Pelabuhan Pariwisata Internasional - · PDF filePengunjung yang tiba dan berangkat harus ......
Transcript of Pelabuhan Pariwisata Internasional - · PDF filePengunjung yang tiba dan berangkat harus ......
Bab II
Sense of Place yang Berciri Bali pada Pelabuhan
Pariwisata Internasional
Bab berikut merupakan bab kajian literatur mengenai kasus dan
pendekatan yang digunakan dalam tesis ini. Kajian literatur ini bertujuan untuk
mendapatkan prinsip perancangan normatif pelabuhan pariwisata internasional
(turnaround cruise port) yang dapat menjawab permasalah perancangan.
Kajian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu kajian literatur, kajian kasus
sejenis dan kesimpulan kajian yang berupa kriteria perancangan normatif. Kajian
pertama dimulai dari membahas mengenai berbagai komponen perancangan yang
digunakan untuk menciptakan sense of place, kemudian membahas tentang
pelabuhan pariwisata yang memiliki standar internasional. Selanjutnya kajian ini
membahas mengenai kasus pengembangan kawasan waterfront yang berkelas
internasional. Hasil dari kajian literatur dan kajian kasus digabungkan untuk
menghasilkan prinsip perancangan normatif.
2.1. Sense of Place yang Berciri Bali
Fungsi tradisional dari sebuah pelabuhan adalah untuk memberi tanda
batas antara warga kota dengan pengunjung yang datang dari laut. Pelabuhan
adalah pintu gerbang bagi kota, yang merupakan perpaduan sebagain ruang kota
dengan laut. Pengunjung yang tiba dan berangkat harus memiliki persepsi yang
baik terhadap daerah yang dikunjunginya, sehingga titik dimana hal ini terjadi
harus dalam kondisi yang nyaman dan memberikan kesan yang cukup mendalam
karena berhubungan dengan kesan positif pertama dan terakhir. Dalam hal ini
pelabuhan harus memiliki sense of place yang kuat.
2.1.1. Sense of Place
Sebuah tempat (place) adalah ruang yang memiliki kejelasan karakter
(Trancik, 1986). Tempat (place) di dalam perancangan ruang kota pada dasarnya
11
adalah memahami karakter budaya dan manusia dari ruang fisiknya. Suatu ruang
(space) memiliki perbedaan dengan tempat (place), dimana sebuah ruang adalah
wadah bagi berbagai fungsi yang berpotensi untuk menghasilkan keterkaitan fisik.
Suatu ruang baru bisa disebut tempat (place) apabila di dalamnya diberikan
makna kontekstual dan citra yang diperoleh dari aspek-aspek budaya dan regional.
Menurut Norbert Schulz (1979) place merupakan suatu ruang (space) yang
yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Suatu ruang pada sebuah kawasan
memerlukan karakteristik yang khas sehingga dapat membedakannya dengan
ruang lain pada kawasan. Karakter tersebut memiliki fungsi lain sebagai pusat
orientasi yang merupakan suatu ciri yang identik yang disebabkan oleh adanya
respon tersendiri dari masyarakat yang berada di sekitarnya.
Sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void, dan sebuah
space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal
dari budaya daerahnya.1 Artinya sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika
memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Suasana
itu tampak dari benda yang konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda
yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di
tempatnya.
Penambahan komponen lokal sebagai pemahaman terhadap budaya dan
karakter setempat merupakan hal yang perlu diperhatikan, sehingga ruang kota
memiliki makna dan budaya yang tidak asing bagi warganya (Trancik, 1986).
Pemasukan unsur-unsur yang mengandung konteks kota yang lebih luas menjadi
penting dan perlu dalam sebuah ruang kota, baik berupa unsur arsitektur (bahan,
rupa, tekstur, warna), kultural, maupun geografis, sehingga perlu diperlihatkan
dengan seksama karakter khas seperti apa yang dimiliki sekeliling ruang kota
dalam konteks yang makro, seperti konsep wilayah secara keseluruhan, vegetasi,
iklim, topografi dan sebagainya, kemudian untuk memperhatikan dan
memasukkan unsur-unsur tersebut dalam desain.
Menurut English Partnership dalam Urban Design Compendium (2000),
Salah satu bagian penting dari rancang kota dalah ”genius loci”, yaitu persepsi 1 Roger Trancik. Finding Lost Space. Theories of Urban Design. New York. 1986. hlm 112.
12
atau perasaan dominan dari sebuah tempat. Persepsi dari sebuah tempat akan
dibentuk oleh overlay dari beberapa aspek yaitu: kondisi lanskap, struktur urban,
lingkungan kawasan, jalan dan bangunan. Hal tersebut muncul dari pemahaman
mengenai geografi fisik dan manusianya, sejarah dan morfologi dari fungsi
sebelumnya, lanskap alami dan bangunan, baik di dalam atau di luar site.
Penilaian kawasan terhadap konteks strategisnya dengan kawasan yang
lebih luas, bersama dengan apresiasi karakter individu dari bentuk dan fungsinya
akan memberikan sebuah respon perancangan yang unik (English Partnership,
2000). Komponen kunci penilaiannya yaitu:
1. Identitas regional
Mengidentifikasi karakter umum dari kawasan dan sub-kawasan, yang
berhubungan dengan iklim dan kondisi fisik.
2. Keterkaitan (linkage) dengan sekeliling
Memahami bagaimana sistem keterhubungan membentuk karakter
lingkungan, apakah linear, grid dan sebagainya.
3. Karakter lokal
Menentukan elemen dari keunikan lokal, baik dari bentuk tempat dan
fungsinya. Bagaimana hal tersebut dapat diterapkan pada proyek? Apakah
ada material lokal khusus, bentuk khusus atau hal lainnya yang bisa
dijadikan inspirasi?
4. Morfologi
Memahami faktor apa saja yang membentuk morfologi lokal (rute
bersejarah, pola blok, ketinggian dan massa bangunan, vernakular lokal
dan sebagainya), dan bagaimana hal tersebut memberikan petunjuk bagi
bentuk perancangan yang sesuai.
5. Lingkungan alami
Memahami apakah ada karakter ekologi dan geologi yang memberikan
kawasan karakter khusus.
6. Profil sisio-ekonomi
Mempelajari bagaimana kondisi kependudukan dan tradisi masyarakat
lokal yang dapat mempengaruhi bentuk.
13
Uraian di atas mengarahkan bahwa sense of place pada pelabuhan
pariwisata di Benoa Bali dapat dicapai dengan menghargai konteks lingkungan
dan budaya sekitar. Konteks lingkungan pelabuhan dan unsur budaya yang berupa
kaidah-kaidah tata ruang tradisional akan memberikan karakter yang khas yang
merupakan aset bagi pelabuhan sebagai tujuan wisata.
2.1.2. Kaidah-kaidah Tata Ruang Tradisional Bali
Tata ruang tradisional Bali merupakan warisan dari budaya leluhur orang
Bali yang telah teruji ratusan tahun dan mengalami penyesuaian dengan kondisi
alam dan karakter masyarakat Bali. Penerapan kaidah tata ruang tradisional Bali
pada pelabuhan pariwisata dapat memberikan sense of place yang kuat. Akan
tetapi tata ruang tradisional tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja pada
kawasan pelabuhan pariwisata, yang merupakan fungsi modern yang tidak dikenal
pada tata ruang tradisional Bali. Harus dilakukan berbagai penyesuaian agar
pelabuhan dapat beroperasi secara efisien. Perlu juga diketahui bahwa tata ruang
tradisional bali tidak mengenal perbedaan antara desa dengan kota. Seperti terlihat
pada kawasan resor sanur, kuta dan ubud yang telah berkembang menjadi
kawasan urban namun masih menyebut dirinya sebagai desa.
Menurut Harasina (dalam Jaya, 2000), Perencanaan lingkungan yang
efektif membutuhkan interaksi dan overlay yang efektif diantara tiga komponen,
yaitu hardware, software, dan heartware2. Selanjutnya komponen lingkungan
yang berpengaruh dalam perencanaan lingkungan di Bali dapat diidentifikasikan
sebagai berikut.
Tabel 2.1. Komponen perencanaan lingkungan yang berpengaruh di Bali
No. Komponen Komponen Perencanaan Lingkungan Menurut Harasina
Komponen Perencanaan Lingkungan di Bali
1 Hardware (Perangkat keras)
Struktur fisik dari sebuah lingkungan (kota) seperti infrastruktur, bangunan, jalan dll.
• Pola-pola tata ruang • Arsitektur tradisional
Bali 2 Software (Perangkat
lunak) Aturan-aturan, hukum dan perundang-undangan
• Organisasi sosial kemasyarakatan di Bali
2 Sumber modifikasi http://www.soc.titech.ac.jp/uem/doc-e_plan.htm
14
3 Heartware (Perangkat kejiwaan)
Mekanisme emosional individu, tingkah laku, yang menentukan kebutuhan, keinginan dan harapannya. Bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggalnya.
• Pandangan-pandangan hidup terhadap alam
• Konsep-konsep perlindungan alam dan budaya
(sumber: Jaya, 2000)
2.1.2.1. Komponen Perangakat Keras (Hardware)
1. Pola-pola Tata Ruang
Pembahasan mengenai pola tata ruang di Bali dibagi menjadi tiga yaitu (a)
tingkat kawasan, (b) teritorial desa dan (c) pekarangan rumah.
a. Tingkat Kawasan
Pola penataan ruang pada arsitektur tradisional Bali berpegang pada
kaidah-kaidah tradisional seperti orientasi, tinggi rendah suatu tempat dan hirarki
tata nilai ruang. Pola perletakannya mempertimbangkan daerah parahyangan,
pawongan dan palemahan, sehingga diperlukan jarak-jarak bangunan dengan
lingkungan sekitar. Dengan demikian maka implementasi tata ruang harus
memperhitungkan ruang-ruang luar sebagai ruang antar bangunan terutama
terhadap bangunan-bangunan suci seperti: Pura Kahyangan Jagat, Tri
Kahyangan, Pura Swagina dan sebagainya.
Gambar 2.1. Konsep tata ruang antar desa
(sumber Jaya, 2000)
15
Secara tradisional, keberadaan satu desa dengan desa lainnya di Bali
dipisahkan oleh ruang-ruang alami (gunung, bukit, sawah, lembah, sungai ataupun
jalan-jalan penghubung antar desa) yang disebut karang bengang. Ruang-ruang
pemisah tersebut mempunyai ciri khas, yang kemudian sering dikaitkan dengan
nama desa tersebut.
1. Pemisah yang bercirikan arah mata angin, seperti: Den Bukit, Den Carik,
Den Kayu, Denpasar. (den = utara)
2. Pemisah berupa abian (kebun), seperti: Abian Base, Abian Semal, Abian
Tuwung.
3. Pemisah berupa tegal (tegalan), seperti: Tegal Cangkring, Tegal Mengkeb,
Tegal Tamu.
