iddah istohadlah

download iddah istohadlah

of 82

Transcript of iddah istohadlah

ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari'ah

Oleh Ulya Mukhiqqotun Nimah 2103031

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI'AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2008

NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah skripsi An. Sdri. Ulya Mukhiqqotun Nimah Assalamu'alaikum Wr. Wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama NIM Judul : Ulya Mukhiqqotun Nimah : 2103031 : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHOH Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqasyahkan. Demikian harap menjadi maklum. Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Semarang, 09 Januari 2008 Pembimbing I Pembimbing II

. Dra. H. Noer Ali NIP. 150 177 474 Dra. Nur Huda, M.Ag NIP. 150 267 757

DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291

PENGESAHANSkripsi saudara NIM Fakultas Jurusan Judul Skripsi : Ulya Mukhiqqotun Nimah : 2103031 : Syariah : Al Ahwal Al Syakhshiyah : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal: 29 Januari 2008 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2008/ 2009

Semarang, 29 Januari 2008 Ketua Sidang Sekretaris Sidang

DR. H. Abu Hapsin, M.A., Ph.D. NIP. 150 238 492 Penguji I Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 216 992 Pembimbing I Drs. H.A. Noer Ali NIP. 150 177 474

Drs. H.A. Noer Ali NIP. 150 177 474 Penguji II Drs. Saekhu, M.H. NIP. 150 268 217 Pembimbing II Dra. Nur Huda, M.Ag. NIP. 150 267 757

`

ABSTRAK Suatu perkawinan yang berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak akan menimbulkan pewarisan, ketentuannya dalam hukum waris islam. Sedangkan perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian atau karena meninggalnya suami mempunyai akibat beberapa akibat hukum diantaranya adalah iddah . Iddah yang merupakan masa tunggu yang harus dihadapi oleh seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Berdasarkan ketentuan al Quran, masa tunggu tersebut berbeda-beda sesuai dengan keadaan wanita yang bersangkutan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Adakalanya wanita tersebut masih haid, sudah putus haid, belum pernah haid, hamil, adakalanya pula wanita tersebut sedang mengalami pendarahan (istihadhah). Istihadhah yang merupakan darah yang keluar dari farji seorang wanita secara terus menerus baik darah itu keluar sehari, dua hari atau satu bulan setelah 15 hari mendapati darah haid yang penting wanita tersebut bisa membedakan antara dua darah, atau sejak awal mendapati darah wanita tersebut tidak tidak bisa membedakan antara dua darah karena darahnya hanya satu macam saja, maka hal seperti itu harus dikembalikan kepada kebiasaan wanita pada umumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah, 2) metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan ( library research). Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: menurut pendapat Imam Malik iddah bagi wanita yang istihadhah adalah satu tahun, apabila wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah Apabila bisa membedakan antara dua darah maka wanita tersebut beriddah dengan hitungan quru. Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik yaitu qiyas dan istihsan. Beliau mengqiyaskan hitungan iddah tersebut dengan hitungan iddah bagi wanita yang tidak haid tetapi ia masih dalam usia haid. Wanita tersebut harus menunggu selama 9 bulan kemudian beriddah selama 3 bulan. Beliau memberikan alasan yang cukup rasional tujuan disyariatkannya iddah dimaksudkan untuk mengetahui kosongnya rahim, karena terdapat fakta kadang wanita yang hamil masih mengalami haid maupun pendarahan. Sedangkan istnbath yang kedua (istihsan) beliau gunakan dalam hal pemisahan antara sebelum sembilan bulan dan sesudahnya.

DEKLARASIDengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 09 Januari 2008 Deklarator,

Ulya Mukhiqqotun Nimah

MOTTO

(228 : )Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri menunggu tiga kali quru (Qs. Al Baqarah 228)

(4 : ) Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi menopausa di antara perempuan-perempuan, jika kamu ragu-ragu tentang masa iddahnya maka iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan yang tidak haid (Qs. Ath Thalaq 4)

PERSEMBAHAN Karya ilmiah yang sederhana ini penulis persembahkan: ~ Ayahanda H. Abdul Ghofur dan ibunda Hj. Jazariatin, bapak H. Musthofa serta ibu Muhtaroh tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang tulus serta doa-doa yang selalu dipanjatkan untukku dengan tiada hentinya. ~ Kakak-kakakku dan adik-adikku tersayang terutama mas Wahib dan Hanik Laila yang telah banyak membantuku dalam mencari literatur serta selalu memberikan motivasi, kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materiil. ~ Sahabat-sahabatku terutama anak-anak kos I 24 yang selalu mendampingi baik suka maupun duka. Harapan penulis semoga buah karya yang sederhana ini mampu memberikan motivasi untuk langkah-langkah berikutnya dalam mengarungi bahtera kehidupan.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga tersusunlah skripsi ini meskipun dalam bentuk yang relatif sederhana. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, para keluarga, dan pengikutnya. Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada: 1. Drs. H. Muhyidin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. A. Noer Ali, selaku dosen pembimbing I, serta ibu Dra. Nur Huda, M. Ag., selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyusun skripsi ini. 3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Ayahanda H. Abdul Ghofur dan ibunda Hj. Jazariatin tercinta atas segala kasih sayang, doa, pengorbanan dan kesabarannya. 5. Bapak H. Musthofa, ibu Muhtaroh serta mas Wahib yang senantiasa memberikan dorongan, bantuan, serta motivasinya. 6. Kakak-kakakku dan Adik-adikku tersayang yang selalu memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 7. Dek Naza, mbak Wawa, dek Kamal, dek Acha yang senantiasa memberikan hiburan serta inspirasi kepada penulis.

8. Sahabat-sahabatku baik di kampus maupun di kos yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang memberikan bantuan, semangat dan yang selalu menemani disaat sedih dan senang. 7. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama penulisan skripsi ini. Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya untaian terima kasih dengan tulus dan iringan doa, semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekurangan, untuk itu penulis memohon kepada para pembaca untuk menginsafi dan memberikan saran-saran yang bersifat membangun agar menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan yang telah tersusun dengan sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi umat Islam pada umumnya. Kepada Allah SWT penulis memohon semoga apa yang menjadi harapan penulis terkabulkan. Amien.

Semarang, 09 Januari 2008 Penulis

Ulya Mukhiqqotun Nimah

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Tujuan dan maksud pernikahan adalah menggalang dan membina rumah tangga antara sepasang istri secara harmonis penuh cinta kasih untuk selama lamanya sampai akhir hayat. Tetapi kadang-kadang suami istri gagal dalam usahanya untuk mengemudikan rumah tangganya sampai akhir hayat. Ada saja kendala yang merintanginya, apakah karena persiapannya yang tidak matang ketika akan memasuki jenjang pernikahan atau karena watak mereka yang sangat berbeda dan sering bertentangan atau karena pengaruh-pengaruh buruk dari orang lain. Sehingga kalau sudah demikian, maka akan terjadi pertengkaran dan caci maki. Karena itulah apabila mereka sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk rujuk, dan hidup rukun maka jalan satu-satunya yang mereka tempuh adalah perceraian. Menurut ajaran Islam, perceraian diakui atas dasar ketetapan hati setelah mempertimbangkan secara matang, serta dengan alasan yang bersifat darurat atau sangat mendesak. Perceraian diakui secara sah untuk mengakhiri hubungan perkawinan berdasarkan petunjuk syariat. Namun demikian, Rasulullah SAW memperingatkan dalam sabdanya:

1

2

: 1 ( ) Artinya: Diceritakan dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada sesuatu yang halal yang dibenci Allah selain daripada thalak . (HR. Abu Dawud). Dengan demikian secara tersirat Rasulullah mengajarkan agar keluarga muslim sedapat mungkin menghindarkan perceraian. Dan di balik kebencian Allah itu terdapat suatu peringatan bahwa perceraian itu sangat berbahaya dan berdampak negatif terhadap keluarga. Suatu perkawinan yang berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak akan menimbulkan pewarisan, ketentuannya diatur dalam hukum waris Islam. Sedangkan perkawinan yang berakhir dengan suatu perceraian atau karena meninggalnya suami, maka mempunyai beberapa akibat hukum diantaranya adalah iddah. Secara singkat iddah dapat dirumuskan sebagai masa tunggu yang dihadapi seorang wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya.2 Berdasarkan ketentuan al-Qur'an, masa tunggu tersebut berbeda-beda sesuai dengan keadaan wanita yang bersangkutan sewaktu dicerai atau ditinggal mati suaminya. Selain ada hubungannya dengan persoalan biologis (menentukan keturunan, karena ada kemungkinan adanya bibit/sperma yang terdapat di dalam rahim) masalah iddah juga termasuk masalah ubudiyah (masalah

Abi Dawud Sulaiman Ibn Al Asyab, Sunan Abi Dawud, Indonesia : Maktabah Dahlan, hlm. 255 2 Ustad Abdul Muhaimin Asad, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, Cet. I, 1993, hlm. 101

1

3 ketentuan agama). Jadi, ketentuan iddah tidak bisa/tidak boleh diganti dengan pemeriksaan medis menurut ilmu kedokteran.3 Hal ini dikarenakan terdapat rahasia dibalik penetapan iddah yang tidak hanya berpusat pada satu segi saja, akan tetapi ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya iddah yaitu pembersihan rahim, kesempatan untuk berfikir dan kesempatan untuk berduka cita.4 Dengan demikian, tampak jelas bahwa iddah memiliki berbagai tujuan yang masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak dapat merubah ketentuan panjang pendeknya iddah, terutama dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Akan tetapi perkembangan ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan dalam kasus tertentu seperti wathi syubhat dan zina, sebab hubungan diantara pria dan wanita dalam kasus ini hanya terikat pada masalah dukhul mengganggu kesucian rahim.5 Seorang yang berada pada masa iddah bukan berarti terlepas sama sekali dari suami yang menceraikannya. Begitu pula, suami itu tidak langsung dapat membebaskan diri dan tanggung jawab terhadap istri selama masa iddah. Iddah diwajibkan karena cerai yang dijatuhkan suami yang masih hidup atau yang sudah meninggal yang pernah menggauli (bada dukhul) baik yang

Abdul Muncith Muzadi, Fiqih Perempuan Praktis, Surabaya: Kalista, 2005, hlm. 94. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, jilid VIII, Alih Bahasa: Muh. Tholib, Bandung: Al-Maarif, cet. V, 1987, hlm. 140. 5 Abdul Muncith Muzadi, Op. Cit, hlm. 954

