Pembahasan Lapsus Full tonsiltis kronis

8
FOLLOW UP Tangg al Hasil follow up 26 Mei 2015 Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 26 mei 2015 keluhan nyeri menelan berkurang, pasien sudah bisa makan dan minum. Adanya keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac intravena. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah 110/70mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 37°C . pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T4 ( kanan ), T3 (kiri), disertasi kripta yang melebar, adanya detritus, dan tampak hiperemis. Untuk tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram, ranitidin 2x1 IV, dan Norages®. Sedangkan injeksi ketorolac dihentikan, karna diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien. 27 Mei 2015 Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 27 mei 2015 keluhan nyeri menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah 110/80mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7°C . Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T3 ( kanan ), T2 (kiri), disertasi kripta yang melebar, adanya detritus yang berkurang, dan

description

tonsilitis kronis

Transcript of Pembahasan Lapsus Full tonsiltis kronis

FOLLOW UP TanggalHasil follow up

26 Mei 2015

Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 26 mei 2015 keluhan nyeri menelan berkurang, pasien sudah bisa makan dan minum. Adanya keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac intravena. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah 110/70mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 37C . pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T4 ( kanan ), T3 (kiri), disertasi kripta yang melebar, adanya detritus, dan tampak hiperemis. Untuk tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram, ranitidin 2x1 IV, dan Norages. Sedangkan injeksi ketorolac dihentikan, karna diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien.

27 Mei 2015Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 27 mei 2015 keluhan nyeri menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah 110/80mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7C . Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T3 ( kanan ), T2 (kiri), disertasi kripta yang melebar, adanya detritus yang berkurang, dan hiperemis berkurang. Untuk tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram dan ranitidin 2x1 IV. Rencana cek Laboratorim : darah lengkap, hitung jenis, dan laju endap darah.

28 Mei 2015

Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 28 mei 2015 keluhan nyeri menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum, keadaan umum pasien baik. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah 110/70mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 19x/menit, suhu 36,6C . Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada , pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T3( kanan ), T2 (kiri), disertasi kripta yang mulai mengecil, adanya detritus yang berkurang, dan hiperemis juga berkurang. Hasil dari pemeriksaan laboratorium didapatkan yaitu leukosit 8.000/mm3, laju endap darah 19mm, dan hitung jenis dalam batas normal. Pengobatan intravena dihentikan dan pasien diizinkan untuk rawat jalan.

AnamnesaPasien sulit menelan sejak kurang lebih tiga hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan seperti ada sesuatu yang menganjal saat menelan, kadang-kadang disertai rasa nyeri, dan kesulitan untuk berbicara. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh ada demam kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi tanpa disertai menggigil. Tidak ada keluhan keluar darah dari mulut dan hidung, tidak ada sensasi asin-asin di mulut, tidak ada perubahan suara pasien ketika keluhan nyeri dirasakan. Riwayat sulit menelan sering dirasakan hilang timbul semenjak pasien usia kanak-kanak, dan sering bolak balik ke dokter untuk berobat dengan diagnosa amandel. Sebelum keluhan sulit menelan dirasakan, pasien mengonsumsi makanan dan minuman seperti biasa, tidak ada riwayat makan makanan pedas atau minuman dingin. Riwayat mengonsumsi obat-obatan disangkal. Dan pada keluarga tidak didapati riwayat penyakit serupa.

