Pembahasan tpta 1
-
Upload
muhammad-nugraha -
Category
Documents
-
view
15 -
download
2
description
Transcript of Pembahasan tpta 1
-
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini praktikan akan mengukur kemiringan lahan dengan
menggunakan alat pengukur sudut. Alat pengukur sudut yang digunakan terdapat
5 jenis yaitu hagameter, abney level, suunto level, theodolit digital dan meteran.
Pada praktikum kali ini praktikan akan mengukur kemiringan lahan menggunakan
alat-alat di atas dan membandingkan hasil pengukuran dari setiap alat ukur sudut
tersebut. Pengukuran dilakukan pada lahan yang sama yaitu lahan miring dengan
jarak pengukuran 72 meter dengan penempatan 3 titik pengukuran pada setiap
24 meter, pengukuran ini dilakukan dari bawah menuju atas lereng secara
bergantian. Hal ini dilakukan agar memperoleh hasil yang akurat.
Pengukuran pertama adalah dengan melakukan pengamatan dengan alat
hagameter. Alat ini sangat mudah digunakan, tetapi jangan sampai lupa sikap
kepala pada saat kita melakukan penembakan ke jalon kepala harus tetap tegak.
Satuan yang digunakan pada alat ini merupakan persen sehingga terlebih dahulu
dikonversikan ke dalam satuan derajat. Berdasarkan data yang diperoleh, dari
perhitungan didapat pada titik pertama, kemiringan yang didapat sebesar 14,4 %
atau 8,194o, pada titik kedua kemiringan sebesar 16 % atau 9,090
o. Sedangkan
untuk titik ketiga didapat kemiringan lahan sebesar 17,5 % atau 9,926o. Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa lahan yang memiliki kemiringan paling curam
terdapat pada titik pertama yaitu sebesar 14,4 %.
Berikutnya adalah melakukan perhitungan dengan alat lain yaitu abney level,
berdasarkan data yang diperoleh dari perhitungan didapat pada titik pertama,
kemiringan yang didapat sebesar 14 % atau 7,969o, pada titik kedua kemiringan
sebesar 16 % atau 9,090o. Sedangkan untuk titik ketiga didapat kemiringan lahan
sebesar 17,3 % atau 9,815o. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa lahan yang
memiliki kemiringan paling curam terdapat pada titik ketiga yaitu sebesar 17,3 %.
Dari data-data diatas dapat dilihat bahwa pengukuran menggunakan hagameter
dan abney level data pengukuran kemiringan lahan yang didapatkan hampir sama
hanya berbeda 0,4 % pada titik pertama dan 0,2 % pada titik ketiga, hal ini
mungkin disebabkan oleh ketidak telitian praktikan dalam membaca skala pada
alat tersebut ataupun praktikan tidak membidik jalon secara tepat sesuai titik yang
ditentukan.
Muhammad Nugraha
240110120055
-
Selanjutnya pengukuran menggunakan alat ukur suunto level. Untuk jarak 0
sampai 24 meter kemiringan lahannya didapatkan 5o atau sekitar 8,748 %, untuk
jarak 24 sampai 48 meter kemiringan lahannya didapatkan 10o atau sekitar 17,632
% dan untuk jarak 48 sampai 72 meter kemiringan lahannya didapatkan 15o atau
sekitar 26,795 %. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa lahan yang memiliki
kemiringan paling curam terdapat pada titik ketiga yaitu sebesar 15o.
Berikutnya melakukan perhitungan dengan alat lain yaitu meteran,
berdasarkan data yang diperoleh, dari perhitungan didapat pada titik pertama,
kemiringan yang didapat sebesar 13,147 % atau 7,490o, pada titik kedua
kemiringan sebesar 8,860 % atau 5,063o. Sedangkan untuk titik ketiga didapat
kemiringan lahan sebesar 10,685 % atau 6,099o. Dari data tersebut dapat dilihat
bahwa lahan yang memiliki kemiringan paling curam terdapat pada titik pertama
yaitu sebesar 13,147 %.
