Pembaharuan Islam Awal Abad Ke-20 Kasus Madrasah Sumatera Thawalib Parabek
-
Upload
jayusman-djusar -
Category
Documents
-
view
493 -
download
6
description
Transcript of Pembaharuan Islam Awal Abad Ke-20 Kasus Madrasah Sumatera Thawalib Parabek
Pembaharuan Islam Awal Abad ke-20:
Kasus Madrasah Sumatera Thawalib Parabek1
Abstrak
Madrasah Sumatera Thawalib Parabek adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang fenomenal. Madrasah ini tetap berdiri dengan kokoh sampai sekarang sejak didirikan pada tahun 1908 oleh Inyiak Parabek. Di awal berdirinya, madrasah ini merupakan motor dari gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada saat itu. Inyiak Parabek merupakan salah seorang tokoh sentral kaum Mudo—golongan yang secara konsisten menyuarakan pembaharuan Islam di Minangkabau pada awal abad ke-20. Melalui dakwah islamiyah yang ia laksanakan dan madrasah Sumatera Thawalib, pembaharuan yang diimpikan ini dapat diwujudkan.
A. Pendahuluan
Telah satu abad madrasah Sumatera Thawalib Parabek berkiprah. Pada
priode awal berdirinya ia merupakan motor penggerak pembaruan Islam di
Minangkabau. Madrasah Sumatera Thawalib menyuarakan agar umat Islam
melepaskan diri dari bid’ah dan khurafat yang mengkontaminasi ajaran Islam,
sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan kaum Mudo.
Mereka juga mencoba untuk mentransfer ide-ide kemoderan yang bernilai
positif untuk kemajuan umat Islam. Misalnya dalam masalah pendidikan modern
yang telah berkembang begitu pesat di Barat. Merubah pendidikan Islam yang
bersifat tradisional menjadi pendidikan Islam yang berbasis lembaga pendidikan
modern.
Gerakan Puritanisme ini tidak berjalan dengan mulus dalam menjalankan
misinya. Tapi gerakan ini mendapat aral dan rintangan dalam perjalanannya.
Rintangan itu datang dari status quo yang merasa posisinya terancam dengan
eksistensi kaum Mudo maupun dari sebagian kalangan umat Islam yang belum
memahami dengan baik ide pembaharuan ini.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang kiprah madrasah
Sumatera Thawalib Parabek dalam peta pembaharuan Islam di Minangkabau pada
awal abad ke-20, tantangan yang mereka hadapi dalam penyuarakan gerakan ini,
dan capaian yang telah mereka raih.
1 Parabek adalah sebuah desa yang terletak lebih kurang dua kilo meter dari kota Bukittinggi, berada di kaki gunung Singgalang. Parabek termasuk desa Ladang Laweh II, kecamatan Banuhampu Sungai Puar, kabupaten Agam, Sumatera Barat. Oleh Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan email: [email protected]
1
B. Setting Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau awal abad ke-20
Pada awal abad kedua puluh, animo masyarakat untuk belajar ke tanah suci
tidak mengalami penyurutan. Hal ini karena membaiknya perekonomian
masyarakat pada waktu itu. Sehingga tetap banyaknya pelajar yang berangkat ke
tanah suci untuk melanjutkan pelajaran mereka.
Orang-orang Indonesia yang belajar di tanah suci lebih dikenal dengan
sebutan al-Jawi; berasal dari kata jawa (pulau Jawa). Mereka diidentifikasi sebagai
orang Jawa, karena Jawalah yang telah dikenal dalam pergaulan internasional
pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu Fiqh sebagian besar mereka berguru
kepada syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, salah seorang putra Minangkabau
yang mencapai prestise puncak sebagai Imam di masjid al-Haram dan ia mengajar
di sana dalam bidang Fiqh mazhab Syafi’i.
Di antara murid Ahmad Khatib ini setelah kembali ke daerah asalnya
menjadi ulama besar di daerahnya masing-masing. Muridnya yang berasal dari
daerah Minangkabau antara lain: syekh Muhammad Djamil Dajmbek, syekh
Abdul Karim Amrullah, Thaher Jalaluddin, Thaib Umar, Abdullah Ahmad, Daud
Rasyidi, syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek2), syekh Sulaiman ar-Rasuli,
Muhammad Khatib Jaho, dan yang lainnya.
Dunia Islam secara umum pada waktu itu; awal abad kedua puluh, sedang
bergema ide pembaharuan. Ide pembaharuan ini menyaurakan dibukanya pintu
ijtihad untuk mengembangkan kreativitas berfikir umat Islam. Gerakan
pembaharuan ini berkembang di Mesir. Hal ini antara lain karena Mesirlah yang
ketika memasuki abad modern, pertama kali bersentuhan dengan dunia Barat.
Pembaharuan ini digerakkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid Ridha3.
2 Kata Inyiak Parabek terdiri dari dua kata. Pertama, kata Inyiak dalam masyarakat Minangkabau merupakan panggilan bagi laki-laki yang telah tua; seperti pengunaan kata kakek dalam bahasa Indonesia. Dalam penggunaannya terdapat perubahan makna, seperti penggunaannya pada kata Inyiak Parabek. Kata Inyiak di sini berarti syekh, atau ulama yang dituakan dan dihormati. Adapun kata Parabek dibelakang kata Inyiak adalah nama tempat ia mengajar. Jadi Inyiak Parabek berarti syekh atau ulama terkenal dan dihormati yang mengajar di daerah Parabek. [ed] Safwan, Mardanas dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1980, h. 164
3 Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet.ke-9, h. 55
2
Ide pembaharuan yang mereka suarakan, disosialisasikan melalui media
cetak maupun lewat orasi ilmiah yang mereka laksanakan. Melalui majalah al-
Urwah al-Wutsqa, majalah dan tafsir al-Manar; ide-ide pembaharuan itu didiserap
dan ditransfer ke seluruh dunia Islam.
Di samping menggelorakan semangat ijtihad, pembaharuan ini juga
menyerukan umat Islam untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah serta
membebaskan diri dari taqlid buta, bersih dari dari segala bid’ah dan khurafat;
serta persepsi yang salah menganggap fiqh itu sebagai bagian dari ajaran Islam
yang bersifat mutlak, tidak dapat berubah, seperti halnya al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan gerakan pembaharuan ini terbukalah mata umat Islam. Bahwa umat
Islam telah tertinggal jauh dari Barat. Setelah kesadaran itu timbul, diharapkan
mereka dapat memacu diri untuk mengejar ketertinggalan dan meraih kembali
kejayaannya di masa silam.
Ide pembaharuan ini sampai ke Minangkabau dibawa oleh para ulama muda
yang baru saja menyelesaikan pelajarannya di tanah suci. Di tanah suci, disamping
mempelajari pengetahuan keagamaan, mereka juga mempelajari pembaharuan
yang sedang menggema di dunia Islam pada saat itu. Hal ini memompa semangat
mereka untuk lebih maju.
