat bias gender,
diskriminatif, atau sangat tidak berpihak kepada kepentingan perempuan.
Betapa tidak, ketika istri yang berbuat nusyuz, suami diperbolehkan
melakukan tiga macam tindakan, yakni menasehati, pisah ranjang, dan
memukul istrinya yang nusyuz. Sebaliknya bila suami yang berbuat
nusyuz terhadap istrinya, jangankan memukul, sekedar menasehati
suaminya saja seorang istri tidak dianjurkan. Yang dianjurkan untuk
38 Sayuti Thallib, Hukum Kekeluargaan, h. 94 39 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet
VI (Jakarta : Kencana, 2012) h. 398
37
dilakukan istri justru mengalah dan atau menoleransi sikap nusyuz yang
dilakukan suaminya terhadap istrinya.40
Imam Malik memberikan ulasan tentang cara menanggulangi suami
yang nusyuz oleh istri yang sangat ramah terhadap gender, yaitu:
permulaan dengan cara musyawarah yang dilakukan istri dan suami untuk
menyelesaikan suami nusyuz. Apabila dengan jalan musyawarah tetap
tidak tercapai perdamaian (antara suami istri yang bertikai), maka seorang
istri dibenarkan mengadukan (tindakan nusyuz) suaminya kepada hakim
(atau ke pengadilan). Bila pengaduannya diterima, selanjutnya hakim
yang akan memberikan nasihat kepada suaminya yang berbuat nusyuz
terhadapnya. Bila nasihat tidak mempan, maka hakim dapat melarang istri
untuk menaati suaminya yang nusyuz, dengan tetap mewajibkan kepada
suaminya untuk memberikan nafkah kepadanya. Bila nasehat hakim tidak
efektif untuk menyadarkan sang suami yang berbuat nusyuz, maka hakim
juga dapat memaksa suami pisah ranjang dengan istrinya atau untuk
sementara waktu hakim juga dapat meminta istri untuk tidak tinggal
dalam satu rumah dengan suaminya yang nusyuz. Jika dengan kedua cara
yang disebutkan terakhir ini, ternyata sang suami masih tetap belum dapat
menyadari kekeliruannya, maka sebagai alternatif ketiga, hakim dapat
menyiapkan algojo untuk melakukan pemukulan terhadap suami yang
berbuat nusyuz terhadap istrinya. Bila setelah dilakukan pemukulan
ternyata sang suami yang berbuat nusyuz terhadap istrinya masih belum
40 Mujar Ibnu Syarif, “Pemukulan Istri Terhadap Suaminya Ketika Nusyuz Menurut Perspektif Hukum Islam”, Ahkam IX, no. 2 (September 2007): h. 120-121
38
juga memperbaiki sikapnya, maka hakim dapat memutuskan ikatan
perkawinan antara keduanya, jika sang istri menghendakinya. Pendapat
Imam Malik tersebut seimbang dengan sikap yang harus diambil suami
untuk menanggulangi nusyuz istrinya. Bedanya, untuk kasus nusyuz
suami, ketiga penyelesaian nusyuznya, yakni menasehati, meminta pisah
ranjang dan pemukulan dilakukan oleh hakim, bukan langsung oleh istri
yang suaminya berbuat nusyuz kepadanya.41
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
menanggulangi nusyuznya suami dengan diadakannya perjanjian yang
membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan
istrinya, diantaranya dengan kesedian istri untuk dikurangi hak materi
dalam bentuk nafkah atau kewajiban nonmateri yang lainnya.42
D. Faktor-faktor Istri melakukan Nusyuz
Mengarungi bahtera rumah tangga pasti memiliki cobaan dan rintangan. Di
mana akan munculnya kedurhakaan atau tidak melaksanakan hak dan
kewajiban sebagai istri atau suami. Dalam hal ini dapat dikatan sebagai
nusyuz. Nusyuz ini ditimbulkan oleh beberapa sebab, bisa jadi sebabnya datang dari
pihak istri atau dari pihak suami, pihak kerabat atau orang luar, atau karena
faktor lain. Faktor yang menyebabkan istri melakukan nusyuz adalah:43
a. Persoalan Ekonomi
41 Mujar Ibnu Syarif, “Pemukulan Istri Terhadap Suaminya Ketika Nusyuz Menurut Perspektif Hukum Islam”, Ahkam IX, no. 2 (September 2007): h. 120-121
42 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 194 43https://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/04/nusyuz-petaka-dalam rumah-tangga/,
diakses jam 05:16, tanggal 7 Mei 2015
39
Persoalan ekonomi adalah suatu hal yang sangat urgent dalam rumah
tangga. Sebagai kepala rumah tangga suami harus dapat memenuhi biaya
hidup istri, yakni belanja sandang dan papan. Perhiasan ataupun
kebutuhan dandan istri. Dengan begitu istri dapat melakukan
kewajibannya dalam mengurus rumah tangga. Namun terkadang istri
tidak mensyukuri ats penghasilan suami. Ketika suami telah berusaha
maksimal, istri tetap menuntut lebih dari kemampuan suami.44
b. Faktor seksual
Salah satu penyebab istri bersikap acuh terhadap suami ialah ketika istri
mengetahui bahwa suaminya menderita impotensi. Impotensi adalah cacat
seksual yang mengakibatkan seorang suami tidak mempunyai potensi
untuk melakukan hubungan seksual. Atau dapat juga dengan sibuknya
sang suami dalam bekerja sehingga istri tidak diperhatikan kebutuhan
seksualnya. Suami yang bekerja berlebihan mengakibatkan energy dan
minat terhadap seks menjadi menurun, sebagai akibatnya kebutuhan
libido istri tidak terpenuhi yang dapat berdampak istri mencari kepuasaan
diluar. 45
c. Seorang istri sibuk berkarier di luar rumah hingga menelantarkan urusan
rumah tangganya, bahkan suami pun tersia-siakan.
d. Istri tidak mengetahui bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga,
tidak mengerti hak dan kewajibannya terhadap suami.
44 Uwes Hujjatul Islam, Penyelesaian Perceraian Karena Istri Nusyuz: Studi Pada Pengadilan Agama Serang) (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 53
45 Uwes Hujjatul Islam, Penyelesaian Perceraian Karena Istri Nusyuz: Studi Pada Pengadilan Agama Serang), h. 53
40
e. Khayalan seorang wanita sebelum menjalani kehidupan rumah tangga.
Dalam bayangannya pernikahan itu ibarat taman bunga yang selalu indah,
harum semerbak, didampingi seorang kekasih yang selalu sejalan, penuh
cinta dan pengertian. Namun ketika ia memasuki kehidupan rumah
tangga, ia tidak mendapatkan apa yang dia khayalkan sebelumnya hingga
kekecewaan merebak di hatinya.
f. Nusyuz juga dapat disebabkan oleh sifat dan sikap istri yang selalu
menyusahkan suaminya, suka membuat gaduh, suka bertengkar baik itu
ada sebabnya maupun tidak.46
46 Husni Mubarok, Nusyuz (Studi Komparatif antara Imam As-Syafii dan Amina Wadud)
(Skripsi S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h. 27
41
BAB III
NAFKAH IDDAH
A. Pengertian Nafkah Iddah
Nafkah iddah berasal dari dua kata yaitu nafkah dan iddah. Nafkah berasal
dari bahasa Arab ) نفقة –ینفق –نفق( nafaqa-yanfuqu-nafaqatan yang berarti
biaya, belanja, pengeluaran uang.1 Nafkah berarti apa yang diberikan suami
pada istri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan
sejenisnya.2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nafkah adalah belanja
untuk hidup yang dilakukan oleh suami.3 Nafkah dalam hal ini adalah
penyediaan kebutuhan istri seperti makanan, tempat tinggal, pembantu, dan
obat-abatan, meskipun sang istri kaya. Sebab nafkah merupakan suatu yang
wajib bagi suami kepada istri.4 Sedangkan iddah berasal dari bahasa Arab
yang diambil dari kata “al add” dan ‘al ihsha” yang berarti hitungan. Disebut
demikian karena iddah pada umumnya mengandung jumlah quru’ dan bulan.5
Dapat berarti juga sesuatu yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya
dalam beberapa hari dan masa.6 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang berpisah dengan suami,
1 Ahmad Warso Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1449 2 Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah Jilid 3, diterjemahkan oleh
Khairul Amru Harahap, Faisal Saleh, Editor Besus Hidayat Amin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). h. 314
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 947
4 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 3, dterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta: PT Tinta Abadi Gemilang, 2013). h. 430
5 Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, h. 499 6 Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, diterjemahkan
oleh Nur Khozin, (Jakarta: Amzah, 2012). h. 348
42
baik karena ditalak maupun bercerai mati.7 Ringkasnya, iddah adalah istilah
untuk masa-masa bagi seorang perempuan menunggu dan mencegah dirinya
dari menikah setelah wafat sang suami atau setelah suaminya menceraikan
dirinya.8 Dari pengertian kata di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nafkah
iddah adalah pemberian atau penyediaan kebutuhan istri dalam masa
menunggu dan mencegah dirinya dari menikah setelah wafatnya sang suami
atau setelah suaminya menceraikan dirinya. Dalam masa menunggu tersebut
maka istri (mantan istri) mendapatkan nafkah iddah selama dalam iddahnya.
B. Dasar Hukum Nafkah Iddah
1. Al - Quran
Wanita yang menjalani iddah talak raj’i tetap dianggap sebagai
istri, sebab kepemilikan nikah tetap ada. Karena itu kalangan ahli ilmu
menyepakati kewajiban memenuhi hal-hal yang dibutuhkan bagi
kelangsungan hidup mantan istri. Seperti nafkah, tempat tinggal, dan
sandang. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. At-thalaq [65]: 6
من حیث سكنتم من وجدكم ولا تضاروھن لتضیقوا علیھن وإن كن أولت حمل أسكنوھن وفبمعر ینكماتوھن أجورھن وأتمروا ب فأنفقوا علیھن حتى یضعن حملھن فإن أرضعن لكم ف
٦أخرى ۥوإن تعاسرتم فسترضع لھArtinya :” Temapatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hinga mereka
bersalin, kemudian bila mereka menyusukan anak-anak mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka imblannya, dan
7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 516 8 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 4, h. 1
43
musyawarahkanlah diantara kamu sekalian (segala sesuatu)
dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain dapat menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS.
At-Thalaq[65]: 6)
ٱللھلا یكلف ٱللھفلینفق مما ءاتىھ ۥومن قدر علیھ رزقھ ۦمن سعتھ ذو سعة لینفق
٧ ایسر بعد عسر ٱللھنفسا إلا ما ءاتىھا سیجعل
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(QS.
