PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

30
Oleh : Muhammad Agus Widiyanto

Transcript of PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Page 1: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Oleh :

Muhammad Agus Widiyanto

Page 2: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

PENDAHULUAN

Amandeman UUD 1945

membawa perubahan besar

pada sistem ketatanegaraan

Indonesia.

Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 :

“Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai kepala

pemerintahan provinsi,

kabupaten dan kota dipilih

secara demokratis”.

Page 3: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Perkembangan

ketatanegaraan ini

terkait dengan nilai-

nilai dasar

Demokrasi Indonesia

yang berlandaskan

Pancasila.

Indonesia mengalami

transisi demokrasi.

Sebuah era yang

menentukan perjalanan

bangsa ini, untuk tetap

bertahan dengan jati diri

atau larut dengan

globalisasi,

Dibalik itu adalah liberalisasi

di semua bidang termasuk

Tata Negara dan politik

dalam negeri.

PENDAHULUAN

Page 4: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Kepala Daerah Dan Wakil Kepala

Daerah Yang Dimaksud :

Gubernur dan wakilgubernur untuk provinsi.

Bupati dan wakil bupatiuntuk kabupaten.

Wali kota dan wakil walikota untuk kota.

Page 5: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Tugas dan Wewenang Kepala

Daerah :

1.Mengajukan rancangan Perda.

2. Menetapkan Perda yang telah mendapatpersetujuan bersama DPRD.

3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentangAPBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan

bersama.4. Mengupayakan terlaksananya kewajiban

daerah.

5. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuaidengan peraturan perundang-undangan.

Page 6: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Memilih kepala daerah tidak lagi

menjadi tugas dan wewenang DPRD

Pasal 62 Ayat 1 dan Pasal 78 ayat 1 UU N.

22 th. 2003 tentang Susunan dan kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dijelaskan

bahwa DPRD hanya diberi peran minimal

yaitu sebatas mengusulkan pengangkatan

dan pemberhentian kepala daerah

Pasca reformasi, salah satu aspek penting dalam

penyelenggaraan otonomi daerah adalah

semakin sentralnya peran kepala daerah dalam

penyelengaraan pemerintahan.

Page 7: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Sistem PILKADA langsung dibawah UU

No. 32 th. 2004 & UU No. 22 th.2007

Lazim digunakan

di negara-negara

yang menganut

sistem federasi

atau federal

murni, seperti :

- Amerika Serikat.

- Australia.

- Kanada.

Di dalam negara

federal terdapat 2

macam

pemerintahan :

1. Negara

Federal.

2. Negara

Bagian.

Ini contoh konkrit untuk menjelaskan pandangan

kebijakan desentralisasi di Indonesia merupakan

FEDERAL ARRANGEMENT

Page 8: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Khusus Aceh memiliki UU No. 11 Th. 2006

tentang Pemerintahan Aceh sebagai acuan

dan pedoman Pilkada.

1) Keberadaan partai politik

lokal.

2) Keberadaan calon

perseorangan yang dibatasi

hanya untuk satu kali

Pilkada (ketentuan ini lalu

dibatalkan oleh Putusan MK

No. Nomor 35/PUU-

vIII/2010 yang tidak

membatasi keikutsertaan

calon perseorangan dalam

Pemilukada di Aceh).

3) Persyaratan calon kepala

daerah dan wakil kepala

daerah (menjalankan

syari’at agama-mampu

baca Al Qur’an),

4) Mekanisme pembentukan

dan komposisi

penyelenggara dan

pengawas Pilkada,

5) Masa tugas pengawas

Pilkada.

Page 9: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Sistem PEMILUKADA dalam perspektif

filosofis pada dasarnya merupakan proses

lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki

kualitas demokrasi di daerah-daerah,

memiliki sejumlah unggulan dibanding :

UU No. 5 th 1974 :

Dengan sistem

recruitment politik

yang ditawarkan

oleh model

sentralistik.

UU No. 22 th. 1999 :

Demokrasi

Perwakilan

Page 10: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

MANFAAT DAN HARAPAN PILKADA

LANGSUNG :

I. Membuka ruang partisipasi yang lebih luas.

• Dalam proses demokrasi.

• Menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal.II. Kompetisi Politik.

• Memungkinkan munculnya preferensi kandidat.

• Mengeliminasi kompetisi yang tidak fair.III. Aktualisasi hak-hak politik.

• Tanpa direduksi oleh elit-elit partai.

• Posisi yang setara dalam pengembilan keputusan politik.IV. Mendapat figur pemimpin yang aspiratif & kompeten.

• Kepala Daerah lebih berorientasi pada warga.

V. Memiliki Legitimasi politik yang kuat.• Akan terbangun perimbangan kekuatan dengan DPRD.

• Meminimalisir penyalahgunaan kekuasaan

Page 11: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

DINAMIKA DAN REGULASI

PEMILUKADA

A. Sebelum Amandemen UUD 1945

Page 12: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

D I N A M I K ABerdasarkan UU No. 1

th 1945 PILKADA

dilakukan oleh Dewan.

Menurut UU N. 22 th

1948 Kepala Daerah

dipilih oleh Pemerintah

Pusat.

Sejak UU No. 1 th 1957

hingga UU No. 5 th.

1974 tidak mengalami

perubahan.

Ketentuan PILKADA :

1. Kepala Daerah dipilih

oleh DPRD.

2. Kepala Daerah tk. I

diangkat dan

diberhentikan oleh

Presiden.

3. Kepala Daerah tk. II

diangkat dan

diberhentikan oleh

Menteri Dalam Negeri

dari calon-calon yang

diajukan oleh DPRD.

Page 13: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

R E G U L A S I

Pemilihan sistem

PILKADA merupakan

perjalanan politik panjang

yang diwarnai tarik-

menarik antara

kepentingan :

Elit & kehendak publik.

Pusat & Daerah.

Nasional &

Internasional.

Ketentuan mengenai

Pemerintah daerah,

termasuk mekanisme

PILKADA :

UU No. 1 th. 1945.

UU No. 22 th. 1948.

UU No. 1 th. 1957.

UU No. 18 th. 1965.

UU No. 5 th. 1974.

UU No. 22 th. 1999.

Page 14: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

B. Makna PILKADA menurut Pasal

18 UUD 1945.

1. Prinsip daerah mengatur

dan mengurus sendiri

urusan Pemerintahan

menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan.

2. Prinsip menjalankan

otonomi seluas-luasnya.

3. Prinsip kekhususan dan

keragaman daerah.

4. Prinsip mengakui dan

menghormati kesatuan

masyarakat hukum adat

beserta hak-hak

tradisionalnya.

5. Prinsip mengakui dan

menghormati

pemerintahan daerah

yang bersifat khusus &

istimewa.

6. Prinsip badan perwakilan

dipilih langsung dalam

pemilu.

7. Prinsip hubungan pusat

dan daerah dilaksanakan

secara selaras dan adil.

Page 15: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

C. PILKADA Langsung menurut UU

No. 32. th. 2004.

29 September 2004

DPR menyetujui RUU

pengganti UU No. 22 th

1999.

Salah satu materinya

adalah tentang PILKADA

langsung.

Ketentuan peralihannya

akan dilaksanakan mulai

Juni 2005.

PILKADA sebagai

jawaban atas hiruk-

pikuk, kegaduhan dan

jeleknya proses maupun

hasil PILKADA lewat

DPRD.

PILKADA untuk

menegakkan kedaulatan

rakyat / menguatkan

demokrasi lokal, baik

governance & society.

Page 16: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

ARGUMEN

PENTINGNYA

PILKADA

LANGSUNG

Untuk meningkatkan kualitasakuntabilitas para elit politiklokal, termasuk kepala daerah.

Untuk menciptakan stabilitaspolitik dan efektivitaspemerintahan lokal.

Akan memperkuat danmeningkatkan kualitas seleksikepemimpinan nasional.

Page 17: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

D. PILKADA Menurut UU No. 8

th. 2005

Mengubah beberapa

ketentuan pada UU No. 32

th. 2004.

Misalnya : jumlah pemilih

di TPS sebanyak 300

diubah menjadi 600 orang.

