Pedoman Resusitasi Kardiopulmoner.doc

23
PEDOMAN RESUSITASI KARDIOPULMONER Michael J Jacka MD MSc FRCPC University of Alberta, Edmonton, Alberta Penyakit jantung iskemik (Ischemic heart disease/IHD) merupakan penyebab utama kematian di dunia. Sekitar 60 % mortalitas dihubungkan dengan IHD yang diakibatkan oleh henti jantung. Tingkat mortalitas henti jantung berkisar dari 85 % hingga 100 % tergantung pada penyebabnya. Tujuan resusitasi kardiopulmoner (CPR) adalah mencegah kematian dini kardiovaskuler dan morbiditas akibat henti jantung. Tindakan ini memerlukan perkembangan dan pemeliharaan system penyelamatan yang terdiri dari individu terampil yang memiliki pengetahuan dasar dan kapasitas teknis untuk melakukan resusitasi, dan alasan untuk melakukan tindakan ini, seperti yang diperlihatkan pada lingkungan praktik khusus. Hasil optimal memerlukan perhatian sistematis kepada pasien yang beresiko mengalami henti kardiopulmoner, maupun yang telah menderita dan juga penanganan post-henti jantung yang memadai. Tujuan pembahasan ini adalah untuk membahas:

Transcript of Pedoman Resusitasi Kardiopulmoner.doc

Pedoman Resusitasi Kardiopulmoner

PEDOMAN RESUSITASI KARDIOPULMONERMichael J Jacka MD MSc FRCPC

University of Alberta, Edmonton, AlbertaPenyakit jantung iskemik (Ischemic heart disease/IHD) merupakan penyebab utama kematian di dunia. Sekitar 60 % mortalitas dihubungkan dengan IHD yang diakibatkan oleh henti jantung. Tingkat mortalitas henti jantung berkisar dari 85 % hingga 100 % tergantung pada penyebabnya.

Tujuan resusitasi kardiopulmoner (CPR) adalah mencegah kematian dini kardiovaskuler dan morbiditas akibat henti jantung. Tindakan ini memerlukan perkembangan dan pemeliharaan system penyelamatan yang terdiri dari individu terampil yang memiliki pengetahuan dasar dan kapasitas teknis untuk melakukan resusitasi, dan alasan untuk melakukan tindakan ini, seperti yang diperlihatkan pada lingkungan praktik khusus. Hasil optimal memerlukan perhatian sistematis kepada pasien yang beresiko mengalami henti kardiopulmoner, maupun yang telah menderita dan juga penanganan post-henti jantung yang memadai.

Tujuan pembahasan ini adalah untuk membahas:

1. Rasional dan proses International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR)

2. Algoritma universal

3. Bantuan Hidup Dasar/Basic life support (BLS)

4. defibrilasi

5. Bantuan Hidup Lanjutan/Advanced Life Support (ALS)

6. Keadaan keadaan khusus.

7. Terapi pre-emptive

8. Terapi pasca henti jantung

1. Rasional dan proses ILCOR

ILCOR dibentuk pada tahun 1993, dengan misi regular untuk membahas dan merangkumkan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan CPR. Pedoman consensus berbasis bukti lalu dikembangkan dan dipublikasikan pada tahun 2000 dan 2005 (www.circulationaha.org), menggunakan proses pembahasan eksplisit yang nyata, dengan dokumen yang berfungsi sebagai sumber utama pembahasan ini. Pada konferensi tahun 2005, 380 ahli membahas 300 topik yang relevan dengan CPR, untuk menghasilkan rekomendasi penanganan untuk masing masing topik. Tingkat bukti (Level of evidence / LOE) untuk tiap rekomendasi dijabarkan dalam sebuah tingkatan yang berkisar dari LOE 1 (yang tertinggi: studi meta analisis dengan efek penanganan besar) hingga LOE 8 (terendah: konjektur rasional).