At-thalaq [65]: 7)
QS. At-Taubah [9]: 121
أحسن ما ٱللھولا یقطعون وادیا إلا كتب لھم لیجزیھم ولا كبیرة صغیرة ینفقون نفقة ولا
١٢١كانوا یعملون
Artinya: “Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah,
melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena
Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”.(QS. At-Taubah [9]:
121)
QS. Al-Baqarah [2]: 233
٢٣٣لا تكلف نفس إلا وسعھا ٱلمعروفرزقھن وكسوتھن ب ۥلھ ٱلمولودوعلى
Artinya:”dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang makruf. Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
44
kemampuan dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
meyempitkan (hati) mereka ” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)
2. Hadist Nabi
Hadist Nabi yang disampaikan oleh Fatimah binti Qais, bahwasannya
nabi bersabda,
9انما النفقة والسكني للمرأة اذا كان لزوجھا علیھا الرجعة
Artinya:”Sesungguhnya nafakah dan tempat tinggal adalah hak istri jika
suaminya memiliki hak rujuk atasnya.
Hadist riwayat Jabir yang mendeskripsikan haji Nabi SAW yang
memuat sabda beliau:
فاتقوا اهللا في النساء فانكم اخذ تموھن بكلمة اهللا واستحللتم فروجھن بكلمة اهللا لكم علیھن ان ال یوطئن فرشكم احدا تكرھو نھ فان فعلن ذلك فاضربوھن ضربا غیر مبرح ولھن علیكم رزقھن
10كسوتھن بالمعروفو Artinya:”Bertakwalah kalian kepada Allah ketika menggauli perempuan.
Sungguh, kalian telah mengambil mereka dengan kalimat Allah dan
menhalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas
mereka adalah agar mereka tidak mengizinkan seorangpun yang tidak
kalian sukai untuk memasuki rumah kalian. Apabila mereka melakukan itu
maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan hak
mereka atas kalian adalah nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut”. (HR. Muslim)
Hadist di atas di samping menjelaskan bahwa istri adalah amanah dari
Allah di tangan suami, juga menjelaskan kewajiban suami untuk memelihara
9 An-Nasai, Sunan An-Nasai, Jilid 6 (libanon, Beyrouth- Dar El-fikr, 2005) h. 144-445 10 Imam Abu Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusyairi Al-Naisyaburi, Shahih Muslim, h.
301
45
amanah itu dengan cara memelihara dan memberikan nafkah kepadanya
dalam bentuk makanan dan pakaiannya.11
Ayat dan hadist di atas mengatakan bahwa suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada istrinya dengan cara yang patut. Para ulama
sepakat bahwa nafkah wajib diberikan suami kepada istrinya yang merdeka
dan tidak berbuat nusyuz (durhaka). Mereka berbeda pendapat mengenai istri
yang berbuat nusyuz. Dalam hal istri berbuat nusyuz ulama berpandangan
yaitu:12
1. Jumhur ulama sepakat bahwa istri yang berbuat nusyuz tidak wajib diberi
nafkah.
2. Sedangkan segolongan ulama lain berpendapat bahwa istri yang berbuat
nusyuz wajib diberi nafkah.
Penyebab perbedaan ini karena bertentangannya hadis Nabi saw. yang
umum dengan maksud yang dapat dipahami dari pemberian nafkah itu. Sabda
nabi yang bermakna umum yaitu: “Kalian mempunyai kewajiban kepada
istri-istri kalian untuk memberi mereka makanan dan pakaian dengn
carayang patut,” menetapkan bahwa hak istri, baik yang berbuat nusyuz
maupun yang tidak berbuat nusyuz adalah sama dalam hal mendapatkan
nafkah. Adapaun yang dapat dipahami dari pernyataan nafkah diberikan
11Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Hukum Islam dan Kedudukan Perempuan Dalam
Perkawinan dan Perceraian, (Jakarta: Gaung Persada-Press, 2013), h. 146 12 Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid jilid 2, diterjemahkan oleh
Mad’ Ali, (Bandung: trigenda karya, 1996), h. 146
46
kepada istri agar dapat istimta (bersenang-senang dengannya) menetapkan
tidak ada kewajiban memberikan nafkah kepada istri yang berbuat nusyuz.13
Menurut pendapat umum yang ada sampai saat ini dalam lingkungan ahli
fiqh Islam bahwa biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi
tanggungan suaminya lagi. Pendapat itu yang banyak pengikutnya terutama
lagi, kalau dalam perceraian itu si istri yang diangap bersalah, sehingga suami
menjatuhkan talak sebab nusyuznya istri, sehingga istri tidak mendapatkan
biaya nafkah selama masa iddah tersebut.14
3. Dasar Hukum Perdata
1. Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf cyang
berbunyi: “Pengadilan Agama dapat mewajibkan kepada mantan
suami untuk memberikan biaya kehidupan dan atau untuk menentukan
suatu kewajiban bagi mantan suami”.15
2. Pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.16
13 Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid jilid 2, diterjemahkan oleh
Mad’ Ali, (Bandung: trigenda karya, 1996), h. 146 14 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 131 15 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h. 530-531 16 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan
Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, h. 600
47
3. Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Bekas istri
berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila
nusyuz”.
C. Nafkah sebelum Perceraiaan
Terselenggaranya akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban
antara suami istri. Nafkah terjadi ketika akad nikah selesai secara sah. Hak
dan kewajiban antara suami istri timbul tanpa dapat dihindari, akad nikah
secara sah menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Suami istri dituntut
untuk menunaikan kewajibannya masing-masing. Kelalaian diantara salah
satu pihak dalam menunaikan kewajibannya, berarti menelantarkan hak pihak
yang lain, begitulah hubungan suami istri sejak terjadinya akad perkawinan.17
Diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah kewajiban
memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian (kiswah), maupun tempat
tinggal bersama.18 Berkenaan dengan nafkah yang berkaitan dengan hak istri
dalam pernikahan. Hak istri dalam pernikahan terdiri dari dua macam.
Pertama hak finansial, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak non finansial,
yaitu seperti hak untuk diperlakukan secara adil dan hak untuk tidak
disengsarakan. Dalam kaitan dengan pembahasan saat ini hanya berkenaan
dengan hak finansial dan terfokus dengan nafkah yang diberikan suami
terhadap istri.19
17Dedi Supriadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009) h.76 18 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Press, 2010), h. 163 19 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 3, h. 412
48
Konsepsi mengenai masalah kewajiban suami istri dapat dilihat dalam
Kompilasi Hukum Islam bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri. Bab ini
menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami istri telah ditentukan dan
diberikan kepada keduanya.20 Pemberian nafkah kepada istri dari suami
merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istrinya.
Kewajiban ini terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80 dan
81, yaitu:
1. Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2. Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
4. sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : nafkah, kiswah dan
tempat kediaman bagi isteri; biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi isteri dan anak; biaya pendididkan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari
isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri
nusyuz.
Pasal 81
20Dedi Supriadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam, h.76
49
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya
atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
Pasal-pasal di atas menguraikan bahwa suami sebagai kepala rumah
tangga, adalah nahkoda dalam menjalankan rumah tangganya. Ia memiliki
hak dan kewajiban begitu pula istri. Secara umum, hak nafakah adalah hak
mutlak suami yang harus diberikan kepada istri baik sandang, pangan atau
pun papan. Dalam arti lain, suami memiliki hak untuk memberikan biaya
rumah tangga dan semua keperluan istri dan anak dan berbagai keperluan
lainnya. Lalai dalam memberikan nafkah memberikan pengaruh hukum bagi
keduanya. Dalam hal ini, hak nafkah atas suami kepada istrinya merupakan
50
suatu tanggung jawab penuh selama istri setia atau tidak melakukan hal-hal
yang dilarang oleh agama dan tanpa seizin suami (nusyuz).21
Mengenai pemberian nafkah yang terjadi selama pernikahan akan dibahas
tentang:
1. Waktu Pemberian Nafkah
Waktu pemberian nafkah kepada istri ulama berbeda pendapat yaitu:22
a. Malik berpendapat bahwa mencari nafkah tidak diwajibkan kepada
seorang suami kecuali setelah dia mencampuri istrinya atau mengaku
telah mencampurinya dan suami telah baligh.
b. Abu Hanifah dan Syafii berpendapat bahwa suami yang belum baligh
pun wajib memberi nafkah apabila istrinya sudah baligh. Adapun jika
suami sudah baligh sementara istri belum baligh, Syafi’I mempunyai
dua pendapat, yaitu:
1) Sama dengan pendapat Malik di atas
2) Istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya secara mutlak,
baik sudah dicampuri maupun belum.
Penyebab perbedaan pendapat di antara mereka ialah apakah nafkah
itu merupakan tujuan istimta (bolehnya bersenang-senang dengan
istri) atau merupakan tujuan bahwa istri sudah terikat oleh suaminya,
seperti suaminya berpergian atau sedang sakit.
21 Dedi Supriadi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam, h. 78 22 Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, h. 144-145
51
2. Penyebab Pemberian Nafkah
Syariat mewajibkan memberikan nafkah bagi istri atas suami karena
berdasarkan akad pernikahan yang sah. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya
Al Fiqh al Islam Wa Adilatuhu mengemukakan penyebab pemberian
nafkah kepada istri, dalam bukunya ulama mengalami perbedaan
pendapat, diantaranya:23
a. Kalangan Hanafiyah berpendat bahwa yang menjadi alasan mengapa
seorang suami diwajibkan menafkahi istrinya sebagai imbalan dari
hak suami untuk membatasi kebebasan gerak-gerik si istri, dan pihak
istri memberikan loyalitasnya kepada ketentuan suami. Begitu akad
nikah diucapkan secara sah kebebasan seorang istri menjadi terbatas
oleh beberapa ketentuan sebagai seorang istri. Istri tidak lagi
dibolehkan secara bebas bepergian ke mana-mana atau melakukan
sesuatu kebijakan kecuali dengan lebih dahulu berkonsultasi dengan
pihak suami. Atas dasar itu, maka istri berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya. Sebagaimana kaidah fiqh mengatakan:
“setiap orang yang dibatasi kewenangan dan diambil manfaatnya
oleh suatu pihak, maka nafkahnya harus dijamin oleh pihak yang
membatasi dan mengambil manfaatnya itu”.
Oleh karena itu yang menjadi penyebab wajibnya nafkah atas
suami untuk istrinya adalah kewenangan suami untuk membatasi
ruang gerak istri dan kerelaan istri untuk memberikan loyalitasnya,
23 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-
Khatani dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 111
52
maka kewajiban memberikan nafkah tetap dibebankan kepada suami
untuk istri selama hal yang menjadi sebabnya itu masih dimilikinya.
Atas dasar itu suami wajib menafkahi istrinya yang masih dalam
iddah, baik disebabkan oleh cerai talak. Maka hak nafkah menjadi
gugur apabila istri tidak lagi memberikan loyalitasya kepada suami,
dalam artian sudah tidak lagi mematuhi atau membangkang kepada
suami. Yang sering dikatakan dengan istilah nusyuz. Jika istri nusyuz
maka akan menyebabkan hilangnya nafkah atas diri istri.24
b. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
berpendapat bahwa alasan mengapa pihak suami diwajibkan
menafkahi istrinya adalah karena adanya hubungan timbal balik antara
suami istri. Atau dengan kata lain yang menjadi sebab adalah posisi
suami sebagai suami dan istri sebagai istri, termasuk kewajiban istri
untuk menyerahkan dirinya kepada suami secara sukarela untuk
diperlakukan sebagai istri. Hubungan suami istri telah diikat dengan
tali perkawinan sah di samping mempunyai konsekuensi di mana istri
wajib bersedia menyerahkan dirinya kepada suaminya untuk
diperlakukan sebagai istrinya.
