PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN...

6
72 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 B awang merah merupakan tanaman semusim, memiliki umbi berlapis, berakar serabut, dengan daun berbentuk silinder berongga. Umbi bawang merah terbentuk dari pangkal daun yang bersatu dan membentuk batang yang kemudian berubah bentuk dan fungsinya, membesar dan akhirnya membentuk umbi berlapis. Umbi bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat dan asid folic, sulfur, serta kalsium dan zat besi yang tinggi. Bawang merah merupakan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi di Kabu- paten Cirebon. Wilayah sentra pengem- bangannya meliputi Waled, Ciledug, Pabuaran, Losari, Pabedilan, Babakan, Gebang, Karang Sembung, Sedong, Astanajapura, Pangenan, Mundu, Beber, Palimanan, Plumbon, dan Susukan. Luas tanam bawang merah di Cirebon tercatat 3.873 ha dan luas panen 3.665 ha. Produksi mencapai 35.271 ton atau produktivitas rata-rata 9,09 t/ha (Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Cirebon 2007). Produksi tersebut dapat memenuhi kebu- tuhan Kabupaten Cirebon, bahkan seba- gian dipasarkan ke luar daerah. Oleh karena itu, pengembangan bawang merah memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan petani. Minat petani untuk menanam bawang merah cukup besar. Namun, budi daya bawang merah menghadapi berbagai kendala, antara lain: 1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat waktu, jumlah, dan mutu, 2) teknik budi daya yang baik dan benar belum diterap- kan secara optimal, 3) sarana dan pra- sarana masih terbatas, 4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat mendukung usaha budi daya, 5) skala usaha relatif kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya per- modalan, 6) produktivitas mengalami pe- nurunan, 7) harga berfluktuasi dan masih dikuasai oleh tengkulak, dan 8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) makin bertambah (Suastika et al. 2006). PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN HAMA ULAT BAWANG (Spodoptera exigua) PADA BAWANG MERAH Yati Haryati dan Agus Nurawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Jalan Kayuambon No. 80 Kotak Pos 8495 Lembang 4039 Telp. (022) 2786238, Faks. (022) 2789846, E-mail: [email protected]; [email protected] Diajukan: 17 Juli 2008; Diterima: 23 April 2009 ABSTRAK Permasalahan utama dalam budi daya bawang merah adalah serangan hama ulat bawang (Spodoptera exigua). Serangan hama tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang cukup merugikan, bahkan mencapai 100% bila tidak dilakukan upaya pengendalian. Dalam mengendalikan hama ulat bawang, petani biasanya menggunakan insektisida sintetis secara intensif dan dengan dosis tinggi sehingga tidak efisien dan berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu perlu terobosan teknologi, antara lain pengendalian dengan menggunakan feromon seks. Teknologi tersebut telah dikembangkan dan dikaji baik dalam skala laboratorium maupun lapang. Penerapan inovasi teknologi feromon seks dapat mengurangi penggunaan insektisida, menurunkan biaya produksi, yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, feromon seks berpeluang untuk dikembangkan pada areal yang lebih luas, terutama pada sentra produksi bawang merah dan endemis serangan hama ulat bawang. Kata kunci: Bawang merah, Spodoptera exigua, pengendalian hama, feromon seks ABSTRACT Prospect of pheromone sex development in controlling Spodoptera exigua on shallot The main contraint in shallot cultivation is the high incidence of Spodoptera exigua. The pest causes significant damage on plant. To control the pest, farmers commonly use insecticides excessively. The intensive use of insecticides results in inefficiency and polluted environment. Therefore, breakthrough in controlling S. exigua is needed by using sex pheromone. Sex pheromone technology has been developed and tested in laboratory and in field and gave prospective results. Application of sex pheromone decreases the use of insecticide and production cost and increase farmers' income. Therefore, utilization of pheromone sex is prospective to be developed especially in shallot production centers and endemic for S. exigua. Keywords: Shallot, Spodoptera exigua, pest control, sex pheromone

Transcript of PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN...

