Pembangkit Listrik Alternatif Tenaga Bakteri - Egy Purnama

5

Click here to load reader

description

EBTKE

Transcript of Pembangkit Listrik Alternatif Tenaga Bakteri - Egy Purnama

  • Pembangkit Listrik Alternatif Tenaga Bakteri : Teknologi Rekombinasi Gen Belut

    Listrik Pada Bakteri Sebagai Solusi Mandiri Energi Pulau Kecil dan Daerah Terpencil

    di Indonesia

    Oleh : Egy Purnama *)

    *) [email protected]

    230210120034 Program Studi Ilmu Kelautan

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

    Kenapa Harus Pulau Kecil dan Daerah Terpencil

    Menurut Kementrian Pekerjaan Umum, Pulau-Pulau Kecil merupakan Suatu daratan

    yang pada saat pasang tertinggi tidak tertutupi air, dengan luas kurang dari 2.000 km2,

    memiliki komunitas permukiman, memiliki keterbatasan sarana aksesibilitas dan ketersediaan

    sarana dan prasarana dasar wilayahnya kurang/tidak ada. Sedangkan yang dimaksud Desa

    Terpencil merupakan kawasan perdesaan yang terisolasi dari pusat pertumbuhan/daerah lain

    akibat tidak memiliki atau kekurangan sarana (infrastrukur) perhubungan, sehingga

    menghambat pertumbuhan/ perkembangan kawasan. Permasalahan yang terjadi di daerah

    terpencil dan pulau-plau kecil antara lain disebabkan karena pengaruh geografis yang

    membagi wilayah dalam berbagai keadaan/kondisi, kurangnya sarana aksesibilitas yang

    menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lain, gangguan akibat bencana yang

    menyebabkan rusaknya sarana aksesibilitas yang telah ada Komunitas Adat Terpencil (KAT)

    yang secara sadar memisahkan diri dari lingkungan sosial diluar wilayahnya (Self Isolation),

    serta menolak intervensi, karena ukuran pulau yang kecil dan terisolasi sehingga penyediaan

    prasarana dan sarana menjadi langka, kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala

    ekonomi optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, produksi dan transportasi,

    keterbatasan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti : air tawar, vegetasi, tanah,

    ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada akhirnya akan menentukan daya dukung pulau

    kecil untuk menopang kehidupan manusia dan segenap kegiatan pembangunannya, dan

    sebagainya.

    Apabila melihat pada sektor energi, berdasarkan rasio kelistrikan nasional, kondisi

    kelistrikan di Indonesia saat ini dirasakan belum memenuhi aspek keadilan dan pemerataan.

    Keberadaan desa-desa tertinggal di pulau-pulau kecil (small islands) mencapai hampir 7%

    dari wilayah dunia merupakan entitas daratan tersendiri yang umumnya sama sekali belum

    menikmati infrastruktur listrik, dicirikan oleh kerentanan ekonomi dan keterbelakangan

    pembangunan. Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah berupaya untuk menyediaan listrik

  • bagi masyarakat pulau-pulau kecil terpencil di Indonesia melalui pengguliran program

    dengan target 100 pulau pada tahun 2010, dan selanjutnya secara bertahap melistriki sekitar

    1.000 pulau di Indonesia Bagian Timur terutama melalui pengadaan pembangkit energi baru

    terbarukan. Akan tetapi pelaksanaannya mengalami banyak kendala dan belum maksimal

    karena biaya operasional dan pemeliharaan yang cukup mahal serta tidak adanya peran serta

    masyarakat. Oleh sebab itu, penyediaan listrik yang efisien bagi masyarakat di pulau-pulau

    terpencil ini adalah pemanfaatan energi dari sumberdaya terbarukan setempat yang relatif

    murah dengan memberdayakan peran serta masyarakat.