4. Pemisah berupa yeh (sungai), sperti: Yeh Leh, Yeh Kuning, Yeh Embang.
b. Tingkat Teritorial Desa
Pola tipikal pedesaan di Bali dapat dilihat dalam tiga jenis, dengan
pembagian zona sebagai berikut: pada bagian kepala terdapat Pura Puseh, pada
bagian badan terdapat Pura Desa, serta bangunan fasilitas publik dan pada bagian
kaki terdapat Pura Dalem dan setra (kuburan). Dari pola tipikal tersebut, terlihat
bahwa pola desa-desa tradisional bali terdiri dari:
1. Parhyangan, sebagai area yang diperuntukkan bagi bangunan suci: Pura
kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem)
2. Pawongan, sebagai area yang diperuntukkan bagi warga desa dan hunian
(komunitas banjar).
3. Palemahan, sebagai areal untuk bertani, berkebun, dengan batas-batas
geografis tertentu.
Pola desa pempatan agung, yang dikonsepkan oleh Empu Kuturan,
berkembang sekitar abad ke sebelas sejalan dengan perkembangan desa adat di
Bali. Dua jalur utama dalam sebuah desa masing-masing mengarah utara-selatan
dan timur-barat bersilangan membentuk pola cross yang disebut Pempatan Agung
atau Catur Muka. Pada keempat arah diujung-ujung jalan terbentuk sub-sub unit
16
lingkungan banjar sebagai sistem pengaturannya yang disebut nyatur desa. Dari
persilangan dua lintasan jalan terjadi empat zona dengan tingkatan tata nilainya
masing-masing. Nilai utama pada zona kaja kangin, nilai madia pada kaja kauh
dan kelod kangin sedangkan kelod kauh merupakan zona nista dengan nilai
rendah.
Gsmbar 2.2. Tiga pola tipikal desa di Pulau Bali
(sumber Jaya, 2000)
Zona utama kaja kangin untuk lokasi Pura Desa, Pura Puseh atau puri.
Zona madia kaja kauh untuk bale banjar, zona kelod kangin untuk lapangan dan
zona kelod kauh untuk pasar. Perumahan dibangun di luar keempat zona tersebut
dengan suatu lorong pemisah antara pekarangan perumahan dengan zona disudut
perempatan.
c. Tingkat Pekarangan Rumah
Pola tata ruang berpedoman pada konsep Sanga Mandala (ruang dalam
alam dan alam dalam ruang) dengan natah sebagai ruang utama / pengikat.
Sementara bangunan diletakkan membentuk cluster yang berorientasi ke tengah
(natah) sesuai dengan fungsi masing-masing.
17
Diagram 2.3. Sanga Mandala pada tipikal rumah adat Bali
(sumber Jaya, 2000)
2. Arsitektur Bangunan Umum
Sebagai konsekuensi dari adanya bentuk-bentuk organisasi
kemasyarakatan tradisional di Bali, maka dijumpai adanya bangunan yang
digunakan untuk kepentingan umum berupa bale banjar dan wantilan.
a. Bale Banjar
Sebagai tempat aktivitas banjar dalam melaksanakan suka duka, maka
bangunan ini dapat dijumpai di setiap komunitas banjar pada desa-desa di Bali.
Fungsi yang diwadahinya beraneka ragam, yang kesemuanya merupakan fungsi
publik. Diantaranya sebagai tempat mebat (proses mengolah makanan
tradisional), mejejaitan (membuat sesajen dari daun janur), sangkep (rapat desa),
berlatih menabuh gamelan (alat musik tradisional) dan tari-tarian.
Bangunan bale banjar tidak memiliki bentuk tertentu. Namun memiliki ciri
khas berupa adanya kentongan yang ditempatkan pada bale khusus yang disebut
bale kulkul. Secara filosofis hanya terdapat pelinggih atau banganan suci disana
yang disebut tugun bale banjar, yang berfungsi sebagai pengemban keutuhan
kesatuan krama banjar tersebut. Bangunan bale banjar mempunyai orientasi ke
tengah, pada natah (halaman) banjar, sebagai ruang yang melarutkan
homogenitas bangunan-bangunan sekitarnya, sesuai dengan kemerataan fungsi
bangunan dan persamaan hak dan kewajiban anggota banjar dalam aktivitas yang
ditampungnya.
18
b. Wantilan
Pada mulanya wantilan adalah tempat bernaung bagi orang banyak dalam
rangka upacara di pura, dengan posisinya yang terletak di jaba pura. Selain itu
wantilan juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pertemuan-pertemuan
dari krama desa pada waktu sangkepan (rapat desa), tempat melangsungkan tajen
(sabung ayam), tempat pertunjukkan balih-balihan (kesenian pertunjukkan).
Tidak semua desa mempunyai bale wantilan. Bangunan ini umumnya terletak di
tengah-tengah desa, berdekatan dengan pura Desa ataupun dengan puri.
2.1.2.2. Komponen Perangkat Lunak (Software)
Desa Tradisional: Desa Adat
Desa adat secara tradisional telah ada di Bali sejak berabad-abad lalu.
Awalnya desa adat ini juga menangani segala macam urusan yang kehidupan
bersama masyarakatnya. Namun setelah sebagian fungsinya diambil oleh desa
dinas maka kini kegiatan desa adat cenderung terbatas pada kegiatan-kegiatan
sosial religius masyarakat pendukungnya saja.
Batasan resmi desa adat menurut Peraturan Daerah Bali No. 06 Tahun
1986 pasal 1 (c) adalah (Titib, 1999): “kesatuan masyarakat hukum adat di
propinsi daerah tingkat I Bali yang mempunyai satu-kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakt umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan
Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekyaaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
Beberapa ciri-ciri keberadaan suatu desa adat, diantaranya (Pitana, 1994):
1. Mempunyai wilayah dengan batas-batas geografis yang jelas. Umumnya
berupa batas alam seperti: sungai, hutan, jurang, bukit dan pantai, ataupun
batas buatan berupa tembok penyengker.
2. Mempunyai krama (anggota) yang jelas, dengan persyaratan tertentu. Karena
kuatnya keterikatan krama desa adat dengan desa adatnya, maka
keanggotaannya sehingga mencakup krama (yang sebagian besar) berdomisili
di wilayah desa adat bersangkutan, juga mencakup krama yang berdomisili di
lain daerah untuk jangka waktu yang lama (seperti para migran di Denpasar).
19
3. Mempunyai Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, atau pura lain yang
mempunyai fungsi dan peranan yang sama dengan Kahyangan Tiga.
4. Mempunyai otonomi ke dalam maupun ke luar. Otonomi ke dalam berarti
kebebasan atau kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri,
sedangkan otonomi keluar berarti kebebasan untuk mengadakan kontak
langsung dengan institusi di luar desa adat.
Sementara yang dimaksudkan dengan desa dinas atau desa administratif
adalah desa dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan batasan yang ada
dalam Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Pemerintahan Desa. Desa ini
didefinisikan sebagai suatu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan
yang mengurusi masalah adminstratif pemerintah formal/kedinasan dan bidang-
bidang pembangunan, yang mengikat warga adalah kesatuan fungsi yang
dijalankan oleh aparat pemerintah.
Dalam konteks dualisme antara desa adat dan desa dinas, terdapat
beberapa kemungkinan yang diakibatkan oleh persyaratan dan dasar
pembentukannya berbeda (Pitana, 1994: 140). Beberapa kemungkinan tersebut
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.2. Dualisme antara desa adat dan desa dinas
No. Kemungkinan Ilustrasi
1 Satu desa adat mempunyai luas wilayah dan penduduk yang sama dengan satu desa dinas
2 Satu desa dinas meliputi beberapa
desa adat
3 Satu desa adat terdiri atas beberapa
desa dinas
20
4 Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat dan sebagaian dari desa adat lain
(sumber: Jaya, 2000)
2.1.2.3. Komponen Perangkat Kejiwaan (Heartware)
Pembahasan terhadap komponen heartwear dalam perencanaan
lingkungan di Bali ini mencakup bagaimana sebenarnya filosofi dan konsepsi
tradisional yang dimiliki Bali, sehingga kemudian bisa diidentifikasi bahwa Bali
sebenarnya sudah memiliki konsep perlindungan alam dan budaya dalam
pandangan tradisi Bali.
a. Filosofi dan Konsepsi Tradisional
Keseluruhan hidup dari setiap orang Bali dipengaruhi oleh kepercayaan
terhadap agamanya (Hindu). Tujuan hidupnya adalah mencapai kebahagiaan,
yang dicapai dengan melaksanakan Tri Warga, yaitu:
1. Dharma: kehidupan spiritual, komunikasi antara manusia dengan Hyang
Widhi.
2. Artha: kehidupan sosial ekonomi, komunikasi interpersonal dan hubungan
manusia dengan lingkungannya.
3. Kama: kehidupan budaya, berkaitan dengan penciptaan seni, budaya dan
arsitektur.
Orang Bali percaya bahwa Bali adalah milik Hyang Widhi yang
bersemayam di puncak pegunungan, sedangkan kekuatan jahat hidup di laut dan
manusia hidup di antaranya yang harus membina hubungan baik dengan
keduanya. Secara sederhana, konsep yang disebut dengan nyegara gunung ini
menterjemahkan laut sebagai pelebur segala mara bahaya dan gunung sebagai
tempat mencari kesucian.
21
Gambar 2.4. Konsep Gunung – Segara (laut)
(sumber Jaya, 2000)
Dengan sistem ini, orang Bali mengatur keharmonisan setiap tindakan
dalam kehidupannya dengan kekuatan-kekuatan alam. Mereka percaya bahwa
eksistensinya bergantung pada harmonisasi kekuatan baik (Tuhan) dan roh jahat,
baik dan buruk, tinggi dan rendah, bersih dan kotor (Budiharjo, 1986). Konsep
dualistik yang membagi kehidupan ke dalam dua kategori yang berlawanan, tapi
harus selalu berada dalam keseimbangan dan harmoni tersebut disebut dengan
Rwa Bhinneda. Orang Bali juga selalu berusaha mencapai keharmonisan antara
Bhuwana Alit (manusia / individu, mikrokosmos) dengan Bhuana Agung (alam,
makrokosmos), yang diyakini akan membawa ke arah Moksa (kesempurnaan).
Ada tiga sumber yang diyakini sebagai menjadi penyebab tercapainya
kesejahteraan kehidupan manusia, disebut Tri Hita Karana, yang terdiri dari unsur
Parahyangan (Tuhan), Pawongan (manusia) dan Palemahan (lingkungan).
Filosofi ini berintikan makna keseimbangan, yang diwujudkan antara: manusia
dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam.