3

4 dengan cara thalak ataupun fasakh, akan tetapi lain halnya jika suami itu belum pernah menggauli (maka tidak wajib iddah). Apabila pernah berkhalwah maka istri wajib iddah sekalipun diyakini istri tersebut tidak hamil. Apabila suami yang menthalak istrinya yang semula tidak pernah haid kemudian di dalam masa iddah ia haid, maka masa suci tempat penthalakannya tidak terhitung quru. Sebab tidak berada diantara dua periode haid, tetapi harus beriddah tiga kali masa suci setelah haid yang disambungkan dengan masa suci penthalakan tersebut. Bila istri mengalami haid setelah habis masa iddahnya, maka tidak perlu memulai masa iddahnya dengan hitungan quru.6 Seperti telah disinggung di atas, masa iddah tidaklah selalu sama pada setiap wanita. Al-Qur'an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa masa iddah ditetapkan berdasarkan keadaan wanita sewaktu diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian, apakah cerai mati atau cerai hidup. Iddah baik bagi wanita yang cerai hidup atau cerai mati adakalanya ia masih mengalami haid ada juga yang sudah putus haid (menopause) dan terkadang juga wanita tersebut sedang hamil. Dan semua hal itu sudah jelas di dalam Al-Qur'an. Akan tetapi bagaimanakah iddah bagi wanita yang istihadhah? Apakah hitungannya sama dengan iddah bagi wanita yang

Zainuddin Bin Abdul Azis Al Malibari, Terjemahan Fathul Muin, jilid II, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, cet. I, hlm. 1405-1406.

6

5 mengalami haid atau iddah pada wanita yang hamil, ataukah wanita yang sudah putus haid? Istihadhah yang merupakan pendarahan yang keluar dari kemaluan wanita, akan tetapi darah tersebut bukanlah darah haid karena darah tersebut keluar di luar siklus haid seorang wanita.7 Darah istihadhah ini tidak berwarna hitam, tetapi pada umumnya berwarna merah segar akan tetapi tidak memiliki bau khusus seperti darah haid.8 Menurut pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafii, iddah wanita tersebut (istihadhah) adalah 3 bulan apabila ia sudah putus haid dan 3 quru apabila ia masih haid. Sedangkan menurut Imam Malik iddah wanita tersebut sampai satu tahun.9 Berawal dari pendapat Imam Malik yang berbeda dengan ulama fiqih lainnya, Penulis berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang pendapat tersebut dengan asumsi bahwa hal itu bisa menjadi kontribusi positif dan menambah wacana serta memperkaya khazanah keilmuan kita, karena secara sepintas pendapat Imam Malik itu terlihat kontradiktif dengan apa yang terdapat dalam nash Al-Qur'an. Oleh karena itu penulis mendiskripsikannya dalam sebuah skripsi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita yang Istihadhah.

Hendrik., Problema Haid, Solo: Tiga Serangkai, 2006, hlm. 154. Ummu Ahmad Ghozy, Ketika Cewek Datang Bulan, Makasar: PT. Mirkad Media Grafika, cet. I, 2007, hlm. 56. 9 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Beirut: Dar al- Kutub al Islamiyah, t.th, hlm. 698

7

6 B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang mengalami istihadhah? 2. Bagaimana istinbath hukum Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah?

C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI Secara formal, tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memenuhi tugas akademik serta untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Syari'ah di Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang. Adapun tujuan umum penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah. 2. Untuk mengetahui istinbath hukum Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah.

D. TELAAH PUSTAKA Sebagai langkah awal dalam membahas permasalahan ini, penulis terlebih dahulu menelaah buku-buku yang ada relevansinya dengan permasalahan. Dan untuk menghindari kekhawatiran apakah permasalahan

7 yang diangkat sudah ada yang meneliti atau belum, maka perlu diuji kevalidannya. Dalam buku Pengetahuan Nikah Talak Dan Rujuk karangan Aqis Bil Qishi diterangkan tentang iddah, macam-macam iddah serta hak-hak istri ketika berada dalam masa iddah. Kemudian dalam buku Risalah Nikah karangan ustad Abdul Muhaimin Asad disebutkan tentang pengertian iddah, serta lamanya iddah, penjelasan beriddah dan hikmah disyariatkanya iddah. Kemudian dalam buku Risalah Haidh, Nifas Dan Istihadloh karangan K.H. Muhammad Ardani Bin Ahmad diterangkan tentang pengertian istihadhah, macam-macam istihadhah, serta kewajiban bagi wanita yang mengalami istihadhah. Dalam buku Problema Haid, karangan Dr. H. Hendrik, M. Kes diterangkan tentang pengertian istihadhah ditinjau dari segi syariah Islam maupun medis, sifat-sifat istihadhah, bentuk serta variasi dari istihadhah dan ketentuan atau kewajiban bagi wanita yang mengalami istihadhah. Dalam buku Ketika Cewek Datang Bulan, karangan Ummu Ahmad alGhozy, diterangkan pengertian istihadhah, ciri-ciri darah istihadhah, keadaan wanita yang hampir sama dengan istihadhah, serta hukum istihadhah. Selain buku-buku di atas penulis juga menggunakan kitab-kitab fiqih, antara lain: Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid karangan Ibnu Rusyd dijelaskan tentang hitungan iddah menurut para imam madzhab serta

8 iddah dalam segala kondisi termasuk di dalamnya iddah bagi wanita yang istihadhah akan tetapi pendapat tersebut hanya terbatas pada pendapat serta dalilnya masing-masing, sehingga kajian terhadap dalil dan metode istinbath yang digunakan oleh Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah masih perlu dilakukan. Selain itu, dalam kitab Fiqh Sunnah jilid I karangan Sayyid Sabiq disebutkan pengertian istihadhah, bentuk atau darah istihadhah serta hukumnya, sedangkan pendapat mengenai iddah, pengertian iddah, macammacam iddah serta batasan iddah terdapat dalam kitab Fiqh Sunnah jilid 8. Imam Zarqoni dalam kitabnya yang berjudul Syarah Zarqoni; Ala Muwatho Imam Malik, dalam bab Jami Iddah At-Tholaq menyebutkan: iddah bagi wanita yang istihadhah yakni satu tahun lamanya, dengan alasan manakala wanita itu tidak bisa membedakan antara darah haid atau darah istihadhah. Karya ilmiah yang membahas tentang iddah bagi wanita yang istihadhoh belum pernah penulis temukan, akan tetapi karya tulis yang dibuat oleh Irfan Mustofa berjudul Analisa Konsep Iddah menurut Musdah Mulia jenis penelitiannya adalah library research, pembahasan yang dikaji tentang pendapat Musdah Mulia yang tidak menyetujui konsep iddah karena seakanakan mendiskriminasikan kaum perempuan, karena hal ini bertentangan dengan konsep gender. Tetapi penulis tidak menyetujui konsep tersebut karena bertentangan dengan al-Qur'an dan hadits.

9 Skripsi dengan judul analisis pendapat Imam Malik tentang sanksi bagi perempuan yang menikah pada masa iddah, pembahasan yang dikaji tentang sanksi bagi perempuan yang menikah pada masa iddah dan sudah dukhul maka pernikahannya batal dan mereka diharamkan nikah kembali untuk selamanya. Akan tetapi penulis tidak menyetujui pendapat tersebut karena terasa memberatkan, padahal hukum Islam merupakan hukum yang fleksibel, penulis lebih sepakat terhadap pendapat Imam Syafii yaitu mereka tetap memperoleh sanksi hukum meskipun bukan sanksi pidana (untuk membuat jera). Mereka harus dipisahkan selama masa iddah dan untuk berkumpul atau menikah harus melakukan akad nikah baru. Dari beberapa telaah pustaka di atas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap permasalahan ini karena wanita yang mengalami istihadhah saja terkadang bingung dengan apa yang harus ia lakukan dalam hal ibadah apalagi ketika ia dithalak istihadhah. oleh suaminya dalam keadaan

E. METODE PENULISAN SKRIPSI Agar mendapatkan hasil yang diinginkan, maka metode penelitian sangatlah diperlukan. Beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:

10 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

research) yaitu penelitian yang mengandalkan atau memakai sumber karya tulis kepustakaan.10 2. Sumber Data Karena penelitian ini merupakan studi terhadap karya dari seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data sekunder. 11 a. Data Primer Yaitu data yang diambil dari sumber asli yang memuat suatu informasi.12 Artinya sumber data yang digunakan merupakan karya yang langsung diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian. Jadi, data-data primer ini merupakan karya atau kitab yang dikarang oleh Imam Malik yaitu kitab Al-Muwatta. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli atau bersifat komplemen (pelengkap).13 Data ini berasal dari tangan kedua atau bukan data yang datang langsung dari Imam Malik. Biasanya data10 Masri Singarimbuan dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, cet. VI, 1986, hlm. 45. 11 Tatang M.Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm:135. 12 13

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 91 ibid

11 ini tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen dan data ini penulis gunakan untuk menganalisis dan memberikan penjelasan tentang pokok permasalahan. Dalam hal ini penulis mengambil data dari buku-buku yang ada relevansinya dengan permasalahan yang sedang penulis bahas, seperti : 1.) Syarah al-Zarqoni karangan Sayyidi Muhammad al-Zarqoni 2.) Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq 3.) Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd. 3. Metode Pengumpulan Data Dengan metode ini penulis mencoba untuk menyusun skripsi dengan cara melakukan pengumpulan data lewat studi serta penelitian terhadap buku-buku yang ada relevansinya terhadap permasalahan yang sedang penulis kaji. Metode ini penulis gunakan dengan jalan membaca, menelaah, kemudian menginventarisasikan ayat-ayat al-Qur'an, kitab-kitab hadits serta kitab-kitab fiqh lain yang sesuai dengan permasalahan yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Hal ini penulis lakukan sebagai dasar untuk menganalisis pendapat Imam Malik yang berkaitan dengan iddah bagi wanita yang istihadhah. 4. Metode Analisis Data Langkah awal yang penulis lakukan dalam menganalisis data adalah pengorganisasian data dalam bentuk mengatur, mengurutkan serta mengelompokkan data sesuai dengan kategori, tujuan pengolahan serta

12 pengorganisasian data tersebut adalah untuk menemukan tema dan keputusan kerja. Berdasarkan data yang diperoleh, maka digunakan untuk menyusun serta menganalisis data-data yang terkumpul dengan

menggunakan metode deskriptif analitik yaitu suatu metode yang menekankan pada pemberian sebuah gambaran baru terhadap data yang terkumpul.14 Metode ini akan penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisis terhadap pendapat serta biografi Imam Malik. Selain itu metode ini akan penulis gunakan untuk menggambarkan dan menganalisis pendapat Imam Malik saat beliau menggambarkan tentang iddah. Selain itu penulis juga menggunakan metode content analysis (analisis isi).15 Hal ini penulis lakukan guna mempertajam analisis data yang diteliti.