    Kondisi Keenergian & Kelistrikan Nasional

    Kusmayanto Kadiman (2006) menyebutkan bahwa sekitar separuh dari keseluruhan

    rumah tangga belum terjangkau dengan sistem elektrifikasi nasional. Data dari HDI (Human

    Development Index) tahun 2005 menyebutkan bahwa konsumsi tenaga listrik per-orang di

    Indonesia masih rendah yakni 463 kWh/cap. Angka ini masih dibawah negara tetangga kita

    Malaysia sebesar (3.234 kWh/cap), Thailand (1.860 kWh/cap), Filipina (610 kWh/cap), dan

    Singapura (7.961 kWh/cap). Menurut Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN)

    2010-2030, dalam kurun waktu 20 tahun kedepan Indonesia memerlukan tambahan tenaga

    listrik kumulatif sebesar 172 GW (Giga Watt). Dari jumlah itu, 82% (sekitar 142 GW)

    diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan Jawa-Madura-Bali (Kadek Sutrisna, 2012).

    Penggunaan energi terbarukan belum besar kecuali tenaga air, hal ini karena biaya

    produksinya belum kompetitif dibandingkan dengan energi konvensional atau bisa disebut

    dengan capital intensive dengan faktor resiko investasi yang tinggi. Pada umumnya harga

    listrik yang dibangkitkan dari PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), PLTB (Pembangkit

    Listrik Tenaga Bayu), Geothermal, dan PLT energi terbarukan lainnya masih lebih tinggi

    daripada yang dibangkitkan dengan BBM (bersubsidi) kecuali PLTMH (Pembangkit Listrik

    Tenaga Mikro Hidro) seperti disebutkan diatas. Sampai 2005, kapasitas terpasang energi baru

    dan terbarukan hanya sekitar 3.0 % dari potensi yang tersedia. Kapasitas terpasang dari PLTS

    sebesar 8 MW, PLTB sebesar 0.5 MW, PLTMH sebesar 54 MW dan dari PLT terbarukan

    lainnya (biomassa) sebesar 302.5 MW. Sedangkan energi nuklir belum dimanfaatkan

    meskipun nilai keekonomiannya telah tecapai, karena adanya hambatan dari aspek

    penerimaan masyarakat dan besarnya investasi awal yang dibutuhkan (Kusmayanto Kadiman

    2006).

    Dalam kurun waktu 2000-2009 Kadek Sutrisna (2012) menyebutkan, Indonesia telah

    membangun pembangkit listrik dengan laju pertumbuhan sekitar 2,4 % pertahun. Selama

  • kurun waktu tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara dan PLTGU

    mendominasi kapasitas pembangkit listrik nasional dengan pangsa sebesar 33 % dan 30 %.

    Selama 9 tahun tersebut Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Litrik Tenaga

    Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) juga berkembang dengan

    rata-rata pertumbuhan sebesar 1,7%, 1,6%, dan 1,7%. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Bumi

    mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 8,8%.

    Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Kondisi Keenergian dan Kelistrikan Nasional

    Perusahaan Listrik Negara satu dasawarsa ini memiliki visi 75-100 berisi komitmen

    mengejar rasio elektrifikasi mencapai 100% sebelum HUT RI ke-75 di 2020, maka dari itu

    PLN melakukan pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 10.000

    MW bahan bakar batu bara, sepuluh pembangkit di Jawa dan 25 pembangkit di luar Jawa

    dengan total kontrak Rp. 43,2 Trilyun.

    Selama ini pembangunan pembangkit listrik terpusat pada daerah-daerah tertentu.

    Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengelola saluran Jaringan Transmisi Daya Listrik melalui

    Transmisi Tegangan Tinggi dan Ekstra Tinggi berjumlah 19.516 km, jaringan tegangan

    menengah 154.254 km, jaringan tegangan rendah 22.546 km, gardu induk terpasang 34.687

    MVA, gardu distribusi 28.627 MVA, kapasitas listrik yang terpasang dan belum terpasang

    tersebut memerlukan sarana-sarana penyaluran yang handal untuk sampai kepada konsumen,

    khusus di pulau Jawa tulang punggung penyaluran adalah sistem transmisi 500 kV. Hal ini

    merupakan bom waktu di masa depan karena ketergantungan daerah pada pusat ini akhirnya

    akan memberikan masalah yang lebih besar di kemudian hari (ITS lihat

    http://digilib.its.ac.id). Masalah yang timbul adalah tidak efisiennya transportasi bahan baku

    pembangkit skala besar. Batu bara dan bahan dasar lainnya kebanyakan didatangkan dari

    Kalimantan dan daerah di luar Jawa. Ada cost untuk distribusi awal produksi. Ketika sumber

    bahan baku ini habis, daerah pemasok bahan baku belum mandiri energi, daerah pusat pun

    akan kehabisan energi. Oleh sebab itu pemadaman bergilir sering terjadi. Selain itu, potensi

    pencemaran lingkungan yang muncul dari puluhan PLTU akan mengancam keanekaragaman

    biota dan kualitas lingkungan terancam menurun tajam.

    Kebijakan privatisasi BUMN termasuk PLN dipandang sebagai langkah mengurangi

    intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan

    daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi.

    Namun privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam tujuan diatas, melainkan

    untuk menutup defisit APBN. Kebijakan pemerintah yang terlalu terpusat menyebabkan

    http://digilib.its.ac.id/
  • banyak potensi daerah akhirnya tidak bisa dioptimalkan, khususnya dalam pengembangan

    energi mandiri dan terbarukan. Jika komitmen bersama untuk pembangunan energi

    terbarukan sungguh-sungguh, dari segi kondisi geografis saja dengan panjang garis pantai

    terpanjang kedua di dunia sekitar 95.181 km, Indonesia bisa memanfaatkan energi

    gelombang laut yang menurut penelitian bisa menghasilkan sekitar 70 kW per meter garis

    pantainya. Jika 50 % saja sungguh-sungguh dimanfaatkan maka sekitar 3.150.000 kW atau

    sekitar 3.150 MW (31 % megaproyek PLTU) dan setara dengan 5 PLTU Sukra Indramayu

    bisa dibangun.

    Kusmayanto Kadiman dalam buku putih energi (2006) menyebutkan bahwa blue-

    print Pengelolaan Energi Nasional yang dibuat pada awal tahun 2005 selalu harus direvisi

    untuk mengakomodasikan kondisi perubahan harga minyak mentah yang akhirnya

    mempengaruhi harga energi fosil lainnya. Pada awal tahun 2006, Kebijakan Energi Nasional

    dituangkan dalam bentuk Perpres no. 5 tahun 2006, yang pada prinsipnya adalah penekanan

    pada pengoptimalan penggunaan bauran energi (diversifikasi); penghematan dan peningkatan

    efisiensi energi (konservasi); penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang sudah siap

    secara teknis maupun ekonomis serta ramah lingkungan seperti bahan bakar nabati (biodiesel,

    bio-ethanol/gasohol, bio-oil dan pure plat oil), bahan bakar sintetis (batubara cair, GTL,

    DME, dan lainnya), panas bumi, mini dan mikro hidro, nuklir, surya, angin/bayu, hidrogen

    (fuell cell), dan energi arus atau gelombang samudera; peningkatan eksplorasi energi fosil;

    peningkatan pengembangan dan pembangunan infrastruktur energi hulu dan hilir;

    permasalahan lingkungan; kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK dan

    keterlibatan industri nasional.