Rangkuman rekomendasi dari ILCOR 2005 dapat diyakini seperti yang disuarakan oleh tingkat ketersediaan bukti tertinggi. Meski demikian, bukti tertinggi bukanlah kemungkinan terbesar, seringkali meninggalkan gejolak substansial pada penilaian klinisi seperti saat mengidentifikasi kesempatan dan keperluan pemeriksaan lebih lanjut. Serupa halnya, tidak diimplikasikan bahwa perawatan klinis berdasarkan pedoman sebelumnya tidaklah aman.

2. algoritma universal (Gambar 1)

Kaitan perkembangan pedoman dengan hierarki bukti terkuat dan perkembangan yang difasilitasi melalui pembahasan merupakan kesatuan algoritma universal tunggal untuk CPR. Pedoman BLS juga serupa untuk petugas baru maupun yang telah terlatih. Pedoman ALS untuk fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikuler tak stabil (VF/VT) merupakan yang paling didukung oleh bukti. Pada kebanyakan kasus non-VF/VT, pedoman ALS lebih menekankan BLS dan memperkirakan dokter penyelamat untuk melatih penilaian klinis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman.

3. Bantuan Hidup Dasar / Basic Life Support (BLS)

Meminta pertolongan

Sebelumnya, anjuran pada henti jantung orang dewasa adalah meminta tolong terlebih dahulu, sedangkan pada pedoman henti jantung anak adalah meminta tolong secepatnya. Kedua hal berlainan ini menunjukkan bahwa penyebab VF/VT dan hipoksemianya juga berbeda. Jika penolong mencurigai hipoksemia sebagai etiologi henti jantung misalnya kasus tenggelam, maka penilaian klinis akan mendukung ventilasi sebelum meminta bantuan (minta bantuan secepatnya), tanpa mempedulikan usia pasien. Sebaliknya, jika dicurigai terjadi VF/VT, maka diperlukan defibrillator secepatnya (minta bantuan terlebih dahulu).

Tanda tanda Henti Jantung

CPR sebaiknya dimulai jika pasien sudah tidak bergerak, tidak bernapas, dan tidak memberikan respon. Respirasi agonal terjadi pada beberapa pasien, dan biasanya dapat membingungkan penolong. Pemeriksaan denyut karotis baik oleh penolong amatir maupun yang ahli juga tidak terlalu akurat, tingkat bahaya CPR yang rendah pada pasien tak berespon, dan tindakan CPR pada korban henti jantung yang sangat perlu sehingga pemeriksaan denyut tidak dianjurkan lagi jika tidak terdapat tanda tanda hidup lainnya.

Ventilasi

Karena oksigenasi memberikan keuntungan selama CPR, ventilasi (untuk klirens CO2) kurang bermakna dan dapat mengganggu perfusi koroner dan serebral selama CPR. Inflamasi gaster dan regurgitasi merupakan efek samping utama yang harus dihindari pada ventilasi cepat. Berikutnya, dianjurkan pemberian volume tidal sebanyak 5 7 cc/kg.Anjuran perbandingan kompresi: ventilasi adalah 30 : 2 untuk penolong tunggal dan 15 : 2 untuk dua penolong. Perbandingan ini sama untuk semua populasi (dewasa, anak, dan bayi).

Alat alat jalan napas seperti oropharyngeal airway dan laryngeal mask airway harus dimasukkan dan digunakan. Meski demikian, intubasi endotrakheal memerlukan waktu tindakan yang lebih lama, dan hal ini dapat mengganggu kompresi jantung. Tergantung pada kemampuan operator, keadaan pasien, kemudahan ventilasi manual, dan kemungkinan penyebab henti jantung, maka cukup beralasan untuk menunda intubasi endotrakeal hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation / ROSC)

Kompresi Dada

Kompresi dada ditekankan sebagai kunci keberhasilan CPR. Tindakan ini harus dimulai sesegera mungkin selama pertolongan, dilakukan kembali setelah defibrilasi, dan dilanjutkan hingga terjadi ROSC. Kompresi sebaiknya dilakukan dengan cepat (100 per menit), dengan penolong yang menekan dengan keras dan cepat. Adanya gangguan (misalnya maneuver jalan napas) sebaiknya diminimalisir.

