Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

61
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 - 636 - Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia (Studi Kasus:Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015) Bony Septian Pandjaitan 1,*) dan Andersen Panjaitan 2 1 Stasiun Meteorologi Klas I Sepinggan Balikpapan, BMKG 2 Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit, BMKG *) E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRAK-Satelit yang digunakan untuk mendeteksi sebaran asap beserta pergerakannya umumnya mempunyai jenis polar orbital dengan resolusi spasial yang bagus dan mepunyai banyak jumlah kanal panjang gelombang,namun lemah dalam resolusi temporal. Sedangkan, jenis satelit geostationary orbital (Satelit MTSAT) dapat menghasilkan citra tiap jam dalam 1 hari, namun hanya memiliki jumlah 5 kanal yang menyebabkan satelit MTSAT kurang maksimal mendeteksi asap. Satelit Himawari 8 yang sudah beroperasi pada tahun 2015 sebagai penerus satelit MTSAT memiliki 16 kanal dan menghasilkan data tiap 10 menit. Pada makalah ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan satelit Himawari 8 dalam mendeteksi asap dengan studi kasus wilayah Sumatera dan Kalimantan pada September 2015. Data yang digunakan terdiri dari data satelit Himawari 8 tiap 10 menit, data modis level 1B satelit Terra dan Aqua, data laporan cuaca stasiun cuaca BMKG, dan data hotspot. Pada kajian ini, penulis membandingkan hasil citra RGB false colour (1 kanal visible dan 2 kanal Near Infrared)antara satelit Himawari 8 dengan modis satelit Terra dan Aqua, lalu setelah itu membandingkannya terhadap data laporan asap dari stasiun cuaca BMKG dan sebaran hotspot. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan pola citra yang hampir sama antara citra RGB false colourHimawari 8 dengan RGB false colourmodis yaitu pola kecoklatan untuk asap yang terdiri dari kombinasi kanal 3 (0,64μm) dengan nilai 0,2 – 0,55 sebagai komponen merah, kanal 4 (0,86μm) dengan nilai 0,3 – 0,58 sebagai komponen hijau, dan kanal 6 (2,3μm) nilai 0,04 – 0,21 sebagai komponen biruserta lokasinya yang sesuai dengan laporan asap dari stasiun cuaca dan data hotspot. Kata kunci:Asap, himawari 8, satelit, kanal visibel, kanal near infrared ABSTRACT–TheSatellites which are often used to detect the spread of smoke and movement generally have polar orbital types which have good spatial resolution and have more number of channel wavelengths but weak in temporal resolution. Meanwhile, the type of geostationary orbital satellite (MTSAT Satellite) can produce images per hour in 1 day but it only has 5 channels that cause the MTSAT is not optimal to detect the smoke. Himawari 8 who is already operating in 2015 as a successor to the MTSAT satellite has 16 channels, and produce data every 10 minutes. In this paper, the authors tried to assess the ability of satellite Himawari 8 in detecting smoke with the case studies in Sumatra and Kalimantan in September 2015. The data of this reserach consist of Himawari 8 satellite data every 10 minutes, the level 1B data of MODIS Terra and Aqua satellites, the weather report data of BMKG weather station, and hotspot data. On this study, the authors compared the results of RGB false color image (1visible channel and 2 Near Infraredchannel) between Himawari 8 and Terra-Aqua satellites and then compared it to the smoke report data from BMKG weather stations and hotspot data. Based on the results of the study showed a similar pattern image between RGB false color image of Himawari 8 with the RGB false color of MODIS that result brownish pattern for smoke which consist of a combination of channel 3 (0,64μm) with the value of 0.2 to 0.55 as the red component , channel 4 (0,86μm) with the value of 0.3 to 0.58 as a green component, and channel 6 (2,3μm) with the value of 0.04 to 0.21 as the blue component and then the location is coresponding to the report of smoke from a weather station and hotspot data. Keywords: Smoke, himawari 8, satellite, visible channel, near infrared channel 1. PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana yang sering berulang terjadi setiap tahun di wilayah Indonesia mulai dari jaman pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan (Dephut, 2013). Wilayah Indonesia yang sering terjadi kebakaran hutan maupun lahan yang berada di PulauSumatera antara lain adalah Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, sedangkan yang beradadi Pulau Kalimantan antara lain adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. (Bahri 2002; Zubaidah et al. , 2014). Periode bulan terjadinya kebakaran lahan dan hutan di Indonesia biasanya terjadipada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus,September, dan Oktober, maupun pada masaperalihan atau transisi (Bahri 2002; Rianawati, 2005; Syaufina dan Sukmana, 2008). Kondisi tersebut akan semakin buruk apabila saat bersamaan dengan ORAL PRESENTATION

Transcript of Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Page 1: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 636 -

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah

Indonesia (Studi Kasus:Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015)

Bony Septian Pandjaitan1,*) dan Andersen Panjaitan2

1Stasiun Meteorologi Klas I Sepinggan Balikpapan, BMKG 2Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit, BMKG

*)E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK-Satelit yang digunakan untuk mendeteksi sebaran asap beserta pergerakannya umumnya mempunyai jenis polar orbital dengan resolusi spasial yang bagus dan mepunyai banyak jumlah kanal panjang gelombang,namun lemah dalam resolusi temporal. Sedangkan, jenis satelit geostationary orbital (Satelit MTSAT) dapat menghasilkan citra tiap jam dalam 1 hari, namun hanya memiliki jumlah 5 kanal yang menyebabkan satelit MTSAT kurang maksimal mendeteksi asap. Satelit Himawari 8 yang sudah beroperasi pada tahun 2015 sebagai penerus satelit MTSAT memiliki 16 kanal dan menghasilkan data tiap 10 menit. Pada makalah ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan satelit Himawari 8 dalam mendeteksi asap dengan studi kasus wilayah Sumatera dan Kalimantan pada September 2015. Data yang digunakan terdiri dari data satelit Himawari 8 tiap 10 menit, data modis level 1B satelit Terra dan Aqua, data laporan cuaca stasiun cuaca BMKG, dan data hotspot. Pada kajian ini, penulis membandingkan hasil citra RGB false colour (1 kanal visible dan 2 kanal Near Infrared)antara satelit Himawari 8 dengan modis satelit Terra dan Aqua, lalu setelah itu membandingkannya terhadap data laporan asap dari stasiun cuaca BMKG dan sebaran hotspot. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan pola citra yang hampir sama antara citra RGB false colourHimawari 8 dengan RGB false colourmodis yaitu pola kecoklatan untuk asap yang terdiri dari kombinasi kanal 3 (0,64μm) dengan nilai 0,2 – 0,55 sebagai komponen merah, kanal 4 (0,86μm) dengan nilai 0,3 – 0,58 sebagai komponen hijau, dan kanal 6 (2,3μm) nilai 0,04 – 0,21 sebagai komponen biruserta lokasinya yang sesuai dengan laporan asap dari stasiun cuaca dan data hotspot.

Kata kunci:Asap, himawari 8, satelit, kanal visibel, kanal near infrared

ABSTRACT–TheSatellites which are often used to detect the spread of smoke and movement generally have polar orbital types which have good spatial resolution and have more number of channel wavelengths but weak in temporal resolution. Meanwhile, the type of geostationary orbital satellite (MTSAT Satellite) can produce images per hour in 1 day but it only has 5 channels that cause the MTSAT is not optimal to detect the smoke. Himawari 8 who is already operating in 2015 as a successor to the MTSAT satellite has 16 channels, and produce data every 10 minutes. In this paper, the authors tried to assess the ability of satellite Himawari 8 in detecting smoke with the case studies in Sumatra and Kalimantan in September 2015. The data of this reserach consist of Himawari 8 satellite data every 10 minutes, the level 1B data of MODIS Terra and Aqua satellites, the weather report data of BMKG weather station, and hotspot data. On this study, the authors compared the results of RGB false color image (1visible channel and 2 Near Infraredchannel) between Himawari 8 and Terra-Aqua satellites and then compared it to the smoke report data from BMKG weather stations and hotspot data. Based on the results of the study showed a similar pattern image between RGB false color image of Himawari 8 with the RGB false color of MODIS that result brownish pattern for smoke which consist of a combination of channel 3 (0,64μm) with the value of 0.2 to 0.55 as the red component , channel 4 (0,86μm) with the value of 0.3 to 0.58 as a green component, and channel 6 (2,3μm) with the value of 0.04 to 0.21 as the blue component and then the location is coresponding to the report of smoke from a weather station and hotspot data.

Keywords: Smoke, himawari 8, satellite, visible channel, near infrared channel

1. PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana yang sering berulang terjadi setiap tahun di wilayah Indonesia mulai dari jaman pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan (Dephut, 2013). Wilayah Indonesia yang sering terjadi kebakaran hutan maupun lahan yang berada di PulauSumatera antara lain adalah Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan, sedangkan yang beradadi Pulau Kalimantan antara lain adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. (Bahri 2002; Zubaidah et al., 2014). Periode bulan terjadinya kebakaran lahan dan hutan di Indonesia biasanya terjadipada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus,September, dan Oktober, maupun pada masaperalihan atau transisi (Bahri 2002; Rianawati, 2005; Syaufina dan Sukmana, 2008). Kondisi tersebut akan semakin buruk apabila saat bersamaan dengan

ORAL PRESENTATION

Page 2: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 637 -

kemunculan fenomena El Nino Southern Oscillation(ENSO) seperti yang terjadi pada tahun1997, 2002, 2004, dan 2006 (Adiningsih et al. 2008). Kejadian kebakaran hutan dan lahan menghasilkan penyebaran asap yang merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Yuningsih, 2015).

Kemajuan ilmu pengetahuan alam dan teknologi pada periode sekarang ini mempermudah manusia untuk memantau penyebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya dengan memanfaatkan satelit cuaca maupun lingkungan. Banyak penelitian untuk memantau penyebaran asap dengan menggunakan satelit yang telah dilakukan antara lain oleh Tjahjaningsih et al. (2005), Xie et al. (2009), dan masih banyak lagi. Namun, hampir semua penelitian tersebut menggunakan pemanfaatan data satelit dengan jenis polar orbital yang bagus pada resolusi spasial dan punya banyak jumlah kanal panjang gelombang namun kurang bagus dalam resolusi temporal.Sedangkan, jenis satelit geostationer orbital misalnya satelit MTSAT bisa menghasilkan citra tiap jam dalam 1 hari namun hanya memiliki jumlah 5 kanal yang menyebabkan satelit MTSAT kurang maksimal dalam mendeteksi asap. Walaupun begitu, Satelit Himawari 8 yang sudah beroperasi pada tahun 2015 sebagai penerus satelit MTSAT telah memiliki 16 kanal dan menghasilkan data tiap 10 menit (JMA, 2015). Oleh karena itu, pada penelitian ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan satelit Himawari 8 dalam mendeteksi asap dengan menggunakan teknik RGBfalse colour yaang sudah biasa dilakukan untuk data modis satelit Terra-Aqua dengan mengambil studi kasus wilayah Sumatera dan Kalimantan pada bulan September 2015.

1.1 Sensor MODIS Terra dan Aqua

MODIS merupakan salah satu sensor utama dalam sistem pengamatan bumi dari NASA (National Aeronautics and Space Administration) yang berada pada Satelit Terra dan Satelit Aqua (Barnes et al., 2002; Salomonson et al., 2002). Satelit Terra dan Aqua dioperasikan dalam polar orbital pada ketinggian 705 km.

MODIS melakukan pengamatan bumi dengan 36 kanal, yang mencakup rentang panjang gelombang 0,4-14,2 μm antara lain VIS, NIR, Short- and Middle- Wavelength Infrared (SMIR), danLong- Wavelength Infrared (LWIR)(Che et al., 2005). MODIS memiliki 3 resolusi spasial yang berbeda yaitu 250 m (Band 1-2), 500 m (Band 3-7), dan 1 km (Band 8-36). MODIS adalah sebuah cross-track scanning radiometerdengan dua sisi cermin scan yang berotasi pada rentang sudut scan ± 55o, menghasilkan cakupan 2.330 km dalam arah scan dan 10 km di trek arah setiap scan (Xiong et al., 2007).

Tabel 1. Karakteristik Kanal Panjang GelombangModis (Sumber: http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php)

Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang (μm)

Resolusi (km) Jenis Panjang gelombang

Land/Cloud/AerosolsBoundaries 1 0,620 –0,670 0,25 Vis

2 0,841 –0,876 0,25 NIR

Land/Cloud/Aerosols Properties 3 0,459 –0,479 0,50 Vis

4 0,545 – 0,565 0,50 Vis

5 1,230 – 1,250 0,50 NIR

6 1,628 – 1,652 0,50 NIR

7 2,105 – 2,155 0,50 NIR

Ocean Color/Phytoplankton/Biogeochemistry 8 0,405 – 0,420 1,00 Vis

9 0,438 – 0,448 1,00 Vis

10 0,483 – 0,493 1,00 Vis

Page 3: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 638 -

11 0,526 – 0,536 1,00 Vis

12 0,546 – 0,556 1,00 Vis

13 0,662 – 0,672 1,00 Vis

14 0,673 – 0,683 1,00 Vis

15 0,743 – 0,753 1,00 NIR

16 0,862 – 0,877 1,00 NIR

AtmosphericWater Vapor 17 0,890 – 0,920 1,00 NIR

18 0,931 – 0,941 1,00 NIR

19 0,915 - 0,965 1,00 NIR

Surface/CloudTemperature 20 3.660 - 3.840 1,00 SMIR

21 3.929 - 3.989 1,00 SMIR

22 3.929 - 3.989 1,00 SMIR

23 4.020 - 4.080 1,00 SMIR

AtmosphericTemperature 24 4.433 - 4.498 1,00 SMIR

25 4.482 - 4.549 1,00 SMIR

Cirrus CloudsWater Vapor 26 1.360 - 1.390 1,00 SMIR

27 6.535 - 6.895 1,00 LWIR

28 7.175 - 7.475 1,00 LWIR

Cloud Properties 29 8.400 - 8.700 1,00 LWIR

Ozone 30 9.580 - 9.880 1,00 LWIR

Surface/CloudTemperature 31 10.780 - 11.280 1,00 LWIR

32 11.770 - 12.270 1,00 LWIR

Cloud TopAltitude 33 13.185 - 13.485 1,00 LWIR

34 13.485 - 13.785 1,00 LWIR

35 13.785 - 14.085 1000 LWIR

36 14.085 - 14.385 1000 LWIR

Page 4: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 639 -

1.2 Advanced Himawari Imager (AHI) Satelit Himawari 8 Satelit Himawari 8 sebagai generasi baru dari satelit MTSAT dilengkapi sensor bernama Advanced

Himawari Imager (AHI), yang memiliki resolusi temporal, spektral dan spasialnya lebih baik dibandingkan seri sebelumnya. Himawari 8 memiliki 16 kanal yang terdiridari 3 kanal visibel, 3 kanal infra merah-dekat atau near infrared (NIR) dan 10 kanal Infrared (IR). Untuk resolusispasial pada Himawari 8 terdiri dari 0.5km dan 1Km untuk kanal cahaya tampak (visible), 2 km untuk data kanal IR serta 1 km dan 2 km untuk data kanal NIR. Untuk resolusi temporal, Himawari 8 memiliki resolusi tiap 10 menit untuk pengamatan global dan 2,5 menit sekali untuk pengamatan khusus. Selain itu dengan memanfaatkan kanal yang sangat banyak yang dimiliki satelit Himawari 8, maka para penggunanya dapat membuat produk RGB (red green blue) dengan mengkombinasikan beberapa kanal (Kushardono, 2012).

Tabel 1. Karakteristik Kanal Panjang GelombangAHI

(Sumber: https://www.meted.ucar.edu/satmet/himawari_ahi)

Kanal AHI Himawari: Informasi dari Panjang Gelombang, Resolusi, dan Contoh Penggunaannya

Jenis Panjang gelombang

Kanal Panjang Gelombang

Tengah (µm)

Resolusi (km)

Contoh Penggunaan

Vis 1 0.47 1 Daytime aerosols di daratan, coastal water mapping

2 0.51 1 Water/ocean color, termasuk deteksi terhadap algal blooms; memungkinkantrue color imagery ketika dikombinaskan dengan

kanal biru dan merah (Kanal visible 1 dan 3)

3 0.64 0.5 Daytime cloud, kabut, insolasi, angin

Near-IR 4 0.86 1 Daytime vegetation, bekas kebakaran, aerosol sepanjang perairan, angin

5 1.6 2 Fase Daytime cloud-topdan ukuran partikel, salju

6 2.3 2 Daytime land/cloud properties, ukuran partikel, vegetasi, salju

SW IR 7 3.9 2 Permukaan dan awan, kabut pada malam hari, api, angin

IR (WV) 8 6.2 2 Uap air atmosfer level tinggi, angin, curah hujan

9 6.9 2 Uap air atmosfer level menengah, angin, curah hujan

10 7.3 2 Uap air level rendah, angin, SO2

LW IR 11 8.6 2 Total water untuk stabilitas, fase awan, dust, SO2, curah hujan

12 9.6 2 Total column ozone, turbulensi, angin

13 10.4 2 Permukaan dan awan

14 11.2 2 Imagery, sea surface temperature (SST), awan, curah hujan

15 12.4 2 Total column water vapor, ash, SST

16 13.3 2 Suhu udara, tinggi dan jumlah awan

SW: Shortwave LW: Longwave WV: Water vapor

Page 5: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 640 -

2. METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: a. Data satelit Himawari 8 kanal 3 (0,64μm), kanal 4 (0,86μm), dan kanal 6 (2,3μm) selama bulan

September 2015 dalam format sataid (.z) dari subbid pengelolaan citra satelit BMKG b. Data modis level 1B satelit Terra dan Aquaselama bulan September 2015 c. Data laporan cuaca stasiun cuaca BMKG di Sumatera dan Kalimantanselama bulan September 2015 d. Data hotspot di Sumatera dan Kalimantan selama bulan September 2015

Dalam pengolahan data satelit Himawari 8, maka digunakanlah perangkat lunak Sataid GMSLPD untuk bisa menghasilkan citra RGB kombinasi dari kanal 3, 4, dan 6. Sedangkan untuk data modis dari satelit Terra dan Aqua, maka digunakanlah perangkat lunak HYDRA agar bisa menghasilkan citra RGB kombinasi dari kanal 1, 2, dan 7.

SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis) adalah perangkat lunakyang dikembangkan JMA (Japan Meteorological Agency) yang berfungsi untuk menampilkan data binary dari satelit MTSAT menjadi suatu citra atau gambar. SATAIDtelah lama digunakan sebagai alat operasional di JMA untu kanalisis cuaca harian. Salah satu variasi dari aplikasi SATAID adalah GMSLPD yang awalnya digunakan untuk melakukan analisis siklon tropis (Tanaka, 2009). Namun dengan adanya satelit Himawari 8 sebagai generasi baru dari satelit MTSAT, maka GMSLPD juga digunakan untuk pengolahan data satelit tersebut yang memiliki 16 kanal untuk menghasilkan citra RGB.

HYDRA (Hyper-spectral dataviewer for Development of Research Applications) adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Universityof Wisconsin’s Space Science and Engineering Center (SSEC) yang berfungsi untuk mengolah dan menampilkan data multispektral dan hyperspektral dari beberapa satelit dengan jenis polar orbital (misalnya satelit Aqua dan Terra) ke dalam bentuk citra atau gambar baik citra single channel maupun citra RGB hasil kombinasi beberapa kanal satelit Terra dan Aqua (Rink et al.., 2007).

RGB (Red Green Blue) merupakan sebuah konsep model warna dimana suatu warna yang ada berasal dari 3 warna primer (primary colour) yaitu merah (red), hijau (green), dan biru (blue). Kombinasi dari 3 warna primer tersebut menghasilkan warna-warna turunan (secondary colour) kuning, magenta, cyan, coklat, hitam dan putih. Dalam pengolahan data citra satelit, teknik RGB digunakan untuk menggabungkan beberapa kanal panjang gelombang yang berbeda agar mendapatkan suatu produk citra yang berisi informasi yang lebih baik daripada yang didapatkan dari citra 1 kanal saja. Banyak jenis RGB dari kombinasi beberapa kanal yang digunakan dalam menghasilkan suatu produk informasi yang salah satunya adalah false colour RGB yang biasa digunakan pada data modis satelit Terra dan Aqua dalam mendeteksi penyebaran asap dari kebakaran lahan dan hutan dengan mengkombinasikan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru(Comet, 2013).

Alur yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan berbagai data penelitian (himawari 8, modis terra-aqua, laporan cuaca, dan hotspot) b. Melakukan pengolahan citra RGB false colour (0,65μm; 0,86μm; 2,13μm) untuk modis satelit Terra-

Aqua dengan menggunakan perangkat lunak HYDRA serta memilih tanggal dan jam citra yang memiliki pola berwarna kecokelatan di Sumatera dan Kalimantan untuk dilanjutkan dibandingkan dengan citra RGB false colour(0,64μm; 0,86μm; 2,3μm)dari satelit Himawari 8

c. Melakukan pemilihan data Himawari 8 yang memiliki tanggal dan jam yang hampir sama dengan citra RGB modis yang sudah terpilih sebelumnya.

d. Melakukan pengolahan citra RGB false colour untuk modis satelit Himawari 8 dengan menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPD serta menandai wilayah yang memiliki pola warna kecokelatan yang secara teori menunjukkan asap kebakaran hutan dan lahan

e. Membandingkan antara lokasipola kecokelatan dari produk RGB false colour Himawari 8 dengan pola kecokelatan dari RGB false colour modis, dimana bila sesuai maka pola kecokelatan yang terdapat di RGB false colour Himawari 8 merupakan pola asap kebakaran

f. Memperkuat hasil analisis pola sebaran asap hasil RGB Himawari 8 dengan data cuaca stasiun cuaca BMKG dan data sebaran hostpot.