Mereka kemudian yang menggerakkan pembaharuan di Minangkabau.
Mereka diidentifikasi dengan nama kaum Mudo (kaum muda). Mereka dikenal
sebagai kaum funadamentalis, modernis, dan reformis. Sebagai kaum
fundamentalis mereka berpegang pada al-Qur’an dan Hadis shahih. Mereka
berusaha mensucikan ajaran Islam, menentang adat istiadat yang bertentangan
dengan ajaran Islam, dan segala amalan yang bersifat tahayul. Sebagai kaum
modernis dan reformis, mereka mengutamakan perumusan kembali tentang ajaran
Islam secara rasional yang mendorong kepada kemajuan. Mereka mendorong
percepatan ekonomi dengan adanya badan perbankan dan koperasi, membela
kaum perempuan untuk memperoleh haknya atas pendidikan yang layak dan aktif
dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam usaha membuka kunci pintu kemajuan
ini, mereka mendapat tantangan dari golongan yang konservatif, menolak
kemajuan, tidak setuju dengan ide pembaharuan yang disuarakan oleh kaum
mudo, merka disebut dengan kaum Tuo (kaum tua)4.
4 Daya, op.cit, h.74
3
Kaum Mudo sebagai agen perubahan sekaligus sebagai pressure kepada
kaum Tuo dan menggugah kesadaran mereka atas kelemahan dan keterbelakangan
mereka. Hal ini karena secara tradisional kaum Tuo hanyalah sebagai pemegang
otoritas urusan “akhirat” seperti tukang doa, mengurus jenazah, dan sebagainya.
Pertentangan di antara mereka pada dasarnya berkaitan dengan faham
keagamaan konservatif dan elit tradisional. Kaum Tuo bersikap taklid dan
menganggap fiqh sebagai keyakinan yang tidak dapat berubah seperti halnya al-
Quran dan Sunnah. Sedangkan kaum Mudo menyerukan dibukanya kebali pintu
ijtihad dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Mereka juga mencela taklid
buta yang mematikan kreativitas berfikir dan tidak mendorong kepada kemajuan.
Perseteruan kedua golongan ini lebih dipertajam lagi karena kaum Tuo sebagai
golongan yang konservatif mengikatkan diri dan berkoalisi dengan kaum Adat,
sebagai golongan yang mempertahankan status quo.
Istilah kaum Mudo ini bertambah populer semenjak awal abad kedua puluh
sebagai kelompok pelopor dan pengikut gerakan pembaharuan Islam abad ini.
Istilah ini menjadi lebih dikenal setelah Taufik Abdullah menulis tesisnya”School
and Politics, the Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933” pada tahun
1971.
Sebelumnya Roof dengan istilah kaum Muda dan kaum Tua dalam
tulisannya,” Kaum Muda-Kaum Tua: Innovation an Reaction Amongst the Malay,
1900-1941” dalam Tregonning, K.G [ed] Paper on Malayan History yang
diterbitkan pada tahun 1962 di Singapura 5.
Untuk menyuarakan ide dan gagasan, masing-masing mereka (kaum Mudo
dan kaum Tuo), mendirikan majalah sebagai corong dalam menyaurakan ide
mereka masing-masing. Sehingga terciplah sebuah dinamika. Majalah-majalah
yang didirikan masing-masing pihak bukan saja sebagai sarana untuk
menyampaikan ide dan merumuskan gagasan mereka tapi juga sebagai media
untuk berpolemik tentang masalah-masalah yang mereka perselisihkan. Kedua
kelompok sama-sama mempersiapkan diri dalam percaturan dan pergumulan
intelektual ini.
Polemik yang terbuka di media tentu saja akan membawa dampak positif
dan negatif. Dalam polemik ini tentu saja masing-masing pihak menyiapkan
argumen dan kontra argumen terhadap pihak lawan. Proses ini tentu saja
5 Ibid, h. 75
4
membutuhkan proses telaah dan belajar keras dari masing-masin pihak. Kegiatan
ini tentu saja dapat meningkatkan dan memacu tingkat pengetahuan dan pemikiran
mereka. Hal ini menjadi motor pemacu kemajuan yang positif untuk
menggerakkan kemajuan umat.
Umat Islam yang mengikuti polemik ini secara seksama tentu saja akan
tercerahkan. Pengetahuan dan wawasan keislaman mereka akan meningkat.
Dengan membaca uraian pendapat, dalil yang dimajukan, argumen yang
dikemukakan oleh masing-masing pihak yang berpolemik, akan menambah
pengetahuan mereka terutama tentang masalah yang sedang digulirkan.
Merekapun akan terangsang untuk membaca, menelaah, dan mengkaji lebih
lanjut. Secara tidak langsung merangsang umat Islam untuk terus belajar, yang
merupakan kunci untuk meraih kemajuan.
C. Cikal Bakal Pendirian Sumatera Thawalib Parabek
Setelah belajar pada beberapa orang guru di berbagai daerah di Minangkabau dan
kemudian melanjutkan pelajarannya dengan berangkat ke tanah suci, Inyiak
Parabekpun membuka pengajian dengan sistem halaqah yang di pusatkan di masjid
Parabek. Pengajian dengan sistem halaqah ini bentuknya para pelajar duduk
melingkar di sekeliling sang guru yang mengajar. Tepatnya pengajian ini dimulai
pada tahun 1908 M/ 1327 H.
Pengajian ini ramai dihadiri oleh para pelajar. Mereka tertarik untuk belajar
dengan Inyiak Parabek karena ketinggian dan kedalaman ilmunya. Mereka berasal
dari daerah-daerah sekitar Parabek. Pengajian ini dipimpin langsung oleh Inyiak
Parabek.
Lebih kurang setelah enam tahun setelah mengajar di Parabek, ia lalu memutuskan
untuk melanjutkan kembali untuk kali kedua, pelajarannya ke tanah suci.
Keberangkatannya kali ini ditemani oleh istrinya, Syarifah Gani dan anaknya
Muhammad Thaher Ibrahim. Ia berada di tanah suci lebih kurang selama dua tahun
(1914-1916M/ 1333-1335H).
Selama melanjutkan pelajarannya ke tanah suci, pimpinan pengajian inipun untuk
sementara diambil alih oleh para pelajarnya yang senior. Walaupun Inyiak Parabek
berangkat ke tanah suci tetapi pengajian yang telah ia rintis sebelumnya tetap berjalan.
Para pelajar yang seniorlah yang mengambil alih tugasnya dalam mengajar sesuai
5
dengan petunjuk dan arahan dari sang guru. Pengajian ini tetap berjalan dengan baik
sampai Inyiak Parabek kembali ke tanah air.
Setelah kembali ke tanah air, otomatis pimpinan pengajian tersebut diserahkan
kembali kepadanya. Di bawah pimpinannya pengajian ini pun mengalami kemajuan
yang sangat pesat.
