PEMBAGIAN WARIS DALAM HIKAYAT HAUJ JAWABIR ...Hikayat Hauj Jawabir (selanjutnya disingkat HHJ)...
Transcript of PEMBAGIAN WARIS DALAM HIKAYAT HAUJ JAWABIR ...Hikayat Hauj Jawabir (selanjutnya disingkat HHJ)...
50
PEMBAGIAN WARIS DALAM HIKAYAT HAUJ JAWABIR:
SEBUAH KAJIAN KONTEKSTUALITAS
Distribution of Inheritance in Hikayat Hauj Jawabir: A Contextual Study
Rigita Cahyani, Asep Yudha Wirajaya
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia
Pos-el: [email protected] & [email protected]
Abstrak
Waris merupakan salah satu hal yang telah diatur Islam karena termaktub secara eksplisit, baik di
dalam Alquran maupun Hadis. Bahkan, proporsi pembagian dan penerima warisan pun sudah
ditentukan secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI berisi tentang syarat-syarat
muwaris yang dapat mewarisi ahli waris, asas-asas hukum waris, sebab-sebab yang dapat menjadi
penghalang dan membatalkan perpindahan harta kepada ahli waris, orang-orang yang berhak
mendapatkan warisan dan kelompok-kelompok ahli waris, serta ketentuan pembagian harta
warisan. Pembagian waris merupakan topik permasalahan utama yang diangkat dalam Hikayat
Hauj Jawabir (selanjutnya disingkat HHJ). Adapun ikhtisar cerita dalam teks HHJ adalah Hauj
Jawabir merupakan seorang saudagar yang kaya raya dari tanah Hindustan. Ia mempunyai tiga
orang anak kandung yang kesemuanya adalah laki-laki. Lalu, Ia membagikan semua harta
warisannya kepada ketiga anak laki-lakinya. Artinya, pembagian harta warisan tersebut dilakukan
pada saat orang tua mereka dalam hal ini, Hauj Jawabir masih hidup pada saat usia sudah senja.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah setelah pembagian harta warisan tersebut, justru Hauj
Jawabir mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari ketiga orang putranya. Ketiga
anaknya menganggap bahwa keberadaan sang ayah (Hauj Jawabir) sudah tidak berhak sedikit pun
atas segala harta benda yang dimilikinya. Hal itulah yang kemudian akan dikaji secara kontekstual
dengan ketentuan hukum waris yang sudah ada, terutama dengan ketentuan hukum waris
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.
Kata-kata kunci: Hikayat Hauj Jawabir, Pembagian Waris, Muwaris, Kompilasi Hukum Islam,
Kajian Kontekstual
Abstract
Waris is one of the things that has been regulated by Islam because it is written explicitly, both in
the Koran and the Hadith. In fact, the proportion of inheritance distribution and recipients has also
been explicitly determined in the Compilation of Islamic Law (KHI). KHI contains the conditions of
muwaris that can inherit heirs, the principles of inheritance law, reasons that can be a barrier and
cancel the transfer of assets to the heirs, those who are entitled to inheritance and heir groups, and
Naskah Diterima: Tanggal 27 Maret 2020 —Direvisi Akhir Tanggal 01 Juni 2020—Disetujui Tanggal 02 Juni 2020
doi: 10.26499/mm.v18i1.2316
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by Jurnal-el Badan Bahasa (e-Jurnal Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
51
provisions division of inheritance. The distribution of inheritance is the main problem topic raised
in the Hikayat Hauj Jawabir (hereinafter abbreviated as HHJ). The summary of stories in the HHJ
text is Hauj Jawabir is a wealthy merchant from the land of Hindustan. He has three biological
children, all of whom are boys. Then, He distributed all his inheritance to his three sons. That is,
the distribution of inheritance is done when their parents in this case, Hauj Jawabir is still alive at
the age of old age. The problem that arose later was that after the distribution of the inheritance,
Hauj Jawabir received unpleasant treatment from his three sons. His three children assume that
the existence of the father (Hauj Jawabir) has no right whatsoever to all his possessions. That is
what will then be studied contextually with the existing inheritance provisions, especially with
inheritance provisions based on the Compilation of Islamic Law.
Keywords: Hikayat Hauj Jawabir, Division of Inheritance, Muwaris, Compilation Of Islamic Law,
Contextual Studies.
PENDAHULUAN
Masalah pembagian harta atau sering
disebut dengan warisan, masih menjadi
masalah krusial dalam kehidupan manusia.
Pembagian harta selalu menjadi masalah
yang sangat sensitif dalam hubungan
kekeluargaan karena setiap anggota
keluarga merasa berhak atas barang
warisan dari anggota keluarga yang lain.
Tidak jarang jika pembagian harta warisan
yang dianggap tidak memenuhi rasa
keadilan justru dapat menjadi pemecah
hubungan dalam sebuah keluarga.
Waris adalah orang yang termasuk
ahli waris yang berhak menerima warisan.
Hakhak waris dapat timbul karena
hubungan darah dan hubungan pernikahan.
Ada ahli waris yang sesungguhnya
memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat, tetapi tidak berhak mendapatkan
warisan. Ahli waris yang demikian itu
disebut zawu alarham (Khisni, 2017).
Waris yang telah disebutkan di atas
memberikan catatan bahwa hubungan
kekeluargaan dan hubungan kekerabatan
menjadi syarat penting. Namun, ada catatan
lain terkait warisan, yaitu ketentuan
warisan disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat saat itu sebelum Islam
datang.
Waris dalam hukum Islam secara arti
bahasa merupakan beralihnya sesuatu dari
individu atau kelompok yang satu ke
individu atau kelompok yang lain. Menurut
istilah mirath, waris dalam hukum Islam
dapat diartikan sebagai peralihan
kepemilikan hak dari orang yang sudah
meninggal kepada orang lain yang berhak
menerima kepemilikan tersebut dengan
kepemilikan hak yang ditinggalkan dapat
berupa harta (uang), tanah, rumah, atau
apapun yang berupa hak milik sah dan legal
52
(Ash Shabuni, 1995). Waris menjadi salah
satu sistem untuk mengatur kehidupan
manusia yang telah diatur dalam agama
Islam yang kemudian dijadikan sebagai
hukum kewarisan Islam (Komari, 2011).