Ada penyisipan tentang

force majeur sehingga

tertunda, maka pemilihan

tunda diatur melalui

Peraturan Pemerintah.

Pemerintah juga

mengeluarkan PP No.

17 th 2005, yang

menyebutkan bahwa

KPUD berkewajiban

menyampaikan laporan

kepada DPRD dan

memberikan informasi

pada masyarakat.

Page 18: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Peran Sentral (Dominasi)

Partai politik

a. Dominasi PARPOL pada setiap tahapan PILKADA

Pross pengajuan calon, membentuk panitia pengawas, sulitnyapengajuan calon perseorangan.

b. Recruitment Calon di tingkat PARPOL

Sistem seleksi, panitia seleksi, standar penilaian, hak-hak calonperseorangan yang diabaikan.

c. Koalisi PARPOL yang tidak permanen

PARPOL tidak mempunyai ideologi dan platform politik yang jelas.

Page 19: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

Tingkat Partisipasi Pemilih yang Rendah

dan Legitimasi Kepala daerah Terpilih.

Penyebab tingginya

warga yg tidak

menggunakan hak pilih :

1. Ketidak percayaan

pada para kandidat.

2. Kejenuhan terhadap

hiruk pikik politik.

3. Kurangnya

sosialisasi.

Isu-isu calon sangat

abstrak, tidak terukur

dan tidak spesifik.

Isu mendompleng isu

nasional.

Para kontestan lebih

suka menghadirkan

vote-getter dari politisi

nasional dan artis

daripada membangun

komitmen dengan

rakyat.

Page 20: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

IMPLIKASI PEMILUKADA1. Memunculkan Pemerintahan yang terbelah

(devided government).

2. Pencapaian Tujuan Otonomi daerah.

3. Akuntabilitas Kepala daerah.

4. Fluktuasi (keseimbangan) hubungan KepalaDaerah dan DPRD.

5. Pendapatan dan Belanja Daerah.

6. Disharmoni Hubungan Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah.

Terhadap

Jalannya

Pemerintah

Daerah

Page 21: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

1. PenguatanDemokrasi Lokal.

2. Hubungan Kepala Daerah dan Masyarakat: tidak ada

pola tunggal.

3. Konflik Sosial danKonflik Kelembagaan.

IMPLIKASI PEMILUKADA

PADA PERTUMBUHAN DEMOKRASI DI DAERAH

Page 22: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Catatan Kemendagri 2014

dari 524 kepala daerah yang

dihasilkan lewat Pilkada

langsung, ternyata 322

pejabat divonis terlibat

korupsi .

Hasil penyelidikan dan

penyidikan KPK atas skandal

korupsi yang melibatkan

kepala daerah, perilaku

korup yang dilakukan

sebagai salah satu cara,

untuk mengembalikan

anggaran yang dikeluarkan

saat mengikuti Pilkada.

Peneliti pada Pusat Penelitian

Politik LIPI, penyelenggaraan

Pilkada langsung

menghasilkan fakta dinamika

politik lokal yang cenderung

ektrem: Munculnya

perseteruan antara pejabat

gubernur dan bupati/walikota.

Kondisi itu terjadi, karena

pejabat bupati/walikota

merasa dirinya memiliki

privilage politik yang sama

dengan gubernur. Rasa itu

muncul, karena mereka sama-

sama dipilih oleh rakyat

secara langsung.

Page 23: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Banyak bupati/walikota yang mengabaikan posisi

gubernur, bahkan berambisi untuk segera

mengakhiri masa jabatan gubernur di

wilayahnya.

Sebaliknya, banyak gubernur mengeluarkan

kebijakan diskriminatif terhadap kabupaten/kota

saat pejabat bupati/walikota-nya memiliki sikap

politik yang berseberangan.

Bentuk diskriminasi yang terjadi, adalah

pembagian dana otonomi khusus, seperti di

Daerah Istimewa Aceh dan Papua.

Page 24: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

I.

Permasalahan dari kerangka hukum yang masihmenyisakan berbagai kesimpangsiuran maupun

ketidakjelasan bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih dalam pemaknaannya, yang tak

jarang berakibat pada konflik dan gangguankeamanan di lapangan.