Page 6: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 641 -

Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelittian ini yaitu wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan

(A) (B) Gambar 1. Peta lokasi penelitian. (a) Sumatera, dan (b) Kalimantan

(Sumber:www.bnpb.go.id)

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Analisis Citra RGB Himawari 8 untuk Pola Sebaran Asap Pulau Sumatera

(A) (B)

Gambar 2. Citra RGB false colourPulau Sumatera Tanggal 02 September 2015 untuk data (a)Himawari 8jam 06.50 utc dan

(b) modis Aqua jam 06.45 utc Hasil pengolahan data Himawari 8 menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPD dan pengolahan data

MODIS Aqua menggunakan perangkat lunak HYDRA untuk mewakili sampleuntuk wilayah Sumatera disajikan pada Gambar 2 dan 4. Berdasarkan Gambar 2a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasildari Himawari 8 pada tanggal 2 September 2015 jam 06.50 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 2b hasil dari MODIS Aquapada tanggal 2 September 2015 jam 06.45 utc. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colour dari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Page 7: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 642 -

Gambar 3. Peta sebaran hotspot tanggal 2 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG) Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8

merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Sumatera tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Sumatera pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Sumatera memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colour dari Himawari 8 pada Gambar 2a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Sumatera (stasiun Pekanbaru, Jambi, Rengat, dan Palembang) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 2 September 2015 jam 06.50 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Sumatera dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour.

(A) (B) Gambar 4. Citra RGB false colour Pulau Sumatera Tanggal 11 September 2015untuk data

(a) Himawari 8 jam 03.50 utc dan (b) modis Terra jam 03.45 utc.

Berdasarkan Gambar 4a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasil dari Himawari 8 pada tanggal

11 September 2015 jam 03.50 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 4b hasil dari MODIS Terrapada tanggal 11 September 2015 jam 03.45 utc. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colour dari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Page 8: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 643 -

Gambar 5. Peta sebaran hotspot tanggal 11 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG) Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8

merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Sumatera tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Sumatera pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Sumatera memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 pada Gambar 4a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Sumatera (stasiun Pekanbaru, Jambi, Rengat, dan Palembang) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 11 September 2015 jam 03.50 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Sumatera dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour.

3.2 Analisis Citra RGB Himawari 8 untuk Pola Sebaran Asap Pulau Kalimantan

(A) (B Gambar 6. Citra RGB false colour Pulau Kalimantan Tanggal 10 September 2015 untuk data

(a) Himawari 8 jam 03.00 utc dan (b) modis Terra jam 03.00 utc.

Hasil pengolahan data Himawari 8 menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPD dan pengolahan data

MODIS Terra menggunakan perangkat lunak HYDRA untuk mewakili sampleuntuk wilayah Kalimantan disajikan pada Gambar 6 dan 8.

Berdasarkan Gambar 6a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasil dari Himawari 8 pada tanggal 10 September 2015 jam 03.00 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 6b hasil dari MODIS Terrapada tanggal 10 September 2015 jam 03.00 utc di wilayah Kalimantan. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colour dari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1

Page 9: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 644 -

(0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Gambar 7. Peta sebaran hotspot tanggal 10 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG)

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Kalimantan tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Kalimantan pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Kalimantan memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 pada Gambar 6a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Kalimantan (stasiun Pangkalanbun, Palangkaraya, Muaratewe dan Sampit) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 10 September 2015 jam 03.00 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Kalimantan dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour.

(A) (B)

Gambar 8. Citra RGB false colour Pulau Kalimantan Tanggal 21 September 2015 untuk data (a) Himawari 8 jam 05.40 utc

dan (b) modis Aqua jam 05.40 utc

Berdasarkan Gambar 8a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasil dari Himawari 8 pada tanggal 21 September 2015 jam 05.40 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 8b hasil dari MODIS Aquapada tanggal 21 September 2015 jam 05.40 utc. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colour dari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Page 10: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 645 -

Gambar 9. Peta sebaran hotspot tanggal 21 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG)

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Kalimantan tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Kalimantan pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 9, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Kalimantan memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 pada Gambar 8a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Kalimantan (stasiun Pangkalanbun, Palangkaraya, Muaratewe dan Sampit) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 21 September 2015 jam 05.40 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Kalimantan dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour.

3.3 Analisis Citra RGB Himawari 8 untuk Pola Sebaran Asap Pulau Kalimantan dan

Sumatera

(A) (B) Gambar 10. Citra RGB false colour Pulau Sumatera dan Kalimantan Tanggal 8 September 2015 untuk data

(a) Himawari 8 jam 06.10 utc dan (b) modis Aqua jam 06.10 utc

Hasil pengolahan data Himawari 8 menggunakan perangkat lunak Sataid GMSLPD dan pengolahan data

MODIS Terra menggunakan perangkat lunak HYDRA untuk mewakili sampleuntuk wilayah Sumatera dan Kalimantan disajikan pada Gambar 10 dan 12.

Berdasarkan Gambar 10a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasil dari Himawari 8 pada tanggal 8 September 2015 jam 06.10 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 10b hasil dari MODIS Terra pada tanggal 8 September 2015 jam 06.10 utc di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colour dari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan

Page 11: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 646 -

kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Gambar 11. Peta sebaran hotspot tanggal 8 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG)

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Kalimantan tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Sumatera dan Kalimantan pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Kalimantan memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 pada Gambar 10a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Sumatera (stasiun Pekanbaru, Jambi, Rengat, dan Palembang) dan Kalimantan (stasiun Pangkalanbun, Palangkaraya, Muaratewe dan Sampit) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 8 September 2015 jam 06.10 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Sumatera dan Kalimantan dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour.

(A) (B) Gambar 12. Citra RGB false colour Pulau Sumatera dan Kalimantan Tanggal 22 September 2015 untuk data

(a) Himawari 8 jam 03.30 utc dan (b) modis Terra jam 03.25 utc

Berdasarkan Gambar 12a, terlihat bahwa pola dengan warna kecoklatan hasil dari Himawari 8 pada

tanggal 22 September 2015 jam 03.30 utc mempunyai pola yang menyerupai pola warna kecoklatan pada Gambar 12b hasil dari MODIS Terra pada tanggal 22 September 2015 jam 03.30 utc di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pola warna kecoklatan dari hasil citra RGB false colourdari data MODIS Terra-Aqua dengan menggabungkan kanal 1 (0,65μm) sebagai komponen merah, kanal 2 (0,86μm) sebagai komponen hijau, dan kanal 7 (2,13μm) sebagai komponen biru mengindikasikan pola keberadaan asap hasil kebakaran (Comet, 2013).

Page 12: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 647 -

Gambar 13. Peta sebaran hotspot tanggal 22 September 2015

(Sumber:Subbidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG)

Selanjutnya, untuk memperkuat hasil analisis pola kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 merupakan indikasi pola sebaran asap, maka wilayah dengan pola kecoklatan pada pulau Kalimantan tersebut dibandingkan dengan wilayah penyebaran hotspotdi Pulau Sumatera dan Kalimantan pada tanggal yang sama. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa sebaran hotspotdi Kalimantan memiliki wilayah yang hampir sama dengan wilayah kecoklatan hasil RGB false colourdari Himawari 8 pada Gambar 12a. Berdasarkan data stasiun cuaca BMKG di wilayah Sumatera (stasiun Pekanbaru, Jambi, Rengat, dan Palembang) dan Kalimantan (stasiun Pangkalanbun, Palangkaraya, Muaratewe dan Sampit) menunjukkan pada saat itu tercatat cuaca berasap.

Berdasarkan beberapa hasil analisis diatas, maka satelit Himawari 8 pada tanggal 22 September 2015 jam 03.30 utc dapat mendeteksi sebaran asap kebakaran di Pulau Sumatera dan Kalimantan dengan pola berwarna kecoklatan pada citra RGB false colour. 3.4 Analisis Nilai Reflektan Kanal RGB False Colour Himawari 8 Untuk Pola Asap

(A) (B) (C)

Gambar 14. Grafiknilai reflektanHimawari 8 Pulau SumateraTanggal 2 September 2015 untuk data (a)kanal 3 (0,64μm) sebagai komponen merah (red)

(b) kanal 4 (0,86μm) sebagai komponen hijau (green) (c) kanal 6 (2,3μm) dan sebagai komponen biru (blue)

Setelah menganalisis pola asap yang berwarna coklat pada citra RGB false colour Himawari 8, maka selanjutnya dilakukan analisis nilai masing-masing kanal yang membentuk pola asap RGB false colourdengan melakukan crosssection pada wilayah sebaran asap yang berwarna kecoklatan tersebut. Berdasarkan Gambar 14, terlihat bahwa tanggal 2 September 2015di Pulau Sumatera untuk kanal 3 (0,64μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,25 – 0,35. Untuk kanal 4 (0,86μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,30 – 0,42. Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,04 – 0,11. Jika dilihat grafik ketiga kanal tersebut, maka kanal 4 (0,86μm) memiliki grafik nilai yang sedikit lebih tinggi

Page 13: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 648 -

dibandinkankanal 3 (0,64μm). Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki grafik nilai jauh paling rendah dibandingkan kedua kanal lainnya.

(A) (B) (C) Gambar 15. Grafik nilai reflektan Himawari 8 Pulau Sumatera Tanggal 11 September 2015 untuk data

(a)kanal 3 (0,64μm) sebagai komponen merah (red) (b) kanal 4 (0,86μm) sebagai komponen hijau (green) (c) kanal 6 (2,3μm) dan sebagai komponen biru (blue)

Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa terlihat bahwa tanggal 11 September 2015 di Pulau Sumaterauntuk kanal 3 (0,64μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,32 – 0,55. Untuk kanal 4 (0,86μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,37 – 0,58. Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,08 – 0,21. Jika dilihat grafik ketiga kanal tersebut, maka kanal 4 (0,86μm) memiliki grafik nilai yang sedikit lebih tinggi dibandinkan kanal 3 (0,64μm). Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki grafik nilai jauh paling rendah dibandingkan kedua kanal lainnya.

(A) (B) (C) Gambar 16. Grafik nilai reflektan Himawari 8 Pulau Kalimantan Tanggal 10 September 2015 untuk data

(a)kanal 3 (0,64μm) sebagai komponen merah (red) (b) kanal 4 (0,86μm) sebagai komponen hijau (green) (c) kanal 6 (2,3μm) dan sebagai komponen biru (blue)

Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa terlihat bahwa tanggal 10 September 2015 di Pulau Kalimantan untuk kanal 3 (0,64μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,26 – 0,43. Untuk kanal 4 (0,86μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,34 – 0,47. Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,08 – 0,15. Jika dilihat grafik ketiga kanal tersebut, maka kanal 4 (0,86μm) memiliki grafik nilai yang sedikit lebih

Page 14: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 649 -

tinggi dibandinkan kanal 3 (0,64μm). Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki grafik nilai jauh paling rendah dibandingkan kedua kanal lainnya.

(A) (B) (C) Gambar 17. Grafik nilai reflektan Himawari 8 Pulau Kalimantan Tanggal 21 September 2015 untuk data

(a)kanal 3 (0,64μm) sebagai komponen merah (red) (b) kanal 4 (0,86μm) sebagai komponen hijau (green) (c) kanal 6 (2,3μm) dan sebagai komponen biru (blue)

Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa terlihat bahwa tanggal 21 September 2015 di Pulau Kalimantan untuk kanal 3 (0,64μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,2 – 0,52. Untuk kanal 4 (0,86μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,30 – 0,55. Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki nilai dengan rentang antara 0,04 – 0,13. Jika dilihat grafik ketiga kanal tersebut, maka kanal 4 (0,86μm) memiliki grafik nilai yang sedikit lebih tinggi dibandinkan kanal 3 (0,64μm). Untuk kanal 6 (2,3μm) memiliki grafik nilai jauh paling rendah dibandingkan kedua kanal lainnya.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa hasil analisis yang telah dilakukan diatas, maka dapat disimpulkan bahwaselama bulan September 2015 terdapat pola citra RGB false colour Himawari 8 yang hampir sama dengan yang dihasilkan dari citra RGB false colour MODIS Terra-Aqua yaitu pola kecoklatan untuk mengindikasikan asap hasil kebakaran lahan maupun hutan yang diperkuat lagi dengan hasil analisis bahwa lokasi pola dengan warna kecoklatan tersebut sesuai dengan laporan keadaan cuaca berasap dari beberapa stasiun cuaca BMKG di wilayah Sumatera dan Kalimantan serta sesuai dengan sebaran hotspot yang muncul.Satukomposisi RGB yang menggunakan band dengan range spektral yang samaakanmenghasilkankomposisiwarna yang samawalauberbedawahana, yang dalam makalah ini menggunakan komposisi Red = band visible, Green dan Blue = band NIR. Hal tersebut merupakanpendekatan yang baik, karenamudahdandapatlangsungditerapkan.

Berdasarkan beberapa hasil analisis nilai masing-masing kanal yang membentuk pola asap pada produk RGB false colour Himawari 8, dapat disimpulkan juga bahwa, pola warna coklat tersebut terdiri dari kombinasi kanal 3 (0,64μm) dengan rentang nilai antara 0,2 – 0,55 sebagai komponen merah (red), kanal 4 (0,86μm) dengan rentang nilai antara 0,3 – 0,58 sebagai komponen hijau (green), dan kanal 6 (2,3μm) dengan rentang nilai antara 0,04 – 0,21sebagai komponen biru (blue).

Hal ini menandakan bahwa teknik RGB false colour yang sebelumnya dipakai untuk mendeteksi sebaran asap melalui data MODIS Terra-Aqua, dapat juga diterapkan untuk mendeteksi sebaran asap kebakaran menggunakan data satelit generasi baru Himawari 8 yang memiliki kelebihan pada resolusi temporal yaitu bisa menghasilkan data setiap 10 menit sekali dan bisa dimanfaatkan untuk monitoring sebaran asap secara berkelanjutan oleh para Stake Holder.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada akhir penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang banyak kepada kepala sub-bidang pengelolaan citra satelit BMKG beserta staff yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan diskusi tentang data satelit Himawari 8 yang diterima BMKG dari JMA serta kepada kepala laboratorium

Page 15: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Indonesia. StudiKasus: Kebakaran Hutan dan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015 (Pandjaitan, B., et al.)

- 650 -

meteorologi STMKG yang telah memberi akses penulis untuk mengunduh data modis satelit Terra-Aquamenggunakan jaringan internet laboratorium meteorologi STMKG.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, E.S., Roswintiarti, O., Buono, A., Suwarsono, Ramadhan, A., Ismail, A., dan Dyahwathi, N. (2008). Climatic Change and Fire Risks inIndonesia. Final Report Submitted to Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor Indonesia.

Bahri, S. (2002). Kajian Penyebaran Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Sumatera Bagian Utara dan Kemungkinan Mengatasinya dengan TMC.Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 3(2):99-104.

Barnes, W.L., Xiong, X., dan Salomonson, V.V. (2002). Status of Terra MODIS and Aqua MODIS. Geoscience and Remote Sensing Symposium. Proceedings of IGARSS. 2(24-28):970-972.

Che, N., Xiong, X., Guenther, B., Barnes, W.L., dan Salomonson, V.V. (2005). Five years of Terra MODIS on-orbit spatial characterization. Proceedings of SPIE, vol. 5882,58821A.

Comet (2013) Multispectral Satellite Aplications :RGB Product Explained. Diakses melalui https://www.meted.ucar.edu/satmet/multispectral_topics/rgb/index.htm.

Dephut (1997). Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Diakses pada http://www.dephut.go.id/neosis/ indofire/index.php/indofire/info_detail/43 [22 September 2015]

JMA (2015). Himawari User’s Guide. Diakses melalui http://www.jma-net.go.jp/msc/en/support/index.html. Kushardono, D. (2012). Kajian Satelit Penginderaan Jauh CuacaGenerasi Baru Himawari 8 dan 9. Jurnal Inderaja Vol. 3

No.5, Desember 2012. Rianawati, F. (2005). Kajian Faktor Penyebab dan Upaya Pengendalian Kebakaran Lahan Gambut oleh Masyarakat di

Desa Salat Makmur Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis Borneo No.17, September 2005: 51-59. Rink, T., Menzel, P.W., Gumley, L., dan Strabala, K. (2007). Introducing HYDRA2 – a Multispectral Data Analysis

Toolkit for Suomi NPP and EOS. Diakses melalui https://cimss.ssec.wisc.edu/itwg/itsc/itsc19/program/papers /1p_19_rink.pdf

Salomonson, V.V., Barnes, W.L., Xiong, X., Kempler, S., dan Masuoka, E. (2002). An Overview of the Earth Observing System MODIS Instrument and Associated Data Systems Performance. Geoscience and Remote Sensing Symposium.Proceedings of IGARSS. 2:1174-1176.

Syaufina, L., dan Sukmana, A. (2008). Tinjauan Penyebab Utama Kebakaran Hutan di Daerah Danau Toba. Laporan kajian kebakaran hutan di Danau Toba. Centre of Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD) dan International Tropical Timber Organization (ITTO)PD 394/06 REV.1 (F). Bogor.

Tanaka, Y. (2009). SATAID-Powerful Toolfor Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorology Agency(JMA).

Tjahjaningsih, A., Sambodo, A.K., dan Prasasti, I. (2005). Analisis Sensivitas Kanal-Kanal Modis Untuk Deteksi Titik Api dan Asap Kebakaran. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, 14 – 15 September 2005. Surabaya.

Xie, Y. (2009). Detection of Smoke and Dust Aerosols Using Multi-sensor Satellite Remote Sensing Measurements.A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy at George Mason University.

Xiong, X., Che, N., Barnes, W., Xie, Y., Wang, L., dan Qu, J.J. (2006). Status of Aqua MODIS Spatial Characterization and Performance.Proceeding of SPIE. Vol.6361,63610T.

Yuningsih, R. (2015). Kebijakan Kesehatan Dalam Pengendalian Dampak Karhutla. Info Singkat Kesejahteraan sosial Vol. VII, No. 18/II/P3DI/September/2015.

Zubaidah, A., Vetrita, Y., dan Khomarudin, M. (2014). Validasi Hotspot Modis di Wilayah Sumatera dan Kalimantan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Spot-4 Tahun. Jurnal Penginderaan Jauh 2(1):1-14.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator : Dr. Wikanti Asriningrum, M.Si. Judul Makalah : Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk Mendeteksi Asap Akibat

Kebakaran Lahan di Wilayah Indonesia (Studi Kasus: Kebakaran Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Pada Bulan September 2015)

Pemakalah : Bony Septian Pandjaitan Jam : 15.30 – 16.30 WIB Tempat : Ball Room 2 & 3 (Lt.1) Diskusi :

Page 16: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 651 -

Mahdi Kartasasmita (LAPAN) Satu komposisi RGB yang menggunakan band dengan range spektral yang sama akan menghasilkan komposisi warna yang sama walau berbeda wahana. Apa yang anda lakukan memiliki penedekatan yang baik, karena mudah dan dapat langsung diterapkan Jawaban: Band-band yang digunakan untuk membentuk komposit RGB antara data Modis dengan Himawari memiliki karakteristik dan komposit yang sama, yakni Red = band visible, Blue = band NIR. Karenannya kenampakan warna coklat pada lahan yang terbakar dan putih pada asap akibat kebakaran memiliki kenampakan yang sama

Page 17: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 652 -

Penentuan Ambang Batas Temperatur untuk Pendeteksian

Sumber Asap Kebakaran Hutan/Lahan dari Data Landsat-8 (Studi Kasus Wilayah P. Kalimantan pada Musim Kemarau 2015)

Kustiyo1,*), dan Ratih Dewanti1

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Hampir setiap musim kemarau, beberapa wilayah di Indonesia terutama di P.Kalimantan dan P.Sumatera terjadi kebakaran hutan/lahan. Begitu pula pada musim kemarau 2015, terutama pada bulan-bulan Agustus September 2015 terjadi kebakaran hutan/lahan yang cukup besar melebihi kejadian di musim kemarau pada tahun-tahun sebelumnya khususnya terjadi di 6 propinsi yakni Kalbar, Kalteng, Kalsel, Riau, Jambi, dan Sumsel. Bahkan beberapa pihak mengusulkan agar dinyatakan sebagai bencana Nasional. Selama ini, data penginderaan jauh resolusi rendah telah banyak digunakan untuk pemantauan terjadinya kebakaran hutan/lahan yakni pendeteksian titik api (hotspot), dan pemetaan wilayah terbakar (burnt scar). Pendeteksian hotspot tersebut dilakuan dengan memanfaatkan data NOAA-AVHRR dan MODIS yang mempunyai resolusi spasial lebih rendah (1 km). Penelitian penentuan ambang batas temperatur dalam pendeteksian hotspot ini dilakukan menggunakan data Landsat-8 TIRS (Thermal Infrared Sensor) dengan resolusi spasial lebih besar yakni 100 m guna peningkatan kedetilan informasi dan tingkat akurasi. Tujuan penelitian ini yakni mencari dan menentukan nilai ambang batas temperatur kecerahan (brighness temperature) dari sensor TIRS untuk identifikasi adanya sumber asap kebakaran. Data yang digunakan yakni Landsat-8 perekaman LAPAN periode 24 Agustus sampai 18 September 2015 di sebagian wilayah P. Kalimantan. Data Landsat-8 kanal TIRS dikonversi menjadi temperatur kecerahan dalam satuan derajat celsius, selanjutnya titik-titik di wilayah yang dianggap merupakan sumber asap jika suhu setiap pixel pada wilayah tersebut >43oC, dan diberi atribut dengan suhu paling tinggi dari pixel di wilayah tersebut. Kebenaran adanya sumber asap pada area tersebut diperoleh melalui analisis visual kenampakan pada citra multispektral Natural Color Composite (NCC) dan True Color Composite (TCC) . Analisis kesalahan (error comission) diperoleh dengan membandingkan suhu yang terdeteksi oleh kanal TIRS dengan kenampakan sumber asap secara visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 27 data Landsat-8 di wilayah P. Kalimantan yang diolah, terdeteksi 9 scene dengan suhu tinggi, yang meliputi 153 lokasi. Ketelian identifikasi untuk nilai batas suhu ≥51oC adalah 0% (comission error), nilai batas suhu ≥47oC adalah 10%( comission error), nilai batas suhu ≥43oC adalah 30.5% ( comission error).

