PE NGARUH PEMBERIAN GELATIN TULANG SKRIPSI · PDF fileHIMATEHATE -UH : Andi Faisal, Andi ......
Transcript of PE NGARUH PEMBERIAN GELATIN TULANG SKRIPSI · PDF fileHIMATEHATE -UH : Andi Faisal, Andi ......
i
PENGARUH PEMBERIAN GELATIN TULANG
AYAM TERHADAP GAMBARAN MAKROSKOPIS
DAN MIKROSKOPIS HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus)
SKRIPSI
Oleh
BUDI UTOMO
I 111 11 024
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii
PENGARUH PEMBERIAN GELATIN TULANG
AYAM TERHADAP GAMBARAN MAKROSKOPIS
DAN MIKROSKOPIS HATI DAN GINJAL MENCIT
(Mus musculus)
Oleh
BUDI UTOMO
I 111 11 024
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Budi Utomo
NIM : I 111 11 024
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atas seluruhnya dari karyas kripsi, terutama Bab Hasil
dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan atau
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, 27 Mei 2015
Budi Utomo
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Gelatin Tulang Ayam
Terhadap Gambaran Makroskopis dan
Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit (Mus
musculus)
Nama : Budi Utomo
NIM : I 111 11 024
Fakultas : Peternakan
Skripsi ini Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:
Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, M.P
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc
Dekan Fakultas Peternakan
drh. Hj. Farida Nur Yuliati, M.Si
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc
Ketua Program Studi Peternakan
Tanggal Lulus : 27 Mei 2015
v
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah, petunjuk, limpahan rahmat dan karunia-Nyalah sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. Salawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita sehari-
hari. Penulis dengan rendah hati mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini terutama kepada :
1. Bapak Dr. Muhammad Irfan Said, S.Pt, MP selaku Pembimbing Utama dan
kepada Ibu drh. Farida Nur Yuliati, M.Si selaku Pembimbing Anggota atas
petunjuk, didikan, serta bimbingan kepada penulis.
2. Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc, ibu Dr. Wahniyathi, S.Pt,
M.Si dan Bapak Dr. Ir. Wempie Pakiding, M.Sc selaku pembahas yang
memberi saran dan masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sjamsuddin Garantjang, M.Agr, Sc selaku Penasehat
Akademik yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan dan nasehat
selama penulis menjalani perkuliahan.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Baco, M.Sc selaku Dekan Fakultas
Peternakan, Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc selaku Ketua
Program Studi Peternakan, serta seluruh Dosen dan Staf Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan sumbangsih
ilmu dan pelayanan akademik selama penulis berada di bangku kuliah.
vi
5. Orang tua terkasih, ayahanda Bahtiar dan ibunda Basse yang telah
membesarkan, mendidik, serta mendoakan penulis dengan penuh cinta dan
kasih yang tulus senantiasa hingga saat ini. Buat saudara terkasih Nur Laila,
Nurmiati dan Nirmala yang selalu memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian kuliah.
6. Sahabat seperjuangan Sri Wahyuni, A. Husmaentin, Nur Aryati, May Rismi
Anisa dan sahabat Pondok Faisal : Mardhatilla Utami, Awal Reskiawan,
Nurjannah, Nurmulyaningsih, Mutmainnah, Magfirah Nur, Kurniah
Kamaruddin, Arra Musyarrafah, Mutiara Hikma dan Nur Ahmad yang
selalu memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Rekan-rekan seperjuangan SOLANDEVEN, Kelas Protek dan
HIMATEHATE-UH : Andi Faisal, Andi Pancawati, Sitti Masita, Fitriani,
Fitrianingsih, Sitti Sarah, Kiki Rezki Muchlis, Ayu Soraya, Handayani,
Aprisal Nur, Alifran, Muh. Fuad, Muh. Qurnaldi, S.Pt, Sri Hastuti Ningsih,
S.Pt, Syahriana Sabil, S.Pt, Azmi Mangalisu, S.Pt, Evo Tenri Ubba, S,Pt,
Khaerunnisa, S.Pt, Nur Amalia, S.Pt, Indri Ratna Sari, S.Pt, Nurul Ilmi
Harun, S.Pt, dan Ayu Prasetya, S.Pt, yang telah menjadi keluarga kecil di
Kampus Universitas Hasanuddin.
8. Terima kasih kepada kakanda Selfin Tala, S.Pt, M.Si, selaku teman tim
penelitian penulis.
9. Terima kasih kepada kakanda Syamsuddin, S.Pt, M.Si, Muhammad Irfan,
S.Pt, M.Si, Fahrullah, S.Pt, M.Si, Sri Hidayati Jaspin, S.Pt, M.Si, Arham
Janwar, S.Pt, Basri, S.Pt, Syachroni, S.Pt, Andri Teguh Prabowo, S.Pt,
vii
Lukman Hakim, S.Pt dan Haikal, S.Pt, yang selalu memberi arahan dan
masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Teman-teman KKN Reguler Gel 87 UNHAS khususnya Kelurahan
Cenrana, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama kuliah sampai
penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
itu saran yang membangun dari pembaca diharapkan untuk membantu
kesempurnaan dan kemajuan ilmu pengetahuan nantinya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas saran yang diberikan.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi mahasiswa
dan civitas akademika. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Makassar, Mei 2015
Budi Utomo
viii
ABSTRAK
Budi Utomo (I 111 11 024) Pengaruh Pemberian Gelatin Tulang Ayam Terhadap
Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit (Mus
musculus), dibawah Bimbingan Muhammad Irfan Said sebagai Pembimbing
Utama dan Farida Nur Yuliati sebagai Pembimbing Anggota.
Gelatin merupakan suatu produk hasil dari proses hidrolisis parsial kolagen
hewan yang banyak terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat. Adanya larangan
mengenai bahan makanan dan tambahan pangan yang berasal dari babi
menjadikan potensi tulang ayam sebagai salah satu alternatif lain dalam pemilihan
bahan baku gelatin. Proses pembuatan gelatin tulang ayam melalui proses kimia
diduga memiliki dampak negatif, sehingga perlu dosis/takaran yang tepat.