Harmonisasi segala sesuatu yang baru dengan yang lama diwujudkan
dengan sebuah konsep dinamis, yaitu Desa-Kala-Patra. Filosofi ini mengacu pada
kesesuaian dan harmoni dari Desa (ruang), Kala (waktu) dan Patra (kondisi
kehidupan). Dipahami bahwa seringkali terjadi perbedaan antara ketiga unsur
tersebut, namun tujuannya adalah penciptaan keseimbangan atau harmoni
diantaranya. Selanjutnya adanya penyelarasan terhadap Desa, Kala dan Patra
tersebut pada hakekatnya berlandaskan dimensi waktu meliputi: Atita (dahulu),
22
Warthamana (akan datang) dan Nagata (saat ini). Di mana kehidupan sekarang
dipandang sebagai kelanjutan dari masa lalu dan persiapan untuk masa datang.
Tabe 2.3. Konsepsi Tri Loka dan Tri Angga dalam manifestasi fisiknya.
Tri Loka Swah Loka Bhuwah Loka Bhur Loka Tri Angga Utama Madya Nista
Alam semesta Atmosphere Lithosphere Hydrosphere
Bumi Gunung (untuk Tuhan)
Daratan (untuk manusia)
Laut (untuk roh jahat)
Desa / Kota Pura Banjar (pemukiman) Setra (kuburan)
PerumahanParahyangan /
Pamerajan / sanggah (tempat ibadah)
Pawongan / Natah (tempat aktivitas
sehari-hari)
Palemahan / Lebuh (daerah masuk ruang
publik)
Pura Jero (bagian dalam paling suci)
Jaba Tengah (bagian tengah)
Jaba Sisi (bagian luar, nilai
kesucian paling rendah)
(sumber: Jaya, 2000)
Hirarki ini dimanifestasikan ke dalam semua jenis perencanaan dan
perancangan arsitektur dan lingkungan. Dalam perencanaan arsitektur terdapat
konsep dasar Tri Mandala yang membagi segala sesuatunya menjadi tiga
komponen atau zona: Nista (rendah, kotor, kaki), Madya (tengah, netral, badan)
dan Utama (tinggi, bersih, kepala).
Orang Bali selalu berusaha mengorientasikan dirinya secara spasial dan
waktu, bagaimanpun situasi yang dihadapinya (Hobart dalam Jaya, 2000).
Perpaduan sumbu gunung laut tersebut dengan sumbu timur-barat kemudian
menghasilkan suatu orientasi kosmologis, disebut Nawa Sanga atau Sanga
Mandala, sebagai manifestasi pencarian tiada henti mengenai order dan harmoni.
Sanga Mandala menggambarkan delapan arah mata angin dan sebuah focal point
pada titik tengahnya, yang disimbolkan dengan warna spesifik dan dewa-dewa
sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
23
Setiap segmen memiliki tata nilai dengan hirarki tertentu dari nilai utamaning
utama sampai nistaning nista.
Gambar 2.5. Perpaduan konsep Pempatan Agung dengan Sanga Mandala
a. Konsepsi Ruang Desa Pakraman (Desa Adat)
Koridor antara Pura Puseh (di hulu desa) – Pura Desa (di tengah-tengah
desa) – Pura Dalem (di teben desa), merupakan sebuah koridor kesucian, yang
memberikan makna bahwa ruang Desa Pekraman harus selalu dijaga
kesuciannya, di mana ruang untuk kesejahteraan bersama harus berangkat dari
konsepsi ruang untuk kesucian. Konsepsi ini juga mengandung muatan makna
kesucian pura dan kawasan penyangganya di peringkat pertama, pelestarian alam
dan lingkungan di peringkat kedua dan kesejahteraan ekonomi bersama di
peringkat ketiga (Sudibya dalam Jaya, 2000).
b. Konsepsi Karang Bengang
Karang bengang merupakan konsep perlindungan ruang terbuka hijau dari
pertumbuhan desa adat. Dalam hal ini terlihat adanya upaya pemanfaatan lahan
pertanian sebagai pembatas pertumbuhan lahan terbangun. Konsep ini berasal dari
latar belakang kondisi masyarakat agraris, yang menjadikan lahan terbuka hijau
sebagai lahan mata pencaharian.
24
Gambar 2.6. Diagram konsep Karang Bengang
2.1.3. Simbiosis Tata Ruang Tradisional Bali dengan Teori Rancang Kota
Pelabuhan merupakan fasilitas publik yang dikelola oleh badan
pemerintah. Fungsi utamanya adalah sebagai titik transit dari transportasi massal.
Pengembangan pelabuhan sebagai tujuan wisata akan menjadikan titik transit ini
sebagai generator ekonomi bagi warga lokal yang memunculkan bermacam
kegiatan seperti perdagangan, jasa, komersial dan lain-lain. Pada titik ini manusia
akan datang dan pergi, sehingga menjadi suatu daya tarik yang luar biasa bagi
pelaku bisnis untuk melakukan kegiatannya.
Pelabuhan pariwisata adalah kawasan dengan fungsi campuran, yang
terlihat pada fungsi gandanya sebagai fasilitas transit dan bongkar muat barang
sekaligus sebagai tujuan wisata. Sebagai tujuan wisata pelabuhan harus
menyediakan berbagai sarana wisata yang lengkap sebagai mana layaknya sebuah
kawasan resor yang menyediakan fasilitas mulai dari hotel, restoran, retail
sovenir, sampai atraksi yang menarik.
Filosofi Desa Kala Patra (ruang, waktu, kondisi kehidupan) menyebutkan
bahwa kondisi kehidupan pada suatu tempat (ruang) sangat dipengaruhi oleh
faktor waktu, sehingga kondisi kehidupan merupakan kondisi yang dinamis.
Pelabuhan pariwisata sebagai sebuah kawasan resor harus menghormati konteks
sosial, budaya dan lingkungannya serta selaras dengan perkembangan zaman.
25
Menurut Tan Hok Beng (1995) sebuah resor agar dapat menarik pengunjung atau
wisatawan harus menggali semua sumberdaya dan menonjolkan keaslian karakter
lingkungan sekitar dimana resor tersebut berada. Keaslian yang dimaksudkan
disini adalah keaslian yang juga sesuai dengan perkembangan zaman, keaslian
yang dikemas secara modern, yang dapat mengadaptasi berbagai kemajuan
meliputi teknologi transportasi, telekomunikasi dan berbagai komoditi kehidupan
sehari-hari.
Perpaduan antara kaidah-kaidah tata ruang tradisional Bali dengan konsep-
konsep rancang kota akan mengarahkan kawasan pelabuhan pariwisata menjadi
sebuah kawasan resor yang memiliki sense of place yang berciri Bali, namun
memiliki efisiensi sebagai kawasan urban modern. Dalam konsepsi tradisional
Bali perpaduan antara dua hal yang bertentangan namun berada dalam
keseimbangan dan harmoni, disebut dengan Rwa Bhinneda.
Menurut Kurokawa (1994) hubungan antar dua kebudayaan yang berbeda
(dalam hal ini antara tradisional dengan modern), harus berdasarkan pada rasa
saling menghormati identitas masing-masing. Hubungan ini dikenal sebagai
hubungan simbiosis. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan untuk menciptakan
hubungan simbiosis ini (Kurokawa, 1994), yaitu: pertama, masing-masing pihak
harus mengetahui dan menghormati sacred zone (area keramat) pihak yang lain.
Pada kaidah tata ruang tradisional Bali area keramatnya adalah tata ruang
berdasarkan hirarki kesucian yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan
hubungan antara sesama manusia, Tuhan dan lingkungannya, sedangkan pada
urban design area keramatnya adalah tata ruang yang mengutamakan kepentingan
publik dengan menciptakan ruang-ruang yang efisien dari segi ekonomi, sosial
dan lingkungan. Kedua, hubungan dua budaya yang berbeda tersebut
menciptakan intermediate space (ruang peralihan) yang dapat dipakai bersama.
Hubungan tersebut berlandaskan pada asumsi adanya elemen-elemen umum,
aturan-aturan umum dan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak.
Intermediate space pada perancangan pelabuhan pariwisata internasional
pada Pelabuhan Benoa, adalah berupa ruang-ruang antara yang dipakai bersama
26
antara kaidah tata ruang tradisional Bali dengan teori rancang kota. Yang
dimaksud ruang-ruang antara disini adalah konsepsi-konsepsi perancangan yang
dikenal pada kaidah tata ruang tradisional Bali maupun teori rancang kota.
Konsepsi-konsepsi tersebut meskipun tidak sama persis akan tetapi memiliki
persepsi atau tata nilai yang setara, konsepsi tersebut yaitu: linkages, transit,
fungsi campuran, waterfront dan ruang terbuka.
Intermediate space antara kaidah tata ruang tradisional Bali dengan urban
design pada perancangan pelabuhan pariwisata internasional di Pelabuhan Benoa
dipaparkan pada penjelasan berikut ini:
1. Linkages
Pengembangan pelabuhan pariwisata pada prinsipnya adalah
menambahkan fungsi pelayanan pariwisata pada kawasan eksisting pelabuhan.
Akan tetapi penambahan fungsi baru tersebut harus menghindari terjadinya
fragmentasi ruang-ruang pelabuhan yang dapat menurunkan kualitas
lingkungan. Kawasan pelabuhan pariwisata harus mengintegrasikan berbagai
fungsi eksisting dengan fungsi baru agar dapat memperkuat citra barunya
sebagai tujuan pariwisata.
Teori rancang kota yang membahas tentang pengembangan kawasan
transisi yang terintegrasi dengan kawasan sekitarnya adalah teori linkage.
Sebuah linkage perkotaan dapat dilihat dari beberapa pendekatan (Trancik,
1986) yaitu:
a. linkage visual, adalah hubungan dari satu tempat ke tempat lainnya
dengan elemen visual yang memiliki irama, baik yang berupa
arsitektural ataupun lansekap
b. linkage aktifitas, adalah hubungan antara satu daerah dengan daerah
lainnya dengan aktifitas sebagai penghubungnya.
c. linkage struktural, adalah hubungan antara satu tempat dengan tempat
lainnya secara fisik, yang dapat berupa langgam bangunan maupun
keterkaitan fungsi.
Pada kaidah tata ruang tradisional Bali sistem keterkaitan ini dikenal
dengan istilah Pempatan Agung, yaitu dua jalur utama pada sebuah desa yang
27
membentuk persimpangan dengan pola cross, masing-masing mengarah utara-
selatan dan timur-barat. Persimpangan ini menghubungkan ruang-ruang desa
yang memiliki hirarki yang berbeda yaitu, menghubungkan utama (kekuatan
positif) dengan nista (kekuatan negatif) yang bertemu di tengah-tengah
(madya ning madya) membentuk keseimbangan (netral).
Perpaduan antara konsep linkages dengan pempatan agung akan menjadi
konsep integrasi bagi fungsi-fungsi yang berbeda pada kawasan pelabuhan.
Perpaduan tersebut akan menghubungkan daratan dengan badan air serta
menghubungkan terminal penumpang yang bersifat publik (nista) dengan
fungsi lain yang bersifat lebih privat (utama) seperti hotel resor.