Page 1: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

72 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

Bawang merah merupakan tanamansemusim, memiliki umbi berlapis,

berakar serabut, dengan daun berbentuksilinder berongga. Umbi bawang merahterbentuk dari pangkal daun yang bersatudan membentuk batang yang kemudianberubah bentuk dan fungsinya, membesardan akhirnya membentuk umbi berlapis.Umbi bawang merah mengandung vitaminC, kalium, serat dan asid folic, sulfur, sertakalsium dan zat besi yang tinggi.

Bawang merah merupakan komoditasunggulan bernilai ekonomi tinggi di Kabu-paten Cirebon. Wilayah sentra pengem-bangannya meliputi Waled, Ciledug,Pabuaran, Losari, Pabedilan, Babakan,

Gebang, Karang Sembung, Sedong,Astanajapura, Pangenan, Mundu, Beber,Palimanan, Plumbon, dan Susukan. Luastanam bawang merah di Cirebon tercatat3.873 ha dan luas panen 3.665 ha. Produksimencapai 35.271 ton atau produktivitasrata-rata 9,09 t/ha (Dinas Pertanian danPerkebunan Kabupaten Cirebon 2007).Produksi tersebut dapat memenuhi kebu-tuhan Kabupaten Cirebon, bahkan seba-gian dipasarkan ke luar daerah. Olehkarena itu, pengembangan bawang merahmemberikan kontribusi besar terhadappendapatan petani.

Minat petani untuk menanam bawangmerah cukup besar. Namun, budi daya

bawang merah menghadapi berbagaikendala, antara lain: 1) ketersediaan benihbermutu belum mencukupi secara tepatwaktu, jumlah, dan mutu, 2) teknik budidaya yang baik dan benar belum diterap-kan secara optimal, 3) sarana dan pra-sarana masih terbatas, 4) kelembagaanusaha di tingkat petani belum dapatmendukung usaha budi daya, 5) skalausaha relatif kecil akibat sempitnyakepemilikan lahan dan lemahnya per-modalan, 6) produktivitas mengalami pe-nurunan, 7) harga berfluktuasi dan masihdikuasai oleh tengkulak, dan 8) seranganorganisme pengganggu tanaman (OPT)makin bertambah (Suastika et al. 2006).

PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKSDALAM PENGENDALIAN HAMA ULAT BAWANG

(Spodoptera exigua) PADA BAWANG MERAH

Yati Haryati dan Agus Nurawan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Jalan Kayuambon No. 80 Kotak Pos 8495 Lembang 4039Telp. (022) 2786238, Faks. (022) 2789846, E-mail: [email protected]; [email protected]

Diajukan: 17 Juli 2008; Diterima: 23 April 2009

ABSTRAK

Permasalahan utama dalam budi daya bawang merah adalah serangan hama ulat bawang (Spodoptera exigua).Serangan hama tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang cukup merugikan, bahkan mencapai 100% bila tidakdilakukan upaya pengendalian. Dalam mengendalikan hama ulat bawang, petani biasanya menggunakan insektisidasintetis secara intensif dan dengan dosis tinggi sehingga tidak efisien dan berpotensi mencemari lingkungan. Olehkarena itu perlu terobosan teknologi, antara lain pengendalian dengan menggunakan feromon seks. Teknologitersebut telah dikembangkan dan dikaji baik dalam skala laboratorium maupun lapang. Penerapan inovasi teknologiferomon seks dapat mengurangi penggunaan insektisida, menurunkan biaya produksi, yang pada gilirannyameningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, feromon seks berpeluang untuk dikembangkan pada areal yanglebih luas, terutama pada sentra produksi bawang merah dan endemis serangan hama ulat bawang.

Kata kunci: Bawang merah, Spodoptera exigua, pengendalian hama, feromon seks

ABSTRACT

Prospect of pheromone sex development in controlling Spodoptera exigua on shallot

The main contraint in shallot cultivation is the high incidence of Spodoptera exigua. The pest causes significantdamage on plant. To control the pest, farmers commonly use insecticides excessively. The intensive use ofinsecticides results in inefficiency and polluted environment. Therefore, breakthrough in controlling S. exigua isneeded by using sex pheromone. Sex pheromone technology has been developed and tested in laboratory and infield and gave prospective results. Application of sex pheromone decreases the use of insecticide and productioncost and increase farmers' income. Therefore, utilization of pheromone sex is prospective to be developedespecially in shallot production centers and endemic for S. exigua.

