HIKAYAT PANCA LOGAM: SUNTINGAN TEKS DAN...
Transcript of HIKAYAT PANCA LOGAM: SUNTINGAN TEKS DAN...
HIKAYAT PANCA LOGAM: SUNTINGAN TEKS DAN PRINSIP
EKOLOGI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd.)
Disusun Oleh
Syarifah Bulan Alifiah Assegaf
11140130000041
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
ABSTRAK
SYARIFAH BULAN A. ASSEGAF, 1114013000041, “Hikayat Panca
Logam:: Suntingan Teks dan Prinsip Ekologi dalam Teks serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing:
Muhammad Nida’ Fadlan, M.Hum. September 2019.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan suntingan teks dan prinsip ekologi
dalam Hikayat Panca Logam. Pendekatan yang digunakan dalam analisis data
adalah pendekatan filologi dengan metode naskah tunggal. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian adalah Hikayat Panca Logam naskah koleksi dari
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 385.
Berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa pada Hikayat Panca Logam adanya
kontradiktif naskah dengan keadaan saat ini. Prinsip ekologi digunakan untuk
menemukan keadaan kontradoktif antara penceritaan dalam hikata dengan
keadaan saat ini. Sebagai seorang makhluk yang memiliki akal dan budi pekerti,
manusia diajarkan untuk selalu mencintai alam sekitar dan tidak membuat
kerusakan yang dapat menimbulkan kemarahan alam bahkan sampai Tuhan.
Implikasi dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah mengenai prinsip
ekologi dapat direpresentasikan pada tingkat SMA dengan standar kompetensi
membaca melalui materi memahami berbagai hikayat.
Kata Kunci: Filologi, Hikayat Panca Logam, Suntingan Teks, dan Prinsip
Ekologi.
ABSTRACT
SYARIFAH BULAN A. ASSEGAF, 1114013000041, “Hikayat Panca Logam:
Edits Text and Ecological Principles in the text as well as the implication for
Learning Literature in School”. Education Department of Indonesian
Language and Literature, Faculty of Science and Teaching of MT, State
Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Muhammad
Nida' Fadlan, M.Hum. September 2019.
This study aims to describe the edits of the text and ecological principles in the
Hikayat Panca Logam. The approach used in data analysis is the philological
approach with a single manuscript method. The source of the data used in this
research is the Hikayat Panca Logam manuscript collection from the National
Library of the Republic of Indonesia with a call number ML 385. Based on the
research, it was concluded that in the Hikayat Panca Logam there are
contradictory manuscripts to the current situation. The principle of ecology is used
to find contradictory states between storytelling in hikayat and current conditions.
As a creature that has reason and character, humans are taught to always love the
natural surroundings and not make damage that can cause natural anger even to
God. Implications in Indonesian literary learning in schools regarding the
principles of ecology can be represented at the high school level with the standard
of reading competency through the material to understand various stories.
Keywords: Philology, Hikayat Panca Logam, Text Editing, and Principles
Ecology.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikaan skripsi ini
dengan baik dan lancar. Salawat serta salam senantiasa teiring kepada Baginda
Nabi Agung Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Semoga kita tergolong umatnya yang kelak akan mendapatkan syafaat di akhir
zaman.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi
ini tidak luput dari kesalahan dan mungkin masih jauh dari kata sempurna.
Melalui motivasi dan dorongan yang tidak pernah putus dari berbagai pihak maka
skripsi ini dapat terselesaikaan. Penulis menyampaikaan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
3. Muhammad Nida’ Fadlan, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang
telah memberikan semangat, bimbingan, saran, serta arahan kepada penulis
selama proses pembuatan skripsi ini.
4. Dr. Nuryani, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu
memberikan saran dan arahan selama menjalani perkuliahan.
5. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
menyalurkan ilmunya, banyak membantu mengembangkan ilmu
pengetahuan selama mengikuti proses perkuliahan.
6. Teruntuk orang tua tercinta, Abba Ali Uroidy Assegaf (Alm) dan mama
Aminah Alkaff yang tidak pernah putus mendoakan, memberikan cinta
kasih, dukungan, nasihat, materi, motivasi, dan semangat yang luar biasa
kepada penulis.
v
7. Teruntuk kakak tercinta, Syarifah Bintang Faradina Assegaf yang
mencurahkan kasih sayang, tidak pernah lelah memberikan dukungan dalam
bentuk moral maupun materil.
8. Sahabat-sahabat terbaik Chusnul Khotimah, Nurul Ardiyani, Hamia Intan
Sani, Fitriani, dan Misbahul Munir yang selalu bersedia berbagi keluh
kesah, cinta, kasih sayang, waktu, tenaga, serta pikirannya kepada penulis.
9. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia angkatan 2014 untuk kebersamaan dan saling membantu dalam
proses belajar.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan pada skripsi ini. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pembelajaran
pada penulisan karya ilmiah berikutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca, serta turut menyumbang ilmu pengetahuan dalam dunia
pendidikan. Akhir kata.
Jakarta, September 2019
Syarifah Bulan A. Assegaf
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................................................5
C. Pembatasan Masalah .................................................................................................................5
D. Perumusan masalah ...................................................................................................................5
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ....................................................................................................................6
G. Metode Penelitian .....................................................................................................................7
BAB II LANDASAR TEORI
A. Hakikat Filologi ........................................................................................................................11
B. Hikayat ......................................................................................................................................14
C. Unsur Intrinsik ..........................................................................................................................15
D. Prinsip-Prinsip Ekologi Sastra ..................................................................................................21
E. Hakikat Pembelajaran Sastra ....................................................................................................23
F. Penelitian Terdahulu .................................................................................................................23
BAB III HIKAYAT PANCA LOGAM: NASKAH DAN TEKS
A. Inventarisasi Naskah .................................................................................................................25
B. Deskripsi Naskah ......................................................................................................................26
C. Pedoman Suntingan dan Terjemahan Teks ...............................................................................26
D. Suntingan dan Terjemahan Hikayat Panca Logam ..................................................................28
v
BAB IV ANALISIS TEKS HIKAYAT PANCA LOGAM
A. Sinopsis Hikayat Panca Logam ................................................................................................42
B. Unsur Intrinsik Hikayat Panca Logam .....................................................................................45
C. Prinsip-Prinsip Ekologi dalam Hikayat Panca Logam .............................................................65
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah .....................................................70
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................................................................72
B. Saran .........................................................................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................................74
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Lembar Uji Referensi
Lampiran II : RPP
Lampiran III : Naskah Hikayat Ali Kawin
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki ragam kebudayaan yang
menyumbangkan dan menghasilkan suatu warisan yang akan berguna untuk
kehidupan selanjutnya. Warisan-warisan tersebut merupakan peninggalan
sejarah yang banyak memberikan informasi mengenai kehidupan masa lampau.
Informasi-informasi yang ditinggalkan pada masa lampau berkaitan
dengan berbagai hal seperti hukum, adat istiadat, kesehatan, agama, lingkungan
dan sebagainya. Berbagai peninggalan tersebut banyak ditemukan dalam
bentuk candi-candi, prasasti-prasasti, dan naskah-naskah. Dari sanalah dapat
diketahui pengetahuan yang dibuat oleh nenek moyang selama berabad-abad.
Nenek moyang Nusantara sejak dahulu memiliki berbagai kegiatan dalam
berbagai bidang. Kegiatan tersebut dapat diketahui melalui peninggalan tertulis
yang berupa naskah dan prasasti pada batu tulis. Karya tulis peninggalan nenek
moyang dapat dipelajari guna memperoleh gambaran kebudayaan pada
kehidupan masa lampau meskipun tidak lengkap dan tidak menyeluruh.1
Dari sekian banyak peninggalan Nusantara di masa lampau, naskah
merupakan dokumen tertulis yang paling menarik bagi para peneliti. Hal ini
disebabkan naskah memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan informasi yang
luas dibandingkan peninggalan dalam bentuk yang lainnya. Isi naskah pada
umumnya panjang karena memuat cerita yang lengkap dan memiliki jumlah
yang banyak dibandingkan dengan peninggalan berbentuk puing seperti
prasasti yang pendek karena hanya memuat hal yang ringkas saja.
Isi yang terkandung dalam naskah-naskah Nusantara sangat kaya dengan
aneka ragam aspek kehidupan seperti masalah politik, ekonomi, agama,
1 Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta:Badan Penelitian dan
Publikasi Fakultas Unoversitas Gajdah Mada, 1994) h. 85
2
kebudayaan, bahasa, sampai sastra. Naskah yang berisi cipta sastra biasanya
mengandung pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan
erat dengan filsafah hidup dan dengan bentuk kesenian lainnya.2
Jumlah naskah Nusantara sangat banyak dan tersebar di hampir seluruh
wilayah seperti Jawa, Sunda, Bugis, dan wilayah lainnya. Semua naskah
tersebut ditulis menggunakan bahasa masing-masing daerah dan menggunakan
bahan yang berbeda-beda.3
Di antara tempat-tempat penyimpanan naskah adalah Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Salah satu naskah yang disimpan di lembaga ini
adalah naskah yang berjudul Hikayat Panca Logam. Naskah yang memiliki
nomor naskah ML 385 ini berisi teks cerita sastra dan menggunakan bahasa
Melayu.4
Naskah yang tidak diketahui nama pengarangnya ini kurang diminati oleh
masyarakat khususnya para pelajar masa kini. Hal ini disebabkan karena
sulitnya bahasa yang digunakan dalam teks naskah tersebut. Padahal
penceritaan hikayat tersebut sangat menarik.
Di awal cerita dalam Hikayat Panca Logam, seorang perempuan yang
ingin mencari Raja Jin di suatu hutan bertemu dengan pemuda gagah berani.
Pertemuan tersebut menghasilkan kerjasama antara keduanya untuk mencari
Raja Jin tersebut. Dengan ide dari sang pemuda akhirnya mereka berdua
memutuskan membakar hutan dengan maksud agar Raja Jin tersebut marah dan
datang ke hutan tersebut menemui kedua manusia itu. Setelah terbakarnya
hutan tersebut, datanglah para prajurit dari Raja Jin dan berperanglah mereka
hingga pasukan prajurit tersebut mati.
2 Elis Suryani NS, Filologi (Bogor: Ghalia Indonesia,2012) h. 4
3 Siti Zahra, Filologi (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) h. 3.15
4 T.E Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998) h. 289
3
Setiap penceritaan dipenuhi dengan gambaran kesombongan manusia
terhadap alam. Seperti membakar hutan secara sengaja sehingga
mengakibatkan datangnya teguran Tuhan yang diumpamakan seorang
pangeran. Cerita diakhiri dengan menangnya pihak manusia yang merusak
alam.
Hikayat dengan panjang 18 halaman ini sebenarnya ingin menyampaikan
kehidupan atau cara berpikir masyarakat pada masa tingginya industrialisasi di
Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwa pengarang menceritakan situasi
yang terjadi pada abad ke-18 sampai abad ke-19 yang pada saat itu
industrialisasi di Indonesia sedang aktif-aktifnya. Hikayat ini dapat
membuktikan bahwa sejak zaman dahulu para sastrawan memperhatikan
situasi alam. Hubungan alam dengan manusia diceritakan atau dikemas dalam
bentuk karya sastra berupa hikayat.
Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, begitu pula dengan alam
membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya. Karya sastra yang berisi
kepedulian lingkungan atau ekosistem dapat disebut sebagai sastra ekologi.
Kaitan sastra dengan ekologi disebut sastra ekologi yang artinya karya sastra
yang banyak mengungkapkan hal lingkungan.5 Hal terpenting dalam sastra
ekologi adalah upaya menemukan hubungan antara sastra dan lingkungan
hidup.
Lingkungan dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain tetapi
terlibat dalam mempengaruhi dialektika yang disebut umpan balik.6 Kearifan
memandang alam terdapat dalam masyarakat Melayu. Hampir semua
masyarakat Melayu menempatkan alam pada bagian yang istimewa. Orang
Melayu memandang alam secara khusus karena alam dianggap memiliki
5 Suwardi Endraswara, Sastra Ekologi: Teori dan Praktik Pengkajian (Yogyakarta:
CAPS, 2016) h. 2
6 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan
Penerapannya (Yogyakarta: CAPS, 2016) h. 4
4
berbagai keistimewaan dan teladan bagi manusia.7 Ungkapan tersebut
membuktikan bahwa alam dapat memberikan banyak pelajaran untuk manusia.
Hal tersebut mendukung penceritaan Hikayat Panca Logam yang juga
menjelaskan bahwa manusia dapat memperoleh keselamatan apabila benar-
benar menjaga alam.
Berdasarkan pemaparan di atas, skripsi ini menggunakan Hikayat Panca
Logam sebagai objek penelitian. Hal ini dilakukan agar isi kandungan Hikayat
Panca Logam bisa menjadi salah satu naskah kuno yang bisa dipahami oleh
masyarakat masa kini. Selain itu Hikayat Panca Logam juga belum diteliti
secara filologis. Pengarang hikayat ini menceritakan keadaan dan pemikiran
masyarakat mengenai sikap terhadap alam secara kronologis dengan
menggunakan bahasa Melayu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan suntingan teks serta menganalisis struktur teks Hikayat Panca
Logam dengan membatasi fokus masalah pada ekologi sastra. Secara umum,
penelitian terkait ekologi sastra ini bertujuan untuk mendeskripsikan adanya
kontradiktif naskah dengan keadaan masa kini.
Penelitian yang dilakukan pada suatu karya sastra seperti hikayat bisa juga
dimanfaatkan dalam bidang pendidikan. Pengajaran sastra dalam pendidikan
harus mencakup empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta
menunjang pembentukan watak.8
Pembelajaran tentang menganalisis struktur hikayat dapat ditemukan pada
pembelajaran sastra Indonesia kelas X SMA. Pada materi pembelajaran ini,
peserta didik ditugaskan untuk menentukan struktur pembangun atau unsur
intrinsik pada hikayat yang telah dibaca. Berdasarkan penjelasan di atas,
peneliti tertarik untuk membuat karya tulis terkait dengan Hikayat Panca
7 Suwardi Endraswara, Op.Cit, h. 54
8B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1998) h. 16
5
Logam: Suntingan Teks dan Prinsip Ekologi serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam
penelitian ini:
1. Naskah kuno merupakan warisan kebudayaan Indonesia. Naskah kuno saat
ini masih kurang diminati oleh pembaca karena aksara, ejaan, dan juga
bahasanya yang kurang dimengerti oleh masyarakat umum.
2. Di dalam naskah kuno terdapat banyak informasi. Oleh karena itu
membutuhkan keahlian khusus dalam mengkaji dan membaca naskah
kuno. Maka filologi dipilih sebagai metode yang tepat untuk menganalisis
teks dalam naskah.
3. Prinsip mencintai alam dan lingkungan perlu ditanamkan pada diri siapa
pun. Sekolah menjadi salah satu tempat menumbuhkan nilai-nilai cinta
alam dan lingkungan. Pembelajaran sastra lama berupa Hikayat dapat
membantu melestarikan nilai cinta kepada alam dan lingkungan. Hal ini
dapat dilakukan dengan salah satunya mempelajari hikayat serta
mengambil dan mengimplikasikan nilai-nilai yang terkandung ke dalam
kehidupan sehari-hari.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah
dapat difokuskan pada suntingan teks, analisis prinsip ekologi yang terdapat
dalam Hikayat Panca Logam dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah.
D. Perumusan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana suntingan teks Hikayat Panca Logam agar dapat dimanfaatkan
oleh kalangan pembaca yang lebih luas?
2. Bagaimana prinsip ekologi dalam Hikayat Panca Logam?
3. Bagaimana implikasi prinsip ekologi sastra dalam Hikayat Panca Logam
terhadap pembelajaran sastra Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalampenelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menyajikan suntingan teks Hikayat Panca Logam dengan baik dan benar.
Baik dalam arti teks mudah dipahami pembaca umumnya dan benar dalam
arti kebenaran isi teks tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
2. Menjelaskan prinsip ekologi pada Hikayat Panca Logam dengan
pendekatan ekokritik sastra.
3. Menjelaskan implikasi prinsip ekologi Hikayat Panca Logam terhadap
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
F. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumpangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam pemahaman pembaca mengenai isi Hikayat
Panca Logam yang telah disunting secara baik dan benar. Sehingga dapat
dimanfaatkan untuk menambah wawasan dibidang pernaskahan.
2. Menyajikan informasi berupa prinsip ekologi yang berada dalam isi
Hikayat Panca Logam. Prinsip ekologi yang dianalisis dengan
menggunakan pendekatan ekokritik sastra dapat menambah pengetahuan
dalam hal mencintai lingkungan
7
3. Memberikan manfaat dari analisis isi Hikayat Panca Logam dari segi
prinsip ekologi serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra yaitu,
melalui telaah isi naskah Hikayat Panca Logam secara teoritis dapat
menambah keragaman penelitian pernaskahan, khususnya di jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
maupun penelitian pada umumnya.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi sebagai metode yang
nantinya akan menghasilkan satu edisi kritis terkait dengan naskah Hikayat
Panca Logam. Hal tersebut digunakan karena penelitian ini ditujukan untuk
keperluan sekolah atau masyarakat umum maka metode tersebut yang akan
digunakan.9 Berikut tahapan penggunaan metode filologi :
Tahap pertama: Menentukan teks yang akan diteliti sesuai dengan latar
belakang pengetahuan peneliti. Penguasaan bahasa dan aksara pada teks akan
mempermudah penelitian dilakukan.10
Dalam penelitian ini, peneliti memilih
naskah ini karena terdapat teks yang menggunakan bahasa Melayu dan aksara
Latin.
Tahap kedua: Inventarisasi naskah. Pada tahap ini dilakukan penelusuran
dan pencatatan keberadaan naskah guna mengetahui salinan naskah yang akan
dikaji. Inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan menelusuri berbagai
katalog cetak atau online, artiket, karya tulis dan buku yang membahas naskah
tersebut.11
Tahap ketiga: Deskripsi naskah. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi,
baik terhadap fisik naskah, isi teks, maupun identitas pengarang dan
9 Robson.S.O. Penerjemah: Kentjanawati Gunawan, Prinsi-prinsip Filologi Indonesia
(Jakata: RUL, 1994) h. 25
10 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, (Jakarta: Kencana
PrenadamediaGrup, 2015), h. 69
11Ibid, h. 74
8
kepenyalinannya dengan tujuan menghasilkan sebuah deskrips naskah dan teks
secarautuh.12
Tahap keempat: Suntingan teks. Menyiapkan edisi teks dalam suatu
penelitian terdapat pada tahap ini. Naskah Hikayat Panca Logam merupakan
salah satu naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor
panggil ML 385. Berdasarkan dari beberapa sumber, belum ditemukan naskah
dengan judul atau penceritaan yang sama. Dalam naskah ini tidak ditemukan
nama pengarangnya.
Peneliti memutuskan untuk menggunakan metode naskah tunggal dengan
edisi kritis. Edisi kritis digunakan bertujuan untuk mempermudah para
pembaca memahami isi teks dengan menyesuaikan aksara yang akrab dengan
pembaca.13
Edisi kritis atau standar merupakan edisi yang menerbitkan naskah dengan
membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan meyesuaikan ejaan dengan
ketentuan yang berlaku. Semua perubahanyangdilakukan dicatat di tempat
tertentu agar selalu dapat diperiksa dengan aslinya sehingga masih
memungkinkan menafsiran lain oleh pembaca.14
Tahap kelima: Terjemahan teks. Padatahap ini teks diterjemahkan ke
bahasa yang berlaku pada masa kini agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Dalam menerjemahkan teks, tidak boleh sembarangan, harus sesuai dengan isi
teks aslinya. Terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mampu melukiskan
isi dari teks yang diterjemahkan kedalam kalimat yang indah danmampu
mengekspresikan subtansi teks sebagaimana bahasa aslinya.15
Penelitian ini
melakukan terjemahan teks karena tidak semua orang menguasai bahasa
Melayu.