Penggunaan gelatin yang diproduksi menggunakan proses kimia diduga dapat
memberikan pengaruh apabila suatu saat dikonsumsi oleh manusia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gelatin tulang ayam pada organ
hati dan ginjal mencit (Mus musculus). Materi yang digunakan yaitu mencit jantan
sebanyak 30 ekor yang dibagi secara acak menjadi 5 kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 6 ekor. Kelompok A sebagai kontrol, kelompok B diberi
gelatin tulang ayam dengan dosis 5 mg/kg BB, kelompok C (50 mg/kg BB),
kelompok D (500 mg/kg BB) dan kelompok E (5000 mg/kg BB). Pemberian
suspensi gelatin 1 kali/minggu selama 30 hari (4 kali selama 1 bulan).
Pengamatan makroskopis dan mikroskopis dilakukan pada akhir masa uji yaitu
pada hari ke-30, dengan mengambil 2 ekor mencit secara acak disetiap
perlakuannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis gelatin
tulang ayam yang diberikan maka kerusakan yang terjadi pada hati dan ginjal
semakin besar pula. Hasil akhir disimpulkan bahwa pemberian dosis 5 mg/kg BB
- 5000 mg/kg BB ini telah melebihi dari dosis normal.
Kata Kunci : Gelatin, Tulang Ayam, Hati, Ginjal, Mencit (Mus musculus)
ix
ABSTRACT
Budi Utomo (I 111 11 024) The Influence of Gelatin Chicken Bone on a
description of Macroscopic and Microscopic Liver and Kidney Mice (Mus
musculus), under the guidance of Muhammad Irfan Said as Main Supervisor
and Farida Nur Yuliati as Co-Supervisor.
Gelatin is a product of hydrolysis of collagen partial results of which there
are many in the skin, bone and connective tissue. The prohibition on foodstuffs
and supplementary food comes from pigs the potential to be one of the
alternatives in the raw material of gelatin. The process of making gelatin of
chickens by chemical processes alleged to have any negative impact on so we
need proper dosage. The use of gelatin that is produced using chemical process
supposedly can exert if someday be consumed by humans. This research is to find
out what the gelatin the chickens to the liver and kidneys mice (Mus musculus).
Material used to ram the mice 30 tail randomly divided into five groups each
group consisted of six tail. Group A as control, group B given gelatin bone a
chicken with a dose of 5 mg/kg bw, group of C (50 mg/kg bw), group D (500
mg/kg bw) and group E (5000 mg/kg bw). The provision of suspension gelatin 1
time week for 30 days (4 times for 1 months). Observation macroskopic and
microscopic done by the end of the test is on the 30th day, by two mice were
randomly each treatment. The results showed that higher doses of the chicken
bone gelatin the given the damage that occurs in the liver and kidneys of greater.
The final result it was concluded that the provision of a dose of 5 mg/kg bw -
5000 mg/kg bw has been more than normal doses.
Keywords : Gelatin, Bone Chicken, Liver, Kidney, Mice (Mus musculus)
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3
Tinjauan Umum Gelatin ......................................................................... 3
Tinjauan Umum Tulang Ayam ............................................................... 8
Tinjauan Umum Hati (Hepar) ................................................................. 9
Tinjauan Umum Ginjal ........................................................................... 12
Uji Toksisitas dan Hewan Uji (Mus musculus) ....................................... 16
METODE PENELITIAN ............................................................................... 19
Waktu dan Tempat .................................................................................. 19
Materi Penelitian ..................................................................................... 19
Rancangan Penelitian .............................................................................. 19
Prosedur Penelitian ................................................................................. 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 24
Gambaran Makroskopis Hati dan Ginjal Mencit .................................... 24
Gambaran Mikroskopis Hati Mencit (Mus musculus) ............................ 26
Gambaran Mikroskopis Ginjal Mencit (Mus musculus) ......................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41
LAMPIRAN ................................................................................................... 45
RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
No. Halaman
Teks
1. Komposisi Asam Amino Gelatin ........................................................ 3
2. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI ..................................................... 5
3. Komposisi Komponen Tulang Ayam ................................................... 9
4. Morfologi Hati dan Ginjal Mencit setelah Diberi Perlakuan ............... 24
5. Hasil Pengamatan Struktur Histologis Hati Mencit ............................. 26
6. Hasil Pengamatan Struktur Histologis Ginjal Mencit .......................... 32
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Lobus pada Hati.................................................................................... 11
2. Struktur Ginjal ...................................................................................... 13
3. Diagram Alir Prosedur Penelitian ........................................................ 23
4. Gambaran Hati Mencit secara Makroskopis ........................................ 24
5. Gambaran Ginjal Mencit secara Makroskopis ..................................... 24
6. Struktur Histologi Hati Mencit Kelompok A (kontrol) ........................ 27
7. Struktur Histologi Hati Mencit Kelompok B (5mg/kg BB) ................. 27
8. Struktur Histologi Hati Mencit Kelompok C (50mg/kg BB) ............... 28
9. Struktur Histologi Hati Mencit Kelompok D (500mg/kg BB) ............. 28
10. Struktur Histologi Hati Mencit Kelompok E (5000mg/kg BB) .......... 29
11. Struktur Histologi Ginjal Mencit Kelompok A (kontrol) ................... 32
12. Struktur Histologi Ginjal Mencit Kelompok B (5mg/kg BB) ............. 33
13. Struktur Histologi Ginjal Mencit Kelompok C (50mg/kg BB) ........... 33
14. Struktur Histologi Ginjal Mencit Kelompok D (500mg/kg BB) ........ 34
15. Struktur Histologi Ginjal Mencit Kelompok E (5000mg/kg BB) ....... 34
1
PENDAHULUAN
Gelatin merupakan suatu produk hasil dari proses hidrolisis parsial kolagen
hewan yang banyak terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat, serta memiliki
nilai jual tinggi. Secara fisik gelatin berbentuk padat, kering, tidak berasa dan
transparan. Istilah gelatin mengacu pada pembentuk-pembentuk gel lain, hal
tersebut hanya digunakan untuk bahan-bahan protein yang diperoleh dari kolagen
(Imeson, 1992).