Kata kunci: Landsat-8, TIRS, temperatur kecerahan, titik api, sumber asap. ABSTRACT - Almost every dry season, there are large forest/land fires in several regions in Indonesia, especially in Kalimantan and Sumatra in the dry season of August to September 2015 a forest fire in 6 provinces namely West Kalimantan, Central Kalimantan, South Kalimantan, Riau, Jambi, and South Sumatra. Even some parties proposed that the Goverment of Indonesia declare them as national disaster. The low-resolution remote sensing data have been widely used for monitoring the occurrence of forest/land fires (hotspots), and mapping of burnt scars. The hotspot detection was done by utilizing the data of NOAA-AVHRR and MODIS data which have lower spatial resolution (1 km). In order to increase the level of detail and accuracy of product information, this research is done by using Landsat-8 TIRS (Thermal Infrared Sensor) band which has greater spatial resolution of 100 m. The purpose of this research is to find and to determine the threshold value of the brightness temperature of the TIRS data to identify the source of fire smoke. The data used is the Landsat-8 of several parts of Borneo during the period of 24 August to 18 September 2015 recorded by the LAPAN's receiving station. Landsat - 8 TIRS band was converted into brightness temperature in degrees Celsius, then dots in a region that is considered the source of the smoke if the temperature of each pixel in the region > 43oC, and given the attributes with the highest temperatures of the pixels in the region. The source of the smoke was obtained through visual interpretation of the objects in the multispectral Natural Color Composite (NCC) and True Color Composite (TCC) images. Analysis of errors (comission error) is obtained by comparing the temperature detected by TIRS band with a visual appearance of the source of the smoke. The result of the experiment showed that there were detected 9 scenes with high temperatures over 43oC from the 27 scenes Kalimantan Landsat-8 data, which include 153 sites. The accuracy (comission error) of identification results using temperature ≥ 51°C is 0%, temperature ≥ 47°C is 10%, and temperature ≥ 43°C is 30.5%.

Keywords: Landsat-8, TIRS, brightness temperature, hotspots, source of smoke.

ORAL PRESENTATION

Page 18: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 653 -

1. PENDAHULUAN

Hampir setiap musim kemarau, beberapa wilayah di Indonesia terutama di P.Kalimantan dan P.Sumatera terjadi kebakaran hutan/lahan. Begitu pula pada musim kemarau 2015, terutama pada bulan-bulan Agustus September 2015 terjadi kebakaran hutan/lahan yang cukup besar melebihi kejadian di musim kemarau pada tahun-tahun sebelumnya khususnya terjadi di 6 propinsi yakni Kalbar, Kalteng, Kalsel, Riau, Jambi, dan Sumsel. Bahkan beberapa pihak mengusulkan agar dinyatakan sebagai bencana Nasional.

Selama ini, data penginderaan jauh resolusi rendah telah banyak digunakan untuk pemantauan terjadinya kebakaran hutan/lahan yakni pendeteksian titik api (hotspot), dan pemetaan wilayah terbakar (burnt scar). Pendeteksian hotspot tersebut dilakuan dengan memanfaatkan data NOAA-AVHRR dan MODIS yang mempunyai resolusi spasial 1 km. Zhang (2011), meneliti tentang penggunaan data NOAA/AVHRR, FY-series, MODIS, CBERS, and ENVISAT untuk mendeteksi kebakaran hutan di China. Jaya (2000), meneliti teknik mendeteksi lokasi serta kondisi hutan paska kebakaran hutan yang efektif, konsisten dan akurat dari data Landsat-TM. Veerachai (2009), menggunakan data MODIS untuk menentukan lokasi titik api dan analisa tingkat ketelitianya di Thailand.

Untuk lebih memanfatkan data Landsat-8 yang telah diterima oleh stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN, maka penelitian ini menggunakan data Landsat-8 tersebut untuk mendeteksi adanya kebakaran hutan yang dilihat dari adanya sumber asap. Penelitian ini menentukan ambang batas suhu kecerahan (brighness temperature) untuk identifikasi adanya sumber asap kebakaran menggunakan data Landsat-8 TIRS (Thermal Infrared Sensor) dengan resolusi spasial 100 meter guna peningkatan kedetilan informasi dan tingkat ketelitian informasi.

2. METODE

2.1 Data, Lokasi dan Peralatan Guna mendeteksi sumber asap akibat kebakaran hutan/lahan digunakan data citra satelit Landsat-8 yang

diterima oleh stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN, periode perekaman yang digunakan adalah antara tanggal 24 Agustus sampai 18 September 2015, yang tersebar di wilayah P. Kalimantan. Gambar 1. menunjukkan sebaran data yang digunakan, sedangkan Tabel 1. menunjukkan nama scene dan tanggal perakaman data Landsat-8. Jumlah data Landsat-8 yang digunakan adalah 27 perekaman, yang terdapat dalam 17 scene. Terdapat 10 scene dengan dua kali perekaman. Scene di kalimantan bagian tengah tidak terdapat data karena tidak adanya data sensor TIRS dalam katalog data Landsat-8 LAPAN, sedangkan data sensor OLI terdapat datanya. Data Sensor TIRS digunakan untuk menghitung suhu kecarahan, sedangkan data sensor OLI digunakan untuk menguji secara tampilan (visual) ada tidaknya sumber asap.

Peralatan yang digunakan adalah perangkat lunak ErMapper 7.0 yang digunakan untuk menampilkan citra dan hasil identifikasi sumber asap yang diperoleh dari sensor TIRS. Sedangkan untuk penghitungan suhu kecerahan digunakan perangkat lunak opensource yang dibuat menggunakan pemrograman C++.

Tabel 1. data Landsat-8 periode 24 Agustus sampai 18 September 2015

No Scene_tanggal No Scene_tanggal No Scene_tanggal 1 117057_130915 10 120059_020915 19 121059_240815 2 117058_130915 11 120059_180915 20 121060_090915 3 117059_130915 12 120060_020915 21 121060_240815 4 117060_130915 13 120060_180915 22 121061_090915 5 117061_130915 14 120061_020915 23 121061_240815 6 117062_130915 15 120061_180915 24 121062_090915 7 117063_130915 16 120062_020915 25 121062_240815 8 120057_020915 17 120062_180915 26 122059_310815 9 120058_180915 18 121059_090915 27 122060_310815

Page 19: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Penentuan Ambang Batas Temperatur untuk Pendeteksian Sumber Asap Kebakaran Hutan/Lahan dari Data Landsat-8 (Kustiyo, Dewanti, R.)

- 654 -

2.2 Dasar Teori 2.2.1 Karakteristik data Landsat-8

Satelit Landsat-8 diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada ketinggian 705 km, inklinasi 98,2 derajat, periode 99 menit, waktu liput ulang 16 hari (Sitanggang, 2010). Satelit Landsat-8 mempunyai dua sensor, yaitu OLI (Operational Land Imager) dan sensor TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI mempunyai 9 kanal spektral dan merupakan pengembangan dari sensor ETM+(Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7. Sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal baru, yaitu: kanal-1 (near blue) dengan panjang gelombang 0.433–0.453 µm, yang ditujukan untuk identifikasi aerosol juga garis pantai, dan kanal-9 (cirrus) dengan panjang gelombang 1.360–1.390 µm, untuk deteksi awan cirrus. Sensor lainnya yaitu Thermal Infrared Sensor (TIRS) yang ditujukan untuk mengukur suhu kecerahan obyek (brightness temperaratur).

Produk standar Landsat 8 hasil pengolahan stasiun bumi LAPAN adalah sampai pada level pengolahan koreksi geometrik citra tegak (orthorectified image) atau sering disebut sebagai stardar level-1 (Level-1 data products). Spesifikasi produk data Landsat-8 hasil pengolahan yang diambil dari dokumentasi USGS (2015) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik data Landsat-8 (sumber USGS 2015)

Processing: Level 1 T- Terrain Corrected

Pixel Size:

OLI multispectral bands 1-7,9: 30-meters OLI panchromatic band 8: 15-meters TIRS bands 10-11: collected at 100 meters but resampled to 30 meters to match OLI multispectral bands

Data Characteristics:

GeoTIFF data format Cubic Convolution (CC) resampling North Up (MAP) orientation Universal Transverse Mercator (UTM) map projection (Polar Stereographic projection for

scenes with a center latitude greater than or equal to -63.0 degrees) World Geodetic System (WGS) 84 datum 12 meter circular error, 90% confidence global accuracy for OLI 41 meter circular error, 90% confidence global accuracy for TIRS 16-bit pixel values

Gambar 1. Sebaran data Landsat-8 periode 24 Agustus sampai 18 September 2015

Page 20: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 655 -

Spectral Characteristics:

Band Number µm Resolution 1 0.433–0.453 30 m 2 0.450–0.515 30 m 3 0.525–0.600 30 m 4 0.630–0.680 30 m 5 0.845–0.885 30 m 6 1.560–1.660 30 m 7 2.100–2.300 30 m 8 0.500–0.680 15 m 9 1.360–1.390 30 m

10 10.6-11.2 100 m 11 11.5-12.5 100 m

2.2.2 Deteksi titik panas

Sensor inframerah digunakan untuk mendeteksi radiasi inframerah yang dipancarkan dari permukaan bumi, terdapat dua kelompok sensor inframerah yaitu gelombang inframerah tengah (Medium Wave Infra Red) dan inframerah gelombang panjang (Long Wave Infra Red). Radiasi ini dipancarkan dari benda-benda yang hangat seperti permukaan bumi. Gelombang ini digunakan dalam penginderaan jauh satelit untuk pengukuran tanah dan suhu permukaan laut bumi. Penginderaan jauh inframerah termal juga sering digunakan untuk deteksi kebakaran hutan (Jaka, 2000).

Jumlah radiasi inframerah yang dipancarkan pada panjang gelombang tertentu dari objek yang hangat tergantung pada suhu. Jika permukaan bumi dianggap sebagai emitor hitam dengan suhu kecerahan tertentu, maka berlaku persamaan Planck, yaitu setiap benda dengan suhu kecerarahan tertentu memancarkan gelombang spektral elektramagnet maximum dengan panjang gelombang tertentu. Untuk permukaan pada suhu kecerahan sekitar 300 K, puncak pancaran spektral pada panjang gelombang sekitar 10 m. Puncak panjang gelombang menurun dengan naiknya suhu kecerahan. Untuk alasan ini, sensor satelit yang baik untuk pengukuran suhu permukaan bumi memiliki sebuah band mendeteksi radiasi inframerah sekitar 10 m.

Selain pengukuran suhu permukaan biasa, sensor inframerah dapat digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan atau benda hangat / panas lainnya. Untuk suhu khas api dari sekitar 500 K (membara api) sampai lebih dari 1000 K (lidah api), pancaran versus kurva panjang gelombang puncak pada sekitar 3,8 m.

2.3 Metodologi Penelitian

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Data landsat-8 level-1 merupakan data yang sudah

terkoreksi geometri dibagi menjadi 2 data, (1) data kanal 10-TIRS dan (2) data komposit RGB kombinasi true-color dan natural-color. Data kanal-10-TIRS selanjutnya diolah menjadi suhu kecerahan dengan tahap sebagai berikut: Konversi digital number ke Top Of Atmosfer (TOA)

Radian[i]=Gain[i] * Dn[i] + Offset[i] ............ (1)

dimana: i : Kanal-10 atau kanal-11 dari TIRS Gain, Offset : konstanta konversi (lihat Tabel 3)

Konversi TOA ke Suhu Kecerahan

TB[i]= K2[i]/log((K1[i]/Radian[i])+1)..........(2) dimana:

i : Kanal-10 atau kanal-11 dari TIRS TB : Suhu kecerahan dalam Kelvin; K1, K2 : konstanta konversi (lihat Tabel 3)

Konversi dari Kelvin ke Celcius

Page 21: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Penentuan Ambang Batas Temperatur untuk Pendeteksian Sumber Asap Kebakaran Hutan/Lahan dari Data Landsat-8 (Kustiyo, Dewanti, R.)

- 656 -

TBC[i]=TB[i]-273 ........................................(3)

dimana: i : Kanal-10 atau kanal-11 dari TIRS TBC : Suhu kecerahan dalam oC;

Tabel 3. Konstanta untuk konversi ke TOA dan menghitung Suhu Kecerahan (sumber Landsat 8 Data Documentation and Information)

Band 10 Band 11 Gain 0.0003342 0.0003342

Offset 0.1 0.1 K1 774.89 480.89 K2 1321.08 1201.14

Setelah diperoleh suhu kecerahan dalam Celcius, selanjutnya pixel di wilayah yang dianggap

merupakan sumber asap adalah pixel dengan suhu kecarahan ≥43oC, dan diberi atribut dengan suhu kecerahan dari pixel di wilayah tersebut. Kebenaran adanya sumber asap pada wilayah tersebut diperoleh melalui analisis visual pada citra multispectral Natural Color Composite (NCC) dan multispectral True Color Composite (TCC) .

Analisis kesalahan (error comission) diperoleh dengan membandingkan suhu yang terdeteksi oleh kanal-10 TIRS dengan kenampakan sumber asap secara visual. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara suhu kecerahan dalam Celcius dengan tingkat ketelitian identifikasi asap. Analisa kesalahan yang dibahas hanyalah error comission, sedangkan error omission tidak dibahas dalam penelitian.

Gambar 2. Diagram alir pengolahan dan analisa

Page 22: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 657 -

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Identifikasi Lokasi Sumber Asap Gambar 3 adalah hasil tumpang susun antara pixel dengan suhu kecarahan ≥ 43oC dengan citra True

Color. Beberapa pixel dengan beragam suhu kecerahan mempunyai lokasi yang bergerombol, pixel yang bergerombol ini dikelompokkan menjadi satu lokasi sumber asap dengan atribut berupa suhu kecerahan maximum diantara pixel yang bergerombol tersebut.

Suhu kecerahan ditengah tengah pixel yang bergerombol mempunyai suhu kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kecerahan pixel disekelilingnya. Warna merah menunjukkan pixel dengan suhu kecerahan ≥ 50oC, warna magenta menunjukkan suhu kecerahan antara 45-50oC, sedangkan pixel warna kuning menunjukkan pixel dengan suhu kecerahan antara 43-45oC.

Pada pusat wilayah yang terbakar mempunyai suhu yang paling tinggi, makin ke tepi suhu makin menurun. Nilai batas 43oC merupakan nilai batas yang optimal pada kasus lokasi pada gambar 3. Terlihat bahwa batas area terbakar adalah antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi, dan asap berasal dari tengah tengah area terbakar. Dengan menurunkan nilai batas 43 oC menjadi lebih kecil, dalam kasus pada gambar 3 maka akan terjadi kesalahan identifikasi sumber asap.

Gambar 4. Identifikasi sumber asap dengan komposit true color (a) dan (b), dan dengan komposit natural color (c) dan (d). Gambar (a) dan (d) ditumpang susun dengan hasil identifikasi sumber asap dari TIRS.

Gambar 4 menunjukkan bahwa asap dan arah sebarannya sangat mudah diidentifikasi dengan komposit

natural color, tetapi perubahan lahan pada saat terbakar tidak teridentifikasi dengan baik pada komposit natural color. Sedangkan pada gambar 4 (a) dan (b) sumber asap terlihat samar samar, tetapi perubahan lahan akibat kebakaran dapat diidentifikasi dengan baik. Pada saat terbakar lahan berwarna merah bata pada komposit true color. Dengan cara analisa visual dari kombinasi natural color dan true color akan memudahkan dalam menentukan sumber asap. Teknik analisa seperti ini diterapkan untuk semua lokasi yang teridentifikasi sebagai sumber asap untuk kepentingan analisa ketelitian.

Gambar 3. Pixel hasil identifikasi asap (Merah : >50C; Magenta: 45-50C; Kuning: 43-45C)

Page 23: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Penentuan Ambang Batas Temperatur untuk Pendeteksian Sumber Asap Kebakaran Hutan/Lahan dari Data Landsat-8 (Kustiyo, Dewanti, R.)

- 658 -

Gambar 5. Sebaran lokasi sumber asap pada scene 121061 (a) tanggal perekaman 9 September 2015, dan (b)

tanggal perekaman 24 Agustus 2015.

Pada Gambar 5 tersebut diatas tampak bahwa beberapa lokasi yang teridentifikasi sebagai sumber asap dari data TIRS merupakan sumber asap yang sebenarnya, beberapa lokasi terlihat bahwa tidak ada sumber asap walaupun dari data TIRS teridentifikasi sebagai sumber asap. Identifikasi asap dan awan dapat dibedakan dari bentuk dan pola obyek, bentuk asap pada umumnya dimulai pada satu titik dengan ketebalan tinggi (warna putih), menyebar sesuai dengan arah angin membentuk pola memanjang dan makin tipis konsentasi asapnya. Sedangkan bentuk awan, umumnya mempunyai konsentrasi ketabalan yang tinggi di tengah tengah awan, sedangkan makin ketepi makin rendah konsentrasinya.

Dari 27 data yang terdapat dalam 17 scene yang dianalisa, terdapat 9 scene terdeteksi adanya sumber asap, sedangkan 8 lainnya tidak ditemukan sumber asap. Sebagian besar lokasi yang terdeteksi sumber asap berada di Kalimantan bagian barat dan Kalimantan bagian Selatan sebagiamana terlihat dalam Gambar 6. Jumlah lokasi yang terdeteksi adanya asap adalah 153 lokasi. Setiap lokasi mempunyai jumlah pixel atau luas yang beragam, mulai dari 2 pixel (0.18ha) sampai 882 pixel (79 ha), dengan rata rata luas yang terbakar 56 pixel (5 ha)untuk setiap lokasi. Tidak semua sumber asap teridentifikasi dengan batas yang digunakan, menurunkan batas akan meningkatkan jumlah pixel yang teridentifikasi, tetapi berakibat pixel yang bukan sumberasap juga terklasifikasi sebagai sumber asap.

3.2 Analisa ketelitian

Analisas ketelitian dilakukan dengan cara melihat secara visual setiap pixel teridentifikasi sebagai sumber asap dengan citra komposit true color dan komposit natural color. Dari 153 lokasi teridentifikasi sebagai sumber asap, 105 lokasi adalah benar merupakan sumber asap, sedangkan 46 lokasi bukan merupakan sumber asap.

Gambar 6. Sebaran lokasi sebaran asap pixel hasil identifikasi asap (warna merah)

Page 24: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 659 -

Analisa ketelitian dilakukan secara komulatif dengan interval suhu kecarahan 1 oC. Jika digunakan nilai

batas 43 oC, maka ketelitian yang didapat adalah 69.5%, yang berarti bahwa 65% hasil identifikasi adalah benar. Jika diinginkan ketelitian 90%, maka nilai batas yang diambil adalah 47 oC, seperti dapat dilihat pada Tabel 7 nomor 5. Artinya bahwa terdapat 7+59=66 lokasi dengan nilai suhu kecerahan ≥47 oC, dan 59 diantaranya adalah benar sebagai sumber asap. Sedangkan jika diinginkan keteltian 100% maka nilai batas yang digunakan adalah 51 oC, artinya bahwa semua sumber asap teridentifikasi dengan suhu kecerahan ≥ 51

oC adalah benar sebagai sumber asap. Analisa hubungan antara nilai batas suhu kecerahan dengan ketelitian identifikasi dapat dilihat pada

Gambar 7. Dari Gambar 7 tersebut terlihat adanya hubungan yang jelas antara nilai batas suhu kecerahan dengan ketelitian hasil identifikasi dengan korelasi R = 0.96, jika digunakan fungsi polinomial orde-2. Sedangkan jika dipilih fungsi linier, maka korelasi R hanya 0.90. Dari grafik pada Gambar 7 tersebut maka dengan mudah dapat ditentukan nilai batas jika ketelitian hasil yang diminta adalah y%, atau sebaliknya, jika dipilih nilai batas x oC, maka dapat dihitung ketelitian yang diperoleh.

Hubungan antara suhu kecerahan dengan ketelitaian identifikasi sumber asap ditulis dalam rumus 4 sebagai berikut:

Y = -0.3723 X2 +38.36 X -889.32; ..............................................................(4)

Dimana : Y : ketelitian; X : suhu kecarahan dalam oCelsius.

Tabel 7. Ketelitian hasil identifikasi untuk berbagai suhu kecerahan

Gambar 7. Korelasi suhu kecerahan dengan ketelitian hasil identifikasi sumber asap

Page 25: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Penentuan Ambang Batas Temperatur untuk Pendeteksian Sumber Asap Kebakaran Hutan/Lahan dari Data Landsat-8 (Kustiyo, Dewanti, R.)

- 660 -

4. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 27 data Landsat-8 yang dianalisa dalam 17 scene, terdapat 9 scene terdeteksi adanya sumber asap di 153 lokasi. Dari 153 lokasi teridentifikasi sebagai sumber asap tersebut, 105 lokasi benar merupakan sumber asap, sedangkan 46 lokasi bukan merupakan sumber asap.

Jika digunakan nilai batas 43 oC, maka ketelitian yang didapat adalah 69.5%, yang berarti bahwa 65% hasil identifikasi adalah benar. Jika nilai batas yang diambil adalah 47 oC maka ketelitian yang didapat adalah 90%, sedangkan jika nilai batas yang diambil adalah 51 oC maka ketelitian yang didapat adalah 100%. Hubungan antara nilai batas temperatur brightness dengan ketelitian hasil identifikasi sumber asap sangat tinggi , yaitu mempunyai korelasi R= 0.96 jika diambil model korelasi polinomial orde-2.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk operasionalisasi identifikasi sumber asap dengan menggunakan data Landsat-8.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Bidang Teknologi Sistem Akusisi dan Stasiun Bumi (Teksista) dan tim pengolahan data Landsat-8 yang telah memberikan data Landsat-8 level 1T dan level-1GT, yang merupakan data utama dalam penelitian ini, kepada teman teman bidang Teknologi Pengolahan Data (Teklahta) yang telah membantu dalam penyiapan data.