Ketentuan pembagian warisan
sesungguhnya sudah diatur dalam agama
Islam. Agama Islam telah mengatur tentang
tata cara dan ketentuan membagi harta
warisan dengan seadiladilnya. Hal tersebut
telah disesuaikan dengan hakhak dan
kewajiban yang dimiliki oleh setiap
anggota keluarga dengan melihat hubungan
antara pewaris dan ahli waris. Kedekatan
hubungan antara pewaris dan ahli waris
menentukan seberapa banyak pembagian
harta warisan. Selain itu, jumlah anggota
keluarga yang menjadi ahli waris atau yang
akan menerima warisan juga
diperhitungkan dengan adil. Pengaturan
hukum waris Islam diambil dari ayat-ayat
Alquran dan Hadis. Di Indonesia,
pembagian waris masuk ke dalam
Kompilasi Hukum Islam.
Hikayat Hauj Jawabir (selanjutnya
disingkat HHJ) merupakan salah satu teks
dalam naskah Bunga Rampai Hikayat
Saudagar Kaya. Antara teks dan naskah
adalah dua hal yang berbeda. Naskah
adalah bentuk fisik yang menyimpan
tulisan tangan, sedangkan teks adalah isi
atau kandungan dalam naskah yang
menceritakan kehidupan dan kebudayaan
masa lampau (Fathurrahman, 2015).
Hikayat tersebut menceritakan Hauj
Jawabir, seorang saudagar kaya dari
Hindustan, yang ingin menghabiskan sisa
hidup di hari tuanya bersama ketiga
anaknya. Ia membagikan seluruh hartanya
sampai habis tidak bersisa kepada ketiga
anaknya, padahal ia belum meninggal.
Akibatnya, ia hidup terlunta-lunta karena
tidak ada anak dan menantu yang
menginginkan Hauj Jawabir tinggal
bersama di rumah mereka.
Isi cerita HHJ mengambil sebuah
kasus tentang pembagian harta warisan
kepada anak sebelum meninggal. Penulis
ingin mengetahui keterkaitan isi cerita HHJ
dengan penerapan hukum waris dalam
perspektif Islam. Hukum Islam dijadikan
sebagai acuan karena teks HHJ berisi
unsur-unsur Islam, khususnya terkait
dengan pembagian harta warisan.
Permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah ketentuan pembagian
harta warisan dalam hukum Islam?
2. Bagaimanakah menurut hukum waris
Islam mengenai permasalahan warisan
dalam HHJ?
53
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui rincian pembagian harta
warisan menurut hukum waris Islam.
2. Mengetahui benar atau tidaknya
permasalahan pembagian harta warisan
dalam HHJ.
LANDASAN TEORI
Penelitian filologi yang biasa dikenal
adalah selalu menyunting naskah supaya
dapat mengasilkan teks yang mudah dibaca
oleh masyarakat luas. Teori yang masih
digunakan untuk penelitian filologi sampai
sekarang adalah kritik teks dan penelitian
filologi tidak akan pernah terlepas dari itu.
Penelitian ini mengungkapkan
tentang kajian kontekstual. Kontekstual,
bersama dengan usaha kritis dan analitis,
menjadi kajian filologi yang dikembangkan
berkaitan dengan temuan dan wacana untuk
mengetahui kandungan isi teks dan
memahami keutuhan sejarah teks dalam
sebuah konteks yang melahirkan teks
tersebut (Fathurrahman, 2010). Menurut
Luthfi (2016), kontekstual dalam kajian
filologi dibagi menjadi dua macam, yaitu
kontekstual subjektif dan kontekstual
objektif. Kontekstual subjektif merupakan
usaha kritis, analitis, dan kontekstual yang
melihat teks dengan posisi di masa
sekarang dengan memutuskan keterkaitan
dengan pengarang dan masa atau waktu
teks ditulis. Penyunting dan pembaca
diberikan kebebasan untuk memaknai teks
sesuai dengan resepsi masing-masing.
Kontekstual subjektif memutuskan makna
teks dari pengarang dan kondisi sosial-
historis ketika teks ditulis karena
menelusuri hal tersebut sangat sulit sebab
sebagian besar teks-teks filologi bersifat
anonim.
Yang kedua adalah kontekstual
objektif adalah usaha kritis, analitis,
kontekstual yang melihat pada posisi
dimana teks tersebut ditulis sehingga kajian
kontekstual berupa hubungan gramatikal,
hubungan teks yang satu dengan yang lain,
pengarang, dan kondisi sosial-historis
ketika teks tersebut ditulis. Penyunting
diperlukan untuk menemukan kembali
makna teks yang dimaksud dan diinginkan
pengarang sehingga menelusuri kehidupan
dan peristiwa sosial-historis pengarang
sangatlah penting. Kontekstual objektif ada
kaitannya dengan hermeneutika
Schleiermacher dan Dilthey.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mencari kontekstualitas hukum waris yang
ada dalam teks HHJ yang berasal dari
54
naskah Bunga Rampai Hikayat Saudagar
Kaya koleksi dari Perpustakaan Nasional
Prancis. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan teknik analisis
deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah
memeriksa gejala-gejala keabsahan secara
cermat dan teliti berdasarkan keabsahan
yang sebenarnya (Sumarlam, 2003). Data
yang diambil sebagai bahan penelitian
adalah permasalahan atau intrik-intrik
keluarga khususnya mengenai pembagian
harta warisan seorang ayah kepada semua
anaknya. Sumber data berasal dari teks
HHJ yang menceritakan bahwa Hauj
Jawabir membagikan seluruh hartanya
tanpa sisa kepada ketiga anaknya.