12
Ibid, h. 77
13 Siti Zahra,dkk, Op.Cit. h. 5.22
14 Nafron Hasjim, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1983) h. 69
15 Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Yayasan Media
Alo 2007), h. 83
9
Tahap keenam: Analisis isi. Tahap akhir ini berisi analisis dan penafsiran
isi. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis prinsip ekologi
khususnya hubungan alam dengan manusia serta implikasinya terhadap
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
Tahap pertama: Menentukan teks yang akan diteliti sesuai dengan latar
belakang pengetahuan peneliti. Penguasaan bahasa dan aksara pada teks akan
mempermudah penelitian dilakukan.16
Dalam penelitian ini, peneliti memilih
naskah ini karena terdapat teks yang menggunakan bahasa Melayu dan aksara
Latin.
Tahap kedua: Inventarisasi naskah. Pada tahap ini dilakukan penelusuran
dan pencatatan keberadaan naskah guna mengetahui salinan naskah yang akan
dikaji. Inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan menelusuri berbagai
katalog cetak atau online, artiket, karya tulis dan buku yang membahas naskah
tersebut.17
Tahap ketiga: Deskripsi naskah. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi,
baik terhadap fisik naskah, isi teks, maupun identitas pengarang dan
kepenyalinannya dengan tujuan menghasilkan sebuah deskrips naskah dan teks
secara utuh.18
Tahap keempat: Suntingan teks. Menyiapkan edisi teks dalam suatu
penelitian terdapat pada tahap ini. Naskah Hikayat Panca Logam merupakan
salah satu naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor
panggil ML 385. Berdasarkan dari beberapa sumber, belum ditemukan naskah
dengan judul atau penceritaan yang sama. Dalam naskah ini tidak ditemukan
nama pengarangnya.
Peneliti memutuskan untuk menggunakan metode naskah tunggal dengan
edisi kritis. Edisi kritis digunakan bertujuan untuk mempermudah para
16
Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, (Jakarta: Kencana
PrenadamediaGrup, 2015), h. 69
17Ibid, h. 74
18Ibid, h. 77
10
pembaca memahami isi teks dengan menyesuaikan aksara yang akrab dengan
pembaca.19
Edisi kritis atau standar merupakan edisi yang menerbitkan naskah dengan
membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan menyesuaikan ejaan dengan
ketentuan yang berlaku. Semua perubahan yang dilakukan dicatat di tempat
tertentu agar selalu dapat diperiksa dengan aslinya sehingga masih
memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca.20
Tahap kelima: Terjemahan teks. Pada tahap ini teks diterjemahkan ke
bahasa yang berlaku pada masa kini agar dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Dalam menerjemahkan teks, tidak boleh sembarangan, harus sesuai dengan isi
teks aslinya. Terjemahan yang baik ialah terjemahan yang mampu melukiskan
isi dari teks yang diterjemahkan ke dalam kalimat yang indah dan mampu
mengekspresikan subtansi teks sebagaimana bahasa aslinya.21
Penelitian ini
melakukan terjemahan teks karena tidak semua orang menguasai bahasa
Melayu.
Tahap keenam: Analisis isi. Tahap akhir ini berisi analisis dan penafsiran
isi. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis prinsip ekologi
khususnya hubungan alam dengan manusia serta implikasinya terhadap
pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
19
Siti Zahra,dkk, Op.Cit. h. 5.22
20 Nafron Hasjim, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1983) h. 69
21 Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: Yayasan Media
Alo 2007), h. 83
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Filologi
Filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yaitu gabungan kata
philos yang berarti „teman‟ dan logos yang berarti „ilmu‟. Secara harfiah kata
filologi dapat diartikan „cinta kata-kata‟. Philologia dalam perkembangannya
diartikan „senang berbicara‟, dan berkembang menjadi „senang kepada ilmu‟
„senang kepada tulisan-tulisan‟, dan „senang kepada tulisan-tulisan yang
bernilai tinggi‟.1 Nabilah Lubis berpendapat bahwa filologi adalah
pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas, mencakup bidang bahasa,
sastra, dan kebudayaan.2
Filologi dipandang sebagai ilmu dan studi bahasa yang indah, seperti
yang saat ini dilakukan oleh linguistik. Filologi sebagai ilmu sastra tinggi
artinya ketika teks-teks yang dikaji itu berupa karya sastra yang bernilai
tinggi. Filologi sebagai studi teks artinya studi yang melakukan kegiatannya
dengan melakukan kritik terhadap teks atau kritik teks.3
Berdasarkan pengertian di atas, maka filologi dapat diartikan sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang informasi masa lampau. Jika
di lihat dari ciri khususnya maka Filologi merupakan ilmu yang dapat di
gunakan untuk menyunting sebuah teks yang hampir mendekati teks aslinya,
mengungkapkan sejarah terjadinya teks serta perkembangannya, dan
mengungkap nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan
kebudayaan.4
Filologi berusaha mengungkapkan hasil kebudayaan suatu bangsa
melalui kajian bahasa pada peninggalan dalam bentuk tulisan. Peninggalan
budaya diungkapkan oleh teks klasik berupa tulisan atau yang bisa disebut
1 Kun Zachrun Istanti, dkk, Filologi (Tanggerang: Universitas Terbuka, 2016)h. 1.2
2 Nabilah Lubis, Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Yayasan Media Alo
Indonesia, 2007) h. 16 3 Elis Suryani NS, Filologi (Bogor: Ghalia Indonesia,2012) h. 3
4 Ibid, h.6
12
naskah. Teks klasik merupakan peninggalan konkret maka dari itu
penyimpanan hanya dapat dilakukan oleh naskah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa teks klasik dan naskah merupakan objek dan sasaran kerja
filologi.
1. Naskah
Naskah adalah objek penelitian filologi yang di dalamnya terdapat
tulisan tangan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan sebagai hasil
kebudayaan bangsa di masa lampau. Bahan atau alas tulis tangan itu
disebut naskah (handschrift) dengan singkatan hs untuk tunggal hss untuk
jamak; manuscript dengan singkatan ms untuk tunggal, mss untuk jamak.
Jadi, naskah merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang.5
Kata “naskah” dan “manuskrip” dapat dikatakan memiliki arti yang
sama saja. Kedua kata tersebut merujuk pada suatu dokumen yang di
dalamnya terdapat teks yang ditulis tangan dan biasanya terbuat dari bahan
kertas (kebanyakan kertas Eropa), daun saeh yang sering disebut daluwang
(kertas lokal), daun lontar, dan masih banyak lagi.6
Naskah juga merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Selain
sebagai bahan tulisan tangan, naskah juga menyimpan berbagai ungkapan
rasa dan pikiran yang merupakan hasil dari budaya di masa lampau.
Sehingga naskah juga dapat dikatakan mengandung unsur historis.7 Isi
yang terkandung dalam naskah-naskah Nusantara sangat kaya dengan
aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakannya, mulai dari masalah
politik, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa, sampai sastra.
Sasaran kerja filologi berupa naskah, dipandang sebagai hasil budaya
berupa cipta sastra. Teks yang terdapat dalam naskah tersebut merupakan
suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan maka dari itu dipandang
sebagai cipta sastra. Teks tersebut mengandung pesan secara fungsional
5 Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
1994) h. 55 6 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode ((Jakarta: Kencana, 2015) h. 22
7 Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah (Bogor: Akademia, 2006) h. 9
13
mengenai filsafat hidup dan bentuk kesenian lainnya.8 Naskah yang
digunakan dalam penelitian filologi adalah naskah yang hadir sebelum di
ciptakannya mesin cetak.9 Berdasarkan penjelasan di atas, maka naskah
merupakan sasaran kerja filologi berupa bahan tulis tangan yang
didalamnya berisi teks klasik dan terbuat dari bahan tertentu serta dapat
dilihat dan dipegang.
2. Teks
Teks merupakan kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak
dan hanya bisa dilihat tanpa dipegang. Dalam sebuah teks terdapat isi, atau
bisa disebut sebagai ide-ide yang hendak disampaikan pengarang kepada
pembaca dan bentuk yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca menurut
berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan
sebagainya.10
Teks berasal dari kata text yang berarti tenunan. Teks dalam ruang
lingkup filologi dapat diartikan juga serangkaian kata-kata yang
berinteraksi membentuk satu kesatuan makna yang utuh bagaikan suatu
tenunan. Teks merupakan sesuatu yang abstrak karena teks itu sendiri
adalah kumpulan kata-kata yang sebenarnya menunjuk pada sesuatu yang
abstrak.11
Menurut De Haan, teks dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan
yaitu pertama, teks yang asli sebenarnya hanya ada dalam ingatan
pengarangnya saja atau pembawa cerita melalui tradisi lisan kepada orang
lain yang ingin memiliki teks tersebut (didikte). Kedua, teks yang asli
adalah teks tertulis yang kurang lebih merupakan kerangka yang masih
memungkinkan dan memerlukan kebebasan seni. Ketiga, teks yang asli
telah disalin, dipinjam, diwarisi, atau dicuri. Keempat, aslinya merupakan
teks yang tidak mengizinkan kebebasan dalam pembawaannya karena
8 Elis Suryani NS, Op.Cit, h. 4
9 Oman Fathurahman, Op. Cit, h. 24
10 Baroroh Baried, Op.Cit, hlm. 57
11 Bani Sudardi, Dasar-Dasar Teori Filologi, (Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia,
2001), hlm. 4-5
14
pengarang telah menentukan pilihan katanya sendiri.12
Teks berupa tulis
tangan dapat digunakan sebagai penelitian filologi jika teks tersebut sudah
berusia lebih dari 50 tahun dari waktu penelitian.13
Jadi, teks merupakan kata-kata yang terdapat dalam naskah yang
berisi informasi atau amanat tertentu. Naskah dan teks jelas berbeda,
naskah merupakan bentuk fisiknya sedangkan teks merupakan isi dari
naskah itu sendiri.
B. Hikayat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hikayat diartikan sebagai karya
sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisikan cerita, undang-undang,
dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis,atau gabungan dari
sifat-sifat tersebut yang dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat
juang, atau sekedar untuk meramaikan pesta.14
Sudjiman juga menjelaskan hikayat adalah jenis cerita rekaan dalam
sastra Melayu lama yang di dalamnya menceritakan keagungan dan
kepahlawanan. Terkadang juga dipakai dengan makna cerita sejarah atau
riwayat hidup.15
Terdapat ciri pokok hikayat. Pertama, hikayat biasanya menceritakan
kisah kehidupan lingkungan istana. Kedua, peristiwa yang diceritakan banyak
berhubungan dengan nilai-nilai agama. Ketiga, karakter tokoh diceritakan
memiliki kehebatan luar biasa. Keempat, peristiwa yang diceritakan
seringkali tidak logis dan sebagainya.16
Jadi, dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa hikayat merupakan
karya sastra berbentuk prosa yang di dalamnya menceritakan kisah raja-raja
atau orang-orang yang memiliki kehebatan tertentu.
12
Baroroh Baried,Op.Cit, hlm. 58-59 13
Muhammad Nida‟ Fadlan, Tesis : Surat-surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong :
Suntingan teks dan analisis isi (Depok : Universitas Indonesia, 2015) h. 4 14
Warsiman, Pengantar Pembelajaran Sastra (Malang: UB Press,2017) h. 167 15
Ibid, h. 167 16
Emir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) h.
236-237
15
C. Unsur Intrinsik Hikayat
Hikayat merupakan karya sastra yang di dalamnya juga terdapat unsur
pembangun cerita atau unsur intrinsik. Kepaduan antarunsur ini yang
membuat hikayat hadir sebagai karya sastra. unsur-unsur instrinsik tersebut
seperti tema, tokoh dan penokohan, latar, plot, sudut pandang, gaya bahasa,
dan amanat.
1. Tema
Setiap cerita haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan
sasaran tujuan. Menurut Sayuti, tema dalam arti sederhana, merupakan makna
cerita, gagasan sentral, atau dasar yang terdapat dalam cerita.17
Tema juga
dapat dikatakan sebagai aspek cerita yang sejajar dengan makna pengalaman
manusia. Makna tersebut menjadikan suatu pengalaman selalu diingat.18
Menurut Siswanto, tema merupakan ide pokok yang menjadi dasar suatu
cerita. Tema menjadi pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya
rekaan yang diciptakannya.19
Sedangkan Brooks, Purser, dan Werren
mengatakan bahwa tema merupakan suatu pandangan hidup atau perasaan
tertentu yang melibatkan kehidupan dalam membentuk atau membangun
dasar utama suatu karya sastra.20
Tema dalam suatu cerita dapat diketahui melalui apresiasi menyeluruh
terhadap berbagai unsur karena tema bisa terdapat pada unsur penokohan,
plot, atau latar.21
Jadi, tema adalah gagasan utama pengarang yang
berhubungan dengan kehidupan dan dituangkan dalam suatu karya sastra
ciptaannya.
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ kehidupan
manusia yaitu sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.22
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya bersangkutan
yang menentukan hadirnya peristiwa, konflik, dan situasi tertentu.
17
Heru Kurniawan, Sastra Anak (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h. 75 18
Robert Stanton, Teori Fiksi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 36 19
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008) h. 161 20
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Bandung:Angkasa, 1993) h. 125 21
E. Kosasih , Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra (Bandung: Yrama Widya, 2012) h. 61 22
Robert Stanton, Op.Cit, h. 36
16
Tema dapat digolongkan menjadi beberapa kategori yang berbeda dari
segi sudut pandang, yaitu penggolongan yang bersifat tradisional dan
nontradisional serta dari penggolongan tingkat keutamaannya, yaitu tema
utama dan tema tambahan.23
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang tidak memiliki
perubahan dari waktu- ke waktu, dalam arti tema tersebut telah lama
dipergunakan dan dapat ditemukan dalam beberapa cerita, termasuk cerita
lama. Tema-tema tradisional dapat dikatakan selalu berkaitan dengan
masalah kebenaran dan kejahatan. Selain tema tradisional, karya sastra juga
mungkin saja mengangkat tema nontradisional. Tema ini biasanya tema yang
tidak diharapkan oleh para pembaca karena menyampingkan masalah
kebenaran dan kejahatan.24
Makna cerita dari karya fiksi, mungkin saja lebih dari satu interpretasi.
Hal ini menyebabkan tidak mudahnya menentukan tema dari golongan
keutamaannya. Menentukan tema mayor atau bisa disebut sebagai tema
pokok cerita, merupakan aktivitas mengidentifikasi, memilih,
mempertimbangkan, dan menilai sejumlah makna yang ada di dalam karya
sastra bersangkutan.25
Pada sebuah karya fiksi, terdapat beberapa makna berbeda-beda yang
dapat ditemukan pada bagian-bagian tertentu sebagai tambahan. Makna
tambahan tersebut yang bisa dikatakan sebagai tema minor. Dengan
demikian makna tema minor tergantung dari banyak sedikitnya makna
tambahan yang ada pada karya sastra tersebut.
2. Tokoh dan Penokohan
Menurut Aminuddin, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita sehingga peristiwa tersebut menjalin suatu cerita, sedangkan
cara penyajian tokoh oleh pengarang disebut penokohan.26
Cara penyajian
tokoh dalam cerita rekaan yang dilakukan oleh pengarang pada umumnya
23
Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit, h. 125 24
Ibid, h. 125-127 25
Ibid, h. 83 26
Wahyudi Siswanto, Op.Cit, h.142
17
menggunakan dua metode, yaitu metode langsung (telling) dan metode tidak
langsung (showing).27
Tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan
berdasarkan pada peran dan pentingnya tokoh tersebut dalam cerita. Tokoh
utama (central character) adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaan
dan yang paling banyak diceritakan. Ia akan ditempatkan sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenakan kejadian. Sementara tokoh tambahan
(periferal character) adalah tokoh yang kehadirannya kurang dianggap atau
kurang dapat perhatian, karena kemunculannya yang hanya beberapa kali.28
Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan
menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis merupakan
tokoh yang memiliki sifat sesuai dengan harapan kita, harapan pembaca.
Sedangkan antagonis merupakan tokoh yang menimbulkan konflik dalam
cerita yang beroposisi dengan tokoh protagonis.29
3. Latar
Menurut Abrams bahwa latar sama pada pengertian tempat, waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.30
Sedangkan Wellek dan Werren berpendapat bahwa latar
merupakan segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana yang
terjadi dalam karya sastra.31
Jadi, latar merupakan penjelasan waktu, tempat,
dan suasana yang terjadi pada suatu karya sastra. Latar akan terasa
sungguhan atau terjadi jika penceritaan seimbang antara persepsi dan
deskripsi.
4. Plot
Plot adalah rangkaian cerita yang terbentuk karena adanya tahapan-
tahapan peristiwa yang menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
27
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia,
2005) h. 6 28
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: PT. Gadjah Mada University,
1994) h. 176-177 29
Ibid, h. 260-261 30
Herman J Waluyo,Pengkajian Cerita Fiksi(Surakarta: Sebelas Maret University Press,
1994) h. 198 31
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak (Yogyakarta: UGM Press, 2013) h. 249
18
pelaku dalam cerita. Plot juga merupakan salah satu alasan mengapa sebuah
cerita terus dibaca karena untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.32
Sementara menurut Sudjiman, plot merupakan urutan peristiwa secara
temporal atau disusun dengan memperhatikan hubungan kausalnya.33
Unsur terpenting dalam plot adalah sebab akibat, maka sebab itu alur
adalah pengisahan kejadian yang mengutamakan sebab musabab, yang
terpenting bukan kejadian itu sendiri tapi alasan (motif) kejadian itu.34
Plot
juga memiliki tahapan-tahap untuk menghasilkan suatu cerita.
Plot merupakan unsur fiksi yang dianggap penting. Kejelasan plot dalam
suatu cerita fiksi mempermudah pembaca mengerti makna cerita tersebut.
Penceritaan plot dalam suatu karya fiksi dapat dilihat melalui beberapa
tahapan.
Menurut Tasrif, tahapan plot dibedakan menjadi lima. Pertama, tahapan
penyituasian yaitu tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situai latar
dan tokoh cerita. Pada tahapan ini penginformasian awal cerita dijelaskan.
Kedua, tahap menunculan konflik, tahap ini menunjulkan awal terbentuknya
konflik. Ketiga, tahap peningkatan konflik, peristiwa-peristiwa dramatik
semakin mencengkam setelah tahapan sebelumnya muncul. Keempat, tahap
klimaks yaitu konflik yang terjadi pada cerita menemukan titik puncak.
Tahapan terakhir, tahapan penyelesaian yaitu tahapan yang berisi
penyelesaian dari konflik atau tahapan sebelumnya.35
Pembedaan plot berdasarkan urutan waktu. Urutan waktu yang dimaksud
adalah urutan waktu peristiwa yang diceritakan. Jika dilihat berdasarkan
urutan waktu, maka dapat dibedakan plot lurus, plot sorot-balik, dan
campuran.
a. Plot lurus (progresif)
Sebuah karya sastra dikatakan memiliki plot lurus jika penceritaan
peristiwa bersifat kronologis atau peristiwa pertama diikuti dengan
32
Mursal Esten, Kritik Sastra Indonesia (Padang:Angkasa Raya, 1984) h. 39 33
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta:Pustaka Jaya, 1988) h. 29-30 34
Pamusuk Eneste, Novel dan Film (Flores: Nusa Indah, 1991) h. 19 35
Ibid, h. 149-150
19
peristiwa kemudian. Jika dituliskan dalam bentuk skema, plot progresif
akan berwujud sebagai beriku.
A B C D E
Simbol A melambangkan tahapawal cerita, B-C-D melanbangkan
kejadi-kejadian berikutnya, kemudian diakhiri dengan lambang E sebagai
penyelesaian. Karya sastra yang memiliki plot lurus (progresi) biasanya
menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan.36
b. Plot Sorot-balik (regresif)
Karya sastra yang memiliki plot regresif tidak menceritakan kisah
secara kronologis melainkan memulainya dari tengah penceritaan atau
bahkan dari akhir penceritaan. Karyayang berplot seperti ini, biasanya
langsung menyajikan konflik-konflik atau barangkali konflik yang telah
runcing. Jika digambarkan melalui skema, maka plot regresif dapat
berupa sebagai berikut.