Penelitian telah menunjukkan bahwa kompresi dada meningkatkan kecenderungan keberhasilan defibrilasi, mungkin karena tindakan ini meminimalisir ukuran jantung dan memberikan penghantaran kejutan listrik yang lebih efektif ke jantung. Selanjutnya, kompresi juga menguntungkan sebelum defibrilasi, khususnya jika korban henti jantung tidak mendapatkan defibrilasi atau CPR selama lebih dari 4 menit sebelum pertolongan.Penolong sebaiknya menekan dada sedalam 5 cm, sehingga memberikan recoil sempurna di antara kompresi. Tujuannya, penolong yang kelelahan setelah 60 hingga 90 detik sewaktu melakukan kompresi dada, walaupun hal ini biasanya kurang diterima hingga 4 sampai 5 menit, ketika kompresinya menjadi sub-optimal. Selanjutnya, penolong sebaiknya mengambil giliran secara teratur tetapi tanpa gangguan kompresi.

Kompresi dada merupakan tugas sederhana yang telah diajarkan kepada penolong amatir pemula melalui telepon. Meski demikian, pentingnya kompresi dada efektif pada setiap individu adalah kecenderungan melakukan CPR yang sebaiknya sama dengan mereka misalnya anggota keluarga.

Kompresi dada tanpa ventilasi telah dievaluasi dan nampaknya kurang efektif dibandingkan kompresi dada dengan ventilasi. Hal ini benar untuk penolong amatir, dan mungkin menggambarkan kesulitan penghantaran ventilasi efektif tanpa latihan sebelumnya. Secara alternative, hal ini mungkin memperlihatkan penolong untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut. Meski demikian, ventilasi mungkin sesederhana atau kurang penting seperti yang ditekankan sebelumnya, khususnya jika tindakan ini mengganggu kompresi dada.

4. Defibrilasi

Angka harapan hidup setelah henti jantung VF/VT adalah sebesar 15 % pada beberapa kasus, tetapi sesungguhnya lebih rendah seiring bertambah lamanya henti jantung. Bukti yang mendukung pemakaian defibrilasi dini adalah yang terkuat dari seluruh intervensi CPR. Selanjutnya, usaha untuk meningkatkan ketersediaan, dan kesederhanaan penggunaan defibrillator, jumlah penolong yang mampu melakukan defibrilasi, dan kecepatan mengakses defibrilasi seharusnya memperbaiki kecenderungan pemulihan dari VF/VT.

Sebelum defibrilasi

Thump precordial tunggal yang mungkin menguntungkan, diberikan dengan cepat, dan mungkin tidak membahayakan. Jika interval antara kolaps dan penolong lebih dari 4 menit, maka dilakukan CPR selama 1.5 2 menit sebelum usaha defibrilasi. CPR dalam hal ini dapat meningkatkan keberhasilan defibrilasi.

Defibrilator eksternal otomatis (AED) dan Defibrilator Akses Publik (PAD)

Penelitian di Bandar udara, di pesawat terbang, dan di kasino telah memperlihatkan perbaikan dramatis pada pemulihan dari henti jantung menggunakan AED ketika dilakukan oleh penolong ahli maupun yang amatir. Karena defibrilasi sangat penting pada resusitasi, AED sebaiknya dapat segera diakses di setiap tempat di mana kemungkinan kejadian henti jantung bisa terjadi. Beberapa tempat ini meliputi fasilitas olahraga, mal perbelanjaan, hotel hotel besar dan bagian rumah sakit. Proses ini menekankan perhatian kepada seluruh fase resusitasi, meliputi pelatihan penolong awal dan evakuasi gawat darurat terhadap korban.Jenis, dosis, dan gelombang defibrillator.