PEMBAHASAN
HHJ merupakan salah satu teks yang
terdapat dalam naskah Bunga Rampai
Hikayat Saudagar Kaya koleksi
Bibliotheque Nationale de France yang
dapat diakses secara daring dalam bentuk
softfile digital (Anonim, n.d.). Naskah
tersebut berisi dua belas teks yang
kesemuanya memiliki persamaan tokoh
utama merupakan saudagar kaya atau orang
besar yang tentunya memiliki harta. Teks
HHJ merupakan teks pertama yang
diceritakan dalam naskah tersebut. Intisari
cerita teks tersebut adalah Hauj Jawabir
membagikan seluruh harta kekayaannya
tanpa menyisakan sepeser pun untuk
dirinya sendiri sebelum ia meninggal dunia.
Pembagian warisan seperti pada teks
HHJ perlu untuk dilihat dan dicermati
kembali dengan acuan hukum waris Islam
sebagaimana yang sudah disebutkan dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Hukum waris
Islam menjadi acuan analisis dalam
penelitian ini karena isi teks memiliki unsur
Islam di dalamnya. Namun sayangnya,
tidak disebutkan pada tahun berapa teks
tersebut ditulis. Apabila ditemukan kolofon
naskah yang menyebutkan informasi terkait
dengan angka tahun penulisan teks HHJ,
maka hal tersebut akan sangat membantu
peneliti. Salah satu di antaranya adalah hal
itu dapat digunakan untuk memperkuat
asumsi bahwa sangat dimungkinkan model
pembagian harta warisan tersebut
dilakukan atau dilaksanakan karena sejalan
dengan adat-istiadat atau kebudayaan
masyarakat setempat.
Dalam Islam, hukum waris sudah ada
dan terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Selain itu, sumber lain yang dapat dijadikan
sebagai penguat hukum adalah ijtihad.
Waris masuk dalam ilmu fikih dan
merupakan subsistem dari hukum keluarga.
Dalam sebuah keluarga ada hak dari salah
seorang anggota keluarga yang berpindah
55
tangan ketika yang bersangkutan
memenuhi syarat. Waris masuk dalam
subbab Kompilasi Hukum Islam. Istilah-
istilah waris dalam fikih mawaris (Rafiq,
2002, hlm. 4–5) dapat disebutkan sebagai
berikut.
1. Waris, atau dapat disebut dengan ahli
waris, adalah orang yang berhak
menerima warisan dengan syarat dan
pembagian tertentu.
2. Muwaris adalah orang yang mewarisi
hartanya kepada orang-orang yang
berhak mendapatkan warisan darinya
dengan syarat dan pembagian yang
telah ditentukan.
3. Al-irs adalah harta yang siap dibagi
untuk diwariskan setelah digunakan
untuk keperluan tertentu yang berkaitan
dengan keperluan terakhir muwaris.
4. Warasah adalah harta yang telah
diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah adalah semua harta peninggalan
muwaris yang digunakan untuk
keperluan terakhir muwaris sebelum
dibagikan ke anggota keluarga atau
kerabat yang berhak menjadi ahli waris.
Keperluan tersebut adalah kepentingan
pengurusan jenazah, pelunasan utang,
dan kepentingan pelaksanaan wasiat
oleh muwaris ketika masih hidup.
ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM
Hukum waris Islam mengenal adanya
asas-asas yang menjadi dasar tentang
perlunya dilakukan dan ditentukannya
pembagian warisan. Asas-asas dalam
hukum waris Islam (Rasyid, 2008)
meliputi:
1. Asas Integrity, berarti asas ketulusan.
Seorang muwaris harus secara tulus dan
ikhlas membagikan hartanya tanpa ada
paksaan. Allah berfirman dalam Q. S.
Ali Imran ayat 85 yang artinya
berbunyi sebagai berikut.
”Barang siapa menuntut agama selain
Islam, maka tiadalah diterima
daripadanya, sedang dia di akhirat
termasuk orang-orang merugi.”
2. Asas Ta’abbudi, berarti asas
penghambaan diri. Waris termasuk
salah satu ibadah kepada Allah yang
jika dilakukan akan mendapatkan
pahala. Perihal tentang waris telah
disinggung dalam Q. S. An-Nisa ayat
11 dan 12, kemudian pada ayat 13 dan
14 terdapat penjelasan lebih mengenai
waris. Adapun firman Allah Swt.
berbunyi sebagai berikut.
”Demikianlah Batas-batas (peraturan)
Allah. Barangsiapa mengikut (perintah)
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkan dia ke dalam surga yang
56
mengalir air sungai di bawahnya,
sedang mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang besar"
(terjemah Q. S. An-Nisa: 13).
“Barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melampaui Batas-batas
(larangan)-Nya, niscaya Allah
memasukkan dia ke dalam neraka, serta
kekal di dalamnya, dan untuknya
siksaan yang menghinakan" (terjemah
Q. S. An-Nisa: 14).
3. Asas Hukukul Maliyah, berarti asas
hak-hak kebendaan. Sesuatu yang dapat
diwariskan hanyalah yang bersifat
kebendaan, bukan sesuatu yang bersifat
pribadi.
4. Asas Hukukun Thabi’iyah, berarti asas
hak-hak dasar. Orang berhak menjadi
ahli waris karena adanya hubungan
kekeluargaan, baik karena keturunan
langsung maupun karena pernikahan.
Jika ahli waris masih bayi yang baru
lahir, seseorang yang sudah sekarat,
atau suami atau istri yang masih belum
resmi bercerai, tetapi sudah berpisah
tempat tinggal tetap berhak
mendapatkan warisan.
5. Asas Ijbari, berarti asas kewajiban.
Harta warisan yang dibagikan kepada
ahli waris sesuai dengan ketetapan yang
telah ditentukan tanpa ada campur
tangan kehendak dari muwaris dan ahli
waris.
6. Asas bilateral, berarti asas keturunan.
Ahli waris yang berhak menerima
warisan adalah keturunan dari muwaris
baik melalui hubungan darah maupun
hubungan pernikahan. Firman Allah
dalam Q. S. An-Nisa ayat 7 yang
artinya berbunyi sebagai berikut.
”Untuk laki-laki ada bagian dari
peninggalan ibu bapak dan karib
kerabat yang terdekat, dan untuk
perempuan-perempuan ada bagian pula
dari peninggalan ibu bapak dan karib
yang terdekat, baik sedikit ataupun
banyak, sebagai bagian yang telah
ditetapkan”.