2. Transit
Pelabuhan pariwisata merupakan titik transit bagi wisatawan yang tiba dan
yang berangkat menggunakan kapal pesiar. Pengembangan pelabuhan
pariwisata yang berorientasi transit akan menjadikan kawasan pelabuhan
sebagai suatu komunitas yang kompak dengan fungsi campuran dan titik
transit sebagai pusat orientasi. Pengembangan berorientasi transit ini
berlandaskan pada konsep aktivitas pergerakan manusia baik dengan moda
transportasi maupun berjalan kaki. Pergerakan sebagai salah satu aktivitas
yang paling banyak dilakukan oleh manusia, diwadahi dengan penempatan-
penempatan pusat-pusat aktivitas yang terintegrasi dengan titik-titik transit,
sehingga diharapkan dapat mendorong penggunaan transportasi publik.
Konsep transit dan fungsi campuran ini juga terlihat pada kaidah tata ruang
tradisional Bali yaitu pada desa adat, meskipun dalam tingkat yang masih
sederhana. Desa adat di Bali biasanya terdiri dari beberapa banjar (kelompok
masyarakat yang lebih kecil dari desa), masing-masing banjar memiliki bale
banjar sebagai pusat orientasi kegiatan masyarakat. Antara bale banjar satu
dengan bale banjar lain, biasanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki,
tergantung pada letak geografisnya. Bale banjar merupakan titik transit bagi
orang asing yang datang ke desa baik untuk sekedar beristirahat atau
menanyakan alamat yang akan dituju.
28
Konsep transit pada kawasan pelabuhan diterjemahkan sebagai pusat-pusat
aktivtas (bale banjar) yang menyebar. Pusat-pusat aktivitas tersebut satu sama
lain dapat ditempuh dengan berjalan kaki yang nyaman (kurang lebih 5 menit
berjalan kaki) dan menjadi pusat orientasi pada areanya. Konsep transit ini
juga mengarahkan kawasan pelabuhan untuk berorientasi pada penggunaan
transportasi publik dengan menyediakan titik transit bagi bus dengan jarak 400
m dari fungsi hunian.
3. Fungsi Campuran
Dari segi hirarki tata ruang desa adat memiliki fungsi campuran, yaitu
pembagian tata ruang berdasarkan konsep Sanga Mandala dan tri mandala,
dimana hirarki tertinggi pada zona utama, yang ditempati tempat ibadah
(pura), zona madya untuk hunian, dan zona nista untuk kuburan atau ladang
dan sawah.
Pelabuhan pariwisata merupakan kawasan yang memiliki fungsi
campuran. Fungsi-fungsi yang ditampung pelabuhan pariwisata diantaranya
yaitu: hunian, transit, rekreasi, retail, komersial, perkantoran, hiburan, bongkar
muat barang dan sebagainya.. Fungsi campuran tersebut memberikan
keuntungan, diantaranya adalah efisiensi fungsi lahan, nilai ekonomi lahan dan
estetika lingkungan, yang mendukung kawasan sebagai tujuan wisata. Fungsi
campuran tersebut ditata berdasarkan konsep sanga mandala yaitu berdasarkan
hirarki dari fungsi-fungsi yang ada pada pelabuhan.
Pada pelabuhan pariwisata ini hirarki fungsi tertinggi (utama) ditempati
oleh fungsi hunian, karena fungsi hunian yg berupa hotel resor membutuhkan
privasi yang tinggi. Kemudian hirarki menengah (madya) ditempati oleh
fungsi perkantoran, karena fungsi ini masih membutuhkan privasi namun
masih dapat diakes oleh publik secara terbatas. Hirarki yang paling rendah
(nista) ditempati oleh fungsi-fungsi yang secara bebas dapat diakses oleh
publik seperti fungsi hiburan, rekreasi, retail dan terminal penumpang.
Selain secara horisontal, fungsi campuran juga diterapkan secara vertikal,
sehingga efisiensi fungsi kawasan dapat dicapai dengan maksimal Pada
29
arsitektur tradisional Bali dikenal konsep Tri Angga, yaitu pembagian proporsi
bangunan berdasarkan hirarki kepala, badan dan kaki, yang merupakan
representasi dari konsep tri mandala secara vertikal yaitu utama, madya dan
nista. Konsep Tri Angga ini kemudian diterjemahkan pada fungsi bangunan
modern, yaitu: kepala untuk fungsi hunian (privat), badan untuk fungsi
perkantoran (semi publik), kaki untuk fungsi retail/komersial (publik).
4. Waterfront
Prinsip dasar dari pengembangan kawasan tepi air (waterfront) adalah
memberikan akses sebesar-besarnya bagi pengunjung untuk berinteraksi
dengan badan air, dan tetap mengutamakan keamanan dan keselamatannya.
Hal tersebut dapat dicapai dengan menyediakan promenade yang menerus
menghubungkan tepi-tepi pelabuhan, ruang terbuka yang cukup untuk
pengunjung, orientasi bangunan dan jalur pejalan kaki mengarah ke badan air
dan sebagainya.
Dalam konsep tradisional Bali, dikenal adanya konsep gunung segara
(laut). Kekuatan-kekuatan positif dipercaya berkumpul di puncak gunung
sedangkan kekutan negatif berkumpul di laut. Manusia hidup diantara kedua
kekuatan tersebut dengan menjaga keseimbangan keduanya. Konsep gunung
segara tersebut dapat diterapkan pada kawasan pelabuhan, dengan
menganalogikan bagian tengah pelabuhan sebagai gunung yang memiliki
kekutan positif, yang direpresentasikan dengan hirarki tata massa yang lebih
tinggi, fasade yang lebih formal dan fungsi utama berupa hunian atau
perkantoran. Daerah tepi air (segara) yang memiliki kekuatan negatif
diwujudkan dengan tata massa yang lebih rendah, fasade yang lebih santai,
fungsi berupa retail/komersial dan didominasi oleh ruang terbuka publik
dengan berbagai aktivitasnya. Tarik-menarik antara kedua kekuatan tersebut
akan menghasilkan pergerakan pengunjung yang dinamis dan memberikan
suasana yang lebih hidup pada pelabuhan.
30
5. Ruang Terbuka
Pada kaidah tata ruang tradisional Bali telah dikenal konsep ruang terbuka
dan perlindungan terhadap ruang terbuka (lanskap) alami. Konsep tersebut
dapat diterjemahkan pada teori rancang kota sebagai berikut.
Konsep natah, merupakan ruang terbuka yang dibentuk oleh konfigurasi
tata bangunan yang berorientasi ketengah. Pada teori rancang kota konsep ini
dikenal dengan ruang terbuka positif. Ruang terbuka positif ini merupakan
ruang yang terdefinisi oleh bangunan-bangunan yang memberikannya bentuk
dan fungsi. Ruang terbuka positif akan mengarahkan orang untuk bertemu,
berbincang atau bersantai.
Ruang desa pekraman (adat), yang membentuk koridor kesucian, yang
menghubungkan Pura Puseh di hulu desa (utama), Pura Desa di tengah desa
(madya) dan Pura Dalem di teben desa (nista), merupakan tempat interaksi
sosial warga, orientasi tata bangunan pemukiman dan tempat berlangsungnya
berbagai prosesi budaya dan keagamaan seperti: festival ogoh-ogoh, ngaben
dan sebagainya. Dalam Urban Design Compendium (English Parnership,
2000) disebutkan bahwa koridor jalan merupakan bagian dari lanskap urban,
yang memiliki fungsi sosial. Koridor jalan harus dirancang agar dapat
merangsang pengunjung atau warganya saling berinteraksi. Harus dimengerti
koridor jalan merupakan bagian dari jaringan places, dan bukan sekedar
hirarki jalan untuk kepentingan transportasi kendaraan.
Karang bengang, merupakan konsep perlindungan ruang terbuka hijau
alami (sawah/ladang) dari perkembangan lahan terbangun, yang membentuk
jaringan yang juga berfungsi sebagai batas dari desa. Pada teori rancang kota
ruang terbuka hijau merupakan sebuah jaringan yang menghubungkan sebuah
area dengan kawasan yang lebih luas. Jaringan ini dapat berupa jalur hijau di
tepi jalan, taman bermain, kebun, vegetasi sebagai buffer, dan sebagainya.
Jaringan ruang terbuka hijau ini berfungsi untuk menyeimbangkan kehidupan
ekologi kawasan urban.
Ruang terbuka pada kawasan urban agar dapat berfungsi dengan baik
memerlukan elemen-elemen tambahan, seperti: street furniture, art work, tata
31
informasi dan pencahayaan. English Patrnership, (2000) menyarankan agar
elemen-elemen tersebut diperlakukan sebagai karya seni, sehingga dapat
memperkuat sense of place kawasan.
Tabel 2.4. Simbiosis antara kaidah-kaidah tata ruang tradisional Bali dengan konsep rancang kota
Kaidah Tata Ruang Tradisonal Bali Konsep Rancang Kota
Pempatan Agung Teori Linkage Desa Adat (dengan bale banjar sebagai pusat orientasi)
Pengembangan berorientasi transit
Sanga Mandala Mixed-use horisontal Tri Angga (Kepala, Badan, Kaki)
Mixed-use vertikal (Hunian, Kantor, Komersial)
Gunung – Segara (laut) Hirarki tata ruang dan massa bangunan (analogi formal – informal) dan Waterfront
Natah, koridor desa adat dan Karang Bengang (Utama, Madya, Nista)
Jaringan ruang terbuka (privat, peralihan, publik)
2.2. Pelabuhan Pariwisata Internasional
2.2.1. Interpretasi Kasus
Untuk lebih mamahami kasus pelabuhan pariwisata maka terlebih dahulu
akan diuraikan pengertian dari pelabuhan dan pariwisata.
a. Pelabuhan
Pelabuhan adalah suatu daerah perairan yang tertutup dan juga terlindung
dari alam (angin, topan, badai) sehingga kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman,
nyaman dan lancar untuk bongkar muat barang, penumpang, pengisian bahan
bakar, perbaikan kapal dan sebagainya (Budiartha, 2000). Sedangkan menurut
Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 1983, pelabuhan adalah tempat berlabuh
dan atau bertambatnya kapal laut serta kendaraan lainnya, menaikkan dan
menurunkan penumpang, bongkar muat barang dan hewan serta merupakan
daerah lingkungan kerja kegiatan ekonomi.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pelabuhan mencakup
pengertian sebagai prasarana dan sistem, yaitu pelabuhan adalah suatu lingkungan
32
kerja terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat
berlabuh dan bertambatnya kapal, untuk terselenggaranya bongkar muat serta
turun naiknya penumpang, dari suatu moda transportasi laut (kapal) ke moda
transportasi lainnya atau sebaliknya.
b. Pariwisata
Menurut Burkart (dalam Soekadijo, 1997) pariwisata berarti perpindahan
orang untuk sementara atau dalam jangka waktu yang pendek ke tujuan-tujuan di
luar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja. Lebih jauh Soekadijo
(1997) menjelaskan bahwa pada hakikatnya pariwisata merupakan masalah
perpindahan tempat, dari tempat kediaman wisatawan ke tempat tujuan wisata –
dengan kata lain masalah pariwisata adalah masalah mobilitas spasial.