Keywords: Shallot, Spodoptera exigua, pest control, sex pheromone

Page 2: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 73

Masalah utama dalam budi dayabawang merah adalah hama ulat bawang(Spodoptera exigua). Hama ini merupakanhama utama di sentra produksi bawangmerah. Hasil pengkajian Thamrin et al.(2003) di Sulawesi Selatan menunjukkan,S. exigua merupakan hama dominan padapertanaman bawang merah. Selanjutnya,Moekasan et al. (2005) melaporkan,kehilangan hasil panen akibat seranganulat bawang dapat mencapai 100% jikatidak dilakukan upaya pengendaliankarena hama ini bersifat polifag.

Ngengat betina meletakkan telur se-cara berkelompok pada daun bawang ataugulma yang tumbuh di sekitarnya. Dalamwaktu 2−3 hari, telur akan menetas danulat masuk ke dalam daun bawang untukhidup dan berkembang (Samudra 2006).Perkembangan dan proses reproduksi S.exigua dipengaruhi oleh juvenile hormon(JH), terutama dalam proses fisiologi (Kimet al. 2008).

Petani biasanya mengendalikan S.exigua dengan menyemprotkan insekti-sida kimiawi dosis tinggi. Penyemprotandilakukan dua hari sekali agar tanamanaman dari serangan ulat bawang. Peng-gunaan insektisida yang intensif dapatmenyebabkan hama menjadi resistenterhadap insektisida yang digunakan(Meidiawarman 1992; Negara 2003).Moekasan dan Basuki (2007) melaporkan,ulat bawang asal Kecamatan Gebang danLosari Kabupaten Cirebon terindikasiresisten terhadap insektisida spinosad,klorpirifos, triazofos, betasiflutrin, siroma-zin, karbosulfan, tiodikab, dan abamektin.Sementara itu, Morin (1999) menyatakan,penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragamansehingga menyebabkan peledakan hama.

Selain meningkatkan biaya pengenda-lian, penggunaan pestisida secara berle-bihan berdampak kurang baik terhadaplingkungan, serta menimbulkan residuyang berlebih pada produk sehinggamengganggu kesehatan. Oleh karena itu,perlu ada terobosan teknologi dalampengendalian hama ulat bawang. Makalahini mengulas prospek pengendalian ulatbawang dengan menggunakan feromonseks.

FEROMON SEKS

Feromon adalah zat kimia yang berasal darikelenjar endokrin dan digunakan olehmakhluk hidup untuk mengenali sesama

jenis, individu lain, kelompok, dan untukmembantu proses reproduksi. Feromonmerupakan senyawa yang dilepas olehsalah satu jenis serangga yang dapatmempengaruhi serangga lain yang sejenisdengan adanya tanggapan fisiologitertentu. Berbeda dengan hormon, fero-mon menyebar ke luar tubuh dan hanyadapat mempengaruhi dan dikenali olehindividu lain yang sejenis (satu spesies).

Istilah feromon (pheromone) berasaldari bahasa Yunani, yaitu phero yang arti-nya “pembawa” dan mone “sensasi”. Sifatsenyawa feromon adalah tidak dapatdilihat oleh mata, volatil (mudah me-nguap), tidak dapat diukur, tetapi ada dandapat dirasakan.

Secara umum, proses perkawinan se-rangga dipengaruhi oleh feromon seksyang diproduksi oleh serangga betinauntuk menarik serangga jantan (Allisondan Carde 2007). Hasil penelitian padabeberapa spesies Lepidoptera di Jepangmenunjukkan, feromon seks merupakanhasil proses biosintesis (pheromonebiosynthesis activating neroupeptida)pada subeosuphageal ganglion dan di-gunakan serangga betina untuk menarikjantan (Kawai et al. 2007). Mekanismedalam feromon seks berbeda di antaraspesies (Wang 2008).

Feromon seks serangga dapat diman-faatkan dalam pengelolaan seranggahama, baik secara langsung maupun tidaklangsung, yaitu untuk memantau seranggahama, sebagai perangkap massal, meng-ganggu perkawinan (matting distruption),dan bila feromon sebagai atraktan dikom-binasikan dengan insektisida dapat ber-sifat sebagai pembunuh (attracticide)(Badan Penelitian dan PengembanganPertanian 2007). Feromon seks memilikisifat yang spesifik untuk aktivitas biologis,di mana jantan atau betina dari spesiesyang lain tidak akan merespons terhadapferomon yang dikeluarkan betina ataujantan dari spesies yang berbeda.