Kemudian dalam Q. S. An-Nisa ayat 11
yang artinya berbunyi sebagai berikut.
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang
(bagian) anak-anakmu, untuk seorang
laki-laki seumpama bagian dua orang
perempuan. Kalau anak-anak itu
perempuan saja lebih dari dua orang,
untuk mereka dua pertiga dari
peninggalan, dan kalau perempuan itu
seorang saja, maka untuknya seperdua.
Untuk dua orang ibu bapak, untuk
musing-masingnya seperenam dari
peninggalan, jika ia (mayat)
mempunyai anak. Kalau mayat tiada
57
mempunyai anak dan yang mempusakai
hanya ibu bapak saja, maka untuk
ibunya sepertiga, tetapi jika mayat
mempunyai be-berapa orang saudara,
maka untuk ibunya seperenam, sesudah
dikeluarkan wasiat yang
diwasiatkannya atau utang-utangnya.
Bapak-bapakmu dan anak-anakmu
tiadalah kamu ketahui, siapakah di
antara mereka yang terlebih dekat
manfaatnya kepadamu. Inilah suatu
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Pada Q. S. An-Nisa ayat 12 firman
Allah yang artinya berbunyi sebagai
berikut.
”Untukmu seperdua dari peninggalan
isterimu, jika ia tidak beranak, tetapi
jika ia beranak, maka untukmu
seperempat dari peninggalan-nya,
sesudah dikeluarkan wasiat yang
diwasiatkannya atau hutangnya. (Kalau
kamu meninggal) untuk mereka (isteri-
isterimu) seperempat dari
peninggalanmu, jika kamu tiada
mempunyai anak, kalau kamu
mempunyai anak, maka untuk mereka
seperdelapan dari peninggalanmu,
sesudah dikeluarkan wasiat yang kamu
wasiatkan atau utang-utangmu. Kalau
laki-laki atau perempuan yang diwarisi
tiada beranak atau berbapak dan
baginya ada seorang saudara seibu laki-
laki atau perempuan, maka untuk
masing-masing seperenam. Kalau
mereka (saudara seibu) lebih dari
seorang maka mereka ber-serikat pada
sepertiga, sesudah dikeluarkan wasiat
yang diwasiatkannya atau utang-
utangnya, tanpa memberi mudharat
(kepada ahli waris-nya) sebagai wasiat
(perintah) dari Allah. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
Selanjutnya pada Q. S. An-Nisa ayat
176 firman Allah yang artinya berbunyi
sebagai berikut. “Mereka itu minta
fatwa kepada engkau (ya Muham-mad)
katakanlah: Allah memfatwakan
kepadamu tentang kalalah. Jika seorang
manusia meninggal tak ada baginya
anak dan ada baginya saudara
perempuan, maka untuk saudara
perempuan itu seperdua dari pada
pening-galannya. Saudara laki-laki juga
mempusakai saudara perempuannya,
jika tak ada anak bagi saudara
perempuan itu. Jika saudara perempuan
dua orang maka untuk keduanya dua
pertiga dari peninggalannya
saudaranya. Jika mereka itu beberapa
orang saudara, laki-laki dan
58
perempuan, maka untuk se-orang laki-
laki seumpama bagian dua orang
perempuan. Allah menerangkan
kepadamu, supaya kamu jangan
tersesat.
Allah Maha mengetahui tiap-tiap
sesuatu”.
7. Asas individualitas. Ahli waris dapat
menggunakan harta hasil warisannya
untuk dirinya sendiri. Firman Allah
dalam Q. S. An-Nisa ayat 7 yang
artinya berbunyi sebagai berikut.
“Untuk laki-laki ada bagian dari
peninggalan ibu bapak dan karib
kerabat yang terdekat, dan untuk
perempuan-perempuan ada bagian pula
dari peninggalan ibu bapak dan karib
yang terdekat, baik sedikit ataupun
banyak, sebagai bagian yang telah
ditetapkan”.
Selanjutnya pada Q. S. An-Nisa ayat 8
yang artinya berbunyi sebagai berikut.
“Apabila datang waktu pembagian
pusaka, karib kerabat (yang tidak
mendapat bagian), anak-anak yatim dan
orang orang miskin, berilah mereka itu
sekedarya dan katakanlah kepada
mereka perkataan yang baik”.
Kemudian pada Q. S. An-Nisa ayat 33
yang artinya berbunyi sebagai berikut.
“Untuk masing-masing (laki-laki dan
perempuan) kami adakan ahli waris dari
peninggalan ibu dan bapak dan karib
kerabat yang terdekat dan orang-orang
yang telah bersumpah setia kepada
kamu, maka hendaklah kamu berikan
kepada mereka bagiannya masing-
masing. Sesungguhnya Allah menjadi
saksi atas tiap-tiap sesuatu”.
8. Asas keadilan yang berimbang.
Pembagian waris dilakukan dengan
melihat kewajiban-kewajiban yang
ditanggung oleh para ahli waris,
misalnya pada pembagian yang
diterima oleh laki-laki dan perempuan
dimana laki-laki mendapatkan dua kali
lebih banyak dari perempuan karena
kewajibannya yang harus menafkahi
keluarganya. Firman Allah dalam Q. S.
Al-Baqarah ayat 233 yang artinya
berbunyi sebagai berikut.
“Para ibu hendaklah menyusu-kan
anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
pernyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang itu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan
59
seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
bila kamu memberikan pembayaran
me-nurut yang patut. Bertaqwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan”
Begitupun firman Allah pada surat At-
Talaaq ayat 7 yang artinya berbunyi
sebagai berikut.
“Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rizki-nya hendaklah
memberi naf-kah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang,
melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan se-sudah
kesempitan”.
9. Asas kematian. Muwaris dapat
membagikan warisannya apabila sudah
meninggal. Bila muwaris masih hidup,
peralihan harta milik muwaris tidak
dapat dikategorikan sebagai waris.
10. Asas membagi habis harta warisan.
Asas ini ada kaitannya dengan ‘Aul dan
Radd.