3. Syarat-syarat wajib Nafkah
Beberapa persyaratan agar nafkah berhak untuk didapatkan oleh istri
dari suaminya, yaitu:25
24Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Hukum Islam dan Kedudukan Perempuan Dalam
Perkawinan Dan Perceraian, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 149 25 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, h. 432
53
a. Akad pernikahan yang dilakukan adalah sah (legal). Jika tidak maka
suami tidak wajib menafkahinya, dan istri tidak bisa dianggap sebagai
pengabdi pada suami sebab ia tidak bisa tinggal serumah dengan
suami mengingat akad nikahnya tidak sah, sehingga konsekuensinya
ia pun tidak berhak menerima nafkah.
b. Istri menyerahkan dirinya kepada suami.
c. Istri memungkinkan suami untuk menikmatinya. Dalam artian istri
bukan anak kecil atau memiliki halangan yang tidak memungkinkan
untuk disenggamainya.
d. Istri tidak menolak untuk berpindah ke tempat mana pun yang
dikehendaki oleh suami.
e. Kondisi keuangan suami baik. seandainya ia sedang mengalami
kesulitan ekonomi dan tidak mampu memberi nafkah, maka ia tidak
wajib memberi nafkah selama krisis.26 Hal ini berdasarkan firman
Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemempuannya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.”(Qs. At-
Thalaq:7)
f. Istri setia sepenuhnya pada suami dan tidak membangkang. Jika istri
sudah enggan menaati suami, maka tidak ada kewajiban nafkah
untuknya.27
26 Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah Jilid 3, h. 317 27 Abu malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah Jilid 3, h. 317
54
Apabila salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka nafkah
tidak wajib untuk diberikan. Untuk itu, maka semua persyaratan yang
disebutkan di atas harus terpenuhi sehingga nafkah dapat atau berhak
untuk diberikan suami atas istrinya.
4. Ukuran Nafkah
Adapun mengenai ukuran nafkah yang wajib diberikan terdapat
beberapa pendapat, yaitu:28
a. Malik berpendapat bahwa ukuran nafkah tidak ditentukan di dalam
syara’ hal itu bergantung pada ukuran yang dituntut oleh kondisi
suami istri. Ukuran itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
kedudukan, waktu dan kosndisi. Pendapat Malik ini disepakati pula
oleh Abu Hanifah.
b. Syafi’i berpendapat bahwa ukuran minimal pemberian nafkah itu
sudah ditentukan, yaitu suami yang kaya wajib memberikan nafkah 2
mud, bagi suami yang menengah wajib memberikan nafkah 1ଵଶ mud,
dan bagi suami yang miskin wajib memberikan nafkah 1 mud.
5. Gugurnya Nafkah
Nafkah untuk istri dapat gugur atau hilang disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu:29
a. Lewatnya masa tanpa ada keputusan Mahkamah atau saling
merelakan
28 Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, h. 145 29 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-
Khatani dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 104-106
55
Menurut mazhab Hanafi, nafkah istri gugur jika masanya lewat
setelah ditetapkan kewajibannya sebelum nafkah itu menjadi utang
dalam tanggungan. Tetapi, nafkah itu tidak gugur jika lewat masanya
setelah ditetapkan mahkamah dan menjadi utang. Mazhab Malikiyah
dan mazhab lainnya berpendapat bahwa nafkah istri tidak gugur
dengan dengan lewatnya masa dan sang suami kembali memberi
nafkah kepada istri dengan nafkah yang baru.30
b. Pembebasan Nafkah yang Telah Lewat
Pembebasan atas nafkah yang telah lewat termasuk salah satu sebab
yang menggugurkan utang wajib. Akan tetapi, ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa membebaskan atau memberikan nafkah yang akan
datang, karena nafkah istri itu wajib diberikan secara berkala sesuai
waktu dan kebutuhan.
c. Wafatnya salah satu dari Suami Istri
Jika seorang lelaki meninggal dunia sebelum memberikan nafkah,
istrinya tidak berhak atas nafkah tersebut. Dan jika yang meninggal
istri, ahli warisnya juga tidak berhak mengambil nafkahnya.
d. Nusyuz
Nusyuz yaitu maksiat yang dilakukan istri atas hak suaminya dalam
hal-hal yang mewajibkannya melalui akad nikah. Nafkah istri
dianggap gugur atau hilang jika ia melakukan nusyuz, meski dengan
menolak bersentuhan tanpa uzur, yang menjadi pembukaan untuk
30 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, h. 105
56
melakukan senggama. Karena, nafkah itu sebagai pengganti
kesenangan yang diperoleh. Jika istri menolak disentuh maka ia tidak
berhak untuk mendapat nafkah dari suaminya. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa nafkah yang gugur karena nusyuz dan mati adalah
nafkah yang wajib, bukan nafkah yang diutangkan menurut pendapat
yang ashah.31
Adapun jika istri keluar rumah tanpa izin suami, atau bepergian tanpa
izin, atau melakukan ibadah haji tanpa izin maka itu juga termasuk
nusyuz, kecuali dalam keadaan darurat atau uzur. Adapun jika
keluarnya istri dari rumah itu atas izin suaminya maka ulama
syafiiyah membuat perincian sebagai berikut: jika perginya itu
bersama suami atau karena memenuhi kebutuhan suami maka
nafkahnya tidak gugur. Namun jika untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri maka nafkahnya menurut qaul yang azhar. Ulama Hanabilah
berpendapat bahwa seorang istri tidak berhak mendapatkan nafkah
jika ia keluar tanpa izin suaminya, baik keluarnya untuk keperluan
sendiri, berwisata, atau berziarah meski dengan izin suami, atau dalam
menjalani hukuman buang, atau ditahan meski karena zhalim, atau
puasa kafarat, atau mengqadha puasa Ramadhan yang waktunya msih
luas, atau puasa secara mutlak, atau melakukan ibadah haji baik
sunnah maupun nadzar dan tanpa izin dari suami. Akan tetapi,
31 Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adilatuhu, h. 105-106
57
menurut Hanabilah dan Malikiyah, nafkahnya tidak gugur jika ia
menjalankan ibadah haji wajib.
D. Ketentuan Pemberian Nafkah Iddah
Para ulama sepakat bawa wanita atau perempuan yang berada dalam masa
iddah talak raj’i berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suami
yang mentalaknya. Meraka juga sepakat menyatakan bahwa perempuan hamil
yang dicerai suaminya, baik dengan talak raj’i maupun talak bain, berhak
mendapatkan nafkah dari suaminya.32
Nafkah dari seorang suami tidak hanya sewaktu dia masih menjadi istri
sahnya dan terhadap anak-anak dari istri itu, suami wajib menafkahinya
bahkan pada saat perceraian. Terkadang ada seorang mantan suami yang
memperlakukan istri dan membuatnya sengsara setelah talak pertama dan
ketika ia menjalani masa iddah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus memberi
nafkah yang yang seimbang, sesuai dengan standar hidup suami.33
Perempuan yang tetap diberi nafkah pada masa iddah terdapat pada
perempuan yang sedang beriddah dari talak raj’i dan perempuan yang sedang
beriddah dalam keadaan hamil berhak mendapatkan tempat tinggal dan
nafkah. Sedangkan para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan
32 Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Cet. V, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) h. 201 33 Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Syari’ah I),
diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996) h. 372-373
58
perempuan yang dalam iddah talak bain.34 Berkenaan dengan perempuan
yang ditalak raj’i sesuai dengan firman Allah.
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu…..”(Qs. At-Thalaq: 6)
Adapun perempuan yang dalam keadaan iddah akibat talak ba’in, para
ulama berbeda pendapat, jika perempuan yang ditalak bain tidak dalam
keadaan hamil, yaitu:35
a. Dia berhak mendapatkan tempat tinggal dan ia tidak berhak mendapatkan
nafkah. Hal ini merupakan pendapat Malik dan Syafi’i, mereka
berlandaskan dengan firman Allah,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuannmu.”(Qs. At-Thalaq: 6)
b. Dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Hal ini merupakan
pendapat Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, ats-Tsauri, dan para
ulama mazhab Hanafi. Mereka berdasarkan atas keumuman firman
Allah, yaitu:
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuannmu.”(Qs. At-Thalaq: 6)
Nash yang yang menyebutan kewajiban tempat tinggal, dan kapan saja
tempat tinggal wajib secara syar’i, maka nafkah wajib pula karena nafkah
34 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga, h. 358 35 Sayid Sabiq, FIqh Sunnah Jilid 3, h. 447
59
mengikuti tempat tinggal bagi istri yang di talak raj’i, istri yang sedang hamil
dan istri yang ditalak bain.
Pendapat yang dikemukakan para ulama tersebut sejalan dengan ketentuan
nafkah iddah yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
termuat dalam pasal 149 huruf b yaitu:36
“Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama massa iddah, kecuali
bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil.”
pasal 152
“Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali
bila ia nusyuz.”
Ketentuan di atas yang disebutkan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menjalaskan bahwa nafkah iddah berhak untuk istri yang dicerai talak raj’i
dan perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil.
Ketentuan nafkah iddah itu akan hilang jika istri melakukan nusyuz, yaitu
istri membangkan atau durhaka kepada suaminya. Tolak ukur mengenai istri
yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak
mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa
alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar
meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga
36 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 186
60
sang suami tidak menyetujuinya.37 Maka terjadinya nusyuz istri
mengharamkannya dari hak nafkah dalam pembelanjaan-pembelajaan yang
berlaku antara suami dan pemanfaatan dengan istri.38 Maka dengan demikian
istri yang dalam keadaan iddah tidak berhak mendapatkan nafkah dari sang
suami, baik itu berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal. Namun
ulama berbeda pendapat berkenaan dengan batasan nusyuz istri yang
mengakibatkan gugurnya nafkah, yaitu:39
Hanafi berpendapat manakala istri mengeram dirinya dalam rumah
suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya. Maka dia massih
disebut patuh, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara’ yang
benar. Penolakannya yang seperti itu, sekalipun haram, tetap tidak
menggugurkan haknya atas nafkah. Bagi Hanafi, yang menjadi sebab
keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah beradanya wanita tersebut
di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada
hubungannya dengan kewajiban nafkah. Namun, apabila istri meninggalkan
rumah tanpa izin suami, atau menolak tinggal di rumah (suami) yang layak
baginya, maka dianggap istri nusyuz dan menurut kesepakatan seluruh
mazhab, dia tidak berhak atas nafkah. Hanya saja Syafii dan Hambali
menambahkan bahwa, apabila istri keluar rumah demi kepentingan suami,
maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan untuk
kepentingan suami, sekalipun dengan izinnya, gugurlah hak atas nafkahnya.