Nama Inyiak Parabek cepat dikenal dan para pelajarpun berdatangan untuk
mengikuti pengajiannya. Para pelajar itu berdatangan dari berbagai penjuru daerah
Minangkabau maupun dari luar Minangkabau. Untuk membantu dalam pelaksanaan
tugas mengajar, diangkatlah murid-murid yang telah senior sebagai guru-guru muda.
D. Perubahan dari Sistem Belajar Halaqah Menjadi Klasikal
Sesuai dengan perkembangan pada masa itu, di mana telah diperkenalkan sistem
klasikal. Sistem belajar secara halaqahpun kemudian beralih kepada belajar secara
klasikal, sistem sekolah yang lebih teratur. Belajar secara klasikal ini bukanlah seperti
yang kita saksikan di sekolah-sekolah pada zaman sekarang. Tetapi belajar dengan
sistem klasikal ini lebih sederhana, yakni dengan memilah para pelajar sesuai dengan
tingkat pengetahuan dan pelajarannya. Dengan arti kata, para pelajar tidak dapat lagi
mengikuti kelas/palajaran yang mereka sukai saja.
Pada masa itu pun, pelajaran di surau Parabek belum memiliki ruangan kelas
untuk belajar. Pelajaran secara klasikal ini dilaksanakan di surau-surau atau asrama-
asrama pelajar dan rumah kediaman penduduk yang dipinjam dari masyarakat untuk
keperluan belajar siswa.
Perubahan sistem belajar dari halaqah ke klasikal ini pada awalnya tidak berjalan
mulus. Terdapat golongan pelajar yang tidak menyetujui dan menentangnya. Namun
hal ini tidak menyurutkan pihak pengajian Parabek. Perubahan menuju sistem
pendidikan modern ini terus digulirkan. Akibatnya mereka yang tetap tidak
menyetujui dan menentangnya harus keluar dari sistem yang ada. Kemudian mereka
pindah ke sekolah-sekolah lain yang sesuai dengan keinginan mereka. Itulah riak kecil
dalam sebuah proses perubahan.
Selanjutnya di mulailah usaha untuk pendirian gedung sekolah. Usaha ini di mulai
dirintis pada tahun 1926 M/ 1344 H. Inilah usaha pendirian gedung sekolah pada
priode awal.
6
E. Perkumpulan Pelajar
Pada tanggal 14/15 Agustus 1919 M/ 1338 H para pelajar pengajian surau Parabek
sepakat untuk mendirikan suatu perkumpulan. Perkumpulan ini diberi nama
Muzakaratul Ikhwan. Terpilihlah sebagai pimpinannya adalah H. Salim6.
Tujuan utama dari perkumpulan Muzakaratul Ikhwan ini adalah untuk
mengupayakan kemajuan bagi surau Parabek. Langkah pertama yang mereka lakukan
adalah mendirikan surat kabar atau majalah Islam yang diberi nama al-Bajan (al-
Bayan). Pada tanggal 25 September 1919 M/ 1 Muharram 1338 H majalah ini terbit
secara perdana. Majalah ini dipimpin oleh Djamain Abdul Murad.
Kira-kira bulan November/ awal Desember 1919 timbul keinginan H. Abdul
Karim Amrullah selaku pimpinan surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Inyiak
Parabek selaku pimpinan surau Parabek agar nama perkumpulan itu ditukar. Nama
perkumpulan itu ditukar dengan nama yang lebih luas dan lebih besar pengertiannya
agar dapat membawa rasa persatuan perkumpulan-perkumpulan pelajar seluruh
Sumatera. Disepakatilah nama Sumatera Thawalib. Perkumpulan menerima
pergantian nama tersebut dengan senang hati. Demikianlah, untuk selanjutnya
perkumpulan itu menggunakan nama SumateraThawalib7.
Melanjutkan usaha-usaha untuk memajukan surau Parabek yang telah dimulai
Muzakaratul Ikhwan, Sumatera Thawalib kemudian mengupayakan pendirian
perpustakaan/kutubu khanah, koperasi, surau/ asrama pelajar, pendirian gedung
madrasah, sistem belajar klasikal yang sesuai dengan perkembangan pendidikan
modern pada masa itu dan usaha-usaha lainnya.
Usaha-usaha di atas dalam pelaksanaannya bukanlah bersifat sekaligus. Tetapi
setahap demi setahap. Perlahan namun pasti surau Parabek menuju kemajuan.
Perguruan Sumatera Thawalib kemudian ditetapkan sebagai nama madrasah ini oleh
Inyiak Parabek pada tanggal 21 September 19218.
Nama Sumatera Thawalib ini bukan monopoli Sumatera Thawalib Parabek saja.
Nama ini erat kaitannya dengan Sumatera Thawalib Padang Panjang (surau Jembatan
6 Sumatera Thawalib Parabek, Verslag dan Notulen Pertemoean Besar jang Pertama, 27-29 Radjab 1343 H/ 18-20 Januari 1928, (Fort de Cock: Tsamaratul Ikhwan, 1928), h. 5-6
7 Ibid, h. 6-78 Daya, op.cit, h. 128
7
Besi) yang lebih dahulu menggunakan nama Sumatera Thawalib sebagai nama
perguruan mereka.
Murid-murid surau Jembatan Besi sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar
yang bergerak di bidang sosial dan ekonomi. Organisasi ini menyediakan kebutuhan
pelajar seperti sabun mandi dan sabun cuci, yang kemudian pada pelayanan gunting
rambut, menjahit pakaian, cuci, setrika pakaian, kebutuhan dapur srta kebutuhan-
kebutuhan lainnya. Di satu sisi bertujuan membantu pelajar yang berasal dari luar
Padang Panjang dan di sisi lain memberdayakan pelajar yang kurang mampu namun
memiliki semangat belajar yang tinggi. Nama perkumpulan itu adalah Persaiyoan,
yang lebih dikenal dengan Perkumpulan Sabun9.
Pada masa itu di Batavia didirikan organisasi-organisasi pelajar yang bersifat ke
daerahan. Pelajar yang berasal dari Sumatera mendirikan organisasi yang bernama
Jong Sumatranen Bond pada tahun 1917. Tak lama berselang didirikan cabang
organisasi tersebut di Padang dan Bukittinggi. Hal ini kemudian memberikan dampak
yang baik bagi organisasi pelajar yang pada waktu itu telah mulai berkembang di
Minangkabau.
Pelajar-pelajar surau Jembatan Besi yang berasal dari berbagai daerah di pulau
Sumatera—lalu mendirikan wadah organisasi pelajar yang bernama Thuwailib. Atas
prakarsa Zainuddin Labai dan Jalaludin Thaib, dirubahlah nama Thuwailib menjadi
Sumatera Thuwailib. Lalu surau Jembatan Besi pun berganti nama dengan nama yang
sama10.