Pada sepuluh asas hukum waris yang
telah disebutkan di atas, salah satu asas
adalah asas bilateral atau yang berarti asas
keturunan. Keturunan dapat dibedakan
berdasarkan prinsip-prinsip keturunan yang
menurut Kuntjaraningrat (1992) di
Indonesia terdapat prinsip-prinsip
keturunan, yaitu:
1. Prinsip Patrilineal (Patrilineal Decent)
merupakan prinsip keturunan yang
menghitung hubungan kekerabatan dari
garis laki-laki.dan tiap orang yang
termasuk dalam garis keturunan laki-
laki atau ayah termasuk dalam
hubungan kekerabatannya.
2. Prinsip Matrilineal (Matrilineal Decent)
merupakan prinsip keturunan yang
menghitung hubungan kekerabatan dari
garis perempuan dan tiap orang yang
termasuk dalam garis keturunan
perempuan atau ibu termasuk dalam
hubungan kekerabatannya.
3. Prinsip Bilineal (Bilineal Decent)
merupakan prinsip keturunan yang
menghitung hubungan kekerabatan dari
garis laki-laki untuk sejumlah hak dan
60
kewajiban dan dari garis perempuan
untuk sejumlah hak dan kewajiban
juga.
4. Prinsip Bilateral (Bilateral Decent)
merupakan prinsip keturunan yang
menghitung hubungan kekerabatan dari
garis laki-laki (ayah) dan perempuan
(ibu).
SYARAT DAN PENGHALANG
TERJADINYA PEMBAGIAN WARIS
Adapun syarat-syarat dalam
pembagian warisan adalah sebagai berikut.
1. Pewaris atau muwaris telah meninggal,
baik meninggal secara hakiki maupun
diputuskan telah meninggal secara
yuridis (keputusan hakim dalam
pengadilan).
2. Ahli waris masih hidup ketika muwaris
dinyatakan meninggal.
3. Ahli waris memenuhi syarat untuk
dapat menerima warisan dari muwaris,
yaitu memiliki hubungan kekeluargaan
melalui hubungan darah atau hubungan
pernikahan (Basyir, 2001, p. 20).
Selain syarat-syarat yang telah
disebutkan di atas, terdapat juga hal-hal
yang dapat membatalkan pembagian waris
kepada ahli waris. Hal-hal yang dapat
membatalkan dan menjadi penghalang
dalam pembagian waris di antara muwaris
dan ahli waris, yaitu:
1. Antara muwaris dan ahli waris berbeda
agama. Hadis Nabi mengatakan bahwa
orang yang berbeda agama tidak berhak
mewarisi satu sama lain. Orang Islam
tidak berhak memperoleh peralihan
harta dari orang kafir, begitu juga orang
kafir tidak berhak memperoleh
peralihan harta dari orang Islam.
2. Pembunuhan telah dilakukan di antara
muwaris dan ahli waris. Pembunuan
yang dimaksud adalah pembunuhan
yang dilakukan secara sengaja dan
menyebabkan pelanggaran terhadap
hukum pidana.
3. Mahjub, yaitu hilangnya ijab atau
kesepakatan antara muwaris dan ahli
waris karena ahli waris memiliki
kedudukan yang lebih kuat dari
muwaris. Hilangnya ijab dapat berupa
hilang keseluruhan hak waris atau
berkurang-nya hak waris yang didapat
dengan bagian terbanyak.
4. Budak.
Sementara itu, ada pembunuhan yang
tidak membatalkan dan menjadi
penghalang atas pembagian waris, yaitu:
1. Pembunuhan karena khilaf.
2. Pembunuhan karena untuk membela
diri.
61
3. Pembunuhan yang dilakukan sebagai
bagian dari tugas.
4. Pembunuhan dilakukan oleh orang
yang kurang mengerti dan paham akan
hukum.
Asas hukukul maliyah menyebutkan
bahwa yang sah untuk menjadi harta yang
akan diwariskan adalah harta yang bersifat
kebendaan. Harta yang boleh diwariskan
kepada ahli waris adalah harta bersih. Harta
bersih yang dimaksud adalah harta yang
sudah disisihkan atau sisa dari seluruh harta
yang akan diwariskan yang telah digunakan
untuk keperluan terakhir muwaris.
Keperluan muwaris yang harus
dilaksanakan dengan menggunakan
sebagian harta miliknya adalah untuk biaya
pengurusan dan perawatan jenazah,
pelunasan utang selama muwaris hidup di
dunia, dan pelaksanaan wasiat yang
membutuhkan dokumen-dokumen penting
dan surat wasiat yang sah secara hukum.
KELOMPOK AHLI WARIS
Sudah disebutkan bahwa pembagian
waris dapat dilakukan kepada ahli waris
yang memiliki hubungan kekeluargaan
dengan muwaris, baik karena melalui
hubungan darah maupun hubungan
pernikahan. Pembagian waris ditentukan
dari kedekatan hubungan kekerabatan.
Untuk lebih jelasnya, ketentuan pembagian
harta warisan dan siapa saja yang ahli waris
yang berhak menerima telah dirumuskan
Khisni (2017: 18–20) pada Kompilasi
Hukum Islam (2015) dan dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
1. Kelompok ahli waris dzawil furudh.
a. Ayah, sesuai dengan pasal 177 KHI
yang berbunyi, “Ayah mendapatkan
sepertiga bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, bila ada anak,
ayah mendapat seperenam bagian.”
b. Ibu, sesuai dengan pasal 178 KHI
ayat (1) yang berbunyi, “Ibu
mendapat seperenam bagian bila
ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua
saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.” Pasal
178 KHI ayat (2) berbunyi, “Ibu
mendapat sepertiga bagian dari sisa
sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan
ayah.”
c. Duda, sesuai dengan pasal 179 KHI
yang berbunyi, “Duda mendapat
separoh bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka
duda mendapatkan seperempat
bagian.”