Penggunaan kulit babi dalam manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan
penggunaan kulit dan tulang sapi berturut-turut adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen
et al., 2011). Adanya larangan mengenai bahan makanan dan tambahan pangan
yang berasal dari babi menjadikan potensi tulang ayam sebagai salah satu
alternatif lain dalam pemilihan bahan baku gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi
tulang ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen didalamnya yaitu 5,64 –
31,39% dari total protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83% dari total protein
(Prayitno, 2007).
Dalam memproduksi atau membuat makanan banyak bahan-bahan
tambahan yang digunakan untuk meningkatkan mutu makanan tersebut, baik dari
segi rasa, tekstur maupun warna. Zat tambahan dalam proses pembuatan gelatin
yang bersifat alami kemungkinan dampak negatifnya tidak begitu banyak,
biasanya dilihat halal atau tidaknya sumber zat tersebut. Meskipun demikian,
beberapa senyawa kimia yang digunakan dalam proses ekstraksi gelatin tulang
ayam seperti asam klorida, asam sulfat dan natrium hidroksida merupakan
senyawa toksik. Proses pembuatan gelatin tulang ayam dengan zat kimia tersebut
2
kemungkinan mempunyai dampak negatif lebih banyak dan perlu dosis/takaran
penggunaan maksimalnya serta tidak menutup kemungkinan akan memberikan
efek fisiologis bagi manusia sebagai konsumen.
Oleh karena itu, diperlukan suatu alat atau obyek tertentu untuk dapat
digunakan sebagai subyek dalam penelitian, diantaranya adalah dengan
menggunakan hewan uji yaitu mencit (Mus musculus). Pemberian gelatin tulang
ayam dilakukan melalui oral, untuk mendapatkan gambaran yang paling
mendekati dengan proses pencernaan dalam tubuh manusia, dengan pemilihan
organ hati dan ginjal sebagai organ target dilakukan berdasarkan fungsi organ
tersebut dalam proses pencernaan. Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengkaji status keamanan dari gelatin tulang ayam
dan melihat pengaruh pemberian gelatin tulang ayam terhadap gambaran
makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal pada mencit (Mus musculus), yang
diharapkan dapat memberikan gambaran seberapa besar pengaruh apabila gelatin
dikonsumsi oleh manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gelatin
tulang ayam pada organ hati dan ginjal sebagai organ yang berfungsi untuk
detoksifikasi dan ekskresi. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai sumber
informasi ilmiah terkait dengan pengaruh pemberian gelatin tulang ayam terhadap
gambaran makroskopis dan mikroskopis hati dan ginjal yang menggunakan
mencit (Mus musculus) sebagai hewan uji.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Gelatin
Gelatin adalah protein yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang
terdapat pada kulit, tulang dan jaringan ikat. Istilah gelatin mulai populer kira-kira
tahun 1700 dan berasal dari bahasa latin “gelatus” yang berarti kuat/kokoh atau
dibuat beku secara fisik gelatin membeku atau dibuat beku. Secara fisik gelatin
berbentuk padat, kering, tidak berasa dan transparan. Walaupun istilah gelatin
kadang-kadang digunakan mengacu pada pembentuk-pembentuk gel lain, ini
hanya digunakan untuk bahan-bahan protein yang diperoleh dari kolagen (Imeson,
1992). Komposisi asam amino gelatin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Asam Amino Gelatin
Jenis Asam Amino Jumlah (%)
Glisin 26,4 – 30,5
Prolin 14,0 – 18,0
Hidroksiprolin 13,3 – 14,5
Asam glutamate 1,1 – 11,7
Alanin 8,6 – 11,3
Sumber : Grobben et al., 2004.
Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu proses asam dan proses basa. Pembuatan gelatin dengan proses asam
menggunakan larutan asam anorganik seperti asam klorida (HCl) dan asam fosfat
(H3PO4) yang sering disebut sebagai gelatin tipe A sedangkan pembuatan gelatin
dengan proses basa yaitu perendaman dalam air kapur atau proses alkali dan
gelatin yang dihasilkan adalah gelatin tipe B (Imeson, 1992).
4
Proses asam adalah salah satu alternatif pembuatan gelatin dari tulang, yang
mempunyai beberapa kelebihan antara lain persiapan bahan baku hanya
memerlukan waktu singkat (berbeda dengan proses basa) karena asam mampu
mengubah serat kolagen tripel heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan pada
proses basa dihasilkan rantai ganda. Protein kolagen ini secara ilmiah dapat “di
tangkap” untuk dikonversi menjadi gelatin. Gelatin secara kimiawi diperoleh
melalui rangkaian proses hidrolisis kolagen yang terkandung dalam kulit (Ward
dan Courts, 1977).
Gelatin mengandung asam amino non essensial yaitu asam glutamat yang
tinggi yang sangat penting peranannya dalam pengolahan makanan, karena dapat
menimbulkan cita rasa yang lezat. Selanjutnya dijelaskan bahwa secara fisik
gelatin dapat berbentuk bubuk, pasta maupun lembaran gelatin. Gelatin yang
berbentuk lembaran dan butiran sebelum digunakan perlu direndam terlebih
dahulu, sedangkan gelatin yang berbentuk bubuk langsung digunakan. Produk
gelatin murni mempunyai sifat tidak berasa, tidak berbau dan memiliki warna
sedikit kuning (Poppe, 1992).