37 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) h. 55 38 Ali Yusuf As-subki, Fiqh Keluarga, h. 187 39 Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali,
Penerjemah Masykur A.B, Afif Muhamad, Idrus Al-Kaff, Cet. 27 (Jakarta: Lentera, 2012), h. 402-404
61
Syafii dan Hanafi menambahakan walaupun istri berpergian dalam rangka
menunaikan ibadah haji wajib maka hak nafkahnya menjadi gugur,
sedangkan menurut Imamiyah dan Hambali menyatakan tidak gugur.40
Demikianlah perbedaan pendapat para fuqaha mengenai batasan nusyuz yang
menyebabkan istri tidak mendapatkan nafkah atau gugurnya nafkah dari
suami. Sedangkan menurut penulis jika istri keluar rumah tanpa izin dari
suaminya namun perginya tersebut untuk kepentingan suami maka istri tidak
dianggap nusyuz dan berhak mendapatkan nafkah iddah.
40 Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, h.
402-404
62
BAB IV
Analisa Putusan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Slawi
No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slawi
A. Profil Pengadilan Agama Slawi
1. Lokasi dan Sejarah1
Pengadilan Agama Slawi termasuk instansi yang relatif masih
muda karena baru dibentuk pada tahun 1987, beralamatkan di Jalan Gajah
Mada No. 34. Diresmikan pada hari Kamis tanggal 2 Juli 1987 M atau 6
Dzulqoidah 1407 H dan mulai melaksanakan kegiatannya pada tanggal 1
Nopember 1987. Sebelumnya para pencari keadilan di Kabupaten Tegal
dilayani oleh Pengadilan Agama Tegal yang berkedudukan di Tegal dan
saat itu wilayah hukumnya meliputi, Kabupaten dan Kotamadya Tegal.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Nomor : 207 Tahun
1986 Jo Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1987 dan
diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Juli 1987 M/6 Dzulqo’dah 1407 H.
Mulai kegiatan tanggal 1 Nopember 1987. Dengan demikian maka baru
sejak 1 Nopember 1987, para pencari keadilan di Kabupaten Tegal
dilayani oleh Pengadilan Agama Slawi.
Sejarah dibentuknya Pengadilan Agama Slawi tidak terlepas dari
sejarah dipecahnya Wilayah Tegal menjadi 2 (dua) Wilayah
1 http://www.pa-
slawi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=51&Itemid=66
63
Pemerintahan, yaitu Wilayah Pemerintahan Kabupaten Tegal dan
Wilayah Pemerintahan Kotamadya Tegal.
Sebelum dipecah menjadi dua wilayah Pemerintahan , Ibu Kota
Kabupaten Tegal adalah di Kota Tegal sehingga hampir semua Kantor
Tingkat Kabupaten bertempat di Kota Tegal, termasuk Kantor Pengadilan
Agama Tegal yang wilayah Yuridiksinya meliputi wilayah Kabupaten
Tegal dan Wilayah Kota Madya Tegal.
Selanjutnya berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 2 tahun
1984 Ibu Kota Pemerintahan Dati II Tegal yang semula berasal di Kota
Tegal (wilayah Kota Madya) dipindahkan ke Kota Slawi (wilayah
Kabupaten) termasuk kantor-kantor tingkat Kabupaten, kecuali Kantor
Pengadilan Agama Tegal, sehingga para justiabelen yang berdomisili di
Wilayah Kabupaten Dati II Tegal mengajukan perkaranya ke Pengadilan
Agama Slawi yang diresmikan berdirinya pada tanggal 2 Juli 1987 atau
tanggal 6 Dzulqoidah 1407 Hijriyah. Pengadilan Agama Slawi mulai
kegiatannya pada tanggal 1 Nopember 1987 dengan hanya didukung oleh
6 personil yang terdir dari :
1) H.CHUMAIDI ZA, SH (Hakim/Ketua)
2) Drs. A NAJIB UMAR (Panitera Kepala)
3) Drs. MASYKURIN HAMID
4) Drs. MUHAMMAD MA’MUN
5) BAEDOWI, BA
6) ARWANI, BA
64
2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Slawi
Struktur organisasi Pengadilan Agama Slawi saat ini, meliputi:
a. Ketua : Drs. Masthur Huda, SH., MH
b. Wakil Ketua : Drs. Mohamad Moenawar Subkhi
c. Hakim-hakim : 1. Drs. Khaerun
2. Drs. Nursidik, MH
3. Drs. Fahrudin, MH
4. Drs. Ahmad Faiz, SH., M.Si
5. Drs. Suharto, MH
6. Drs. Mahsun
7. Drs. H. Subandi Wiyono, SH
d. Panitera/Sekretaris : H. Machyat, S. Ag., MH
e. Wakil Panitera : Agus Hirsyam, SH
f. Wakil Sekretaris : Hj. Nur Urdimatiningsih, SH
g. Panitera Muda Permohonan : Sobirin, BA
h. Panitera Muda Gugatan : Mundzir, SH
i. Staf Panmud Gugatan : Siti Izati, SH
j. Panitera Muda Hukum : Drs. Hj. Hunaenah
k. Sub Bagian Kepegawaian : H. Masruri
l. Sub Bagian Keuangan : -
m. Sub Bagian Umum : H. M. Subchan, SH
n. Panitera Pengganti :1. Taurotun, SH
2. Bustomi, SH
65
3. Pupri Cahyono, SH
o. Juru Sita :1. Jamroni
2. H. Masruri
3. H. M. Subchan
3. Kekuasaan atau Yuridiksi
Kekuasan disini sering disebut dengan kompetensi yang berasal dari
bahasa Belanda “Competentie” yang kadang-kadang diterjemahkan pula
dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum
Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu “kekuasaan absolut
dan “kekuasaan relatif”.2
a. Kompetensi Absolut
Kekuasaan absolut adalah kekuasaan Pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat
Pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
Pengadilan atau tingakat Pengadilan lainnya.3
Kewenangan atau tugas pokok Pengadilan Agama Tugas pokok
Pengadilan Agama Slawi sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
berbunyi sebagai berikut:
2 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 4, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 25 3 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 4, h. 27
66
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama islam di bidang:
1) Perkawinan
2) Waris
3) Wasiat
4) Hibah
5) Wakaf
6) Zakat
7) Infaq
8) Shadaqah
9) Ekonomi Syariah
Selain tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Slawi
mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
1) Fungsi mengadili, (judicial power), yaitu menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara.
2) Fungsi pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah
jajarannya, baik menyangkut teknis yudisial, administrasi
peradilan, maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan,
kepegawaian, dan pembangunan.
3) Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera Sekretaris,
67
Panitera Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah
jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
4) Fungsi Nasehat, yaitu memberikan pertimbangan dan nasehat
tentang Hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta.
5) Fungsi Administratif, yaitu menyelenggarakan administrasi
peradilan (teknis dan persidangan) dan administrasi umum
(kepegawaian, keuangan, dan umum/ perlengkapan).
b. Kompetensi Relatif
Kekuasaaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang
satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan
pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.4 Dengan
demikian kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan
tingkat banding.5
Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu.
Dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau
dalam keadaan tertentu sebagai pengecualiaan, mungkin lebih atau
mungkin kurang.6 Untuk itu Pengadilan Agama Slawi mempunyai
4Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 4, h. 25 5 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia: Naskah Buku Daras (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 218 6 A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 203
68
yuridiksi untuk mengadili terdiri dari 18 kecamatan dan terdiri dari
280 desa, di antaranya yaitu:
1) Kecamatan Warureja, meliputi 13 desa;
2) Kecamatan Suradadi, meliputi 11 desa;
3) Kecamatan Kramat, meliputi 20 desa;
4) Kecamatan Tarub, meliputi 20 desa;
5) Kecamatan Talang, meliputi 13 desa;
6) Kecamatan Dukuhturi, meliputi 18 desa;
7) Kecamatan Adiwerna, meliputi 21 desa;
8) Kecamatan Pangkah, meliputi 22 desa;
9) Kecamatan Slawi, meliputi 10 desa;
10) Kecamatan Dukuhwaru, meliputi 10 desa;
11) Kecamatan Pagerbarang, meliputi 13 desa;
12) Kecamatan Margasari, meliputi 13 desa;
13) Kecamatan Lebaksiu, meliputi 15 desa;
14) Kecamatan Bojong, meliputi 16 desa;
15) Kecamatan Jatinegara, meliputi 17 desa;
16) Kecamatan Balapulang, meliputi 20 desa;
17) Kecamatan Bumijawa, meliputi 18 desa;
18) Kecamatan Kedung Banteng, meliputi 10 desa;
B. Duduk Perkara No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw
1. Gambaran Putusan
69
Pada perkara Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw diketahui bahwa
antara pemohon dengan termohon telah melangsungkan pernikahan pada
tanggal 24 Maret 2012 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal (Kutipan Akta Nikah
Nomor : 150/67/III/2012 tanggal 26 Maret 2012. Dari perkawinan
tersebut pemohon dan termohon belum dikarunia anak. Jadi pernikahan
antara pemohon dan termohon itu adalah sah menurut hukum karena
merupakan pernikahan yang dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah.7
Sejak dua bulan setelah pernikahan atau sekitar bulan Juni 2012
kehidupan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah tidak ada
ketentraman lagi karena sering berselisih dan bertengkar karena
Termohon sebagai istri tidak bisa di atur oleh Pemohon dalam kehidupan
rumah tangga. Termohon seringkali melalaikan tanggungjawabnya
sebagai istri dan ibu rumah tangga. Semenjak hidup berumah tangga
Termohon seringkali membantah dan selalu acuh atas perintah dari
Pemohon;8
Akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut yang terus berlanjut,
kemudian sekitar bulan Desember 2013 Pemohon dengan Termohon
terjadi pisah tempat tinggal. Karena sikap Termohon yang demikian
sehingga terpaksa Pemohon kembali kerumah orang tuanya sendiri di
Desa Mindaka, Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal yang hingga saat ini
7 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 1 8 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 2
70
berjalan selama 8 bulan lebih dan selama itu pula Pemohon dengan
Termohon sudah tidak saling memperdulikan lagi.9
Kejadian di atas menuturkan bahwa antara pemohon dan termohon
sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi, sehinga keluarga yang
diidamkan menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah tidak
dapat tercapai. Pemohon merasa termohon sudah tidak ada lagi iktikad
baik untuk memertahankan rumah tangga dan tidak ada jalan terbaik
kecuali perceraian.
Alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon berkesimpulan bahwa rumah
tangga antara Pemohon dengan Termohon tidak dapat dipertahankan lagi,
oleh karenanya Pemohon mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Slawi
C.q Majlis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenan
menjatuhkan putusan sebagai berikut:10
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk
menjatuhkan talak terhadap Termohon (TERMOHON);
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
4. Mohon putusan yang seadil-adilnya
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan Termohon telah
datang menghadap sendiri di persidangan. Sesuai dengan PERMA No. 1
Tahun 2008 tentang Mediasi, Majelis Hakim berusaha mendamaikan
Pemohon dan Termohon akan tetapi tidak berhasil damai, kemudian
9 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 2 10 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 3
71
dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi oleh Drs. H. Subandi
Wiyono, S.H. Hakim Pengadilan Agama Slawi sebagai Mediator namun
gagal karena tidak tercapai kesepakatan damai, sebagaimana ternyata dari
Laporan Hasil Mediasi tanggal 29 September 2014.11
Setelah proses mediasi gagal, maka dibacakanlah surat permohonan
pemohon tersebut dalam persidangan tertutup untuk umum yang isinya
tetap dipertahankan oleh pemohon.