F. SISTEMATIKA PENULISAN Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih mudah untuk dipahami, maka penulis menggunakan sistematika sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam sub bab ini dikemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, telaah pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.S. Margono, Metode Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm. 165 Adalah telaah sistematis atas catatan-catatan atau dokumen-dokumen sebagai sumber data. Biasanya berisi kalimat tertulis atau cetak akan tetapi tidak terbatas pada itu saja bisa berupa sumber, grafik, lukisan, foto, dan lain-lain. lihat. Michael H. Walizer dan Paul L. Wienir, Metode dan Analisis Penelitian, Yogyakarta: Erlangga, Cet. II, 1991, hlm. 4815 14

13 BAB II : KONSEP DASAR IDDAH DAN ISTIHADHAH Dalam bab ini dibahas tentang pengertian iddah,, dasar hukum iddah, macam-macam iddah, hikmah serta hak-hak bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah dan juga pengertian tentang istihadhah, macam-macam istihadhah, serta kewajiban bagi wanita yang sedang mengalami istihadhah. BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH Bab ini membahas biografi Imam Malik, pendapat Imam Malik tentang Iddah bagi wanita yang istihadhoh serta metode istinbath Imam Malik. BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH Dalam bab ini dibahas tentang bagaimana alasan Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah serta apakah yang melatarbelakangi pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah BAB V : PENUTUP Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH DAN ISTIHADHAH

A. IDDAH 1. Pengertian Iddah Istilah iddah sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah. Dimana orang-orang pada saat itu hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah ini. Kemudian ketika Islam datang kebiasaan ini diakui dan dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan yang terkandung di dalamnya. Kemudian para ulama sepakat iddah itu wajib hukumnya.1 Ditinjau dari etimologi, kata iddah adalah masdar fiil madhi yang artinya menghitung.2 Jadi kata iddah artinya menghitung, hitungan atau sesuatu yang terhitungkan. Dari sudut bahasa kata iddah merupakan kata yang biasa dipakai untuk mewujudkan pengertian harihari haid dan hari-hari suci pada seorang perempuan, artinya perempuan atau istri menghitung hari-hari haid atau hari-hari sucinya.3 Sedangkan secara terminologi, para ulama telah merumuskan pengertian iddah menjadi beberapa pengertian, seperti Ash Shonani memberi definisi iddah sebagai berikut:

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 8. terj. Muh. Tholib, Bandung: Al-Maarif, Cet. 2, 1993, hlm. 139-140 2 Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir , Darul Maarif, 1984, hlm. 969 3 Abdul Rahman Al Jaziri, Kitab Fiqih ala Madhahibil Ar Baah, juz. IV, Darul Kutub Al Ilmiah, hlm. 451.1

14

15 Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haid, atau beberapa bulan tertentu .4 Abu Zahroh memberi definisi iddah sebagai berikut:

Iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruhpengaruh perkawinan .5 Lebih lanjut Prof. Abu Zahroh mengatakan:

Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan istrinya, tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami istri itu dari segala seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan istri wajib menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain sampai habisnya masa tertentu yang telah ditentukan oleh syara .6 Sedangkan menurut ulama Syafiiyah iddah diartikan sebagai

Masa yang harus dilalui oleh istri (yang ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya) untuk mengetahui kesucian rahimnya, mengabdi atau berbela sungkawa atas kematian suaminya . 7 2. Dasar Hukum Iddah a. Al-Quran

Departemen Agama RI, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1984/1985, hlm. 274 5 Ibid, hlm. 274 6 Ibid, hlm. 275 7 Abdurrahman Al-Jaziri, Op-Cit, hlm. 517

4

16 Dalam Al-Quran banyak ayat yang menunjukkan kewajiban bagi perempuan untuk beriddah, di antaranya dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 228:

"Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan (menunggu) tiga kali quru ". (Q.S. Al Baqarah: 228 )8 Dalam surat yang sama (Al Baqarah) ayat 234: diri

Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan (beriddah) empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al Baqarah: 234).9 Dalam surat Al-Ahzab (33) ayat 49:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Q.S. Al-Ahzab: 49).10 b. Al Hadits Dalam Sunnah Nabi yang dijadikan sebagai dasar hukum tentang iddah diantaranya:

Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahanya, Kudus : Mubarakatan Thoyyibah, tth, hlm. 36 9 Ibid, hlm. 38 10 Ibid, hlm. 424

8

17

: " . 11 ( ". ) Diceritakan dari ibn umar sesungguhnya dia menthalak istrinya dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW, umar bin khattab bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada Umar Perintahkanlah ia untuk merujuk istrinya, kemudian menahanya sehingga suci, haid dan suci lagi. Maka jika ingin tahanlah dia sesudah itu. Dan jika sudah ceraikanlah sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah Iddah yang diperintahkan oleh Allah yaitu perempuan yang harus dicerai pada Iddahnya (H.R. Muslim). Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang dithalak suami (cerai hidup) atau ditinggal mati suami (cerai mati), perbedaan status ini menjadi penentu jenis iddah yang dijalani oleh seorang isteri. Adapun wanita yang suci (tidak hamil) yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya empat

bulan sepuluh hari. Ini berarti bahwa masa iddah perempuan yang dithalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga kali suci bagi mereka yang berada pada masa haid, dan tiga bulan bagi mereka yang sudah putus haid (menopause). c. Undang-Undang ( Peraturan Tertulis )

Imam Abi al- Husein Muslim, Shohih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1992, hlm. 1093

11

18 Selain dalam al-Quran dan al-hadits iddah juga diatur dalam undang-undang perkawinan, yaitu Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 29 yang berbunyi : 1. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-Undang ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 ( kali ) suci dengan sekurang kurangnya 90 ( sembilan puluh ) hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh ) hari. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut sedang dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. 3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.12 Mengenai waktu tunggu dalam KHI Pasal 153 yang berbunyi :

12

Undang-Undang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, hlm.45.

19 1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannnya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh ) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 ( sembilan puluh) hari. c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d.Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tunggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

20 5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali suci. 6. Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, iddahnya menjadi tiga kali suci.13 3. Macam-Macam Iddah Secara garis besar iddah dibagi menjadi dua: 1. Iddah karena meninggalnya suami. Dalam hal ini posisi iddahnya ada dua kemungkinan, yaitu wanita yang dalam keadaan hamil dan tidak hamil.14 Apabila wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan. Allah SWT berfirman:

(4 : ... ) Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (QS. Ath Thalaq:4)15 Sedangkan bagi istri yang ditinggal mati suaminya, baik ia sudah atau belum bercampur dengan suaminya yang meninggal itu, maka iddah mereka 4 bulan 10 hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ( 2 )ayat 234.

Himpunan Peratuiran Perundang-Undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, cet. I, 2005, hlm 49 14 Sayid Sabiq, Ibid, hlm. 147 15 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 55813

21 Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-istri (hendaklah para isteri itu) beriddah empat bulan sepuluh hari . (Q.S. Al Baqarah: 234).16 2. Iddah karena perceraian/thalak Mengenai iddah karena thalak ini maka ada beberapa macam: a. Wanita yang dithalak suaminya dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan. b. Wanita yang dithalak suaminya karena masih mempunyai haid, maka iddahnya adalah 3 kali suci. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228. c. Wanita yang dithalak suaminya sudah tidak hamil dan tidak pula haid baik masih kecil atau sudah lanjut usia, maka iddahnya 3 bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ath Thalaq ayat 4:

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (QS. Ath Thalaq: 4)17 d. Wanita yang dicerai sebelum dikumpuli, maka tidak ada iddah baginya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 49.

16 17

Ibid, hlm. 38 Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm.

22

Hai orang-orang yang beriman jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampuirinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (Q.S. Al-Ahzab: 49)18 4. Hikmah dan Tujuan Iddah Ditetapkannya iddah bagi istri setelah putus perkawinannya, mengandung beberapa hikmah, antara lain sebagai berikut:19 a. Iddah bagi istri yang dithalak raji20 Bagi wanita yang dithalak raji oleh suaminya mengandung arti memberi kesempatan bagi mereka untuk saling memikirkan, memperbaiki diri, mengetahui dan memahami kekurangan serta mempertimbangkan kemaslahatan bersama. Kemudian mengambil langkah dan kebijaksanaan untuk bersepakat rujuk kembali dengan suami istri.

b. Iddah bagi istri yang dithalak bain21

Ibid, hlm. 424 Departemen Agama, Op-Cit, hlm. 275 20 Yaitu thalak dimana suami boleh rujuk (kembali) kepada bekas istrinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan atau akad nikah baru, asalkan istrinya itu masih dalam masa iddah seperti halnya thalak satu atau thalak dua. Lihat Ustadz Abdul Muhaimin Asad, Risalah Nikah, Surabaya : Bintang Terang, cet-I, 1993, hlm. 91 21 Yaitu Thalak dimana suami tidak boleh merujuk kembali bekas istrinya, kecuali dengan melakukan akad nikah baru setelah bekas istrinya itu dikawini orang lain, bada dukhul dan diceraikan. Lihat Aqis Bil Qisthi, Pengetahuan Nikah, Talak dan Rujuk, Surabaya : Putra Jaya, Cet I, 2007, hlm. 6719