Surau-surau yang lain pun kemudian membentuk wadah-wadah bagi para
pelajarnya. Di surau Parabek didirikan Muzakarah al-Ikhwan. Tujuannya adalah
mengadakan diskusi-diskusi ilmiah mengenai masalah keislaman, emperluas wawasan
berfikir guna melahirkan pemikir-pemikir baru. Organisasi ini beberapa kali berganti
nama dari Thuwailib lalu Sumatera Thuwailib sebagaimana halnya Sumatera
Thuwailib Padang Panjang11.
Hubungan baik antara surau Jembatan Besi Padang Pandang dan surau Parabek
telah lama terjalin. Hubungan ini ditopang karena pimpinan kedua surau ini
merupakan murid dari ulama yang sama yaitu Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Dan
mereka berdua adalah bersahabat. Para pelajar kedua surau ini pun menjalin hubungan
yang erat dan keduanya pun mengadakan pertukaran pelajar di antara mereka. 9 Ibid, h. 8810 Ibid, h. 88-8911 Ibid, h. 89-90
8
Hubungan baik kedua surau ini terus dipererat dengan adanya usaha-usaha untuk
mempersatukan keduanya. Setelah dicapai kata sepakat antara pengurus dan pimpinan
ke dua surau tersebut, diadakanlah pertemuan resmi di surau Inyiak Djambek (Djamil
Djambek) Bukittinggi untuk membicarakan pembentukan organisasi bersama
tersebut. Akhirnya dicapai kesepakatan untuk membentuk satu organisasi dengan cara
melebur dan menggabungkan kedua surau tersebut dengan nama baru yaitu Sumatera
Thawalib. Peristiwa ini menurut Taufik Abdullah tercatat pada tanggal 15 Februari
191912.
Sumatera Thawalib lahir sebagai sebuah organisasi pelajar yang mengaji di surau
Jembatan Besi Padang panjang dan surau Parabek. Sebagai organisasi dalam
perkembangannya Sumatera Thawalib bergerak dalam bidang pendidikan dengan
mendirikan madrasah-madrasah yang dinamakan juga dengan Sumatera Thawalib
ataupun mengubah nama surau-surau yang telah ada sebelumnya dengan nama
Sumatera Thawalib13.
Lalu lahirlah madrasah-madrasah Sumatera Thaalib lainnya di berbagai daerah
lainnya di Minangkabau seperti Perguruan Thawalib Padang Japang, Sungayang,
Payakumbuh, Maninjau, Bukittinggi, Pariaman, Kubang Putih, Tanjung Limau, dan
Padusunan Pariaman.
F. Ekstra Kurikuler: Model Pembinaan Pelajar Sumatera Thawalib Parabek
Pendidikan yang diperoleh pelajar Sumatera Thawalib Parabek di bangku
madrasah dilengkapi dengan pendidikan luar bangku madrasah. Ekstra kurikuler ini
bertujuan untuk meningkatkan dan menambah wawasan pelajar dan melengkapi
mereka dengan keterampilan-keterampilan yang berguna tentunya setelah mereka
kembali ke masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang dicanangkan oleh Inyiak Parabek antara lain
berupa debating club/mudzakarah/diskusi, muhadharah (latihan pidato), olah raga,
kesenian, latihan musik, latihan mengajar, kebun percontohan, kepanduan yang
bernama “al-Hilal”, dan juga kopontren (koperasi pondok pesantren).
Berikut ini akan diuraikan tentang beberapa ekstra kurikuler tersebut.
1. Koperasi Pondok Pesantren
12 Ibid, h. 93-9413 Ibid
9
Pendirian koperasi ini telah dirintis pada masa generasi awal. Sumatera
Thawalib pada tahun 1921M/1340H telah mendirikan sebuah koperasi. Berdirinya
koperasi ini merupakan andil dari pelajar dan guru.
Koperasi ini mendirikan kedai sebagai salah saltu lapangan usahanya. Kedai
ini dupayakan untuk memenuhi civitas akademika Sumatera Thawalib. Baik
berupa kebutuhan harian mereka juga untuk keperluan belajar.
Koperasi ini tidak berjalan lama. Kedai tersebut hanya berumur satu tahun.
Alasan vakumnya koperasi ini tidak begitu terang, tetapi dikatakan karena
kekurangan pengurus. Syukurlah bubarnya koperasi ini tidak meninggalkan
masalah. Karena pengurus dapat mengembalikan simpanan para anggotanya
walaupun tidak memperoleh keuntungan tapi juga tidak merugi.
Setelah itu tidak ditemukan usaha-usaha pada priode berikutnya untuk
melanjutkan ataupun mendirikan koperasi yang baru. Barulah pada tahun 1992
berdiri kembali koperasi di Sumatera Thawalib. Pihak madrasah menyadari betul
arti pentingnya koperasi sebagai lembaga pembinaan bagi pelajar.
Anggota kopontren ini di samping para siswa juga meliputi para majlis guru,
pengurus yayasan, alumni, bahkan masyarakat umum. Dukungan dari semua
pihak ini adalah modal utama ntuk memperoleh kemajuan.
Keberadaan kopontren ini sangat dirasakan oleh para pelajar dan masyarakat
sekitar. Di samping menyediakan buku-buku pelajaran madrasah bagi para pelajar
tersedia pula barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya. Madrasahpun dalam
pengadaan alat-alat tulis kantor untuk keperluan madrsah bekerja sama dengan
kopontren. Bagi pelajar yang bertempat tinggal di asrama pelajar madrasah
disediakan bagi mereka layanan dapur umum. Kopontren ini melibatkan
partisipasi aktif para siswa dan berbagai pihak terkait lainnya serta manfaatnya
dapat mereka rasakan secara langsung.
2. Debating club/Muzakarah/diskusi
Di antara upaya yang dilakukan oleh Inyiak Parabek untuk memperluas dan
memperdalam wawasan pelajar madrasah Sumatera Thawalib adalah melalui
debating club. Dalam kegiatan ini pelajar diberikan wawasan tentang perbedaan
mazhab dalam khazanah hukum Islam.
Debating club membahas masalah-masalah yang aktual di tengah-tengah
masyarakat. Masalah yang didiskusikan ditinjau secara lintas mazhab oleh para
pesertanya. Satu kelompok pengemukakan pendapat satu mazhab beserta dalil
10
yang menjadi pendukungnya. Sedangkan kelompok yang lain menjadi pembahas
yang menilai pendapat kelompok pertama tersebut. Diskusi ini dilaksanakan
secara komprehensif, suatu permasalahan dibahas dalam beberapa kali pertemuan.
Sehingga memungkinkan para pelajar untuk membahas dan menelaahnya secara
mendalam.
Pengetahuan terhadap kenyataan perbedaan pendapat yang ada, tentu saja
menjadikan para pelejar memiliki wawasan yang luas tentang hukum Islam.
Sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang tasamuh terhadap perbedaan-
perbedaan yang ada. Sekaligus terhindar dari sikap fanatik yang berlebihan yang
tentu saja kurang baik terhadap perkembangan masyarakat.