Pada umumnya gelatin banyak dimanfaatkan dalam berbagai macam
industri seperti industri pangan yang membutuhkan gelatin dalam pembuatan
jelly, es krim, roti, saus, produk daging dan produk olahan susu. Pada industri
kosmetik gelatin dimanfaatkan dalam pembuatan lipstik, shampo, krim pelindung
kulit dari sinar matahari dan lotion, selain itu industri farmasi juga menggunakan
gelatin sebagai bahan baku kapsul atau pembungkus tablet obat. Pemanfaatan
gelatin juga digunakan oleh industri fotografi sebagai pengikat bahan peka
5
cahaya, pembawa dan pelapis zat warna film, serta bahan industri lainnya (Poppe,
1992).
Pemanfaatan gelatin dalam dunia industri dikarenakan gelatin memiliki
kemampuan sebagai penstabil dan pengemulsi produk-produk pangan. Gelatin
sebagai fungsi penstabil artinya gelatin dapat membuat atau mencampur minyak
dan air rnenjadi campuran yang merata. Penstabil, artinya campuran tersebut
stabil atau tidak pecah selama penyimpanan (Yuniarifin dkk., 2006).
Gelatin juga mempunyai daya pembentukan gel yang cukup tinggi dan
bersifat heat reversible artinya gel yang sudah terbentuk akan dapat larut kembali
pada pemanasan. Sifat secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu
dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutu gelatin. Standar mutu gelatin
menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2 (Standar Nasional Indonesia (SNI), 1995).
Tabel 2. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No.06-3735-1995.
Karakteristik Syarat
Warna Tidak berwarna
Bau, rasa Normal (dapat diterima konsumen)
Kadar air Maksimum 16%
Kadar abu Maksimum 3,25%
Logam berat Maksimum 50 mg/kg
Arsen Maksimum 2 mg/kg
Tembaga Maksimum 30 mg/kg
Seng Maksimum 100 mg/kg
Sulfit Maksimum 1000 mg/kg
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1995).
Proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahapan. Tahap pertama
yaitu persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen,
6
tahap kedua merupakan tahap konversi kolagen menjadi gelatin dan tahap ketiga
adalah pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan (Haris, 2008).
Tahapan pertama dimulai dengan pembersihan bahan baku segar.
Martianingsih dan Atmaja (2009) menyatakan bahwa fungsi dari bahan baku
adalah untuk menghilangkan komponen non kolagen terutama lemak. Adanya
lemak pada bahan baku akan mengganggu proses hidrolisis (Yuniarifin dkk.,
2006).
Proses selanjutnya yaitu pelonggaran kolagen yang terdapat di dalam bahan
baku dengan bahan curing. Setelah terjadi penggolongan kolagen selanjutrnya
dilakukan ekstraksi untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Haris (2008)
dalam penelitiannya menggunakan suhu ekstraksi 85oC selama 6 jam sedangkan
Yuniarifin dkk., (2006) menggunakan ekstraksi bertahap pada suhu 65oC, 75
oC,
dan 85oC selama 24 jam. Suhu dan waktu ekstraksi sangat dipengaruhi oleh jenis
bahan baku yang digunakan, semakin banyak jumlah kolagen di dalam bahan
maka suhu yang dibutuhkan untuk memaksimalkan proses ekstraksi juga semakin
lama.
Tahapan terakhir dalam pembuatan gelatin adalah penyaringan dan
pengeringan. Martianingsih dan Atmaja (2009) dalam penelitiannya menggunakan
kain katun berlapis empat sebagai penyaring. Hasil dari penyaringan kemudian
dikeringkan pada suhu 50oC selama 24 jam.
Manfaat gelatin dan jenis-jenis produk yang menggunakannya.
Gelatin sangat penting dalam rangka diversifikasi bahan makanan, karena
nilai gizinya yang tinggi yaitu kadar protein khususnya asam amino dan
7
rendahnya kadar lemak. Gelatin kering mengandung kira-kira 84 – 86 % protein,
8 – 12 % air dan 2 – 4 % mineral. Dari 10 asam amino essensial yang dibutuhkan
tubuh, gelatin mengandung 9 asam amino essensial, satu asam amino essensial
yang hampir tidak terkandung dalam gelatin yaitu triptofan (Andun, 2011).
Menurut Andun (2011), fungsi-fungsi gelatin dalam berbagai contoh jenis
produk yang biasa menggunakannya antara lain :
a. Jenis produk pangan secara umum: berfungsi sebagai zat pengental,
penggumpal, membuat produk menjadi elastis, pengemulsi, penstabil,
pembentuk busa, pengikat air, pelapis tipis dan pemerkaya gizi.
b. Jenis produk daging olahan: berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air,
konsistensi dan stabilitas produk sosis, kornet, ham dan lain-lain.
c. Jenis produk susu olahan: berfungsi untuk memperbaiki tekstur, konsistensi
dan stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu
asam, keju cottage dan lainnya.
d. Jenis produk bakery: berfungsi untuk menjaga kelembaban produk, sebagai
perekat bahan pengisi pada roti-rotian dan lainnya.
e. Jenis produk minuman: berfungsi sebagai penjernih sari buah (juice), bir dan
wine.
f. Jenis produk buah-buahan: berfungsi sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah
sehingga terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk
menjaga kesegaran dan keawetan buah.
8
g. Jenis produk permen dan produk sejenisnya: berfungsi untuk mengatur
konsistensi produk, mengatur daya gigit dan kekerasan serta tekstur produk,
mengatur kelembutan dan daya lengket di mulut.
Kerugian dari gelatin :
Menurut Andun (2011), kerugian dari gelatin antara lain sebagai berikut:
a. Gelatin yang berasal dari kulit babi memiliki kandungan lemak 0,29 % lebih
besar dibandingkan gelatin yang berasal dari tulang hewan non mamalia (ikan)
yaitu sebesar 0,21 %.
b. Gelatin yang berasal dari tulang kulit sapi dimungkinkan adanya prion
penyebab penyakit sapi gila (Mad Cow Disease) yang dimana prion tersebut
berpengaruh terhadap kesehatan konsumen.
