pelanggaran HAM Di papua

5
#PapuanLivesMatter Kasus pelanggaran HAM di Indonesia sulit diselesaikan di Pengadilan Internasional Il ustrasi demonstrasi mahasiswa dan pemuda Papua di kantor DPR Papua beberapa tahun lalu mendesak pemerintah menuntaskan masalah HAM di Papua – Jubi. Dok Makassar, Jubi Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Komnas HAM RI , Beka Ulung Hapsara mengatakan sulit menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk yang terjadi di Papua melalui International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan HAM Internasional. Pernyataan itu dikatakan Beka Ulung Hapsara dalam diskusi daring pada 20 Juli 2020 lalu. Menurut Beka, sulitnya membawa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia ke Mahkamah Internasional, karena Pemerintah Indonesia

description

jangan pemekaran tapi bicara manusia dulu

Transcript of pelanggaran HAM Di papua

Page 1: pelanggaran HAM Di papua

#PapuanLivesMatter

Kasus pelanggaran HAM di Indonesia sulit diselesaikan di Pengadilan Internasional

Il

ustrasi demonstrasi

mahasiswa dan pemuda Papua di kantor DPR Papua beberapa tahun lalu mendesak pemerintah menuntaskan masalah HAM di Papua – Jubi. Dok

Makassar, Jubi – Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Komnas

HAM RI, Beka Ulung Hapsara mengatakan sulit menyelesaikan kasus pelanggaran HAM

berat di Indonesia, termasuk yang terjadi di Papua melalui International Criminal Court

(ICC) atau Pengadilan HAM Internasional.

Pernyataan itu dikatakan Beka Ulung Hapsara dalam diskusi daring pada 20 Juli 2020 lalu.

Menurut Beka, sulitnya membawa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia ke

Mahkamah Internasional, karena Pemerintah Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma.

Statuta itu mengatur terkait sistem pengadilan pidana internasional.

Page 2: pelanggaran HAM Di papua

“Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Mahkamah Internasional agak susah. Ada cara lain, tapi lebih panjang lagi.Tapi poinnya, Indonesia tidak meratifikasi status sehingga mekanisme  itu tidak bisa dilakukan,” kata Beka Hapsara.

Katanya, selain kasus Abepura hingga kini masih ada tiga kasus di Papua dan Papua Barat yang telah ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat dan belum tuntas

Kasus itu yakni peristiwa Wamena pada 4 April 2003, peristiwa Wasior di Papua Barat pada 13 Juni 2001, dan peristiwa Paniai pada 8 Desember 2014.

Ia mengatakan, karena ketiga kasus itu terjadi setelah tahun 2000, maka sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 penyelesaiannya dilakukan lewat Pengadilan HAM.

“Akan tetapi kemungkinan terjadi impunitas, itu ada,” ujarnya.

Satu di antara advokat HAM Papua, Iwan Niode mengatakan penyelesaian pelanggaran

HAM melalui Pengadilan HAM tak ada artinya jika akhirnya pelaku bebas dari semua

tuntutan.

Menurutnya, kasus Abepura berdarah merupakan contoh nyata. Dua oknum perwira polisi

yang bertanggung jawab dalam kasus itu diputus bebas Pengadilan HAM Makassar,

Sulawesi Selatan pada November 2005 lalu.

“Untuk apa ada Pengadilan HAM kalau hasilnya juga membebaskan pelaku. Apa artinya

sebuah proses pengadilan HAM kalau hasilnya merupakan impunitas secara hukum

terhadap pelaku,” kata Iwan Niode.

Katanya, hal inilah yang mesti dipikirkan Komnas HAM jika ingin menyelesaikan

pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua melalui proses yudisial.

Iwan mengatakan, upaya Komnas HAM membawa beberapa kasus pelanggaran HAM

lainnya di Papua ke Pengadilan HAM, bukan baru belakang ini.

Page 3: pelanggaran HAM Di papua

Upaya itu sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu, pada masa komisioner Komnas HAM

periode beberapa tahun lalu.