Para pelajar mendapat tempaan untuk mencoba memecahkan persoalan atau
permasalahan yang tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mencari
pemecahan permasalahan tersebut berdasarkan pada argumentasi yang kuat dan
solusi yang tepat dan relevan. Ini suatu upaya menjadikan hukum Islam itu up to
date dan tetap relevan dengan kemajuan zaman.
Keahlian dalam berdiskusi juga sangat bermanfaat ketika menjawab
pertanyaan masyarakat dalam forum tanya jawab dalam pengajian yang mereka
adakan ataupun dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan bentuk diskusi yang
mendalam ini, suatu bahasan itu akan sangat memberi kesan yang mendalam bagi
mereka yang mengikuti muzakarah tersebut.
3. Muhadharah/ Pidato
Latihan berpidato merupakan materi yang penting dikuasai oleh para juru
dakwah atau mereka yang memberikan penerangan agama di tengah-tengah
masyarakat. Sejak awal pelajar Sumatera Thawalib dibina dan dilatih berpidato
yang dikenal dengan bermuhadharah.
Kegiatan muhadharah ini biasanya dipimpin oleh pelajar kelas yang
tertinggi. Mereka mengkoordinir adik-adiknya dalam latihan ini. Melalui
pembinaan inilah lahir orator-orator ulung dari madrasah Sumatera Thawalib.
Mereka yang fasih dalam menyampaikan misi Islam di tengah-tengah masyarakat.
Madrasah Sumatera Thawalib meliburkan madrasah pada bulan Ramadhan
untuk memberikan kesempatan bagi para pelajarnya dalam terjun di masyarakat di
daerah asal mereka masing-masing. Pada bulan Ramadhan biasanya mereka
mendapatkan banyak kesempatan untuk berlatih memberikan penerangan agama
11
kepada masyarakat. Keahlian berpidato yang mereka dapatkan dalam pelajaran
muhadharah sangatlah bermanfaat dalam hal ini.
G. Kutub Khanah/Perpustakaan
Tersedia kutub khanah (perpustakaan) yang diupayakan oleh Inyiak Parabek
untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan para pelajar. Buku-buku yang
terdapat di kutub khanah dipesan oleh Inyiak Parabek antara lain dari Mesir,
Malaysia, India, Arab Saudi, dan Indonesia sendiri. Kutub khanah ini memiliki
peranan yang sangat penting bagi para pelajar dan guru di samping untuk membantu
dalam bahan bacaan dan selanjutnya menggali lebih jauh pelajaran yang telah mereka
dapatkan di bangku pelajaran di madrasah.
Menyadari arti penting kutub khanah ini, usaha pendiriannya telah dirintis
semenjak priode awal berdirinya Sumatera Thawalib. Pada tahun 1920M/1339H di
mulailah usaha pendirian perpustakaan ini. Pengurus Sumatera Thawalib berusaha
menggumpulkan dan menggalang dana. Terkumpullah pada waktu itu lebih kurang
ƒ100. Tetapi setelah terkumpulnya dana dengan alasan yang kurang begitu jelas,
usaha ini kemudian terhenti.
Pada tahun 1924M/1343H usaha ini kemudian dilanjutkan kembali. Pada
tahun itu dapatlah dibangun sebuah bangunan untuk perpustakaan. Dan dari dana
yang tersisa dibelikanlah buku-buku teks dan perlengkapan perpustakaan lainnya.
Pada tahun kedua setelah berdirinya, perpustakaan ini memperoleh tambahan
referensinya. Setelah gempa bumi 1926M/ 1344H dapat tambahan buku lagi dengan
membeli buku seharga ƒ350 dari Biblioteks Zainaro—sebuah toko buku yang terkenal
di Padang Panjang pada masa itu. Di samping itu pemesanan buku juga dilakukan dari
Mesir, Malaysia, India, dan Saudi Arabia.
Di samping buku-buku yang dibeli oleh pihak madrasah, dalam perkembangan
berikutnya referensi perpustakaan ini bertambah berupa wakaf dari kaum muslimin.
Di antaranya adalah wakaf buku dan kitab Inyiak Parabek. Terdapat juga sumbangan
dari penerbit yang peduli dengan perkembangan madrasah Sumatera Thawalib. Tak
ketinggalan juga buku-buku paket pelajaran sumbangan dari pemerintah.
Pada tahun ajaran 1990/1991 adalah babak baru bagi perpustakaan Sumatera
Thawalib. Pada priode ini dimualailah pengelolaan perpustakaan secara manajerial
yang baik. Pengelolaannya mengacu pada manajemen baru perpustakaan. Berbeda
denga priode sebelumnya yang belum tertata dengan baik penangannya.
12
H. Surau (Asrama Pelajar): Khas Sumatera Thawalib Parabek
Pelajar yang menuntut ilmu di Sumatera Thawalib Parabek datang dari
berbagai daerah. Guna menampung mereka Inyiak Parabek mencanangkan
didirikannya asrama-asrama pelajar. Asrama-asrama itu tersebar di daerah sekitar
desa; daerah Parabek. Asrama pelajar itu dikenal dengan sebutan surau. Surau itu
dibangun di atas tanah masyarakat setempat dengan status sebagai hak pakai.
Bangunan surau tersebut dapat terus dimanfaatkan dan dihuni oleh para pelajar. Jika
surau itu tidak ditinggali lagi karena sesuatu alasan dan lain hal lainnya, maka hak
atas tanah tersebut dikembalan lagi kepada sang pemilik.
Nama surau-surau ini biasanya sesuai dengan nama negeri asal para pelajar
yang menempatinya. Biasanya mereka yang menempati suatu surau itu berasal dari
satu daerah yang sama, daerah yang sama dengan surau itu diberi nama. Untuk
pembangunan dan pendirian suaru-surau itu biasanya secara swadaya masyarakat dari
daerah-daerah tersebut.
Jumlah surau-surau ini sangat banyak, bahkan jumlahnya pada suatu waktu
pernah melebihi jumlah rumah penduduk desa Parabek14. Surau-surau itu antara lain:
surau Batu Sangkar,Sijunjung, Padang Panjang, Padang, Malalak, Pariaman, Taluak,
Ladang Laweh, Mandiangin, Jambi, Bangkinang, Payakumbuh, Simabur, Situmbuak,
Pandai Sikek, Bukik Batabuah, Ampek Angkek, Dinding Seng, Haji Salim, dan
Banuhampu15. Surau-surau itu terletak dalam satu lingkungan desa Parabek sehingga
menjadikan perguruan Sumatera Thawalib Parabek sebagai perguruan Sumatera
Thawalib terbesar pada waktu itu.
Perkembangan positif dari sistem surau ini antara lain adalah kompetisi antara
masing-masing surau. Surau-surau itu melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti olah
raga, muhadharah (latihan pidato), muzakarah (diskusi), dan kegiatan lainnya.