6. DAFTAR PUSTAKA

USGS. (2015). Landsat 8 Data Documentation and Information. Cited in http://landsat.usgs.gov/Landsat_Processing_ Details.php. [ 16 Oktober 2015]

Kontoes, C. (2013). Wildfire Rapid Detection and Mapping and Post-fire Damage Assessment in Greece. Cited in earthzine.org/Wildfire Rapid Detection and Mapping and Post-fire Damage Assessment in Greece _ Earthzine.html [14 September 2013]

Zhang, J.H. (2011). Detection, Emission Estimation and Risk Prediction of Forest Fires in China Using Satellite Sensors and Simulation Models in the Past Three Decades—An Overview. International Journal of Environmental Research and Public Health, Page. 3156-3178.

Sitanggang, G. (2010). Kajian pemanfaatan satelit masa depan: sistem penginderaan jauh satelit LDCM (Landsat-8). Berita dirgantara LAPAN, 11(2):47-58.

Tanpipat, V. (2009). MODIS Hotspot Validation over Thailand. Remote Sensings Jurnal. 2009, Page. 1043-1054. Liew, S.C. (2001). Principles of Remote Sensing Cited in http://www.crips.nus.edu.sg/ Principles of Remote Sensing -

Centre for Remote Imaging, Sensing and Processing, CRISP. Jaya, I. N.S. (2000). Technique for detecting forest fire using multitemporal satellite imagery : a case in South Sumatera

and Riau Provincies. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 6 (2) 25-34.

Page 26: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

S E M I N A R N A S I O N A L P E N G I N D E R A A N J A U H 2 0 1 5

- 661 -

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam

Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh

(Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN)

Muhammad Priyatna1,*), Muhammad Rokhis Khomarudin1, Suwarsono1, dan Aby Al Khudri1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*) E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK - Bencana kebakaran hutan/lahan dan asap di wilayah Indonesia selalu menjadi isu rutin setiap tahunnya, ditambah dengan kondisi El Nino yang akan cukup panjang pada tahun 2015. Bencana kebakaran hutan memberikan dampak merugikan bagi Indonesia, contohnya ekonomi nasional, transportasi, dan kesehatan. Bencana kebakaran hutan pada tahun 2015 ini, membuat 6 (enam) wilayah menjadi prioritas perhatian bagi pemerintah, yakni provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Namun demikian untuk propvinsi lainnya, seperti Sulawesi, Papua, bahkan Jawa, perlu diwaspadai. Kondisi musim kering yang terjadi pada tahun 2015 sangat dipengaruhi dengan kondisi kejadian El Nino saat ini, sehingga akan mengalami kekeringan yang relatif lama. Terkait dengan kejadian bencana kebakaran hutan/lahan di wilayah Indonesia dan adanya Undang-Undang NO. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan, Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN mempunyai tugas dalam melakukan pemanfaatan data dan diseminasi informasi, baik data primer, data proses, dan analisa informasi. Untuk mendukung kegiatan ini maka Posko Tanggap Darurat Bencana diharapkan dapat memberikan informasi secara cepat dan kontinuitas yang tinggi. Penelitian ini menggunakan analisa pendekatan interdisiplin kolaborasi manajemen bencana dengan hasil-hasil penelitian terkait kebakaran hutan/lahan dan asap dalam interoperabilitas terhadap network kolaborasi dan arsitektur organisasi di mana Posko tanggap darurat berada. Hasil analisis menunjukkan bahwa integrasi harus berjalan dengan baik terhadap proses-proses kegiatan dalam Posko Tanggap Darurat Bencana, diantaranya interoperabiliti pengelolaan ketersediaan data dan informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap, proses inventarisir data masukan, proses pengolahan dan pembuatan produk informasi tanggap darurat bencana, dan sistem diseminasi kepada stakeholder, serta pengelolaan infrastruktur teknologi dan regulasi sistem organisasi yang baik.

Kata kunci: Manajemen Bencana, Kebakaran Hutan/Lahan Dan Asap, Data Dan Informasi, Penginderaan Jauh

ABSTRACT - Disaster forest / land fires and smoke in the area of Indonesia has always been a routine issue every year, coupled with El Nino conditions will be quite long in 2015. The forest fire disasters have an adverse impact for Indonesia, for example, the national economy, transportation, and healthcare. Catastrophic forest fires in 2015, making six (6) priority area of concern for the government, the province of South Sumatra, Jambi, Riau, West Kalimantan, Central Kalimantan and South Kalimantan. However, for other propvinsi, such as Sulawesi, Papua, and even Java, to watch. Drought conditions that occurred in 2015 is strongly influenced by the conditions of the current El Nino events, so it will have a relatively long drought. Associated with the incidence of catastrophic forest / land fires in Indonesia and the existence of Act NO. 21 of 2013 on Keantariksaan, Post Disaster Emergency Response, Utilization Center for Remote Sensing, Space agency has the task of doing the utilization of data and dissemination of information, both the primary data, process data, and analysis of information. To support this activity, the Disaster Emergency Response Command Post is expected to provide information quickly and continuity are high. This study uses an interdisciplinary approach to the analysis of disaster management collaboration with research results related to forest / land fires and smoke in the interoperability of the network of collaboration and organizational architecture where emergency response command post is located. The analysis showed that integration should go well on the processes of activity in the Post Disaster Emergency Response, including interoperabiliti management of data and information availability emergency response forest / land fires and smoke, the process of inventorying the data input, processing and product manufacturing information emergency response disaster, and dissemination system to the stakeholders, as well as the management of technology infrastructure and regulatory system that better organization. Keywords: Disaster Management, Forest Fire / Land And Smoke, Data and Information, Remote Sensing

ORAL PRESENTATION

Page 27: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN) (Priyatna, M.,et al..)

- 662 -

1. PENDAHULUAN

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made

disaster) (Abulnour, 2013). Indonesia memiliki struktur geologi dan geografis yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, sehingga menjadikan wilayah rawan bencana seperti kebakaran hutan, tsunami, gempa bumi, banjir, dan longsor. Terlebih dengan posisi geografis yang terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia: Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), (BBC, 2015). Bencana kebakaran hutan/lahan dan asap menjadi berita atau issue yang hot di media elektronik pada tahun 2015 ini. Karena hampir seluruh wilayah Indonesia terdampak terjadinya kebakaran hutan/lahan dan asap, diantaranya wilayah Povinsi Sumatera (Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau), Provinsi Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), dan Provinsi Papua (Merauke, Timika, dan Sorong). Selain itu juga di wilayah Provinsi Sulawesi dan Provinsi Jawa juga terjadi, seperti di hutan gunung Sindoro, gunung Sumbing, Jawa Tengah.

Penelitian Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA menyatakan bahwa perbandingan temperature permukaan laut pada tahun 1997 memiliki kesesuian dengan kondisi tahun 2015 ini, berikut pada Gambar 1, menunjukkan sebaran El Nino dari arah Timur ke arah Barat dunia, dengan nampak warna merah kecoklatan memiliki ketebalan pada lokasi di tengah garis ekuator (nol derajat). Hal ini menunjukkan kondisi cuaca yang relatif menjadi kering dan akan memnghambat turunnya hujan. Hal ini perlu diwaspadai, mengingat wilayah Indonesia memiliki geologi dan geografis yang notabene rawan bencana kebakaran hutan/lahan dan asap.

Gambar 1. Sebaran kondisi El-Nino dari arah timur menuju barat dunia dengan warna merah kecoklatan, dengan perbandingan sea surface temperatur pada November 1997 dan July 2015, Sumber NOAA.

Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam manajemen bencana khususnya kebakaran hutan/lahan dan

asap, selama beberapa dekade terakhir perlu menjadi acuan untuk mengantisipasi kejadian yang terjadi di masa-masa mendatang. Selain juga perlu mengadopsi pengalaman dari berbagai hasil penelitian maupun best-practice negara-negara lain dalam menangani kesiapsiagaan bencana yang terjadi. Pengelolaan kesiapsiagaan mitigasi bencana pada umumnya membutuhkan beberapa kehandalan di berbagai masalah, diantaranya, pengembangan mekanisme pengelolaan ketersediaan data dan informasi tanggap darurat bencana baik saran maupun prasarana, pengambilan keputusan, kelompok atau tim yang solid, keterkaitan antar fungsi kerja dalam organisasi, manajemen risiko yang terjadi, dan regulasi atau petunjuk teknis yang mendukung kelancaran dalam manjemn bencana. Domain masalah dalam manajemen bencana ini semua sangat diperlukan keberadaannya dalam kehandalan memberikan informasi tanggap bencana yang terjadi (Abulnour, 2013); (Alan Waring, 2015); (Reich et al., 2014); (Caymaz et al., 2013); (Caymaz et al., 2013); (Chowdhury et al., 2014); (Arain, 2015); (Galindo &, Batta, 2013); (Lee et al., 2011); (Eiser, et al., 2012); (Kaku & Held, 2013); (Dorasamy, 2012); (Noran, 2014); (Kanjia & Patel, 2015); dan (Othman &Beydoun, 2013; 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen ketersediaan data dan informasi dalam tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap di wilayah Indonesia (studi kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN). Sehingga akan diketahui model proses pengelolaan ketersediaan bencana yang baik dan efisien bagi pengguna informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap.

NOV 1997 JULI 2015

Page 28: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 663 -

2. METODE 2.1 Bahan dan Alat Penelitian

Pada penelitian ini, proses penyediaan data dan informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap menggunakan data satelit penginderaan jauh, diantaranya:

• Data Terra/Aqua MODIS dan SNPP Pagi, Sore, dan Malam (sumber dari PUSTEKDATA) • Data Landsat (sumber dari PUSTEKDATA) • Data SPOT 6/7 (sumber dari PUSTEKDATA) • Data lainnya yang mendukung (curah hujan, himawari, dan lain-lain)

Selain itu juga menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.2, ENVI 4.8 dan ArcGIS 10.1, MODIS

Swath tool, dan worksheet seperti word, excel, dan imagery processing, seperti paint, photoshop, dan lain-lainnya untuk membantu proses penyediaan informasi tersebut.

2.2 Analisa pendekatan interdisiplin terhadap kolaborasi manajemen bencana

Penelitian ini menggunakan pendekatan terhadap interdisiplin kolaborasi seluruh manajemen bencana yang ada di Posko tanggap darurat bencana dengan penelitian yang telah dilakukan terhadap interoperabilitas, jaringan/network kolaborasi dan arsitektur organisasi. Metode pendekatan ini digunakan oleh Ovidiu Noran, 2014, dan Naim Kapucu, et all, 2011 pada penelitiannya, tampak pada Gambar 2 menjelaskan keterhubungan domain masalah dengan hasil berbagai penelitian yang telah dihasilkan sebagai state of the art menyelesaikan masalah antara fungsi kegiatan di organisasi.

Gambar 2. Pendekatan multidisplin terhadap kolaborasi manajemen kebencanaan terhadap berbagai kegiatan penelitian (interoperabilitas, jaringan kolaborasi, dan arsitektur organisasi (Noran, 2014)

2.3 Manajamen Bencana

Penelitian ini juga menggunakan analisis terhadap fase manajemen operasionalisasi posko tanggap bencana kebakaran hutan/lahan dan asap. Carter, W. Nick, 1991, menjelaskan, bahwa manajemen bencana sebagai ilmu pengetahuan terapan yang melakukan pengamatan secara sistematis dan analitis terkait bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan preventif/pencegahan, mitigasi/pengurangan, persiapan, respon darurat dan pemulihan. Tampak pada gambar 3, siklus bencana terbagi dala tiga kategori, yakni preparedness/persiapan, response, dan pemulihan. Dalam penelitian ini, fokus pada kategori response, khususnya dalam fase emergency.

Gambar 3. Siklus manajemen bencana (Carter & Nick, 1991)

3. HASIL PEMBAHASAN

Hasil analisis terhadap pengelolaan ketersediaan data dan informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap, diperoleh beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam interoperabilitas operasional dalam mencapai tujuan yang optimal. Dibawah ini dijelaskan hasil analisa domain masalah tersebut, yaitu:

Page 29: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN) (Priyatna, M.,et al..)

- 664 -

3.1 Struktur Organisasi : Struktur organisasi LAPAN yang terbaru, yakni dalam Peraturan Kepala LAPAN Nomor 8 tahun 2015,

terkait Organisasi dan Tata Kerja LAPAN, dapat di aplikasikan sesuai dengan kondisi saat ini, mengingat struktur organisasi lebih ramping dan interdisiplin antar kegiatan penelitian diharapkan dapat menghasilkan berbagai hasil penelitian dari para staf pejabat fungsional peneliti dan perekayasa. Dalam Gambar 4, menjelaskan kondisi organisasi LAPAN terbaru, dengan beberapa Bidang dan Kelompok-Kelompok Penelitian. Berikut struktur organisasi LAPAN, dari tingkat Kepala hingga tingkat Deputi (Eselon 1), Dilanjutkan tingkat Eselon 2, pada Gambar 5.

Deputi Bidang Penginderaan Jauh memiliki dua buah Pusat, yakni Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (PUSTEKDATA) dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA). Posisi Posko tanggap darurat bencana berada di Satuan Kerja PUSFATJA. Koordinasi dengan Satuan kerja PUSTEKDATA harus dijalin kontinuitas sebagai penyedia ketersediaan data satelit penginderaan jauh, baik resolusi rendah, menengah, dan tinggi.

Gambar 4. Struktur Organisasi LAPAN hingga eselon 2, (Sumber lapan.go.id)

Berikut struktur organisasi di satuan kerja PUSFATJA, LAPAN (Gambar 5), dengan beberapa kelompok penelitian, seperti kartografi/tata ruang, pertanian dan perkebunan, sumberdaya energy, air dan mineral, ekosistem pesisir, oseanografi, iklim dan sumberdaya kelautan, kehutanan dan lingkungan, mitigasi bencana, kajian pemanfaatan data staelit/airborne terbaru dan UAV. Struktur organisasi di PUSFATJA terdiri atas dua bidang, yakni Bidang Program dan Peralatan dan Bidang Diseminasi. Untuk urusan birokrasi di bentuk Bagian Administrasi, yang terdiri atas Sub Bagian Keuangan dan Asset dan Sub Bagian Sumber Daya Aparatur dan Tata Usaha. Diharapkan interoperabilitas antar kegiatan penelitian berjalan dengan baik dan didukung oleh kedua bidang yang membantu dalam hal birokrasi. Dengan adanya kelompok kegiatan penelitian yang beragam, diharapkan menjadi fokus dalam menjalankan kegiatan penelitian nantinya, sehingga dapat menjadi referensi dalam menentukan permasalahan mitigasi bencana.

Gambar 5. Struktur Organisasi LAPAN di satuan kerja PUSFATJA, (Sumber pusfatja).

3.2 Inventarisir Sumber Daya Teknologi Informasi Dalam Komunikasi Data Sebagai pendukung jaringan kolaborasi antar fungsi kegiatan penelitian dan menunjang

interoperabilitas-nya dibutuhkan sarana teknologi informasi yang baik. Gambar 6, menjelaskan kondisi jaringan komunikasi data dalam system posko tanggap darurat bencana secara umum, khususnya kebakaran hutan/lahan dan asap di PUSFATJA. Tampak warna hijau menunjukkan interoperabilitas sistem dengan satuan kerja di Jakarta, PUSTEKDATA, Rumpin, PUSTEKSAT, dan Satuan Loka Parepare, sebagai

Page 30: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 665 -

penyedia data satelit penginderaan jauh. Kotak warna hitam menunjukkan kegiatan posko tanggap darurat bencana di satuan kerja PUSFATJA, sebagai bagian dari pengolahan data. Kotak warna merah merupakan bagian operabilitas dari system diseminasi hasil/produk yang telah dihasilkan oleh posko tanggap darurat kebencanaan.

Gambar 6. kondisi jaringan komunikasi data dalam system posko tanggap darurat bencana secara umum

Kebutuhan yang diperlukan dalam posko tanggap darurat yang paling dibutuhkan oleh Tim yaitu: - External hardisk 2 TB (2 buah, 1 untuk backup data low resolution dan 1 untuk backup data high

resolution) - Flashdisk 64 GB (10 buah, untuk transfer data mobile) - Internal SSD 500 GB (9 buah untuk upgrading PC) - RAM 8 GB (9 buah untuk upgrading kemampuan memory PC)

3.4 Pembentukan Tim Ad Hoc Tanggap Darurat:

Permasalahan pada manajemen bencana perlu dihilangkan ketika ketidakadaan interoperabilitas antar fungsi area. Sesuai dengan Gambar 2, dijelaskan pendekatan kolaborasi majemen kebencanaan perlu diterapkan inetroperabilitas organisasi dan jaringan kolaborasi antar area fungsional. Keterhubungan / interoperabilitas antar penyuplai data masukan, pengolahan, quality control dan sampai distribusi informasi saling mendukung dalam system ini. Setiap fungsi mempunyai coordinator dan tugas sesuai fungsinya.

Dalam tim adhoc ini dibentuk beberapa tim dan tugas masing-masing kegiatan daripada tim tersebut, diantaranya: a. Tim akses data, dipimpin oleh seorang coordinator.

Tugas Tim akses data adalah Mengecek data yang ditransfer oleh Pustekdata Mencatat dan mengarsipkan data yang dikirim oleh Pustekdata Mengirimkan data ke tim Pengolah Data Mencatat segala permasalahan yang terjadi dan melaporkan Koordinasi dengan Pustekdata terkait kebutuhan data Mencatat dan melaporkan semua yg telah dilakukan

b. Tim pengolahan data

Tugas Tim pengolahan data adalah Mengolah dan analisis data yang diterima dari Pustekdata, sesuai dengan karakterikstik bencana. Membuat layout sesuai dengan tempelate yang sudah disepakati/ditetapkan (informasi mudah

dibaca) Self Quality Control (QC) dan menyerahkan ke Tim QC Mencatat dan melaporkan semua yg telah dilakukan Berdiskusi dengan tim QC

c. Tim quality control

Tugas Tim quality control adalah Mengecek hasil layout disesuaikan dengan standar dan tempelate layout yang sudah disepakati

Page 31: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN) (Priyatna, M.,et al..)

- 666 -

Diskusi dengan tim pengolahan data, jika ada hal-hal yang harus disampaikan, termasuk informasi sensitif

Mengecek kemudahan hasil layout dibaca oleh pengguna Menyerahkan hasil QC kepada Tim Distribusi Informasi. Mencatat dan melaporkan semua yg telah dilakukan

d. Tim distribusi informasi

Tugas distribusi informasi adalah Mengirimkan hasil quality control kepada list penerima informasi kepada instansi terkait yang

berhubungan dengan bencana yang terjadi Memasukan informasi yang dihasilkan dalam website Berkoordinasi dengan tim quality control Mencatat dan melaporkan semua yg telah dilakukan

Tampak pada Gambar 7, menjelaskan Kondisi interoperabilitas antar disiplin area fungsi dalam system

posko tanggap darurat bencana beserta tugasnya.

Gambar 7. Kondisi interoperabilitas dalam system posko tanggap darurat bencana (Sumber PUSFATJA)

Tanggap darurat bencana membutuhkan tim atau group yang solid sehingga akan menghasilkan kinerja

maksimal. Proses kerja posko membutuhkan energy dan pikiran yang tinggi, oleh sebab itu perlu dibuat jadual kerja antar tim. Jadula kerja tim ini membagi beberapa shift yakni pagi, siang dan malam hari (pagi pukul 06.00 - 07.30 WIB, siang pada pukul 11.00 – 14.00 WIB dan malam pada pukul 17.00 – 20.00 WIB). Berikut contoh jadual tim tanggap darurat pada bulan Nopember 2015.

Pada pelaksanaan kegiatan posko tanggap darurat perlu dilakukan beberapa kesepakatan antar tim, yakni:

Diskusi dan Briefing Pagi (membagi tugas, diskusi, dan fokus pekerjaan, dan lain-lain) Diskusi dan Briefing Sore (melihat progres, cek pekerjaan yang sudah dilakukan, cek data yang

belum diolah, dan lain-lain) Diskusi terkait Pengolahan data, distribusi informasi, dan pelaksanaan kegiatan lainnya dilaksanakan

dengan baik, cermat, teliti, dan seksama Penunjukkan Komandan harian, disepakati bersama antar tim tanggap darurat

3.5 Pembuatan Petunjuk Teknis Posko Tanggap Darurat Bencana:

Pembuatan petunjuk teknis Posko Tanggap Darurat Bencana diperlukan dalam posko ini. Hal ini akan memberikan acuan kerja bagi para tim yang bertugas nantinya. Petunjuk teknis yang perlu dibuat atau disiapkan guna menunjang ketersediaan data yang efektif, sebagai berikut:

Petunjuk teknis ekstraksi data satelit dari data mentah / Preprocessing dari L1B menjadi reflektansi, komposit citra dan kompresi data ke ECW

Petunjuk teknis konversi data Hierarchilcal Data Format (HDF) ke Enhanced Compression Wavelet (ECW)

Petunjuk teknis konversi data HDF ke format image TIFF

Page 32: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 667 -

Petunjuk teknis pemilihan kanal-kanal citra satelit yang optimal Petunjuk teknis pengolahan ektraksi sebaran titik panas/hotspot Petunjuk teknis pengolahan ekstraksi citra satelit ke dalam layout Petunjuk teknis diseminasi informasi Petunjuk teknis proses unggah data ke website Petunjuk teknis proses unggah data ke FTP server Petunjuk teknis proses unduh data dan informasi Petunjuk teknis akses data dan informasi kebakaran hutan/lahan dan asap Petunjuk teknis petugas quality control data dan informasi bencana Petunjuk teknis petugas akses data dan informasi bencana Petunjuk teknis petugas pengoalahan data dan informasi bencana Petunjuk teknis petugas diseminasi data dan informasi bencana Petunjuk teknis copy data dan informasi bencana Petunjuk teknis Resize data dan informasi bencana Pedoman Standar Operasional Prosedur Penanganan Tanggap Darurat Bencana kebakaran

hutan/lahan dan asap LAPAN, dan sebagainya.