Determinan-determinan yang harus diperhatikan agar terjadi mobilitas spasial
tersebut yaitu:
1. Komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata.
Wisatawan yang melakukan perjalanan tentu memiliki alasan atau
motif wisata. Wisatawan hanya akan berkunjung ke tempat tertentu kalau
ditempat tersebut terdapat kondisi yang sesuai dengan motif wisata, yang
merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut.
Daya tarik wisatawan itu disebut atraksi wisata, yang dapat berupa fasilitas
olah raga, tempat hiburan, museum, pesta rakyat, pertunjukan kesenian,
peninggalan sejarah, dan sebagainya.
2. Komplementaritas antara kebutuhan wisatawan dengan jasa wisata.
Selama meninggalkan rumah, wisatawan memiliki kebutuhan
hidup sehari-hari. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi ada
kemungkinan perjalanan wisata tidak terjadi. Sehingga diperlukan jasa
wisata yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, yang dapat berupa
rumah makan, hotel, klab malam, pramuwisata dan lain-lain.
3. Transferabilitas
Adanya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari
tempat tinggal wisatwan ke tempat atraksi wisata. Yang dapat berupa
berbagai kecanggihan alat transportasi darat, laut dan udara.
33
4. Pemasaran
Calon wisatawan harus diberi tahu bahwa ada atraksi wisata, ada
alat angkut ke tempat atraksi wisata dan jasa pelayanan yang tersedia kalau
mereka mengadakan perjalanan kesana.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pelabuhan pariwisata adalah
suatu kawasan wisata yang terdiri dari daratan dan perairan yang memiliki fungsi
utama sebagai titik transit, pergantian moda transportasi dari darat ke laut atau
sebaliknya. Titik transit ini ditujukan baik bagi wisatawan atau pun kegiatan lain
yang menggunakan alat transportasi laut, yang memiliki berbagai atraksi dan
fasilitas pendukung wisata yang lengkap.
Pariwisata menuntut modernitas dari fungsi pelabuhan, sehingga sebagai
tujuan wisata pelabuhan harus merubah citranya dari sebuah tempat yang hanya
berorientasi pada alat transportasi menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi
pengunjung tanpa mengganggu berbagi kegiatan pelabuhan. Pelabuhan pariwisata
merupakan kawasan tepi air (waterfront) dengan fungsi campuran yang
menawarkan hotel, retail, hiburan, aquarium dan atraksi lainnya, yang terintegrasi
dengan aktivitas seperti bongkar muat petikemas, pelabuhan ikan, penyaluran
BBM dan sebagainya.
2.2.2. Tipologi Pelabuhan Pariwisata
Pelabuhan pariwisata dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Port of call
Port of call adalah pelabuhan dimana kapal pesiar berlabuh sementara
untuk menurunkan penumpang yang mengunjungi suatu objek wisata dan
setelah selesai kemudian naik lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Bangunan terminal khusus tidak diperlukan karena penumpang setelah
turun dari kapal akan langsung naik bus untuk mengikuti tur.
2. Turnaround port
Turnaround Port adalah pelabuhan yang khusus melayani pelayaran
wisata dimana kapal pesiar memulai pelayaran atau kembali dari
34
pelayarannya, dan penumpang diijinkan untuk naik atau turun. Kadang-
kadang semua penumpang turun dan kapal pesiar mengangkut penumpang
yang telah turun pada pelayaran sebelumnya.
3. Home port
Home port adalah pelabuhan dimana kapal pesiar memulai dan mengakhiri
perjalanannya yang dilengkapi dengan fasilitas docking untuk perbaikan
kapal.
Gambar 2.7. Queen Elizabeth II Cruise Terminal - Berth 38/39, Southampton Inggris.
(sumber http://www.southampton-cruiseterminal.co.uk )
2.2.3. Kegiatan pada Cruise Port3
Pelabuhan pariwisata (dalam hal ini turnaround cruise port), merupakan
fasilitas intermodal yang melayani perpindahan penumpang dan bagasi dari dan
ke sistem transportasi lokal, seperti: mobil pribadi, taxi, atau bus. Penumpang
dapat sampai pada kota tempat pelabuhan dengan menggunakan transportasi darat
atau udara. Jika penumpang datang dengan pesawat udara maka hubungan antara
airport dengan pelabuhan harus baik dan memberikan pengalaman menarik
sebagai bagian dari perjalanan wisata. Penumpang dapat datang dari airport
dengan transportasi publik atau akomodasi yang disediakan oleh cruise line.
3 Kenneth W. Griffin, Building Type Basic for Transit Facilities. John Wiley & Sons Inc. New
Jersey. 2004.
35
Transportasi publik harus memiliki jadwal kedatangan dan keberangkatan yang
pasti untuk menghindari keterlambatan. Pada umumnya kapal pesiar berlabuh
pada pagi hari dan berangkat pada sore hari.
Gambar 2.8. Layout tipikal pelabuhan kapal pesiar
(sumber Griffin, 2004 )
Jika pelayaran meliputi kunjungan wisata internasional, maka diperlukan
petugas bea cukai. Penumpang dan barang yang mengikuti pelayaran internasional
saat tiba dan pergi harus diperiksa oleh petugas bea cukai, untuk kemudian
melanjutkan perjalanan darat atau udara. Penumpang yang melanjutkan perjalanan
berikutnya dengan pesawat udara dapat melakukan chek-in pada terminal
pelabuhan sehingga perjalanan menjadi lebih efisien.
Pihak pelabuhan dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki kontrak
dengan sebuah atau beberapa cruise line. Cruise line memiliki jadwal yang pasti,
maka berbagai fasilitas terminal harus diorganisir dengan baik dan cukup fleksibel
untuk melayani berbagai cruise line. Penumpang saat melakukan boarding
mungkin memiliki keinginan untuk berbelanja atau makan, maka terminal dapat
menyediakan fasiltas tambahan seperti restoran atau duty free shopping.
Penumpang yang akan naik ke kapal pesiar, yang telah datang dari
berbagai kota yang jauh, biasanya sampai di pelabuhan beberapa jam atau
beberapa hari sebelum keberangkatan. Kenyamanan penumpang pada pelabuhan
dapat ditingkatkan dengan mengembangkan pelabuhan sebagai kawasan fungsi
campuran, sebagai contoh penumpang dapat menginap pada hotel resor,
36
menikmati berbelanja pada toko suvenir, makan pada restoran atau mengunjungi
aquarium.
Gambar 2.9. Pola pergerakan penumpang saat kedatangan pada terminal penumpang
(sumber: Griffin, 2004 )
Gambar 2.10. Pola pergerakan penumpang saat kekeberangkatan pada terminal penumpang
(sumber: Griffin, 2004 )
37
Kegiatan dari pelabuhan kapal pesiar ini dapat terpisah atau menyatu
dengan kegiatan pelabuhan peti kemas. Pemisahan aktivitas memerlukan
perencanan yang matang dari transportasi darat, perambuan (signage), dan
terminal penumpang, sehingga seluruh aktivitas pelabuhan dapat berjalan dengan
baik. Pihak pelabuhan memiliki fasilitas yang terbatas dan penggunaannya dapat
digunakan bersama-sama dengan waktu yang berbeda, misalnya kapal pesiar
menggunakan dermaga pada siang hari dan kapal petikemas pada malam hari.
Dalam hal ini pelabuhan memerlukan lapangan penumpukan petikemas
sementara, dimana petikemas tersebut dapat diangkut oleh truk atau kereta api.
Jika terminal penumpang harus menyatu dengan kegiatan pelabuhan peti kemas
maka harus disediakan fasilitas bongkar muat petikemas dan crane untuk menaik
turunkan barang dari kapal.
Diagram 2.11. Potongan tipikal pelabuhan kapal pesiar
(sumber Griffin, 2004 )
Terminal kapal pesiar dapat berlokasi pada pelabuhan yang memiliki
jadwal wisata yang berdasarkan musim atau sepanjang tahun. Kedatangannya pun
dapat pada hari-hari tertentu misalnya jumat, sabtu, minggu atau senin, sehingga
terminal ini harus didesain sebagai fasilitas multi fungsi, yang dapat berfungsi
pada saat tidak digunakan untuk keperluan transit penumpang. Fungsi lain
tersebut dapat berupa exibhition hall atau tempat berkumpul untuk publik.
38
2.2.4. Pariwisata Kapal Pesiar
Perjalanan pariwisata dengan kapal pesiar dimulai pada tahun1970-an,
dimana kapal-kapal penumpang yang besar-besar mulai dimanfaatkan untuk
pariwisata yang disebut sebagai “kapal pesiar” (cruise ship), mula-mula untuk
menjelajahi Laut Caribia. Kapal pesiar seperti itu tidak memiliki waktu dan jalur
pelayaran teratur, semua rute dapat diganti menurut acara perjalanan yang dipilih,
bahkan sampai berkeliling dunia (Soekadijo, 1997).
Dibanding dengan sarana angkutan lainnya, kapal pesiar memang sangat
lamban dan sangat menyita waktu. Akan tetapi kapal pesiar miliki kelebihan-
kelebihan yang tidak dimiliki oleh alat transportasi yang lain. Kapal-kapal pesiar
ini memiliki fasilitas setara hotel berbintang. Kalau hotel-hotel dapat memperbaiki
sentralitasnya terhadap atraksi dengan menarik wisata kedalam hotel, hal yang
sama juga dapat dilakukan oleh kapal pesiar. Sebuah kapal pesiar akan memiliki
restoran, bar, pertunjukan-pertunjukan, kasino, kolam renang dan sebaginya.
Kapal pesiar memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh hotel, yaitu
menghantarkan wisatwan ketempat atraksi wisata yang terikat oleh suatu tempat
dan terletak jauh. Dengan mudah atraksi wisata tersebut dapat dijangkau oleh
kapal pesiar. Pada hakikatnya kapal pesiar merupakan sebuah “hotel resor
terapung” (floating Resort).
Diagram 2.12. Kapal Pesiar yang sedang berlabuh di Yokohama Ferry Terminal
(sumber http://www.city.yokohama.jp )
39
2.2.5. Pengembangan Kawasan Tepi Air
Pelabuhan pariwisata dari segi lokasi merupakan sebuah kawasan tepi air
(water front), sehingga dalam pengembangannya harus memperhatikan berbagai
aspek yang berhubungan dengan peralihan darat dengan air. Menurut Carr (1992),
kawasan tepi air merupakan area komunitas yang dibatasi oleh air, dalam
pengembangannya harus mampu memasukkan nilai-nilai manusia yaitu melihat
kebutuhan manusia akan ruang-ruang publik dan nilai-nialai alam. Azeo (1989)
mengemukakan bahwa dalam pengembangan kawasan tepi air yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Memanfaatkan kembali aset lama sebagai daya tarik.
2. Memperbaiki kembali (reclaiming) tepi air dengan melihat masalah tata
guna lahan, keselamatan akses dan sirkulasi.