Biasanya sebuah surau dipimpin oleh seorang ustadz atau seorang pelajar senior. Ia
dan para pelajar yang lebih tinggi kelasnya bertugas memberikan bimbingan belajar
kepada pelajar yang tingkatannya di bawah mereka.
14 Hal ini diceritakan oleh HM Yunan Nasution tentang pengalaman belajar di sana lebih kurang tahun 120an. Busyairi, Badruzzaman, Catatan Perjangan HM Yunan Nasution, (Jakarta: Perpustakaan Panjimas, 1985), cet.ke-1, h. 15
15 Surau-suaru ini banyak yang hancur pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, walaupun pelajaran di madrasah Sumatera Thawalib Parabek tetap berjalan tetapi jumlah pelajarnya sangat sedikit. Sebagian besar mereka telah kembali ke daerahnya masing-masing karena pertimbangan keamanan dan keselamatan. Surau-surau yang telah lama tidak ditempati dan kemudian rusak lalu hak atas tanah tersebut yang merupakan hak pakai; pemanfaatan, dikembali kepada pemiliknya. Wawancara dengan Ustadz Abdul Ghaffar St Batuah, salah seorang guru Sumatera Thawalib Parabek, tanggal 3 September 1999 dan Daya, op.cit, h. 129
13
Para pelajar ditempa di surau-surau mereka. Mereka hdup secara mandiri.
Mereka memasak makanan sendiri, mencuci pakaian, dan menyiapkan kebutuhan
lainnya sendiri dilakukan sendiri. Manfaat kemandirian ini akan terasa setelah
mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Sekarang keberadaan surau-surau itu tidak banyak lagi jumlahnya dan
peranan yang dimainkannya pun tidak begitu signifikan lagi. Hal ini karena
kurangnya pembinaan dan perhatian terhadap surau-surau itu dari pihak madrasah
maupun simpatisan atau pimpinan daerah asal surau tersebut.
I. Sumatera Thawalib: Masa Penjajahan
Berikut ini akan diuraikan tentang kondisi Sumatera Thawalib pada masa
penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang.
1. Masa Penjajahan Belanda
Para ulama adalah pemimpin umat. Di samping memupuk perasaan
keberagamaan, mereka juga memberikan inspirasi untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan. Kemerdekaan adalah mutlak untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Penyadari peran ulama ini, penjajah Belanda
mengawasi gerak-gerik mereka secara ketat.
Kebebasan para ulama dalam mengajar dan membina umat dibatasi.
Misalnya upaya Belanda untuk menerapkan ordonansi guru dan sekolah liar.
Ordonansi guru adalah melarang guru-guru agama Isam mengajar kalau tidak
mendapat izin terlebih ahulu dari pemerintah kolonial Belanda. Ordonansi ini
jika diberlakukan akan menghilangkan kemerdekaan penyiaran agama karena
tekanan dari pemerintah kolonial. Dan ordonansi sekolah liar adalah peraturan
pendaftaran sekolah yang dikelola oleh pribumi yang tujuan akhirnya
mematikan sekolah-sekolah tersebut. Timbullah reaksi dari ulama-ulama di
Minangkabau menentang ordonansi tersebut.
Dalam gelombang yang merupakan sebagai reaksi penentangan terhadap
ordonansi itu, Inyiak Parabek selaku salah seorang ulama yang terkemuka
memainkan peranan yang cukup signifikan. Reaksi yang keras tersebut
akhirnya membuahkan hasil sehingga kedua ordonansi tersebut gagal
diberlakukan karena terdapat tantangan dari seluruh ulama di sana.
Segala upaya dilakukan Belanda untuk mengontrol keleluasaan ulama.
Para ulama hanya diperbolehkan mengajarkan masalah ibadah dan peribadatan
14
saja. Tidak masalah sosial, kemasyarakatan, kebudayaan dan lainnya. Mata-
mata (spionase) disebarkan oleh Belanda untuk melihat lebih jauh ketaatan
para ulama tersebut.
Madrasah Sumatera Thawalib tidak lepas dari upaya spionase ini.
Kegiatan belajar mengajar diawasi. Buku-buku yang memompakan semangat
perjuangan terhadap penjajah disensor, tidak boleh diajarkan. Di antara buku-
buku yang dilarang tersebut adalah buku Islam Ruh al-Madaniyah karangan
Musthafa al-Ghalayaini (ulama Dimsyiq), buku Islam wa Ulum al-‘Ashriyah
karangan Tantowi Jauhari, dan buku-buku yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh
pembaharu dari Mesir, seperti majalah dan tafsir al-Manar dan al-‘Urwah al-
Wutsqa.
Upaya Belanda ini tidak lepas dari kecurigaan mereka atas Inyiak
Parabek dan Sumatera Thawalib Parabek. Kecurigaan ini berawal dari
kemunculan para politikus muda yang kritis terhadap penjajahan Belanda, di
antara mereka Ali Imran Djamil, A Ghaffar Ismail, dan A Malik Shiddik.
Mereka adalam para ula terkenal yang aktif dalam menggalang semangat
patritisme bumi putra.
Akhirnya Belanda kewalahan untuk menemukan bukti yang akan
dijadikan alasan untuk menindak tegas pihak madrasah Sumatera Thawalib.
Hal ini memeng madrasah hanya untu tempat belajar agama semata tidak
diajarkan masalah-masalah politik. Adapun buku-buku “terlarang” di atas
dipelajari secara sembunyi-sembunyi.
Belum cukup itu saja, Belanda menawarkan bujukan dan pemberian
subsidi untuk madrasah Sumatera Thawalib. Tawaran ini ditolak oleh Inyiak
Parabek secara halus. Mengingat konsekuensi di belakang hari yang tentu saja
akan menguntungkan Belanda dan menyulitkan madrasah. Selamatlah
madrasah dari tipu muslihat Belanda.
2. Masa Penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang yang singkat meninggalkan duka mendalam
terhadap kehidupan masyarakat. Pada masa itu masyarakat mengalami
kesulitan hidup dan penderitaan yang hebat.
Kesulitan ini juga memaksa sebagian besar pelajar untuk meninggalkan
bangku pelajaran mereka. Mereka kembali ke daerah asalnya karena orang tua
mereka tak mampu lagi menanggung biaya hidup dan pendidikan mereka.
15
Pada masa itu merupakan titik terendah dari proses pembelajaran di Sumatera
Thawalib. Mereka yang tetap tinggal untuk belajar hanyalah mereka yang
berasal dari daerah Parabek dan sekitarnya.
Pada masa inilah kemegahan Sumatera Thawalib mulai berkurang.
Semaraknya surau/ asrama pelajar yang berasal dari berbagai daerah yang
tersebar di komplek Parabek mulai roboh satu persatu. Surau yang telah lama
tidak berpenghuni tentu saja lama kelamaan akan binasa. Setelah bangunan
surau itu roboh tentulah sulit untuk mendirikannya kembali selanjutnya
kepemilikan tanahnya dikembalikan pada sang pemilik.