D1 A B C D2 E
Simbol D1 merupakan awal penceritaan yang berkaitan konflik
menuju akhir. A-B dan C adalah peristiwa yang diceritakan ulang yang
berintikan tentang penyebab D1. Sedangkan D2 sengaja dibuat demikian
untuk menegaskan peristiwa D1 dan E berupa kelanjutan langsung
peristiwa A-B-C menuju D1 hingga penyelesaian.
c. Plot Campuran
Pada sebuah karya sastra tidak mungkin semuanya berplot lurus atau
sorot-balik seutuhnya. Menentukan sebuah karya sastra itu berplot lurus
atau sorot-balik dapat dilihat melalui plot yang paling menonjol dalam
penceritaan. Plot campuran sebenarnya selalu ada pada sebuah karya.
Plot campuran biasanya bisa dimulai pada bagian akhir terlebih dahulu
lalu kebagian awal atau bisa juga tidak teratur. Pada bagian ini,
penceritaan akan menyulitkan pembaca untuk memahami sebuah cerita.
36
Ibid, h. 154
20
5. Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) merupakan pemilihan strategi, teknik,
siasat secara sengaja oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dalam
cerita.37
Menurut Pradopo, sudut pandang merupakan cara pengarang untuk
memberitahukan siapa yang bercerita dalam penceritaan tersebut.38
Jadi,
semua pemikiran dan gagasan pengarang disalurkan atau disampaikan
melalui sudut pandang tokoh.
Albertine Minderop membagi jenis sudut pandang dalam karya sastra
sebagai berikut:
a. Sudut pandang persona ketiga “Diaan”
Sudut pandang ini digunakan dalam pengisahan yang memposisikan
narator di luar cerita menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebutkan nama atau kata ganti. Ada dua macam sudut pandang
persona ketiga “Diaan” yaitu sudut pandang orang ketiga “Dia”
mahatahu dan sudut pandang “Dia” sebatas sebagai pengamat.
b. Sudut pandang persona pertama “Akuan”
Sudut pandang persona pertama ini pengisahannya terletak pada
seorang narator yang ikut serta dalam penceritaan. Hal ini bisa dikatakan
bahwa narator menceritakan pengalamannya sendiri. Sudut pandang ini
terbagi menjadi dua, pertama “Akuan” tokoh utama yaitu pencerita yang
sebagai tokoh utama melaporkan cerita dari sudut pandang. Kedua,
“Akuan” tokoh tambahan yaitu pencerita yang tidak ikut serta dalam
cerita hanya sebagai tokoh tambahan yang aktif sebagai pendengar dan
hanya untuk melaporkan cerita kepada pembaca sebagai “aku” atau “I”.
c. Sudut pandang campuran
Pada sudut pandang ini, pengarang berpindah-pindah teknik
penceritaan dari teknik satu ke teknik lainnya.39
37
Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit, h. 248 38
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) h. 75 39
Albertine Minderop, Op.Cit, h. 96-97
21
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa digunakan pengarang untuk membangun perceritaan dengan
pemilihan diksi, ungapan, majas, dan sebagainya yang dapat menimbulkan
kesan estetik dalam karya sastra tersebut. Dalam karya sastra, gaya bahasa
memiliki fungsi : a) memberi warna pada suatu cerita, b) alat melukiskan
suasana cerita dan mengintensifkan penceritaan. Pada kesusastraan Indonesia
dikenal bermacam-macam gaya bahasa seperti metafora, personifikasi,
hiperbola, simbolik, asosiasi, sarkasme, sinisme, dan sebagainya.40
7. Amanat
Menemukan tema suatu cerita, dapat menemukan nilai-nilai didaktis
yang berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta hidup dan
kehidupan. Nilai-nilai yang ada dalam suatu cerita bisa dilihat dari sudut
pandang pembaca atau pengarang. Dari sudut pandang pengarang, nilai ini
biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra,
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.41
D. Prinsip-Prinsip Ekologi Sastra
Ekologi merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu
oikos berarti rumah dan logos berarti ilmu. Secara harfiah ekologi adalah
kajian tentang hubungan organisme atau kelompok organisme terhadap
lingkungannya.42
Dengan kata lain, ekologi juga dapat diartikan hubungan
timbal-balik antara makluk hidup dengan lingkungannya. Pokok utama
ekologi sebenarnya mencari pengertian fungsi organisme di alam. Ekologi
berkaitan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang relevan dengan
kehidupan (peradaban) manusia.
Cabang ilmu yang juga berkaitan dengan keadaan lingkungan dan
kehidupan manusia salah satunya sastra atau karya sastra. Sastra merupakan
sebuah konsep yang menyatu dalam kehidupan manusia yang selalu
40
Zulfahnur ZF, dkk, Teori Sastra (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996)
h. 38-40 41
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h. 162 42
Zoer‟aini Djamal, Prinsip-Prinsip Ekologi (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) h. 6
22
berhubungan dengan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia
menyatu dengan nilai-nilai masyarakat seperti pengaruh lingkungan alam,
sosial, dan lingkungan buatan. Dalam kaitannya dengan kesusastraan, suatu
perubahan lingkungan alam (ekologis) juga dapat membuat manusia
menyesuaikan berbagai gagasannya seperti politik, kesenian, pendidikan, dan
sebagainya. Hubungan lingkungan alam dan kesusastraan dapat disebut
ekologi sastra.
Ekologi sastra menekankan pentingnya eksploitasi kultural oleh manusia
terhadap lingkungan alam dan kondisi-kondisi suatu lingkungan.43
Demikian
pula, ekologi sastra juga dapat dikatakan sebagai unsur ekstrinsik sastra yang
mendalami masalah hubungan sastra dengan lingkungannya. Menurut
Harsono, dalam endraswara ada dua pendekatan utama dalam ekologi sastra,
yaitu pendekatan wacana dan pendekatan realitas. Pendekatan wacana
menekankan pada penelitian pustaka, sedangkan pendekatan realitas
menekankan pada penelitian lapangan.44
Prinsip ekologi sastra adalah melihat hubungan timbal balik antara sastra,
lingkungan, dan manusia. Prinsip ini dibuat guna menjelaskan adanya
kebutuhan untuk memperbaiki kembali beberapa kesadaran lingkungan untuk
melatih pembaca sastra. Fokus ekologi sastra terkait dengan hal sebagai
berikut: (1) pencemaran (pollution), (2) hutan belantara (wilderness), (3)
bencana (apocolypse), (4) perumahan/tempat tinggal (dwelling), (5) binatang
(animals), dan (6) bumi (earth).45
Jadi, fokus ekologi sastra sebenarnya
terletak pada keadaan alam dan lingkungan yang menguntungkan dan
merugikan suatu system secara timbal balik.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa adanya
hubungan antara ekologi dengan karya sastra. Hubungan tersebut dapat
dilihat dari suatu karya sastra yang menjadikan alam sebagai sumber
penceritaan. Alam pun juga membutuhkan sastra sebagai alat penyampaian
43
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Ekologi Sastra (Yogyakarta: CAPS,2016) h.
18 44
Suwardi Endraswara, Ekokritik Sastra (Yogyakarya: Morfalingua,2016) h. 20 45
Ibid, h. 40
23
situasi. Ekologi dan sastra dapat dijadikan sebagai konsep penelitian yang
disebut ekologi sastra atau ekokritik sastra.
E. Hakikat Pembelajaran Sastra
Pendidikan sastra merupakan pendidikan yang mencoba untuk
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif
sastra. Sikap apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan
menikmati dan menghargai karya sastra. Pendidikan semacam ini mengajak
peserta didik untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan
menikmati karya sastra secara langsung.46
Hikayat yang dijadikan salah satu bahan ajar sastra perlu dipahami dan
dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam mencapai tujuan pembelajaran. Cara-
cara yang dapat dilakukan untuk memahami makna hikayat, antara lain
dengan pembacaan heuristik dan retroaktif. Pembacaan heuristik yang
dimaksud adalah pembacaan yang berdasarkan konvensi bahasa atau sistem
bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama. Sementara itu, pembacaan retroaktif adalah pembacaan bolak-balik
untuk menangkap maknanya.47
F. Penelitian Terdahulu
Pemaparan penelitian terdahulu dilakukan oleh peneliti guna
menghindari terjadinya pengulangan penelitian. Sepanjang penelitian yang
peneliti lakukan terdapat karya ilmiah yang hampir berkaitan dengan
penelitian ini. Acuan relevan yang peneliti cari yaitu pembahasan mengenai
struktur pada hikayat dan hikayat dalam pembelajaran sastra.
Penelitian skripsi terkait kritik ekologi sastra pada kumpulan cerpen
pernah dilakukan oleh Ammar Akbar, Mahasiswa Bahasa dan Sastra
Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2014 dengan judul Kritik
Ekologi dalam Kumpulan Cerpen Kayu Naga Karya Korrie Layun Rampan
Melalui Pendekatan Ekokritik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
46
Wahyudo Siswanto, Op.Cit h. 168 47
Warsiman, Op.Cit h. 170
24
terdapat 26 data yang merupakan bentuk kritik ekologi dalam kumpulan
cerpen, 49 data hubungan interaksi tokoh pada alam, dan 3 bentuk interaksi
pengamatan tokoh pada alam.
Penelitian terkait hikayat dalam pembelajaran sastra pernah dilakukan
oleh Mei Ekawati, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP
Muhammadiyah Pringsewu Lampung tahun 2015 dengan judul Pembelajaran
Menentukan Unsur-unsur Intrinsik Hikayat Melalui Model Student Teams
Achivement Divisions (STAD) dalam jurnal Pesona Volume 01, Nomor 01,
Januari 2015. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan
pembelajaran menentukan unsur-unsur intrinsik hikayat melalui model
student teams achievement divisions mampu meningkatkan nilai atau hasil
belajar siswa. Maka dapat disimpulkan bahwa hikayat dalam pembelajaran
sastra dapat menggunakan berbagai model pembelajaran guna mencapai
keberhasilan belajar dalam memahami unsur-unsur intrinsik hikayat.
Penelitian terkait hikayat dalam pembelajaran pernah dilakukan oleh
Sanggar Evanirmala, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas
Tanjungpura tahun 2018 dengan judul Peningkatan Kemampuan
Mengidentifikasi Unsur Intrinsik Hikayat dengan Teknik Ecola Siswa SMA
Sinar Kasih Sintang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembelajaran
mengidentifikasi unsur intrinsik hikayat dapat ditingkatkan dengan teknik
Ecola. Peningkatan ini dicapai melalui beberapa siklus, dari siklus I (cukup)
kemudian siklus II (cukup baik) hingga siklus III (baik). Maka dari itu,
peningkatan kemampuan menganalisis unsur intrinsik hikayat dalam
pembelajaran dapat dilakukan dengan beberapa teknik salah satunya teknik
Ecola.
25
BAB III
HIKAYAT PANCA LOGAM: NASKAH DAN TEKS
A. Inventarisasi Naskah
Penyelusuran suatu naskah dapat dilakukan dengan melihat katalog cetak
maupun online. Selain dengan katalog, menyelusuri naskah juga bisa
dilakukan dengan melihat artikel atau penelitian yang telah dipublikasikan
mengenai naskah terkait. Untuk mempermudah proses penyelusuran maka
katalog online sangat membantu.
Cerita Panca Logam ini merupakan lanjutan Hikayat Raja Kerang, yang
sudah diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cerita
Hikayat Raja Kerang berakhir dengan kemenangan Indra Laksana atas Raja
Genda Dewa, yang kemudian melarikan diri ke Bukit Panca Logam. Hikayat
Panca Logam berdasarkan isinya digolongkan dalam hasil karya sastra zaman
peralihan Hindu Islam.1
Berdasarkan data yang diperoleh, penulis menemukan ada tiga teks
dengan judul Hikayat Panca Logam yaitu dengan nomor panggil ML616,
ML17, dan ML385. Penelusuran naskah dengan nomor panggil ML616
dilakukan dengan melihat katalog naskah yang ada di Perpustakaan Naisonal.
Hasilnya naskah ML616 tidak bisa dipinjam dikarenakan sudah dalam
keadaan tidak layak. Hal tersebut juga diperkuat dengan ditemukannya
naskah ML17 yang sudah dilakukan transiter dan diterbitkan dalam sebuah
buku. Dalam buku tersebut, ketiga naskah tersebut dijelaskan kondisinya
masing-masing. Melalui proses tersebut maka peneliti memutuskan untu
meneliti naskah ML385 yang dapat ditemukan di Perpustakaan Nasional.
Namun, memiliki judul yang sama dengan ML17, naskah ML385 memiliki
cerita yang berbeda atau bisa dikatakan lanjutan cerita ML17. Oleh karena
itu, penulis mengambil keputusan hanya menggunakan naskah Hikayat Panca
Logam dengan nomor panggil ML385.
1 Nikmah dan Putri Minerva, Hikayat Panca Logam I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988) h. 3
26
B. Deskripsi Naskah
Naskah Hikayat Panca Logam merupakan salah satu naskah kuno yang
ada di Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil ML385 yang masuk
dalam golongan naskah Melayu. Judul naskah ditulis dengan menggunakan
aksara latin sama seperti isinya yang ditulis dengan aksara latin.
Naskah Hikayat Panca Logam berbentuk prosa dengan penceritaan
dibagi tiga bagian dalam naskah yang berbeda. Penceritaan pertama dapat
diperoleh dalam naskah dengan nomor panggil ML17 dengan menceritakan
pertemuan orang tua dari tokoh yang ada dalam teks yang penulis pilih.
Penceritaan kedua terdapat dalam naskah ML616, namun naskah tersebut
dalam kondisi tidak baik. Penceritaan ketiga terdapat dalam naskah ML385.
Demi kepentingan penelitian maka penulis memilih naskah ML385 karena
belum dilakukan terjemahan dan juga guna membantu pembaca melanjutkan
penceritaan dari naskah ML17.
Nama pengarang tidak dapat diketahui karena tidak dituliskan,
sedangkan tahun naskah dibuat tidak dituliskan. Naskah berukuran 22x17 cm,
jumlah halamannya 16 halaman, yang setiap halamannya terdiri atas 21 baris.
Teks ditulis dengan tinta biru dan cukup jelas.2
Permulaan teks ditulis dengan judul cerita. Awal penceritaan dimulai
dengan pertemuan kedua tokoh manusia untuk berperang dengan raja jin
(dalam judul ditulis dengan “Pri”). Penceritaan semakin diperjelas dengan
diperkenalkannya raja jin dalam tengah cerita dan diakhiri dengan
pertempuran hebat antara manusia dan kerajaan Jin di atas bukit.
C. Pedoman Suntingan dan Terjemahan Teks
1. Pedoman suntingan teks
Tugas filologi salah satunya adalah menyajikan teks yang dapat
dibaca oleh masyarakat masa kini dengan menggunakan metode kritis.
Tujuan suntingan teks dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membantu
pembaca awam yang sulit mengerti teks dengan ejaan kuno dan dengan
2 Op.Cit, h. 6
27
tulisan tangan yang cukup sulit dimengerti. Oleh karena itu beberapa
kaidah diperlukan agar terlaksananya suntingan teks.
Berikut kaidah yang digunakan dalam suntingan teks, yaitu:
a. Tanda garis miring dua (//) digunakan sebagai penanda pergantian
halaman dalam teks.
b. Tanda kurung siku [ ] digunakan sebagai penanda penghilangan huruf
atau teks.
c. Tanda kurung ( ) digunakan sebagai penanda penambahan huruf atau
teks.
d. Penggunaan nama orang, nama gelar yang disertai nama orang, dan
nama tempat menggunakan huruf kapital.
e. Bentuk perubahan maupun perbaikan yang dilakukan dalam suntigan
teks akan diletakkan dalam catatan kaki.
f. Pedoman transliterasi Melayu menggunakan Pedoman Bahasa dan
Satra Melayu dari J.J. de Hollander.
2. Terjemahan Teks
Terjemahan teks pada penelitian ini tetap dilakukan guna mengubah
teks yang aslinya menggunakan bahasa Melayu dan ejaan Van Ophuijsen
menjadi Ejaan Bahasa Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena tidak
semua pembaca memahami bahasa dan ejaan yang dikaji. Tujuan
terjemahan ini agar pembaca dapat memperoleh pesan dari pengarang
dengan mudah.
Gaya penerjemahan yang terlalu harfiah mengakibatkan terjemahan
teks yang tidak mudah dipahami. Namun, penerjemahan yang terlalu bebas
juga dapat mengakibatkan hilangnya bagian teks tertentu.3
Dalam melakukan terjemahan pengungkapan kata dan gagasan yang
akan diterima pembaca harus sama seperti teks aslinya. Penerjemahan
yang dilakukan pada penelitian ini akan diletakkan berdampingan dengan
teks sumber aslinya.
3 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia(Jakarta: Kencana, 2015) h.96
28
D. Suntingan dan Terjemahan Hikayat Panca Logam
Suntingan dan Terjemahan Hikayat Panca Logam
Suntingan Teks Terjemahan
Ini Surat4 ceritakan
5 Djohan Perkasa
dan Laila Ambora berperang6 dengan
peri di atas bukit. //
Cerita ini mengisahkan tentang
Djohan Perkasa dan Laila Ambora
yang berperang dengan peri di atas
bukit.//
Alkisah7 maka tersebut perkataan
Djohan Perkasa dan Laila Ambora
berkeliling puncak bukit. Seketika itu
maka Laila Ambora itu pun bertemu
kepada8 suatu pohon
9 bidara terlalu
amat akan lebat buahnya10
maka pikir
Laila Ambora “adapun apakah
gunanya budha11
brahmana12
aku
maka baik aku coba coba aku minta
jadi13
monyet kecil” maka seketika itu
jadi monyet kecil lalu ia14
naik kepada
pohon bidara lalu dimakannya15
segala buah buahan.
Setelah itu maka dilihatnya oleh16
Djohan Perkasa halnya Laila Ambora
Pada suatu hari, Djohan Perkasa
dan Laila Ambora berkeliling puncak
bukit. Saat berkeliling di pucak bukit,
Laila Ambora melihat sebuah pohon
tinggi yang memiliki buah lebat dan
bisa dijadikan obat. Setelah melihat
pohon tersebut, Laila Ambora berpikir
untuk meminta kepada dewa
Brahmana agar dirinya dijadikan
seekor monyet. Seketika itu juga,
Laila Ambora berubah menjadi seekor
monyet dan langsung memanjat pohon
tersebut serta menikmati buahnya.
Melihat seekor monyet yang sangat
menggemaskan, Djohan Perkasa
4Soerat s[u]rat
5 Tjeritakan [c]eritakan
6 Beperang be(r)perang
7 Alkesa alk[i]sa(h)
8 Kapada k[e]pada
9 Poehoen p[u]h[u]n p[o]h[o]n
10 Boe[w]ahnja b[u]ahn[y]a
11 Boeda b[u]d(h)a
12 B[e]rhamana brahmana
13 Djadi [d]jadi
14 Iya i[y]a
15 Dimakanja dimaka[n]nya
16 Ole ole(h)
29
bermakan buah itu pun. Tersenyum
melihat17
halnya Laila Ambora maka
lalu diambil anak panahnya yang18
bernama tersura dewa maka lalu di
panahnya kepada monyet itu yang
nakal maka kena ekor pinggangnya
maka lalu jatoh lalu ia menjadi Laila
Ambora kembali serta katanya “dan
sampe kali sungguh tuan19
ini //
langsung memanahnya dengan anak
panah yang diberi nama Tersura
Dewa. Anak panah itu mengenai
pinggang monyet tersebut dan
menjatuhkannya. Seketika itu monyet
tersebut berubah menjadi Laila
Ambora. Merasakan sakit
dipinggangnya, maka Laila Ambora
berkata, “tega sekali tuan//
memanah20
patik dan sampe sakit
akan pinggang patik buah bidara
yang patik pegang sampe terlepas21
”
maka Djohan Perkasa itu tertawa “hai
saudaraku aku sangkakan monyet
benar benar dari itu aku panahkan
maka aku lihat terlalu nakal”.
Setelah22
itu maka berkata Laila
Ambora “iya tuanku di mana kah
sekarang ini? patik cari raja jin
karena23
patik tidak tau akan
tempatnya tatkala24
di buangkan patik
dan patik tiada tau dari mana akan
datang raja jin.”
Maka kata Djohan Perkasa “hai
Laila Ambora dan jikalau demikian
memanah hamba sampai sakit
pinggang hamba dan juga terlepas
buah yang hamba pegang” maka
Djohan Perkasa tertawa dan berkata,
“hai saudaraku, aku kira monyet itu
sungguhan maka langsung aku
panah”.