3. Menyediakan ruang-ruang terbuka publik sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat pada kawasan tepi air.
Kesuksesan pengembangan kawasan tepi air ditentukan oleh bagaimana
perencanaan merespon karakteristik yang ada di kawasan tepi air tersebut. Faktor-
faktor yang patut dipertimbangkan untuk mencapai kesuksesan dalam penataan
kawasan tepi air adalah:
1. Geografis
a. Kondisi sumber daya air mempengaruhi teknik, desain, dan konstruksi
pada pembangunan di kawasan tersebut. Pada umumnya, makin besar
dimensi badan air, makin besar pula potensi pemanfaatan air tersebut. akan
tetapi makin besar potensi pemanfaatan air maka makin besar pula
kompetisi dan konflik pemanfaatannya.
b. Tanah di tepi air sering mengalami erosi sehingga untuk mencegah hal
tersebut, dibuat struktur perlindungan tepi air terutama bila dilakukan
reklamasi.
c. Elemen-elemen dasar dari iklim adalah radiasi matahari, angin, curah
hujan, suhu dan kelembaban yang dipengaruhi oleh bentuk tapak, air, dan
vegetasi (Hough, 1989:29).
40
2. Tema
Dengan membentuk tema di kawasan tepi air, pembangunan di
kawasan tepi air akan mempunyai kekhasan yang membedakan antara satu
kawasan dengan kawasa tepi air lainnya. Tema dapat berkaitan dengan
kekhasan ekologi, iklim, sejarah atau sosial budaya setempat. Tema
pengembangan akan mempengaruhi perbedaan bentuk perencanaan tiap
kawasan tepi air.
3. Citra (Image)
Daya tarik visual dapat timbul dari bentuk, tekstur dan karakteristik
khusus lainnya, seperti penataan lanskap, pemberian nilai estetika pada
bangunan dan pola aktifitas yang ada pada kawasan (Wrenn, 1983:34).
Penataan lanskap dengan vegetasi di tepi pantai dapat memberikan suatu
ruang yang memperlihatkan batas antara tanah dan air sehingga melembutkan
garis pantai. Pemandangan berlangsungnya aktifitas yang kerap dijumpai
dikawasan tepi air seperti dermaga, fasilitas perbaikan kapal dsb memberikan
keterkaitan sendiri pada kawasan tertentu.
4. Akses
Pembangunan kawasan tepi air harus dapat memberikan jaminan
adanya pencapaian yang mudah, tempat parkir yang mampu menampung
kendaraan pada saat puncak keramaian sekalipun, kemudahan dan
kenyamanan pergerakan pejalan. Pencapaian ke tepi air tergantung pada
penggunaan lahan yang berkaitan dengan aturan dari segi kondisi hukum,
politik dan ekonomi. Bila pada kawasan tersebut terdapat fasilitas penelitian
untuk kepentingan negara atau kawasan militer, maka tidak diijinkan unutk
dibangun jalan umum untuk pencapaiannya. Tetapi bila pengembangan
kawasan tepi air mempertimbangkan nilai ekonomi maka harus disediakan
akses menuju tepi air sebab tepi air merupakan ruang publik.
41
5. Bangunan
a. Orientasi Bangunan
Bangunan tepi air sebaiknya diorientasikan kearah pantai, sungai atau
danau sehingga tidak menjadikan tepi air sebagai halaman belakang karena
hal tesebut bisa menurunkan kualitas kawasan.
b. Ketinggian Bangunan
Pada pengembangan bangunan di kawasan tepi air, batas ketinggian
bangunan diharapkan tidak menghalangi pandangan ke tepi air sehingga
memberikan kesempatan bagi penduduk untuk menikmati pemandangan
alam laut/sungai atau tidak mengacaukan garis langit (skyline).
c. Bahan dan Struktur/konstruksi bangunan
Pemilihan bahan dan struktur/konstruksi bangunan disesuaikan dengan
karakter kawasan tepi air sehingga dapat terhindar dari dampak kondisi
kawasan seperti keroposnya pondasi, perkaratan pada bahan bangunan,
runtuhnya konstruksi akibat gempa, dsb.
d. Perubahan Fungsi Bangunan
Perubahan fungsi bangunan lama/tua yang tidak digunakan lagi mejadi
fungsi komersial dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas
lingkungan di kawasan tepi air.
6. Penataan Lanskap
Penataan lanskap pada kawasan tepi air sangat perlu, mengingat
kondisi di kawasan yang mempunyai potensi terjadinya erosi, abrasi dan
sedimentasi. Untuk melestarikannya, perlu dilakukan pencegahan dengan
struktur perlindungan tepi air atau dengan vegetasi. Berkurangnya vegetasi
berupa mangrove di tepi pantai dapat menyebabkan terganggunnya ekosistem
di kawasan dan terjadinnya perembesan (intrusi) air laut ke darat.
7. Penyediaan Sarana dan Prasarana
Pengembangan kawasan tepi air, pada umumnya difungsikan sebagai
hunian, rekreasi dan sebagai pusat kota (central business district). Untuk
menunjang kawasan tersebut, dibutuhkan kelengkapan sarana dan prasarana
dengan pelayanan yang memadai.
42
8. Aktifitas Penduduk
Aktifitas yang berkembang di kawasan dipengaruhi oleh karakter
penduduk dan fungsi utama kawasan. Pemanfaatan kondisi dan lingkungan
kawasan tepi air dilakukan dengan menjaga kualitas air, menyediakan ruang
terbuka, mendesain pencapaian yang mudah, dan mengantisipasi kemungkinan
terjadinya dampak pembangunan seperti kemacetan.
9. Pemanfaatan Air
Pada umumnya, ada 3 tipe pemanfaatan kawasan tepi air yaitu:
a. Pemanfaatan pada badan air, yaitu sebagai terminal laut (pelabuhan) yang
melayani penumpang dan pengiriman barang (perdagangan) yang lengkap
dengan fasilitas perbaikan konstruksi di laut, kapal tarik dsb.
b. Pemanfaatan pada tepi air, meliputi kegiatan yang berhubungan dengan air
dan dapat pula kegiatan yang tidak berhubungan dengan air, seperti tempat
memproses makanan laut, perusahaan pasir dan kerikil, pertambangan
minyak, taman, public resort, aquarium dan restaurant.
c. Pemanfaatan yang bukan pada keduanya. Kegiatan yang tidak
memanfaatkan badan air dan tepi air. Peruntukan lahannya dapat
ditempatkan agak jauh dari tepi air seperti apartemen, hotel, hunian, kafe,
gudang dan retail/toko.
10. Teknologi
Teknologi diterapkan pada bahan bangunan, struktur/konstruksi
bangunan dan perlindungan tepi air sehingga terhindar dari bencana dan
kerusakan yang dapat terjadi, seperti abrasi, erosi, dan perkaratan pada bahan
bangunan di tepi air. Untuk memenuhi standar yang ideal, akan menghabiskan
biaya yang tidak sedikit, tetapi hal tersebut harus diikuti untuk pengembangan
kawasan yang lebih baik.
11. Sosial dan Budaya
Kebudayaan atau kebiasaan yang ada pada masyarakat setempat tidak
boleh diabaikan dalam penataan kawasan tepi air sebab mempunyai nilai-nilai
sosial yang telah tertanam dalam kehidupan mereka seperti pengadaan
upacara, even tertentu dan aktivitas rutin pada badan air dan tepi air. Nilai
43
sejarah/budaya lokal dapat dijadikan suatu potensi dalam pengembangan
kawasan sebab mempunyai daya tarik tersendiri yang akan membangkitkan
kenangan atau memberikan pengalaman yang menarik bagi pengunjung.
12. Ekonomi
Selain penyediaan dana, pembiayaan terkait dengan kebijakan moneter
pemerintah dan kemampuan serta respon masyarakat. Hal ini perlu
diperhitungkan karena menyangkut kelangsungan hidup atau matinya suatu
proses pembangunan, oleh karena itu diperlukan berbagai kerjasama baik dari
pihak swasta, pemerintah maupun masyarakat. Kawasan tepi air cenderung
dikembangkan sebagai tempat rekreasi yang dilengkapi dengan berbagai
fasilitas yang menjaganya seperti perdagangan (toko souvenir dsb) sehingga
pendapatan masyarakat dapat bertambah.
13. Aturan
Kawasan tepi air ini mempunyai batasan-batasan atau aturan dalam
ukuran dan kompleksitasnya (Wrenn, 1983:34). Perlu ditekankan bahwa
pembangunan kawasan tepi air ini haruslah ditujukan untuk perlindungan
terhadap lingkungan serta untuk memanfaatkan lahan-lahan yang tidak
produktif. Pada umumnya batasan-batasan yang ditetatpkan antara lain:
a. Melindungi dan melestarikan bangunan-bangunan kuno dan bersejarah
b. Menetapkan fungsi kawasan tertentu dan intensitas bangunan
c. Manyediakan akses bagi masyarakat umum.
d. Menyediakan berbagai fasilitas dan akomodasi sehingga menambah daya
tarik pengunjung.
e. Berdasarkan perekonomian kota, pembangunan mampu menarik investor,
meningkatkan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan daerah.
f. Memberikan nilai estetika dalam pembangunan.
14. Pengelolaan
Pengelolaan kawasan tepi air haruslah dilakukan secara profesional,
mengingat berbagai masalah yang kompleks harus ditangani, seperti
bagaimana mengelola fasilitas-fasilitas yang ada agar tetap terawat, membuat
promosi agar menarik pengunjung bagi pemanfaatan rekreasi, melakukan
44
koordinasi dengan lembaga/instansi terkait baik dari pihak swasta maupun
pihak pemerintah.
2.3. Kajian Kasus
Kajian kasus ini bertujuan untuk mempelajari bagaimana sebuah kawasan
waterfront memanfaatkan potensi yang dimiliki sehingga menjadi kawasan yang
dikenal oleh dunia internasional. Kajian kasus berikut merupakan kajian dari
kawasan waterfront di empat negara yang berbeda yang masing-masing juga
menggunakan pendekatan yang berbeda.
2.3.1. Darling Harbour, Sydney
Pada mulanya Darling Harbour adalah pelabuhan paling sibuk di
Australia, namun sejak tahun 1960-an sampai 1970-an pelabuhan ini hanya
merupakan kumpuluan gudang dengan langgam Victorian dan jalur rel kereta api
yang jarang digunakan. Akan tetapi pada dekade terakhir hal tersebut berubah.
Pada bulan Mei tahun 1984 pemerintah Negara Bagian New South Wales
mengumumkan rencana untuk pengembangan pelabuhan tersebut. Studi telah
dilakukan sejak tahun 1970-an.
Gambar 2.13. Darling Harbour yang menjadi katalis bagi perkembangan kawasan disekitarnya
(Sumber http://www.darlingharbour.com.au )
45
Sebagai katalis bagi pengembangan, diusulkan agar pemerintah New
South Wales membangun Sydney Entertainment Centre dan Power House
Museum. Pada tahun 1984, Darling Harbour Act disahkan oleh parlemen negara
bagian dan pembangunannya diharapkan selesai pada perayaan European
Settlment of Australia tahun 1988.