B. Tinjauan Umum Tulang Ayam
Tulang merupakan bagian dari sistem rangka pada manusia atau hewan
yang fungsinya meliputi tiga hal penting, yaitu sebagai pelindung organ internal,
sebagai elemen gerak serta sebagai tempat menempelnya otot-otot sehingga dapat
bekerja sebagaimana mestinya. Tulang dimasukkan dalam kelompok jaringan
ikat. Seperti jaringan ikat yang lain, tulang tersusun dari sel-sel dan matriks
organik ekstraseluler yang berbentuk serat-serat, serta zat-zat lain yang diproduksi
oleh sel (ground substance) (Arifvianto, 2007). Serat-serat itulah yang dinamakan
kolagen. Kolagen inilah yang apabila dihidrolisa akan terkonversi menjadi gelatin
(Meyer, 1960).
Unsur penyusun tulang adalah kalsium fosfat (93%) bahan mineral dan
sisanya sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat (2%) dan magnesium fosfat
9
(5%) (Hadi, 2005). Secara umum komposisi komponen tulang ayam, dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Komponen Tulang Ayam.
Komponen Kandungan (%)
Air 1,8 – 44,3
Lemak 1,2 – 26,9
Kolagen 15,8 – 32,8
Zat anorganik 28,0 – 56,3
Sumber : Soengkawati (1979).
Ayam memiliki tulang yang kuat dengan susunan partikel tulang yang
meliputi tengkorak, tulang lengan, tulang selangka, tulang pinggang dan tulang
kemudi dengan tulang pernapasan. Tulang mengandung sel-sel hidup dan matrik
intraseluler yang diliputi garam mineral (Septriansyah, 2000).
Menurut Harjana (2011), Struktur umum jaringan tulang terdiri dari matrik
tulang, bahan intersel yang mengalami klasifikasi, sel tulang (osteosit) yang
terdapat dalam rongga (lakuna) pada matrik, osteoblas yang berperan untuk
sintesis bahan organik matrik tulang, serabut kolagen dan glikoprotein serta
osteoklas; sel raksasa yang berperan untuk perombakan matrik tulang dan
perubahan bentuk jaringan tulang.
C. Tinjauan Umum Hati (Hepar)
Hati adalah organ sentral dalam metabolisme di tubuh, yang memiliki
peranan penting dalam mentransformasikan zat-zat biologis yang mungkin
bersifat racun pada kadar tinggi atau yang tidak dapat diekskresi dari tubuh tanpa
transformasi. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan, sebagian besar
10
obat, dan toksikan. Toksikan dapat mengalami detoksifikasi, tetapi banyak juga
toksikan yang dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik (Sherwood, 2001).
Hati terletak di dalam rongga perut dengan permukaan bagian atasnya
cembung dan melekat ke diafragma. Sedangkan pada bagian bawah,
permukaannya cekung dan bersentuhan dengan organ lambung duodenum. Pada
bagian bawah permukaan hati terdapat pembuluh darah masuk (vena porta dan
arteri hepatika) dan duktus hepatikus kiri dan kanan yang keluar dari organ ini di
daerah yang disebut porta hepatis. Pembuluh darah vena dari bagian caudal yaitu
vena cava inferior melekat pada bagian ini (Putz dan Pabst, 1999 dalam Rita,
2008).
Hati memiliki dua sumber suplai darah yaitu: dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati sangat
penting untuk mempertahankan hidup dan berperan dalam beberapa fungsi
metabolik tubuh, seperti metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Oleh karena
itu, perlu dilakukan berbagai pemeriksaan terhadap fungsi hati. Toksikan dapat
menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada hati. Kerusakan hati dapat berupa
perlemakan hati, nekrosis hati, kolestasis dan sirosis (Price dan Wilson, 2005).
Hati/hepar bervariasi baik lokasi maupun jumlah lobusnya dari satu spesies
hewan ke spesies hewan lain. Hepar mencit (Mus musculus) memiliki empat lobus
utama yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya
pada bagian dorsal ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan, yakni ; sebuah
lobus median, duo lobus lateral (kiri dan kanan) dan satu lobus caudal yang
terbagi setengah dibagian dorsal dan setengah lainnya dibagian ventral.
11
Sedangkan manusia memiliki hepar dengan dua lobus utama, yakni lobus kanan
dan kiri yang masing-masing terdiri dari dua segmen. Lobus kanan dibagi
menjadi segmen anterior dan posterior. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial
dan lateral. Segmen median terbagi menjadi dua bagian, satu lobus quadratus dan
caudatus (Hage, 1982 dalam Rita, 2008).
Gambar 1. Lobus pada Hati
Diketahui hepar merupakan organ pertama yang dicapai oleh obat-obatan
dan zat lain yang diabsorpsi usus melalui vena porta, sehingga disebutkan bahwa
hepar adalah tempat utama metabolisme dan detoksifikasi obat. Penumpukan
bahan-bahan toksik dalam parenkim hati dapat melukai sel hepatosit dan
menyebabkan terjadinya perubahan histopatologis yang bervariasi (Himawan,
1992).
Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
jenis zat kimia, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut seperti
akut, subkronik atau kronik. Semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa yang
diberikan maka respon toksik yang ditimbulkan semakin besar. Kerusakan hepar
dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan.
12
Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis atau timbulnya disfungsi
hepar secara perlahan-lahan (Amalina, 2009).
Menurut Robins dan Kumar (1992), kerusakan hepar akibat senyawa kimia
ditandai dengan lesi biokimiawi yang memberikan rangkaian perubahan fungsi
dan struktur. Beberapa perubahan struktur hepar akibat senyawa kimia yang dapat
tampak dalam pengamatan mikroskopis seperti, radang, fibrosis, degenerasi dan
nekrosis. Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organime hidup. Inti sel
yang mati terlihat lebih kecil, kromatin dan serabut retikuler menjadi berlipat-
lipat. Inti menjadi lebih padat dan kemudian sel menjadi eosinofilik (kariolisis).