Setelah mendengar penjelasan
Djohan Perkasa maka Laila Ambora
menjelaskan bahwa keberadaan ia di
bukit ini dengan maksud mencari
seorang raja jin. “Hamba berada di
mana sekarang tua? Hamba ingin
mencari raja jin tetapi hamba tidak tau
keberadaannya” kata Laila Ambora.
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai
17
Malihat m[a]elihat 18
Njang [nj](y)ang 19
Toewan tu[w]an 20
Memana memana(h) 21
Telepas te(r)lepas 22
Setela setela(h) 23
Kerna kar(e)na 24
Telkala t(at)kala
30
baikla kita binasakan tempatnya dan
balenya itu kita bakar dan kalo kalo ia
segera25
datang sebabnya dia lihat ada
asap”. Setelah didengar Laila Ambora
kata tuannya maka ia pun terlalu26
amat suka hatinya27
kata katanya
“baik sekarang kita binasakan lalu
diambil besi karsani yang bernama
kastayu yujana” //
Laila Ambora, kita bakar saja bukit ini
dengan begitu ia akan datang karena
melihat banyak asap”. Mendengar ide
dari Djohan Perkasa maka Laila
Ambora setuju dan langsung
membakar bukit tersebut dengan
menggunakan besi karsani yang diberi
nama kastayu yujana.//
Maka di palukan kepada bale itu
dengan sekali palu juga hancur akan
balenya serta berkeping keping dan
sekalian itu pun hastanya habis di
binasakan oleh28
Laila Ambora karena terlalu sakit
hatinya kepada Raja Kalunjintaka itu
maka apinya itu pun terlalu amat akan
besar dan asepnya itu pun kalang
kabut di udara dan segala pohon kayu
yang ada pada puncak bukit maka itu
pun abis dibakarnya dan sekalian buah
buahan dan pohon pohonan
semuanya29
dimakan oleh api.
Maka Djohan Perkasa itu pun
tersenyum senyum melihat halnya
Laila Ambora maka tiada tersebut
perkataannya “api terlalu amat
Maka dibakarnya semua yang ada
dibukit itu, mulai dari pohon kayu,
buah-buahan, dan semua pohon yang
ada di puncak bukit.
Laila Ambora sangat sakit hati
kepada Raja Kalunjintaka hingga
membakar semua bukit dan
mengakibatkan banyaknya asap yang
berterbangan di udara.
Melihat kekesalan Laila Ambora,
Djohan Perkasa hanya tersenyum-
senyum dan berkata, “api sudah
terlalu tinggi sampai hampir sama
dengan bukit”.
Raja Kalunjintaka yang berada di
bukit Batu Hitam sedang berkumpul
dengan//
25
Sigra s(e)g(e)ra 26
Telaloe te(r)lalu 27
Attinja (h)at[t]inya 28
Oleole(h) 29
Semoewanja semu[w]anya
31
tingginya hampir sama sama juga
dengan bukit adanya”.
Alkisah maka tersebut
perkataannya Raja Kalunjintaka yang
ada kepada bukit batu hitam maka
pada ketika itu sedang //
lagi dihadap oleh palaranya bernama
Ladra Gumpita dan sekalian
rakyatnya mantri hulu balang raja
berbagai-bagai Jin dan hantu kapir
dan setan sekalian di bawah
perintahnya maka pada masa itu lagi
duduk maka ia pun melihat akan asap
ke udara kalangkabut maka bertanya
kepada rajanya, “hai Ladra Gumpita
dan asep apakah kelihatan di udara itu
kalangkabut dan coba engkau pergi
melihat”, maka patik itu pun pergi
melihat asap itu setelah dilihatnya itu
asap keluarnya dari atas bukit.
Lantaran maka itu pun segera
kembali lalu ia menyembah dikaki
sembahnya ia, “tuanku adapun asap
itu datangnya dari bukit.” Lantaran
maka setelah didengar Raja
Kalunjintaka itu maka itu pun terkejut
lalu ia pergi memitahkan empat orang
menteri dan lima ratus hulubalang raja
pergi kepada bukit lantaran melihat
apa yang tebakar dan mana datangnya
apa itu. Setelah//
palaranya yang bernama Ladra
Gumpita, rakyat, hulubalang, jin,
setan dan semua yang berada di
bawah pemerintahannya melihat asap
yang ada di udara. “Hai Landra
Gumpita, coba engkau lihat dari mana
asap di udara itu datang!” perintah
Raja Kalunjintaka kepada Ladra
Gumpita.
Maka segera Ladra Gumpita
melihat sumber datangnya asap
tersebut setelah dilihatnya ternyata
asap tersebut datang dari puncak
bukit. Setelah mengetahui hal tersebut
maka Ladra Gumpita segera
menghampiri Raja Kalunjintaka dan
berkata, “tuanku, asap tersebut
ternyata datang dari puncak bukit.”
Mendengar hal tersebut, maka Raja
Kalunjintaka segera memerintahkan
empat orang menteri dan lima ratus
rakyat untuk pergi ke puncak bukit
itu. Setelah//
32
menteri itu mendengar kata tuannya
lalu ia pergi bermohon serta
diiringkan sekalian rakyat yang lima
ratus ada pun tiada berapa lamanya ia
terbang maka ia pun sampai kepada
puncak bukit itu.
Ada pun maka pada ketika itu
Djohan Perkasa dan Laila Ambora
melihatkan sekalian rakyat maka
berkata Laila Ambara “iya tuanku
adapun patik kira kira yang itu jin
juga”. Setelah itu maka datang
menteri yang empat orang kehadapan
Djohat Perkasa serta katanya “hai
manusia dan siapakah yang berani
membakar bukit ini istana tuanku dan
tiadalah engkau takut aku penggal
batang lehermu!”
setelah Laila Ambora mendengar kata
itu maka ia pun terlalu sangat akan
marahnya serta ia dihampirinya seraya
katanya, “hai menteri yang tau adat
dan mengapa engkau ini berani
melarang aku membakar bukit ini nini
moyangmu yang punya //
mendengar perintah tuannya, maka
empat orang menteri dan para rakyat
itu langsung pergi ke puncak bukit.
Tanpa butuh waktu lama, akhirnya
mereka sampai di puncak bukit itu.
Seketika itu juga, Djohat Perkasa
dan Laila Ambora melihat rakyat-
rakyat tersebut dan Laila Ambora
berkata, “tuanku, hamba kira mereka
itu jin juga”. Setelah itu datanglah
keempat meteri tersebut menghampiri
Djohan Perkasa serta berkata, “hai
manusia! Siapa yang berani
membakar bukit ini? Apakah engkau
tidak takut aku penggal batang
lehermu?”
lalu Laila Ambora mendengar kata-
kata itu dan langsung menghampiri
empat menteri tersebut serta berkata,
“hai menteri yang tau aturan!
Mengapa engkau berani melarang aku
membakar bukit ini? Memangnya
nenek moyangmu yang punya//
bukit ini? maka engkau ini melarang
dan akulah yang membakar dan
jangan sentara istana dan bale tiada
aku bakar dan jikalau rajamu datang
kemari mestinya aku bakar akan
kepalanya dan dahulu dapat akan
bukit ini? Akulah yang membakar ini
semua dan jika rajamu kemari maka
aku akan bakar juga kepalanya karena
sudah berani membuang aku”,
keempat materi itu pun sangat marah
mendengar perkataan Laila Ambora
33
membuang aku ini jikalau sekarang
coba-coba membuang akan aku ini
jikalau ia hendak30
merasakan besi
aku ini”, setelah mantri yang empat
mendengar kata Laila Ambora maka
ia pun terlalu sangat marah31
seraya
katanya kepada rakyat yang lima ratus
“hai kamu sekalian segera datang
tangkap kepada aku” maka menteri
yang empat mendengar kata itu maka
berkata, “hai sekalian rakyatku
segeralah tangkap orang dua!” itu
maka masing-masing pada datang
mengerubungi32
pada Laila Ambora
dan Djohan Perkasa itu setelah dilihat
sekalian rakyatnya pada datang itu
dengan senjatanya maka ia pun
segera menghunus pedangnya yang
dari Brahmana dan Laila Ambora
mengumus //
yang juga menantang lima ratus
rakyat untuk bisa menangkapnya.
“Hai sekalian rakyatku, tangkap dua
orang itu!” memerintah empat meteri
itu kepada rakyat. Mendengar perintah
tuannya maka lima ratus rakyat
tersebut langsung mengerubungi
Djohan Perkasa dan Laila ambora
dengan membawa senjatanya masing-
masing.
Melihat lima ratus rakyat yang
mengeruminya maka Djohan Perkasa
mengeluarkan pedang yang ia dapat
dari Brahmana dan Laila Ambora
menghunuskan//
Kastayudana yang dari naga.
Lalu ia hendak mengerubungi
maka Djohan Perkasa itu pun
memerang dari dalam dirinya rakyat
banyak-banyak itu ke kanan dan ke
kiri kehadapan dan ke belakang33
dan
adalah34
yang seperti orang yang
Kastayudana yang ia terima dari naga.
Bagai seorang juara pemotong
ketimun, Djohan Perkasa
melenyapkan semua rakyat yang ada
di kanan, kiri, depan, dan
belakangnya. Hanya dengan sekejap
saja, mayat-mayat sudah bertimbun-
30
Henda Henda(k) 31
Mara Mara(h) 32
Mengrubungi meng(e)rubungi 33
Blakang B(e)lakang 34
Adala Adala(h)
34
menetar ketimun juara akan lakunya.
Maka barang dimana yang dapat
ditempuhnya maka bangke pun
bertambun-tambunan35
darah pun
seperti air sungai mengalir akan
rupanya.
Adapun jikalau sepuluh dua puluh
yang berjejer maka dengan sekali juga
habis mati dan Laila Ambora itu
demikian juga dengan besi itu dan
barang dimana yang aku kena terpalu
maka hancur tulangnya sekalian
otaknya berhamburan darah36
jika
yang berkuda sama kudanya dan
rakyat yang hidup sebagian37
juga ia
memanah38
dan menembak dan
menikun39
maka Djohan Perkasa dan
Laila Ambora itulah tiadalah
diperasakan sebagian juga ia
mengamuk. Setelah//
timbunan, dan darah seperti air sungai
mengalir.
Jikalau ada sepuluh atau dua puluh
rakyat yang berjejer maka habis
dengan sekejap. Begitu pula dengan
Laila Ambora yang dengan senjata
besinya dapat menghancurkan tulang
dengan sekali pukul. Djohan Perkasa
dan Laila Ambora saat itu sangat
marah sehingga menghabisi lawannya
tanpa ampun. Setelah//
dilihat oleh menteri yang empat orang
rakyat banyak mati maka ia pun
terlalu amat marah lalu ia mengunus
pedangnya masing-masing mengusir
Djohan Perkasa dan Laila Ambora.
Setelah itu maka dilihat Djohan
Perkasa dan Laila Ambora menteri
//Melihat banyak rakyat yang
tewas, maka keempat menteri itu
langsung menghunus pedangnya
masing-masing untuk mengusir
Djohan Perkasa dan Laila Ambora.
Usaha tersebut dilihat oleh Djohan
Perkasa dan Laila Ambora, maka
35
Bertambun-tambunan bert[i]mbun-t[i]mbunan 36
Dara Dara(h) 37
Sebagi Sebagi(an) 38
Memana Memana(h) 39
Kata “menikun” ini tidak diketahui artinya. Diperkirakan kata “memukul”.
35
itu, maka dipalu oleh Laila Ambora
dengan sekali palu juga itu pun mati
dan hancur menjadi sate. Maka
dilihatnya sekalian rakyat menteri
yang empat itu pun mati maka
masing-masing pada melarikan
dirinya dan adalah yang naik dipohon
kayu dan adalah yang masuk disela
batu.
Setelah dilihat Laila Ambora itu
rakyat sekalian lari maka ia pun
segera juga lari barang kemana
perginya dan yang mana melawan itu
pun maka habis dibunuhnya sambil ia
berkata, “dan tiadalah engkau mau
berbuat40
sahabat kepadamu ini” dan
yang mana dari pada pohon//
seketika itu juga keempat menteri itu
dipukul oleh Laila Ambora dengan
besinya sehingga tewas dan hancur
seperti sate.
Melihat keempat menterinya tewas,
maka sisa lima ratus rakyat tersebut
lari berhamburan menyelamatkan diri,
ada yang naik ke atas pohon kayu
hingga bersembunyi disela-sela batu.
kayu maka dipalunya juga dengan
pohon kayunya sekalian adanya yang
mana masuk disela batu maka
dipalunya dengan batu sekalian
hancur menjadi satu karena terlalu
sangat marahnya itu Laila Ambora.
Maka tiada berapa lamanya
mengamuk itu pun habis sekalian
rakyat yang lima ratus itu pun mati
hanya adalah seorang jiwa yang hidup
dapat akan lari terbang menuju bukit
batu hitam. Maka tiadalah berapa
Mengetahui hal itu, tanpa pikir
panjang Laila Ambora menghabisi
semua rakyat tersebut. Tiada beberapa
lama Laila Ambora menghabisi
seluruh rakyat yang ada di bukit.
Namun, ada satu rakyat yang
berhasil melarikan diri terbang ke
bukit batu hitam.
Ketika Raja Kalunjintaka sedang
berkumpul dengan saudaranya Ladra
Gumpita, Menteri, dan hulubalang
maka sampailah satu rakyat yang
40
Berbuwat berbu[w]at
36
lamanya terbang sampai masuk ke
dalam istana itu tuannya. Adapun
ketika ketika itu Raja Kalunjintaka
sedang dihadap saudaranya Ladra
Gumpita dan serta menteri
hulubalang. Pada ketika itu maka
datang akan jin yang lari lalu sujut
kepada kaki tuannya cerita dengan
tangisnya maka kata Raja
Kalunjintaka, “apakah mulanya maka
engkau datang ini menangis dan
manalah sekalian temanmu itu?”
maka sahut jin itu, “tuanku patik //
berhasil melarikan diri dari
pertempuran dengan Djohan Perkasa
dan Laila Ambora itu di istana.
Setelah melihat rakyatnya datang
menyembah dalam keadaan menangis,
maka Raja Kalunjintaka berkata,
“Mengapa kau datang dengan keadaan
menangis seperti ini dan kemana
teman-temanmu?” maka sahut rakyat
itu, “mohon ampun tuanku,//
ini memohon ampun ke bawah
duliyang dipertuan adapun sekalian
rakyat itu telah akan habis dibunuh41
akan manusia adalah 2 orang tuanku
kepada puncak bukit lantaran dan ia
yang membakar bukit itu adapun patik
ini jikalau kurang-kurang akan cepat-
cepat kaki patik lari niscaya patik ini
tiada boleh bertemu lagi pada tuanku
karena terlalu sekali dan gagah42
manusia itu keduanya” setelah itu raja
kalunjintaka mendengar yang
demikian itu maka itu pun terlalu
sangat marah43
seperti ular berbelit44
lakunya seraya katanya, “dari mana
sembah kepadamu tuan. Semua
rakyat telah habis dibunuh oleh kedua
manusia yang membakar bukit itu.
Kalaupun hamba tadi tidak
melarikan diri dengan cepat maka bisa
saja hamba sudah tidak dapat bertemu
dengan tuanku. Kedua manusia itu
terlalu kuat dan hebat”.
Setelah mendengar hal itu, Raja
Kalunjintaka sangat marah bagai
seekor ular yang melilit dan berkata,
“dari mana datangnya kedua manusia
itu dan apa maksudnya datang kesini?.
41
Bunu bunu(h) 42
Gaga gaga(h) 43
Mara mara(h) 44
Berbulit berb[e]lit
37
datang itu manusia dan apalah
kerjakannya manusia itu?”. Maka
sembah jin itu “iya tuanku adapun
kalinya patik kurang periksa45
tetapi
katanya itu tatkala46
di hulu tuanku
membuangkan padanya //
Maka jawab rakyat satu itu, “iya
tuanku, hamba pun kurang tahu
maksudnya tetapi katanya waktu itu
tuanku membuang//
kepada pusar laut itu sebabnya datang
membinasakan itu sekalian istana itu
dan dibakarnya sekalian gunung itu”.
Setelah didengar oleh rajanya
kata jin itu maka ia pun terlalu nakal
sangat kiranya sekali-kali dan
sungguh dan sungguh akan manusia
itu terlalu nakalnya maka merah akan
mukanya seperti api menyala-nyala
maka segala yang menghadap itu pun
terlalu takutnya memandang mukanya
Raja Kalunjintaka serta katanya, “hai
Ladra Gumpita segeralah
menghimpunkan rakyat kita pada ini
hari juga pergi kepada bukit lantaran
seperti aku putar manusia itu” maka
Ladra Gumpita itu pun menyembah
lalu ia berjalan pergi menghimpunkan
sekalian rakyat itu pun datang pada
ketika itu juga berhimpun. //
ia di sungai dan sampai ke pusar laut
makanya ia membakar habis bukit”.
Mengetahui hal tersebut, maka raja
sangat marah sampai wajahnya merah
bagaikan api yang menyala hingga
semua yang ada dihadapannya merasa
takut melihat wajah raja. Maka
berkata raja kepada Ladra Gumpita,
“hai Ladra Gumpita, segera
kumpulkan semua rakyat hari ini
untuk pergi ke bukit! Akan aku putar-
putar itu dua manusia”. Ladra
Gumpita langsung pergi untuk
mengumpulkan rakyat.//
Setelah itu maka Raja Kalunjintaka
itu berangkat serta naik naganya lalu
ia terbang dan Ladra Gumpita pun
Setelah dirasa sudah terkumpul
semua rakyatnya maka Raja
Kalunjintaka segera berangkat ke
45
Priksa P(e)riksa 46
Takala Ta(t)kala
38
naik akan singanya serta diiringkan
segala rakyat tiada ternilai banyaknya
sekalian jin terbang hantu pun setan
masing-masing dengan senjatanya
ada yang membawa batu ada yang
membawa kayu maka masing-masing
pada memalu segala bunyi-bunyian
dengan caranya jin. Maka pada ketika
itu terbang tiadalah akan kelihatan
maka matahari47
pada pada sebab
kebanyakan jin.
Maka tiada berapa lamanya terbang
maka kelihatan bukit itu adapun pada
ketika itu terlihat kepada Djohan
Perkasa dan Laila Ambora akan
angkatan Raja Kalunjintaka maka
berkata Laila Ambora, “ia tuanku
adapun angkatan yang akan datang itu
patik kira-kira //
bukit dengan menunggang naganya
lalu ia terbang sedangkan Ladra
Gumpita menunggangi singanya serta
diikuti oleh seluruh rakyat sangat
banyak seperti jin, setan, dan hantu
dengan senjatanya masing-masing.
Bermodal batu dan kayu para jin,
hantu, dan setan menghasilkan sebuah
bunyi-bunyian sepanjang penjalanan
menuju bukit.
Membutuhkan waktu hanya
sebentar, tibalah pasukan Raja
Kalunjintaka di bukit, karena terlalu
banyak pasukannya hingga matahari
pun tidak terliat tertutup oleh jin,
hantu, dan setan yang datang. Di
kejauhan, Djohan Perkasa dan Laila
Ambora melihat pasukan Raja
Kalunjintaka maka berkata Laila
Ambora, “iya tuanku, sepertinya
pasukanyang datang itu adalah//
Raja Kalunjintaka karena terlalu
banyak akan rakyatnya serta panji-
panjinya”.
Setelah Djohan Perkasa mendengar
sembah Laila Ambora maka ia pun
tersenyum seraya diciptakan kemala
kikumat yang peroleh naga pertala
pada ketika itu juga datang Danta peri
pasukan Raja Kalunjintaka karena
banyak sekali rakyatnya dan para
panji-panjinya”.
Setelah mendengar perkataan Laila
Ambora maka Djohan Perkasa segera
membuat kemalakikumat yang
diperoleh dari naga dan seketika itu
datanglah peri yang bernama Danta
47
Mata hari Matahari
39
keluar dengan sekalian rakyatnya dan
segala daripada peri maka datang
Danta peri pun sujud sembah pada
kaki Djohan Perkasa seraya katanya,
“apakah pekerjaan tuanku memanggil
patik ini serta rakyat patik?” maka ia
pun hamba hendak berperang kepada
Raja Kalunjintaka. Setelah didengar
oleh Danta peri dan sekalian
rakyatnya yang demikian itu maka ia
pun menyembah seraya katanya, “iya
tuanku adapun pekerjaan itu atas patik
yang menanggung”, maka segala
rakyat itu masing-masing dengan
senjatanya.