18

23 Iddah bagi istri yang dithalak baik oleh suaminya atau perceraian dengan keputusan pengadilan berfungsi: 1. Untuk meyakinkan bersihnya kandungan istri dari akibat hubungannya dengan suami, baik dengan menunggu beberapa kali suci atau haid, beberapa bulan atau melahirkan kandungannya. Sehingga terpelihara kemurnian keturunan dan nasab anak yang dilahirkan. 2. Memberi kesempatan untuk bekas suami untuk nikah kembali dengan akad nikah yang baru dengan bekas istrinya selama dalam masa iddah tersebut jika itu dipandang maslahat. c. Iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya 1. Dalam rangka ber belasungkawa dan sebagai tanda setia kepada suami yang dicintai. 2. Menormalisir keguncangan jiwa istri akibat ditinggalkan oleh suaminya. Menurut Zaenuddin Abd. Al Aziz Al Maribari, iddah adalah masa penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan istri bebas dari kehamilan atau untuk tujuan ibadah atau untuk masa penyesuaian karena baru ditinggal mati suaminya.22 Sedangkan tujuan iddah menurut syariat digunakan untuk menjaga keturunan dari percampuran benih lain atau untuk mengetahui kebersihan rahim (li marifatul baroatur rohim, litaabbudi, li

Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, Bandung: Mizan, cet. I, 2001, hlm. 173

22

24 tahayyiah) yaitu mempersiapkan diri dan memberikan kesempatan terjadinya proses ruju.23 5. Hak dan Kewajiban Bagi Istri yang Beriddah Perempuan iddah memiliki hak dan kewajiban yang harus dijalankan menurut syariat Islam. Adapun hak perempuan pada masa iddah adalah: 1. Istri yang beriddah thalak raji Untuk wanita yang thalak raji atau thalak yang masih ada

kemungkinan bagi mantan suaminya untuk merujuknya lagi, berhak mendapatkan :24 a. Tempat tinggal (rumah) b. Pakaian dan nafkah untuk kebutuhan hidup Kedua hal tersebut diatas hanya diberikan kepada istri yang taat, sedangkan istri yang durhaka tidak berhak mendapatkan apa-apa, Rasulullah bersabda:

: 25 ( ) Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal hak bagi wanita yang suaminya mempunyai hak merujuknya (H.R. Ahmad dan Nasai). c. Warisan Hal ini masih dimiliki oleh wanita yang dithalak raji karena pada dasarnya perkawinan dengan suaminya dianggap23 24

Ibid, hlm. 176 Aqis Bil Qitsi, Ibid, hlm. 74 25 M. Asy-Syaukani, Nail al-Authar, Juz 5, Beirut: al-kutub al-Islamiyah, 1976, hlm. 394

25 masih utuh disaat iddah masih berjalan. Begitu juga jika yang meninggal itu si istri, maka mantan suaminya juga berhak atas harta peninggalan mantan istrinya. Hal ini disebabkan karena

ikatan perkawinan keduanya dapat terjalin kembali jika mantan suaminya tersebut merujuknya.26 2. Istri yang beriddah thalak bain Untuk wanita yang iddah thalak bain atau thalak yang tidak membolehkan ruju kembali bagi bekas suaminya sebelum dinikahi laki-laki lain,27 berhak mendapat: a. Bagi istri yang tidak hamil Bagi perempuan yang iddah thalak bain, baik dengan thalak tebus maupun dengan thalak tiga yang tidak dalam keadaan hamil mereka hanya memperoleh tempat tinggal. Firman Allah SWT :

( 6 .. ) Tinggalkanlah mereka di tempat kediaman yang sepadan dengan keadaan kamu (Ath Thalaq: 6). 28

b. Bagi istri yang hamil

Fatkhurrahman, Ilmu Waris, Surabaya: Al-Ikhlas, 1968, hlm.115 Moh.Rifai, dkk, Kifayatul Akhyar (Terjemah Khulashoh),Semarang, CV. Toha Putra, 1983, hlm. 337 28 Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 55927

26

26 Bagi istri yang di thalak bain dan dalam keadaan hamil berhak memperoleh tempat tinggal, nafkah dan pakaian. Firman Allah SWT:

(6.... )Jika mereka (janda yang diceraikan) mengandung, maka beri nafkahlah mereka olehmu sampai lahir kandungannya (QS. Ath-Thalaq: 6). 29 3. Istri yang beriddah wafat Bagi istri yang beriddah wafat, mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun ia mengandung, karena ia dan anak yang dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka (warisan) dari suaminya yang meninggal. Rasulullah SAW bersabda:

" 30 ( " ) Dari Jabir RA dan ia menganggapnya hadits marfu tentang istri hamil yang suaminya meninggal, ia berkata berkata: istri itu tidak mendapatkan nafkah. (HR. Baihaqi). Bagi perempuan yang beriddah wafat thalak raji menurut kesepakatan Ulama fiqih berhak menerima harta warisan, sedangkan wanita yang menjalani iddah wafat thalak bain ia tidak berhak mendapatkan harta warisan dari suaminya yang wafat.31 Sedangkan kewajiban bagi perempuan yang beriddah adalah:

Departemen Agama RI, Loc.Cit Ibnu Hajar al-Asyqalani, Bulughul Maram, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 241 31 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, Cet I, 1997, hlm. 64030

29

27 a. Tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain, baik secara terangterangan maupun sindiran. Bagi perempuan yang menjalani iddah wafat, pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran, Allah SWT berfirman:

Dan tidak ada bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. (QS. Al-Baqarah: 235)32 b. Tidak boleh nikah atau dinikahi Allah SWT berfirman:

(235 . ) Dan janganlah berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. (QS. Al-Baqarah: 235).33 c. Dilarang keluar rumah (wajib tinggal di rumah sampai iddahnya selesai). Allah SWT berfirman:

(1 ) Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah rumah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang (QS. Ath-Thalak: 1).34 d. Wajib Ihdad Secara etimologi, kata ihdad berasal dari kata (had) yang artinya32 33

( di cegah).35 Sedangkan secara terminologi

Departemen Agama RI, hlm 38. Ibid. 34 Ibid, hlm 945 35 Ahmad Warson Munawwir, Ibid, hlm. 262

28 yaitu mencegah diri dari lambang-lambang perhiasan dan keindahan serta mencegah diri dari menggunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri seperti halnya yang digunakan wanita ketika berdandan untuk suaminya. 36 Dalam sebuah hadits disebutkan :

: . . . 37 ( ) Dari umi athiyah bahwasanya rasulallah Saw bersabda: tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari. Dan jangan ia pakai pakaian yang warnanya mencolok kecuali kain yang warnanya gelap dan jangan ia bercelak dan jangan memakai wangi wangian kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar ( dua macam dupa atau wangi wangian untuk membersihkan bekas haid). (H.R. Muslim). B. ISTIHADHAH 1. Pengertian Dan Dasar Istihadhah Istihadhah ialah darah yang keluar terus menerus dari seorang wanita, tanpa berhenti sama sekali atau berhenti sebentar seperti berhenti sehari atau dua hari dalam sebulan. 38 Yang menjadi dasar hukum istihadhah adalah hadits Nabi SAW :Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jakarta : Gema Insani Press, cet VI, 2000, hlm. 632 37 Imam Abi al Husain Muslim, Ibid, hlm. 1126 38 Abdullah bin Jarullah, Tanggung Jawab Wanita, Jakarta: CV. Agung Lestari, cet I,1994, hlm. 9136

29

: : . 39 ( ) "Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaiys datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah SAW sungguh aku mengalami istihadhah maka aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka Rasulullah SAW bersabda tidak, karena itu adalah darah penyakit bukan darah haid. Apabila datang haid maka tinggalkanlah shalat dan ketika darah iti berhenti maka mandilah dan jalankanlah shalat." (H.R. Muslim) 2. Kondisi Wanita Istihadhah Ada tiga kondisi bagi wanita Mustahadhah :40 a. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah dia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada saat itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah. b. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum istihadhah, karena istihadhah tersebut terus menerus terjadi padanya mulai pada saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan), seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku

39 40

Imam Abi al-Husain Muslim, Op-Cit, hlm. 162 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, Beirut, Darul Kitabul Araby, cet II, 1992, hlm.87

30 baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku hukum-hukum istihadhah. c. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti istihadhah yang dialaminya terjadi terus menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap seperti darah haid. Dalam kondisi seperti ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah 6 atau 7 hari pada setiap bulan dihitung mulia dari saat pertama kali mendapati darah, sedangkan istihadhah. 3. Macam-macam Istihadhah Sebab orang istihadhah itu ada kalanya baru sekali mengeluarkan darah/belum pernah haid dan suci langsung melebihi 15 hari (Mubtadaah) atau perempuan tersebut sudah pernah haid dan suci (mutadah) berpegang pada adat kebiasaanya, dan ada kalanya darahnya dua warna (qowi & dhoif) sehingga ia dapat membedakannya (mumayyizah), atau darahnya hanya 1 macam saja, sehingga ia tidak dapat membedakanya (ghoiru mumayyizah).41 sedangkan macam-macam istihadhah adalah: 42 a. Mubtadaah Mumayyizah Mubtadaah mumayyizah (orang istihadhah yang pertama) ialah orang istihadhah /orang yang mengeluarkan darah melebihi 15 hariTeungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, prof. Dr, Kuliah Ibadah, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1992, hlm. 118 42 KH. Muhammad Ardani Bin Ahmad, Risalah Haid Nifas dan Istihadhah, Surabaya: AlMiftah,1992, hlm. 4941

selebihnya merupakan

31 yang sebelumnya belum pernah haid, serta mengerti bahwa darahnya 2 macam (darah kuat dan darah lemah) atau melebihi dua macam. Hukumnya: Mubtadaah mumayyizah itu haidnya itu haidnya dikembalikan kepada darah qowi (kuat), yakni semua darah qowi adalah haid sedangkan darah dhoif adalah darah istihadhah, meskipun lama sekali (beberapa bulan/beberapa tahun). Akan tetapi dihukumi demikian bila memenuhi 4 syarat: 1.) Darah qowi tidak kurang dari sehari semalam (24 jam) 2.) Darah qowi tidak melebihi dari 15 hari 3.) Darah dhoif tidak kurang dari 15 hari. 4.) Akan tetapi kalau darah dhoif berhenti sebelum 15 hari maka tidak harus memenuhi syarat tersebut. b. Mubtadaah Ghoiru Mumayyizah Yaitu orang istihadhah yang belum pernah haid serta darahnya hanya satu macam saja, (hanya darah merah atau darah hitam saja). Hukumnya : Mubtadaah Ghoiru Mumayyizah itu haidnya sehari semalam terhitung terhitung dari permulaan keluarnya darah, lalu sucinya 29 setiap bulan. Artinya kalau darahnya terus keluar sampai sebulan atau beberapa bulan, maka setiap bulan (30 hari) haidnya sehari semalam, sedangkan sucinya (istihadhah) 29 hari. Tetapi kalau keluarnya darah tidak mencapai sebulan, maka haidnya sehari semalam, lainnya istihadhah (suci). Akan tetapi kalau pada suatu bulan darahnya tidak melebihi15 hari, maka semua darah haid. c. Mutadah Mumayyizah