62
d. Janda, sesuai dengan pasal 180 KHI
yang berbunyi, “Janda mendapat
seperempat bagian bila pewaris
tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka
janda mendapat seperdelapan
bagian.”
e. Seorang anak perempuan, sesuai
dengan pasal 176 KHI yang
berbunyi, “Anak perempuan bila
hanya seorang ia mendapat separoh
bagian, bila dua orang atau lebih
mereka bersama-sama mendapat
dua pertiga bagian, dan apabila
anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian
anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak per-
empuan.”
f. Seorang saudara perempuan atau
laki-laki (baik sekandung, seayah,
maupun seibu), sesuai dengan pasal
181 KHI yang berbunyi, “Bila
seorang meninggal tanpa
meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu maka masing-
masing mendapat seperenam
bagian. Bila mereka itu dua orang
atau lebih maka mereka bersama-
sama mendapat sepertiga bagian.”
g. Seorang saudara perempuan
(sekandung, seayah, maupun seibu),
sesuai dengan pasal 182 KHI yang
berbunyi, “Bila seorang meninggal
tanpa meninggalkan ayah dan anak,
sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah,
maka ia mendapat separoh bagian.
Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah
dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian. Bila saudara perempuan
tersebut bersama-sama dengan
saudara-saudara laki-laki kandung
atau seayah, maka bagian saudara
laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan saudara perempuan.”
2. Kelompok Ahli Waris yang Tidak
Ditentukan Bagiannya
a. Anak laki-laki beserta
keturunannya.
b. Anak perempuan beserta
keturunannya apabila yang
mewarisi adalah anak laki-laki.
c. Saudara laki-laki dan saudara
perempuan apabila pewaris tidak
meninggalkan seorang ayah yang
masih hidup atau keturunan.
d. Kakek dan nenek.
63
e. Paman dan bibi, baik dari pihak
ayah maupun pihak ibu beserta
keturunannya.
3. Kelompok Ahli Waris yang Mendapat
Bagian sebagai Ahli Waris Pengganti
a. Keturunan dari anak yang mewarisi
bagian yang digantikannya.
b. Keturunan dari saudara laki-laki
atau perempuan baik yang
sekandung, seayah, maupun seibu
yang mewarisi bagian yang
digantikannya.
c. Kakek dan nenek dari pihak ayah
mewarisi bagian dari ayah yang
masing-masing mendapatkan
bagian yang sama.
d. Kakek dan nenek dari pihak ibu
mewarisi bagian dari ibu yang
masing-masing mendapatkan
bagian yang sama.
e. Paman dan bibi dari pihak ayah
beserta keturunannya mewarisi
bagian dari ayah apabila tidak ada
kakek dan nenek dari pihak ayah.
f. Paman dan bibi dari pihak ibu
beserta keturunannya mewarisi
bagian dari ibu apabila tidak ada
kakek dan nenek dari pihak ibu.
Menurut Hazairin Hazairin (1982),
kelompok ahli waris memiliki dan dibagi
atas keutamaan di dalam hubungan
kekerabatan sebagai berikut.
1. Kelompok Keutamaan Pertama
a. Anak laki-laki dan anak perempuan
sebagai dzawil furudh atau dzawil
qarabah beserta mawalinya.
b. Ayah dan ibu sebagai dzawil
furudh.
c. Duda dan janda sebagai dzawil
furudh.
2. Kelompok Keutamaan Kedua
a. Saudara laki-laki dan saudara
perempuan sebagai dzawil qarabah
dalam hal kalalah beserta
mawalinya.
b. Ibu sebagai dzawil furudh.
c. Ayah sebagai dzawil qarabah.
d. Duda atau janda sebagai dzawil
furudh.
3. Kelompok Keutamaan Ketiga
a. Ibu sebagai dzawil furudh.
b. Ayah sebagai dzawil qarabah.
c. Duda atau janda sebagai dzawil
furudh.
Dengan pembagian kelompok ahli
waris menurut Hazairin di atas, ketika
kelompok yang mempunyai keutamaan
lebih tinggi masih ada, kelompok yang
keutamaannya di bawahnya tidak berhak
mendapatkan hak waris.
64
HIKAYAT HAUJ JAWABIR DAN
WARIS
HHJ memiliki ikhtisar cerita yang
berhubungan dengan warisan. Hal-hal yang
dapat dilihat di dalam cerita tersebut yang
mengandung dan berhubungan tentang
warisan adalah Hauj Jawabir adalah
seorang saudagar kaya yang memiliki harta
melimpah, mempunyai tiga anak laki-laki
yang semuanya merupakan anak kandung,
membagikan seluruh harta kekayaannya
kepada semua anaknya tanpa sisa,
membagikan hartanya kepada semua
anaknya dengan bagian yang sama rata, dan
ketiga anak kandungnya laki-laki.
Berdasarkan penjabaran sing-kat
mengenai hukum waris Islam di atas, cerita
dalam Hikayat Hauj Jawabir terdapat
kesesuaian sekaligus penyimpangan atau
ketidaksesuaian ketentuan pembagian
warisan. Poin-poin yang bisa didapatkan
mengenai hal-hal yang sesuai dan
menyimpang dari aturan hukum waris
Islam dalam HHJ adalah sebagai berikut.
1. Hauj Jawabir memberikan harta
kekayaannya menjadi warisan kepada
tiga anak kandungnya. Hal tersebut
sesuai dengan syarat waris-mewaris
sebagaimana disebutkan bahwa yang
berhak menjadi ahli waris dan
mendapatkan warisan adalah yang
memiliki hubungan kekeluargaan
dengan mawaris, baik melalui
hubungan darah maupun hubungan
akibat pernikahan. Hubungan
kekeluargaan antara Hauj Jawabir
dengan anak-anaknya adalah hubungan
kekeluargaan karena hubungan darah.
Pernyataan di atas juga Hauj Jawabir
memenuhi asas dalam hukum waris
Islam, yaitu asas bilateral (asas
keturunan).
2. Hauj Jawabir membagikan semua
hartanya sama rata dan habis tak bersisa
kepada ketiga anak kandungnya. Hauj
Jawabir telah memenuhi salah satu asas
hukum waris Islam, yaitu asas membagi
harta warisan sampai habis, tentunya
setelah dikurangi dengan harta yang
digunakan untuk memenuhi kewajiban
mawaris. Ketiga anak Hauj Jawabir
adalah laki-laki, maka pembagiannya
dibagi sama rata walaupun menurut
ketentuan ahli waris dalam hukum
waris Islam, anak laki-laki tidak
ditentukan bagiannya. Namun, jika
dalam kasus lain yang membutuhkan
adanya pembagian warisan sesuai
ketentuan kepada seluruh ahli waris,
anak laki-laki mendapatkan sisa harta
yang masih tersisa di samping harta
65
yang didapatkan karena pembagian
yang telah ditentukan.