Adapun Raja Kalunnjintaka terbang
maka ia pun meli- //
serta para rakyatnya. Bersembah sujud
Danta peri dikaki Djohan Perkasa dan
berkata, “apakah perkerjaan yang bisa
hamba lakukan hingga tuanku
memanggil hamba dan rakyat
hamba?” lalu Djohan Perkasa
memberitahukan bahwa ia akan
berperang dengan Raja Kalunjintaka.
Setelah mendengar hal tersebut maka
Danta peri berkata, “iya tuanku,
hamba akan menanggung hal
tersebut” maka seluruh rakyat Danta
peri bersiap dengan senjatanya
masing-masing.
Raja Kalunjinta terkejut melihat//
hat kepada segala rakyat Djohan
Perkasa seraya katanya kepada jin
yang membawa kabar, “hai kamu dan
mengapa maka engkau ini
mengasihkan manusia ini ada 2 orang
dan sekarang ini aku lihat terlalu
banyak?” maka sembah jin itu,
“hampun tuanku bahwa sesungguhnya
tatkala dahulunya 2 orang yang patik
melihat”. Maka pada ketika itu sampai
rakyatnya Raja Kalunjintaka kepada
puncak bukit itu
maka Ladra Gumpita itu menyuruh
memalu gendang perang terlalu sangat
rakyat Djohan Perkasa yang sangat
banyak dan berkata kepada jin yang
membawa kabar, “hai kamu!
Mengapa kamu memberitahukan
bahwa hanya ada dua manusia dan
sekarang aku lihat banyak?” maka
sembah jin itu, “ampun tuanku,
sunggu hamba awalnya melihat hanya
ada dua manusia saja”. Sesampainya
rakyat Raja Kalunjintaka di bukit,
maka Ladra Gumpita menyuruh
memukul gendang perang dengan
sangat keras. Setelah kedua tentara itu
saling berhadapan sambil menghunus
40
bunyinya. Maka kedua putak tentara
itu pun berhadapan dengan
bawaannya masing-masing pada
mengunus senjata. Setelah sudah
bertemu maka sama-sama ia tertikam-
tikaman, berpanah-panahan, dan yang
bertembak dengan tembaknya maka
terlalu sangat ramai usir-mengusir.
Hantu dan setan maka masing-masing
pada melontarkan dengan senjata //
pedangnya masing-masing. Serelah
bertemu, mereka pun saling bertikam-
tikaman, berpanah-panahan, dan
bertembak-tembakan. Kedua tentara
tersebut saling mengusir.
Hantu dan setan bersorak-sorai
sehingga suasana perang menjadi
ramai dan tidak satupun tentara
menyerah untuk kalah.
Maka Laku Duli berbangkit ke
udara maka menjadi terang juga maka
barulah kelihatan orang yang
berperang masing-masing dengan
lawannya dan tiada apa lagi yang
kelihatan halnya tampak sorak orang
juga. Maka tidak berapa lamanya
berperang itu maka itu pun pecahlah
perang sekalian jin dan hantu dengan
setan habis akan lari tiada berkata
tuan akan perginya dari pada akan
amuknya segala peri itu.
Ada pada ketika itu terlihat pada
pangerannya bernama Rangga Bajang
pahlawan setan itu pun terlalu amat
marahnya melihat rakyatnya lari lalu
ia mengusirkan rambutnya serta ia
membesarkan dirinya kepada rakyat
peri lalu //
Melihat situasi perang yang
semakin hebat karena kedua tentara
sama-sama kuat akhirnya Laku Duli
terbang ke udara untuk melihat
masing-masing orang yang berperang.
Laku Duli memberikan kekuatan
kepada para peri sehingga para hantu,
setan, dan jin lari ketakutan.
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran
Rangga Bajang pahlawan dari para
setan dan sangat marah melihat
rakyatnya lari. Pangeran Rangga
Bajang menghempaskan rambutnya
serta mengubah dirinya menjadi sosok
yang sangat besar dan menangkap
para peri
ia tangkap pinggang sekalian rakyat
seperti anak ayam.
seperti menangkap anak ayam.
Para peri merasa takut setelah
41
Dua lakunya setelah dilihat oleh
rakyatnya itu pada lari pada ia pun
berbalik lagi sebabnya terlalu kuat
amuknya tiada boleh ditahan akan
Rangga Bajang. Setelah dilihat oleh
Danta peri rakyat itu undur iapun
terlalu amat marahnya serta ia
membesarkan dirinya lalu ia mengusir
Rangga Bajang itu setelah bertemu
keduanya pahlawan itu.
melihat perbuatan Pangeran Rangga
Bajang dan mulai melarikan diri.
Setelah melihat hal tersebut, Danta
Peri akhirnya memutuskan untuk
berubah membesarkan diri dan
mengusir Pangeran Rangga Bajang
itu.
42
BAB IV
ANALISIS TEKS HIKAYAT PANCA LOGAM
A. Sinopsis Hikayat Panca Logam
Alkisah Djohan Perkasa dan Laila Ambora berkeliling puncak bukit. Saat
berkeliling di pucak bukit, Laila Ambora melihat sebuah pohon tinggi yang
memiliki buah lebat dan bisa dijadikan obat. Setelah melihat pohon tersebut,
Laila Ambora berpikir untuk meminta kepada dewa Brahmana agar dirinya
dijadikan seekor monyet. Seketika itu juga, Laila Ambora berubah menjadi
seekor monyet dan langsung memanjat pohon tersebut serta menikmati
buahnya.
Melihat seekor monyet yang sangat menggemaskan, Djohan Perkasa
langsung memanahnya dengan anak panah yang diberi nama Tersura Dewa.
Anak panah itu mengenai pinggang monyet tersebut dan menjatuhkannya.
Seketika itu monyet tersebut berubah menjadi Laila Ambora. Merasakan sakit
dipinggangnya, maka Laila Ambora marah kepada Djohan Perkasa. Namun
Djohan Perkasa hanya tertawa dan menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud
menyakiti Laila Ambora hanya saja tertarik dengan seekor monyet yang
dianggap monyet sungguhan.
Setelah mendengar penjelasan Djohan Perkasa maka Laila Ambora
memaafkannya dan menjelaskan bahwa keberadaan ia di bukit ini dengan
maksud mencari seorang raja jin namun ia tidak tahu cara bertemu dengan
raja jin tersebut. Maka Djohan Perkasa memberikan ide untuk membakar
habis bukit tersebut agar raja jin yang dicari oleh Laila Ambora datang.
Mendengar ide dari Djohan Perkasa maka Laila Ambora setuju dan langsung
membakar bukit tersebut dengan menggunakan besi karsani yang diberi nama
kastayu yujana.
Maka dibakarnya semua yang ada dibukit itu, mulai dari pohon kayu,
buah-buahan, dan semua pohon yang ada di puncak bukit. Laila Ambora
sangat sakit hati kepada Raja Kalunjintaka hingga membakar semua bukit dan
mengakibatkan banyaknya asap yang berterbangan di udara. Melihat
43
kekesalan Laila Ambora, Djohan Perkasa hanya tersenyum-senyum sambil
melihat asap yang sudah hampir sama tingginya dengan bukit.
Di tempat lain, Raja Kalunjintaka yang berada di bukit Batu Hitam
sedang berkumpul dengan palaranya yang bernama Ladra Gumpita, rakyat,
hulubalang, jin, setan dan semua yang berada di bawah pemerintahannya
melihat asap yang ada di udara. Melihat asap tersebut maka Raja Kalunjitaka
menugaskan kepada Landra Gumpita untuk melihat dari mana asap di udara
itu datang. Ladra Gumpita segera melihat sumber datangnya asap dan
langsung memberitahu kepada Raja Kalunjintaka bahwa asap tersebut datang
dari atas bukit. Mendengar hal tersebut, maka Raja Kalunjintaka segera
memerintahkan empat orang menteri dan lima ratus rakyat untuk pergi ke
puncak bukit.
Setelah mendengar perintah tuannya, maka empat orang menteri dan para
rakyat itu langsung pergi ke puncak bukit. Tanpa butuh waktu lama, akhirnya
mereka sampai di puncak bukit. Seketika itu juga, Djohan Perkasa dan Laila
Ambora melihat rakyat-rakyat tersebut. Maka datanglah keempat meteri
tersebut menghampiri Djohan Perkasa serta menanyakan alasan membakar
bukit dan memberitahukan bahwa hukuman membakar bukit ini adalah
dipenggal batang lehernya. Laila Ambora mendengar kata-kata itu dan
langsung menghampiri empat menteri tersebut serta berkata bahwa menteri
itu tidak berhak melarangnya membakar bukit ini dan menantang jika Raja
Kalunjinta marah dan datang ke bukit maka akan dibakar juga tubuhnya.
Keempat menteri itu pun sangat marah mendengar perkataan Laila Ambora
dan menyuruh rakyatnya menangkap Djohan Perkasa dan Laila Ambora.
Mendengar perintah tuannya maka lima ratus rakyat tersebut langsung
mengerubungi Djohan Perkasa dan Laila ambora dengan membawa
senjatanya masing-masing. Melihat lima ratus rakyat yang mengeruminya
maka Djohan Perkasa mengeluarkan pedang yang ia dapat dari Brahmana dan
Laila Ambora menghunuskan Kastayudana yang ia terima dari naga.
Bagaikan seorang juara pemotong ketimun, Djohan Perkasa melenyapkan
semua rakyat yang ada di kanan, kiri, depan, dan belakangnya. Hanya dengan
44
sekejap saja, mayat-mayat sudah bertimbun-timbunan, dan darah seperti air
sungai mengalir. Jikalau ada sepuluh atau dua puluh rakyat yang berjejer
maka habis dengan sekejap. Begitu pula dengan Laila Ambora yang dengan
senjata besinya dapat menghancurkan tulang dengan sekali pukul. Djohan
Perkasa dan Laila Ambora saat itu sangat marah sehingga menghabisi
lawannya tanpa ampun.
Melihat banyak rakyat yang tewas, maka keempat menteri itu langsung
menghunus pedangnya masing-masing untuk mengusir Djohan Perkasa dan
Laila Ambora. Usaha tersebut dilihat oleh Djohan Perkasa dan Laila Ambora,
maka seketika itu juga keempat menteri itu dipukul oleh Laila Ambora
dengan besinya sehingga tewas dan hancur seperti sate. Melihat keempat
menterinya tewas, maka sisa lima ratus rakyat tersebut lari berhamburan
menyelamatkan diri, ada yang naik ke atas pohon kayu hingga bersembunyi
disela-sela batu. Mengetahui hal itu, tanpa pikir panjang Laila Ambora
menghabisi semua rakyat tersebut. Tiada beberapa lama Laila Ambora
menghabisi seluruh rakyat yang ada di bukit. Namun, ada satu rakyat yang
berhasil melarikan diri terbang ke bukit batu hitam.
Ketika Raja Kalunjintaka sedang berkumpul dengan saudaranya Ladra
Gumpita, Menteri, dan hulubalang maka sampailah satu rakyat yang berhasil
melarikan diri dari pertempuran dengan Djohan Perkasa dan Laila Ambora itu
di istana. Setelah melihat rakyatnya datang menyembah dalam keadaan
menangis, maka Raja Kalunjintaka bertanya alasan tangisannya dan
keberadaan teman-temannya. Rakyat itu pun menjelaskan bahwa semua
teman-temannya mati terbunuh oleh dua orang manusia tersebut dan jika dia
tidak melarikan diri secepat mungkin maka dia juga bisa terbunuh. Setelah
mendengar hal itu, Raja Kalunjintaka sangat marah bagai seekor ular yang
melilit dan bertanya dari mana asal datangnya kedua manusia tersebut dan
apa tujuannya. Maka jawab rakyat satu itu bahwa dia tidak tahu dengan pasti
maksud kedatangannya namun dia mendengar bahwa salahsatu manusia itu
pernah dibuang oleh Raja Kalunjintaka ke sungai sampai pada ke pusar laut.
45
Mengetahui hal tersebut, maka raja sangat marah sampai wajahnya
merah bagaikan api yang menyala hingga semua yang ada di hadapannya
merasa takut melihat wajah raja. Maka raja memerintahkan Ladra Gumpita
untuk segera mengumpulkan rakyat dan pergi ke bukit. Beberapa lama
kemudian, raja Kalunjintaka beserta rakyatnya tiba di bukit. Melihat
kedatangan Raja Kalunjintaka dan rakyatnya yang sangat banyak maka
Djohan perkasa meminta bantuan kepada Danta peri dan rakyatnya untuk
berperang dengan tentara dari Raja Kalunjintaka.
Kedua tentara dari pihak Djohan Perkasa dan Raja Kalunjintaka akhirnya
berperang dengan hebat. Para hantu, jin, dan setan membawa senjatanya
masing-masing berupa kayu dan batu begitu pula tentara Danta peri. Suasana
perang pun sangat ramai, banyak sorak-sorai yang terdengar dari dua tentara
tersebut dan saling mengusir satu sama lain. Melihat pertempuran yang
semakin memanas maka salah satu tentara yang bernama Laku Duli
memutuskan untuk terbang ke udara dan menghabisi tentara dari pihak Raja
Kalunjintaka. Semua tentara Raja Kalunjintaka lari ketakutan, hal ini
menimbulkan rasa marah dari pahlawan jin yang bernama pangeran Rangga
Bajang. Ia menghempaskan rambutnya dan mengubah diri menjadi besar,
maka Pangeran Rangga Bajang mengangkat para tentara Danta Peri seperti
ayam dan melemparnya.
Melihat para tentaranya berlarian ketakutan karena melihat keganasan
Pangeran Rangga Bajang, maka Danta Peri mengubah dirinya menjadi besar
pula. Mereka berdua bertemu dan Danta Peri mengusir Pangeran Ranngga
Bajang untuk pergi dari bukit.
B. Unsur Intrinsik Hikayat Panca Logam
1. Tema
Tema yang terdapat pada Hikayat Panca Logam jika dilihat dari segi
sudut pandang adalah tema tradisional. Tema tradisional merupakan
tema yang berkaitan dengan kebenaran dan kejahatan. Dalam Hikayat
46
Panca Logam, tema tradisional dapat dibuktikan dengan perilaku tokoh
dalam cerita. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai Laila Ambora, kita bakar
saja bukit ini dengan begitu ia akan datang karena melihat
banyak asap”. Mendengar ide dari Djohan Perkasa maka Laila
Ambora setuju dan langsung membakar bukit tersebut dengan
menggunakan besi karsani yang diberi nama kastayu yujana.1
Kutipan di atas menjelaskan bahwa perilaku jahat manusia terhadap
lingkungan yang menjadi salah satu pendukung tema tradisional. Selain
perilaku jahat, tema tradisional biasanya mengangkat kisah pertempuran
dan kerajaan. Makna cerita fiksi biasanya memiliki lebih dari satu yang
disebut dengan tema mayor dan minor.
Pada Hikayat Panca Logam, tema utama atau mayor adalah hubungan
manusia, alam, dan makluk lainnya yang ada di bumi. Jadi, tema utama
Hikayat Panca Logam adalah kesombongan manusia dalam menguasai
alam dan kemarahan alam pada kesombongan manusia. Hal tersebut
tampak pada kutipan berikut:
Maka dibakarnya semua yang ada dibukit itu, mulai dari pohon
kayu, buah-buahan, dan semua pohon yang ada di puncak bukit.
Laila Ambora sangat sakit hati kepada Raja Kalunjintaka hingga
membakar semua bukit dan mengakibatkan banyaknya asap
yang berterbangan di udara.2
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tindakan manusia terhadap alam
sangatlah tidak terpuji. Mengutamakan ego dan hawa nafsunya, manusia
merusak alam yang tidak bersalah. Membakar hutan yang seharusnya
tidak dilakukan menyebabkan polusi udara yang dapat berdampak bagi
kehidupan manusia pada masa tersebut dan masa yang akan datang.
Akibat dari pembakaran hutan, maka pengarang menjelaskan bahwa di
bumi ini tidak hanya manusia yang hidup namun ada golongan lain yang
juga mendapat dampak dari sikap manusia terhadap lingkungan.
1 Hikayat Panca Logam, h. 2
2 Ibid, h. 3
47
Raja Kalunjintaka yang berada di bukit Batu Hitam sedang
berkumpul dengan palaranya yang bernama Ladra Gumpita,
rakyat, hulubalang, jin, setan dan semua yang berada di bawah
pemerintahannya melihat asap yang ada di udara.3
Raja Jin yang ada dalam cerita merupakan salah satu makluk yang
mendapatkan dampak dari pembakaran bukit. Raja jin ini digambarkan
sebagai penghuni bukit tersebut dan ia sangat marah melihat manusia
merusak alam. Selain penghuni bumi, Tuhan atau Dewa juga merasa
marah dengan sikap manusia yang merusak lingkungan. Hal tersebut
tampak pada kutipan berikut:
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan dari
para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari. Pangeran
Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta mengubah
dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan menangkap para
peri seperti menangkap anak ayam.4
Hikayat Panca Logam memiliki latar waktu zaman peralihan Hindu-
Islam. Hal tersebut membuat pengarang memasukan unsur Hindu pada
penceritaan seperti sebutan untuk Tuhan, Nabi, dan Ulama yang lazim
digunakan pada agama Hindu menjadi Hyang-Sukma, Pangeran,
Sembahyang, dan lain-lain.5 Pembakaran Bukit yang dilakukan oleh
manusia menyebabkan Pangeran Rangga Bajang sangat marah dan
mengakibatkan pertempuran yang lebih lebat lagi. Jadi berdasarkan
beberapa kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa tema utama atau mayor
Hikayat Panca Logam adalah hubungan sebab akibat antara manusia,
alam, dan makluk lainnya atau bisa disebut sebagai ekologi dalam sastra.
Selain tema mayor, ada tema yang disebut sebagai tema tambahan
atau minor. Tema minor pada Hikayat Panca Logam adalah pertempuran.
Tema ini sebenarnya adalah akibat dari tema mayor. Membakar bukit dan
merusak lingkungan mengakibatkan kemarahan dari penghuni bumi
3 Ibid, h. 3-4
4 Ibid, h. 15
5 Moehamad Habib Mustopp, Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur
Budaya Masa Peralihan (Yogyakarta: Jendela, 2001) h. 180
48
selain manusia bahkan sampai ke Tuhan. Hal tersebut tampak pada
beberapa kutipan berikut:
Setelah mendengar hal itu, Raja Kalunjintaka sangat marah
bagai seekor ular yang melilit…6
Sesampainya rakyat Raja Kalunjintaka di bukit, maka Ladra
Gumpita menyuruh memukul gendang perang dengan sangat
keras. Setelah kedua tentara itu saling berhadapan sambil
menghunus pedangnya masing-masing. Serelah bertemu,
mereka pun saling bertikam-tikaman, berpanah-panahan, dan
bertembak-tembakan.7
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan dari
para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari. Pangeran
Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta mengubah
dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan menangkap para
peri seperti menangkap anak ayam.8
Berdasarkan beberapa kutipan di atas, pertempuran terjadi sangat
dasyat dan melibatkan semua pasukan dari kedua kelompok tersebut.
Penceritaan diakhiri dengan terusirnya Pangeran Rangga Bajang oleh
Danta Peri. Pengarang mengakhiri cerita dengan menangnya pihak para
pembakar hutan. Hal ini rupanya menggambarkan bahwa sesungguhnya
Tuhan yang diumpamakan sebagai Pangeran, selalu memberikan
kesempatan kepada manusia. Melalui pertempuran tersebut, sebenarnya
Tuhan hanya memberikan teguran bukan pembalasan.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang saling terikat.