3.6 Diseminasi Informasi Produk Tanggap Darurat Bencana : Data RAW Citra MODIS diambil dari Parepare atau Rumpin, Kemudian di olah untuk menghasilkan

data hotspot dengan menggunakan MOD14 dan Hierarchilcal Data Format (HDF). Selanjutnya data HDF di olah dengan Modis Swath Tool untuk menghasilkan band 1 (Red) dan band 2 (NIR) dari data HDF 250m, kemudian band 3 (Blue), band 4 (Green), band 5 (SWIR), band 6 (SWIR), dan band 7 (SWIR) dari data HDF 500m. Setelah didapatkan band 1 sampai dengan band 7, selanjutnya di proses di Er Mapper untuk menggabungkan band-band tersebut agar dapat mempermudah pencarian asap dan titik api (Hotspot). Band yang digunakan dalam tanggap bencana ini adalah band 3, band 2, dan band 7. Dan hasil yang didapat dari penggabungan 3 band tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah 8.

Gambar 8. Salah satu hasil dari penggabungan band 3 (Blue), band 2 (Nir), band 7 (Swir) pada waktu 02.46 UTC dengan data MODIS

Hasil olah citra satelit dari Er Mapper lalu di kompress dengan ukuran 1:5 akan menghasilkan data

Enhanced Compression Wavelet (ECW), dilanjutkan ke bagian layout dengan menggunakan Arc Gis. Setelah di analisis dan dibuat layoutnya, akan menghasilkan sebuah layout dengan perkiraan kordinat titik api atau hotspot, contoh dari layout yang telah dibuat dapat dilihat pada gambar dibawah 9.

Gambar 9. Salah satu hasil dari analisis titik api atau hotspot dan layout untuk wilayah Kalimantan Timur

Page 33: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN) (Priyatna, M.,et al..)

- 668 -

Produk dari hasil layout akan didiseminasikan kepada Kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kepolisian Republik Indonesia, Sekretariat Negara, Gubernur Provinsi Daerah Sebaran Asap (Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Papua). Selain itu diunggah juga pada website LAPAN dan dapat juga diunduh melalui File Transfer Protocol (FTP) PUSFATJA.

Secara berkala selama 24 jam produk layout terus dilakukan dari pagi pada pukul 06.00 - 07.30 WIB, siang pada pukul 11.00 – 14.00 WIB dan malam pada pukul 17.00 – 20.00 WIB. Untuk FTP tersedia pada Link : http://pusfatja.lapan.go.id/tanggapbencana/forest_fire contoh dari halaman FTP terlihat pada gambar dibawah ini

Gambar 10. Contoh halaman FTP untuk akses yg lebih ringan pada website PUSFATAJA (Sumber PUSFATJA)

Hasil layout juga di-unggah ke dalam Website PUSFATJA di alamat web:

pusfatja.lapan.go.id/index.php/tanggapbencana contoh dari halaman Web Tanggap Bencana dapat dilihat pada gambar dibawah 11.

Gambar 11. Hasil dari tampilan web tanggap bencana PUSFATJA 3.7 Evaluasi Dan Strategi Masa Depan Tanggap Darurat Bencana :

Hasil analisis pada kegiatan posko tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap masih perlu dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan system manajemen bencana. Selain itu juga perlu dilakukan pemilihan strategis untuk masa yang akan datang, terkait kebutuhan dukungan manajemen bencana. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlu dilakukan atau pengadaan training/pelatihan, public awareness, dan penelitian lanjutan. Kondisi ini sesuai dengan metode pendekatan interoperabilitas manajemen bencana dengan factor lainnya.

Page 34: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 669 -

- Pelatihan Pelatihan ini dibutuhkan untuk meningkatkan fungsi dan kemampuan, seperti perencanaan, organisasi,

aktivitas manajemen setiap hari, operasional kejadian bencana, aktivitas manajemen krisis, fungsi logistic, manajemen recovery, forum group discussion, dan sebagainya.

Kebijakan pelatihan harus diperhatikan juga, terkait kondisi geografis lokasi bencana, pelatihan harus kompatibel dengan perencanaan bencana, harus memiliki responsibility yang baik terhadap hasil pelatihan.

Model pelatihan juga harus ditentukan terkait permasalahan kebencanaan, seperti: pelatihan manajemen bencana, pelatihan kemampuan individu, pelatihan koordinasi, pelatihan khusus. Dalam hal lama kegiatan training serta sarana dana prasarana pelatihan manajemen kebencanaan juga perlu diperhatikan agar dapat memberikan proses belajar yang baik antar peserta pelatihan. Hasil dari pelatihan ini juga harus dapat diimplementasikan pada organisasi.

- Public Awareness Kepedulian terhadap hasil/produk informasi kebakaran hutan/lahan dan asap juga perlu dievaluasi.

Produk ini harus mengikuti keinginan pengguna, sehingga dapat diketahui atau langsung digunakan sesuai kondisi pengguna di lokasi terjadi bencana. Hasil analisis pada makalah ini adalah prioritas format informasi harus memiliki nilai yang tinggi dan mudah dipahami bagi pengguna

- Penelitian Lanjutan Hasil analisis juga diperoleh bahwa kegiatan penelitia terkait dengan kebencanaan perlu dilanjutkan sesuai dengan kemajuan teknologi dan perkembangan lokasi daerah rawan bencana. Kegiatan penelitian terkait dengan kebencanaan yang harus dilakukan, seperti: Meteorology and Climatology (Climatic change, various aspects, Flood forecasting); Earthquake (Seismicity and earthquake risk); Volcanic Eruption (Volcanic hazards, various aspects); Cyclone (Wind tunnel tests, Fatigue loading on houses); Drought (Rainfall patterns, Desertification); Chemical Hazard (Air pollution, Chemical hazard); Organization and Management (Organization response, Behavioral aspects, Flood hazard management); Planning (Land-use planning, Hazard mapping); Mitigation (Flood mitigation strategies, Shelters); Public Awareness (Public participation in counter-disaster activities). Hasil dari kegaiatan penelitian ini perlu didefinisikan untuk operasionalisasi kegiatan posko bencana di masa yang akan datan, selain itu mudah dipahami serta diimplemntasikan

4. KESIMPULAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa integrasi harus berjalan dengan baik terhadap proses-proses kegiatan dalam Posko Tanggap Darurat Bencana, diantaranya interoperabiliti pengelolaan ketersediaan data dan informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap, proses inventarisir data masukan, proses pengolahan dan pembuatan produk informasi tanggap darurat bencana, dan sistem diseminasi kepada stakeholder, serta pengelolaan infrastruktur teknologi dan regulasi sistem organisasi yang baik. Kegiatan posko tanggap darurat perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem operasionalisasi dan strategi untuk masa yang akan datang, melalui pengadaan pelatihan, analisis terhadap public awareness, dan juga peningkatan kegiatan penunjang kebencanaan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami disampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah menyediakan data dan informasi terkait proses pengelolaan posko tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap di wilayah Indonesia. Kepada Ibu Dra. Any Zubaedah, M.Si., sebagai pembimbing dan penasehat kegiatan ini, dan teman-teman para peneliti serta perekayasa Pusfatja LAPAN, diucapkan terima kasih banyak atas masukan dan sarannya. penelitian ini tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangannya, kritik dan saran yang membangun masih sangat diharapkan. DAFTAR PUSTAKA Abulnour, A.H. (2013). The post-disaster temporary dwelling: Fundamentals of provision, design and construction,

1687-4048 Production and hosting by Elsevier B.V. on behalf of Housing and Building National Research Center., http://dx.doi.org/10.1016/j.hbrcj.2013.06.001

Abulnour, A.H. (2013). Towards efficient disaster management in Egypt, HBRC Journal, 1687-4048 @ 2013 Production and hosting by Elsevier B.V. on behalf of Housing and Building National Research Center., http://ees.elsevier.com/hbrcj, http://dx.doi.org/10.1016/j.hbrcj.2013.07.004

Page 35: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Manajemen Bencana untuk Ketersediaan Data dan Informasi Dalam Tanggap Darurat Bencana Kebakaran Hutan/Lahan dan Asap di Wilayah Indonesia Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN) (Priyatna, M.,et al..)

- 670 -

Waring, A. (2015). Managerial and non-technical factors in the development of human-created disasters: A review and research agenda, journal homepage: www.elsevier.com/locate/ssci, http://dx.doi.org/10.1016/j.ssci.2015.06.015, Safety Science 79:254–267.

Reich, B.H., Gemino, A., dan Sauer, C. (2014). How knowledge management impacts performance in projects: An empirical study, Available online at www.sciencedirect.com, ScienceDirect International Journal of Project Management 32:590–602

Carter, W., dan Nick (1991). Disaster Management A Disaster Manager’s Handbook, All rights reserved. ISBN 978-971-561-006-3, Published, Printed in the Philippines, ADB.

Caymaz, E., Akyon, F.V., dan Erenelc, F. (2013). The 9th International Strategic Management Conference A model proposal for efficient disaster management: the Turkish sample, Procedia - Social and Behavioral Sciences 99:609 – 618, Available online at www.sciencedirect.com

Chowdhury, E.H., dan Hassan, Q.K. (2015). Operational perspective of remote sensing-based forest fire danger forecasting systems, ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 104:224–236.

Arain, F. (2015). Knowledge-based Approach for Sustainable Disaster Management: Empowering emergency response management team, 1877-7058.

Galindo, G., dan Batta, R. (2013). Review of recent developments in OR/MS research in disaster operations management, European Journal of Operational Research, journal homepage: www.elsevier.com/locate/ejor, 0377-2217/$ - see front matter. http://dx.doi.org/10.1016/j.ejor.2013.01.039

Lee, J., Bharosa, N., Yang, J., Janssen, M., dan Rao, H.R. (2011). Group value and intention to use — A study of multi-agency disaster management information systems for public safety, Decision Support Systems 50:404–414. Eiser JR, Bostrom A, Burton I, Johnston DM, Clure JM, Paton D, Pligt JV, White MP (2012) Risk interpretation and action: A conceptual framework for responses to natural hazards, International Journalof Disaster Risk Reduction 1:5–16.

Kaku, K., dan Held, A. (2013) Sentinel Asia:Aspace-based disaster management support system in the Asia-Pacific region, International Journal of Disaster Risk Reduction 6:1–17.

Dorasamy, M., Raman, M., dan Kaliannan, M. (2013). Knowledge management systems in support of disasters management: A two decade review, Technological Forecasting & Social Change, 80:1834–1853

Kapucu, N., dan Garayev, V. (2014). Collaborative Decision-Making in Emergency and Disaster Management, International Journal of Public Administration, 34:366–375,2011

Noran, O. (2014). Collaborative disaster management: An interdisciplinary approach, Computers in Industry 65: 1032–1040, http://dx.doi.org/10.1016/j.compind.2014.04.003, 0166-3615/@ 2014 Elsevier B.V. All rights reserved.

Kanjia, R., dan Patel, P. (2015). Technology in Times of Disaster: An Indian Step towards Resource Management, Procedia Engineering 107:73 – 80

Othman, S.H., Beydoun, G., dan Sugumaran, V. (2014). Development and validation of a Disaster Management Metamodel (DMM), Information Processing and Management 50:235–271.

Othman, S.H., dan Beydoun, G. (2013). Model-driven disaster management, Information & Management 50: 218–228 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Winanto JudulMakalah : Perhitungan Optimum Index FactorPada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik

Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Pemakalah : Muhammad Priyatna Jam : 15:35-15:50 Tempat : Ball Room 2 Lt 1 Diskusi : Citra satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk memberikan informasi kebakaranhutan/lahan dan asap. Informasi tersebut perlu disajikan dengan cepat dan akurat untuk stakeholder/pengguna citra satelit. Citra SPOT-6 merupakan salah satu citra dengan resolusi tinggi yang dapat digunakan untuk pemetaan dalam mendeteksi sebaran asap. SPOT 6 memiliki resolusi spasial 2 meter, yang dapat digunakan untuk interpretasi secara visual sebaran asap yang terjadi di suatu wilayah. Citra SPOT 6 tidak dapat memberi informasi sebaran kabut asap yang optimal, sehingga diperlukan pengolahan citra terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, pengolahan citra SPOT 6 dilakukan pemilihan pada beberapa tahap, yaitu : pemilihan kombinasi kanal citra berwarna (Red, Green, dan Blue), interpretasi citra SPOT secara manual, dan klasifikasi kemiripan maksimum. Tahap Selanjutnya dilakukan analisis pada citra baru untuk menghasilkan informasi peta sebaran asap. Tujuan dari penelitian ini adalah menggunakan teknik Optimum Index Factor (OIF) pada citra SPOT 6 dengan studi kasus untuk wilayah Musibanyuasin, provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan teknik OIF untuk kanal citra SPOT 6 menghasilkan 4 kombinasi kanal RGB.

Page 36: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 671 -

Pengaturan kombinasi warna pada kanal sebagai RGB tidak mempengaruhi pada nilai-nilai OIF, hal ini akan dihasilkan nilai yang sama. Berdasarkan analisis terhadap kombinasi yang berbeda maka teknik OIF sangat berguna untuk mengidentifikasi, membedakan interpretasi tutupan lahan, vegetasi, dan asap, sehingga mudah untuk membedakan kejadian kebakaran hutan/lahandan asap, dan fitur geologi lainnya. BudhiGustiandi (Pustekdata) Data terra dan aqua modis secara hitam putih tidak menangani massalah operasional (sudah berakhir operasionalnya), jadi untuk kedepannya sistem ini apakah disediakan untuk penelitian? Solusinya bagaimana?

Jawaban : Jika Modis off ,solusinya itu menjadi masalah kita bersama, Karena missal diputus, Perlu dibuat keputusan oleh para decision maker tentang kemungkinan data apasaja yang masih kurang untuk prosedurnya dan bagaimana sistem informasi yang baik dan cara manage-nya. Wikanti (Pusfatja) Masukan Kenapa penelitiannya digabung dengan Pustekdata? Kalau peneliti di penginderaan jauh tetapi bidangnya dibagian management?

Jawaban : Karena dibutuhkan sistem informasi yang baik antara Pusfatja dengan Pustekdata agar dapat bersinergi dengan baik. Dan juga bagaimana agar sistem yang dibangun ini tidak lagi ada kesulitan dalam mengakses data penginderaan jauh dengan sistem kliring dari opsi peneliti dari teknologi yang akan dimanfaatkan.

Page 37: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 671 -

Karakteristik Temperatur Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan

(Burned Area) dari Data Landsat-8 TIRS

Suwarsono1,*), Any Zubaidah1, Parwati1, dan M. Rokhis Khomarudin1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK –peristiwa kebakaran biomassa pada suatu daerah akan menyisakan bekas-bekas kebakaran seperti arang, abu, serta singkapan tanah pada daerah tersebut yang dikenal dengan burned area. Daerah bekas kebakaran tersebut diduga memiliki temperatur yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang tidak terbakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik temperatur burned area menggunakan data penginderaan jauh Landsat-8 TIRS ((Thermal Infra Red Sensor). Hasil penelitianmenunjukkan bahwa data suhu kecerahan baik kanal 10 maupun kanal 11 Landsat-8 TIRS memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan burned area dan lahan terbuka, namun memiliki kemampuan yang rendah untuk memisahkan burned area dan permukiman. Dengan demikian, parameter suhu kecerahan belum bisa dipergunakan sebagai variabel tunggal untuk ekstraksi burned area pada suatu scene citra perekaman tunggal.

Kata kunci:burned area, temperatur, Landsat-8 TIRS

ABSTRACT -Biomass burning in an area will leave traces of fire such as charcoal, ash, and outcrop of land in the area known as the burned area. The burned area is thought to have a relatively higher temperature than the surrounding area were not burned. This study aims to determine the characteristics of the temperature of the burned area using remote sensing data of Landsat-8 TIRS ((Thermal Infra Red Sensor). The results showed that the brightness temperature data either channel 10 or channel 11 Landsat-8 TIRS has good ability in separating the burned area and bare soil, but has a low ability to separate the burned areas and settlements. Thus, the brightness temperature parameter can not be used as a single variable for the extraction of burned areas in a scene image of a single acquisition.

Keywords: burned area, temperature, Landsat-8 TIRS

1. PENDAHULUAN

Kebakaran biomassa diakui sebagai satu dari faktor-faktor kritis yang mempengaruhi perubahan tutupan vegetasi dan emisi karbon di seluruhdunia (Chuvieco, 2008; Thonicke et al., 2010). Peristiwa ini juga berdampak pada aspek-aspek sosial-ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang dimana pertumbuhan arus urbanisasi yang “menelan”wilayah-wilayah hutan cenderung meningkatkan terjadinya pembukaan hutan yang lebih-lebih apabila bersamaan dengan terjadinya even kebakaran yang ekstrim (Bastarika et al., 2011). Peristiwa kebakaran biomassa pada suatu daerah akan menyisakan bekas-bekas kebakaran seperti arang, abu, serta singkapan tanah pada daerah tersebut yang dikenal dengan burned area. Penerapan teknik penginderaan jauh sudah diakui sebagai sumber informasi yang efektif dan berbiaya murah dalam pemetaan burned area dari skala national, regional, hingga global (Stroppiana et al., 2012).

Data citra penginderaan jauh yang sering dipergunakan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah Terra/Aqua Moderate Resolution Imaging Spectrometer (MODIS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) / Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), Satellite Pour l’Observation de la Terre (SPOT) VEGETATION (VGT), and Along Track Scanning Radiometer (ATSR)/ Advanced ATSR (AATSR). Data satelit dengan orbit geostationer juga sudah dipergunakan untuk deteksi burned area seperti Meteosat Visible and InfraRed Imager (MVIRI)/Spinning Enhanced Visible and InfraRed Imager (SEVIRI) and Geostationary Operational Environmental Satellites (GOES) (Stroppiana et al., 2012). Pada skala lokal dan regional, data Landsat (TM dan ETM+) telah banyak dipergunakan dalam pemetaan burned area (Bastarika et al., 2011).

Pada saat ini telah tersedia data Landsat-8 sebagai generasi terbaru dari Landsat. Landsat-8 membawa sensor sensor Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dan sensor Thermal Infrared Sensor (TIRS) yang dirancang untuk menyempurnakan sensor pada satelit Landsat-7 ETM+ (Irons et al., 2012). Implementasi deteksi burned area di berbasiskan data citra penginderaan jauh optis sebagian besar menggunakan variabel indeks vegetasi, indeks kebakaran, dan nilai pantulan (Suwarsono, 2014). Kebakaran sangat terkait dengan termal, karena proses kebakaran akan menghasilkan panas yang dapat direkam oleh sensor termal pada satelit. Penelitian ini berfokus pada kajian pemanfaatan data termal pada

ORAL PRESENTATION

Page 38: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Karakteristik Temperatur Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan (Burned Area) dari Data Landsat-8 (Suwarsono, et al.)

- 672 -

sensor TIRS Landsat-8 untuk deteksi daerah-daerah bekas terbakar. Sebagai langkah awal dalam memahami arti penting data termal dari sensor TIRS Landsat-8 untuk deteksi burned area adalah dengan memahami karakteristik termal dari burned area yang terekam pada sensor tersebut.

2. METODE

2.1 Landsat-8 TIRS Data yang dipergunakan adalah Landsat-8 TIRS dan OLI level 1T (L1T), band 10 dan 11, tanggal

perekaman 19 Agustus 2015, path/row 118/062 yang merekam sebagian Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Data diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN.

Menurut Irons et al. (2012), sensor TIRS merekam data pada dua kanal spektral inframerah termal dengan resolusi 100 meter, lebar sapuan 185 km yang direkam pada ketinggian 705 km. Kedua band yang dipilih tersebut untuk mengaktifkan koreksi atmosfer data termal menggunakan algoritma split-window (Caselles et al., 1998) dan merepresentasikan keunggulan atas data termal band tunggal yang direkam oleh satelit Landsat sebelumnya.

Tabel 1. Karakteristik spektral sensor TIRS (Iron et al., 2012) Band Center wavelength

(µm) Minimum lower band edge (µm)

Maximum upper band edge (µm)

Spatial resolution (m)

10 10,9 10,6 11,2 100 11 12,0 11,5 12,5 100

Batas noise TIRS ditentukan dalam hal noise-equivalent-change-in-temperature (NEΔT) daripada rasio signal-to-noise yang digunakan pada OLI. Ketidakpastian kalibrasi radiometrik ditentukan untuk menjadi kurang dari 2% dalam hal mutlak, pada aperture spektral cahaya untuk target antara 260 K dan 330 K (kurang dari 4% untuk target antara 240 K dan 260 K dan target antara 330 K dan 360 K) (Irons et al., 2012).

Tabel 2. Saturasi radiansi TIRS dan spesifikasi Noise-Equivalent-Change-in-Temperature (NEΔT) (Iron et al., 2012)

Band Saturasi temperature

Saturasi radians

NEΔT pada 240 K

NEΔT pada 300 K

NEΔT pada 360 K

10 360 K 20,5 W/m2 sr µm 0,80 K 0,4 K 0,27 K 11 360 K 17,8 W/m2 sr µm 0,71 K 0,4 K 0,29 K

Data yang direkam oleh sensor pada satelit Landsat-8 memiliki kemampuan dan peluang dalam aplikasi; 1) kalibrasi dan karakterisasi radiometrik, 2) reflektansi permukaan, 3) albedo permukaan, 4) temperatur permukaan, evapotranspirasi, dan kekeringan, 5) pertanian, 6) penutup lahan (kondisi, gangguan dan perubahannya), 7) perairan air tawar dan pantai, serta 8) es dan salju (Roy, et al., 2014).