Pada tahun 1985 konstruksi dimulai pada Sydney Convention Centre
(didesain oleh John Andrews) dan Exhibition Centre (dibiayai oleh pemerintah
dan didesain oleh Philip Cox dengan Arup Associates sebagai engineers)
Site berkembang secara alami di bawah dua jalan arteri utama yang lewat diatas
lahan, bercampur dengan core area yang memiliki jalur pedestrian yang ramai
dengan perkerasan dan area yang ditumbuhi rumput pada bagian selatan.
Bangunan diatur dengan konfigurasi tapal kuda mengelilingi pelabuhan yang
sekarang merupakan sebagian marina dan sebagian untuk even pertunjukan air.
Pada ujung kedua tapal kuda diakhiri oleh onchor berupa National Maritime
Museum dan Aquarium yang dikembangkan dengan sukses oleh swasta. Kedua
bangunan ini didesain oleh Philip Cox.
Gambar 2.14. Peta Darling Harbour
(Sumber http://www.darlingharbour.com.au )
Saat ini pada Darling Harbour berkembang berbagai bangunan yang
meliputi Exhibition Centre, Sydney Convention Centre (selesai pada 1999),
Harbourside Market (disesain oleh RTKL Associates, Inc dan Clarke Perry
46
Blackmore) dan Cockle Bay Wharf (restoran dan area hiburan). Pada bagian
selatan terdapat Panasonic IMAX Theatre, Palm Grove (area waterplay), Chinese
Garden of Friendship, taman bermain untuk anak-anak, amphitheatre, water
feature dan taman. Jembatan tua Pyrmont Bridge dirubah menjadi jalur pedestrian
tapi tetap dapat dibuka agar kapal besar dapat lewat di bawahnya.
Salah satu alasan investasi pemerintah pada urban desain adalah sebagai
katalis bagi pengembangan selanjutnya. Darling Harbour telah mempercepat
pertumbuhan disekitarnya. Banyak bermunculan bangunan baru yang meliputi
hotel, hunian dan bangunan komersial menggantikan gudang-gudang tua. Sistem
light-rail juga dibangun yang terletak pada jalur rel yang ditinggalkan yang
menghubungkan kota bagian barat dengan stasiun pusat kota yang melewati
Darling Harbour.
Gambar 2.15. Salah satu tenant pada Darling Harbour yang menghadap perairan pelabuhan
(Sumber http://www.darlingharbour.com.au )
Darling harbour memiliki fungsi yang beragam dan menarik berbagai
macam pengunjung. Saat ini kurang lebih 14 juta pengunjung yang datang setiap
tahun, yang terdiri dari 55% lokal dan 22% dari berbagai negara. Convention
Centre juga mengalami perluasan dari 10.000 m2 menjadi 40.000 m2. Subsidi
pemerintah juga berkurang dari $A 17,6 juta pada tahun anggaran 1996-1997
menjadi nol pada 1999-2000.
Dari kasus Darling Harbour ini didapat masukan bahwa kawasan
waterfront memiliki potensi yang besar berfungsi sebagai kawasan rekreasi dan
hiburan, yang kemudian dapat menjadi katalis bagi revitalisasi kawasan
sekitarnya. Pengembangan Darling Harbour menggunakan konsep anchor tenant
yang dibiayai pemerintah sebagai pemicu perkembangannya, yang selanjutnya
diikuti oleh investor-investor swasta.
47
2.3.2. San Francisco Waterfront
Pengembangan waterfront di San Francisco berawal dari pembangunan
industri bersejarah sepanjang teluk San Francisco, dengan adanya Gold Rush
tahun 1849. Kemudian kota berkembang sepanjang waterfront, seiring dengan
perkembangan industri seperti perikanan, fasilitas militer, perkapalan, dan
pergudangan.
Gambar 2.16. Garis pantai San Francisco merupakan water front promenade yang menerus
(Sumber http://www.wikipedia.org )
Pada tahun 1960-1970 an terjadi pembangunan infrastruktur berupa jalan
raya sepanjang waterfront. Kemudian lokasi penumpukan kontainer dan
pergudangan di relokasi dari San Francisco harbourfront. Dari tahun 1970-an
sampai sekarang berbagai bangunan tua berubah fungsi sebagai pusat rekresasi
dan wisata. Yang diikuti oleh penutupan kegiatan markas militer dan dinyatakan
terbuka untuk umum. Golden Gate National Recreation Area dinyatakan sebagai
urban park terbesar di dunia. Pada tahun 1972 seluruh area waterfront dinyatakan
terbuka untuk umum.
Gambar 2.17. Jembatan Golden Gate dikejauhan
dan terminal penumpang kapal pesiar (Sumber http://www.wikipedia.org )
48
San Francisco merupakan tujuan wisata nomer satu di Amerika, dan
memberikan pemasukan dana terbesar untuk kota. San Francisco berulang kali
dikunjungi oleh wisatawan lokal dan internasional, padahal SF Convention and
Visitors Bureau tidak mengembangkan pariwisata. Waterfront-nya bukan
merupakan tourist sites, areanya banyak yang dikembangkan dari distrik
lingkungan komersial. Pengembangan secara organik pada level jalan yang
berorientasi pada pejalan kaki dan berkembang secara alamiah dengan berbagai
toko dan restoran yang unik.
Bagian depan, merupakan ruang yang dapat diakses oleh publik, secara
umum didesain dengan baik dan dengan lansekap yang menarik. Pada bagian
belakang merupakan area kerja dan industri yang juga dibuka untuk publik.
Merupakan tempat dengan karakter yang asli (authentic sites) dan not themed.
Gambar 2.18. Transpotasi publik yang baik mengurangi pengunaan kendaraan bermotor
(Sumber http://www.wikipedia.org )
Gambar 2.19. Stadion olah raga yang merupakan core utama kawasan sebagai tempat rekreasi
(Sumber http://www.wikipedia.org )
49
Dari kasus San Francisco memberi masukan bahwa jika sebuah kawasan
urban yang direncanakan dan dikelola dengan baik, akan dengan sendirinya
menjadi tujuan rekreasi (wisata). Kawasan waterfront ini menggunakan
pendekatan adaptive reuse, dengan salah satu core utamanya berupa stadion olah
raga dan berorientasi pada pejalan kaki.
2.3.3. Yokohama Ferry Terminal
Ide dasar dari terminal ferry Yokohama adalah sebuah bangunan yang
tidak hanya berfungsi untuk memproses penumpang, tapi juga sebuah public
place bagi warga kota dan pengunjung yang singgah. Arsiteknya, Foreign Office
Associates, menciptakan seluruh bangunan sebagai sebuah taman, dengan
permukaan bergelombang yang tertutup kayu, yang dapat dipakai untuk tempat
piknik, berjalan-jalan santai, berjemur dan berbagai kegiatan lain yang biasa
terdapat pada sebuah taman urban. Sebuah hall untuk theater dan kegiatan publik
juga terdapat pada salah satu ujung terminal ini.
Gambar 2.20. Bangunan tunggal terminal yang menyatu dengan lanskap kota
(Sumber http://www.city.yokohama.jp )
Bangunan terminal ini memiliki dua lantai yang pembagiannya sebagai
berikut: lantai dasar sebagai tempat parkir, yang menampung 400 mobil dan 28
bus; lantai berikutnya berfungsi sebagai lounge dan tempat penumpang mengurus
dokumen imigrasi dan bagasi. Dek dirancang melengkung keatas dan kebawah
sehingga meminimalkan penggunaan dinding dan tangga yang menjadi pembatas
beberapa ruangan dan menghubungkan level yang berbeda. Terminal ini adalah
sebuah massa yang kompleks yang berfungsi sebagi persimpangan (interchange)
50
antara pengunjung dan warga kota. Desainnya memanfaatkan peluang
persimpangan ini untuk menciptakan arus pergerakan yang mengalir dan tanpa
hambatan.
Ketika kapal merapat, terutama cruise liner yang besar, akan menjadi
tower bagi terminal. Penumpang akan melihat kebawah dan merasa sedang
melihat dermaga yang memiliki desain yang elegan dan memberi pengalaman
yang berbeda. Hal tersebut menujukkan bahwa terminal pelabuhan dapat menjadi
tempat yang menarik dan memberikan impresi positif terhadap kota.
Gambar 2.21. Bagian atap terminal yang berfungsi sebagai waving gallery
(Sumber http://www.city.yokohama.jp )
Kasus Yokohama Ferry Terminal memberi masukan mengenai tipologi
terminal penumpang internasional. Terminal ini mengutamakan pelayanan transit
transportasi publik dengan menyediakan bus gratis. Bangunan terminal ini juga
merupakan bangunan multi fungsi yang pada hari-hari tertentu dapat berubah
fungsi sebagai ruang pameran atau gedung pertemuan.
2.3.4. SkyCity, Hong Kong International Airport
Airport Internasional Hong Kong merupakan gerbang utama menuju Hong
Kong dan Republik Rakyat Cina. Kota ini merupakan perlambang dari posisi
Hong Kong sebagai hub city bagi bisnis internasional di seluruh Asia. Autoritas
Airport berinisiatif untuk mengembangkan potensi komersial yang ada. Dengan
memanfaatkan kedekatan fungsi terminal dengan komersial, maka oleh SOM
51
dirancang master plan yang mensimbiosiskan hubungan kedua fungsi tersebut
menjadi sebuah kota airport yang berfungsi 24 jam.
SkyCity merupakan pertemuan jalur transportasi darat, laut dan udara,
dengan fasilitas, yaitu: AsiaWorld-Expo (pusat eksibisi internasional), SkyPlaza
(kompleks perkantoran dan retail), SkyPier (terminal ferry domestik), business
park, hotel, dan fasilitas rekreasi dan hiburan. Lingkungan SkyCity dibentuk oleh
elemen-elemen waterfront dengan lansekap yang inovatif.
Gambar 2.22. SkyCity, Hong Kong International Airport
(Sumber http://www.som.com )
AsiaWorld-Expo menampung eksibsis internasional skala besar, dengan
luas tapak 66.000 m2 dan arena multi fungsi yang menampung 13.500 kursi.
SkyPlaza adalah pusat bisnis dan transportasi, yang merupakan perpanjangan dari
bangunan terminal penumpang, terintegrasi dengan airport dan stasiun kreta api
Airport Express. Bangunan ini dilengkapi oleh fasilitas chek-in dan transport
interchange. Perkantoran akan mengakomodasi kantor pusat Airport Authority,
World Trade Centre, dan berbagai bisnis yang berhubungan dengan airport.
Sedangkan untuk hiburannnya terdapat theater IMAX 3D, yang melayani berbagai
pengunjung baik lokal dan internasional terutama 50.000 pekerja airport.