Tokoh merupakan pelaku atau orang yang ada pada cerita, sedangkan
penokohan merupakan sikap para tokoh. Tokoh dan penokohan yang
terdapat pada Hikayat Panca Logam, sebagai berikut:
a. Djohan Perkasa
Secara fisiologis, Djohan Perkasa digambarkan sebagai sosok laki-
laki kuat dan tangguh yang menjadi teman dari Laila Ambora. Dilihat
6 Hikayat Panca Logam, Op.Cit, h. 10
7 Ibid, h. 12
8 Ibid, h. 15
49
dari aspek sosiologisnya, Djohan Perkasa merupakan seorang kesatria.
Apabila dilihat dari perkembangan plot, Djohan Perkasa merupakan
tokoh utama. Djohan Perkasa adalah tokoh yang selalu diceritakan dan
berhubungan dengan tokoh lain sekaligus mempengaruhi perkembangan
plot.
Bagai seorang juara pemotong ketimun, Djohan Perkasa
melenyapkan semua rakyat yang ada di kanan, kiri, depan, dan
belakangnya. Hanya dengan sekejap saja, mayat-mayat sudah
bertimbun-timbunan, dan darah seperti air sungai mengalir.9
Dalam kutipan tersebut, Djohan Perkasa digambarkan sebagai
sosok yang sangat tangguh dan pemberani dalam perang hal ini juga
membuktikan aspek psikolosis Djohan Perkasa. Djohan Perkasa juga
termasuk kategori tokoh statis yang artinya tidak berubah-ubah sikap atau
wataknya.
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai Laila Ambora, kita bakar
saja bukit ini dengan begitu ia akan datang karena melihat
banyak asap”.10
Dalam kutipan tersebut, bahwa Djohan Perkasa termasuk kategori
tokoh Protagonis anti hero. Hal ini dikarenakan dari kutipan ide tersebut
mengakibatkan pertempuran dalam cerita. Ia mempengaruhi Laila
Ambora untuk membakar bukit yang mengakibatkan kemarahan Raja
Kalunjintaka sehingga menimpulkan pertempuran. Sikap protagonis anti
hero ini merupakan sikap yang mendukung tema cerita.
b. Laila Ambora
Dalam hikayat ini tokoh Laila Ambora secara fisiologi
digambarkan sebagai perempuan tangguh dan mudah emosi. Dilihat dari
aspek sosiologisnya, Laila Ambora merupakan ksatria. Apabila dilihat
dari perkembangan plotnya maka Laila Ambora adalah tokoh utama
namun Laila Ambora tidak mempengaruhi plot secara nyata.
Begitu pula dengan Laila Ambora yang dengan senjata besinya
dapat menghancurkan tulang dengan sekali pukul. Djohan
9 Ibid, h. 7
10 Ibid, h. 2
50
Perkasa dan Laila Ambora saat itu sangat marah sehingga
menghabisi lawannya tanpa ampun.11
Kutipan di atas menggambarkan sikap Laila Ambora yang pemarah
karena menghabisi ratusan rakyat Raja Kalunjintaka tanpa ampun. Laila
Ambora juga merupakan sosok yang mudah terpengaruh oleh Djohan
Perkasa. Hal ini tergambar dari persetujuan Laila Ambora pada ide
Djohan Perkasa untuk membakar bukit.
Mendengar ide dari Djohan Perkasa maka Laila Ambora setuju
dan langsung membakar bukit tersebut dengan menggunakan
besi karsani yang diberi nama kastayu yujana.12
Dalam kutipan tersebut dapat dipahami bahwa Laila Ambora
menyetujui ide Djohan Perkasa yang secara jelas dapat merusak
lingkungan dan seharusnya sebagai manusia Laila Ambora dapat
memilih cara lain yang tidak merusak lingkungan.
Mengetahui hal itu, tanpa pikir panjang Laila Ambora
menghabisi semua rakyat tersebut. Tiada beberapa lama Laila
Ambora menghabisi seluruh rakyat yang ada di bukit.
Dalam kutipan tersebut, Laila Ambora termasuk kategori tokoh
antagonis. Awal cerita sampai akhir cerita, Laila Ambora digambarkan
sebagai tokoh protagonis yang artinya tokoh ini mendukung tema cerita.
c. Raja Kalunjintaka
Raja Kalunjintaka secara fisiologi digambarkan sebagai Jin laki-
laki yang kuat dan menyeramkan. Secara jelas, aspek sosiologinya
digambarkan pada tokoh ini yaitu Raja Jin yang menguasai bukit batu
hitam.
Ketika Raja Kalunjintaka sedang berkumpul dengan saudaranya
Ladra Gumpita, Menteri, dan hulubalang maka sampailah satu
rakyat yang berhasil melarikan diri…13
11
Ibid, h. 4 12
Ibid, h. 3 13
Ibid, h. 3-4
51
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh ini adalah Raja yang
memiliki menteri, hulubalang, dan rakyat yang berada di bawah
kepemimpinannya. Raja Kalunjintaka merupakan raja yang mudah marah
dan menyeramkan sehingga tidak ada satupun yang berani memandang
wajahnya saat ia marah.
Mengetahui hal tersebut, maka raja sangat marah sampai
wajahnya merah bagaikan api yang menyala hingga semua
yang ada dihadapannya merasa takut melihat wajah raja.14
Apabila dilihat dari segi perkembangan plot sebenarnya Raja
Kalunjintaka tidak begitu mempengaruhi. Raja Kalunjintaka merupakan
tokoh tambahan karena dalam cerita, Raja Kalunjintaka hanya
diceritakan dibeberapa situasi saja. Tokoh ini termasuk dalam kategori
tokoh statis karena tidak mengalami perubahan perilaku hingga cerita
mencapai tahap akhir. Tokoh ini juga merupakan tokoh antagonis karena
sikapnya yang menentang tema cerita.
d. Empat Menteri
Dalam penceritaan, ada tokoh yang selalu disebut secara
bersamaan yaitu empat menteri. Tokoh ini terdiri dari empat orang yang
tidak diberikan namanya masing-masing. Jika dilihat dari sosiologis,
empat menteri ini merupakan tokoh laki-laki yang berada di bawah
pimpinan Raja Kalunjintaka dan memiliki sikap yang patuh terhadap
Rajanya.
Setelah mendengar perintah tuannya, maka empat orang
menteri dan para rakyat itu langsung pergi ke puncak
bukit. Tanpa butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai
di puncak bukit itu.15
Kutipan di atas membuktikan bahwa empat menteri tersebut
merupakan sosok yang patuh atas perintah rajanya. Kepatuhan tersebut
disebabkan karena keempat menteri adalah menteri kerajaan yang juga
14
Ibid, h. 11 15
Ibid, h. 5
52
membuktikan aspek psikologis. Dilihat dari perkembangan plot, empat
menteri ini tidak terlalu mempengaruhi perkembangan plot karena tokoh
ini merupakan tokoh tambahan.
Keempat materi itu pun sangat marah mendengar
perkataan Laila Ambora yang juga menantang lima ratus
rakyat untuk bisa menangkapnya.16
Melihat banyak rakyat yang tewas, maka keempat menteri
itu langsung menghunus pedangnya masing-masing untuk
mengusir Djohan Perkasa dan Laila Ambora.17
Kedua kutipan di atas membuktikan bahwa tokoh empat menteri
ini merupakan tokoh antagonis. Semua perilaku yang dilakukan tokoh ini
atas dasar patuh terhadap kerajaannya dan rajanya. Tokoh ini juga
merupakan tokoh statis.
e. Ladra Gumpita
Secara fisiologi, tokoh ini merupakan laki-laki yang memiliki
sikap patuh terhadap rajanya. Dilihat dari aspek sosiologinya, Ladra
Gumpita merupakan saudara dari Raja Kalunjintaka yang juga bekerja di
istana sebagai kepercayaan raja.
Ketika Raja Kalunjintaka sedang berkumpul dengan
saudaranya Ladra Gumpita, Menteri, dan hulubalang …18
…perintah Raja Kalunjintaka kepada Ladra Gumpita.
Maka segera Ladra Gumpita melihat sumber datangnya
asap tersebut setelah dilihatnya ternyata asap tersebut
datang dari puncak bukit.19
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Ladra Gumpita yang
merupakan saudara dari Raja Kalunjintaka juga tetap mematuhi perintah
Rajanya. Mengumpulkan rakyat untuk berperang dilakukan Ladra
Gumpita guna mengikuti perintah Rajanya. Ladra Gumpita juga
16
Ibid, h. 6 17
Ibid, h. 8 18
Ibid, h. 3-4 19
Ibid, h. 4
53
merupakan tokoh antagonis. Karena ia merupakan tokoh yang menentang
tema cerita.
f. Rakyat
Dalam hikayat ini, ada tokoh yang hanya disebut sebagai rakyat
untuk mewakili ratusan orang. Secara fisiologi tidak digambarkan secara
jelas jenis kelamis dari tokoh ini. Jika dilihat dari aspek sosilogis maka
sudah jelas bahwa tokoh ini adalah kumpulan rakyat suatu kerajaan jin.
Mendengar hal tersebut, maka Raja Kalunjintaka segera
memerintahkan empat orang menteri dan lima ratus rakyat untuk
pergi ke puncak bukit itu.20
…maka sampailah satu rakyat yang berhasil melarikan diri dari
pertempuran dengan Djohan Perkasa dan Laila Ambora itu di
istana. Setelah melihat rakyatnya datang menyembah dalam
keadaan menangis …21
Kutipan di atas menjelaskan bahwa rakyat yang dimaksud
adalah jumlah orang yang terdiri lebih dari lima ratus. Namun, jika hanya
satu orang saja tetap disebut sebagai rakyat. Tokoh rakyat juga
merupakan tokoh yang sangat patuh pada perintah-perintah yang
ditujukan padanya.
Apabila dilihat dari perkembangan plot, rakyat merupakan tokoh
tambahan. Tokoh yang hanya ada jika pertempuran terjadi. Tokoh rakyat
juga merupakan kategori tokoh protagonis yang keberadaannya tidak
terlalu berpengaruh dalam penceritaan.
g. Danta Peri
Secara fisiologi, Danta Peri merupakan sosok peri yang perkasa.
Jika dilihat dari aspek sosiologi, Danta Peri merupakan peri yang sangat
patuh pada Djohan Perkasa dan memiliki banyak rakyat.
Bersembah sujud Danta peri di kaki Djohan Perkasa dan
berkata, “apakah pekerjaan yang bisa hamba lakukan hingga
tuanku memanggil hamba dan rakyat hamba?”22
20
Ibid, 4-5 21
Ibid, h. 9 22
Ibid, h. 13
54
Setelah mendengar hal tersebut maka Danta peri berkata, “iya
tuanku, hamba akan menanggung hal tersebut” maka seluruh
rakyat Danta peri bersiap dengan senjatanya masing-masing.23
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Danta Peri sangat patuh
kepada Djohan Perkasa. Membantu pertempuran Djohan Perkasa dengan
Raja Kalunjintaka serta membawa rakyatnya. Apabila dilihat dari
perkembangan plot, maka Danta Peri merupakan tokoh tambahan. Tokoh
yang hadir hanya saat puncak pertempuran.
h. Pangeran Rangga Bajang
Secara Fisiologi, Pangeran Rangga Bajang merupakan sosok
setan laki-laki yang gagah dan perkasa. Dilihat dari aspek sosiologi,
Pangeran Rangga Bajang merupakan Pahlawan dari kaum setan.
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan dari
para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari.24
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Pangeran Rangga Bajang
merupakan Pahlawan para setan yang memiliki sikap gagah dan pemarah
dilihat dari perkembangan plot, Pangeran Rangga Bajang merupakan
tokoh tambahan yang dibuat untuk melawan Danta Peri dan membantu
Raja Kalunjintaka. Pangeran Rangga Bajang termasuk kategori antagonis
karena sikapnya yang menentang tema dalam cerita. Kemunculannya
yang tidak signifikan dalam cerita membuatnya tidak banyak diceritakan.
3. Latar
a. Latar Tempat
Latar tempat merupakan keterangan lokasi peristiwa yang terjadi
dalam cerita. Dalam Hikayat Panca Logam, latar tempat yang digunakan
hanya ada dua yaitu bukit dan bukit batu hitam.
1) Bukit
Dalam cerita, lokasi bukit ini merupakan tempat terjadinya segala
peristiwa. Awal penceritaan pertemuan Djohan Perkasa dan Laila
Ambora terjadi di bukit ini. Berikut kutipannya :
23
Ibid, h. 13 24
Ibid, h. 15
55
Saat berkeliling di pucak bukit, Laila Ambora melihat
sebuah pohon tinggi yang memiliki buah lebat dan bisa
dijadikan obat. Setelah melihat pohon tersebut, Laila
Ambora berpikir untuk meminta kepada dewa Brahmana
agar dirinya dijadikan seekor monyet.25
Melihat seekor monyet yang sangat menggemaskan,
Djohan Perkasa langsung memanahnya dengan anak panah
yang diberi nama Tersura Dewa. Anak panah itu mengenai
pinggang monyet tersebut dan menjatuhkannya.26
Saat berkeliling bukit, Laila Ambora menjelma menjadi seekor
monyet dan dilihat oleh Djohan Perkasa. Sejak saat itu, mereka
bertemu dan merencanakan pembalasan dendam kepada Raja
Kalunjintaka. Pembalasan dendam berupa pertempuran juga terjadi di
bukit ini. Berikut kutipannya :
Sesampainya rakyat Raja Kalunjintaka di bukit, maka Ladra
Gumpita menyuruh memukul gendang perang dengan sangat
keras. Setelah kedua tentara itu saling berhadapan sambil
menghunus pedangnya masing-masing. Setelah bertemu, mereka
pun saling bertikam-tikaman, berpanah-panahan, dan
bertembak-tembakan.27
Sesuai dengan paragraf pembuka hikayat ini, semua peristiwa
memang terjadi di bukit yang sering kali pengarang sebut sebagai
puncak bukit namun tidak dituliskan nama bukitnya.
2) Bukit Batu Hitam
Bukit Batu Hitam bisa dikatakan sebagai istana Raja jin. Semua
jin, setan, dan hantu tinggal di Bukit Batu Hitam. Raja Kalunjintaka
dan Rakyatnya tinggal di Bukit Batu Hitam.
Raja Kalunjintaka yang berada di bukit Batu Hitam sedang
berkumpul dengan palaranya yang bernama Ladra
Gumpita, rakyat, hulubalang, jin, setan dan semua yang
berada di bawah pemerintahannya …28
25
Ibid, h. 1 26
Ibid, h. 1 27
Ibid, h. 12 28
Ibid, h. 3-4
56
Namun, ada satu rakyat yang berhasil melarikan diri
terbang ke bukit batu hitam. Ketika Raja Kalunjintaka
sedang berkumpul dengan saudaranya Ladra Gumpita,
Menteri, dan hulubalang maka sampailah satu rakyat yang
berhasil melarikan diri dari pertempuran dengan Djohan
Perkasa dan Laila Ambora itu di istana.29
Kutipan di atas menjelaskan bahwa peristiwa yang berhubungan
dengan Raja Kalunjintaka serta pengikutnya lebih banyak di Bukit
Batu Hitam. Perkumpulan Raja dengan para jajaran istana terjadi di
Bukit Batu Hitam, dikumpulkannya lima ratus rakyat, pengaduan
rakyat terhadap peristiwa di bukit, dan kemarahan Raja karena
pembakaran bukit juga diceritakan di lokasi yang sama.
b. Latar Waktu
Latar waktu adalah keterangan kapan peristiwa dalam cerita ini
terjadi. Selain penjelasan tentang pagi, siang, sore, dan malam,
penggunaan waktu dapat membantu menguatkan kejadian nyata yang
ada pada cerita. Dalam Hikayat Panca Logam latar waktu
digambarkan secara tidak langsung atau tersirat.
Dalam Hikayat Panca Logam menampilkan latar waktu dari
awal sampai akhir cerita yaitu zaman peralihan Hindu Islam karena di
dalam cerita masih terdapat unsur-usur Hindu dan Islam. Unsur Hindu
yang terdapat pada cerita ini dibuktikan dengan kutipan berikut :
Setelah melihat pohon tersebut, Laila Ambora berpikir
untuk meminta kepada dewa Brahmana agar dirinya
dijadikan seekor monyet. Seketika itu juga, Laila Ambora
berubah menjadi seekor monyet dan langsung memanjat
pohon tersebut serta menikmati buahnya.30
Berdasarkan kutipan tersebut jelas diketahui penjelmaan orang
menjadi binatang merupakan unsur Hindu. Unsur Hindu lain adalah
adanya raksasa atau penjelmaan sebagai ular, naga, garuda, dan
29
Ibid, h. 9 30
Ibid, h. 1
57
raksasa ketika terjadinya peperangan menunjukkan pengaruh Hindu.31
Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan berikut:
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan
dari para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari.
Pangeran Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta
mengubah dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan
menangkap para peri seperti menangkap anak ayam.32
Kutipan di atas menjelaskan bawa adanya unsur Hindu dengan
berubahnya Pangeran Rangga Bajang menjadi raksasa untuk menakuti
pasukan lawan. Mengubah diri menjadi raksasa juga dilakukan oleh
Danta Peri yang pada akhirnya berhasil mengusir Pangeran Rangga
Bajang beserta pasukannya. Unsur adanya mukjizat dan pertolongan
terhadap tokoh utama merupakan unsur sastra zaman peralihan,
berikut kutipannya:
Setelah mendengar perkataan Laila Ambora maka Djohan
Perkasa segera membuat kemalakikumat yang diperoleh
dari naga dan seketika itu datanglah peri yang bernama
Danta serta para rakyatnya.33
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh utama yaitu Djohan
Perkasa mendapatkan bantuan dari Danta Peri untuk berperang dengan
pasukan Raja Kalunjintaka yang pada saat itu memiliki pasukan yang
sangat banyak. Unsur Islam yang terlihat dalam cerita ini yaitu
penggunaan nama pahlawan atau tokoh yang sudah menunjukan nama
Islam. Menurut Liaw Yock Fang, dikatakan bahwa ciri sastra zaman
peralihan itu setelah Islam masuk memberi nama Islam kepada
pahlawan ceritanya.34
Cerita ini mengisahkan tentang Djohan Perkasa dan Laila
Ambora yang berperang dengan peri di atas bukit.35
31
Nikmah dan Putri Minerva, Hikayat Panca Logam I (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1988) h. 4 32
Hikayat Panca Logam, Op.Cit, h. 15 33
Ibid, h. 13 34
Nikmah dan Putri Minerva, Op.Cit, h. 5 35
Hikayat Panca Logam, Op.Cit, h. 1
58
Kutipan di atas menjelaskan bahwa nama kedua tokoh utama
sudah menggunakan nama Islam seperti Djohan dan Laila.
c. Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Latar sosial pada
umumnya mencakup tentang keadaan masyarakat, status sosial,
kebiasaan hidup, adat-istiadat, cara berpikir masyarakat, dan bahasa.
Dalam Hikayat Panca Logam tampak gambaran kebiasaan
hidup masyarakat terhadap alam sekitar. Kebiasaan ini sudah ada
sejak jaman dahulu seperti menebang pohon di hutan secara bebas,
membuang sampah di sungai, dan pembakaran bukit. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan berikut:
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai Laila Ambora, kita
bakar saja bukit ini dengan begitu ia akan datang karena
melihat banyak asap”. Mendengar ide dari Djohan Perkasa
maka Laila Ambora setuju dan langsung membakar bukit
tersebut dengan menggunakan besi karsani yang diberi
nama kastayu yujana.36
Selanjutnya latar sosial dalam cerita berupa cara berpikir
masyarakat. Tampak pada kutipan berikut:
Setelah mendengar hal itu, Raja Kalunjintaka sangat
marah bagai seekor ular yang melilit..37
Kutipan di atas menjelaskan bahwa cara pikir masyarakat pada
saat itu mengenai hukum alam. Jika manusia merusak alam maka
Dewa atau Tuhan akan marah melalui ciptaan lainnya seperti jin.
Masyarakat saat itu percaya bahwa di bukit tidak hanya dihuni oleh
tumbuhan ataupun hewan namun juga oleh jin, hantu, dan setan.