Para peneliti telah mengenali lebih dari1.600 feromon pada berbagai serangga,termasuk serangga hama. Karena telahteridentifikasi, feromon dapat dibuat dalamjumlah besar secara sintetis. Feromonsintetis umumnya digunakan sebagaiperangkap serangga (Yahya 2004). Padaulat bawang, feromon seks diproduksioleh serangga betina dewasa, khususnyapada malam hari, untuk mengundangserangga jantan dewasa untuk datang dankawin. Peran feromon seks dalam perilakuperkawinan tersebut telah diteliti, dikem-

bangkan, dan dimanfaatkan untuk mema-nipulasi dan memerangkap seranggajantan dewasa.

Beberapa keunggulan feromon seksadalah: 1) bersifat selektif untuk spesieshama tertentu, 2) mampu menekan po-pulasi serangga secara nyata, 3) bersifatramah lingkungan, dan 4) menurunkanbiaya penggunaan insektisida hingga Rp2juta/ha dibandingkan dengan tanpamenggunakan feromon seks yang men-capai Rp4−6 juta/ha (Samudra 2006).Dengan menggunakan feromon seks,intensitas serangan hama ulat bawangmenurun hingga 8% dibandingkan dengancara petani yang mencapai 25%.

KAJIAN PEMANFAATANFEROMON SEKS

Balai Besar Penelitian dan PengembanganBioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian (BB Biogen) telah mengem-bangkan inovasi teknologi feromon seksuntuk mengendalikan hama ulat bawang.Penelitian feromon seks dilakukan secarabertahap mulai dari skala laboratoriumsampai skala lapang dan uji coba di bebe-rapa lokasi.

Pengkajian pemanfaatan feromon seksuntuk mengendalikan ulat bawang merahdilakukan di lima lokasi, yaitu Cirebon,Brebes, Nganjuk, Bali, dan Samosir. Secararinci, teknologi yang diterapkan dalampengkajian disajikan pada Tabel 1.

Feromon sebagai penarik seranggajantan dewasa dipasang pada alat perang-kap berupa stoples plastik yang dirancangkhusus (Gambar 1). Cara pengendalian inilebih efektif, efisien, murah, dan ramahlingkungan dibandingkan dengan pengen-dalian menggunakan insektisida.

Feromon seks mulai diaplikasikan saattanaman berumur 3 hari setelah tanam. Fe-romon diletakkan pada perangkap dengandigantungkan di dalam stoples yang bagi-an bawahnya diisi air sabun. Perangkapberferomon ditempatkan pada pinggiranpertanaman bawang pada ketinggian 30cm di atas permukaan tanah dengan jarakmasing-masing perangkap 15 m.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwahasil bawang merah dengan menggunakanferomon seks lebih tinggi dibandingkandengan cara petani (Tabel 2). Hasilbawang merah di lima lokasi bervariasi,bergantung pada lokasi dan teknik budidaya yang diterapkan. Hasil tertinggi

Page 3: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

74 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

diperoleh di Brebes (18−19 t/ha) danCirebon (19 t/ha). Hal ini karena keduakabupaten tersebut merupakan sentrabawang merah sehingga teknik budi dayayang diterapkan tergolong intensif denganpengaturan pola tanam yang sesuai.Varietas bawang merah yang ditanam ditiap lokasi berbeda sesuai dengan kondisiwilayah setempat (spesifik lokasi).

Budi daya bawang merah di Cirebon,Brebes, Nganjuk, dan Bali dilakukansecara intensif. Pengolahan tanah, peme-liharaan tanaman, dan kebutuhan air untukpertumbuhan tanaman terpenuhi sehing-ga hasil bawang merah tinggi walaupunpada musim kemarau. Hasil bawang merahdi Samosir, Sumatera Utara, lebih rendahdibandingkan dengan di Cirebon, Brebes,Nganjuk, dan Bali karena teknik budidayanya kurang intensif dan dipengaruhioleh sosial budaya setempat.