3. Hauj Jawabir membagikan seluruh
hartanya hingga habis tak bersisa
kepada ketiga anaknya ketika dia masih
hidup. Pernyataan bahwa Hauj Jawabir
yang masih hidup tapi sudah
memutuskan untuk membagikan semua
hartanya dapat dinilai keliru dan
menyimpang/tidak sesuai dengan
hukum waris Islam. Hauj Jawabir telah
melanggar salah satu asas hukum waris,
yaitu asas kematian. Syarat dalam
pembagian waris pun tidak dipenuhi
karena telah disebutkan, bahkan
menjadi syarat yang pertama,
pembagian waris dapat dilaksanakan
jika muwaris telah meninggal dunia.
Jika muwaris masih hidup, pembagian
harta semacam itu bukanlah bentuk
pembagian warisan.
Pernyataan di atas juga membuktikan
bahwa bukan hanya syarat yang tidak
terpenuhi dan asas kematian yang
dilanggar, melainkan juga Hauj Jawabir
telah melanggar kewajiban-kewajibannya
yang harus dilakukan oleh muwaris
sebelum membagikan hartanya, yaitu
mengurus biaya perawatan jenazah, biaya
untuk melunasi semua utang selama hidup,
dan biaya untuk mengurus wasiat.
Pembagian harta warisan tidak dapat
dilakukan apabila syarat dan asas hukum
waris Islam tidak dapat terpenuhi. Seperti
contoh dalam cerita HHJ, syarat dan asas
hukum waris yang tidak dipenuhi adalah
syarat bahwa muwaris telah meninggal
dunia dan asas yang dimaksud adalah asas
kematian. Namun dalam jurnal ilmiah yang
ditulis oleh Naskur (2018), pembagian
waris apabila muwaris masih hidup
diperbolehkan karena dan dengan alasan
tertentu. Satu hal yang menjadi alasan
diperbolehkannya pembagian waris ketika
muwaris masih hidup adalah dikhawatirkan
akan terjadi kemudharatan jika pembagian
waris dilakukan setelah muwaris
meninggal. Kemudharatan datang karena
para ahli waris saling berselisih mengenai
harta warisan yang didapat dan tidak ada
yang dapat menengahi dan menyelesaikan
persilisihan tersebut kecuali muwaris
sendiri. Allah telah berfirman pada Q. S.
Al-Qasas ayat 77 yang terjemahnya
berbunyi sebagai berikut.
“. . . dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Berdasarkan firman Allah Swt. di
atas, kemudharatan akibat perselisihan
mengenai warisan oleh ahli waris dapat
menjadi salah satu perbuatan kerusakan di
66
bumi. Dalam hal tersebut pun tidak
masalah apabila jika dengan alasan
tersebut, pembagian waris dilakukan
sebelum muwaris meninggal. Namun,
ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang
pasti dalam hukum waris Islam, tetapi
alasan tersebut dapat menjadi kebolehan
dan bukan menjadi penghalang pembagian
waris ketika muwaris masih hidup dengan
mengabaikan syarat dan asas hukum waris
Islam.
Melihat kembali pada teks HHJ,
diketahui bahwa pembagian waris yang
dilakukan oleh Hauj Jawabir dengan
keadaan dirinya masih hidup adalah tidak
berdasarkan kekhawatiran akan adanya
kemudharatan yang akan terjadi di antara
anak-anaknya, tetapi hanya berdasarkan
keinginannya menikmati hari tua bersama
anak-anaknya dan lebih mendekatkan diri
kepada Allah. Namun, kemudharatan justru
datang pada dirinya sendiri karena ternyata
menantu-menantunya tidak menyukai Hauj
Jawabir untuk ikut tinggal bersama di
rumah mereka. Hal itu disebabkan oleh
munculnya kekhawatiran bahwa kehadiran
Hauj Jawabir justru hanya akan
menyusahkan mereka. Padahal, kondisi
Hauj Jawabir sudah tidak lagi mempunyai
harta karena sudah habis dibagikan kepada
ketiga anak-anaknya. Selain itu, Hauj
Jawabir merasa sudah tidak lagi dihargai
sebagaimana mestinya sebagai seorang
ayah yang sekaligus sebagai seorang
mertua bagi para menantunya.
Kejadian serupa dengan kisah HHJ
ternyata dapat ditemukan dalam kehidupan
nyata masyarakat Indonesia. Kejadian
tersebut menimpa Yantoro, seorang ayah
yang berusia 80 tahun dari Desa Wonorejo,
Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur. Ia
diusir dari rumahnya setelah pembagian
waris dilakukan. Warga sekitar pun tidak
dapat berbuat banyak. Mereka hanya bisa
menyampaikan rasa empati dengan
membetangkan berbagai spanduk, seperti
berikut. “Jangan kau usir bapak
kandungmu.” (Firmansyah, 2019)
Keputusan pengadilan pun tidak
berpihak pada Yantoro. Ia akhirnya pasrah
dengan nasibnya karena secara hukum ia
tidak lagi berstatus sebagai pemilik rumah.
Ia pun tidak lagi berhak tinggal di
rumahnya walaupun pemilik rumah
tersebut adalah anak kandungnya sendiri
(Firmansyah, 2019).
Hal itu seakan teks HHJ memberikan
pertanda bahwa masalah pembagian harta
warisan dari dulu hingga sekarang masih
saja menjadi polemik tersendiri di dalam
keluarga. Entah muwaris masih hidup atau
67
sudah meninggal, mayoritas perselisihan
mengenai warisan akan tetap ada karena
keegoisan manusia yang serakah akan
haknya, terutama haknya akan harta.
Manusia dapat luput dari segala hal, tetapi
ketika dihadapkan dengan harta justru
manusia berbuat kerusakan di muka bumi
dengan melakukan segala macam cara.