Pemohon juga menambahkan apabila terjadi perceraian akan
memberikan kepada termohon mut’ah kepada Termohon sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan nafkah selama masa iddah sebesar Rp.
1.500.000,- (Satu juta lima ratus ribu rupiah).12
Bahwa atas permohonan pemohon tersebut termohon telah
menyampaikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya membenarkan
seluruh dalil permohonan pemohon. Bahwa rumah tangga Pemohon dan
Termohon sudah sulit untuk dirukunkan lagi, tidak keberatan bercerai
dengan Pemohon dan Termohon menyatakan menerima pemberian
mut’ah dan nafkah iddah dari Pemohon tersebut.13
Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya Pemohon telah
mengajukan bukti tertulis berupa fotocopy Kartu Tanda Penduduk Nomor
3328141205760013, tanggal 07 Pebruari 2011 atas nama Pemohon.
11 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 3 12 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 5 13 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 3
72
Bermaterai cukup dan telah dinazegelen. Telah dicocokkan dan telah
sesuai dengan aslinya. Fotocopy Kutipan Akta Nikah Nomor
150/67/III/2012 Tanggal 24 Maret 2012 yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal. Bermaterai cukup
dan telah dinazegelen. Telah dicocokkan dan telah sesuai dengan aslinya
dalam persidangan, setelah diparaf oleh ketua Majlis lalu diberikan kode
P-1 dan P-2.14
Selain mengajukan bukti-bukti tertulis seperti surat-surat autentik.
Pemohon dan Termohon telah diperintahkan untuk memanggil saksi
dalam persidangan dari pihak keluarganya atau orang terdekat untuk
didengarkan dalam persidangan keterangannya. Untuk itu pemohon telah
menghadirkan saksi di persidangan. Saksi I, umur 43 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kabupaten Tegal.
Dalam kesaksiannya menerangkan sebagai berikut: saksi kenal dengan
Pemohon dan Termohon karena saksi Kakak Pemohon, setelah menikah,
Pemohon dan Termohon hidup bersama di rumah orang tua Termohon
dan belum dikaruniai anak; Bahwa Pemohon dan Termohon sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran namun saksi tidak tahu masalahnya, Bahwa
Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal, Pemohon pulang
ke rumah orang tua sendiri sejak Desember 2013. sampai dengan
sekarang sudah 8 bulan tidak pernah hidup bersama lagi, Bahwa saksi
14 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 4
73
sudah berusaha merukunkan Pemohon dan Termohon tetapi tidak
berhasil.15
Selanjutnya termohon juga telah menghadirkan saksi dari pihak
keluarganya, Saksi II, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan dagang,
bertempat tinggal di Kabupaten Tegal. Dalam kesaksianya menerangkan
sebagai berikut: saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi
Keponakan Termohon. Bahwa setelah menikah, Pemohon dan Termohon
hidup bersama di rumah orang tua Termohon namun belum dikaruniai
anak. Bahwa antara Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran namun masalahnya saksi tidak tahu. Bahwa Pemohon
dan Termohon sekarang sudah pisah tempat tinggal, Pemohon pulang ke
rumah orang tua sendiri sejak Desember 2013 sampai dengan sekarang
sudah 8 bulan lamanya. Bahwa saksi sudah berusaha merukunkan
Pemohon dan Termohon tetapi tidak berhasil.
Setelah medengarkan keterangan saksi tersebut, baik Pemohon dan
Termohon mencukupkan alat bukti yang telah diajukan tersebut dan
selanjutnya Pemohon menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya
tetap ingin bercerai dengan Termohon, mohon putusan dan Pemohon akan
memberikan Mut’ah sebesar 1.000.000,- (Satu juta rupiah) dan nafkah
iddah sebesar 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) sedangkan
Termohon menyampaikan kesimpulan yang intinya tidak keberatan
15 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 4-5
74
bercerai dan mohon putusan serta Termohon menerima pemberian mut’ah
dan nafkah iddah dari Pemohon Tersebut.16
2. Pertimbangan dan Amar Putusan Majlis Hakim
Berdasarkan gambaran perkara di atas, kemudian majlis hakim
memutuskan perkara ini dengan berbagai pertimbangan. Adapun
pertimbangan majlis hakim dalam memutus perkara tersebut adalah
sebagai berikut:
Sesuai dengan ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang
mediasi bahwa majlis hakim telah berupaya mendamaikan Pemohon
dengan Termohon melalui pemberian nasehat dan menganjurkan kepada
Pemohon dan Termohon agar kembali rukun dan telah memerintahkan
kepada Pemohon dan Termohon untuk mediasi terdahulu yang telah
dilaksanakan pada tanggal 29 September 2014 dengan mediator Drs. H.
Subandi Wiyono, SH., tetapi gagal.17
Permohonan Pemohon adalah perkara Cerai Talak yang diajukan
oleh Pemohon yang menikah berdasarkan hukum Islam, maka
berdasarkan Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara
tersebut termasuk dalam kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya.18
16 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 5 17 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 6 18 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 5
75
Berdasarkan bukti P.1 yang telah dicocokkan dan sesuai dengan
aslinya serta bermaterai cukup sehingga dapat dinyatakan sebagai alat
bukti yang sah, terbukti Pemohon berdomisili di RT.03 RW. 01 Desa
Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal. Sedangkan Termohon,
berdasarkan keterangan Pemohon, pengakuan Termohon dan saksi-saksi,
telah terbukti pula Termohon berdomisili di RT.01 RW. 03 Desa Mindaka
Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal, yang termasuk dalam wilayah
yurisdiksi Pengadilan Agama Slawi.19
Oleh karena Termohon berdomisili di wilayah yurisdiksi
Pengadilan Agama Slawi, maka berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009, perkara a quo termasuk dalam kewenangan
Pengadilan Agama Slawi untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya.20
Berdasarkan bukti P.2 yang telah dicocokkan dan sesuai dengan
aslinya serta bermaterai cukup sehingga dapat dinyatakan sebagai alat
bukti yang sah, terbukti Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang
masih terikat dalam perkawinan yang sah, oleh karena itu Pemohon
mempunyai kualitas (legal standing/kedudukan hukum) sebagai pihak
dalam perkara ini.21
19 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 6 20 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 6 21 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 6
76
Pemohon dan Termohon telah datang menghadap di persidangan
dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon
sesuai dengan amanat pasal 69 dan pasal 82 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, akan
tetapi tidak berhasil damai.22
Terhadap perkara ini telah pula dilakukan upaya perdamaian
melalui mediasi oleh Mediator Drs. H. Subandi Wiyono, SH. Hakim
Pengadilan Agama Slawi, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 1 tahun 2008, namun upaya tersebut gagal dan tidak dapat
menghasilkan kesepakatan damai antara Pemohon dan Termohon.
Permohonan Pemohon pada pokoknya adalah mohon agar
Pemohon diberi izin untuk menjatuhkan talak terhadap Pemohon dengan
alasan bahwa sejak bulan Juni 2012 rumah tangga Pemohon dan
Termohon sudah tidak ada ketentraman lagi karena sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran karena Termohon tidak bisa diatur dan
sering melalaikan kewajiban sebagai istri, akhirnya bulan Desember 2013
Pemohon kembali ke rumah orang tua Pemohon sendiri sampai sekarang
8 bulan lamanya antara Pemohon dan Termohon pisah rumah dan selama
itu pula antara Pemohon dan Termohon sudah tidak saling
mempedulikan;
22 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 6
77
Atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah memberikan
jawaban yang pada pokoknya mengakui dan membenarkan semua dalil
gugatan Pemohon, saksi keluarga Pemohon dan Termohon telah hadir di
persidangan dan telah memberikan keterangan pada pokoknya bahwa
pihak keluarga telah berusaha mendamaikan dan merukunkan Pemohon
dan Termohon akan tetapi tidak berhasil.23
Berdasarkan fakta terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara
Pemohon dan Termohon yang telah berlangsung sejak Juni 2012 hingga
Desember 2013, Majelis Hakim berpendapat bahwa perselisihan dan
pertengkaran yang demikian itu sudah termasuk dalam klasifikasi
perselisihan dan pertengkaran yang bersifat terus-menerus sebagaimana
yang dimaksud Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.24
Berdasarkan fakta telah terjadinya perpisahan tempat tinggal antara
Pemohon dan Termohon yang telah berlangsung sejak Desember 2013
hingga sekarang, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa antara
Pemohon dan Termohon sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga, sebagaimana yang dimaksud pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)
Kompilasi Hukum Islam.25
Adanya perselisihan yang bersifat terus menerus dan telah pisah
rumah selama 8 bulan serta tidak ada harapan bagi Pemohon dan
23 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 7 24 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 8 25 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 8
78
Termohon untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka Majelis
Hakim berkeyakinan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon telah
pecah karena telah hilang ikatan batin antara Pemohon dan Termohon.
Sehingga mempertahankan Pemohon dan Termohon tetap berada dalam
ikatan perkawinan justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi
kedua belah pihak. Oleh karena itu, menceraikan Pemohon dari
Termohon adalah lebih baik dan lebih bermanfaat.26
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon telah beralasan
hukum sesuai dengan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu
permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan sebagaimana tersebut
dalam diktum putusan ini;
Sesuai Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 149 huruf a dan b maka Pemohon harus dibebani memberikan
mut’ah dan nafkah iddah kepada Termohon. Oleh karena Pemohon telah
menyatakan kesanggupannya untuk memberi mut’ah kepada Termohon
sebesar Rp. 1.000.000,- dan nafkah iddah sebesar Rp. 1.500.00,- serta
Termohon menyatakan menerima pemberian mut’ah dan nafkah iddah
dari Pemohon tersebut, maka kesanggupan Pemohon tersebut harus
ditetapkan sebagai hukum dan akan dicantumkan dalam amar putusan ini.
26 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 8
79
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka ditetapkan amar
putusannya sebagai berikut:27
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan
talak satu roj’i terhadap Termohon (TERMOHON,) di depan sidang
Pengadilan Agama Slawi;
3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon:
3.1 Mut’ah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
3.2 Nafkah maskan dan kiswah selama masa iddah sebesaer Rp.
1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Slawi untuk
mengirimkan salinan Penetapan Ikrar Talak kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon dan
Termohon dan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan
Pemohon dan Termohon dilangsungkan untuk dicatat dalam daftar
yang disediakan untuk itu;
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 231.000,- (dua ratus tiga puluh satu ribu rupiah);
C. Analisa Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw
1. Analisa Proses Persidangan
Proses persidangan pada nomor perkara 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw
sama saja seperti perkara perdata lainnya. Langkah pertama adalah
27 Salinan Putusan Pengadilan Agama No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw, h. 9-10
80
permohonan diterima oleh Majlis Hakim. Kemudian sesuai dengan
PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi, maka antara pemohon dan
Termohon diadakan mediasi, dengan ketentuan kedua belah pihak hadir,
namun ketika mediasi gagal atau tidak dapat didamaikan maka harus
ditulis dalam berita acara bahwa mediasi gagal dan langkah selanjutnya
baru pembacaan surat permohonan oleh pemohon. Setelah pembacaan
permohonan oleh pemohon maka hakim menanyakan kepada Termohon
perihal jawaban dari termohon apa akan dijawab dengan lisan atau
tulisan. Setalah jawaban diberikan oleh termohon maka selanjutnya ada
Replik, Duplik dan pembuktian. Pada proses pembuktian ini maka para
pihak yaitu Pemohon dan Termohon harus membawa bukti dan semua
alat bukti harus disampaikan kepada Majlis Hakim. Pembuktian ini
dilakukan oleh kedua belah phak agar hakim dapat mengkonstatir semua
bukti yang ada. Setelah pembuktian maka kesimpulan dari masing-masing
pihak perihal permohanan yang telah disampaikannya. Setelah
kesimpulan disampaikan oleh kedua belah pihak kemudian proses
selanjutnya adalah pembacaan putusan.