Hasil bawang merah dipengaruhi olehteknik budi daya seperti varietas, pemu-pukan, dan pengendalian hama/penyakit.Pemupukan disesuaikan dengan reko-mendasi setempat (dosis anjuran), namunpetani menggunakan pupuk dengan dosisyang lebih tinggi. Menurut Asandhi danKoestoni (1990), pemupukan dengandosis tinggi tidak selamanya memberikanmanfaat bagi pertumbuhan dan hasilbawang merah, tetapi justru menciptakanlingkungan yang cocok bagi perkem-bangan penyakit yang disebabkan olehAlternaria porii sehingga mempengaruhihasil. Nurjani dan Ramlan (2008) menya-takan, pada pertanaman bawang merahyang dipupuk sesuai rekomendasi, jaraktanam teratur, dan pengendalian hamaintensif, serangan S. exigua berfluktuasidari 3,80% hingga 22,28%, sedangkan padacara petani, intensitas serangan mencapai62,15% sehingga hasil bawang rendah.

Penggunaan pestisida dapat mempe-ngaruhi proses fisiologi tanaman. Hasilpenelitian menunjukkan, tanaman yangdiaplikasi pestisida mempunyai panjangdan jumlah daun yang lebih kecil diban-dingkan dengan yang tidak diaplikasipestisida (Croft 1990 dalam Suheriyanto2001). Daun yang panjang dan jumlahnyabanyak akan mempengaruhi umbi yangterbentuk. Hal ini berkaitan dengan prosesfotosintesis. Pertumbuhan daun yangtidak optimal atau terserang hama ber-pengaruh negatif terhadap proses pem-bentukan umbi bawang merah. Penggu-naan feromon seks akan memacu pertum-buhan daun yang lebih baik karenainsektisida yang digunakan rendah se-

Gambar 1. Perangkap berferomon untuk menangkap ngengat jantan dari ulatbawang.

Tabel 1. Teknologi yang diterapkan dalam pengkajian pengendalian ulatbawang dengan feromon seks.

Komponen teknologi Deskripsi teknologi

Varietas Timur

Budi daya Pengolahan tanah sempurnaJarak tanam 15 m x 15 cmPemupukan

Pupuk dasar: SP36 200 kg/haPupuk susulan: urea 200 kg/ha, ZA 200 kg/ha,dan KCl 100 kg/haPemupukan susulan I dilakukan pada umur 10−15 hstdan II 30 hst, masing-masing setengah dosis

Sistem tanam Monokultur

Pengendalian OPT Pengendalian secara mekanisPenggunaan feromon seksPenggunaan insektisida selektif bila serangan OPT telahmencapai ambang ekonomi

Tabel 2. Hasil bawang merah di beberapa lokasi dengan menggunakanferomon seks dan cara petani, MK II 2007.

Lokasi VarietasHasil bawang merah (t/ha)

Menggunakan feromon seks Cara petani

Bali Bima 16−171 12,50−131

Nganjuk Bima 18,50−191 13−141

Brebes Bima 18−191 13,50−14,251

Samosir Bima 9−111 6,30−7,701

Cirebon Timur 192 152

Sumber: 1BB Biogen (2007); 2BPTP Jawa Barat (2007).

Page 4: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 75

itu, penggunaan feromon seks dan pe-mupukan sesuai rekomendasi menghasil-kan pertumbuhan bawang merah yangoptimal sehingga hasil meningkat, biayaproduksi lebih murah, yang pada giliran-nya meningkatkan pendapatan petani.

PELUANGPENGEMBANGANFEROMON SEKS

Pengkajian penggunaan feromon seksuntuk mengendalikan ulat bawang jugadilakukan pada tahun 2007 di lokasi PrimaTani Desa Playangan, Kabupaten Cirebonpada areal 25 ha. Kegiatan dilaksanakanoleh Balai Pengkajian Teknologi PertanianJawa Barat bekerja sama dengan BBBiogen dan Kelompok Tani Bahari I. Hasilpengkajian menunjukkan bahwa peng-gunaan feromon seks dapat mengendali-kan hama ulat bawang.