32 Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci serta mengerti bahwa dirinya mengeluarkan darah dua macam atau lebih (qowi dan dhoif) Hukumnya; Dalam hal ini ada tiga macam hukum yang berbeda: 1.) Waktu serta kira-kira (banyak sedikitnya) darah qowi sama dengan waktu serta kira-kiranya kebiasaan haid yang sebelumnya. Misal: Kebiasaan haidnya 5 hari mulai tanggal 1, lalu pada bulan berikutnya mengeluarkan darah hitam 5 hari mulai tanggal 1, lalu darah merah sampai akhir bulan. Maka yang 5 hari adalah haid dan seterusnya istihadhah (suci). a.) Waktu dan ukuran darah qowi tidak sama dengan

kebiasaannya, namun antara masanya kebiasaan haid dengan darah qowi tidak ada 15 hari. b.) Waktu atau ukuran darah qowi tidak sama dengan

kebiasaannya serta antara masa kebiasaan haid dan darah qowi 15 hari. d. Mutadah Ghoiru Mumayyizah Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan sucim darahnya hanya satu macam serta wanita yang bersangkutan ingat akan ukuran dan waktu haid dan suci yang menjadi kebiasaannya. Hukumnya :

33 Wanita yang demikian itu banyak atau sedikit serta waktunya haid dan suci disamakan dengan adatnya. Baik itu haid seperti setiap bulan ataupun setiap dua bulan atau setiap satu tahun atau kurang dari satu bulan, baik kebiasaan itu baru terjadi sekali atau sudah berulang kali. e. Al-Mutadah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li Adatiha wa Waqtan (AlMutahayyiroh) Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci, darahnya satu macam dan ia tidak ingat/tidak mengerti akan ukuran serta waktu adapt haidnya yang pernah ia jalankan. Wanita yang demikian disebut Mutahayyiroh Hukumnya: Wanita Mutahayyiroh tersebut tidak dapat ditentukan haid dan sucinya, karena seluruh masa keluarnya darah bisa mengundang banyak kemungkinan, bisa haid atau sedang berhenti darah nya, wanita tersebut dihukumi seperti orang haid, di dalam sebagian hukum, yaitu: 1.) Haram dinikmati antara lutut dan pusar. 2.) Membaca Al-Quran diluar shalat 3.) Menyentuh atau membawa Al-Quran 4.) Berdiam di masjid 5.) Lewat di masjid, kalau khawatir mengotori masjid Dan seperti orang suci dalam sebagian hukum, yaitu: 1.) Boleh/wajib shalat. 2.) Boleh/wajib puasa

34 3.) Boleh thawaf 4.) Boleh dicerai 5.) Boleh mandi/bahkan wajib Karena setiap waktu keluar darah kemungkinan untuk menepati waktu terhentinya haid yang di adakan, maka wanita tersebut wajib mandi tiap-tiap akan menjalankan shalat fardhu setelah masuk waktu sholat. f. Al-Mutadah Ghoiru Mumayyizah La Dzakirah Li Adatiha Qodron wa Waqtan (Mutahayyiroh Bi Nisbati Liwaqtil Aadhah) Yaitu orang istihadhah yang pernah haid dan suci darah nya hanya satu macam dan ia hanya ingat pada banyak sedikitnya haid yang menjadi adat nya tadi namun tidak ingat akan waktunya. Hukumnya: Pada masa yang diyakini suci, hukumnya suci. Sedangkan pada waktu yang sedang diyakini haid, maka hukumnya haid, maka hukumnya haid. Dan pada masa yang ragu-ragu/mengandung banyak kemungkinan maka hukumnya seperti Mutahayyiroh. g. Al-Mutadah Ghoiru Mumayyizah Az-Dzakirah Li Adatiha Waqtan Laa Qodron /Mutahayyiroh Bi Nisbati Liqodril Aadah. Yaitu orang Istihadhah yang pernah haid dan suci, warna darahnya hanya satu macam atau tidak bisa membedakan darah, dan ia ingat akan waktu haid adatnya, tapi tidak ingat pada banyak sedikitnya. Hukumnya:

35 Pada hari yang diyakini haid hukumnya haid, pada hari yang diyakini suci hukumnya suci. Sedangkan pada hari yang mengandung banyak kemungkinan maka hukumnya seperti Mutahayyiroh. 4. Bentuk Atau Macam Darah Istihadhah Menurut Ilmu Kedokteran Bentuk atau macam darah istihadhah menurut ilmu kedokteran adalah 43 a. Placenta Previa Placenta previa adalah placenta yang letaknya tidak normal, yaitu pada bagian bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Penyebab placenta previa belum diketahui secara pasti. Frekuensi terjadinya placenta previa meningkat pada seorang wanita yang sudah sering melahirkan, memiliki riwayat pembedahan (seksio sesarea) atau aborsi pada kehamilan sebelumnya.

b. Bloody show Bloody show adalah suatu cairan discharge (lendir atau getah) yang bercampur dengan darah segar. Bloody show biasanya menjadi salah satu pertanda bahwa seorang yang hamil tua sudah mengalami proses melahirkan. Bloody show secara normal berbau khas dan agak amis, tetapi dapat juga berbau busuk jika terjadi penyumbatan, pengeluaran dan infeksi. c. Pendarahan akibat penggunaan preparat hormonal (obat-obatan KB)

43

Hendrik, Problema Haid, Solo: Tiga Serangkai, Cet I, 2006, hlm. 156-160

36 Pendarahan karena penggunaan preparat hormonal ini biasanya sering terjadi pada wanita pengkonsumsi pil-pil dan suntikan keluarga berencana (obat-obatan KB). Pendarahan yang terjdi biasanya disebabkan ketidakteraturan dalam pengansumsi obat-obatan KB, kelebihan dalam penggunaan obat-obatan dapat mengakibatkan kelainan dalam pola siklus haid. Sifat-sifat pendarahan yang paling terjadi diantaranya berupa bercak-bercak darah dan perdarahan pervaginam yang tidak teratur atau tidak sesuai dengan waktu haid yang semestinya

(metrorogia/istihadhah). Penyebab terjadinya istihadhah paling sering adalah gangguan psikis (kejiwaan), seperti stress merupakan psikis yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik urusan pekerjaan, rumah tangga dan sebagainya.

5. Hukum Wanita Istihadhah Pada penjelasan diatas maka dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid. Sedangkan jika yang terjadi adalah darah istihadhah maka yang berlaku adalah hukum istihadhah.

37 Hukum istihadhah sama halnya dengan hukum wanita dalam keadaan suci, tidak ada bedanya antara perempuan mustahadhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut: a. Wanita mustahadhah wajib berwudlhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan hadits Nabi SAW.

: : : . . 44 ( . ) "Dari Aisyah bahwa Fatimah binti Abi Hubaiys datang kepada Nabi SAW kemudian berkata: Ya Rasulullah SAW sungguh aku mengalami istihadhah maka aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? Maka Rasulullah SAW bersabda tidak, karena itu adalah darah penyakit bukan darah haid maka tinggalkanlah shalat pada hari-hari haidmu. Kemudian mandilah dan berwudlulah ketika hendak shalat. Walaupun darah itu menetes diatas alas (HR. Ibnu Majah) Berdasarkan arti dari hadits di atas memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudlu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. b. Ketika hendak berwudlu, membersihkan sisa-sisa darah yang melekatkan kain dengan kapas (pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw.

. . 44

Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan ibnu Majah, Juz 1, t.th, Dar Al Fikr, hlm.

204

38

. . " " : 45 (. ) Diceritakan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ibunya Hamnah binti Jahsy. Sesungguhnya saya mengalami istihadhah pada masa Rasulullah SAW. Kemudian saya datang kepada Rasulullah SAW. Kemudian saya berkata: Sesungguhnya saya mengalami istihadhah yang sangat banyak. Kemudian Beliau bersabda: gunakanlah kapas. Kemudian saya berkata: darahnya lebih banyak dari itu, beliau bersabda maka pakailah penahan. (HR. Ibnu Majah) Dari pemahaman tersebut walaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi kepada Fatimah binti Abi Hubaisy tinggalkanlah shalat pada hari-hari haid mu, kemudian mandi lah dan berwudlulah untuk setiap kali shalat, lalu shalat lah meskipun darah menetes diatas alas.

c. Jima (senggama) Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan atau tidak bersetubuh bagi dan kepada perempuan yang tertimpa Istihadhah apabila dengan meninggalkan jima (bersetubuh) tidak dikhawatirkan akan terjadinya zina, akan tetapi yang benar ialah boleh melakukan jima secara mutlak, baik dikhawatirkan secara adanya perbuatan zina atau tidak. 6. Wanita Yang Hampir Sama Mustahadhah45

Ibid, hlm. 205

39 Karena suatu sebab, wanita mengalami pendarahan pada farjinya, karena sudah dioperasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam: a. Diketahui bahwa wanita tidak memungkinkan untuk haid lagi setelah operasi, misalnya operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah yang tidak bisa keluar lagi darinya. Maka tidak berlaku baginya hukum mustahadhah . b. Wanita-wanita tersebut tidak diketahui bahwa dia tidak bisa haid lagi setelah operasi, tetapi diperkirakan dia bisa haid sekali lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah .46 Berdasarkan pada potongan hadits Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:

... 47 ( ) Ia hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat

46 Ummu Ahmad al-Ghozy, Ketika Cewek Datang Bulan, PT: Mirqat Media Grafika, Cet I, 2007, hlm. 63-64 47 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Op-Cit