36
Ibid, h. 2 37
Ibid, h. 10
59
4. Plot
Alur yang digunakan pada Hikayat Panca Logam ini adalah alur
maju. Penceritaan diawali dengan tahap penyituasian, yaitu tahap
pelukisan tokoh dan situasi latar. Tahap ini digambarkan dengan
memperkenalkan Djohan Perkasa dan Laila Ambora yang akan
berperang di atas bukit bersama peri. Tokoh utama sudah diperkenalkan
di awal penceritakan, begitu pula dengan latar yang akan menjadi pusat
penceritaan. Berikut kutipannya:
Cerita ini mengisahkan tentang Djohan Perkasa dan Laila Ambora
yang berperang dengan peri di atas bukit.38
Pada suatu hari, Djohan Perkasa dan Laila Ambora berkeliling
puncak bukit. Saat berkeliling di pucak bukit, Laila Ambora
melihat sebuah pohon tinggi yang memiliki buah lebat dan bisa
dijadikan obat.39
Kedua kutipan di atas merupakan tahapan penyituasian. Pengenalan
tokoh utama dan penggambaran latar yang dijelaskan bahwa di atas bukit
banyak sekali pohon-pohon yang memiliki buah lebat. Kedua, tahap
pemunculan konflik yang artinya pada tahap ini awal terbentuknya
konflik. Tahap ini digambarkan dengan pembakaran bukit yang
dilakukan oleh Djohan Perkasa dan Laila Ambora yang menimbulkan
kemarahan Raja Kalunjintaka. Pembakaran bukit tersebut sebenarnya
beermaksud untuk memanggil Raja Kalunjintaka dan membalaskan
dendam Laila Ambora kepadanya.
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai Laila Ambora, kita bakar saja
bukit ini dengan begitu ia akan datang karena melihat banyak
asap”. Mendengar ide dari Djohan Perkasa maka Laila Ambora
setuju dan langsung membakar bukit tersebut dengan
menggunakan besi karsani yang diberi nama kastayu yujana.40
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pemunculan awal konflik terjadi
karena rencana yang disarankan oleh Djohan Perkasa karena cerita Laila
38
Ibid, h. 1 39
Ibid, h. 1 40
Ibid, h. 2
60
Ambora yang ingin membalas dendam kepada Raja Kalunjintaka.
Pembakaran bukit yang dilakukan kedua tokoh utama ini menimbulkan
kemarahan Raja Kalunjintaka yang pada akhirnya mengirimkan empat
menteri dan lima ratus rakyatnya.
Ketiga, tahap peningkatan konflik seperti peristiwa-peristiwa yang
semakin mencekam setelah tahapan sebelumnya muncul. Dalam cerita
ini, tahap peningkatan konflik terjadi saat Djohan Perkasa dan Laila
Ambora membunuh semua rakyat Raja Kalunjintaka dan empat menteri.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan Raja Kalunjintaka dan
keputusannya untuk melaksanakan perang.
Melihat keempat menterinya tewas, maka sisa lima ratus rakyat
tersebut lari berhamburan menyelamatkan diri, ada yang naik ke
atas pohon kayu hingga bersembunyi disela-sela batu. Mengetahui
hal itu, tanpa pikir panjang Laila Ambora menghabisi semua rakyat
tersebut. Tiada beberapa lama Laila Ambora menghabisi seluruh
rakyat yang ada di bukit.41
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Laila Ambora dan Djohan
Perkasa telah menghabisi semua wakil yang dikirim oleh Raja
Kalunjintaka untuk membunuh kedua manusia itu.
Mengetahui hal tersebut, maka raja sangat marah sampai wajahnya
merah bagaikan api yang menyala hingga semua yang ada
dihadapannya merasa takut melihat wajah raja. Maka berkata raja
kepada Ladra Gumpita, “hai Ladra Gumpita, segera kumpulkan
semua rakyat hari ini untuk pergi ke bukit! Akan aku putar-putar
itu dua manusia”. Ladra Gumpita langsung pergi untuk
mengumpulkan rakyat.42
Awal hal yang membuat konflik semakin meningkat adalah
kemarahan Raja Kalunjintaka terhadap sikap Djohan Perkasa dan Laila
Ambora yang membunuh pasukannya. Keempat, tahap klimaks yaitu titik
konflik yang paling puncak. Dalam cerita ini klimaks konflik berada pada
saat perang terjadi di atas bukit antara pasukan Djohan Perkasa dan
pasukan Raja Kalunjintaka.
41
Ibid, h. 8 42
Ibid, h. 11
61
Sesampainya rakyat Raja Kalunjintaka di bukit, maka Ladra
Gumpita menyuruh memukul gendang perang dengan sangat keras.
Setelah kedua tentara itu saling berhadapan sambil menghunus
pedangnya masing-masing. Setelah bertemu, mereka pun saling
bertikam-tikaman, berpanah-panahan, dan bertembak-tembakan.43
Dalam kutipan tersebut, perang sudah dimulai dengan tanda
pemukulan gendang yang dilakukan para jin, setan, dan hantu. Kedua
pasukan tentara saling membunuh satu sama lain. Selain hal ini, konflik
klimaks juga terjadi sampai datangnya Pangeran Rangga Bajang yang
mengubah dirinya menjadi raksasa guna mengusir pasukan Danta Peri
dari pihak Djohan Perkasa dan Laila Ambora.
Pangeran Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta
mengubah dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan
menangkap para peri seperti menangkap anak ayam.44
Tahap terakhir, tahap penyelesaian konflik dalam cerita. Tahap
penyelesaian ini terjadi saat Danta Peri merasa marah melihat tindakan
Pangeran Rangga Bajang yang menakuti para rakyatnya dan memaksa
untuk menyerah.
Para peri merasa takut setelah melihat perbuatan Pangeran Rangga
Bajang dan mulai melarikan diri. Setelah melihat hal tersebut,
Danta Peri akhirnya memutuskan untuk berubah membesarkan diri
dan mengusir Pangeran Rangga Bajang itu.45
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Danta Peri sangat marah dan
pada akhirnya memutuskan untuk mengubah dirinya menjadi raksasa dan
mengusir Pangeran Rangga Bajang beserta pasukannya.
Perbedaan plot berdasarkan urutan waktu. Urutan waktu yang
dimaksud adalah urutan waktu peristiwa yang diceritakan. Dilihat dari
uraian di atas, maka cerita Hikayat Panca Logam merupakan plot lurus
(progresif). Jika dituliskan dalam bentuk skema, plot progresif akan
berwujud sebagai berikut:
43
Ibid, h. 14 44
Ibid, h. 15 45
Ibid, h. 16
62
A B C D E
Simbol A melambangkan tahapan penyituasian cerita, B – C – D
melambangkan kejadian yang adapada tahap pemunculan konflik,
peningkatan konflik, dan klimaks konflik. Kemudian diakhiri dengan
lambang E sebagai tahap penyelesaian.
Selain plot dibedakan berdasarkan waktu, plot juga dapat dibedakan
berdasarkan kepadatannya. Dalam cerita Hikayat Panca Logam,
berdasarkan kepadatannya yaitu plot padat karena penyajian ceritanya
cepat dan peristiwa yang terjadi susul-menyusul antarperistiwa terjalin
secara erat.
5. Sudut Pandang
Pada Hikayat Panca Logam menggunakan sudut pandang persona
ketiga yaitu “Diaan” yang memposisikan narator di luar cerita
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata
ganti. Penceritaan ini menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia”
mahatahu. Pengarang mengetahui segala seluk-beluk yang terjadi pada
tokoh.
Setelah melihat pohon tersebut, Laila Ambora berpikir untuk
meminta kepada dewa Brahmana agar dirinya dijadikan seekor
monyet. Seketika itu juga, Laila Ambora berubah menjadi seekor
monyet dan langsung memanjat pohon tersebut serta menikmati
buahnya.46
Mengetahui hal tersebut, maka raja sangat marah sampai wajahnya
merah bagaikan api yang menyala hingga semua yang ada
dihadapannya merasa takut melihat wajah raja.47
Kedua kutipan di atas menjelaskan bahwa pengetahuan pengarang
sebagai orang ketiga mahatahu dapat meliputi pikiran dan perasaan yang
dirasakan tokoh. Selain itu, pengarang juga mengetahui percakapan
tokoh dan perbuatan tokoh.
46
Ibid, h. 1 47
Ibid, h. 11
63
6. Gaya Bahasa
Pada Hikayat Panca Logam terdapat dua gaya bahasa yang
digunakan oleh pengarang dalam penceritaan. Sebenarnya bahasa yang
digunakan dalam hikayat ini adalah bahasa Melayu klasik yang masih
cukup dapat dimengerti. Berikut gaya bahasa yang ada pada Hikayat
Panca Logam :
a. Majas Simile
Simile adalah sebuah majas yang memepergunakan kata-kata
pembanding langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu
yang dibandingkan dengan pembandingnya. Majas simile
mempergunakan kata-kata tugas tertentu, misalnya kata-kata seperti,
bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, bak, dan sebagainya. Majas
tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
Mengetahui hal tersebut, maka raja sangat marah sampai
wajahnya merah bagaikan api yang menyala hingga semua
yang ada dihadapannya merasa takut melihat wajah raja.48
Bagai seorang juara pemotong ketimun, Djohan Perkasa
melenyapkan semua rakyat yang ada di kanan, kiri, depan,
dan belakangnya. Hanya dengan sekejap saja, mayat-
mayat sudah bertimbun-timbunan, dan darah seperti air
sungai mengalir.49
Setelah mendengar hal itu, Raja Kalunjintaka sangat
marah bagai seekor ular yang melilit…50
Kutipan di atas menggambarkan perumpamaan yang terjadi di
dalam cerita. Beberapa tokoh atau lebih banyak yang menjadi tokoh
perumpamaan adalah Raja Kalunjintaka karena perbuatannya selalu
dibandingkan dengan ular, api, dan semua yang menakutkan.
b. Hiperbol
Gaya bahasa ini juga ada dalam penceritaan hikayat “Panca
Logam”. Adapun kutipannya:
48
Ibid, h. 11 49
Ibid, h. 4 50
Ibid, h. 10
64
Usaha tersebut dilihat oleh Djohan Perkasa dan Laila Ambora,
maka seketika itu juga keempat menteri itu dipukul oleh Laila
Ambora dengan besinya sehingga tewas dan hancur seperti
sate.51
Kutipan di atas menjelaskan hal yang berlebihan pada peristiwa
atau perkataan tokoh dalam cerita. Seseorang yang dipukul dengan
besi mana mungkin bisa berubah menjadi sate.
7. Amanat
Amanat yang dapat diambil dari Hikayat Panca Logam adalah
mencintai sesama makhluk hidup dan lingkungan. Manusia sebagai
makhluk yang berakal, seharusnya menjadi contoh atau menjadi ciptaan
Tuhan yang memiliki sikap terpuji. Sikap terpuji tersebut tidak hanya
ditujukan kepada sesama manusia namun juga dengan alam dan
lingkungan sekitar. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:
Maka Djohan Perkasa berkata, “hai Laila Ambora, kita
bakar saja bukit ini dengan begitu ia akan datang karena
melihat banyak asap”. Mendengar ide dari Djohan Perkasa
maka Laila Ambora setuju dan langsung membakar bukit
tersebut dengan menggunakan besi karsani yang diberi
nama kastayu yujana.52
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sikap manusia yang kurang
terpuji dengan membakar bukit yang merupakan salah satu ciptaan Tuhan
yang harus dijaga dan dirawat. Sikap tidak terpuji tersebut menimbulkan
kemarahan dari makhluk lain yang ada di bumi. Jadi Hikayat Panca
Logam sebenarnya ingin memberitahukan bahwa sebagai makhluk
ciptaan Tuhan harus saling menjaga satusama lain. Hubungan manusia
dengan alam juga harus dalam keadaan baik dan tidak merugikan pihak
mana pun.
51
Ibid, h. 8 52
Ibid, h. 2
65
C. Prinsip-Prinsip Ekologi dalam Hikayat Panca Logam
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Hikayat Panca Logam,
dapat ditemukan bentuk kontradiktif interaksi para tokoh terhadap alam dan
lingkungan sekitar pada masa ditulisnya Hikayat ini dengan kehidupan masa
sekarang. Pada Hikayat Panca Logam juga dapat ditemukan penggambaran
latar yang digunakan sebagai landasan cerita.
a. Pelukisan Latar oleh Pengarang
Pelukisan latar oleh tokoh digunakan dalam penceritaan Hikayat
Panca Logam. Bentuk interaksi terhadap lingkungan dan alam juga
dapat telihat jelas pada tokoh dalam Hikayat Panca Logam. Hikayat
Panca Logam merupakan karya sastra kuno yang berisikan hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Menceritakan tokoh-tokoh yang
sangat dekat dengan alam yang digambarkan dengan latar bukit. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut:
Laila Ambora melihat sebuah pohon tinggi yang memiliki
buah lebat dan bisa dijadikan obat.53
Kutipan di atas menjelaskan bahwa di atas bukit terdapat pohon-
pohon yang berukuran tinggi dan memiliki buah yang sangat lebat juga
nikmat. Tokoh menjelaskan bahwa ia mengerti buah-buah yang tumbuh
di atas bukit merupakan buah yang selain nikmat juga sehat. Selain
memahami lingkungan di atas bukit, tokoh juga memanfaatkan
lingkungan.
Laila Ambora berpikir untuk meminta kepada dewa
Brahmana agar dirinya dijadikan seekor monyet. Seketika itu
juga, Laila Ambora berubah menjadi seekor monyet dan
langsung memanjat pohon tersebut serta menikmati
buahnya.54
Tokoh Laila Ambora memanfaatkan buah yang tumbuh di atas
bukit untuk mengisi perutnya yang lapar mencari Raja Kalunjintaka.
Pemanfaatan buah yang tumbuh di atas bukit merupakan bukti bahwa
53
Ibid, h. 1 54
Ibid, h. 1
66
adanya hubungan yang sangat erat antara manusia dan lingkungan.
Pemanfaatan lingkungan juga tidak hanya dilakukan oleh manusia
namun juga oleh makluk lainnya seperti Raja Jin.
Raja Kalunjintaka yang berada di bukit Batu Hitam sedang
berkumpul dengan palaranya yang bernama Ladra Gumpita,
rakyat, hulubalang, jin, setan dan semua yang berada di
bawah pemerintahannya melihat asap yang ada di udara.55
Tokoh yang juga memanfaatkan lingkungan atau alam salah
satunya Raja Kalunjintaka. Memanfaatkan atas bukit sebagai istananya
yang juga diisi oleh ratusan rakyatnya. Hikayat Panca Logam
menjelaskan bahwa yang hidup di bumi ini tidak hanya manusia dan
makluk hidup lainnya namun juga makluk yang berasal dari dunia lain
juga menempati bumi. Jika dilihat pada masa sekarang, masyarakat
yang mempercayai hal tersebut sepertinya sudah mulai berkurang.
Masyarakat saat ini kurang percaya adanya makhluk yang menghuni
hutan.
b. Perbuatan Tokoh
Pemanfaatan lingkungan dan perbuatan tokoh terhadap lingkungan
dapat membawa pembaca memahami tentang watak tokoh tersebut.
Perbuatan tokoh tersebut dapat berupa menebang pohon, berburu, dan
membuka lahan. Dalam Hikayat Panca Logam, tokoh utama sangat
menonjolkan perbuatan yang dilakukan pada lingkungan alam.
Maka dibakarnya semua yang ada di bukit itu, mulai dari
pohon kayu, buah-buahan, dan semua pohon yang ada di
puncak bukit. Laila Ambora sangat sakit hati kepada Raja
Kalunjintaka hingga membakar semua bukit dan
mengakibatkan banyaknya asap yang berterbangan di udara.56
Melihat seekor monyet yang sangat menggemaskan, Djohan
Perkasa langsung memanahnya dengan anak panah yang
diberi nama Tersura Dewa. Anak panah itu mengenai
pinggang monyet tersebut dan menjatuhkannya.57
55
Ibid, h. 3-4 56
Ibid, h. 3 57
Ibid, h. 2
67
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Djohan Perkasa
berkerja sama dengan Laila Ambora membakar bukit karena
kepentingan pribadi tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya.
Pembakaran bukit disarankan oleh Djohan Perkasa kepada Laila
Ambora dikarenakan keinginan balas dendam Laila Ambora pada Raja
Kalunjintaka. Selain membakar bukit, Djohan Perkasa juga memburu
binatang-binatang di atas bukit. Pemburuan bintang yang dilakukan
juga merupakan hal yang melanggar hubungan manusia dengan makluk
hidup lainnya.
Hikayat Panca Logam merupakan karya sastra yang ditulis pasa
masa bergejolaknya industrialisasi di Indonesia. Dalam penceritaan
sebenarnya pengarang menggambarkan bahwa sebagai seorang manusia
pada saat ini haruslah menjadi penguasa atas segalanya termaksud pada
alam. Penebangan pohon dan pembakaran hutan merupakan hal yang
harus dilakukan oleh manusia pada masa tersebut. Namun jika
dibandingkan dengan masa sekarang, perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang salah atau dapat dikatakan sangan kontradiktif antara
penceritaan dengan keadaan saat ini.
Ketelitian dalam mengamati lingkungan juga tergambarkan pada
Hikayat Panca Logam. Hampir semua tokoh dalam cerita memiliki
ketelitian dalam mengamati situasi lingkungan alam.
Saat berkeliling di pucak bukit, Laila Ambora melihat
sebuah pohon tinggi yang memiliki buah lebat dan bisa
dijadikan obat. Setelah melihat pohon tersebut, Laila
Ambora berpikir untuk meminta kepada dewa Brahmana
agar dirinya dijadikan seekor monyet.58
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Laila Ambora mengamati
keadaan alam di atas bukit. Ia memperhatikan beberapa tumbuhan
dan menemukan satu pokon yang memiliki buah sangat lebat dan
nikmat. Selain Laila Ambora, tokoh lain juga memperhatikan
kelestarian lingkungan di atas bukit batu hitam.
58
Ibid, h. 1
68
“Hai Landra Gumpita, coba engkau lihat dari mana asap di
udara itu datang!” perintah Raja Kalunjintaka kepada
Ladra Gumpita.59
Raja Kalunjintaka merupakan tokoh yang digambarkan sebagai
seorang raja yang sangat memperhatikan lingkungan daerah
kekuasaannya. Tokoh ini sangat marah saat mengetahui bahwa
lingkungan dekat istananya mengalami kebakaran dan dilakukan
oleh manusia.
Latar belakang sosial budaya juga mempengaruhi faktor terjadinya
hubungan manusia dengan alam. Beberapa permasalahan alam sering
terjadi secara tidak sengaja ataupun disengaja. Pembakaran bukit yang
terdapat dalam Hikayat Panca Logam adalah permasalahan lingkungan
yang disengaja atas dasar kepentingan pribadi. Kemarahan yang dirasakan
oleh Laila Ambora kepada Raja Kalunjintaka mengakibatkan pembakaran
bukit dan polusi udara. Hal tersebut didasari atas kepentingan pribadi yang
dapat dikategorikan pada latar belakang sosial.
Selain itu, mitos juga dimasukkan dalam penceritaan Hikayat Panca
Logam. Mitos yang digunakan sebenarnya juga merupakan kepercayaan
masyarakat Hindu yang pada saat itu masih terdapat di Indonesia. Mitos
yang sangat terlihat dalam cerita Hikayat Panca Logam adalah penghuni
atas bukit yang merupakan sosok Jin, Hantu, dan Setan.
Setelah mendengar hal itu, Raja Kalunjintaka sangat marah bagai
seekor ular yang melilit dan berkata, “dari mana datangnya kedua
manusia itu dan apa maksudnya datang kesini?.60
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sosok Jin yang menjaga Bukit
sangat marah melihat ulah manusia yang merusak lingkungan dengan
membakar bukit. Kemarahan Raja Jin juga memicu kemarahan Pangeran
Rangga.
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan dari
para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari. Pangeran
59
Ibid, h. 4 60
Ibid, h. 10
69
Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta mengubah
dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan menangkap para peri
seperti menangkap anak ayam.61
Panggilan pangeran dalam Hikayat Panca Logam sebenarnya
menunjuk pada Tuhan. Kata Pangeran dalam masyarakat Hindu
merupakan panggilan atau nama lain dari Tuhan.62
Karma yang didapatkan
oleh Manusia dengan membakar bukit adalah kemarahan Tuhan yang
membuat pasukan manusia harus melawan atau berperang dengan pasukan
Tuhan.