Tapi sesulit apa pun kondisi pada masa itu masih ada hal yang patut
disyukuri. Proses belajar dan mengajar di Sumatera Thawalib tetap
dilaksanakan. Walaupun tentu saja dengan kondisi seadanya dan
memprihatikan. Inilah dedikasi Inyiak Parabek pada dunia pendidikan Islam.
J. Penanaman Dasar Bermazhab di Sumatera Thawalib
Berikut ini akan kita lihat bagaimana Inyiak Parabek menanamkan dasar-dasar
bermazhab kepada para pelajar di Sumatra Thawalib Parabek.
1. Pembinaan dasar-dasar bermazhab di Sumatra Thawalib Parabek.
Di madrasah Sumatera thawalib, Inyiak Parabek mewariskan ilmunya
kepada para muridnya. Dalam mengajarkan fiqh, ia bersemboyan,
“matangkanlah satu-satu, lalu ambillah yang lain untuk jadi perbandingan dan
jangan menutup diri pada satu mazhab saja16. Maksud dari semboyan ini
adalah dalam mempelajari ilmu fiqh, para pelajar di tingkat awal diajarkan
kitab fiqh bermazhab Syafi’i. Pengetahuan tentang mazhab Syafi’i ini
merupakan dasar dan landasan serta bekal dan pengetahuan dan amalan
mereka sehari-hari. Setelah mereka menguasai masalah-masalah fiqh dalam
mazhab Syafi’i, barulah di kelas akhir Sumatera Thawalib diajarkan pelajaran
fiqh dengan metode perbandingan dari berbagai mazhab.
Ketetapan untuk mengajarkan mazhab Syafi’i menjadi daya tarik
tersendiri bagi madrasah Sumatera Thawalib Parabek. Ini diikuti juga dengan
kebebasan mempelajari mazhab lainnya sebagai perbandingan. Pelajar tidak
16 [ed] Edwar, et.al, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981), cet.ke-1, h.161
16
terpaku pada satu mazhab saja melainkan harus mempelajari mazhab-mazhab
lain.
Dalam memberikan fatwa hendaklah memberikan kesimpulan setelah
mempelajari pendapat para ulama mazhab. Dengan ini nampaklah bahwa
penekanan pada mazhab Syafi’i hanyalah semata-mata untuk mencegah
keragu-raguan. Lagi pula dengan dasar pertimbangan mazhab Syafi’i dianggap
tidak ekstrim dan merupakan pegangan mayoritas umat Islam Indonesia.
Kebijakan ini berbeda dengan Thawalib Padang Panjang yang bebas
mazhab ataupun Tarbiyah Islamiyah Candung yang berpegang pada mazhab
Syafi’i. Sehingga jumlah pelajar yang belajar di Parabek melebihi sekolah-
sekolah itu 17.
Dalam mengajarkan pelajaran fiqh di kelas, Inyiak Parabek selalu
membuka ruang tanya jawab di akhir pelajaran. Tanya jawab ini biasanya
tentang materi pelajaran yang sedang di pelajari kaitannya dengan kreasi yang
ditemui di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian materi yang dipelajari
dapat dikuasai oleh para pelajar secara mendalam. Namun di sisi lain tentulah
membutuhkan waktu pelajaran yang cukup panjang. Dampaknya, biasanya
suatu kitab fiqh yang dipelajari tidak dipelajari sampai tamat. Tetapi suatu
kitab dipelajari pada kelas atau tingkat tertentu dan setelah kenaikan kelas
(tahun ajaran berikutnya), dipelajari kitab yang lain. Bahagian kitab yang tidak
sempat dipelajari di kelas dilanjutkan sendiri secara mandiri oleh para pelajar.
Adapun kesulitan yang tidak dapat mereka pecahkan dapat ditanyakan kepada
guru di luar jam pelajaran madrasah. Inilah suatu bentuk pembinaan Inyiak
Parabek kepada para pelajarnya untuk kemandirian mereka dalam menuntut
ilmu.
Mazhab Syafi’i yang dipelajari di madrasah Sumatera Thawalib Parabek
sangat cocok dengan masyarakat Indonesia umumnya. Amalan dengan
berpedoman pada mazhab Syafi’i tersebut menjadikan lulusan Sumatera
Thawalib Parabek dapat diterima baik di tengah-tengah masyarakat.
Penerimaan masyarakat dengan tangan terbuka ini memuluskan tugas yang
mereka empan dalam pembinaan masyarakat. Sehingga ide dan gagasan
pembaharuan yang mereka bawa mudah diterima masyarakat.
17 Daya, op.cit h. 128-129
17
Pada tingkat akhir pelajar yang belajar di Sumatera Thawalib
mendapatkan pelajaran fiqh dengan metode perbandingan mazhab. Pelajaran
fiqh perbandingan mazhab ini mengajarkan pada pengetahuan tentang sebab-
sebab perbedaan di kalangan ulama tentang suatu masalah fiqhiyah.
Pengetahuan tentang sebab-sebab perbedaan di kalangan ulama dalam
penggunaan dalil yang melandasi istinbath hukumnya menyebabkan sikap
tasamuh/ toleransi. Karena perbedaan di kalangan para ulama itu bukanlah
perbedaan belaka tetapi dilandasi oleh dalil-dalil pendapat mereka masing-
masing18.
Pelajaran fiqh perbandingan ini menjadikan pelajar Sumatera Thawalib
memiliki wawasan fiqh yang luas. Pengetahuan dalam fiqh perbandingan
membantu mereka dalam menjelaskan perbedaan yang terlihat di masyarakat
dalam penerapan mazhab fiqh. Selanjutnya menjadikan mereka orang-orang
alim yang moderat, toleran dengan perbedaan yang ada bahwa perbedaan
tersebut adalah khazanah dari hukum Islam yang tidak perlu dikhawatirkan
tetapi perbedaan tersebut membawa kepada keluwesan dan kemudahan.
2. Sikap Inyiak Parabek dan Sumatera Thawalib dalam bermazhab
Inyiak Parabek adalah seorang ulama yang bijaksana dibandingkan
dengan tokoh-tokoh Thawalib lainnya. Ia faham betul betapa terikatnya
masyarakat Minangkabau dengan mazhab Syafi’i. Iapun memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap mazhab tersebut di lingkungan Sumatera
Thawalib Parabek.
Dalam kehidupan kesehariannya, Inyiak Parabek juga memperlihatkan
keluasan pandangannya. Misalnya dalam masalah qunut, menurutnya boleh
diamalkan dan boleh juga tidak diamalkan. Rasulullahpun kadang-kadang
mengerjakan qunut dan kadang-kadang tidak.