Pertanaman bawang merah yang tidakmenggunakan feromon seks (cara petani)disemprot insektisida 12 kali untuk me-ngendalikan ulat bawang dan 3 kali untukmengendalikan hama lalat (Lyriomyza sp.).Hal ini berarti selama pertumbuhan ta-naman, dilakukan penyemprotan insek-tisida setiap 2 hari sekali. Pada pertanamanyang dipasang feromon seks, setiap malamrata-rata tertangkap 200 serangga jantan(Samudra 2006).

Pemerintah Kabupaten Cirebon me-nyambut baik aplikasi teknologi tersebutdalam upaya membantu petani untukmemecahkan masalah yang dihadapidalam budi daya bawang merah. Dalamacara temu lapang pada tanggal 10 Juli 2007di lokasi pengkajian, Komisi B DPRDKabupaten Cirebon mengharapkan tekno-logi feromon seks dapat dikembangkan diKabupaten Cirebon. Pada tahun 2008,Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peter-nakan Kabupaten Cirebon menyediakandana bantuan untuk mengadakan feromonseks untuk areal pertanaman bawangmerah 50 ha.

Feromon seks berpeluang untuk di-kembangkan di Kabupaten Cirebon danBrebes karena wilayah tersebut merupakansentra bawang merah. Kabupaten Brebesmempunyai areal pertanaman bawangmerah 20.000 ha dan tingkat seranganhama ulat bawang mencapai 21% darilahan yang ada (Samudra 2006). Olehkarena itu, feromon seks berpeluang untukdikembangkan pada areal yang lebih luas,terutama di daerah sentra produksi

hingga berpengaruh positif terhadappembentukan umbi bawang merah.

Budi daya bawang merah cara petanimenggunakan pestisida melebihi dosisanjuran sehingga pertumbuhan daun danproses fotosintesis tidak optimal. Akibat-nya, umbi yang terbentuk sedikit yangpada akhirnya hasilnya rendah.

Varietas bawang merah yang digu-nakan dalam pengkajian pemanfaatanferomon seks untuk mengendalikan ulatbawang adalah Bima dan Timur. Ambar-wati dan Yudono (2003) menyatakan,varietas Bima beradaptasi kurang baik ter-hadap perubahan lingkungan. Dengandemikian, perubahan lingkungan mempe-ngaruhi hasil bawang merah. Oleh karenaitu, hasil varietas Bima di empat lokasipengkajian bervariasi sesuai denganlahan setempat (spesifik lokasi).

Pengkajian di Cirebon menggunakanvarietas Timur, yaitu varietas yang biasaditanam petani. Berdasarkan pengalaman,varietas tersebut adaptif terhadap kondisilahan/tanah dan cekaman lingkungan

setempat, serta agak tahan terhadapserangan hama dan penyakit sehinggahasilnya cukup tinggi.

Biaya budi daya bawang merah diKabupaten Cirebon dengan cara petanimencapai Rp36.665.000 (Tabel 3), sedang-kan dengan menggunakan feromon sekshanya Rp32.365.000 (Tabel 4.). Penurunanbiaya produksi disebabkan penggunaaninsektisida lebih sedikit dan dosis pupuklebih rendah dibandingkan dengan carapetani.

Dosis pupuk yang digunakan sesuairekomendasi hasil survei dan analisis tanaholeh Balai Besar Penelitian dan Pengem-bangan Sumberdaya Lahan Pertanian,yaitu urea 200 kg, SP36 200 kg, ZA 200 kg,dan KCl 100 kg/ha. Pemupukan cara petanimenggunakan urea 400 kg, SP36 200 kg,ZA 200 kg, dan KCl 200 kg/ha. Pemupukandengan cara dan dosis sesuai rekomendasimenghasilkan umbi yang besar, sedang-kan pemupukan cara petani dengan dosispupuk yang berlebihan menghasilkanumbi yang berukuran kecil. Oleh karena

Tabel 3. Analisis usaha tani bawang merah di Desa Playangan KabupatenCirebon (ha/musim) dengan budi daya cara petani.