Semua defibrillator baru merupakan penghantar energi bifasik. Dibandingkan dengan defibrillator generasi monofasik sebelumnya, defibrillator bifasik bentuknya lebih kecil dan mudah dibawa. Menggunakan defibrillator bifasik, energi dihantarkan pada dua fase gelombang sinusoidal, sehingga dosis awal yang sesuai adalah 150 hingga 200 J, sedangkan dosis permulaan defibrillator monofasik adalah 360 J. gelombang optimal (eksponensial berpuncak, gelombang rendah) tidak diketahui.

Rangkaian defibrilasi

Kebanyakan keberhasilan defibrilasi telah diamati terjadi pada kejutan pertama. Selanjutnya, pengulangan usaha defibrilasi mencegah tindakan CPR, dan CPR diperlukan untuk perfusi koroner dan serebral seperti halnya peningkatan keberhasilan defibrilasi. Akhirnya, ROSC biasanya muncul secara perlahan lahan setelah keberhasilan kejutan seiring dengan kembalinya denyut nadi. Oleh karena itu, kejutan tunggal dianjurkan per defibrilasi / siklus CPR, daripada rangkaian tiga atau lebih, walaupun anjuran ini masih belum didukung oleh LOE yang kuat. Lebih lanjut lagi, dalam rangka memaksimalkan perfusi koroner dan serebral ketika ROSC sudah terjadi, maka dianjurkan untuk mengulang CPR segera setelah usaha defibrilasi, tanpa mempedulikan irama, daripada menunggu kembalinya denyut nadi. CPR sebaiknya dilanjutkan selama 3 5 siklus kompresi 30 : 2: rangkaian ventilasi, waktu di mana irama sebaiknya diperiksa jika pasien menunjukkan tanda tanda kehidupan.

5. BAntuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support / ALS)

Peralatan jalan napas dan Verifikasi Intubasi Endotrakhea

Waktu optimal intubasi endotrakheal masih belum diketahui. Meski demikian, intubasi sebaiknya tidak mengganggu kompresi dada. Cukup beralasan untuk menunda intubasi hingga terjadinya ROSC.

Pemastian intubasi endotrakhea memerlukan alat untuk mendeteksi adanya karbondioksida atau intubasi esophageal. Kapnograf dapat berfungsi sebagai kolorimetrik, secara grafis, atau secara digital. Meski demikian, CO2 tidak akan muncul hingga curah jantung mencukupi. Alat detector esophagus juga sebaiknya dipertimbangkan sebagai alat alternative.

Vasopresor

Vasopresor telah dianjurkan setelah kejadian henti jantung sejak pedoman ALS yang pertama. Sejumlah energi telah dilepaskan untuk menentukan vasopresor dan dosisnya yang optimal. Walau demikian, masih tetap tidak jelas apakah vasopresor memiliki manfaat sistematik pada resusitasi, dan jika ada, apa perannya.Epinefrin merupakan vasopresor tradisional, yang masih belum terbukti manfaatnya. Vasopressin dianjurkan sebagai sebuah subtitusi, walaupun penelitian belum menunjukkan perbaikan harapan hidup dengan penggunaan obat ini. Penyelidikan lain telah mempertimbangkan norepinefrin dan endotelin, juga tanpa adanya manfaat. Telah dianjurkan bahwa sewaktu vasopresor dipertimbangkan pada henti jantung, angka harapan hidup masih sulit diperkirakan dan tidak satupun obat yang disimpulkan efektif.

Antiaritmia pada Henti Jantung

Seperti kasusnya dengan vasopresor, tidak ada bukti yang menyimpulkan bahwa obat anti aritmia mempengaruhi harapan hidup jangka panjang setelah henti jantung.