Inyiak Parabek bersikap tasamuh dalam menyikapi perbedaan mazhab
dalam praktek di masyarakat. Perbedaan amalan itu haruslah berdasarkan
pendapat dan dalil yang jelas sumber pengambilannya. Dengan demikian
Inyiak Parabek bersikap toleran terhadap praktek atau amalan dari mereka
18 Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut tentang masalah dalam khazanah hukum Islam rujuk lebih lanjut Yanggo, Humaemah T, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), cet.ke-1
18
yang mengerti dan faham tentang masalah agama yang berbeda dengannya.
Dan ia akan memberikan penerangan dan pengarahan terhadap orang awam
yang beramal di luar kebiasaan masyarakat tentang amalan yang mereka
lakukan.
Dalam amalannya sehari-hari Inyiak Parabek mengamalkan mazhab
Syafi’i. hal ini selaras dengan apa yang telah beliau tanamkan kepada para
pelajarnya. Secara tidak langsung Inyiak Parabek menjadi teladan bagi mereka
dan selanjutnya bagi masyarakat luas.
K. Inyiak Parabek dan Sumatera Thawalib dalam Jajaran Gerakan Kaum Mudo
Inyiak Parabek adalah profil seorang ulama yang lekat di hati umatnya.
Walaupun ia telah lama meninggal namun nama dan jasa-jasanya masih tetap
diingat dan dikenang di hati umat. Ia berhasil membina masyarakat Parabek.
Masjid ramai dikunjungi dalam pelaksanaan salat lima waktu. Para perempuan
mengenakan tutup kepala mereka ketika keluar rumah. Nilai-nilai keagamaan
melekat dalam kehidupan keseharian mereka.
Praktek yang bertentangan dengan ajaran agama pun tidak terlihat lagi.
Perjudian, menyabung ayam, dan lainnya telah lama ditinggalkan masyarakat.
Begitu juga kebiasaan makan dan minum ditempat kematian dan ritual terkait
dengan hari kematian (meniga, menujuh hari) tidak dipraktikkan lagi. Hal ini
selalu ia suarakan pada setiap pengajian yang ia laksanakan dan melalui
pengajaran di Sumatera Thawalib Parabek.
Ia mengcounter atas praktek taqlid yang telah mengakar dalam kehidupan
masyarakat pada masa itu. Pandangan yang ada di masyarakat bahwa kewajiban
mengikuti pendapat ulama itu setara dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an dan
Hadis. Mereka yang berbeda atau menyalahinya berarti menyimpang dari syari’at.
Inyiak Parabek mencoba merubah pandangan tersebut. Dalam syari’at Islam
terdapat dinamika perbedaan pendapat di kalangan para ulamanya. Perbedaan ini
didasarkan pada perbedaan dalam pengambilan dalil dan argumentasi. Perbedaan
pendapat ini merupakan kemudahan dan keluwesan bagi umat Islam.
Penekanan terhadap toleransi dalam bermazhab menjadikan Inyiak Parabek
beserta kaum Mudo lainnya digelari sebagai pembaharu di Minangkabau. Mereka
sebagai golongan pembaharu berusaha mengubah pandangan dan sikap
masyarakat yang bersikap fanatik buta terhadap mazhab yang mereka anut. Serta
19
sikap tidak toleran terhadap perbedaan pendapat dan mazhab yang berbeda dengan
yang mereka anut.
Inyiak Parabek adalah ulama kaum Mudo yang moderat di antara
perseteruan antara kaum Mudo dan kaum Tuo di Minangkabau. Demikian juga
dengan Sumatera Thawalib adalah basis dari gerakan pembaharuan kaum Mudo
yang moderat.
Pembaharuan yang ia sampaikan dengan santun sehingga dapat diterima
kedua belah pihak. Integritas keilmuannya yang diakui dan pembaharuan yang
ikut ia suarakan memposisikannya sebagai pemimpin kaum Mudo yang disegani.
Kedekatannya dengan golongan Adat yang merupakan kolega kaum Tuo,
membuat Inyiak Parabek diterima juga pada kaum Tuo. Inyiak Parabek bersikap
akomodatif terhadap masyarakat adat. Ia membiarkan, tidak melarang praktik adat
yang berlaku di masyarakat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jika
terdapat praktik yang tidak sejalan dengan syari’at Islam, ia luruskan secara halus,
dengan penjelasan yang santun. Sehingga kritik yang disampaikan dapat diterima
dengan tangan terbuka.
L. Penutup
Demikianlah upaya pembaharuan Islam yang telah dilakukan oleh madrasah
Sumatera Thawalib Parabek. Dalam eksistensinya sampai sekarang, madrasah
Sumatera thawalib terus berproses menyupayakan pembaharuan yang terus
menerus untuk dapat menjawab tantangan zaman.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, School and Politics, The Kaum Muda Movement In West Sumatera (1927-1933), Monograf Series Cornel Modern Indonesia Project South East Asia Program Cornel University Ithaca, New York, March 1971
20
____________, Sejarah Lokal Indonesia, Yogyakarta: Gajahmada Universiti, 1985
____________, Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3ES, 1996, cet.ke-2
Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau, Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Minangkabau 1945-1950, Jilid I, Jakarta: BPSIM, 1978
Batuah, Abdul Ghaffar St, Profil Keutamaan Syekh Ibrahim Musa, Parabek Juli 1999
Busyairi, Badruzzaman, Catatan Perjuangan HM Yunan Nasution, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985, cet.ke-1
Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Islam Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1995, cet. Ke-2
[ed] Edwar, et.al, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981, cet.ke-1
Firdaus AN, Pesan-Pesan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, cet.ke-1
Hamka, Ayahku, Jakarta: Umminda, 1982, cet.ke-2
____________, Kenang-Kenangan Hidup I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, cet.ke-4
[ed] Labiah, Anwar Adjazi St Rangkayo, Bunga Rampai Sumatera Thawalib, 1984
Mansur MD dkk, Sejarah Minangkabau, Jakarta: Bharata: 1970
Murodi, Melacak Asal-Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat, Jakarta: Logos, 1999, cet.ke-1
Na’im, Mochtar, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjahmada Universty Press
____________, Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Penelitian, tth, tidak diterbitkan
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, cet.ke-9
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, cet.ke-8
[ed] Safwan, Mardanas dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebuayaan Daerah, 1980
Salmadanis, Profil Syeikh Ibrahim Musa Sebagai Da’i, Fakultas Dakwak, jurusan PPAI, IAIN Imam Bonjol Padang, 1986 (tidak dipublikasikan)
21
Suar, Imam, Afdhaliyah asy-Syekh Ibrahim Musa, 1996 (tidak dipublikasikan)
Sumatera Thawalib Parabek, Verslag dan Notulen Pertemoean Besar jang Pertama, 27-29 Radjab 1343 H/ 18-20 Januari 1928, Fort de Cock: Tsamaratul Ikhwan, 1928
Suar, Imam, Afdhaliyah asy-Syekh Ibrahim Musa, 1996 (tidak dipublikasikan)
Yanggo, Humaemah T, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), cet.ke-1
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1978, cet.ke-2
22