• Aturan yang ambigu dan multitafsir akhirnya berkontribusipada rentetan persoalan dalam menyelenggarakan tahapanPemilukada,

• Masalah karut marutnya daftar pemilih,

• Kisruh pencalonan,

• Kampanye yang tidak terkontrol,

• Pemungutan dan penghitungan suara yang bermasalah.

Page 25: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

II.

Masalah sistem pemilihan dan metode pencalonan.

• Sistem pencalonan memberikan ruang bagi partai politik, gabungan partai politik, dan calon perseoranganuntuk memajukan calon melahirkan begitu banyakkandidat yang lantas diikuti dengan problematika berikutbiaya penyelenggaraan yang mahal dan politik biayatinggi (atau politik uang).

• Ruang bagi parpol non-kursi di DPRD untuk mencalon -kan kandidat, sepanjang memperoleh 15% suara sahdalam Pemilu Legislatif terakhir, lebih banyak membawamasalah ketimbang manfaat bagi Pemilukada.

• Melahirkan banyaknya dukungan ganda dalampencalonan, dan maraknya politik transaksional jualbeli dukungan.

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Page 26: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

III.

Masalah dalam penyelenggaraan tahapan yang diakibatkan olehketidaksiapan penyelenggara, kematangan kandidat, maupunakseptabilitas pemilih atas proses penyelenggaraan tahapan

yang ada.

• Masih ditemui banyak penyelenggara yang tidak profesionaldan mumpuni dalam menyelenggarakan Pemilukada (walauharus diakui hal ini juga terjadi karena adanya kontribusi darikerangka hukum yang bermasalah tersebut).

• Penyelenggaraan Pemilukada biasanya tidak bermasalah(atau tidak dipermasalahkan) pada tahapan-tahapanawalnya, sampai kemudian diketahui hasil penghitungansuara. Barulah para kandidat dan masa pendukungnyaberaksi melakukan protes dan penolakan yang tidakjarang berakhir pada kerusuhan dan konflik horizontal antarmasyarakat.

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Page 27: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

IV.

Masalah penegakan hukum dan penangananpelanggaran. Aturan yang ada belum bisamerespon persoalan riel dan kompleks yang

terjadi di lapangan.

• Ketentuan hukum acara penanganan pelanggaranPemilukada diatur secara belum terperinci dalam undang-undang yang ada (dan ujungnya lagi-lagi menyebabkankebingungan dalam penerapannya di lapangan).

• Kapasitas penegak hukum pun banyak menyisakan bahkanmenimbulkan masalah baru. Hal ini bisa dipahamikarena masih minimnya program untuk peningkatanpemahaman dan kapasitas dalam menangani berbagaipelanggaran Pemilukada.

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Page 28: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

V.

Tersebarnya waktu penyelenggaraan

• Pemilukada melahirkan kompleksitas dalampelaksanaannya yang pada akhirnya juga berujungpada pembengkakan dan pemborosan anggaran.

• Muncul fakta sampai ada daerah yang mengambilanggaran pendidikan dan kesehatannya untukmemenuhi alokasi anggaran penyelenggaraanPemilukada.

• Pemilih akhirnya bosan dan kehabisan energi karenaterus-terusan harus ‘ber-Pemilu ria”. Tak heran jika dariPemilu Legislatif ke Pemilu Presiden sampai kePemilukada grafik partisipasi pemilih terus menurun.

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Page 29: PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis

EVALUASI PILKADA LANGSUNG

Hubungan dengan

DPRD mengalami

perubahan mendasar

dalam konteks

perimbangan dan proses

legislasi daerah.

Diwarnai dengan

munculnya pejabat-

pejabat lama.

Tidak efektif menjadi

sarana pergantian

kekuasaan

DPD RI

merekomendasikan :

1. Essensi PILKADA perlu

diubah ke arah

peningkatan kualitas

demokrasi lokal.

2. Masalah regulasi :

dilakukan pemisahan

antara materi kebijakan

pemerintah daerah dan

materi kebijakan tentang

PILKADA.