    Teknologi Rekombinasi Gen Belut Listrik Terhadap Bakteri Sebagai Solusi Mandiri

    Energi

    Sumberdaya yang bersumber dari biota banyak yang memiliki potensi listrik. Salah

    satunya adalah belut listrik (Electrophorus electricus) yang memiliki potensi 400-600 volt

    listrik. Akan tetapi semakin sedikitnya populasi belut listrik di alam liar karena pengaruh

    aktivitas manusia dan menurunnya kualitas lingkungan, merupakan kerugian bagi manusia

    jika tidak dapat memanfaatkannya secara baik dan benar. Belut listrik (Electrophorus

    electricus) memiliki tiga organ utama dalam sistem sarafnya untuk membangkitkan listrik,

    yakni organ Utama, organ Sachs dan organ Hunter. Pengumpulan dan pengeluaran energi

    difasilitasi oleh sel elektrosit. Elektrosit sangat mirip dengan serat otot yang bisa

    menghasilkan sinyal listrik, akan tetapi mereka tidak bisa berkontraksi. Sel ini mengandung

  • konsentrasi Potassium yang tinggi dan konsentrasi ion sodium yang rendah. Membran sel

    bersifat permeable terhadap ion potassium namun tidak dengan ion sodium. Dalam keadaan

    tidak aktif, membran sel memiliki tegangan negatif, mencegah ion potassium keluar dari sel.

    Amrein (2013) menyebutkan bahwa satu sel elektrosit dari belut listrik bisa

    menghasilkan tegangan 150 mV dan akan berlipat sesuai jumlah elektrosit yang ada pada

    masing-masing organ. Tiga buah sel elektrosit bisa menghasilkan potensial kumulatif antar

    sel sebesar 450 mV. Protein Nav 1.4a berperan utama dalam proses elektrik pada saluran ion

    sel elektrosit. Sementara Actin-isoelektrik dan Desmin iso-elektrik merupakan protein

    struktural unik berperan dalam generisasi potensial listrik didalam sel elektrosit. Actin dan

    Desmin unik ini dimodifikasi dari Actin dan Desmin biasa melalui proses modifikasi post-

    translasi didalam sel elektrosit.

    Secara laboratorium, teknologi rekombinasi DNA diawali dengan DNA plasmid

    bakteri E. Coli sebagai vektor dimurnikan dan dipotong dengan enzim yang sesuai sehingga

    terbuka. Protein Nav 1.4a, Actin-isoelektrik dan Desmin iso-elektrik ditransformasi kedalam

    bakteri E.Coli DH5 dengan menggunakan plasmid p-Target. Promotor yang digunakan

    adalah p-Target karena merupakan sistem vektor yang paling baik. Tahapan proses kloning

    DNA adalah melakukan isolasi DNA plasmid dan DNA target. Enzim restriksi digunakan

    untuk memotong DNA sehingga diperoleh fragment DNA target. Selanjutnya DNA target

    disisipkan pada plasmid dan ditransformasikan ke dalam sel inang. Hasilnya akan diperoleh

    bakteri yang mengandung DNA rekombinan dan ada pula bakteri yang tidak mengalami

    proses transformasi. Untuk membedakannya, digunakan medium selektif yang mengandung

    antibiotik. Bakteri yang mengandung DNA rekombinan mengandung gen yang resisten

    terhadap antibiotik sehingga akan tetap hidup dalam medium selektif. Kemudian bakteri

    rekombinan diperbanyak dengan cara kloning sehingga diperoleh klon-klon dalam jumlah

    besar yang bisa digunakan dalam berbagai bidang seperti untuk menemukan gen yang

    resisten hama, gen yang bisa membuat bakteri membersihkan toksik, gen untuk menghasilkan

    hormon, termasuk bakteri rekombinan yang diharapkan memiliki kemampuan menghasilkan

    listrik untuk generator pembangkit listrik alternatif. Gagasan ini bisa diinkubasi di daerah

    kampus sebagai bentuk penelitian dan pengembangan serta mewujudkan Green Campus.

    Secara jangka panjang, pembangkit energi listrik yang dihasilkan dibuat prototypenya

    kemudian diimpelementasikan penggunaannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

    masyarakat terpencil. Tujuan akhirnya setiap daerah bisa mandiri energi listrik terutama di

    pulau-pulau kecil dan terpencil di Indonesia yang selama ini masih kurang pemerhatiannya.