Akan tetapi, hingga kini kasus yang ada itu tak kunjung selesai. Misalnya kasus Wamena

yang penyelidikannya dilakukan sejak 2004 lalu.

“Saya waktu itu terlibat dalam penyelidikan kasus Wamena. Akan tetapi seiring waktu kasus

itu tidak terselesaikan. Hanya berakhir dalam proses diskusi.

Kebijakan diskriminatif

Kalau melihat ketentuan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan bahwa perlindungan,pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab pemerintah.Hal itu juga meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hokum,politik, ekonomi,social,budaya,dan pertahanan keamanan Negara dan bidang.

Di dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa setiap warga Negara Indonesia (WNI) mempunyai hak yang sama.pemerintah mempunyai.

NEGARA TANPA PERLINDUNGAN HAK

Jika melihat berbagai kasus yang dialami kaum lesbian, gay, biseksual, transeksual/transgender, dan interseksual (LGBTI) di berbagai daerah seperti ditulis pada bab sebelumnya, hati ini bagai disayat sembilu. Realitas di masyarakat sangat bertolak belakang dengan segala peraturan yang ada. Pembunuhan seorang gay di Sukabumi, teror ormas keagamaan terhadap LSM yang membela kaum LGBTI di Banyumas, pemukulan terhadap pasangan lesbian di Makassar, penganiayaan pasangan gay di Aceh oleh masyarakat dan petugas kepolisian, penganiayaan kaum gay di Yogya oleh sekelompok ormas agama, stigma buruk yang dilakukan media terhadap LGBTI, perlakuan kasar petugas tramtib terhadap para waria di Jakarta, perlakuan semena-mena terhadap waria di disco di Yogyakarta, atau kasus serupa lainnya yang tidak muncul ke permukaan, bisa dijadikan indikator bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia masih sangat marak. Pelakunya ada yang dari masyarakat, ada yang dari aparat

Page 4: pelanggaran HAM Di papua

pemerintah. Yang menyatukan mereka adalah kebencian atau perasaan hina terhadap LGBTI; pandangan itu ada di balik semua contoh diskriminasi dan/atau kekerasan yang tersebut di atas.

Berikut akan kita telusuri lebih dalam pola-pola dari tindakan stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan, menggali akar permasalahannya dan mencari jalan ke luarnya.

Negara Tak Konsisten dan Konsekuen

Dari berbagai macam kasus itu menunjukkan bahwa Negara Republik Indonesia (RI) tidak konsisten atas norma-norma untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang serta tidak konsekuen dalam melaksanakan kewajiban sesuai janjinya. Bahkan, negara yang seharusnya melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat pembukaan UUD 1945 alinea 4 justru berbuat sebaliknya. Negara melakukan kekerasan terhadap warga negaranya sendiri. Baik kekerasan oleh aparatur negara maupun melalui seperangkat perundang-undangan yang tidak konsisten di dalam memenuhi hakhak manusia.

Kasus pemukulan maupun pelecehan seksual yang dilakukan aparat kepolisian terhadap pasangan gay di Aceh merupakan salah satu bukti bahwa aparatur negara menjadi bagian dari aktor kekerasan itu. Perlakuan tidak menyenangkan yang dialami pasangan gay di Aceh tentu bukan kasus satu-satunya. Masih banyak tragedi serupa lainnya yang mungkin belum terekspos.

Selain dilakukan secara langsung, negara juga melakukan kekerasan secara tidak langsung. Bentuknya melalui seperangkat peraturan perundangan-undangan. Buktinya, sampai saat ini, masih banyak peraturan yang inkonsisten atau bertentangan dengan hukum hak-hak manusia dan konstitusi. Yaitu dengan merebaknya berbagai peraturan daerah (perda) bernuansa agama yang berwatak diskriminatif dan intoleran. Akibatnya, perilaku aparat negara di daerah makin menjadi-jadi karena seolah mempunyai legitimasi untuk berbuat kekerasan. Perkembangan ini tidak hanya meningkatkan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, namun juga diikuti berbagai pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia yang