Uraian Volume Satuan Harga satuan Jumlah(Rp) (Rp)

Sarana produksi Sewa lahan 1 Musim 1.500.000 1.500.000Benih (Timur Warso) 1.500 kg 8.000 12.000.000Pupuk Urea 400 kg 1.200 480.000 SP36 200 kg 1.700 340.000 KCl 200 kg 2.800 560.000 ZA 200 kg 1.200 240.000

Insektisida dan fungisida 6.000.000Jumlah 21.120.000

Tenaga kerja Pengolahan tanah − Borongan 3.600.000Tanam 250 HKW 10.000 2.500.000Penyiraman 180 HKP 20.000 3.600.000Penyiangan 300 HKW 10.000 3.000.000Pemupukan 12 HKP 20.000 240.000Pengendalian OPT 20 HKP 20.000 400.000Panen 80 HKW 10.000 800.000Pengangkutan 25 HKP 20.000 500.000Penjemuran 5 HKP 25.000 125.000Pengikatan bawang 3.600 Ikat 150 540.000

Jumlah 15.305.000Biaya lain-lain Iuran pengairan/mitra cai 240.000Total biaya 36.665.000Produksi 15.000 kg 3.000 45.000.000Keuntungan 8.335.000R/C rasio 1,23B/C rasio 0,23

Sumber: BPTP Jawa Barat (2007).

Page 5: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

76 Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009

Balai Besar Penelitian dan PengembanganBioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian (BB Biogen). 2007. Laporan HasilKegiatan Penggunaan Feromon Exi untukMengendalikan Hama Ulat Bawang.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Jawa Barat. 2007. Laporan Prima TaniKabupaten Cirebon. Balai PengkajianTeknologi Pertanian Jawa Barat, Lembang.

Dinas Pertanian dan Perkebunan KabupatenCirebon. 2007. Laporan Tahunan 2006.Dinas Pertanian dan Perkebunan KabupatenCirebon. 65 hlm.

Kawai, T., A. Ohnishi, G.M. Suzuki, T. Fuji, K.Matsuoka, A. Kato, S. Matsumoto, and T.Ando. 2007. Identification of a uniquepheromonotropic neuropeptide includingdouble FXPRL motifs from a geometridspesies, Ascotis selenaria cretacea, whichproduces an epoxialkenil sex pheromone. J.Insect Biochem. Mol. Biol. 37: 330−337.

Kim, Y., S. Jung, and N. Madanagopal. 2008.Antagonistic effect of juvenile hormone onhomocyte-spreading behavior of Spodopteraexigua in response to an insect cytokininein its putative membrane action. J. InsectPhysiol. 54: 909−915.

Meidiawarman. 1992. Perbandingan TingkatResistensi Ulat Grayak Spodoptera exigua(Hubner) pada Tanaman Bawang Merahterhadap Tiga Jenis Insektisida di PulauLombok. Tesis Fakultas Pertanian Universi-tas Gadjah Mada, Yogyakarta. 64 hlm.

Moekasan, K.T., L. Prabaningrum, dan M.L.Ratnawati. 2005. Penerapan PHT padaSistem Tanam Tumpang Gilir Bawang Merahdan Cabai. Monografi No. 19. BalaiPenelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

Moekasan, K.T. dan R.S. Basuki. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. padatanaman bawang merah asal KabupatenCirebon, Brebes, dan Tegal terhadapinsektisida yang umum digunakan petani didaerah tersebut. Jurnal Hortikultura 17(4):21−24.

Morin, P.J. 1999. Community Ecology.Blackwell Science, Inc., New York.

Negara, A. 2003. Penggunaan analisis probituntuk pendugaan tingkat kepekaan populasiSpodoptera exigua terhadap deltametrin diDaerah Istimewa Yogyakarta. InformatikaPertanian 12: 1−9.

Negeri, M.R. and L.D. Bernik. 2008. Trackingthe sex pheromone of codling moth againsta background of host volatiles with anelectronic nose. Crop Protection 1: 1−8.

Nurjani dan Ramlan. 2008. Pengendalian hamaSpodoptera exigua Hbn. untuk meningkat-kan produktivitas bawang merah pada lahansawah tadah hujan di Jeneponto, SulawesiSelatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembang-an Teknologi Pertanian 11(2): 163−169.

Samudra. 2006. Pengendalian ulat bawang ramahlingkungan. Warta Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian 28(6): 3−5.

Tabel 4. Analisis usaha tani bawang merah di Desa Playangan KabupatenCirebon (ha/musim) dengan menerapkan inovasi teknologi.