BAB III PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH

A. BIOGRAFI IMAM MALIK 1. Kelahiran Imam Malik (93-179 H) Imam Malik adalah Imam kedua dari Imam Empat dalam Islam dari segi umur beliau dilahirkan 13 tahun sesudah kelahiran Abu Hanifah.1 Nama lengkapnya Abu Abdullah Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abu Amar Ibn Al-haris. Beliau lahir di Madinah tahun 93 H. Beliau berasal dari keturunan Bangsa Himyar, jajahan Negeri Yaman.2 Ayah Imam Malik adalah Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Abi Al-Haris Ibn Saad Ibn Auf Ibn Ady Ibn Malik Ibn Jazid.3 Ibunya bernama Siti Aliyah binti Syuraik Ibn Abdul Rahman Ibn Syuraik Al-Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan ibunya selama 2 tahun ada pula yang mengatakan sampai 3 tahun.4 Imam Malik Ibn Anas dilahirkan saat menjelang periode sahabat Nabi SAW di Madinah.5 Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama 2 zaman, ia lahir pada masa Bani Umayyah tepat padaAhmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. II, 1993, hlm. 71. 2 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos, cet. I, 1997, hlm. 103. 3 Moenawir Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang, cet. VIII, hlm. 84. 4 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit. 5 Abdur Rahman, Syariah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, cet. I, 1993, hlm. 44.1

38

39 pemerintahan Al-Walid Abdul Malik (setelah Umar ibn Abdul Aziz) dan meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Rasyid (179 H).6 2. Pendidikan Imam Malik Imam Malik terdidik di Kota Madinah pada masa pemerintahan Kholifah Sulaiman Ibn Abdul Malik dari Bani Umayyah, pada masa itu masih terdapat beberapa golongan pendukung Islam antara lain sahabat Anshar dan muhajirin. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah AlQur'an yakni bagaimana cara membaca, memahami makna dan tafsirnya. Beliau juga hafal Al-Qur'an diluar kepala. Selain itu beliau juga mempelajari hadits Nabi SAW, sehingga beliau mendapat julukan sebagai ahli hadits.7 Sejak masa kanak-kanak Imam Malik sudah terkenal sebagai ulama dan guru dalam pengajaran Islam. Kakeknya yang senama dengannya, merupakan ulama hadits yang terkenal dan dipandang sebagai perawi hadits yang hidup sampai Imam Malik berusia 10 tahun. Dan pada saat itupun Imam Malik sudah mulai bersekolah, dan hingga dewasa beliau terus menuntut ilmu.8 Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu

pengetahuan seperti ilmu Hadits, Al-Rad al-Ahlil Ahwa Fatwa, Fatwa dari

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Rosdakarya, cet. II, 2000, hlm. 79. 7 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit. 8 Abdurrahman, op. cit., hlm. 146.

6

40 para sahabat-sahabat dan ilmu fiqh ahli rayu (fikir).9 Selain itu sejak kecil beliau juga telah hafal al-Qur'an. Hal itu beliau lakukan karena senentiasa beliau mendapatkan dorongan dari ibundanya agar senantiasa giat menuntut ilmu. 3. Kehidupan Imam Malik Setelah ditinggal oleh orang yang menjamin kehidupannya, Imam Malik harus mampu membiayai barang dagangan seharga 400 dinar yang merupakan warisan dari ayahnya, tetapi karena perhatian beliau hanya tercurahkan pada masalah-masalah keilmuan saja sehingga beliau tidak memikirkan usaha dagangnya, akhirnya beliau mengalami kebangkrutan dan kehidupan bersama keluarganya pun semakin menderita.10 Selama menuntut ilmu Imam Malik dikenal sangat sabar, tidak jarang beliau menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu Al-Qasyim pernah mengatakan Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian rupa sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian dijual di pasar.11 Setelah Imam Malik tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya kecuali dengan mengorbankan tekad menuntut ilmu, mulailah Imam Malik menyatakan seruannya kepada pengusaha, agar para ahli dijamin dapat mencurahkan waktu dan tenaga untuk menekuni ilmu yaitu

Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 75. Abdur Rahman Asy-Syarqawi, Riwayat 9 Imam Fiqih, Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 2000, hlm. 278. 11 Abdullah Musthofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LPPSM, cet. I, 2000, hlm. 79.10

9

41 dengan memberi gaji atau penghasilan lain untuk menjamin kehidupan mereka. Namun tak ada seorang pun para pengusaha yang menghiraukan seruan Imam Malik. Karena pada saat itu daulah Umayyah sedang sibuk memperkokoh dan menetapkan kekuasaannya, mereka sedang menarik simpati para ilmuwan yang tua bukan yang muda. Hingga akhirnya secara kebetulan Imam Malik bertemu dengan pemuda dari Mesir yang juga menuntut ilmu, pemuda itu bernama AlLayts Ibn Saad dan keduanya saling mengagumi kecerdasan masingmasing. Sehingga tumbuhlah semangat persaudaraan atas dasar saling hormat.12 Meskipun Imam Malik senantiasa menutupi kemiskinan dan penderitaannya dengan selalu berpakaian baik, rapi dan bersih serta memakai wangi, tetapi Al-Layts ibn Saad mengetahui kondisi Imam Malik yang sebenarnya. Sehingga sepulang kenegerinya, Al-Layts tetap mengirimkan hadiah uang kepada Imam Malik di Madinah, dan ketika itu kholifah yang berkuasa menyambut baik seruan Imam Malik agar penguasa memberikan gaji/penghasilan kepada para ahli ilmu.13 4. Guru-Guru Imam Malik Saat menuntut ilmu Imam Malik mempunyai banyak guru. Dalam kitab Tahdzibul Asma wa Lughat menerangkan bahwa Imam Malik

12 13

Abdur Rahman Asy-Syarqawi, loc. cit. Ibid

42 pernah belajar kepada 900 syeikh, 300 darinya golongan tabiin dan 600 lagi dari tabiit tabiin.14 dan guru-gurunya yang terkenal diantaranya: a. Abu Radim Nafi bin Abd. Al-Rahman Dalam bidang Al-Qur'an, Imam Malik belajar membaca dan menghafal Al-Qur'an sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu tajwid yang baku dari ulama yang sangat terkenal, Abu Radim Nafi bin Abd. AlRahman yang sangat terkenal dalam bidang ini hingga masa sekarang.15 b. Nafi Nafi merupakan seorang ulama hadits yang besar pada masa awal kehidupan Malik. Nafi mempelajari ilmu ini dari gurunya yang masyhur (Abdullah ibn Umar) karena Nafi pada mulanya adalah budak yang dimerdekakannnya setelah 30 tahun melayaninya. Orang yang mengetahui kedudukan Abdullah bin Umar dalam khazanah hadits niscaya akan memahami betapa beruntungnya Nafi dapat belajar dari tokoh yang sedemikian besar.16 c. Rabiah bin Abdul Rahman Furukh (Rabiah al-Ray) Beliau berguru padanya ketika masih kecil. Imam Malik banyak mendengarkan hadits-hadits Nabi dari beliau. selain itu beliau juga merupakan guru Imam Malik dalam bidang hukum Islam.17

14 15

Jaih Mubarok, loc. cit. Abdurrahman L. Doi, Inilah Syariat Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I. 1990, hlm. Ibid Jaih Mubarok, loc. cit.

137.

16 17

43 d. Muhammad bin Yahya Al-Anshari Beliau merupakan guru Imam Malik yang lain, termasuk juga ke dalam kelompok tabiin. dia biasa mengajar di Masjid Nabawi Madinah. Sedangkan guru-guru beliau yang lain adalah Jafar ash-Shadiq, Abu Hazim Salmah bin Nidar, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Said, dan lain-lain. 5. Murid-Murid Imam Malik Imam Malik mempunyai banyak sekali murid yang terdiri dari para ulama. Qodhi Ilyad menyebutkan bahwa lebih dari 1000 orang ulama terkenal yang menjadi murid Imam Malik, diantaranya: Muhammad bin Muslim Al-Zuhri, Rabiah bin Abdurrahman, Yahya bin Said Al-Anshori, Muhammad bin Ajlal, Salim bin Abi Umayah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq dan Sulaiman bin Mahram Al-Amasi.18 Sedangkan yang seangkatan adalah Sufyan bin Said Al-Sauri, Lais bin Saad Al-Misri, al-Auzai, Hamad bin Zaid, Sufyan bin Uyaynah, Hammad bin Salamah, Abu Hanifah dan putranya Hammad, Qodhi Abu Yusuf, Qodhi Syuraik bin Abdullah dan Syafii, Abdullah bin Mubarok, Muhammad bin Hasan, Qodhi Musa bin Thoriq dan Walid bin Muslim.

18

Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 75

44 6. Karya Imam Malik Di antara karya Imam Malik adalah kitab Al-Al-muwatha yang ditulis pada tahun 144 H. Atas anjuran kholifah Jafar Al-Mansyur. Menurut penelitian Abu Bakar Al-Abhary Atsar Rosulullah SAW, para sahabat dan tabiin yang tercantum dalam kitab Al-Al-muwatha sejumlah 1.720 orang. Pendapat Imam Malik bisa sampai pada kita melalui 2 buah kitab, yaitu Al-Al-muwatha dan Al-Mudawwamah al-Kubro.19 Kitab Almuwatha mengandung 2 aspek yaitu aspek hadits dan aspek fiqih. Adanya aspek hadits karena Al-Al-muwatha banyak mengandung hadits yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat atau tabiin. hadits itu diperoleh dari 95 orang yang kesemuanya dari penduduk Madinah, kecuali 6 orang diantaranya: Abu Al-Zubair (makkah), Humaid Al-Tawil dan Ayyub Al-Sahtiyang (basrah), Atha bin Abdullah (khurasan), Abdul Karim (jazirah), Ibrahim ibn Abi Ablah (syam).20 Sedangkan yang dimaksud aspek fiqih adalah karena kitab Al-Almuwatha disusun berdasarkan sistematika dengan bab-bab pembahasan layaknya kitab fiqih. Ada bab thaharah, sholat, zakat, puasa, nikah, dan lain-lain.21 Kitab lain karangan Imam Malik adalah kitab Mudawwamah AlKubro yang merupakan kumpulan risalah yang memuat kurang lebih 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oleh Asad ibn Al19 20

Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 117. Ibid 21 Ibid, hlm. 118.