Pada percobaan terakhir, melakukan penghitungan dengan alat yaitu
theodolit digital. Setelah memberikan tanda pada lahan setiap 24 meter praktikan
dapat melakukan bidikan dan melakukan bacaan atas, bawah dan tengah pada
rambu ukur. Selanjutnya praktikan juga mencatat sudut vertikal pada setiap
bidikan yang nantinya parameter-parameter ini akan digunakan untuk menghitung
kemiringan lahan tersebut. Untuk jarak 0 sampai 24 meter didapatkan setelah hasil
pengukuran jarak mendatarnya adalah 585,204 cm dan beda tingginya adalah
93,0467 cm, sehingga nilai kemiringan lahannya adalah 15,899 % atau sekitar
9,034o. Sedangkan untuk jarak 24 sampai 48 meter didapatkan setelah hasil
pengukuran jarak mendatarnya adalah 994,727 cm dan beda tingginya adalah
72,423 cm, sehingga nilai kemiringan lahannya adalah 7,281 % atau sekitar
4,164o. Untuk jarak 48 sampai 72 meter didapatkan setelah hasil pengukuran jarak
mendatarnya adalah 1482,776 cm dan beda tingginya adalah 159,809 cm,
sehingga nilai kemiringan lahannya adalah 10,778 % atau sekitar 6,151o. Dari data
diatas dapat dilihat terdapat beberapa kekeliruan seperti pada kemiringan lahan
untuk pengukuran dari 0 sampai 24 meter, kemiringan lahan pada jarak tersebut
mencapai 15,899 %. Hal ini tidak mungkin karena untuk kemiringan lahan pada
48 sampai 72 meter saja hanya sebesar 10,778 %, jadi dapat disimpulkan bahwa
pada pengukuran 0 meter sampai 24 meter belum 100 % akurat. Sedangkan jika
-
melihat kemiringan lahan dari 48 sampai 72 meter dapat disimpulkan bahwa
kemiringan lahan tersebut termasuk dalam kelas miring dengan relief berombak
karena masuk kategori kemiringan lahan dari 8 % sampai 15 %.
Hasil yang berbeda-beda ditunjukkan oleh hasil masing-masing alat
praktikum. Jika dilihat dari kemiripan hasil yang diperoleh maka bisa dikatakan
bahwa lahan praktikum termasuk kedalam miring. Benar tidaknya hasil ini masih
perlu dipertanyakan. Hasil yang berbeda ini mungkin dipengaruhi oleh ketidak
akuratan praktikan saat melakukan pengukuran di lapangan sehingga data yang
diperoleh secara pengukuran dan perhitungan tidak sama. Kendala yang dihadapi
pada saat melakukan praktikum ini antara lain terletak pada saat melakukan
pengukuran dengan suunto level, abney level, theodolit dan meteran. Hal ini
dikarenakan pengukuran kurang teliti sehingga data yang diperoleh tidak sama
(praktikan kurang fokus) dikarenakan praktikum dilaksanakan pada sore hari serta
ditambahnya faktor cuaca yang kurang memungkinkan akibat hujan deras terjadi
selama proses praktikum berlangsung.
Berdasarkan kelima alat tersebut apabila dibandingkan tingkat
keakurasiannya, meteran adalah yang paling rendah. Alat ini penggunaannya
sangat manual dan sangat bergantung pada tingkat ketelitian praktikan. Hasil
besarnya sudut yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan meteran sangat
berbeda jauh dengan alat pengukur sudut lainnya yang relatif saling mendekati.
Namun secara garis besar pembacaan sudut dengan kelima alat tersebut memiliki
fungsi penting dalam penentuan kemiringan suatu lahan agar hasil data tersebut
dapat diolah dan dimanfaatkan untuk konservasi. Kemiringan lahan merupakan
salah satu unsur topografi dan sebagai faktor terjadinya erosi melalui proses run
off. Semakin curam lereng semakin besar laju dan jumlah aliran permukaan,
semakin besar pula erosi yang terjadi.