2. Amar Putusan
Dalam putusan perkara cerai Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw
Majlis hakim telah mengabulkan permohonan pemohon untuk
menceraikan istrinya dikarenakan alasan-alasan yang telah dikemukakan
di atas. Dari semua pertimbangan dan amar putusaan yang ditetapkan
81
Majlis Hakim telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Jika melihat dari pecahnya rumah tangga antara pemohon dan
termohon itu terjadi disebabkan oleh termohon yang telah melakukan
nusyuz sehingga Pemohon mengajukan perceraian kepada Pengadilan
Agama. Jika saja alasan-alasan yang dikemukakan pemohon tidak terjadi,
maka mungkin saja rumah tangga antara Pemohon dan Termohon akan
sesuai dengan tujuan Perkawinan, yaitu sakinah, mawadah dan rahmah.
Dari beberapa pertimbangan Majlis Hakim tersebut di atas,
menurut penulis dasar pertimbangan tersebut sudah tepat untuk
mengabulkan permohonan pemohon untuk menceraikan istrinya. Namun
dalam hal lain menurut penulis pertimbangan dan amar putusan yang
menyatakan pemohon untuk memberikan nafkah iddah terhadap
termohon, karena perceraian terjadi atas permintaan pemohon tidak tepat.
Karena dari beberapa alasan yang telah dikemukakan oleh pemohon dapat
diketahui bahwa termohon telah melakukan nusyuz terhadap suami,
seperti termohon melalaikan tanggung jawab sebagai istri dan ibu rumah
tangga, termohon seringkali membantah dan selalu acuh terhadap perintah
dari pemohon. Dalam hal ini termohon melalaikan tanggung jawab istri
dan ibu rumah tangga merupakan perbuatan nusyuz istri terhadap suami.
Sebab-sebab tersebut menyababkan termohon tidak mendapatkan hak
nafkahnya selama masa iddah. Walaupun menurut pasal 84 ayat 4
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa “ketentuan tentang
82
ada atau tidknya nusyuz dari istri harus di dasarkan atas bukti yang sah”.
Artinya Majlis hakim seharusnya menggali lebih jauh alasan-alasan
kenapa pemohon menginginkan perceraian. Tidak hanya sebatas
manganggap bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sudah tidak
bisa dirukunkan kembali dan tidak perlu menggali lebih jauh.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam
kitab Fiqh Sunah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nusyuz
adalah durhaka kepada suami dan tidak menaatinya, atau menolak
ajakannya ke tempat tidur. Atau keluar dari rumah tanpa izinnya.28
Dengan demikian termohon telah melakukan nusyuz kepada suaminya,
hal ini terbukti dengan adanya pengakuan dari termohon bahwa semua
dalil gugatan dari Pemohon adalah benar dan tidak ada bantahan lagi dari
termohon. Oleh karena, pengakuan merupakan bukti yang mengikat dan
sempurna sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 174 HIR, pemohon
dan termohon masing-masing terikat dengan pengakuannya tersebut dan
terhadap fakta yang telah diakui tersebut dinyatakan telah terbukti
kebenarannya. Untuk itu, seharusnya termohon tidak mendapatkan
nafkah iddah dan kewajiban suami untuk memberikan nafkah menjadi
gugur.
Namun dalam hal ini Majlis hakim tetap memberikan nafkah iddah
sebab adanya kesepakatan dari suami untuk memberikan nafkah iddah
28 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
cet. II (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 482
83
kepada mantan istrinya, hal ini disesuaikan dengan adanya kaidah sebagai
berikut:
المسلمون علي شروطھم اال شرطا احل حراما وحرم حالال
“orang-orang islam terikat dengan perjanjian yang mereka buat,
kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau yang
mengharamkan yang halal”
Atas dasar di ataslah menurut penulis maka hakim boleh
memberikan nafkah iddah terhadap istrinya walaupun istri itu nusyuz.
Namun dalam pemberian nafkah iddah ini seharusnya hakim dapat
menggali lebih jauh apa pemberian nafkah iddah tersebut sebab ketidak
tahuan dari pemohon itu sendiri atau tidak, walaupun penulis ketahui
bahwa hukum itu mempunyai asas fiksi dimana setelah hukum di
undangkan maka dianggap semua masyarakat mengetahuinya.
Setelah diwawancarai penulis ketua Majlis Hakim yang memutus
perkara mengungkapkan bahwa pemberian nafkah itu dengan alasan
kemaslahatan dan mantan suami ridha akan pemberian nafkah iddah
tersebut sebab adanya kerelaan yang diberikan oleh mantan suami.
Menurut Suharto29 sebagai ketua majlis dalam memutus perkara
tersebut tidaklah berdosa hukumnya memberikan nafkah iddah kepada
istri yang nusyuz. Namun demikian yang dilihat oleh ketua majlis
hakim adalah sebab adanya kemaslahatan untuk meberikan nafkah
iddah terhadap mantan istri. Hal ini sesuai kaidah fiqhiyah
29 Hakim Pengadilan Agama Slawi, sebagai ketua Majlis Hakim dalam Memutus Perkara
No. 2408/Pdt.G/2014/PA. Slw
84
ء المفا سد مقدم علي جلب المصالحدر
Artinya:”menghindari kemafsadatan (kerusakan) lebih diutamakan
untuk menjaga kemaslahatan”.30
Oleh karena itu, menurut penulis seharusnya hakim lebih dapat
menggali lagi tentang pemberian nafkah iddah terhadap istri yang
nusyuz agar dikemudian hari nanti tidak terjadi persinggungan antara
peraturan yang ada, dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal
152 yang berbunyi bahwa “Bekas istri mendapatkan nafkah iddah dari
bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz. Sehingga tidak ada yang
dirugikan di antara kedua belah pihak.
30 Sebagaimana dikutip oleh Majlis Hakim dalam putusan Perkara Nomor
2408/Pdt.G/2014/PA Slw, lihat juga dalam buku Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, diterjemahkan oleh Wahyu Setiawan (Jakarta: Amzah, 2009), h. 21
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis penulis terhadap hasil penelitian yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
Tidak semua mantan istri yang sedang menjalani masa iddah mendapatkan
nafkah iddah dari mantan suaminya. Hal ini dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis:
a. Istri yang berhak mendapatkan nafkah pada saat iddah yaitu: istri yang dalam
menjalani iddah talak raj’i dan istri dalam menjalani iddah talak bain yang
sedang hamil.
b. Istri yang sedang beridah dan tidak mendapatkan nafkah iddah yaitu: istri
yang beriddah karena wafat suaminya, istri yang akad perkawinannya batal,
perceraian yang terjadi karena fasakh dan istri yang cerai karena nusyuz.
c. Mengenai nafkah istri dalam keadaan talak bain yang tidak hamil, para ulama
berbeda pandangan, diantaranya Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat
bahwa istri hanya berhak mendapatkan tempat tinggal dan tidak berhak
mendapatkan nafkah. Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, ats-Tsauri,
dan para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa istri berhak mendapatkan
nafkah dan tempat tinggal.
86
Sedangkan yang menjadi pertimbangan Majlis Hakim Pengadilan Agama
Slawi yang menjatuhkan putusan untuk tetap memberikan nafkah iddah kepada
istri yang nusyuz adalah karena pemohon atau suami di persidangan tidak
mempermasalahkan dan suka rela serta sanggup memberikan nafkah iddah
tersebut kepada mantan istrinya yang nusyuz. Oleh karena hakim perdata bersifat
pasif, maka hakim tidak dapat memutuskan bahwa istri tidak boleh mendapatkan
nafkah iddah jika suami rela dan sanggup memberikan nafkah iddah.
B. Saran
Selain beberapa kesimpulan yang diuraikan penulis di atas, penulis juga akan
memberikan saran-saran yang berkaitan dengan perceraian yang disebabkan oleh
nusyuznya istri. Saran-saran tersebut yaitu:
1. Diharapkan adanya regulasi khusus berkenaan dengan alasan perceraian
karena nusyuz istri dan suami, termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan
perbuatan nusyuz supaya para pihak dapat mengetahui perbuatan apa saja
yang dikategorikan nusyuz dan membatalkan seorang istri mendapatkan hak
atas nafkah iddah serta mengatur juga ketentuan tentang nusyuz suami agar
peraturan yang ada tidak bias terhadap gender.
2. Dalam pemeriksaan perkara perceraian karena nusyuz hendaknya hakim
lebih teliti dan menggali lebih mendalam perceraian yang disebabkan karena
istri nusyuz. Kemudian hakim memerintahkan kepada kedua belah pihak
untuk membuktikannya, tidak kemudian hakim karena sifatnya yang pasif
87
tidak menggali lebih detail atau mendalam. Sebab, Hal ini berkaitan dengan
implikasi hukum yang timbul pasca perceraian, terkait dengan nafkah iddah.
3. Dalam memeriksa perkara perceraian dengan alasan nusyuz, diharapkan
pemohon mengungkapkan bahwa termohon telah melakukan nusyuz
sehingga pemohon ingin menceraikannya, tidak hanya mengungkapkan
alasan yang mengandung nusyuz saja. Hal ini disebabkan untuk memperjelas
apakah alasan perceraian itu karena nusyuz atau lainnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur anul Karim.
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), cet 4, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010
Abu Abdullah, Muhammad Ismail bin Ibrahim bin Mughiroh Bukhori, Shahih
Bukhori, cet 1, Kairo: Darul As-shiab, 1987. Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. II, Jakarta : Sinar Grafika,
2007. As-Subki, Ali yusuf. Fiqh Keluarga, Penerjemah Nur Khozin, Jakarta: Amzah,
2012. An-Nasai, Sunan An-Nasai, Jilid 6, libanon, Beyrouth- Dar El-fikr, 2005
Bakry, Hasbullah. Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturaan
Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1985. Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta,
2008. Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. ___________, Peradilan Agama di Indonesia: Naskah Buku Daras (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2003 Djalil, A. Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012. Doi, Abdur Rahman I, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan (Syari’ah I),
diterjemahkan oleh Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
Ghazali, Norzulaili Mohd dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Shiqaq dan
Hakam,: menurut Al-Quran, Sunnah dan Undang-undang Keluarga Islam, Malaysia: KUIM, 2007.
Kamal, Abu Malik Bin Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh
Khairul Amru Harahap, Faisal Saleh, editor, Besus Hidayat Amin, Cet. 1 Jakarta : Pustakan Azzam, 2007.