2.2 Metode

Metode pengolahan yang dilakukan meliputi; 1) Perhitungan nilai radiansi, 2) Perhitungan nilai suhu kecerahan (brightness temperature), 3) Perhitungan nilai reflektansi (konversi dari brightness value menjadi reflectance); 4) Pembuatan citra komposit warna (RGB); 5) pengambilan training sampleburned area; dan 6) Perhitungan statistik nilai piksel burned area. 2.2.1 Konversi dari nilai Brightness Values (BV) ke Radiance Data Landsat-8 yang masih berupa nilai DN dapat dikonversi ke dalam radiance. Nilai reflektansi disini adalah TOA radiance. Untuk mengkonversi menjadi nilai TOA radiance, menggunakan persamaan sebagai berikut (USGS, 2015): Lλ = MLQcal + AL ............................................................................................................... (1)

dimana Lλ adalah TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * μm)), ML Band-specific multiplicative rescaling factor yang diperoleh dari file metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah nomor band), ALBand-specific additive rescaling factor yang diperoleh dari file metadata

Page 39: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 673 -

(RADIANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah nomor band), dan Qcal Quantized and calibrated standard product pixel values (DN). 2.2.2 Konversi dari nilai Brightness Values (BV) ke Reflektansi

Data OLI dapat juga dikonversi ke TOA planetary reflectance menggunakan faktor skala yang disediakan di dalam file metadata (MTL file). Untuk mengkonversi menjadi nilai TOA planetary reflectance, menggunakan persamaan sebagai berikut (USGS, 2015):

ρλ' = MρQcal + Aρ ...........................................................................................................(2) dimana ρλ' adalah TOA planetary reflectance (tanpa koreksi solar angle). Mρ adalah Band-specific multiplicative rescaling factor diambil dari metadata (REFLECTANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah band number), Aρ adalah band-specific additive rescaling factor diambil dari metadata (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah band number), dan Qcal adalah quantized and calibrated standard product pixel values (DN).

Kemudian, sun angle correction of TOA reflectance dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (USGS, 2013):

= ′( )

= ′( )

........................................................................................................(3)

dimana ρλ adalah TOA planetary reflectance, θSE adalah local sun elevation angle. Sun elevation angle (dalam derajat) untuk pusat scene tersedia dalam file metadata (SUN_ELEVATION). θSZ adalah local solar zenith angle, θSZ = 90° - θSE.

2.2.3 Konversi ke Suhu Kecerahan (Brightness Temperature)

Konversi menjadi nilai brightness temperature dialakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (USGS, 2015):

T = K2

ln( K1 +1) Lλ

............................................................................................................... (4)

Dimana T brightness temperature pada satelit (K), Lλ TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * μm)), K1 Band-specific thermal conversion constant yang diperoleh dari file metadata (K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band, 10 or 11), dan K2 Band-specific thermal conversion constant yang diperoleh dari file metadata (K2_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band, 10 or 11). 2.2.4 Analisis Data

Analisis data meliputi analisis statistik tendensi sentral dari nilai-nilai suhu kecerahan dari sampel (perhitungan mean, median, modus, standar deviasi dan varians), analisis distribusi normal, serta perhitungan jarak (D-value).

3. HASIL PEMBAHASAN

Gambar 1 merupakan potongan citra Landsat-8 yang memperlihatkan adanya daerah-daerah terbakar di Pulangpisau Kalimantan Tengah dan sekitarnya. Gambar atas citra natural color RGB 654 (SWIR, NIR, RED) sedangkan gambar bawah merupakan citra suhu kecerahan (brightness temperature) Landsat-8 TIRS band 10 atau BT10 (gambar kiri bawah) dan band 11 atau BT11 (gambar kanan bawah). Pada citra natural color, daerah terbakar menunjukkan warna merah ungu (red violet).Gambar 2 memperlihatkan dengan lebih jelas lagi kenampakan daerah bekas terbakar (perbesaran Gambar 1).Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara visual, daerah bekas terbakar memiliki suhu kecerahan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Gambar 3 lebih merupakan citra tiga dimensi suhu kecerahan kanal 10 dan 11 yang lebih memperjelas lagi secara visual pola suhu daerah bekas terbakar dan daerah sekitarnya.

Secara visual dapat juga diketahui bahwa obyek burned area memiliki warna yang mirip dengan permukiman dibandingkan dengan lahan terbuka. Sehingga dalam hal ini, dapat diduga bahwa piksel-piksel burned area akan memiliki kemiripan nilai dengan piksel-piksel pada obyek permukiman tersebut. Untuk

Page 40: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Karakteristik Temperatur Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan (Burned Area) dari Data Landsat-8 (Suwarsono, et al.)

- 674 -

mengetahui secara kuantitatif maka diambil beberapa sampel yang mewakili piksel burned area, permukiman dan lahan terbuka untuk dihitung secara statistik yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.

RGB 654

TB 10 TB 11

280 320 K

Gambar 1. Citra suhu kecerahan kanal 10 (TB10) dan kanal 11 (TB10) pada wilayah terbakar (Lokasi: Pulangpisau Kalimantan Tengah)

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa piksel burned area memiliki rerata suhu kecerahan BT10 dan

BT11 berturut-turut sebesar 308,44 K dan 304,39 K (standar deviasi 1,57 K dan 1,18 K). Permukiman kota sebesar 307,05 dan 303,65 K (standar deviasi 0,84 K dan 0,69 K). Sedangkan lahan terbuka sebesar 303,61 K dan 300,68 K (standar deviasi 1,97 K dan 1,95 K). Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan data BT10 dan BT11 dalam memisahkan antara burned area dan lahan terbuka serta burned area dan permukiman kota, maka dilakukan perhitungan nilai separabilitas dengan menggunakan formula sebagai berikut (dikembangkan dari Kaufman dan Remer, 1994):

=μ2− μ12+ 1 .........................................................................................................................(5)

Page 41: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 675 -

Nilai D-value> 1 menunjukkan bahwa band tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan kedua obyek obyek.Dimana D adalah Normalized Distance, µ1 dan µ2 berturut-turut adalah nilai rerata piksel obyek 1 dan obyek 2. Sedangkan σ1 dan σ2 berturut-turut adalah nilai standar deviasi pikselobyek 1 dan obyek 2. Hasil perhitungan D-value disajikan pada Tabel 4.

RGB 654

TB 10 TB 11

280 320 K

Gambar 2. Citra suhu kecerahan kanal 10 (TB10) dan kanal 11 (TB10) pada wilayah terbakar (Perbesaran gambar 1).

Page 42: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Karakteristik Temperatur Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan (Burned Area) dari Data Landsat-8 (Suwarsono, et al.)

- 676 -

Gambar 3. Citra 3-D suhu kecerahan kanal 10 (atas) dan kanal 11 (bawah) yang memperlihatk karakteristik suhu kecerahan daerah burned area, bare soil (tanah terbuka non burned area), dan permukiman.

Page 43: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 677 -

Tabel 3.Nilai suhu kecerahan obyek burned area dibandingkan dengan obyek permukiman kota dan lahan terbuka

BT10 (K) BT11 (K) BURNED AREA Rerata 308,44 304,39 St.Dev 1,57 1,18 PERMUKIMAN KOTA Rerata 307,05 303,65 St.Dev 0,84 0,69 LAHAN TERBUKA Rerata 303,61 300,68 St.Dev 1,97 1,95

Hasil perhitungan D-value menunjukkan bahwa citra BT10 dan BT11 meskipun memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan burned area dan lahan terbuka (D > 1), namun memiliki kemampuan yang rendah untuk memisahkan burned area dan permukiman (D < 1). Dengan demikian, parameter suhu kecerahan belum bisa dipergunakan sebagai variabel tunggal untuk ekstraksi burned area pada suatu scene citra perekaman tunggal dimana di dalamnya terdapat piksel-piksel permukiman.

Tabel 3.Nilai D values antara obyek burned area dan permukiman serta lahan terbuka

OBYEK D values BT10 BT11

Burned area vs Permukiman 0,577 0,392 Burned area vs Lahan terbuka 1,367 1,186

4. KESIMPULAN

Piksel burned area memiliki rerata suhu kecerahan BT10 dan BT11 berturut-turut sebesar 308,44 K dan 304,39 K (standar deviasi 1,57 K dan 1,18 K). Data BT10 dan BT11 meskipun memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan burned area dan lahan terbuka, namun memiliki kemampuan yang rendah untuk memisahkan burned area dan permukiman. Jadi, parameter suhu kecerahan belum bisa dipergunakan sebagai variabel tunggal untuk ekstraksi burned area pada suatu scene citra perekaman tunggal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Bapak Drs. Taufik Maulana, MBA yang telah bersedia memberikan saran dan masukan dalam pemanfaatan data Landsat-8 untuk deteksi piksel burned area.

DAFTAR PUSTAKA

Bastarrika, A., Chuvieco, E., dan Martin, M.P. (2011). Mapping burned areas from Landsat TM/ETM+ data with a two-phase algorithm:Balancing omission and commission errors. Remote Sensing of Environment, 115:1003–1012.

Caselles, V., Rubio, E., Coll, C., dan Valor, E. (1998). Thermal band selection for the PRISM instrument 3. Optimal band configuration. Journal of Geophysical Research, 103: 17.057–17.067.

Chuvieco, E., Englefield, P., Trishchenko, A.P., dan Luo, Y. (2008). Generation of long time series of burn area maps of the boreal forest from NOAA–AVHRR composite data. Remote Sensing of Environment, 112: 2381 −2396.

Stroppiana, D., Bordogna, G., Carrara, P., Boschetti, M., Bosschetti, L., dan Brivio, P.A. (2012). A method for extracting burned areas from Landsat TM/ETM+ images by softaggregation of multiple Spectral Indices and a region growing algorithm. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 69:88–102.

Irons, J.R., Dwyer, J.L., dan Barsi, J.A. (2012). The next Landsat satellite: The Landsat Data Continuity Mission. Remote Sensing of Environment, 122:11-21.

Page 44: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Karakteristik Temperatur Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan (Burned Area) dari Data Landsat-8 (Suwarsono, et al.)

- 678 -

Kaufman, Y.J., dan Remer, L.A. (1994). Detection of forest fire using Mid-IR reflectance: and application fro aerosols study. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 32: 672-683

Roy, D.P., Wulder, M.A., Loveland, T.R., Woodcock, C.E., Allen, R.G., Anderson, M.C., Helder, D., Irons, J.R., Johnson, D.M., Kennedy, R., Scambos, T.A., Schaaf, C.B., Schott, J.R., Sheng, Y., Vermote, E.F., Belward, A.S., Bindschadler, R., Cohen, W.B., Gao, F., Hipple, J.D., Hostert, P., Huntington, J., Justice, C.O., Kilic, A., Kovalskyy, V., Lee, Z.P., Lymburner, L., Masek, J.G., McCorkel, J., Shuai, Y., Trezza, R., Vogelmann, J., Wynne, R.H., dan Zhu, Z. (2014). Landsat-8: Science and product vision for terrestrial global change research. Remote Sensing of Environment, 145: 154-172.

Thonicke, K., Spessa, A., Prentice, I.C., Harrison, S.P., Dong, L., dan Carmona-Moreno, C. (2010), The influence of vegetation, fire spread and fire behaviour on biomassburning and trace gas emissions: Results from a process-based model. Biogeosciences, (7): 697 −743.

Suwarsono (2014) Deteksi Daerah Bekas Kebakaran Hutan/Lahan (Burned Area) Menggunakan Citra Penginderaan Jauh. Crestpent Press.

USGS (2015) Landsat 8 (L8) Data Users Handbook Version 1.0. EROS Sioux Falls, South Dakota. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Winanto JudulMakalah : KarakteristikTemperatur Daerah BekasKebakaranHutan/Lahan (Burned Area) dari Data

Landsat-8 TIRS Pemakalah :Suwarsono Jam : 15:51-16:06 Tempat : Ball Room 2 Lt 1 Diskusi : Peristiwa kebakaran biomassa pada suatu daerah akan menyisakan bekas-bekas kebakaran seperti arang, abu, serta singkapan tanah pada daerah tersebut yang dikenal dengan burned area. Daerah bekas kebakaran tersebut diduga memiliki temperatur yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang tidak terbakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik temperatur burn area menggunakan data penginderaan jauh Landsat-8 TIRS ((Thermal Infra Red Sensor). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang perlunya data termal dari Landsat-8 dalam pendeteksian burn area. Katmoko Ari (Pustekdata) Faktor waktu, bagaimana analisisnya?

Gathot W. (Pusfatja) Posisiwaktu data api, terhadap waktu yang sama dari data terbaru sensor yang lain apa? Data termal, dan apalagi setelah hujan turun bisa tumbuh tumbuhan di sekitar area kebakaran. Jawaban : Sample yang digunakan adalah hari setelah terjadi kebakaran, jadi suhu sudah turun drastis, Karena itu butuh data multitemporal. Estimasi Burn Area menggunkan suhu harus hati-hati sesaat setelah kebakaran.

Page 45: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 679 -

Pemanfaatan Data MODIS untuk Estimasi Energi Radiatif

Erupsi Gunungapi

Suwarsono1,*), Totok Suprapto1, Hidayat1, Fajar Yulianto1, dan Parwati1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK –peristiwa erupsi gunung api akan mengeluarkan lava pijar, piroklastik maupun awan panas melalui lubang kepundan maupun rekahan-rekahan di sekitarnya. Material-material hasil erupsi tersebut memiliki temperatur yang relatif tinggi dan memancarkan energi radiasi yang dapat diterima oleh sensor satelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi energi radiatif dari proses erupsi gunung api dengan menggunakan data penginderaan jauh MODIS Terra/Aqua di beberapa gunung api di Indonesia, yaitu G. Sinabung dan G. Raung. Tanggal perekaman data yang dipergunakan adalah 24 Juni 2015 (G. Raung) dan 29 Juli 2015 (G. Sinabung). Pada periode itu terjadi peningkatan aktivitas vulkanisme pada kedua gunung api tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas vulkanisme akan menghasilkan peningkatan energi radiatif. Energi radiatif erupsi ini dapat dijadikan sebagai parameter dalam mengetahui gejala-gejala peningkatan aktivitas vulkanisme. Berdasarkan hasil perhitungan energi radiatif erupsi dapat diketahui bahwa kekuatan erupsi G. Raung pada tanggal 24 Juni 2015 delapan kali lebih dahsyat dari G. Sinabung tanggal 29 Juli 2015.

Kata kunci: energi radiatif, erupsi gunung api, MODIS

ABSTRACT -Volcanic eruption events will emit lava, pyroclastic flows and hot clouds through the crater holes and fractures in the vicinity. Materials from the eruption has a relatively high temperature and emits radiant energy that can be detected by satellite sensors. This study aimed to estimate the radiative energy of the eruption of volcanoes using remote sensing data, that is MODIS Terra/Aqua in several volcanoes in Indonesia, namely Mt. Sinabung and Mt. Raung. Date of data acquistion used in this research are June 24, 2015 (Mt. Raung) and July 29, 2015 (Mt. Sinabung). In that period there was an increase of volcanic activity on the two volcanoes. The results showed that the increase in volcanic activity will result in increased radiative energy. This eruption radiative energy can be used as a parameter to identify the increase indicator in volcanic activity. Based on measurements of radiative energy of eruption, it can be detected that the strength of the eruption Mt. Raung on June 24, 2015 was eight times more powerful than Mt. Sinabung dated July 29, 2015.

Keywords: radiative energy, volcano eruption, MODIS

1. PENDAHULUAN

Peristiwa erupsi gunung api akan mengeluarkan lava pijar, piroklastik maupun awan panas melalui lubang kepundan maupun rekahan-rekahan di sekitarnya. Material-material hasil erupsi tersebut memiliki temperatur yang relatif tinggi dan memancarkan energi radiasi yang dapat diterima oleh sensor satelit. Penggunaan data satelit untuk deteksi dan kuantifikasi anomali suhu akibat meningkatnya aktivitas vulkanik telah dikembangkan secara sistematis dalam beberapa tahun belakangan ini (Coppola et al., 2012). Sebagian besar mempergunakan data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang terpasang pada satelit Terra maupun Aqua, yang memiliki resolusi rata-rata sehari 4 kali dan resolusi spasial 1 km pada kanal api (band 21, panjang gelombang 4 µm) yang dapat dipergunakan untuk deteksi, kuantifikasi dan monitoring aktivitas vulkanik dalam berbagai kondisi geoteknik gunung api yang berbeda-beda (Wright et al., 2004).

Sampai saat ini telah banyak penelitian pengembangan algoritma untuk deteksi anomali termal dari data MODIS. Pertama seperti sudah kita kenal secara luas adanya algoritma MODIS Fire (MOD14) yang dikembangkan oleh Giglio et al. (2003) untuk deteksi hotspot indikasi kebakaran khususnya hutan dan lahan. Atas dasar algoritma tersebut, dikembangkan juga algoritma MODIS Volcano (MODVOLC) yang dikembangkan oleh Flynn et al. (2002) dan Wright et al. (2002a). Algoritma MODVOLC ini memperkenalkan parameter Normalised Thermal Index (NTI), yaitu rasion antara perbedaan dan jumlah radians dari panjang gelombang MODIS band 21 ( 4µm) dan 32 (12µm). Metode ini telah dipergunakan secara rutin untuk pemantauan aktivitas vulkanik pada skala global (Coppola et al., 2012).

Lebih lanjut, Coppola et al. (2012) mencoba menganalisis MODIS data untuk deteksi dan kuantifikasi suhu dari aktivitas vulkanik strombolian selama rentang waktu yang panjang menggunakan parameter

POSTER PRESENTATION

Page 46: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data MODIS untuk Estimasi EnergiRadiatif Erupsi Gunung api (Suwarsono, et al.)

- 680 -

Volcanic Radiative Power (VRP). Istilah ini sebenarnya merujuk pada istilah Fire Radiative Power (FRP) yang dipergunakan oleh Wooster et al. (2003). Perhitungan nilai FRP pertama kali dikenalkan oleh Kaufman et al. (1996) untuk estimasi tingkat kebakaran biomassa dan emisi yang dihasilkan. Letusan strombolian dicirikan oleh adanya lontaran material berupa bombs, black scoria, lapili dana ash, setiap 10 hingga 20 menit yang disertai dengan gas-gas yang keluar lewat beberapa lubang di sekitar kawah (Barberi et al., 1993; Harris dan Ripepe, 2007). Hasil dari penelitian Coppola et al. (2012) menunjukkan bahwa pada gunung api Stromboli, adanya nilai radiasi yang tinggi berasosiasi dengan aktivitas efusif (VRP berkisar 8 hingga 3500 MEGAWATT, dengan rerata 186 MEGAWATT). Sedangkan nilai radiasi yang rendah berasosiasi dengan aktivitas strombolian (VRP berkisar antara 1 hingga 244 MEGAWATT, dengan rerata 9 MEGAWATT).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Coppola et al. (2012), penulis merasa tertarik untuk mencoba mengimplementasikan algoritma VRP yang diturunkan dari data MODIS untuk deteksi dan kuantifikasi aktivitas vulkanik di beberapa gunung api di Indonesia.

2. METODE

2.1 Data Data yang dipergunakan adalah MODIS Terra/Aqua yang direkam oleh Stasiun Bumi Penginderaan Jauh

Parepare Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN. Penelitian mengambil obyek tiga gunung api di Indonesia yang pada periode Juni - Juli 2015 menunjukkan peningkatan aktivitas vulkaniknya, yaitu G. Sinabung, G. Raung dan G. Gamalama.

2.2 Metode

Perhitungan energi radiatif erupsi dilakukan dengan mempergunakan formula Fire Radiative Energy (FRE) dari data MODIS yang dikembangkan oleh Kaufmanet al. (1998), yaitu dengan persamaan sebagai berikut:

= 4,34 × 10 ( − ) ..................................................................................... (1)

DimanaRfre adalah Fire Radiative Energy (dalam MEGAWATT), sedangkan T4 dan T4b berturut-turut

adalah nilai suhu kecerahan panjang gelombang 4 µm dari suatu piksel dan piksel latar belakangnya. Persamaan tersebut umumnya juga dipergunakan untuk estimasi FRP dari kebakaran hutan/lahan Wooster et al. (2003). Persamaan ini dapat juga dipergunakan untuk estimasi Volcanic Radiative Power (VRP) apabila suhu target melebihi 600º C (Wooster et al., 2003) dan dapat juga untuk menghitung radiasi panas dari lava flow atau target obyek erupsi gunung api lainnya yang memiliki suhu lebih dari 300º C (Coppola et al. (2012).Dalam penelitian ini, Rfre akan dipergunakan untuk estimasi besar energi radiatif erupsi gunung api.

2.3 Tahapan Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: langkah pertama adalah penentuan area of interest (AOI) yang akan difokuskan untuk perhitungan. AOI yang dipilih adalah daerah wilayah kerucut gunung api, khususnya wilayah kawah dan sekitarnya. Langkah kedua adalah ekstraksi nilai suhu kecerahan kanal 21 (T21) dari data MODIS, dan tahap 3 adalah perhitungan besar nilai energi radiatif erupsi atau VRP (menggunakan persamaan 2-1). Langkah berikutnya adalah analisis statistik nilai citra VRP yang meliputi rerata, nilai minimum dan nilai maksimum. Langkah berikutnya adalah analisis perbandingan dan interpretasi nilai VRP dari kedua gunung api (G. Sinabung dan G. Raung).