Mereka lupa bahwa harta yang
diperebutkan itu adalah hak dari saudara-
saudaranya sekandung. Mereka lupa bahwa
di dalam harta warisan tersebut masih
terdapat hak-hak orang tua yang harus
ditunaikan terlebih dahulu. Seakan-akan
kesemuanya tertutup tabir yang begitu tebal
sehingga manusia lupa bahwa harta
tersebut tidak akan dibawa mati. Akhirnya,
hanya karena masalah harta warisan,
banyak manusia-manusia tega
mengapuskan nilai-nilai persaudaraan
sedarah dan sekandung. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa isi teks HHJ telah
jauh melampui zamannya.
SIMPULAN
Pembagian waris telah diatur dalam
Islam dan telah disinggung dalam Alquran
dan Hadis. Ketentuan waris pun telah diatur
menjadi hukum dalam Kompilasi Hukum
Islam mulai dari syarat, asas, ahli waris,
sampai ketentuan pembagian warisan. HHJ
mengandung isi teks yang berhubungan
dengan pembagian harta warisan.
Pembagian waris dalam HHJ yang
dilakukan oleh Hauj Jawabir secara
keseluruhan tidak sesuai dengan ketentuan
hukum waris menurut Kompilasi Hukum
Islam. Alasan pembagian waris Hauj
Jawabir tidak sesuai dengan keadaan yang
menjadi diperbolehkannya pembagian
waris dilakukan ketika pewaris masih
hidup. Akibatnya, Hauj Jawabir merasakan
kemudharatan pada dirinya karena
pembagian waris yang dilakukan tidak
sesuai dengan hukum Islam. Alasan Hauj
Jawabir hanya sebatas keinginan pribadi
yang berharap agar ia dapat menghabiskan
sisa hidup di usia senjanya untuk
berkumpul bersama semua anaknya. Akan
tetapi, harapannya tersebut tidak dapat
menjadi sebuah kenyataan karena para
menantu Hauj Jawabir tidak setuju
kehidupan rumah tangga mereka
direpotkan dengan kehadiran sang mertua
di dalam rumah kediaman mereka.
Akhirnya, Hauj Jawabir hidup terlunta-
lunta di saat usia senjanya. Sungguh,
sebuah pesan moral yang sangat relevan
dengan nilai-nilai kehidupan keluarga yang
humanis di era revolusi industri 4.0 ini.
HHJ merupakan salah satu teks
dalam naskah Bunga Rampai Hikayat
68
Saudagar Kaya koleksi dari Bibliotheque
Nationale de France. HHJ adalah salah
satu teks Melayu Klasik yang memuat isi
cerita yang telah melampaui zamannya. Hal
ini menunjukkan bahwa vision nenek
moyang kita sudah jauh ke depan. Vision
tersebut diwujudkan dalam bentuk cerita
yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan
yang menjujunjung tinggi unsur-unsur
agama dan budaya. Masyarakat Melayu.
Artinya, pesan moral tersebut dapat
dijadikan sebagai bahan refleksi bagi
masyarakat zaman milenilal agar dapat
lebih berhati-hati lagi ketika akan
melaksanakan hukum waris. Bahwa
pembagian waris merupakan hukum Islam
yang sudah jelas tata cara, syarat, dan
ketentuannya. Oleh karena itu, pelaksanaan
hukum tersebut harus dapat sejalan dengan
panduan yang telah ditetapkan Allah Swt.
dan rasul-Nya. Aspek kehati-hatian dan
kepatuhan terhadap pelaksanaan hukum
Islam sudah menjadi keharusan bagi setiap
manusia yang telah memproklamirkan
dirinya sebagai seorang muslim.
Dengan demikian, keberadaan
naskah-naskah Melayu Klasik perlu untuk
dilihat dan dikaji secara kontekstual
sehingga mampu memberikan alternatif
solusi bagi permasalahan-permasalahan
yang akan datang. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar masyarakat sekarang
menjaga dan melestarikan naskah-naskah
Melayu Klasik tersebut. Selain sebagai
bukti kekayaan khazanah kebudayaan
Nusantara, naskah-naskah tersebut juga
dapat dijadikan bahan pembelajaran, baik
bagi generasi di masa kini maupun generasi
di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, M. (2015). Kompilasi hukum islam.
Jakarta: Pengadilan Agama.
Anonim. (n.d.). Bunga Rampai Hikayat
Sudagar Kaya.
Ash Shabuni, M. A. (1995). Pembagian waris
menurut islam. Jakarta: Gema Insani.
Basyir, A. A. (2001). Hukum Waris Islam.
Yogyakarta: UII Press.
Fathurrahman, O. (2010). Filologi dan islam
indonesia. Jakarta: Puslitbang Keagamaan
Indonesia.
Fathurrahman, O. (2015). Filologi Indonesia:
Teori dan Metode. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Firmansyah, T. (2019). seorang ayah diusir
anaknya sendiri dari rumah. Retrieved
from
https://nasional.republika.co.id/berita/pw
wlb1377/seorang-ayah-diusir-anaknya-
sendiri-dari-rumah
Hazairin. (1982). hukum kewarisan bilateral
menurut al-qur’an dan hadith. Jakarta:
Tintamas.
Luthfi, K.M. (2016). Kontekstualisasi Filologi
Dalam Teks-Teks Islam Nusantara.
Jurnal Kebudayaan Islam.
https://doi.org/10.24090/ibda.v14i1.523
Khisni. (2017). Hukum Waris Islam. Semarang:
UNISSULA Press.
Komari. (2011). Laporan Akhir Kompendium
Bidang Hukum Waris. Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
69
Koentjaraningrat. (1992). Beberapa pokok
antropologi. Jakarta: Dian Rakyat.
Naskur, N. (2018). Pembagian Harta Warisan
Disaat Pewaris Masih Hidup Telaah Pasal
187 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah.
https://doi.org/10.30984/as.v15i1.473
Rafiq, A. (2002). Fiqh Mawaris. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Rasyid, C. (2008). Azas-azas Hukum Waris
dalam Islam. Yogyakarta: Pengadilan
Agama.
Sumarlam. (2003). Teori dan Praktik Analisis
Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.