Uraian Volume Satuan Harga satuan Jumlah(Rp) (Rp)

Sarana produksi Sewa lahan 1 Musim 1.500.000 1.500.000Benih (Timur Warso) 1.500 kg 8.000 12.000.000Pupuk

Urea 200 kg 1.200 240.000SP36 200 kg 1.700 340.000KCl 100 kg 2.800 280.000ZA 200 kg 1.200 240.000

Insektisida dan fungisida 2.000.000Feromon seks 20 Buah 25.000 500.000 Jumlah 17.100.000Tenaga kerja Pengolahan tanah - Borongan 3.600.000Tanam 250 HKW 10.000 2.500.000Penyiraman 180 HKP 20.000 3.600.000Penyiangan 300 HKW 10.000 3.000.000Pemupukan 12 HKP 20.000 240.000Pengendalian OPT 6 HKP 20.000 120.000Panen 80 HKW 10.000 800.000Pengangkutan 25 HKP 20.000 500.000Penjemuran 5 HKP 25.000 125.000Pengikatan bawang 3.600 Ikat 150 540.000

Jumlah 15.025.000Biaya lain-lain Iuran pengairan/mitra cai 240.000Total biaya 32.365.000Produksi 19.000 kg 3.000 57.000.000Keuntungan 24.635.000R/C rasio 1,76B/C rasio 0,76

Sumber: BPTP Jawa Barat (2007).

bawang merah dan endemis seranganhama ulat bawang.

Kendala pengembangan feromon seksyaitu feromon belum diproduksi secaramassal, tetapi masih secara terbatas olehBB Biogen. Ke depan, feromon seks akandiproduksi dalam jumlah besar bekerjasama dengan pihak swasta. Tersedianyaferomon seks dalam jumlah yang mencu-kupi akan memudahkan petani dalam mem-peroleh feromon sehingga pengendalianulat bawang dapat dilakukan tepat waktu.

KESIMPULAN

Penerapan inovasi teknologi feromon sekspada pertanaman bawang merah dapatmengurangi penggunaan insektisida.Pengendalian ulat bawang menggunakanferomon seks lebih efisien, murah, danramah lingkungan serta meningkatkanpendapatan petani hingga Rp16.300.000/

ha. Feromon seks mempunyai peluanguntuk dikembangkan di sentra produksibawang merah, terutama di wilayahendemis serangan hama ulat bawang.

DAFTAR PUSTAKA

Allison, D.J. and T.R. Carde. 2007. Malepheromone blend preperence functionmeasured in choice and no-choice wind tunneltrials with almonds moths, Cadra cautella.Anim. Behaviour 75: 259−266.

Ambarwati, E. dan P. Yudono. 2003. Keragaanstabilitas hasil bawang merah. Ilmu Pertanian10(2): 1−10.

Asandhi, A.A. dan T. Koestoni. 1990. Efisiensipemupukan pada pertanaman tumpang gilirbawang merah dan cabai merah. BuletinPenelitian Hortikultura 9(1): 1−6.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.2007. Feromon Exi Sukses Kendalikan UlatBawang Merah di Cirebon. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Page 6: PELUANG PENGEMBANGAN FEROMON SEKS DALAM PENGENDALIAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3282095.pdf · penggunaan pestisida untuk mengendali-kan hama dapat mengurangi keragaman

Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009 77

Suastika, I.B.K., A.T. Sutiarso, K.I. Kariada, danI.B. Aribawa. 2006. Pengaruh PerangkapLampu terhadap Intensitas Serangan Hamadan Produksi pada Budi Daya Bawang Merah.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.

Suheriyanto, D. 2001. Kajian Komunitas Faunapada Pertanaman Bawang Merah dengan dan

tanpa Aplikasi Pestisida. Universitas Brawi-djaja, Malang.

Thamrin, M., Ramlan, Armiati, Ruchjaningsih,dan Wahdania. 2003. Pengkajian sistemusaha tani bawang merah di Sulawesi Selatan.Jurnal Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian 6(2): 141−153.

Wang. 2008. Genetic basis of sex pheromoneblend difference between Helicoverpaarmigera (Hubner) and Helicoverpa assulta(Guenee) (Lepidoptera : Noctuidae). J. InsectPhysiol. 54: 813−817.

Yahya, H. 2004. Menjelajah Dunia Semut. PTHarun Yahya International.