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Gunung api a. G. Sinabung

Menurut Wibowo et al. (2012), Gunung api Sinabung merupakan stratovolcano, secara geografis terletak pada 3°10’ Lintang Utara dan 98°23,5’ Bujur Timur dan secara administratif masuk kedalam Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Gunung ini memiliki 4 kawah yang diberi nama kawah I, II, III dan IV. Pada tahun sebelum 1600, aktifitas terakhir yang ditimbulkan oleh gunung api ini berupa muntahan bantuan piroklasik serta aliran lahar yang mengalir ke arah selatan, pada tahun 1912 aktifitas solfatara terlihat di puncak dan lereng atas,dan pada tanggal 27 Agustus tahun 1975 – 7 April tahun 1976 terjadi

Page 47: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 681 -

beberapa kali letusan yang diantaranya merupakan letusan freatik. Sejak tahun 2010, gunung api ini diklasifikasikan ke dalam gunung api aktif tipe A. (Sutawidjaja, et al., 2013). Pada pertengahan-akhir tahun 2013, terjadi erupsi besar dan hingga saat ini masih sering berlangsung erupsi yang mengeluarkan guguran lava pijar dan awan panas. b. G. Raung

Menurut Wibowo et al. (2012), Gunung api Raung merupakan stratovolcano, mempunyai 2 kawah yaitu kawah utama bernama Kaldera Raung dan kawah lainnya bernama Tegal Alun-alun dan Tegal Brungbung. Secara geografis terletak pada 8˚11’54,48” LS dan 114˚9’13,02”BT dan secara administratif berada pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Puncak gunung berada pada ketinggian 3.332 m dpl. Sejarah erupsi tercatat bahwa sejak tahun 1939 hingga 1989 tercatat 11 kali erupsi. Pada akhir sekitar Juni hingga Juli 2015, gunung api ini mengalami erupsi lagi yang menghasilkan asap yang mengganggu penerbangan. Gambar 1 menunjukkan citra Landsat-8 G. Sinabung yang direkam pada tanggal 29 Juni 2015 dan G. Raung yang direkam pada tanggal 26 September 2015.

29 Juni 2015 26 September 2015 Gambar 1. Citra Landsat-8 G. Sinabung (kiri) dan G. Raung (kanan)

3.2 Hasil Estimasi Energi Radiatif Erupsi Obyek gunung api yang diamati adalah G. Sinabung dan G. Raung. Untuk pengamatan di G. Sinabung

dipergunakan data Terra MODIS tanggal 29 Juli 2015 perekaman pukul 15.39 UTC. Sedangkan untuk G. Raung dipergunakan data Terra MODIS tanggal 24 Juni 2015 perekaman pukul 15.06 UTC. Pada tanggal-tanggal tersebut terjadi erupsi yang menghasilkan energi radiatif yang akan diestimasi.Berdasarkan pola suhu kecerahan kanal 21 (T21) tampak bahwa pada saat terjadinya erupsi, pada bagian sekitar kawah kedua gunung api tersebut menunjukkan nilai yang kontras lebih tinggi (Gambar 2). Kondisi tersebut merupakan indikasi bahwa proses erupsi akan menghasilkan kalor dengan jumlah yang besar yang akan terekam oleh sensor MODIS. Gambar 3 dan 4 memperlihatkan citra hasil estimasi nilai energi radiatif erupsi kedua gunung api tersebut yang memperlihatkan pola tingginya nilai energi radiatif pada daerah kawah dan sekitarnya pada saat terjadinya erupsi.

Page 48: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data MODIS untuk Estimasi EnergiRadiatif Erupsi Gunung api (Suwarsono, et al.)

- 682 -

G. Sinabung G. Raung

T21275 330 K

Gambar 2. Nilai suhu kecerahan kanal 21 (T21) G. Sinabung (erupsi tanggal 29 Juli 2015 pukul 15.39 UTC) dan

G. Raung (erupsi tanggal 24 Juni 2015 pukul 15.06 UTC)

G. Sinabung G. Raung

FRE 0 32,5 MEGAWATT

Gambar 3. Citraenergi radiatif erupsi G. Sinabung (erupsi tanggal 29 Juli 2015 pukul 15.39 UTC) dan G. Raung

(erupsi tanggal 24 Juni 2015 pukul 15.06 UTC)

Hasil perhitungan energi radiatif erupsi pada kawah dan sekitarnya menunjukkan nilai kisaran antara 5,7 hingga 32,5 Megawatt dengan rerata 12,1 Megawatt (untuk G. Sinabung) serta 8,7 hingga 203,8 Megawatt dengan rerata 93,4 Megawatt (untuk G. Raung) (Tabel 1). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kekuatan erupsi G. Raung pada tanggal 24 Juni 2015 delapan kali lebih dahsyat dari G. Sinabung.

G. Sinabung

G. Sinabung

G. Raung

G. Raung

Page 49: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 683 -

G. Sinabung

G. Raung

Gambar4. Citra 3-D energi radiatif erupsi G. Sinabung (erupsi tanggal 29 Juli 2015 pukul 15.39 UTC) dan G.

Raung (erupsi tanggal 24 Juni 2015 pukul 15.06 UTC). Sumbu X dan Y masing-masing adalah koordinat bujur dan lintang, sedangkan sumbu Z adalah nilai NTI*0.0001.

Kawah G. Sinabung

Kawah G. Raung

Page 50: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Pemanfaatan Data MODIS untuk Estimasi EnergiRadiatif Erupsi Gunung api (Suwarsono, et al.)

- 684 -

Tabel 1. Nilai energi radiatif erupsi G. Sinabung (erupsi tanggal 29 Juli 2015 pukul 15.39 UTC) dan G. Raung (erupsi tanggal 24 Juni 2015 pukul 15.06 UTC) dalam Megawatt

VRP G. Sinabung G. Raung

Maksimum 32,5 203,8 Minimum 5,7 8,7 Rerata 12,1 93,4

4. KESIMPULAN

Peningkatan aktivitas vulkanisme akan menghasilkan peningkatan energi radiatif. Energi radiatif erupsi ini dapat dijadikan sebagai parameter dalam mengetahui gejala-gejala peningkatan aktivitas vulkanisme dan seberapa besar kekuatan dari erupsi. Hasil perhitungan energi radiatif erupsi pada kawah dan sekitarnya menunjukkan nilai kisaran antara 5,7 hingga 32,5 Megawatt dengan rerata 12,1 Megawatt (untuk G. Sinabung) serta 8,7 hingga 203,8 Megawatt dengan rerata 93,4 Megawatt (untuk G. Raung). Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kekuatan erupsi G. Raung pada tanggal 24 Juni 2015 delapan kali lebih dahsyat dari G. Sinabung.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN yang telah menyediakan data MODIS. Terima kasih juga kepada Ibu Dr. Wikanti Asriningrum dan Bapak Drs. Taufik Maulana, MBA yang telah bersedia memberikan saran dan masukan dalam pemanfaatan data MODIS untuk deteksi aktivitas vulkanik gunung api di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Barberi, F., Rosi, M., dan Sodi, A. (1993). Volcanic hazard assessment at Stromboli based onreview of historical data. Acta Vulcanologica, 3: 173–187.

Coppola, D., Piscopo, D., Lailolo, M., Cigolini, C., Delle Donne, D., dan Ripepe, M. (2012). Radiative heat power at Stromboli volcano during 2000–2011: Twelve years ofMODIS observations. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 215-216: 48-60.

Flynn, L.P., Wright, R., Garbeil, H., Harris, A.J.L., dan Pilger, E. (2002). A global thermal alertusing MODIS: initial results from 2000–2001. Advances in Environmental Monitoringand Modeling, 1: 5–36.

Giglio, L., Descloitresa, J., Justice, C.O., dan Kaufman, Y.J. (2003). An enhanced contextual firedetection algorithm for MODIS. Remote Sensing of Environment, 87: 273–282.

Harris, A.J.L., dan Ripepe, M. (2007). Temperature and dynamics of degassing at Stromboli. Journal of Geophysical Research 112. doi:10.1029/2006JB0004393.

Kaufman, Y., Remer, L., Ottmar, R., Ward, D., Rong, R.L., Kleidman, R., Fraser, R., Flynn, L., McDouga, D., dan Shelton G. (1996). Relationship between remotely sensed fire intensity and rate of emission of smoke: SCAR-C experiment, Global Biomass Burning, 685–696.

Kaufman, Y.J., Justice, C.O., Flynn, L.P., Kendall, J.D., Prins, E.M., Giglio, L., Ward, D.E., Menzel, W., dan Setzer, A.W. (1998). Potential global fire monitoring from EOSMODIS. Journal of Geophysical Research, 103: 32.215-32.238

Sutawidjaja, I.S., Prambada, O., dan Siregar, D.A. (2013). The August phreatic eruption of Mount Sinabung, North Sumatra. Indonesian Journal of Geology, 8(1):55-61.

Wibowo, A., Lomban, A.A., dan Oktiari, D, (ed). (2012). Baseline Kegunung apian Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Nasional (BNPB).

Wooster, M.J., Zhukov, B., dan Oertel, D. (2003). Fire radiative energy for quantitative studyof biomass burning: derivation from the BIRD experimental satellite and comparisonto MODIS fire products. Remote Sensing of Environment, 86: 83–107.

Wright, R., Flynn, L., Garbeil, H., Harris, A.J.L., dan Pilger, E. (2002). Automated volcaniceruption detection using MODIS. Remote Sensing of Environment, 82: 135–155.

Wright, R., Flynn, L.P., Garbeil, H., Harris, A.J.L., dan Pilger, E. (2004). MODVOLC: near-realtimethermal monitoring of global volcanism. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 135: 29–49.

Page 51: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 685 -

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA POSTER PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Judul Makalah : Pemanfaatan Data MODIS untuk Estimasi Energi Radiatif Erupsi Gunung api Pemakalah : Suwarsono Jam : 10.30-15.00 Tempat : Ball Room 2 & 3 Diskusi : Erna Sri Adiningsih (Pusfajta, LAPAN): Apa manfaat praktis dari perhitungan FRE letusan gunung berapi untuk manajemen kebencanaan? Apakah sudah dilakukan validasi FRE?

Jawaban: FRE secara praktis dapat dimanfaatkan untuk monitoring aktivitas vulkanisme, khususnya untuk mengetahui gejala kapan gunung api tersebut akan erupsi. Penelitian belum dilakukan validasi secara langsung

Page 52: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 686 -

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan

Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Muhammad Priyatna1,*), Kusumaning Ayu Dyah Sukowati1, dan Fajar Yulianto1

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK – Citra satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk memberikan informasi kebakaran hutan/lahan dan asap. Informasi tersebut perlu disajikan dengan cepat dan akurat untuk stakeholder/pengguna citra satelit. Citra SPOT-6 merupakan salah satu citra dengan resolusi tinggi yang dapat digunakan untuk pemetaan dalam mendeteksi sebaran asap. SPOT 6 memiliki resolusi spasial 2 meter, yang dapat digunakan untuk interpretasi secara visual sebaran asap yang terjadi di suatu wilayah. Citra SPOT 6 tidak dapat memberi informasi sebaran kabut asap yang optimal, sehingga diperlukan pengolahan citra terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, pengolahan citra SPOT 6 dilakukanpemilihan pada beberapa tahap, yaitu : pemilihan kombinasi kanal citra berwarna (Red, Green, dan Blue), interpretasi citra SPOT secara manual, dan klasifikasi kemiripan maksimum. Tahap selanjutnya dilakukan analisis pada citra baru untuk menghasilkan informasi peta sebaran asap. Tujuan dari penelitian ini adalah menggunakan teknik Optimum Index Factor (OIF) pada citra SPOT 6 dengan studi kasus untuk wilayah Musibanyuasin, provinsi Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan teknik OIF untuk kanal citra SPOT 6 menghasilkan 4 kombinasi kanal RGB. Pengaturan kombinasi warna pada kanal sebagai RGB tidak mempengaruhi pada nilai-nilai OIF, hal ini akan dihasilkan nilai yang sama. Kombinasi kanal dengan nilai OIF yang tertinggi dihasilkan pada kombinasi kanal 1-2-4/1-4-2/2-1-4/2-4-1/4-1-2/4-2-1 dengan nilai OIF sebesar 664,13. Selanjutnya, diikuti kombinasi kanal 2-3-4/2-4-3/3-2-4/3-4-2/4-2-3/4-3-2 dengan nilai OIF, sebesar 649,43. Kombinasi kanal dengan rangking ketiga adalah kombinasi kanal 1-3-4/1-4-3/3-1-4/3-4-1/4-1-3/4-3-1 dengan nilai OIF, sebesar 648,12. Kombinasi kanal terakhir adalah kombinasi kanal terendah, yakni kombinasi kanal 1-2-3/1-3-2/2-1-3/2-3-1/3-1-2/3-2-1 dengan nilai OIF, sebesar 640,23. Kombinasi kanal citra SPOT 6 RGB yang disarankan untuk digunakan dalam mendukung informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap adalah kombinasi kanal 1-4-2 dan 2-4-1, kombinasi ini mendekati warna natural /true color. Sedangkan kombinasi lainnya merupakan warna false color. Berdasarkan analisis terhadap kombinasi yang berbeda maka teknik OIF sangat berguna untuk mengidentifikasi, membedakan interpretasi tutupan lahan, vegetasi, dan asap, sehingga mudah untuk membedakan kejadian kebakaran hutan/lahan dan asap, dan fitur geologi lainnya.

Kata kunci: Optimum Index Factor, kombinasi kanal, SPOT 6, Tanggap Darurat, Asap, Sumatera Selatan.

ABSTRACT - Remote sensing satellite imagery can be used to provide information about forest/land fires and smoke. Such information needs to be served quickly and accurately to stakeholders/users of satellite imagery. SPOT-6 image is one of the high-resolution images that can be used for mapping in detecting the spread of smoke. SPOT-6 has a spatial resolution of 2 meters, which can be used for visual interpretation of the distribution of smoke that occurs in a region. SPOT-6 imagery can not provide information about the optimal distribution of smog, so that the pre-processing image is necessary. In this study, SPOT-6 image processing was carried out in several stages: the selection of a combination of color image channels (Red, Green, and Blue), visual SPOT image interpretation, and classification of maximum similarity. The next stage of the analysis performed on the new image to produce a smoke distribution map. The aim of this study was to use an Optimum Index Factor (OIF) technique on SPOT-6 imagery with case studies for Musibanyuasin region, the Province of South Sumatra. The results showed that the OIF technique calculations to SPOT-6 channels imagery to produce 4 combinations of RGB channels. Setting the color combination on the canal as RGB does not affect the values of OIF, it will produce the same value. Combination channel with the highest value of OIF generated on channel combination 1-2-4 / 1-4-2 / 2-1-4 / 2-4-1 / 4-1-2 / 4-2-1 with a value of OIF 664.13. Subsequently, followed by a combination of channels 2-3-4 / 2-4-3 / 3-2-4 / 3-4-2 / 4-2-3 / 4-3-2 with OIF value, amounting to 649.43. Channel combination with third rank is a combination of channels 1-3-4 / 1-4-3 / 3-1-4 / 3-4-1 / 4-1-3 / 4-3-1 with OIF value, amounting to 648, 12. The lowest channel combination are the combination of channel 1-2-3 / 1-3-2 / 2-1-3 / 2-3-1 / 3-1-2 / 3-2-1 with the value of OIF, amounted to 640.23. RGB channel combination of SPOT-6 imagery suggested to be used in support of emergency response information of forest/land fires and smoke is a combination of 1-4-2 and 2-4-1 channels, this combination approach the natural color/true color. The other combinations are false color. Based on the analysis of different combinations of the OIF technique, it is very useful to identify, differentiate interpretation of land cover, vegetation, and smoke, making it easy to distinguish the incidence of forest/land fires and smoke, and other geological features.. Keywords: Optimum Index Factor, the combination of channel, SPOT 6, Emergency Response, Smoke, South Sumatra.

POSTER PRESENTATION

Page 53: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Priyatna, M., et al.)

- 687 -

1. PENDAHULUAN

BBC Indonesia (20 September 2015), menyebutkan adanya ratusan titik api di wilayah Provinsi Jambi, Sumatra Selatan, dan Riau. Di Sumatera Selatan, konsentrasi titik api berada di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. Selain itu juga dampak asap ini telah menyebar hingga ke Provinsi Jambi dan Riau, bahkan ke Negara tetangga. Terkait dengan kejadian bencana kebakaran hutan/lahan dan asap, LAPAN sebagai lembaga non kementerian membuat Posko Tanggap Darurat Bencana dan memiliki tugas yang sinergis dengan kejadian ini. Sesuai dengan Undang-Undang no 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan, Posko Tanggap Darurat Bencana, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN mempunyai tugas untuk melakukan pemanfaatan data dan diseminasi informasi, baik data primer, data proses, dan analisa informasi. Untuk mendukung kegiatan ini maka Posko Tanggap Darurat Bencana diharapkan dapat memberikan informasi secara cepat dan kontinuitas yang tinggi. Namun demikian disaat kesibukan sebagai Posko, perlu diperhatikan kualitan dan kuantitas dalam membuat atau produksi informasi yang diberikan kepada pengguna. Informasi tanggap darurat bencana asap dan kebakaran hutan/lahan disajikan secara kontinu dengan memanfaatkan ketersediaan data yang dimiliki oleh LAPAN khususnya dari Pusat Teknologi dan Data, baik data resolusi rendah hingga resolusi tinggi sekalipun. Pemanfaatan data resolusi tinggi, seperti SPOT-6 sangat diperlukan sekali karena mempunyai kemampuan resolusi spasial hingga 2 meter, sehingga memiliki nilai ketelitian terhadap wilayah yang terdampak adanya kejadian bencana kebakaran hutan/lahan dan asap. Selain informasi tanggap darurat bencana asap dan kebakaran hutan/lahan, juga di identifikasi titik panas kebakaran hutan serta wilayah-wilayah sampai tingkat kabupaten akan diketahui. Tidak tutup kemungkinan akan lebih detil lagi, jika dikombinasikan dengan data atau informasi perkebunan lainnya. Dengan demikian akan lengkap kondisi kejadian kebakaran hutan/lahan dan asap di lapangan dan ini akan memudahkan para instansi atau pemerintah daerah terkait dalam mengambil keputusan sebagai aksi/tindakan yang diambil dalam mengatasi kejadian bencana ini.

Pemanfaatan data satelit resolusi tinggi masih belum banyak yang menggunakan untuk memantau kejadian bencana, biasanya menggunakan resolusi rendah, seperti MODIS dan NOAA. Namun demikian ada yang menggunakan resolusi lainnya seperti SPOT 6/7 dan Landsat-8. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa penggunaan kanal-kanal yang sesuai atau terbaik untuk menghasilkan informasi tanggap darurat bencana ini. Pada kebanyakan tulisan, para penulis umunya pemilihan kanal-kanal tersebut menggunakan metode Optimum Index Factor (OIF) dan juga belum banyak yang menganalisis pemanfaatan OIF dalam kejadian bencana kebakaran hutan/lahan dan asap dengan menggunakan citra SPOT. Dalam penelitian Ali dan Basavarajappa (2008); Li et al.(2013); Jun et al.(2008); Beauchemln dan Fung, (2001); Huan et al. (2007); Prakash et al.(2015); Ray et al.(2014); Susanto dan Asriningrum (2011); Naji dan Hatem (2011); Chuang et al. (2003); Wahyunto et al.(2004) telah melakukan penelitian pemanfaatan OIF untuk data Landsat, ALOS, dan Quickbirds. Selain itu pemanfaatannya digunakan untuk aplikasi penutup lahan, mangrove, daerah aliran sungai, tata ruang, tambang dan mineral. Oleh karena itu maka dalam makalah ini dilakukan analisis kanal-kanal terbaik dalam penyiapan ketersediaan kombinasi pada citra SPOT-6, dengan memanfaatkan metode perhitungan OIF maka akan diketahui kanal terbaik dalam mendeteksi sebaran asap di wilayah Musibanyuasin, Sumatera Selatan (Gambar 1). Selain itu juga dengan kombinasi titik panas kejadian kebakaran hutan/lahan Citra MODIS Aqua/Terra, sesuai dengan tanggal akuisisi citra SPOT-6, maka akan diketahui sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan dan asap yang terjadi pada waktu tersebut.

Page 54: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 688 -

Gambar 1. Lokasi penelitian di Kabupaten Musibanyuasin,

Provinsi Sumatera Selatan (kotak warna merah, Sumber Pusfatja)

2. METODE 2.1 Bahan dan Alat Penelitian

Pada penelitian ini, menggunakan data multi-spektral citra SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre) seri keenam (SPOT-6). yang telah diakusisi pada tanggal 17 September 2015 dan memiliki resolusi spasial 1.5 meter. Data ini akan digunakan untuk menghasilkan parameter statistik, seperti nilai Minimim, Maximum, Mean, dan Standar Deviasi. Data tersebut diakusisi oleh LAPAN dan telah dilakukan koreksi geometrik dengan informasi proyeksi adalah Universal Transverse Mercator (UTM), Sistem Grid adalah Geografi dan UTM, Datum adalah World Geodetic Survey 1984 (WGS84). Perangkat lunak ArcView GIS 3.2, ENVI 4.8 dan ArcGIS 10.1 digunakan dalam penelitian ini untuk membantu proses pengolahan data.

Tabel 1. Karakteristik dan kemampuan SPOT-6 (SPOT 6 dan SPOT 7 Imagery - User Guide, 2013)

KANAL SPEKTRAL KETERANGAN

(colour) bands tipe 0.450 - 0.745 μm Hitam dan putih/black and white Panchromatic 0.450 - 0.520 μm Biru/Blue Multispectral/visibel 0.530 - 0.590 μm Hijau/Green Multispectral/visibel 0.625 - 0.695 μm Merah/Red Multispectral/visibel 0.760 - 0.890 μm NIR/Near Infra Red Multispectral/Near Infra Red

2.2 Pengolahan Data Awal (Pre-Processing)

Ekstraksi nilai statitik citra SPOT-6 dalam format Digital Number (DNs) ke dalam nilai minimum dan maksimum, selanjutnya proses perhitungan statistik dasar, yakni mean, standar deviasi dan koefisien korelasi dari nilai-nilai reflektansi dari citra SPOT-6 (tabel 2, 3, 4 dan 5). Citra SPOT-6 yang digunakan dipilih dalam format 16-bit unsigned integer.