Amiodaron telah ditunjukkan lebih efektif daripada lidokain atau placebo dalam meningkatkan ROSC dan pemberiaannya saat masuk rumah sakit setelah henti jantung, walaupun angka harapan hidup jangka panjang masih belum terpengaruhi.

Atropine diindikasikan pada paisen dengan bradikardia simptomatik. Meski demikian, atropine belum menunjukkan adanya efek sistematik setelah terjadinya henti jantung, mungkin karena hasil akhir setelah henti jantung asistolik sangatlah buruk.

Magnesium diindikasikan pada keadaan defisiensi magnesium dan khususnya pada torsade de pointes. Dosis pada keadaan lanjut dapat sangat tinggi, dan memerlukan titrasi, tetapi sebaiknya dimulai dengan dosis 2.5 hingga 5 g.

Buffer/ larutan penyanggaNatrium bikarbonat diindikasikan untuk hiperkalemia yang mengancam jiwa, henti jantung akibat hiperkalemia, dan setelah overdosis antidepresan trisiklik. Natrium bikarbonat tidak dianjutkan sebagai pengggunaan rutin pada henti jantung.

Pacu Jantung

Pacu jantung transkutaneus tidak dianjurkan untuk penggunaan henti jantung asistol.

6. Keadaan Khusus

Hipotermia

Pada pasien hipotermik tanpa nadi, penghangatan invasive (sirkulasi ekstrakorporal) mungkin bermanfaat. Tidak mungkin untuk memberikan pedoman umum menyangkut keadaan di mana penghangatan invasive diperkirakan bermanfaat atau malah membahayakan.

Kehamilan

Perdarahan sebaiknya dipertimbangkan sebagai penyebab yang mungkin dan sebaiknya mulai diberikan terapi. Pasien sebaiknya diresusitasi dengan telapak tangan kiri lateral 15 derajat untuk mencegah obstruksi vena cava inferior. Jika pengukuran resusitatif awal belum berhasil selama 5 menit, fetus sebaiknya ditangani secara resusitasi maternal maupun fetus.Aktivitas Listrik Tanpa Nadi (Pulseless Electrical Activity / PEA)

PEA mungkin disebabkan oleh emboli pulmonal (PE). Jika PE sangat dicurigai pada PEA, maka dipertimbangkan pemberian trombolisis.

7. Terapi Pre-emptive

Sulit untuk menentukan apakah irama khusus atau keadaan klinis tertentu dapat berkembang menjadi henti jantung. Pada saat yang sama, evaluasi randomisasi pada kebanyakan kondisi ini masih tidak beretika. Akibatnya, bukti untuk mendukung intervensinya adalah dan akan tidak sempurna. Pertimbangan irama adalah takikardia kompleks sempit dan lebar, dan bradikardia. Keadaan klinis yang dipertimbangkan merupakan skenario kegawatdaruratan medis dan memerlukan perhatian tim gawat darurat medis. Secara umum, terapi farmakologis sebaiknya dibatasi hanya untuk beberapa obat jika memungkinkan, dan idealnya, hanya satu obat, dalam rangka meminimalisir potensi interaksi obat.Takikardia kompleks sempit

Jika pasien tidak stabil, kardioversi elektrik merupakan terapi pilihan.

Jika pasien stabil, maneuver Valsava atau pemijatan sinus carotikus sebaiknya dipertimbangkan kecuali jika ada kontraindikasi, sebelum penanganan farmakologik.

Untuk fibrilasi atrial dengan respon ventirkuler cepat, klinisi dapat memilih dari penghambat beta, penghambat chanel kalsium, magnesium, dan amiodaron, di antara yang lainnya. Tidak satupun obat yang dikathui lebih baik dalam situasi seperti ini.

Pada takikardia kompleks sempit regular, adenosine sebaiknya dipikirkan setelah maneuver Vagal. Penghambat chanel kalsium merupakan terapi lini kedua.