45 Furaid Al-Naisabury yang berasal dari tunis yang pernah menjadi murid Imam Malik. Al-muwatha sebenarnya ditulis oleh Asad ibn Al-Furaid ketika di Irak, ketika ia bertemu dengan Yusuf dan Muhammad yang merupakan murid Abu Hanifah, ia banyak mendengarkan masalah fiqih aliran Irak. Kemudian ia pergi ke Mesir dan bertemu Al-Qosim (murid Imam Malik). Dengan permasalahan fiqih yang diperolehnya dari Irak, dia menanyakan kepada Al-Qosim, dan akhirnya jawaban-jawaban itulah yang menjadi kitab Mudawwamah al-kubro.22

B. PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH Iddah yang merupakan jarak waktu yang ditentukan oleh syariat Islam bagi seorang perempuan yang bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya, sampai ia diperkenankan menikah lagi. Ketentuan jarak waktu menunggu ini dikenakan terhadap istri yang diceraikan oleh suaminya dengan proses thalak,23 fasakh,24 khuluk25 dan sebagainya, asalkan di dalam pernikahan itu sudah berlangsung koitus (bada dukhul). Hal ini juga berlaku bagi istri yang

Ibid, hlm. 119. Thalak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri dengan memakai kata-kata tertentu. Lihat: Departemen Agama, Ilmu Fiqih II, Jakarta: Dirjen Binbaga, 1984/1985, hlm. 226. 24 Fasakh ialah putusnya perkawinan dengan jalan pembatalan ikatan tali perkawinan (nikah) yang dilakukan oleh hakim, setelah ada usulan dari si istri. Lihat: Ustad Abdul Muhaimin Asad, Risalah Nikah, Surabaya: Bintang Terang, cet. I, 1993, hlm. 96. 25 Khuluk yaitu thalak (perceraian) yang t imbul atas inisiatif istri dengan membayar tebusan (iwad) kepada suami. Lihat: Aqis bil Qisthi, Pengetahuan Nikah, Thalak dan Rujuk, Surabaya: Putra Jaya, 2007, hlm. 81.23

22

46 ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan bagi istri yang belum digauli menurut pendapat ulama tidak ada iddah baginya. Bagi istri yang sudah pernah berhubungan (dukhul), terkadang masih mengalami haid ataupun sebaliknya. Istri yang tidak haid terkadang masih kecil dan terkadang sudah putus haid. Istri yang masih haid terkadang sedang hamil, haidnya berjalan teratur atau terkena pendarahan. Sedangkan masalah iddah telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Mengenai wanita yang istihadhah, Imam Malik berpendapat bahwa iddahnya satu tahun. Alasanya wanita tersebut disamakan dengan istri yang sudah tidak haid. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dalam kitab AlAl-muwatha:

: 26 . Diceritakan dari Imam Malik, dari ibn Shihab dari Said bin Musayab, iddah bagi wanita istihadhah satu tahun. Istri tersebut harus menunggu selama 9 bulan, jika masa tersebut istri masih belum haid, maka ia menjalani haid tiga bulan.27 Imam Malik mengemukakan alasan secara rasional, iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui kekosongan rahim wanita dari kehamilan. Karena terdapat fakta, ada wanita yang hamil kadang mengalami haid. Sedangkan pendapat Imam lain dapat kita temukan dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid ,28 yaitu :

Imam Malik bin Anas, Al-Muwatho, Bairut: Darul Ihyaul Ulum, hlm. 437 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, juz I, Baerut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, t.th, hlm.69. 28 Ibid.27

26

47 1. Pendapat Abu Hanifah yang berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan haid yaitu tiga bulan apabila ia sudah putus haid dan tiga quru apabila ia masih haid. Alasannya wanita itu mengalami haid pada tiap bulan. maka Allah menjadikan iddahnya dengan bilangan bulan, pada saat haidnya menghilang atau ketidakjelasan haid sama dengan menghilangnya haid. 2. Pendapat Imam Syafii bahwa iddah wanita yang istihadhah berdasarkan pembedaan, jika darahnya dapat di beda-bedakan (darah merah tua adalah darah hari-hari haid dan darah yang berwarna kuning adalah darah harihari suci). Jika kedua jenis darah tersebut dapat dibedakan maka ia beriddah tiga bulan apabila ia sudah putus haid atau tiga quru apabila ia masih haid. Imam Syafii berpendapat demikian berkenaan dengan pendapatnya mengenai wanita yang mengetahui hari-hari haid dan istihadhah, agar ia berbuat berdasarkan pengetahuannya bahwa hal itu disamakan dengan shalat. C. Istinbath Hukum Imam Malik Imam Malik merupakan imam madzhab yang memiliki perbedaan istinbath hukum dengan imam madzhab lainnya. Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka madzhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu, mengumpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinambungan pemikiran, paling tidak beberapa isyarat itu dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa

48 Imam Malik terutama dalam bukunya al-muwatha`. Dalam almuwatha`, secara jelas Imam Malik menerangkan bahwa dia mengambil tradisi orang-orang madinah sebagai salah satu sumber hukum setelah AlQur'an dan sunnah. Bahkan ia mengambil hadits munqothi dan mursal selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Mengenai metode istinbath hukum Imam Malik telah dijelaskan oleh Al-Qadi Iyad dalam kitab al Madarik Dar al-Rasyid ,dan juga salah seorang fuqoha malikiyah. Kemudian dalam kitab al Bahjah yang disimpulkan oleh pengarang kitab Tarikh al Madzahibil Islamiyah disebutkan sebagai berikut:

.29. " Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan yang lainnya bahwasanya metode ijtihad Imam Darul Hijriyah itu adalah apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash didalamnya maka dia mencarinya di dalam sunnah, dan menurut beliau yang masih tergolong kategori sunnah perkataan Rasulullah saw, fatwa-fatwa sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah. Setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas.Walaupun para ulama hadits yang ditemui oleh Imam Malik termasuk kelompok ulama tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian hukum, namun pengaruh Rabiah bin Yahya bin Said tetap kuat pada corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum madzhab Malik yang bersumber pada : Al-quran, hadits, tradisi masyarakat Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sadd al- dzarai.Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Beirut: Dar Al-Fikr, Juz II, tth, hlm. 42329

49 Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiedieqy mengatakan Imam Malik bin Anas mendasarkan fatwanya kepada kitabullah, sunnah yang beliau pandang shohih, amal ahli Madinah, qiyas, istihsan.30 Menurut as- satibi dalam kitab al- muwafaqot menyimpulkan dasardasar Imam Malik ada empat yaitu Al-quran, hadits, ijma, rayu. Sedangkan fatwa sahabat dan amal ahli Madinah digolongkan dalam sunnah. Royu meliputi maslahah mursalah, sadd al zaraI, adat (urf), istihsan dan istishab. Secara garis besar, dasar-dasar Imam Malik dalam menetapkan suatu hukum dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Al-Qur'an Ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan Bahasa Arab yang di riwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.31 Dalam mengambil hukum di dalam Al-Qur'an beliau berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi mafhum al-muwafaqoh dan mafhum aula dengan memperhatikan illatnya. b. Sunnah (Hadits) Ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum.32 Dalam mengambil hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukan dalam mengambil hukum di dalam AlQur'an. Beliau lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada dhahir sunnah (sunnah mutawatiroh atau masyhur). c. Amal Ahli Madinah

Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiedieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki, 1997, hlm. 88 31 Drs. Sarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, cet. I, hlm. 28. 32 Ibid, hlm. 61.

30

50 Madzhab Maliki memberikan kedudukan yang penting kepada perbuatan orang-orang Madinah, sehingga kadang-kadang

mengesampingkan hadits Ahad, karena amal ahli Madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedangkan hadits ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Apabila pekerjaan itu bertentangan dengannya dan pekerjaan orang-orang Madinah, menurut pandangannya sama kedudukannya dengan yang diriwayatkan mereka, dimana mereka mewarisi pekerjaan tersebut dari nenek-moyang mereka secara berurutan sampai kepada para sahabat.33 Imam Malik menggunakan dasar amal ahli Madinah karena mereka paling banyak mendengar dan menerima hadits. Amal Ahli Madinah yang digunakan sebagai dasar hukum merupakan hasil mencontoh Rasulullah SAW bukan dari ijtihad Ahli Madinah, serta amal ahli Madinah sebelum terbunuhnya Ustman bin Affan.34 d. Fatwa Sahabat Fatwa sahabat merupakan fatwa yang berasal dari sahabat besar yang didasarkan pada al-naql. Dan fatwa sahabat itu berwujud hadits yang wajib diamalkan. Karena menurut Imam Malik para Sahabat tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah SAW. Dalam hal ini Imam Malik mensyaratkan fatwa sahabat tersebut harus tidak bertentangan dengan hadits marfu.35

Khozin Siroj, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1981, hlm. 55 34 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 107. 35 Ibid, hlm. 108.

33

51 e. Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan Qiyas yaitu menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nashnya karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukum.36 Dan qiyas ini merupakan pintu awal dalam ijtihad untuk menemukan hukum yang tidak ada nashnya baik dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Maslahah mursalah yaitu memelihara tujuan-tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang menolak makhluk.37 Sedangkan istihsan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yaitu bersifat kulli (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu, bukan berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara secara keseluruhan.38 Dalam hal ini, ketika Imam Malik menemui sebuah kasus dan tidak menemukan pemecahannya pada Al-Qur'an, hadits, serta ijma para sahabat Madinah. Barulah ia menqiyaskan kasus yang baru itu dengan kasus yang mirip yang pernah terjadi. Jika pada dua kasus terjadi banyak illat (sebab, alasan) yang serupa atau hampir serupa. Akan tetapi jika hasil penqiyasan itu ternyata berlawanan dengan kemaslahatan umum, baginyaProf. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, cet. VIII, hlm. 74. 37 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, cet. IV, hlm. 199. 38 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 109.36

52 lebih baik menetapkan keputusan hukumnya atas dasar prinsip kemaslahatan umum.39 Imam Malik menggunakan maslahah mursalah pada kepentingan yang sesuai dengan semangat syariah dan tidak bertentangan dengan salah satu sumbernya serta pada kepentingan yang bersifat dlarury (meliputi pemeliharaan agama, kehidupan, akal, keturunan, dan

kekayaan).40 f. Sadd al-Zarai Imam Malik menggunakan sadd al-zarai41 sebagai landasan dalam menetapkan hukum, karena menurutnya semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram . Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.42

Abdurrahman Asy-Syarqawi, op. cit., hlm. 270. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991, cet. I, hlm. 131. 41 Sadd Al-Zarai yaitu menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Lihat: Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 102. 42 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 112.40

39

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG IDDAH BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH

A. Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita yang Istihadhah Dari pembahasan yang telah penulis kemukakan diatas, maka penulis berusaha menganalisis pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita yang istihadhah. Yang mana pada bab sebelumnya penulis telah menjelaskan tentang keunikan Imam Malik dibandingkan ulama lain seperti Abu Hanifah dan Imam Syafii dalam hal penggunaan istinbath hukum, sehingga berdampak pada hukum yang dikeluarkan, dengan dasar istinbath hukum yang berbeda maka berbeda pula hukum yang dihasilkan. Ada perbedaan yang sangat signifikan antara Imam Malik dengan Imam lainnya dalam penggunaan istinbath hukum. Imam Malik lebih mendahulukan amal ahli madinah dan menganggap qoul sahabat sebagai dalil Syari yang harus didahulukan dari pada qiyas. Menurut Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha disebutkan :

1 . : "Diceritakan dari Malik bin Said, dari Said bin Musayyab, Imam Malik berkata : thalak adalah untuk laki- laki dan Iddah untuk perempuan ".