2.3 Penentuan Jumlah Kombinasi Kanal/Band

Pada penentuan kombinasi kanal yang akan di olah perlu dilakukan penghitungan jumlah kombinasi setiap kanal citra SPOT-6. Jumlah kombinasi tiga kanal dari jumlah kanal yang ada dalam karakteristik citra SPOT-6 dapat ditentukan dengan persamaan matematis, sebagai berikut:

…………...................................………………………….(1)

Di mana n adalah jumlah objek yang bisa dipilih dan r adalah jumlah yang harus dipilih.

Page 55: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Priyatna, M., et al.)

- 689 -

Kombinasi multispektral dilakukan dengan memilih tiga (3) kanal, yaitu untuk membuat cittra warna komposit dengan memasukkan setiap kanal ke dalam filter merah, hijau, dan biru (RGB), dan dari kombinasi tersebut harus dapat menyajikan keragaman warna paling banyak agar diperoleh informasi yang optimal. keragaman warna terbanyak dari tiga kanal, untuk resolusi radiometrik 16 bit, adalah sebesar (216)3 = 2.81475 x 10 14 warna. Fusi multispektral dari 3 (tiga) kanal ini selanjutnya dilakukan pada 4 (empat) kanal, yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4, sehingga dapat diperoleh kombinasi-kombinasi warna komposit sebanyak C3

4 = 4! / (3!) (4-3)! = 4. Jika urutan diperhatikan dan setiap objek yang tersedia hanya bisa dipilih atau dipakai sekali maka jumlah

kombinasi dalam bentuk matematis, adalah:

………………....................................................................………(2)

di mana n adalah jumlah objek yang dapat kamu pilih, r adalah jumlah yang harus dipilih dan ! adalah simbol faktorial. Dengan menggunakan formula tersebut diperoleh sebanyak 24 (dua puluh empat) kombinasi kanal citra SPOT 6. 2.4 Penentuan Nilai Optimum Index Factor (OIF)

Hasil perolehan data statistik selanjutnya dilakukan analisis atau klasifikasi data digital citra satelit perlu dicari gabungan (composite) dari 3 band yang tampilan datanya dapat memberikan gambaran dan detil informasi yang jelas dan tajam tentang kebakaran hutan/lahan dan asap. Pemilihan kombinasi kanal/band yang cocok untuk identifikasi kebakaran hutan/lahan dan asap dapat dilakukan dengan menghitung nilai ‘Optimum Index factor’(OIF). Nilai OIF yang dikembangkan oleh (Chavez et al., 1982) adalah nilai statistik yang dapat digunakan untuk memilih kombinasi optimal dari tiga band dalam citra satelit dengan gambar komposit warna.

Formula untuk menghitung nilai OIF adalah sebagai berikut: 3 Σ sk k=1 OIF = ………………………(3) 3 Σ abs (rj) j=1 Dimana : sk = standard deviasi untuk kanal/band k, dan abs (rj) = adalah nilai absolut dari koefisient

korelasi diantara 3 band yang akan dinilai. Menurut Jensen (1986) dari berbagai kombinasi tersebut hasil yang terbaik untuk interpretasi citra adalah

yang memiliki nilai OIF tinggi. Sedangkan penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah pembuatan model fusi kanal selesai, karena penajaman diaplikasikan pada model-model fusi kanal yang sudah terpilih.

2.5 Interpretasi Kombinasi Citra Hasil OIF Dengan Sebaran Titik Panas Kebakaran Hutan/Lahan

Proses penentuan kombinasi kanal terpilih ditentukan setelah diketahui nilai OIF yang tertinggi dan di-overlay dengan sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan dan asap sesuai tanggal akuisisi citra SPOT-6. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Sebaran titik panas yang digunakan, diperoleh dari LAPAN dengan alamat website. Pada tahapan ini perlu dianalisa terkait energi elektromagnetik yang dipantulkan, diserap, dialirkan maupun di pancarkan ini sifatnya sangat bervariasi tergantung pada karakteristik obyek-obyek di permukaan bumi tersebut. Keadaan ini menunjukan bahwa setiap obyek dibumi mempunyai spectral respond (reaksi spektral) yang berbeda. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam sistim penginderaan jauh melalui sistim sensor pada satelit yang juga mempunyai spectral sensitivity (kepekaan terhadap spektral) tertentu sebagai dasar terbentuknya data penginderaan jauh (Lillesand dan Kiefer, 1994). Adapun karakteristik spektral dari beberapa unsur-unsur utama di permukaan bumi, yaitu tumbuhan, tanah dan air dapat dijadikan penentuan citra yang baik dalam tanggap darurat kebencanaan khususnya kebakaran hutan/lahan dan asap, sehingga memberikan kemudahan bagi pengguna secara cepat. Keterhubungan panjang gelombang dan nilai reflektansi tanah, vegetasi, dan air dapat dilihat pada Gambar 2.

This image cannot currently be display ed.

Page 56: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 690 -

Gambar 2. Karakteristik spektral reflektansi tanah, air dan vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1994)

3. HASIL PEMBAHASAN Pada penelitian ini diperoleh empat kombinasi kanal warna RGB yang dihasilkan dari kanal-

kanal citra SPOT (kanal 1, kanal 2, kanal 3, dan kanal 4). Pada tabel 5, menunjukkan hasil OIF dari seluruh kombinasi yang berbeda (kombinasi kanal dengan semua spektrum Visibel dan kombinasi kanal antara spektrum Visibel dengan spektrum NIR). Pengaturan kombinasi warna pada kanal sebagai RGB tidak mempengaruhi pada nilai-nilai OIF, hal ini akan dihasilkan nilai yang sama.

Dalam makalah ini dilakukan juga perhitungan terhadap kombinasi kanal dengan memperhatikan urutan, walaupun memiliki nilai OIF yang sama. Dengan menganalisa kombinasi sesuai dengan urutan maka akan diperoleh sebanyak 24 (dua puluh empat) kombinasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kombinasi citra SPOT yang menghasilkan warna true color atau false color.

Kombinasi kanal dengan nilai OIF yang tertinggi dihasilkan pada kombinasi kanal 1-2-4/1-4-2/2-1-4/2-4-1/4-1-2/4-2-1 dengan nilai OIF sebesar 664.13. Selanjutnya diikuti kombinasi kanal 2-3-4/2-4-3/3-2-4/3-4-2/4-2-3/4-3-2 dengan nilai OIF, sebesar 649.43. Kombinasi kanal dengan rangking ketiga adalah kombinasi kanal 1-3-4/1-4-3/3-1-4/3-4-1/4-1-3/4-3-1 dengan nilai OIF, sebesar 648.12. Kombinasi kanal terakhir adalah kombinasi kanal terendah, yakni kombinasi kanal 1-2-3/1-3-2/2-1-3/2-3-1/3-1-2/3-2-1 dengan nilai OIF, sebesar 640.23. Berikut Tabel 2, 3, dan 4 menunjukkan data statistik dasar, korelasi dan varian antara kanal-kanal yang berbeda, serta hasil perhitungan nilai OIF pada citra satelit SPOT. Kanal Near Infra Red (band 4) memiliki korelasi yang tinggi dan varians rendah terhadap kanal 1, kanal 2, dan kanal 3, sehingga menunjukkan tingginya nilai OIF.

Tabel 2. Data statistik dasar terhadap kanal citra satelit SPOT STATISTIK DASAR

BAND Min Max Mean Standar Deviasi

1 0 2426 1059.874371 656.090903 2 0 2436 1018.278994 659.067540 3 0 2225 868.397564 594.488469 4 0 2241 1032.049021 572.034632

Page 57: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Priyatna, M., et al.)

- 691 -

Tabel 3. Korelasi kanal citra SPOT-6

KOEFISIEN KORELASI ANTAR BAND BAND 1 2 3 4

1 1 0.997216 0.989139 0.926379 2 0.997216 1 0.996415 0.917991 3 0.989139 0.996415 1 0.89665 4 0.926379 0.917991 0.89665 1

Tabel 4. Kovarian kanal citra SPOT-6 KOEFISIEN COVARIANCE ANTAR BAND

BAND 1 2 3 4 1 430455.2728 431204.5198 385802.1178 347676.2334

2 431204.5198 434370.0224 390403.5888 346091.4582 3 385802.1178 390403.5888 353416.5398 304922.0449 4 347676.2334 346091.4582 304922.0449 327223.6208

Tabel 5. Kombinasi kanal citra SPOT-6 dengan nilai OIF

NO. KOMBINASI SALURAN OIF RANGKING SPECTRUM REGION

1 123/132/213/231/312/321 640.23 4 Visible 2 124/142/214/241/412/421 664.13 1 Visible + NIR 3 234/243/324/342/423/432 649.43 2 Visible + NIR 4 134/143/314/341/413/431 648.12 3 Visible + NIR

Gambar 3. Korelasi antara kanal citra spot 6

Page 58: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 692 -

Gambar 4. Variance antara kanal citra spot 6

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisa terhadap OIF dan terhadap kombinasi kanal-kanal citra

SPOT 6, maka kombinasi dengan rangking 1 disarankan atau dipilih untuk penggunaan informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap. Pemilihan rangking pertama juga masih perlu dipilih, karena OIF yang tinggi belum tentu sesuai dengan visualisasi. Oleh karena itu perlu ditentukan kombinasi kanal yang sesuai dengan atau mewakili object yang ada di bumi, minimal mewakili tutupan vegetasi, tubuh air, dan daratan. Pemilihan ini akan mempermudah proses identifikasi, membedakan interpretasi tutupan lahan, vegetasi, dan asap, sehingga mudah untuk membedakan kejadian kebakaran hutan/lahan dan asap, dan fitur geologi lainnya.

Berdasarkan hasil OIF dan hasil kombinasi kanal pada citra SPOT, maka kombinasi yang akan dipilih sesuai dengan objek yang ada di muka bumi, adalah kombinasi kanal 1-4-2 dan 2-4-1. Kombinasi ini merupakan true color composite atau warna sebenarnya yang ada di permukaan bumi (natural color). Sedangkan kombinasi kanal Kombinasi kanal 1-2-4 dan 2-1-4, dan kombinasi kanal 4-1-2 dan 4-2-1, tidak direkomendasikan untuk dipilih sebagai kombinasi kanal yang dipakai, karena kanal ini merupakan false color composite atau warna yang bukan sebenarnya yang ada di permukaan bumi. Pada paragraph berikut dijelaskan masing-masing karakteristik dari kombinasi kanal yang berada pada rangking 1 tersebut, yakni: 3.1 Kombinasi kanal 1-4-2 dan 2-4-1: Kombinasi kanal 1-4-2 (0.450-0.520 μm / 0.760-0.890 μm / 0.530-0.590 μm) dan kombinasi kanal 2-4-1 (0.530-0.590 μm / 0.760-0.890 μm /0.450-0.520 μm) merupakan kombinasi kanal RGB yang berasal dari spektrum gelombang visible + NIR + visible. Kombinasi dua spektrum kanal ini menghasilkan nilai OIF yang tinggi diantara kombinasi lainnya yakni 664,13. Penggunaan kanal near infra red meningkatkan resolusi kanal visible dan meningkatkan kemampuan interpretasi geologi daerah penelitian. Penggunaan kombinasi kanal ini memberikan kemudahan dalam membedakan antara vegetasi dan asap. Warna vegetasi yang dihasilkan tampak warna hijau muda hingga hijau tua, dan warna tanah atau daratan berwarna ungu. Selain itu dapat membedakan asap kebakaran hutan/lahan dan asap dengan warna putih. Analisa terhadap kandungan air agak sukar untuk membedakan antara awan dan asap, karena diperoleh warna coklat agak kehitam-hitaman. Kombinasi kanal ini merupakan true color atau warna natural color walupun daratan masih berwarna ungu. Kombinasi kanal 1-4-2 dan 2-4-1 citra SPOT 6 untuk Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan ditunjukkan pada Gambar 5a dan 5b. 3.2 Kombinasi kanal 1-2-4 dan 2-1-4: Kombinasi kanal 1-2-4 (0.450-0.520 μm / 0.530-0.590 μm / 0.760-0.890 μm) dan kombinasi kanal 2-1-4 (0.530-0.590 μm / 0.450-0.520 μm / 0.760-0.890 μm) merupakan kombinasi kanal RGB yang berasal dari spektrum gelombang visible + visible + NIR. Kombinasi dua spektrum kanal ini menghasilkan nilai OIF sebesar 664,13. Penggunaan kombinasi kanal ini memberikan kemudahan dalam membedakan antara asap dengan yang lainnya. Namun untuk vegetasi menjadi agak membingungkan karena menjadi warna biru muda hingga biru tua. Selain diperoleh untuk daratan diwakilkan oleh warna kuning kecoklat-coklatan. Kombinasi kanal ini merupakan false color. Kombinasi kanal 1-2-4 dan 2-1-4 citra SPOT 6 untuk Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan ditunjukkan pada Gambar 5c dan 5d.

Page 59: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Priyatna, M., et al.)

- 693 -

3.3 Kombinasi kanal 4-1-2 dan 4-2-1: Kombinasi kanal 4-1-2 (0.760-0.890 μm / 0.450-0.520 μm / 0.530-0.590 μm) dan kombinasi kanal 2-1-4 (0.760-0.890 μm / 0.530-0.590 μm / 0.450-0.520 μm ) merupakan kombinasi kanal RGB yang berasal dari spektrum gelombang NIR + visible + visible. Kombinasi dua spektrum kanal ini menghasilkan nilai OIF sebesar 664,13. Penggunaan kombinasi kanal ini memberikan kemudahan dalam membedakan antara asap dengan yang lainnya. Namun untuk vegetasi menjadi agak membingungkan juga karena menjadi warna merah muda hingga merah tua. Selain diperoleh untuk daratan diwakilkan oleh warna biru angkasa. Kombinasi kanal ini merupakan false color. Kombinasi kanal 4-1-2 dan 4-2-1 citra SPOT 6 untuk Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan ditunjukkan pada Gambar 5e dan 5f. Komposit kombinasi RGB 1-2-3 citra SPOT 6 untuk Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan ditunjukkan pada Gambar 5a hingga Gambar 5f.

Gambar 5a. Kombinasi kanal 1-4-2 citra SPOT 6 (true

color) dengan sebaran titik panas warna merah Gambar 5b. Kombinasi kanal 2-4-1 citra SPOT 6 (true

color) dengan sebaran titik panas warna merah

Gambar 5c. Kombinasi kanal 1-2-4 citra SPOT 6 (false

color) dengan sebaran titik panas warna merah Gambar 5d. Kombinasi kanal 2-1-4 citra SPOT 6 (false

color) dengan sebaran titik panas warna merah

Gambar 5e. Kombinasi kanal 4-1-2 citra SPOT 6 (false

color) dengan sebaran titik panas warna merah Gambar 5f. Kombinasi kanal 4-2-1 citra SPOT 6 (false

color) dengan sebaran titik panas warna merah

Page 60: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 694 -

4. KESIMPULAN

Penerapan teknik OIF untuk kanal citra SPOT 6 menghasilkan 4 kombinasi kanal RGB. Pengaturan kombinasi warna pada kanal sebagai RGB tidak mempengaruhi pada nilai-nilai OIF, hal ini akan dihasilkan nilai yang sama. Kombinasi kanal dengan nilai OIF yang tertinggi dihasilkan pada kombinasi kanal 1-2-4/1-4-2/2-1-4/2-4-1/4-1-2/4-2-1 dengan nilai OIF sebesar 664,13. Selanjutnya diikuti kombinasi kanal 2-3-4/2-4-3/3-2-4/3-4-2/4-2-3/4-3-2 dengan nilai OIF, sebesar 649,43. Kombinasi kanal dengan rangking ketiga adalah kombinasi kanal 1-3-4/1-4-3/3-1-4/3-4-1/4-1-3/4-3-1 dengan nilai OIF, sebesar 648,12. Kombinasi kanal terakhir adalah kombinasi kanal terendah, yakni kombinasi kanal 1-2-3/1-3-2/2-1-3/2-3-1/3-1-2/3-2-1 dengan nilai OIF, sebesar 640,23. Kombinasi kanal citra SPOT RGB yang disarankan untuk digunakan dalam mendukung informasi tanggap darurat bencana kebakaran hutan/lahan dan asap adalah kombinasi kanal 1-4-2 dan 2-4-1, kombinasi ini mendekati warna natural (true color). Sedangkan kombinasi lainnya merupakan warna false color. Berdasarkan analisis terhadap kombinasi yang berbeda maka teknik OIF sangat berguna untuk mengidentifikasi, membedakan interpretasi tutupan lahan, vegetasi, dan asap, sehingga mudah untuk membedakan kejadian kebakaran hutan/lahan dan asap, dan fitur geologi lainnya.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah menyediakan akusisi data SPOT-6, dan teman-teman para peneliti atas masukan dan sarannya. penelitian ini tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangannya, kritik dan saran yang membangun masih sangat diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA Ali, M.Q., dan Basavarajappa, H.T. (2008). Application of Optimum Index Factor Technique to Landsat-7 Data for

Geological Mapping of North East of Hajjah, Yemen, American-Eurasian Journal of Scientific Research, 3(1):84-91.

Li, J., Chen, J., dan Sun, Y. (2013). Research of Color Composite of WorldView-2 Based on Optimum Band Combination, advances in information Sciences and Service Sciences(AISS), doi; 10.4156/AISS

Jun, L., Songwei, C., Duanyoua, L., Bina, W., Shuod, L., dan Liminga, Z. (2008). Research On False Color Image Composite And Enhancement Methods Based On Ratio Images, The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.

Beauchemln, M., dan Fung, K.O.B. (2001). On Statistical Band Selection for Image Visualization, Photogrammetric Engineering dan Remote Sensing, 67(5):571-574

Huan, N.V., Kim, H., Kim, S.H., dan Lee, K.S. (2007). Design and Implementation of Hyperspectral Image Analysis Tool: HYVIEW, Korean Journal of Remote Sensing, 23(3): 171-179

Prakash, C.R., Sridevi, B., Asra, M., dan Dwivedi, R.S. (2015). Feature Selection for Urban Land-Cover Classification using Landsat-7 ETM+ Data, Cloud Publications, International Journal of Advanced Remote Sensing and GIS, 4(1):1229-1238.

Ray, R., Paul, A.K., dan Basu, B. (2014). OIF Based Indeces Oriented Ecological Classification Using LANDSAT TM Digital Data – A Case Study on Beluchary and Dhulibasan Island Groups, Sunderban, West Bengal, India, International Journal of Remote Sensing Applications.

Susanto, dan Asriningrum, W. (2011). Penginderaan jauh dengan nilai indeks faktor untuk idnetifikasi mangrove di Batam (studi kasus gugusan pulau jandaberhias), Berita Dirgantara, 18(3):104-109

Naji, T.A., dan Hatem, A.J. (2013). New Adaptive Satellite Image Classification Technique for Al habbinya Region West of Iraq, Ibn Al-Haitham Jour. for Pure dan Appl. Sci

Chuang, T.C., Mansor, S., Rashid, A., Shariff, M., dan Ahmad, N. (2003). Optimum Band Selection for Image Visualization of Multispectral Data in Relation to Natural Resources Management, 2nd FIG Regional Conference, Marrakech, Morocco.

Wahyunto, Murdiyati, S.R., dan Ritung, S. (2004). Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh Dan Uji Validasinya Untuk Deteksi Penyebaran Lahan Sawah Dan Penggunaan/Penutupan Lahan, Informatika Pertanian.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA POSTER PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015

Page 61: Pemanfaatan Data Satelit Cuaca Generasi Baru Himawari 8 Untuk ...

Perhitungan Optimum Index Factor Pada Citra Spot-6 Untuk Penentuan Kanal Terbaik Dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Musibanyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Priyatna, M., et al.)

- 695 -

Judul Makalah : Perhitungan Optimum Index Factor pada Citra Spot-6 untuk Penentuan Kanal Terbaik dalam Mendeteksi Sebaran Asap di Provinsi Sumatera Selatan Pemakalah : M. Priyatna Jam : 10.30-15.00 Tempat : Ball Room 2 dan 3 Diskusi : Samsul Arifin (Pusfajta, LAPAN): Apakah OIF > selalu menunjukkan terbaik untuk klasifikasi suatu sebaran asap?

Jawaban: dalam kasus asap dan titik panas ini, metode OIF memberikan hasil terbaik, namun demikian perlu di pilih sesuai dengan true color atau false color secara visual kondisi wilayah bencana tersebut. Selai itu juga metode OIF sudah memberikan hasil nilai tertinggi terhadap band yang dipilih, dalam hal ini yakni 640.23 Ogi Gumelar (Pustekdata, LAPAN): Untuk menentukan jumlah kombinasi kanal menggunakan metode apa? Kemudian NIR mewakili apa?

Jawaban: penentuan jumlah kombinasi digunakan metode kombinasi, namun demikian dalam tulisan ini digunakan juga permutasi, yakni agar dapat dilihat dan dianalisa kombinasi true color dan flase color. NIR memiliki panjang gelombang 0.760 - 0.890 μm, sehingga mewakili warna vegetasi yang lebih dominan, tampak pada kombinasi yang dilakukan (kombinasi kanal 123/132/213/231/312/321). Yennie Marini (Pusfajta, LAPAN): Apa manfaat OIF untuk aplikasi lainnya? Apa bisa digunakan?

Jawaban: OIF dapat digunakan untuk semua aplikasi penginderaan jauh, secara umum metode OIF membantu pemilihan kombinasi yang disarankan untuk digunakan, selain itu juga memberikan kemudahan dalam menentukan karakteristik kondisi yang terrekam oleh satelit pada kondisi di bumi secra visualisasi. Sofia L: Penelitian yang menarik dan baik sekali untuk implementasi kebencanaan di Indonesia

Jawaban: Terima kasih