89
______________, Fiqh Sunnah Wanita Jilid 2, diterjemahkan oleh Agus Faisal Karim, cet. III, Depok : Madina Adipustaka, 2013.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2013. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, cet VI (Jakarta : Kencana, 2012 Mesraini, Fiqh Munakahat, Ciputat: Pusat Studi Dan Pengembangan Pesantren,
2008 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian kualitatif, cet. 26, Bandung: PT Remaja
rosdakarya, 2009. Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001 Mughniyah, Muhamad Jawad, Fiqih Lima: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I,
Hambali, Penerjemah Masykur A.B, Afif Muhamad, Idrus Al-Kaff, Cet. 27 Jakarta: Lentera, 2012
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Hukum Islam dan Kedudukan Perempuan Dalam
Perkawinan dan Perceraian, Jakarta: Gaung Persada-Press, 2013. Muslim, Imam Abu Husain, bin Al-Hajaj Al-Qusyairi Al-Naisyaburi, Shahih
Muslim Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 /1974 Sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004.
Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 4, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995 Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press,
2013. Rusydi, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid jilid 2, diterjemahkan
oleh Mad’ Ali, Bandung: trigenda karya, 1996 Sabiq, Sayid. Fiqh Sunah, Jilid 3, Penerjemah Abu Syauqina dan Aulia Rahma,
Cet II, Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013. Sopyan, Yayan. Islam Negara : Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012.
90
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petujuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, cet II, Yogyakarta: UGM Press, 2004.
Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam &
Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2008.
Supriadi, Dedi Dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009 Syam, Abi Thoyib Muhamad, Aunul Ma’Mud: Syarah Sunan Abu Daud, Jilid 6
Libanon: Dark Fikr, 2003. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam: Antara Fiqh Munakahat Undang-
Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2011. _____________, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh, cet. 4, Jakarta : Kencana, 2013. Syaifudin, Muhammad, dkk. Hukum Perceraian, Jakarta : Sinar Grafika, 2013 Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet V, Jakarta : UI-Press, 2009. Tihami, M. A, dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap,
Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Washil, Nashr Farid Muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id
Fiqhiyyah, diterjemahkan oleh Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah, 2009. Yanggo, Chuzaimah T dan Hafiz Anshary ed. Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Cet. V, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-
Khatani dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011. Kamus Munawir, Ahmad Warso, Al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
91
Jurnal Syarif, Mujar Ibnu, “Pemukulan Istri Terhadap Suaminya Ketika Nusyuz Menurut
Perspektif Hukum Islam”, Ahkam IX, no. 2, September 2007. Skripsi Husni Mubarok, Nusyuz (Studi Komparatif antara Imam As-Syafii dan Amina
Wadud) Skripsi S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Hani Nurhanipah, Hak Nafkah Iddah Istri dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz,
Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Uwes Hujjatul Islam, Penyelesaian Perceraian Karena Istri Nusyuz: Studi Pada
Pengadilan Agama Serang) (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009),
Internet https://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/04/nusyuz-petaka-dalam rumah-
tangga/, diakses jam 05:16, tanggal 7 Mei 2015
Wawancara
1. Apa nafkah iddah itu?
Nafkah yang diberikan kepada seorang istri setelah dicerai oleh suami.
2. Kapan nafkah iddah dapat diberikan suami kepadda istri?
Nafkah diberikan kepada istri setelah cerai, yaitu pada waktu ikrar talak dibacaka
oleh suami.
3. Apa setiap cerai talak istri pasti dapat nafkah iddah?
Tidak tentu dapat nafkah iddah, dalam nafkah iddah untuk istri ada ketentuan
bahwa istri tidak melakukan nusyuz atau durhaka kepada suaminya. Maka istri
dapat diberikan nafkah iddah selama masa iddahnya.
4. Apa batasan nusyuz istri?
Banyak batasan nuysuz, kita dapat merujuk kepada fiqh, salah satunya nusyuz
meninggalkan rumah tanpa alasan, tidak mau melayani suaminya.
5. Apa pertimbangan yang mendasar sehingga majlis hakim memberikan putusan
istri yang nusyuz mendapatkan nafkah iddah? Sedangkan dalam kompilasi
hukum islam pasal 149 huruf b telah dijelaskan istri yang nusyuz tidak
mendapatkan nafkah iddah, serta dalam pasal 152
Dalam hal ini majlis hakim berdasarkan kepada kerelaan seorang suami kepada
istrinya untuk memberikan nafkah iddah kepada istrinya. Dengan alasan inilah
maka majlis hakim memutus berdasarkan kepada keralaan suami untuk
memberikan nafkah iddah kepada istri. Serta menggunakan kemaslahatan yang
diambil, hal ini tidak semuanya hanya pada kasus-kasus tertentu saja.
6. Suami memberikan nafkah iddah bisa jadi karena ketidak tahuan suami terhadap
ketentuan-ketentuan istri nusyuz. Bagaimana menurut bapak?
Bahwasannya jika peraturan sudah diundangkan maka semua masyarakat
dianggap tahu, hal ini sesuai dengan asas fiksi. Jadi dianggap suami tahu tentang
ketentuan nafkah iddah yang diberikan kepada istri.
7. Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh seorang hakim untuk memberikan
pengetahuan terhadap seorang suami yang mungkin tidak mengetahui tentang
nusyuz?
Pada dasarnya sesuai dengan asas fiksi maka suami dianggap tahu dan dalam
ranah perdata haim bersifat pasif sehingga dengan alsan tersebut maka hakim
mengganggap suami sudah tahu ketentuan yang akan dilakukannya tersebut.
8. Kenapa dalam perkara tersebut hakim masih memberikan nafkah kepada istri-
istri yang telah melakukan nusyuz Dasar apa yang paling pokok sehingga istri
nusyuz mendapatka nafkah iddah?
Dasar yang digunakan oleh hakim yaitu sebab adanya kerelaan seorang suami
untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan kemaslahatan yang diambil oleh
hakim.
9. Dalam pandangan ulama klasik, bagaimana pandangan dan batasan istri yang
nusyuz sehingga mendapat nafkah iddah?
Batasan yang istri nusyuz yaitu istri membangkang atau tidak melakukan
kewajiban sebagai istri dan istri pergi meninggalkan rumah tanpa sebab.
10. Apa ketentuan istri yang nusyuz bisa berubah sesuai dengan kondisi?
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
Nomor 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Slawi yang memeriksa dan mengadili perkara-
perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis telah
menjatuhkan putusan atas perkara Cerai Talak antara:
PEMOHON, umur 38 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan Dagang,
bertempat tinggal di RT.XXXX RW. XXXX Desa XXXX
Kecamatan XXXX Kabupaten Tegal, selanjutnya disebut
Pemohon;
LAWAN
TERMOHON, umur 39 tahun, agama Islam, pendidikan SD, pekerjaan Buruh,
bertempat tinggal di RT.XXXX RW. XXXX Desa XXXX
Kecamatan XXXX Kabupaten Tegal, selanjutnya disebut
Termohon;
Pengadilan Agama tersebut:
Telah membaca berkas perkara;
Telah mendengar keterangan Pemohon, Termohon dan saksi-saksi;
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 01
September 2014 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Slawi
Nomor: 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw. tanggal 01 September 2014, telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan pada
tanggal 24 Maret 2012 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
hlm. 1 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Urusan Agama Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal (Kutipan Akta Nikah
Nomor : 150/67/III/2012 tanggal 26 Maret 2012);
2. Bahwa setelah pernikahan Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di
rumah orang tua Termohon di, Kecamatan XXXX, Kabupaten XXXX Tegal
selama 1 tahun 9 bulan;
3. Bahwa perkawinan Pemohon dengan Termohon telah bercampur
(Ba’daddukhul) namun belum dikaruniai anak;
4. Bahwa sejak dua bulan setelah pernikahan atau sekitar bulan Juni 2012
kehidupan rumah tangga Pemohon dengan Termohon sudah tidak ada
ketemtraman lagi karena sering berselisih dan bertengkar perihal Termohon
sebagai istri tidak bisa di atur oleh Pemohon dalam kehidupan rumah
tangga. Termohon seringkali melaliakan tanggungjawabnya sebagai istri dan
ibu rumah tangga. Semenjak hidup berumah tangga Termohon seringkali
membantah dan selalu acuh atas perintah dari Pemohon;
5. Bahwa akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut yang terus berlanjut,
kemudian sekitar bulan Desember 2013 Pemohon dengan Termohon terjadi
pisah tempat tinggal. Karena sikap Termohon yang demikian sehingga
terpaksa Pemohon kembali kerumah orang tuanya sendiri di Desa Mindaka,
Kecamatan Tarub, Kabupaten Kabupaten Tegal yang hingga saat ini berjalan
selama 8 bulan lebih dan selama itu pula Pemohon dengan Termohon sudah
tidak saling memperdulikan lagi;
6. Bahwa karena sikap Termohon yang demikian, maka Pemohon beranggapan
bahwa Termohon sudah tidak memperdulikan rumah tangganya bersama
dengan Pemohon oleh karenanya perkawinan Pemohon dengan Termohon
sudah tidak patut lagi untuk dipertahankan maka sudah selayaknya
Pemohon mengajukan permohonan cerai talak ini;
7. Bahwa dengan permohonan cerai talak ini, Pemohon berkeinginan agar
permohonan cerai talak ini dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Agama Slawi
melalui Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini dengan memberikan ijin kepada
Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
8. Bahwa atas hal-hal atau peristiwa yang terjadi dalam rumah tangga
Pemohon dan Termohon sebagaimana tersebut di atas, Pemohon siap
mengajukan saksi-saksi untuk didengar keteranganya di muka siding;
9. Bahwa Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat
perkara ini;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon
berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon tidak
dapat dipertahankan lagi, oleh karenanya Pemohon mohon kepada Ketua
Pengadilan Agama Slawi C.q Majlis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini, berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan
talak terhadap Termohon (TERMOHON);
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
SUBSIDAIR
Mohon putusan yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan
Termohon telah datang menghadap sendiri di persidangan dan Majelis Hakim
berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon akan tetapi tidak berhasil
damai, kemudian dilakukan upaya perdamaian melalui mediasi oleh Drs. H.