Takikardia compleks lebar

Pasien tak stabil sebaiknya dikardioversi.

Jika pasien stabil, amiodaron, sotalol, atau procainamid sebaiknya dipertimbangkan.

Pada Torsade de pointes, magnesium, isoproterenol, dan pacu ventrikel sebaiknya dipertimbangkan.

Bradikardia

Atropine, hingga 3 mg, merupakan obat pilihan penanganan bradikardia simptomatik. Pilihan lini kedua meliputi katekolamin (dopamine, epinefrin) atau teofilin/ sebuah pacu jantung mungkin diperlukan dan cukup efektif pada situasi klinis tertentu.

Tim Kegawatdaruratan Medis (The Medical Emergency Team)

The MET merupakan konsep baru komparatif. MET secara umum terdiri dari personil medis dan perawat dengan kemampuan penanganan kritis. Tujuan MET adalah untuk mengidentifikasi dan mengobati pasien pada resiko substansial henti jantung, berdasarkan kondisi patofisiologiknya. Kondisi ini meliputi takikardia, bradikardia, hipotensi, takipnea, dan gangguan status mental.

MET telah menunjukkan berbagai derajat keberhasilan, tidak menunjukkan adanya bahaya, dan memerlukan alokasi waktu dan personil agar menjadi efektif. Penggunaan MET sebaiknya dipertimbangkan sebagai strategi pre-emptive di mana situasinya memungkinkan, dengan perhatian pada komposisi tim, criteria pemanggilan, dan edukasi dan kesadaran staff rumah sakit.

8. Terapi PAsca Henti Jantung

Hipotermia Terapeutik

Pasien yang tetap koma setelah ROSC akibat henti jantung mungkin dapat dihangatkan dengan suhu 32 hingga 34 OC, dalam konteks pemulihan neurologik. Pasien yang diresusitasi dari henti VF/VT yang hemodinamiknya stabil merupakan yang terbaik untuk terapi ini. Terapi sebaiknya dilanjutkan selama 12 hingga 24 jam, biasanya memerlukan sedasi, dan memerlukan penghambatan neuromuskuler.Rangkuman:

Kematian dari henti jantung menggunakan CPR masih tetap tinggi; kematian tanpa CPR malah lebih tinggi. Kebanyakan pasien yang diresusitasi dari henti jantung, menderita VF/VT, dan terapi yang terbukti paling efektif untuk VF/VT adalah defibrilasi. Usaha untuk meningkatkan harapan hidup dengan CPR sebaiknya diarahkan pada peningkatan keberhasilan defibrilasi. Hal ini meliputi pengenalan dan respon awal pada henti jantung, meningkatkan ketersediaan dan penggunaan defibrillator portable (AED), tindakan CPR yang efektif, dan terapi yang sesuai setelah CPR jika diindikasikan misalnya hipotermia. MET mungkin bermanfaat pada pengenalan di rumah sakit dan penanganan kondisi klinis yang kemungkinan berkembang menjadi henti jantung. Untuk kebanyakan terapi yang diberikan pada CPR, terdapat keraguan raguan atau tidak adanya bukti, tetapi hal ini tidaklah sama dengan bukti tidak adanya efek. Klinisi yang cermat akan lebih bijak untuk mempelajari, melakukan, dan mengajarkan hal ini tetapi selalu kritis, dan khususnya menyangkut tindakan resusitasi.