Pembahasan :Seorang laki-laki 20 tahun, datang dengan keluhan sulit menelan sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan disertai dengan nyeri dan merasakan seperti ada sesuatu yang menganjal saat menelan, kadang-kadang disertai rasa nyeri, dan kesulitan untuk berbicara. Menurut Smeltzer dan Bare (2000), pasien tonsilitis datang dengan keluhan sulit menelan, sakit tenggorok, demam, gangguan bicara. Pada pasien ini terdapat keluhan yang sesuai dengan penyakit tonsilitis. Pasien mengeluh adanya demam ketika keluhan sulit menelan dirasakan. Hal ini disebabkan oleh proses inflmasi yang terjadi pada tonsil. Pada pemeriksaan penunjang, apabila didapati demam, dapat terjadi peningkatan sel darah putih sebagai mekanisme perlindungan tubuh. Profil demam yang diraskan pasien tidak spesifik ke arah penyakit lain, sehingga pada pasien tidak ada kecurigaan infeksi yang bersumber dari penyakit lain misalnya demam berdarah ataupun malaria, sehingga tidak dimasukan ke dalam diagnosa banding. Berdasarkan hasil anamnesa, didapati riwayat sakit serupa sudah sejak lama dan terus berulang. Meskipun pasien mengaku sering bolak balik ke dokter untuk berobat, tetapi keluhan sering kambuh dan menganggu aktivitas pasien. Hal ini menandakan proses inflamasi dan infeksi pada tonsil masih terus terjadi dan sudah bersifat kronis, disebabkan oleh paparan alergen atau mikroorganisme penyebab secara terus-menerus ataupun pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat. Bakteri ataupun virus yang masuk ke tubuh melalui mulut atau hidung harus melewati tonsil sebagai salah satu lini pertahanan tubuh, namun apabila terjadi paparan terus menerus, tonsil tentunya tidak akan mampu untuk mempertahankan tubuh sehingga bisa terjadi infeksi didalamnya. Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi yaitu pasien dalam keadaan demam (suhu 37,9 oC) sejak 2 hari SMRS. Tonsil tampak membesar T4 T3, hiperemis, permukaan tonsil tampak tidak rata, uvula tampak lengket pada tonsil kanan, terdapat detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa tonsilitis kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil tampak hiperemis, kriptae melebar, ada detritus dan perlengketan. Sedangkan tonsilitis kronis yang tidak mengalami eksaserbasi, tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak hiperemis, kriptae juga nampak melebar, ada detritus dan perlengketan, namun tidak tampak ada tanda-tanda peradangan seperti pada tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda infeksi pada pasien ini.Pada pasien ini pula ditemukan abses pada tonsil kiri. Tonsil kiri tampak edema dan lebih hiperemis daripada tonsil kanan. Abses intratonsiler merupakan salah satu komplikasi dari peradangan kronis tonsil ke daerah sekitar. Menurut kepustakaan, abses ini adalah akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kriptae pada tonsilitis folikular akut. Tonsil terlihat membesar dan merah.Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh tidak bisa makan selama 3 hari akibat keluhan nyeri menelan yang dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 24 tpm; injeksi antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi analgetik (ketorolac 3 x 1 ampul); dan pasien diberikan injeksi ranitidine 2 x 1 ampul. Ranitidine merupakan antagonist reseptor H2 yang dibekerja dengan cara menekan sekresi asam lambung. Diberikan obat antagonist reseptor H2 dengan pertimbangan pasien tidak bisa makan selama 3 hari, sehingga tidak ada makanan yang dicerna oleh lambung, dan bisa terjadi peningkatan asam lambung. Pemberian injeksi ketorolac diberikan untuk mengurangi rasa nyeri saat menelan.Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis kronis terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita tonsilitis kronis eksaserbasi akut berupa cephaleksin (golongan sefalosporin generasi pertama) ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis). Pada pasien ini berikan antibiotik golongan sefalosporin generasi kedua yaitu ceftriaxone. Ceftriaxone bekerja untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Tidak sama dengan kepustakaan, pada pasien ini tidak mendapat terapi tambahan berupa metronidazole dan klindamisin, hanya mendapat satu terapi antibiotik yaitu ceftriaxone. Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Oleh karena itu, sebaiknya pada pasien dilakukan kultur tonsil untuk mengetahui secara pasti bakteri penyebab infeksi agar pasien dapat diberikan antibiotik yang tepat. Menurut kepustakaan, gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Umumnya kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus hemolitikus diikuti Stafilokokus aureus. Pada follow up hari pertama (26 Mei 2015), keluhan nyeri menelan pasien sudah berkurang, tidak demam, dan bisa makan-minum dengan baik. Adanya keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac intravena saat pasien diantar dari IGD ke ruangan rawat inap. Di duga pasien mengalami alergi. Hasil pemeriksaan faring didapatkan pembesaran tonsil sudah berkurang, besar tonsil T3 (kanan), T3 (kiri), masih disertai kriptae yang melebar, adanya detritus, dan sedikit hiperemis. Untuk tatalaksana tetap dilanjutkan terapi sebelumnya yaitu diberikan infus D5:RL 1:1 24 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram (hasil skin test negatif), ranitidin 2x1 IV, dan Norages (analgetik-anti inflamasi). Pada pasien ini injeksi ketorolac dihentikan, karena diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien. Pada follow up hari kedua (27 mei 2015), keluhan nyeri menelan sudah menghilang, pasien sudah bisa makan-minum dengan baik. Hasil pemeriksaan faring didapatkan tonsil sudah mengecil. Besar tonsil T3 ( kanan ), T2 (kiri), disertai kripta yang melebar, adanya detritus yang lebih berkurang, dan hiperemis hampir menghilang. Untuk tatalaksana masih dilanjutkan terapi sebelumnya yaitu diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram dan ranitidin 2x1 IV. Rencana cek Laboratorim : darah lengkap, hitung jenis, dan laju endap darah. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit sudah berkurang yaitu 8.000/uL; laju endap darah 19 mm, dan hitung jenis dalam batas normal. Leukosit sudah dalam batas normal, menandakan sudah tidak terdapat tanda infeksi.Follow up hari ketiga (28 Mei 2015), keadaan umum pasien sudah membaik. Pasien sudah diperbolehkan untuk pulang. Hasil follow up menunjukan keluhan pasien sudah berkurang dibandingkan pada saat pertama kali masuk rumah sakit. Pada pasien ini, disarankan untuk dilakukan tonsilektomi karena telah memenuhi kriteria keluhan yang berulang lebih dari tiga kali. Tonsilektomi adalah tindakan yang dilakukan apabila tonsil yang meradang semakin membesar dan terapi medikamentosa tidak memberikan hasil yang memuaskan. Menurut the American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical Indicator Compendium tahun 1995 indikasi dilakukan tonsilektomi adalah :1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapat terapi yang adekuat2. Tonsil hipertrofi yang menimbukan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan pertumbuhan orofacial3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep apnea , gangguan menelan, dan gangguan bicara.4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis , abses peritonsil, yang berhasil hilang dengan pengobatan.5. Nafas bau yang tidak berhasil diterapi dengan pengobatan6. Tonsilits berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus Beta Hematolitica7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan8. Otitis media supuratif