Prinsip ekologi yang ada pada Hikayat Panca Logam adalah adanya
hubungan timbal balik seperti yang dilakukan oleh tokoh Laila Ambora
dan Djohan Perkasa yang membakar bukit atas latar belakang kepentingan
pribadi.
Maka dibakarnya semua yang ada dibukit itu, mulai dari pohon
kayu, buah-buahan, dan semua pohon yang ada di puncak bukit.
Laila Ambora sangat sakit hati kepada Raja Kalunjintaka hingga
membakar semua bukit dan mengakibatkan banyaknya asap yang
berterbangan di udara.63
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pembakaran bukit atau pencemaran
lingkungan secara sengaja dilakukan atas latar belakang kepentingan
pribadi. Peristiwa ini menimbulkan reaksi yang tidak baik karena
kemarahan raja jin yang ada pada bukit tersebut. Selain menceritakan
tentang hubungan manusia dengan alam, karya sastra yang mengandung
ekologi yang memiliki tujuan untuk mengajak atau memberikan pola
berpikir pada pembaca agar tetap menjaga hubungan baik dengan alam.
Ketika itu, dilihat oleh Pangeran Rangga Bajang pahlawan dari
para setan dan sangat marah melihat rakyatnya lari. Pangeran
Rangga Bajang menghempaskan rambutnya serta mengubah
dirinya menjadi sosok yang sangat besar dan menangkap para peri
seperti menangkap anak ayam.64
61
Ibid, h. 15 62
Moehamad Habib Mustopp, Kebudayaan Islam di Jawa Timur : Kajian Beberapa
Unsur Budaya Masa Peralihan (Yogyakarta : Jendela Grafika, 2001) h.242 63
Ibid, h. 3 64
Ibid, h. 15
70
Hikayat Panca Logam menjelaskan bahwa saat kesombongan manusia
terhdap alam maka Tuhan pun akan marah. Dalam Hikayat Panca Logam
yang masih menganut ajaran Hindu, Tuhan diumpamakan atau dipanggil
sebagai Pangeran. Selain pinsip ekologi sastra, Hikayat Panca Logam juga
mengandung fokus ekologi sastra seperti pencemaran, hutan belantara,
bencana, tempat tinggal, binatang, dan bumi.
Jadi, setelah menjelaskan semua interaksi yang ada dalam Hikayat
Panca Logam dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip ekologi sastra
digunakan untuk menemukan adanya kontradiktif naskah dengan masa
saat ini. Penceritaan yang terkesan memperbolehkan manusia selalu
unggul dalam segala hal termaksud pada alam jika dilihat pada masa
sekarang sebenarnya tidak sama. Sikap kesombongan manusia terhadap
alam pada saat ini sudah sangat diperhatikan oleh masyarakat luas.
Menjaga alam menjadi hal yang sangat diharuskan kepada seluruh
manusia di bumi.
D. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Karya sastra biasanya dibaca hanya untuk kesenangan di waktu luang
saja. Sebenarnya karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan. Bisa saja
karya sastra yang diciptakan merupakan penyampaian dari kehidupan atau
keadaan di sekitar kita. Selain keadaan sosial, karya sastra juga menjelaskan
hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan alam sering kali
dipandang sebelah mata.
Setiap karya sastra biasanya tercipta dari keadaan lingkungan baik sosial
maupun alam. Karya-karya yang di dalamnya menceritakan tentang hubungan
manusia dengan alam sudah ada sejak zaman sastra Melayu. Hikayat
merupakan salah satu karya sastra yang menghubungkan kesusastraan dengan
keadaan alam. Kepedulian terhadap alam harus terus ditanamkan dalam diri
setiap manusia. Maka karya sastra seperti hikayatlah yang harus terus dibaca.
Nilai kepedulian terhadap alam perlu diterapkan sejak sedini mungkin.
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat mengetahui dan
71
menumbuhkan rasa peduli lingkungan dengan membaca beberapa karya
sastra seperti hikayat. Pembelajaran ini ditujukan untuk mengetahui
pentingnya nilai-nilai yang ada di suatu karya sastra.
Prinsip kepedulian lingkungan atau ekologi dalam Hikayat Panca Logam
memperlihatkan prinsip keperdulian lingkungan. Hubungan manusia dengan
alam banyak diceritakan di dalam Hikayat Panca Logam. Oleh karena itu,
implikasi prinsip ekologi atau hubungan manusia dengan alam dapat
ditemukan dalam pembelajaran sastra Indonesia di kelas X semester 1.
Pembelajaran sastra dalam penilitian ini menggunakan Kurikulum 2013.
Pembelajaran hikayat di kelas X semester 1 dalam Mengembangkan sikap
apresiatif dalam menghayati karya sastra. Indikatornya adalah
mengidentifikasi dan menjelaskan karakteristik dan unsur intrinsik sastra
Melayu serta nilai-nilai yang terkandung dalam Hikayat. Dengan menemukan
prinsip ekologi dalam Hikayat Panca Logam diharapkan siswa mampu
merealisasikannya ke dalam kehidupan untuk diri sendiri khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
72
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam Hikayat Panca
Logam, dapat diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Naskah Hikayat Panca Logam dilakukan suntingan teks agar dapat dibaca
oleh kalangan luas. Penyuntingan teks yang telah dilaksanakan yaitu
dengan memberikan pembagian susunan kalimat dan paragraf. Selain
dilakukan penyuntingan, teks juga diberi terjemahan agar memudahkan
pembaca yang tidak terlalu memahami bahasa Melayu.
2. Prinsip Ekologi merupakan prinsip yang menjelaskan tentang hubungan
manusia dengan alam. Dalam sebuah karya sastra, prinsip ekologi berarti
penjelasan hubungan, manusia dengan alam guna mengajak para pembaca
untuk mengenal hubungan baik dengan alam. Prinsip Ekologi juga prinsip
yang harus dipahami dan diterapkan dalam kehidupan manusia dengan
lingkungan. Pembacaan kontemporer terhadap teks masa lampau dapat
menghasilkan simpulan yang kontradiktif.
3. Prinsip ekologi dalam Hikayat Panca Logam dapat diimplikasikan dalam
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Materi pembelajaran
digunakan mengenai hikayat di SMA kelas X semester 1. Standar
kompetensinya adalah membaca, dimana siswa diharapkan mampu
memahami berbagai hikayat. Kompetensi dasar yang harus dicapai adalah
menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat. Unsur ekstrinsik
hikayat yang dapat ditemukan adalah prinsip ekologi yang ada dalam
hikayat, baik dari segi pelestarian ataupun pencemaran. Pembelajaran
sastra dalam memahami hikayat diharapkan dapat membantu siswa
menentukan prinsip ekologi. Oleh karena itu, setelah pembelajaran
hikayat, siswa mengaplikasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
73
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis mengajukan beberapa
saran, yaitu:
1. Hikayat diharapkan dapat dijadikan sumber pembelajaran apresiasi sastra
Melayu klasik di sekolah, khususnya mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
2. Pembelajaran prinsip ekologi yang terdapat dalam Hikayat Panca Logam
dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra dan diharapkan dapat
dijadikan pegangan serta dimaknai dengan tindakan nyata dalam
kehidupan.
3. Sekolah hendaknya mendukung pembelajaran sastra di sekolah dengan
cara menyediakan sastra Melayu klasik berupa hikayat yang bernuansa
cinta alam.
74
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV Pustaka Prima. 1985.
Baried, Siti Barooh, dkk, Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta:Badan Penelitian
dan Publikasi Fakultas Unoversitas Gajdah Mada. 1994.
Behrend, T.E , Katalog Naskah-naskah Nuasantara Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1998.
Djamal, Zoer’aini. Prinsip-Prinsip Ekologi. Jakarta: Bumi Aksara. 2010.
Emir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.
2015.
Endraswara, Suwardi. Ekokritik Sastra. Yogyakarya: Morfalingua. 2016.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah,
dan Penerapannya. Yogyakarta: CAPS. 2016.
Endraswara, Suwardi. Sastra Ekologi: Teori dan Praktik Pengkajian. Yogyakarta:
CAPS. 2016.
Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah. 1991.
Esten, Mursa.l Kritik Sastra Indonesia. Padang:Angkasa Raya. 1984.
Fathurahman ,Oman. Filologi Indonesia Teori dan Metode,. Jakarta: Kencana
PrenadamediaGrup.2015.
Hasjim, Nafron. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.1983.
Hollander, J.J. de. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
1986.
Istanti, Kun Zachrun dk., Filologi. Tanggerang: Universitas Terbuka. 2016.
75
Kosasih , E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.
2012.
Kurniawan, Heru. Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan
Media Alo. 2007.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia. 2005.
Mustopp,Moehamad Habib. Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa
Unsur Budaya Masa Peralihan. Yogyakarta: Jendela, 2001.
Nikmah dan Putri Minerva. Hikayat Panca Logam I. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.
NS, Elis Suryani. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2012.
Nurgiyantoro, Burhan. Sastra Anak. Yogyakarta: UGM Press. 2013.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: PT. Gadjah Mada
University. 1994.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia. 2006.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1998.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. 2008.
Staton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sudardi, Bani., Dasar-Dasar Teori Filologi,. Surakarta: Badan Penerbit Sastra
Indonesia. 2001.
76
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta:Pustaka Jaya. 1988.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:Angkasa, 1993.
Waluyo,Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University
Press. 1994.
Warsiman, Pengantar Pembelajaran Sastra. Malang, UB Press. 2017.
Zahra, Siti. Filologi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2009.
ZF, Zulfahnur, dkk, Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1996.
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Lampiran II
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah : SMA KHODIJAH ISLAMIC SCHOOL
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : X / Ganjil
Materi Pokok : Hikayat
Alokasi Waktu : 2 X 40 Menit
A. Kompetensi Inti
KI 1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI 2
Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 3
Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4
Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar
Pengetahuan
3.7 Mengidentifikasi nilai-nilai da isi yang
terkandung dalam cerita rakyat (hikayat)
baik lisan maupun tulis.
Keterampilan
4.7 Menceritakan kembali isi cerita rakyat
(hikayat) yang didengar dan dibaca.
Indikator
Pengetahuan Keterampilan
3.17.1 Mengidentifikasi karakeristik
hikayat, isi, dam nilai-nilai dalam
hikayat.
4.17.1 Memahami karakeristik
hikayat, isi, dan nilai-nilai
dalam hikayat.
C. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikut proses pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:
1. Mengidentifikasi nilai-nilai dan isi yang terkandung dalam cerita rakyat (hikayat)
baik lisan maupun tulis.
2. Menceritakan kembali isi cerita rakyat (hikayat) yang didengar dan dibaca.
D. Materi pembelajaran
HIKAYAT
1. PENGERTIAN
Hikayat adalah salah satu jenis cerita rakyat yang disajikan dengan menonjolkan
unsur penceritaan berciri kemustahilan dan kesaktian tokoh-tokohnya.
2. KARAKTERISTIK/CIRI-CIRI HIKAYAT
Hikayat merupakan sebuah teks narasi yang berbeda dengan narasi lain. Adapun
karakteristik/ciri-ciri hikayat antara lain (a) terdapat kemustahilan dalam cerita, (b)
kesaktian tokoh-tokohnya, (c) anonim, (d) istana sentris, dan (e) menggunakan alur
berbingkai/cerita berbingkai.
a. Kemustahilan
Salah satu ciri hikayat adalah kemustahilan dalam teks, baik dari segi bahasa maupun
dari segi cerita. Kemustahilan berarti hal yang tidak logis atau tidak bisa dinalar.
b. Kesaktian
Selain kemustahilan, seringkali dapat kita temukan kesaktian para tokoh dalam
hikayat.
c. Anonim
Anonim berarti tidak diketahui secara jelas nama pencerita atau pengarang. Hal
tersebut disebabkan cerita disampaikan secara lisan. Bahkan, dahulu masyarakat
mempercayai bahwa cerita yang disampaikan adalah nyata dan tidak ada yang sengaja
mengarang.
d. Istana Sentris
Maksudnya hikayat seringkali bertema dan berlatar kerajaan.
3. NILAI-NILAI DALAM HIKAYAT
Hikayat banyak memiliki nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan tersebut dapat berupa
nilai religius (agama), moral, budaya, sosial, edukasi (pendidikan), dan estetika
(keindahan).
4. UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DALAM HIKAYAT
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang
mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti: (a) tema, (b) tokoh dan penokohan,
alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri
yang menyangkut sosiologi, psikologi, dan lain-lain.
5. KATA ARKAIS (KUNO)
Hikayat merupakan karya sastra klasik, artinya usia hikayat jauh lebih tua
dibandingkan usia Negara Indonesia. Meskipun bahasa yang digunakan adalah bahasa
Indonesia (berasal dari bahasa Melayu), tidak semua kata dalam hikayat dapat
dijumpai dalam bahasa Indonesia sekarang. Kata-kata yang sudah jarang digunakan
atau bahkan sudah asing tersebut disebut sebagai kata arkais.
6. GAYA BAHASA DAN KONJUNGSI
a. Gaya Bahasa (Majas)
Penggunaan gaya bahasa (majas) dalam hikayat berfungsi untuk membuat cerita lebih
menarik jika dibandingkan menggunakan bahasa yang bermakna lugas. Ada beberapa
gaya bahasa (majas) yang sering digunakan dalam hikayat yaitu:
1) Antonomasia
Antonomasia adalah penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, gelar
resmi, dan jabatan. Contoh: Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
2) Metafora
Metafora adalah analogi yang membandingkandua hal secara langsung, tetapi dalam
bentuk yang singkat. Contoh: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan
sebagainya.
3) Hiperbola
Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang
berlebihan. Contoh: Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak aku.
4) Perbandingan atau Simile
Perbandingan atau Simile adalah gaya bahasa (majas) yang membandingkan suatu hal
dengan hal lainnya menggunakan kata penghubung atau kata pembanding. Contoh:
seperti, laksana, bak dan bagaikan.
b. Konjungsi (Kata Penghubung)
Konjungsi yang digunakan dalam hikayat menggunakan konjungsi yang menyatakan
urutan waktu dan kejadian dalam menceritakan peristiwa atau alur. Contoh: “Pada...
Sebelum... Lalu...”, “Ketika... Selanjutnya...”
E. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Scientific Learning
Model Pembelajaran : Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan)
F. Media/alat, Bahan
Media :
Worksheet atau lembar kerja (siswa)
lembar penilaian
Cetak: buku
Manusia dalam lingkungan: guru.
Alat/Bahan :
Spidol, papan tulis
G. Sumber Belajar
Buku penunjang kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia, Kelas X,
Kemendikbud, tahun 2016
Pengalaman peserta didik dan guru
H. Kegiatan Pembelajaran
Tahap Langkah-langkah Pembelajaran Aloksi
Waktu
Kegiatan
Awal
1. Peserta didik merespon salam tanda
mensyukuri anugerah Tuhan dan saling
mendoakan. (PPK)
2. Peserta didik merespon pertanyaan dari
guru berhubungan dengan pembelajaran
sebelumnya (tanya jawab).
3. Peserta didik menyimak kompetensi dan
tujuan pembelajaran yang akan dicapai
dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-
hari
4. Peserta didik mendiskusikan informasi
dengan proaktif tentang keterkaitan
pembelajaran sebelumnya dengan
pembelajaran yang akan dilaksanakan.
5. Peserta didik menerima informasi tentang
hal-hal yang akan dipelajari, metode dan
media, langkah pembelajaran dan
penilaian pembelajaran
10 menit
Kegiatan
Inti
Sintak Model
Pembelajaran Langkah-langkah Pembelajaran
Aloksi
Waktu
Stimulation Mengamati 65 menit
(Pemberian
Ransangan)
1. Kelas dibagi menjadi 3 kelompok, peserta
didik duduk sesuai kelompoknya
(heterogen, 4-5 orang). (4C)
2. Masing-masing kelompok mengamati dan
membaca hikayat dengan teliti dan
bertanggung jawab. (Literasi)
Problem Statement
(Mengidentifikasi
Masalah)
3. Siswa memperhatikan karakeristik hikayat
dengan teliti dan bertanggung jawab.
Menanya
1. Siswa diberikan kesempatan untuk
bertanya mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan karakteristik hikayat.
Data Collecting
(Mengumpulkan
Data)
Mengumpulkan Informasi
Siswa bekerja sama dalam kelompok dan
berbagi tugas untuk mencari informasi
atau data pendukung mengenai
karakeristik hikayat.
Siswa berbagi tugas untuk mengategorikan
data yang terkumpul ke dalam karakeristik
hikayat.
Data Processing
(Mengolah Data)
Mengasosiasi
Siswa berdiskusi dalam kelompok untuk
mengelompokkan karakeristik hikayat
hasil tukar gagasan bersama.
Siswa mencoba menyimpulkan dan
mengestimasikan karakeristik hikayat yang
dibahas.
Verification
(Memverifikasi)
Mengomunikasikan
1. Setiap kelompok mempresentasikan hasil
Generalization
(Menyimpulkan)
diskusinya di depan kelas, sedangkan
kelompok lain melakukan penilaian dan
membandingkan dengan hasil diskusi
antar kelompok secara kritis. (4C)
2. Siswa mengomentari atau menyampaikan
pengorganisasian informasi berupa
karakeristik hikayat.
Catatan:
Selama pembelajaran berlangsung, cara mengamati sikap siswa dalam pembelajaran
yang meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri, berperilaku jujur, tangguh
menghadapi masalah tanggung jawab, rasa ingin tahu, dan peduli lingkungan.
Kegiatan
Penutup
Kegiatan guru bersama peserta didik
1. Membuat rangkuman/ simpulan
pelajaran.
2. Melakukan refleksi terhadap kegiatan
yang sudah dilaksanakan.
3. Memberikan umpan balik terhadap
proses dan hasil pembelajaran; dan
Kegiatan guru
1. Melakukan penilaian.
2. Memberikan tugas kepada peserta didik
untuk banyak membaca hikayat lainnya.
3. Menyampaikan rencana pembelajaran
yang akan dilakukan selanjutnya.
4. Menutup kegiatan belajar mengajar.
10 menit
I. Penilaian Pembelajaran dan Pengayaan
1. Teknik Penilaian
a. Pengetahuan
(1) Jenis Tagihan : Tugas kelompok, diskusi
(2) Bentuk Instrumen : Soal uraian
b. Keterampilan
(1) Jenis Tagihan : menceritakan kembali hikayat yang dibaca.
(2) Bentuk Instrumen : Rubik penilaian hasil
2. Instrumen Penilaian
a. Teknik Jurnal
Jurnal Pengembangan Sikap Sosial
Nama Sekolah : SMA PLUS KHODIJAH ISLAMIC SCHOOL
Kelas/ Semester : X/I
Tahun Pelajaran : 2019/2020
Kompetensi Dasar
Mengidentifikasi nilai-nilai da isi yang
terkandung dalam cerita rakyat (hikayat)
baik lisan maupun tulis.
Nama Peserta Didik :
Tanggal :
Indikator PENILAIAN
Kurang baik Cukup baik Sangat baik
Mengidentifikasi karakeristik hikayat, isi,
dam nilai-nilai dalam hikayat.
Memahami karakeristik hikayat, isi, dan
nilai-nilai dalam hikayat.
Dicapai melalui: Komentar Guru :
Pertolongan Guru
Kelompok Kecil
Sendiri
Komentar Orang Tua
Jakarta, 9 September 2019
Mengetahui
Kepala SMA KHADIJAH Guru Mata Pelajaran
USMAN,M.Pd Syarifah Bulan A.A
.NIP/NRK.
TENTANG PENULIS
Syarifah Bulan Alifiah Assegaf lahir di Jakarta pada tanggal 6
April 1996. Wanita perpaduan Arab ini adalah anak ke dua dari
dua bersaudara. Peneliti yang memiliki hobi berorganisasi ini
menempuh pendidikan awal di SDN 02 Ceger, SMPN 160 Jakarta,
dan SMAN 58 Jakarta. Kemudian melanjutkan pendidikan S1 di
Universitas Islam Negeri Jakarta. Bidang studi yang dipilih adalah
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sejak sekolah menengah pertama, penulis menyuka bidang bahasa.
Selama menempuh pendidikan sarjana, penulis juga terlibat dalam beberapa organisasi kampus
seperti Pojok Seni Tarbiyah dan Dewa Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.