1

Imam Malik Bin Anas, Al- Muwatha, Beirut : Daar Al- Fikr, t.th, hlm. 356

54 Iddah yang merupakan tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang wanita sejak ia berpisah dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena thalak maupun karena suaminya meninggal dunia dan dalam masa tersebut, wanita itu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain. keadaan wanita tersebut bisa saja suci, haid, sudah putus haid hamil atau sedang mengalami pendarahan (istihadhah). Berkaitan dengan iddah bagi wanita istihadhah, menurut Imam Malik adalah satu tahun. Hal ini beliau ungkapkan dalam kitabnya :

2 Kemudian dalam kitab Syarah al- Zarqoni disebutkan :

3 . "Diceritakan dari Yahya bin Said, dari Said bin Musayyab, bahwa Imam Malik berkata: iddah bagi wanita istihadhah adalah satu tahun. Apabila wanita tersebut tidak bisa membedakan antara dua darah (darah haid dan darah istihadhah) apabila ia bisa membedakan antara dua darah tersebut maka iddahnya dengan hitungan quru bukan dengan hitungan tahun (menurut al- qosim ). Sedangkan menurut Ibn Wahab iddahnya adalah satu tahun saja." Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa iddah bagi wanita yang istihadhah pada dasarnya berdasarkan pembedaan. Apabila ia bisa membedakan antara dua darah, maka ia Beriddah dengan hitungan quru sedangkan bila ia tidak bisa membedakan antara dua darah maka ia Beriddah dengan hitungan tahun. Selanjutnya Imam Malik memberikan batasan (rincian) tentang hitungan iddah sampai satu tahun, diterangkan dalam kitabnya:

Ibid. Imam Syayyidi Muhammad al-Zarqoni, Syarah Az-Zarqani Juz III, Beirut: Dar al-Fiqr, t.th., hlm. 2123

2

69

55

: 4 . " istri yang diceraikan kemudian tidak haid, sedang ia masih dalam usia haid maka wanita tersebut beriddah selama sembilan bulan, jika masa itu (sembilan bulan) istri tersebut tidak haid maka ia menjalani iddah selama tiga bulan. Apabila ia haid sebelum sempurna masa tiga bulan, maka haid tersebut dihitung dan menunggu kedatangan haid berikutnya. Apabila telah berlalu masa sembilan bulan tetapi belum datang haid yang kedua maka ia beriddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid sebelum selesai tiga bulan dari haid yang kedua, maka ia menunggu haid yang ketiga. Jika sudah berlalu masa sembilan bulan sebelum datangnya haid,. Maka ia beriddah selama tiga bulan. Jika ia mengalami haid yang ketiga kalinya pada masa tiga bulan, maka telah sempurnalah haidnya dan selesai pula masa iddahnya, suaminya boleh merujuk selama istri tersebut belum lepas dari iddahnya. " Imam Malik memberikan batasan demikian karena beliau

menyamakan iddah bagi wanita yang istihadhah dengan wanita yang tidak haid, sedang ia masih dalam usia haid. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh Imam Malik melalui atsar Umar bin Khattab:

: 5 . "Umar bin khatab berkata: wanita yang dithalak suaminya dalam keadaan haid baik haidnya baru sekali atau dua kali kemudian haidnya berhenti, maka ia harus menunggu selama sembilan bulan untukImam Malik bin Anas, op. cit. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I, Beirut: Dar al-Kutun alIslamiyah, t.th., hlm. 695 4

69

56 mengetahui kehamilannya, Apabila setelah sembilan itu ia tidak hamil maka ia beriddah selama tiga bulan dan wanita tersebut halal untuk dinikahi." Pendapat Imam Malik yang lain dapat kita temukan dalam kitab bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid :

: . 6 . "Menurut Imam Malik wanita yang istihadhah adalah satu tahun apabila tidak bisa membedakan antara dua darah. Apabila wanita tersebut bisa membedakan antara dua darah terdapat dua pendapat yaitu iddahnya adalah satu tahun, sedangkan Imam yang lain mengatakan iddahnya dengan hitungan quru. " Selanjutnya beliau memberikan alasan :

7 . "Mengenai pendapat Imam Malik untuk menunggu satu tahun, ia mengemukakan alasan bahwa istri tersebut disamakan dengan wanita yang sudah tidak haid, padahal ia termasuk orang yang seharusnya haid". Imam Malik berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :

8

Tinggalkan shalat pada hari-hari haidmu, jika kadar darah tersebut telah hilang darimu, maka bersihkanlah darah itu Berdasarkan beberapa kutipan di atas, Imam Malik berpendapat iddah bagi wanita yang istihadhah berdasarkan pembedaan (satu tahun apabila ia tidak bisa membedakan antara dua darah, 3 quru apabila ia bisa membedakan

Ibid Imam Malik bin Anas, op. cit. 8 Abi Dawud Sulaiman bin asyats, Sunan Abi Dawud, Indonesia: Maktabah Dahlan, tth, hlm. 72.7

6

69

57 dua darah) alasannya wanita tersebut disamakan dengan wanita yang tidak haid sedang ia masih dalam usia haid. Pendapat Imam Malik berbeda dengan pendapat ulama-ulama lin, menurut mereka iddah bagi wanita yang istihadhah adalah hitungan bulan atau hitungan quru. Hal ini dapat kita temukan dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid :

Abu Hanifah berpendapat iddahnya (wanita istihadhah) adalah bilangan haid, jika darah itu sudah jelas maka ia Beriddah tiga bulan

: . Imam Syafii berpendapat iddah perempuan tersebut berdasarkan perbedaan, jika darahnya merah tua adalah haid, sedangkan darah yang berwarna kuning termasuk hari-hari suci. Jika darah itu sesuai baginya, maka ia Beriddah dengan bilangan hari-haru quru. Para ulama sepakat bahwa iddah bagi perempuan yang tidak haid baik karena masih kecil atau sudah tidak haid (menopause), apabila ia dicerai oleh suaminya maka ia Beriddah selama 3 bulan. Akan tetapi bagi wanita yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan masih haid kemudian tidak mengalami haid lagi sedangkan ia masih berada dalam usia haid maka para ulama memberikan alasan yang berbeda. Menurut Imam Malik iddah bagi wanita yang tidak mengalami haid sedang ia masih dalam usia haid dan tidak ada keraguan adanya kehamilan atau sebab lain (menyusui atau sakit), maka istri tersebut harus menunggu selama 9 bulan. Jika dalam masa tersebut istri tidak mengalami haid, maka is menjalani iddah selama 3 bulan. Pendapat Imam Malik ini berdasarkan atsar Umar bin Khattab. Sedangkan menurut Imam Syafii dan Hanafi, iddah bagi wanita yang berhenti haidnya sedangkan ia masih dalam usia haid ia harus menunggu 69

58 sehingga memasuki usia putus haid. Ketika itu sudah jelas maka, ia Beriddah dengan hitungan bulan atau dengan hitungan quru ungkapan ini terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Maqashid :

9 . Perbedaan pendapat ini dikarenakan perbedaan para ulama dalam memahami firman Allah dalam surat al-Thalaq , ayat 4:

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (Menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. 10 Imam Malik mengartikan kata ya-is adalah wanita yang tidak dapat dipastikan telah putus haid. Beliau menjadikan firman Allah

( jika

kamu ragu-ragu) berkaitan dengan hukum bukan dengan haid (yaitu jika kamu ragu-ragu tentang istri yang telah putus haid). Sedangkan bagi wanita yang selama 9 bulan tidak mengalami haid sedang usianya masih memungkinkan terjadinya haid, Imam Malik berpendapat bahwa ia Beriddah selama 3 bulan (9 bulan untuk mengetahui kehamilannya, 3 bulan untuk iddahnya) Imam Syafii dan Hanafi mengartikan kata ya-is adalah wanita yang sudah putus haid. Bagi wanita yang berhenti haidnya sedang ia masih mungkin mengalami haid maka ia harus menunggu sampai ia memasuki usia tersebut (usia putus haid).

Ibnu Rusyd, op. cit, hlm 68-69 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Kudus: Mubarokatan Thoyyibah, t.th., hlm. 55810

9

69

59 Berkaitan dengan iddah bagi wanita yang istihadhah Imam Malik berpendapat bahwa iddahnya satu tahun sedangkan menurut Imam Syafii dan Imam Hanafi Iddah wanita yang istihadhah berdasarkan pembedaan (3 bulan apabila ia sudah putus haid tiga quru apabila ia masih haid). Imam Syafii dan Hanafi beralasan wanita tersebut harus dapat membedakan antara dua darah (darah haid dan darah istihadhah). Menurut Imam Hanafi beralasan umumnya wanita haid adalah tiap bulan mengeluarkan darah, apabila haidnya menghilang (tidak jelas) sama dengan menghilangnya haid maka ia Beriddah selama 3 bulan. Sedangkan Imam Syafii beralasan bahwa darah merah adalah darah haid dan darah kuning adalah darah hari-hari suci, maka ia Beriddah dengan hitungan quru ( 3 bulan apabila ia sudah putus haid atau 3 quru apabila ia masih haid) . Dalam permasalahan ini penulis beranggapan bahwa pendapat Imam Malik tentang iddah bagi wanita istihadhah terlalu memberatkan karena salah satu tujuan dari iddah adalah untuk mengetahui kehamilan seseorang, alQuran memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa iddah terlama adalah empat bulan sepuluh hari (bagi wanita yang dicerai mati), tiga bulan bagi wanita yang sudah put