Subandi Wiyono, S.H. Hakim Pengadilan Agama Slawi sebagai Mediator
namun gagal karena tidak tercapai kesepakatan damai, sebagaimana ternyata
dari Laporan Hasil Mediasi tanggal 29 September 2014;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan permohonan Pemohon yang
isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah
memberikan jawaban pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa semua dalil gugatan/permohonan Pemohon adalah benar;
hlm. 3 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah sulit untuk dirukunkan
lagi;
- Bahwa Termohon tidak menuntut apa-apa dan tidak keberatan bercerai
dengan Pemohon;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya,
Pemohon telah mengajukan alat bukti surat berupa:
1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk Nomor 3328141205760013, tanggal
07 Pebruari 2011 atas nama Pemohon. Bermeterai cukup dan telah
dinazegelen. Telah dicocokkan dan telah sesuai dengan aslinya. Diberi
tanda P.1;
2. Fotocopy Kutipan Akta Nikah Nomor 150/67/III/2012 Tanggal 24 Maret
2012 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tarub
Kabupaten Tegal. Bermeterai cukup dan telah dinazegelen. Telah
dicocokkan dan telah sesuai dengan aslinya. Diberi tanda P.2;
Menimbang, bahwa selain itu Pemohon telah mengajukan bukti saksi-
saksi:
1. SAKSI I, umur 43 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga,
bertempat tinggal di RT.XXXX RW. XXXX XXXX, Kecamatan XXXX,
Kabupaten Tegal, yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada
pokoknya sebagai berikut:
• Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi Kakak
Pemohon;
• Bahwa setelah menikah, Pemohon dan Termohon hidup bersama di
rumah orang tua Termohon dan belum dikaruniai anak;
• Bahwa Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran namun saksi tidak tahu masalahnya;
• Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal,
Pemohon pulang ke rumah orang tua sendiri sejak Desember 2013
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
sampai dengan sekarang sudah 8 bulan tidak pernah hidup bersama
lagi;
• Bahwa saksi sudah berusaha merukunkan Pemohon dan Termohon
tetapi tidak berhasil;
2. SAKSI II, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan dagang, bertempat
tinggal di RT.XXXX RW. XXXX , Kecamatan XXXX, Kabupaten Tegal, yang
memberikan keterangan di bawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut:
• Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi
Keponakan Termohon;
• Bahwa setelah menikah, Pemohon dan Termohon hidup bersama di
rumah orang tua Termohon namun belum dikaruniai anak;
• Bahwa antara Pemohon dan Termohon sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran namun masalahnya saksi tidak tahu;
• Bahwa Pemohon dan Termohon sekarang sudah pisah tempat tinggal,
Pemohon pulang ke rumah orang tua sendiri sejak Desember 2013
sampai dengan sekarang sudah 8 bulan lamanya;
• Bahwa saksi sudah berusaha merukunkan Pemohon dan Termohon
tetapi tidak berhasil;
Menimbang, bahwa Pemohon menyatakan akan memberikan mut’ah
kepada Termohon sebesar Rp. 1.000.000,- dan nafkah selama masa iddah
sebesar Rp. 1.500.000,- kemudian Termohon menyatakan menerima
pemberian Pemohon tersebut;
Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon mencukupkan alat bukti
yang telah diajukan tersebut dan selanjutnya Pemohon menyampaikan
kesimpulan yang pada pokoknya tetap ingin bercerai dengan Termohon dan
mohon putusan sedangkan Termohon menyampaikan kesimpulan yang intinya
tidak keberatan bercerai dan mohon putusan;
Menimbang, bahwa segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan dalam
persidangan telah dicatat dalam Berita Acara Persidangan, maka untuk
hlm. 5 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
menyingkat uraian putusan ini cukup kiranya Majelis Hakim menunjuk Berita
Acara Persidangan tersebut sebagai bagian dari putusan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana telah diuraikan dalam duduk perkaranya;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon adalah perkara Cerai Talak
yang diajukan oleh Pemohon yang menikah berdasarkan hukum Islam, maka
berdasarkan Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, perkara
tersebut termasuk dalam kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 yang telah dicocokkan dan
sesuai dengan aslinya serta bermeterai cukup sehingga dapat dinyatakan
sebagai alat bukti yang sah, terbukti Pemohon berdomisili di RT.03 RW. 01
Desa Mindaka Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal. Sedangkan Termohon,
berdasarkan keterangan Pemohon, pengakuan Termohon dan saksi-saksi,
telah terbukti pula Termohon berdomisili di RT.01 RW. 03 Desa Mindaka
Kecamatan Tarub Kabupaten Tegal, yang termasuk dalam wilayah yurisdiksi
Pengadilan Agama Slawi;
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon berdomisili di wilayah yurisdiksi
Pengadilan Agama Slawi, maka berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009,
perkara a quo termasuk dalam kewenangan Pengadilan Agama Slawi untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.2 yang telah dicocokkan dan
sesuai dengan aslinya serta bermeterai cukup sehingga dapat dinyatakan
sebagai alat bukti yang sah, terbukti Pemohon dan Termohon adalah suami
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
isteri yang masih terikat dalam perkawinan yang sah, oleh karena itu Pemohon
mempunyai kualitas (legal standing/kedudukan hukum) sebagai pihak dalam
perkara ini;
Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon telah datang menghadap di
persidangan dan Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan
Termohon sesuai dengan amanat pasal 69 dan pasal 82 ayat (1) Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, akan tetapi tidak
berhasil damai;
Menimbang, bahwa terhadap perkara ini telah pula dilakukan upaya
perdamaian melalui mediasi oleh Mediator Drs. H. Subandi Wiyono, SH. Hakim
Pengadilan Agama Slawi, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung RI
Nomor 1 tahun 2008, namun upaya tersebut gagal dan tidak dapat
menghasilkan kesepakatan damai antara Pemohon dan Termohon;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon pada pokoknya adalah mohon
agar Pemohon diberi izin untuk menjatuhkan talak terhadap Pemohon dengan
alasan bahwa sejak bulan Juni 2012 rumah tangga Pemohon dan Termohon
sudah tidak ada ketentraman lagi karena sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran karena Termohon tidak bisa diatur dan sering melalaikan
kewajiban sebagai istri, akhirnya bulan Desember 2013 Pemohon kembali ke
rumah orang tua Pemohon sendiri sampai sekarang 8 bulan lamanya antara
Pemohon dan Termohon pisah rumah dan selama itu pula antara Pemohon dan
Termohon sudah tidak saling mempedulikan;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah
memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui dan membenarkan
semua dalil gugatan Pemohon;
Menimbang, bahwa saksi keluarga Pemohon dan Termohon telah hadir di
persidangan dan telah memberikan keterangan pada pokoknya bahwa pihak
hlm. 7 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
keluarga telah berusaha mendamaikan dan merukunkan Pemohon dan
Termohon akan tetapi tidak berhasil;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Pemohon, Termohon, saksi-
saksi serta bukti-bukti surat dapat ditemukan fakta-fakta hukum sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah, menikah di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tarub
Kabupaten Tegal pada tanggal 24 Maret 2012;
2. Bahwa Pemohon dan Termohon pernah hidup bersama, di rumah orang tua
Termohon, namun belum dikaruniai keturunan;
3. Bahwa sejak Juni 2012 antara Pemohon dan Termohon sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran karena Termohon tidak bisa diatur dan sering
melalaikan kewajibannya sebagai istri;
4. Bahwa akhirnya antara Pemohon dan Termohon berpisah tempat tinggal
sejak Desember 2013 sampai dengan sekarang tidak pernah hidup bersama
lagi;
5. Bahwa pihak keluarga telah berusaha mendamaikan dan merukunkan
Pemohon dan Termohon, akan tetap tidak berhasil damai dan rukun
kembali;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta terjadinya perselisihan dan
pertengkaran antara Pemohon dan Termohon yang telah berlangsung sejak
Juni 2012 hingga Desember 2013, Majelis Hakim berpendapat bahwa
perselisihan dan pertengkaran yang demikian itu sudah termasuk dalam
klasifikasi perselisihan dan pertengkaran yang bersifat terus-menerus
sebagaimana yang dimaksud Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta telah terjadinya perpisahan
tempat tinggal antara Pemohon dan Termohon yang telah berlangsung sejak
Desember 2013 hingga sekarang, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga, sebagaimana yang dimaksud pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa dengan adanya perselisihan yang bersifat terus-
menerus dan telah pisah rumah selama 8 bulan serta tidak ada harapan bagi
Pemohon dan Termohon untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka
Majelis Hakim berkeyakinan bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon
telah pecah karena telah hilang ikatan batin antara Pemohon dan Termohon.
Sehingga mempertahankan Pemohon dan Termohon tetap berada dalam ikatan
perkawinan justru akan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kedua belah
pihak. Oleh karena itu, menceraikan Pemohon dari Termohon adalah lebih baik
dan lebih bermanfaat. Hal ini sesuai dengan qaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
Artinya : “Menghindari mafsadat lebih diutamakan untuk menjaga
kemaslahatan”;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon telah
beralasan hukum sesuai dengan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu
permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan sebagaimana tersebut dalam
diktum putusan ini;
Menimbang, bahwa sesuai Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan b maka Pemohon harus dibebani
memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada Termohon. Oleh karena
Pemohon telah menyatakan kesanggupannya untuk memberi mut’ah kepada
Termohon sebesar Rp. 1.000.000,- dan nafkah iddah sebesar Rp. 1.500.00,-
serta Termohon menyatakan menerima pemberian mut’ah dan nafkah iddah
hlm. 9 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dari Pemohon tersebut, maka kesanggupan Pemohon tersebut harus
ditetapkan sebagai hukum dan akan dicantumkan dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang dirobah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perobahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 Panitera Pengadilan Agama Slawi diperintahkan untuk mengirimkan
salinan penetapan ikrar talak kepada Pegawai Pencatat Nikah dimana
Pemohon dan Termohon bertempat tinggal dan kepada Pegawai Pencatat
Nikah di tempat perkawinan Pemohon dan Termohon dilangsungkan;
Menimbang, bahwa permohonan Pemohon tersebut termasuk bidang
perkawinan, maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, yang diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya
perkaranya dibebankan kepada Pemohon;
Memperhatikan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi izin kepada Pemohon (PEMOHON) untuk menjatuhkan talak satu
roj’i terhadap Termohon (TERMOHON,) di depan sidang Pengadilan Agama
Slawi;
3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon:
3.1. Mut’ah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
3.2. Nafkah maskan dan kiswah selama masa iddah sebesaer Rp.
1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Slawi untuk
mengirimkan salinan Penetapan Ikrar Talak kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang wilayahnya meliputi tempat tinggal Pemohon dan Termohon dan
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan Pemohon dan
Termohon dilangsungkan untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk
itu;
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 231.000,- (dua ratus tiga puluh satu ribu rupiah);
Demikianlah putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Slawi pada hari Senin tanggal 06 Oktober 2014 M.
bertepatan dengan tanggal 11 Zulhijah 1435 H., oleh Drs. H. SUHARTO, M.H.,
Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Slawi sebagai Ketua
Majelis, Drs. MAHSUN dan Drs. SHODIQIN sebagai Hakim-Hakim Anggota
yang diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut pada hari itu juga, dalam sidang
terbuka untuk umum dengan dihadiri Hakim-Hakim anggota, dibantu oleh Dra.
Hj. HUNAENAH sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri juga oleh Pemohon
dan Termohon;
Ketua Majelis
Drs. H. SUHARTO, M.H.
Hakim Anggota I Hakim Anggota II
Drs. MAHSUN Drs. SHODIQIN
Panitera Pengganti
hlm. 11 dari 12 hlm. Putusan No. 2408/Pdt.G/2014/PA.Slw.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Dra. Hj. HUNAENAH
Rincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Penyelesaian Perkara Rp. 50.000,-3. Biaya Panggilan Rp. 140.000,-4. Redaksi Rp. 5.000,-5. Meterai Rp. 6.000,-Jumlah Rp. 231.000,-
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12