Dari kasus SkyCity ini mendapat masukan mengenai bagaimana
memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh kawasan yang menjadi pertemuan
antara sistem transportasi darat, laut dan udara. Fasilitas-fasilitas yang
52
memungkinkan untuk dikembangkan pada kawasan yang berdekatan dengan
jaringan transportasi internasional.
Gambar 2.23. Pertemuan transportasi darat, laut dan udara
(Sumber http://www.som.com )
2.3.5. Temuan Kajian Kasus
Kawasan pelabuhan yang merupakan kawasan urban, jika direncanakan
dan dikelola dengan baik akan dengan sendirinya menjadi tujuan wisata. Hal
tersebut juga didukung oleh berbagai aktivitas pada badan air dan kondisi
peralihan darat dengan air sehingga berpotensi untuk dikembangkan fungsi
rekreasi dan hiburan. Potensi yang besar tersebut akan dengan cepat dapat
menarik investor untuk berinvestasi apalagi didukung oleh kebijakan dari
pemerintah.
Strategi pengembangan yang dapat digunakan pada kawasan waterfront
adalah dengan menggunakan konsep anchor tenant yang dibiayai oleh
pemerintah. Anchor tenant tersebut akan menjadi katalis bagi pengembangan area
lain pada kawasan oleh pihak swasta. Pada kawasan pelabuhan pariwisata
internasional yang menjadi anchor tenant tersebut adalah terminal penumpang
internasional. Terminal penumpang internasional tersebut akan menjadi titik tolak
pengembangan pelabuhan pariwisata yang kemudian diikuti dengan penyediaan
sarana akomodasi, retail, dan rekreasi oleh pihak swasta.
53
Kawasan pelabuhan agar dapat berfungsi sebagai tujuan wisata yang
efektif dan efisien harus berorientasi pada pejalan kaki dan transit. Dengan
berorientasi pada pejalan kaki dan transit maka pada pelabuhan harus tersedia
sarana dan prasarana transportasi publik yang baik. Hal tersebut bertujuan untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mengatasi kendala mahalnya dan
terbatasnya lahan untuk pakir kendaraan.
Tabel 2.5. Temuan kajian kasus berdasarkan komponen perancangan
Komponen Darling Harbour, Sydney
San Francisco Waterfront
Yokohama Ferry Terminal
SkyCity, Hong Kong Int. Airport
1. Tata Guna Lahan
Fungsi utama komersial hiburan. Kawasan berfungsi sebagai katalis pemicu perkembangan kawasan sekitarnya.
Fungsi campuran, adaptasi dari fungsi lapangan petikemas dan pergudangan. fungsi hunian, komersial, sports, perkantoran dan pengolahan ikan.
Fungsi utamanya adalah pelabuhan untuk kapal pesiar dan ferry.
Fungsi campuran dengan fungsi utama berupa fungsi komersial
2. Tata Massa dan Bentuk Bangunan
Mengikuti garis pantai membentuk konfigurasi tapal kuda dengan anchor pada kedua ujungnya
Bangunan-bangunan merupakan adaptasi penggunaan kembali bangunan-bangunan tua.
Bangunan tunggal menyatu dengan lansekap kota. Atap bangunan berfungsi sebagai ruang terbuka, material pelapis berupa kayu dan rumput.
Konfigurasi bangunan linier sepanjang aksis penghubung terminal penumpang airport dengan pelabuhan kapal ferry.
3. Sistem Sirkulasi Kendaraan dan Parkir
Site terletak dibawah jalan layang Parkir kendaraan dipusatkan pada gedung parkir pada bagian barat dan selatan kawasan. Sistem light rail mengelilingi kawasan, penghubung kota bagian barat dengan stasiun pusat.
Terdapat jalan raya sepanjang waterfront. Parkir menyebar pada tiap-tiap bangunan, berupa basement atau gedung parkir.
Kapasitas parkir 400 kendaraan dan 28 bus. Kawasan dilayani oleh transportasi bus yang disediakan gratis oleh pihak pelabuhan, menghubungkan pelabuhan dengan stasiun kerta api.
Merupakan titik pertemuan antara sistem transportasi darat, laut dan udara.
4. Jalur Pejalan Kaki
Berorienatsi pada pedestrian, jalur pedestrian menghubungkan ruang terbuka di tengah site dengan tepi air.
Kawasan ini berorientasi pada pejalan kaki dengan transportasi publik berupa tram yang melayani kawasan.
Sirkulasi pejalan kaki menerus, baik secara horisontal maupun vertikal. Sirkulasi vertikal berupa ramp.
Jalur pejalan kaki sepanjang aksis utama kawasan.
54
5. Ruang Terbuka
Ruang terbuka pada kawasan berupa taman bermain, ampitheater, water feature, Palm Grove (taman palem) Chinese Garden of Friendship
Ruang terbuka pada area bekas dermaga, stadion olah raga, rincon park
Ruang terbuka terdapat pada bagian atap bangunan, yang menyatu dengan lansekap pelabuhan.
Ruang terbuak berupa ruang-ruang antar bangunan, dengan lansekap yang inovatif.
6. Aktifitas Pendukung
Pada kawasan terdapat National Maritime Museum, IMAX Theater, exhibition centre, convention center, aquarium.
Stadion olah raga, fisherman wharf, hotel, apartemen, terminal penumpang kapal pesiar, museum, perkantoran dan restoran.
Bangunan ini bersifat multi fungsi, ruang tunggu penumpang juga sering dijadikan ruang pertemuan dan pameran bagi warga kota.
Terdapat fasilitas AsiaWorld-Expo, perkantoran, IMAX 3D, hotel.
2.4. Prinsip Perancangan Normatif
Kajian literatur diatas memberikan masukan mengenai berbagai kegiatan
yang mungkin berlangsung pada kawasan pelabuhan pariwisata internasional dan
bagaimana memadukan kaidah tata ruang tradisonal Bali dengan teori rancang
kota untuk mendapatkan kawasan waterfront urban yang efisien namun memiliki
sense of place Bali yang kuat.
Selanjutnya dari kajian literatur tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai
prinsip perancangan pelabuhan pariwisata yang disusun berdasarkan komponen
perancangan sebagai berikut.
1. Tata Guna Lahan
a. Pelabuhan adalah resor urban yg terbuka bagi semua pengunjung,
menyatu dengan masyarakat dan lingkungannya
b. Menempatkan core utama kawasan pada lokasi yang strategis pada
kawasan
c. Menyediakan fungsi peralihan diantara fungsi pelabuhan yang baru
dengan yang lama
d. Kawasan dengan fungsi campuran yaitu terdiri dari fungsi hunian,
komersial, rekreasi, dan bekerja.
55
e. Fungsi-fungsi tersebut berjarak tempuh yang nyaman dengan berjalan
kaki.
f. Menyediakan ruang terbuka hijau yang cukup pada setiap fungsi lahan
g. Menyesuikan tata guna lahan dengan konsep tata ruang tradisonal
(sanga mandala dan tri mandala)
2. Tata Massa dan Bentuk Bangunan
a. Menyelaraskan langgam-langgam dan irama bangunan yang memiliki
fungsi berbeda
b. Pembauran ruang dalam dan luar bangunan pada level ground floor.
c. Fungsi campuran vertikal: hunian bagian atas, kantor bagian tengah,
komersial pada ground floor
d. Modul massa yang memungkinkan matahari masuk ke dalam
bangunan
e. Material dan bahan bangunan yang tahan terhadap korosi air laut.
f. Roof garden pada atap datar
g. Tata bangunan dengan konsep Tri Angga (kepala, badan, kaki)
h. Menciptakan tengaran (landmark) sebagai identitas kawasan pada
bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai core utama kawasan
i. Hirarki tata massa yang semakin rendah ke arah badan air
3. Sirkulasi Kendaraan dan Parkir
a. Kawasan pelabuhan yang terhubung dengan airport internasional dan
kawasan lainnya dengan sarana transportasi publik yang baik
b. Pusat-pusat aktifitas terhubung satu sama lain oleh sistem transit
internal kawasan.
c. Koridor jalan sebagai bagain dari jaringan ruang terbuka
d. Parkir bersama dengan lokasi yang strategis diantara fungsi-fungsi
yang berbeda
e. Menyediakan fasilitas transit interchange yang melayani seluruh
kawasan pelabuhan
56
f. Memisahkan kendaraan wisatawan/pengunjung dengan kendaraan
pengangkut petikemas
g. Merancang sistem sirkulasi yang mengutamakan penggunaan
transportasi publik
h. parkir kendaraan berupa kantong-kantong yang menyatu dengan
lansekap kawasan.
i. Koridor jalan yang berfungsi sosial.
4. Jalur Pejalan Kaki
a. Menghubungkan pusat-pusat aktivitas di darat dengan tepi air
b. Waterfront promenade yang menerus menghubungkan semua tepi
pelabuhan
c. Menghubungkan fungsi-fungsi berbeda dengan jalur pejalan kaki yang
menerus
d. Jalur pejalan kaki yang melewati berbagai sikuen dan aktivitas
e. Jalur pejalan kaki yang memiliki kejelasan orientasi
f. Jalur pejalan kaki yang menembus bangunan atau ruang terbuka
g. Mengutamakan jalur pejalan kaki dari pada kendaraan bermotor
h. Jalur pedestain merupakan bagian dari lanskap dengan vegetasi, art
work, street furniture dan lighting sebagai elemen pendukungnya
5. Ruang Terbuka
a. Sebagai ruang peralihan antara berbagai fungsi yang berbeda, tempat
interaksi sosial antara wisatwan dan masyarakat lokal
b. Ruang terbuka merupakan bagian dari lanskap urban yang lebih luas
yang membentuk jaringan ruang terbuka hijau
c. Ruang publik yang dipakai bersama yang berorientasi pada aktifitas,
terbentuk dari tata massa bangunan
d. Terhubung dengan jalur pedestrian dan berada pada jarak berjalan kaki
e. Ruang terbuka yang dapat berfungsi 24 jam dan menyesuaikan dengan
perubahan ekonomi sosial dan budaya
57
f. Ruang terbuka dengan vegetasi lokal sebagai habitat bagi hewan liar
untuk menjaga keseimbangan ekologi urban
g. Street furniture, art work, signage dan lighting yang dikoordinasikan
dengan seluruh kawasan.
h. Memperlakukan elemen pendukung sebagai art work
6. Aktivitas Pendukung
a. Menjadikan kegiatan eksisting pelabuhan sebagai atraksi wisata
b. Aktivitas penunjang yang mendukung interaksi sosial antara
masyarakat lokal dengan wisatawan
c. Kegiatan penunjang yang beragam, dari retail, memancing, pawai,
berbagai festival dan lain-lain
d. aktivitas penunjang yang mendukung aktivitas pelabuhan selama 24
jam
e. Menyelenggarakan festival budaya secara berkala yang dapat menarik
pengunjung
f. Mengakomadasi kegiatan masyarakat lokal seperti PKL atau cafe
tenda yang dikelola secara profesional
58