Referensi

1. International Liaison Commmittee on Resuscitation. Cardiopulmonary

Resuscitation Treatment Recommendations. Circulation 2005; 112: 1- 140

2. Murray CJ, Lopez AD. Mortality by Cause for Eight Regions of the World

Global Burden of Disease Study. Lancet 1997; 349: 1269-76

3. Rea TD, Pearce RM, Raghunathan TE et al. Incidence of out-of-hospital cardiac

arrest. Am J Cardiol 2004; 93: 1455-60

4. Ruppert M, Reith MW, Wdmann JH et al. Checking for breathing Evaluation of

the diagnostic capability of EMS personnel. Ann Emerg Med 1999; 34: 720-9

5. Aufderheide TP, Lurie KG. Death by hyperventilation a common and life-

threatening problem during CPR. Crit Care Med 2004; 32: S345-51

6. Aufderheide TP, Sigurdsson G, Pirrallo RG et al. Hyperventilation-induced

hypotension during CPR. Circulation: 2004; 109: 1960-5

7. The Public Access Defibrillation Trial Investigators. Public-access defibrillation

and survival after out-of-hospital cardiac arrest. NEJM 2004; 351: 637-46

8. Van Alem AP, Vrenken RH, de Vos R et al. Use of automated external defibrillator by first responders in out of hospital cardiac arrest. BMJ 2003; 327: 1312

9. Morrison LJ, Dorian P, Long J et al. Out-of-hospital cardiac arrest rectilinear

biphasic to monophasic damped sine defibrillation waveforms with advanced life

support intervention trial. Resuscitation 2005; 66: 149-57

10. Kolarova J, Ayoub IM, Yi Z et al. Optimal timing for electrical defibrillation after prolonged untreated ventricular fibrillation. Crit Care Med 2003; 31: 2022-28

11. Li J. Capnography alone is imperfect for endotracheal tube placement

confirmation during emergency intubation. J Emerg Med 2001; 20: 223-9

12. Stiell IG, Hebert PC, Wells GA et al. Vasopressin versus epinephrine for in-

hospital cardiac arrest. Lancet 2001; 358: 105-9

13.Wenzel V, Krismer AC, Arntz HR et al. A comparison of vasopressin and

epinephrine for out-of-hospital cardiopulmonary resuscitation. NEJM 2004; 350:

105-13

14. Stiell IG, Wells GA, Hebert PC et al. Association of drug therapy with survival

after cardiac arrest limited role of advanced cardiac life support drugs. Acad

Emerg Med 1995; 2: 264-73

15. Kudenchuk PJ, Cobb LA, Copass MK et al. Amiodarone after out-of-hospital

cardiac arrest due to ventricular fibrillation. NEJM 1999; 341: 871-8

16. Dorian P, Cass D, Schwartz B et al. Amiodarone as compared with lidocaine for

shock-resistant ventricular fibrillation. NEJM 2002; 346: 884-90

17. Engdahl J, Bang A, Lindqvist J et al. Can we define patients with no and those

with some chance of survival when found in asystole out of hospital? Am J

Cardiol 2000; 86: 610-14

18. Smith I, Monk TG, White PF. Comparison of transesophageal atrial pacing with

anticholinergic drugs for the treatment of intraoperative bradycardia. Anesth

Analg 1994; 78: 245-52

19. Weil MH, Trevino RP, Rackow EC. Sodium bicarbonate during CPR does it

help or hinder? Chest 1985; 88: 487-94 10

20. DiMarco JP, Miles W, Akhtar M et al. Adenosine for paroxysmal supraventricular

tachycardia. Ann Int Med 1990; 113: 104-10

21. Bellomo R, Goldsmith D, Uchino S et al. A prospective before-and-after trial of a

medical emergency team. Med J Aust 2003; 179: 283-7

22. Buist MD, Moore GE, Bernard SA et al. Effects of medical emergency team on

reduction of incidence of and mortality from unexpected cardiac arrests in

hospital. BMJ 2002; 324: 38-90

23. Hypothermia after cardiac arrest study group. Mild therapeutic hypothermia to

improve the neurologic outcome after cardiac arrest. NEJM 2002; 346: 549-56

24. Bernard SA, Gray TW, Buist MD et al. Treatment of comatose survivors of out-

of-hospital cardiac arrest with induced hypothermia. NEJM 2002; 346- 557-63