D. Tinjauan Umum Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang yang terdiri dari sekitar satu juta nefron.
Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan
homeostasis dengan mengatur volume dan komposisi plasma, terutama elektrolit
dan air. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa
dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan nonelektrolit, serta
mengekskresi kelebihannya sebagai urin (Price dan Wilson, 2005).
Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing-masing
di sisi kanan dan kiri columna vertebralis, ginjal kanan terletak sedikit lebih
rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Masing-masing
ginjal memiliki facies anterior dan facies posterior, margo medialis dan margo
lateralis, ekstremitas superior dan inferior (Rita, 2008).
Ginjal menjadi organ sasaran utama dari efek toksik karena peranannya
dalam mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui sel
13
tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Efek toksikan yang ditunjukkan
dapat beragam, mulai dari perubahan biokimia sampai dengan kematian sel, yang
umumnya muncul sebagai perubahan fungsi ginjal sampai dengan gagal ginjal
(Lu, 1995 dalam Fitri, 2011).
Epitel ginjal merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan toksik.
Bahan toksik yang biasanya masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut dapat
menimbulkan perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi lemak
dan nekrosa. Tingkat perubahan organ tergantung dari sifat zat toksik (Smith et
al., 1974 dalam Mu’nisa dkk., 2012).
Menurut Misna (2012), ginjal terdiri dari tiga bagian utama yaitu:
a. korteks (bagian luar)
b. medulla (sumsum ginjal)
c. pelvis renalis (rongga ginjal).
Gambar 2. Struktur Ginjal
Bagian korteks ginjal mengandung banyak sekali nefron ± 100 juta sehingga
permukaan kapiler ginjal menjadi luas, akibatnya perembesan zat buangan
14
menjadi banyak. Setiap nefron terdiri atas badan Malphigi dan tubulus (saluran)
yang panjang. Pada badan Malphigi terdapat kapsul Bowman yang bentuknya
seperti mangkuk atau piala yang berupa selaput sel pipih. Kapsul Bowman
membungkus glomerulus yang berbentuk jalinan kapiler arterial. Tubulus pada
badan Malphigi adalah tubulus proksimal yang bergulung dekat kapsul Bowman
yang pada dinding sel terdapat banyak sekali mitokondria dan tubulus yang kedua
adalah tubulus distal. Menurut Misna (2012), di dalam ginjal terjadi rangkaian
proses filtrasi, reabsorbsi dan augmentasi.
1. Penyaringan (filtrasi)
Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada
glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga
mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses
penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitias yang tinggi pada
glomerulus.
Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel
darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil
terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, garam lain dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari
endapan.
Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer)
yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada
filtrat glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium
dan garam-garam lainnya.
15
2. Penyerapan kembali (reabsorbsi)
Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu,
99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus
proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus
distal. Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam dan bahan lain pada filtrat
dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter
air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi
beberapa kali.
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder
yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-
zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-
zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03 %
dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder. Meresapnya zat pada
tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa
difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada
tubulus proksimal dan tubulus distal.
3. Augmentasi (sekresi)
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi
di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah
96% air, 1,5% garam, 2,5% urea dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu
yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin.
16
E. Uji Toksisitas dan Hewan Uji (Mus musculus)
Toksisitas dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menandakan adanya
efek toksik atau racun yang terdapat pada suatu bahan sebagai sediaan dosis
tunggal atau campuran (Hodgson, 2010). Uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu
uji toksisitas umum (akut, subkronis, kronis) dan uji toksisitas khusus. Uji
toksisitas umum dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu
obat pada hewan uji. Uji toksisitas khusus dirancang untuk mengevaluasi dengan
rinci tipe toksisitas secara khusus, seperti uji teratogenik, uji mutagenik dan uji
karsinogenik (Lu, 1995 dalam Fitri, 2011).
Pengujian toksisitas umum, dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan
lama uji berlangsung, yaitu uji toksisitas akut yang dilakukan dengan memberikan
obat sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam; uji toksisitas subkronis
merupakan uji toksisitas jangka pendek yang dilakukan dengan memberikan
bahan obat secara berulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama
jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; uji toksisitas kronik
merupakan uji toksisitas jangka panjang yang dilakukan dengan memberikan
bahan obat berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa
hidupnya (Loomis, 2001).
Penggunaan hewan percobaan untuk uji coba obat/bahan kimia terus
berkembang hingga kini. Kegunaan hewan percobaan tersebut antara lain sebagai
pengganti dari subyek yang diinginkan, sebagai model, di samping itu di bidang
farmasi juga digunakan sebagai alat untuk mengukur besaran kualitas dan
kuantitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia (Alim, 2013).
17
Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan
model laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Mencit banyak
digunakan sebagai hewan laboratorium (khususnya digunakan dalam penelitian
biologi), karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti siklus hidup relatif
pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah
ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya mirip hewan lain,
seperti sapi, kambing, domba dan babi. Mencit dapat hidup mencapai umur 1-3
tahun tetapi terdapat perbedaan usia dari berbagai galur terutama berdasarkan
kepekaan terhadap lingkungan dan penyakit (Malole dan Pramono, 1989).
Menurut Alim (2013), klasifikasi dari mencit (Mus musculus) sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Myoimorphia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit harus diberikan makanan dengan kualitas tetap karena perubahan
kualitas dapat menyebabkan penurunan berat badan dan tenaga. Seekor mencit
dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3-5 gram setiap hari. Mencit yang bunting
dan menyusui memerlukan pakan yang lebih banyak. Jenis ransum yang dapat
diberikan untuk mencit adalah ransum ayam komersial (Smith, 1988).
18
Kandungan protein ransum yang diberikan minimal 16%. Kebutuhan zat-zat
makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20-
25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati 44-55%, kadar serat kasar maksimal 4%
dan kadar abu 5-6% (Smith, 1988).
Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk sehari berkisar
antara 4-8 ml. Seekor mencit mudah sekali kehilangan air sebab evaporasi
tubuhnya tinggi. Konsumsi air minum yang cukup akan digunakan untuk
stabilitas suhu tubuh dan untuk melumasi pakan yang dicerna. Air minum juga
dibutuhkan untuk menekan stress pada mencit yang dapat memicu kanibalisme
(Malole dan Pramono, 1989).
Hewan percobaan yang dipelihara untuk tujuan penelitian, umumnya
berada dalam suatu lingkungan yang sempit dan terawasi. Walaupun
kehidupannya diawasi, namun diusahakan agar proses fisiologis dan reproduksi
termasuk makan, minum, bergerak dan istirahat tidak terganggu. Hewan
percobaan ditempatkan dalam kandang-kandang yang disusun pada rak-rak dalam
suatu ruangan khusus. Kandang harus dirancang untuk dapat memberikan
kenyamanan dan kesejahteraan bagi hewan tersebut (Anggorodi, 1973).
Mencit jantan dan betina muda sukar untuk dibedakan. Mencit betina dapat
dikenali karena jarak yang berdekatan antara lubang anus dan lubang genitalnya.
Testis mencit jantan pada saat matang seksual terlihat sangat jelas, berukuran
relatif besar dan biasanya tidak tertutup oleh rambut (Muliani, 2011).
19
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2015,
bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Sisa Hasil Ternak (Lab.
TPSHT) Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar dan untuk
pengujian makroskopis dan mikroskopis bertempat di Balai Besar Veteriner (BB-
Vet) Maros.
B. Materi Penelitian
Pada penelitian ini digunakan satu jenis hewan uji yaitu mencit putih jantan
(Mus musculus) galur Balb/C, umur 2-3 bulan dengan bobot badan berkisar antara
20 sampai 25 gram berjumlah 30 ekor. Bahan yang digunakan yaitu gelatin tulang
ayam, akuades, air mineral dan pakan komersial (sebagai pakan mencit).
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu untuk pengujian
menggunakan perlengkapan pemeliharaan mencit (kandang modifikasi, wadah
pakan, tempat minum, sonde, timbangan digital), gelas ukur, spoit injeksi, jarum
oral no.14, kamera dan waterbath.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan metode
deskriptif, dengan perlakuan sebagai berikut.
Kelompok dosis gelatin :
A : 0 mg/kg BB (kontrol negatif) D : 500 mg/kg BB
B : 5 mg/kg BB E : 5000 mg/kg BB
C : 50 mg/kg BB
20
Parameter yang diuji :
A : Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati Mencit
B : Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Ginjal Mencit
D. Prosedur Penelitian
Pemilihan dan Penyiapan Hewan Uji :
Hewan uji yang digunakan yaitu mencit (Mus musculus) jantan yang
berbadan sehat sebanyak 30 ekor dengan bobot badan 20-25 gram. Sebelum
perlakuan, mencit diaklimatisasi atau diadaptasikan selama 1 minggu dengan
pemberian pakan komersial dan air minum secara ad libitum.
Pemeliharaan mencit dilakukan dalam kandang modifikasi berupa bak
plastik berukuran panjang 18 cm, lebar 12 cm dan tinggi 15 cm yang ditutup
dengan penutup kawat dan ditempatkan lagi dalam kandang berukuran besar yaitu
berukuran 1 X 1 m. Meskipun ditempatkan diluar ruangan tetapi pengawasannya
tetap terkontrol, dengan intesitas cahaya 12 jam terang dan 12 jam gelap. Mencit
dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, tiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit.
Kelompok A sebagai kontrol, kelompok B – E sebagai kelompok perlakuan.
Perlakuan Terhadap Hewan Uji :
Hewan dalam satu kelompok perlakuan ditempatkan dalam 3 kandang
modifikasi yang terdiri dari 2 ekor mencit satu kandangnya dan diberi pakan
komersial sebanyak 15 gr/hari dan air minum 50 ml/hari. Sebelum diberikan
suspensi gelatin, mencit dipuasakan selama 2 – 3 jam. Pemberian suspensi gelatin
secara oral dengan menggunakan sonde diberikan 1 kali/minggu selama 30 hari
(4 kali selama 1 bulan). Kelompok A sebagai kontrol yang cuma diberikan
21
akuades secara oral, kelompok B – E diberi suspensi gelatin dengan dosis yang
bersesuaian dengan 5 mg/kg BB, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB dan 5000 mg/kg
BB. Perhitungan dosis hewan uji (faktor konversi mencit yaitu 0,0026) :
A. 0 mg/kg BB (kontrol negatif yang hanya diberikan akuades).
B. 5 mg/kg BB X 0,0026 = 0,013 mg/20 gr bb mencit (dilarutkan dalam 100
ml akuades).
C. 50 mg/kg BB X 0,0026 = 0,13 mg/20 gr bb mencit (dilarutkan dalam 100
ml akuades).
D. 500 mg/kg BB X 0,0026 = 1,3 mg/20 gr bb mencit (dilarutkan dalam 100
ml akuades).
E. 5000 mg/kg BB X 0,0026 = 13 mg/20 gr bb mencit (dilarutkan dalam 100
ml akuades).
Mencit dengan bobot standar 20 gr jumlah gelatin yang diberikan masing-
masing sebanyak 1 ml pada kelompok perlakuan. Setiap minggu dilakukan
penimbangan berat badan mencit untuk penyesuaian berat bahan uji yang
diberikan. Pemberian gelatin tulang ayam dilakukan melalui oral, hal tersebut
untuk mendapatkan gambaran yang paling mendekati dengan proses pencernaan
dalam tubuh manusia, dengan terlebih dahulu serbuk gelatin dilarutkan dalam
akuades yang telah dipanaskan sebanyak 100 ml untuk tiap dosis perlakuan yang
diberikan.
Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis :
Pengamatan makroskopis dan mikroskopis dilakukan pada akhir masa uji
yaitu pada hari ke-30, dengan mengambil 2 ekor mencit secara acak disetiap
perlakuannya. Pengamatan makroskopis hati dan ginjal mencit meliputi warna,
permukaan dan konsistensi. Pembuatan preparat histologi dengan pewarnaan
22
Hematoxylin Eosin (HE) dan penginterpretasian data kerusakan organ dilakukan
bekerjasama dengan Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Maros. Menurut Mu’nisa
dkk., (2012) prosedur pengujian histologi secara sederhana yaitu sebagai berikut :
1) Pembuatan Preparat Histologi
Organ hati dan ginjal difiksasi dengan larutan formalin kemudian
dimasukkan dalam alkohol 70%. Setelah itu dipotong-potong dan dimasukkan
dalam tissue cassette untuk melewati proses dehidrasi dalam seri alkohol
bertingkat yaitu mulai dari alkohol 80% sampai alkohol absolut. Penjernihan
jaringan hati dilakukan dalam xylol lalu di-embedding dalam parafin. Blok
jaringan dipotong menggunakan mikrotom (5 μm) dan potongan jaringan
dilekatkan pada gelas objek.
2) Pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)
Pewarnaan Hematoxylin Eosin dilakukan untuk mengamati struktur
umum jaringan. Tahapan yang dilakukan dalam pewarnaan ini dimulai
dengan deparafinisasi, yaitu penghilangan parafin dengan memasukkan preparat
ke dalam seri larutan xylol III, II, I. Tahap selanjutnya adalah rehidrasi, yaitu
dengan memasukkan preparat ke dalam seri larutan alkohol absolut sampai
alkohol 70%. Preparat direndam dalam air keran, kemudian dalam akuades.
Preparat diwarnai dengan pewarna hematoxylin dilanjutkan lagi dengan
perendaman dalam aquadest. Setelah itu, preparat diwarnai menggunakan eosin
alkohol diikuti perendaman kembali dalam akuades. Kemudian dilakukan proses
dehidrasi dengan alkohol bertingkat serta penjernihan (clearing) dengan
menggunakan xylol. Sediaan ditutup dengan cover glass (mounting).
23
Gambaran hati mencit
Gambar 3. Diagram Alir Prosedur Penelitian
Gelatin Tulang Ayam
(dilarutkan dengan akuades yang
sudah dipanaskan sebanyak 100 ml)
Dosis Perlakuan :
A. 0 mg/kg BB (kontrol negatif)
B. 5 mg/kg BB
C. 50 mg/kg BB
D. 500 mg/kg BB
E. 5000 mg/kg BB
Pengujian makroskopis
dan mikroskopis
Gambaran ginjal mencit
Hewan uji : Mencit (Mus musculus),
gelatin diberikan secara oral
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Makroskopis Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil seperti
pada Tabel 4.
Tabel 4. Morfologi Hati dan Ginjal Mencit setelah Diberi Perlakuan
Kelompok Morfologi Hati dan Ginjal
Warna Permukaan Konsistensi
A (0mg/kg BB) Merah Kecoklatan Licin Kenyal
B (5mg/kg BB) Merah Pucat Licin Kenyal
C (50mg/kg BB) Merah Kehitaman Licin Kenyal
D (500mg/kg BB) Merah Kehitaman Licin Kenyal
E (5000mg/kg BB) Merah Kehitaman Licin Kenyal
(A) (B) (C) (D) (E)
Gambar 4. Gambaran Hati Mencit secara Makroskopis
(A) (B) (C) (D) (E)
Gambar 5. Gambaran Ginjal Mencit secara Makroskopis
25
Dari hasil pengamatan terhadap gambaran morfologi hati dan ginjal
(Gambar 4 dan 5) menunjukkan bahwa pada perlakuan A (kontrol) tidak
ditemukan adanya perubahan warna yang menandakan hati dan ginjal tersebut
normal. Sebaliknya, pada perlakuan B - E (5 mg/kg BB - 5000 mg/kg BB) mulai
terlihat perubahan warna dari pucat sampai merah kehitaman yang menandakan
bahwa hati dan ginjal tersebut abnormal. Permukaan hati dan ginjal terlihat licin
(normal) pada semua kelompok perlakuan. Konsistensi hati dan ginjal normal
pada semua perlakuan yaitu kenyal atau tidak mengalami perubahan selama
penelitian. Hal ini sesuai pendapat Robins dan Kumar (1992), yang menyatakan
bahwa hati yang normal memiliki permukaan rata dan halus serta berwarna merah
kecoklatan, sedangkan hati yang abnormal memiliki permukaan berbintik-bintik,
terdapat kista dan mengalami perubahan warna. Menurut Rita (2008), hati dan
ginjal yang normal berwarna merah kecoklatan, permukaannya licin dan
konsistensinya kenyal.
Perbedaan dosis gelatin tulang ayam yang diberikan dengan intensitas
pemberian yang cukup lama juga dapat berpengaruh terhadap kondisi morfologi
hati dan ginjal. Menurut Astuti dkk., (2006), jika intensitas paparan suatu zat
terhadap suatu organ ditingkatkan maka akan menimbulkan perubahan morfologis
dan fungsi, perubahan tersebut umumnya bersifat reversible.
26
B. Gambaran Mikroskopis Hati Mencit (Mus musculus)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil
pengamatan struktur histologi hati mencit (Mus musculus) seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Struktur Histologis Hati Mencit (Mus musculus)
setelah Pemberian Gelatin Tulang Ayam Secara Peroral.
No. Kelompok Perlakuan Perubahan/Jenis kerusakan
1. A (0mg/kg BB) Tidak ada kerusakan (normal)
2. B (5mg/kg BB) Nekrosa pada sel hepatosit dan hemoragi
3. C (50mg/kg BB) Pelebaran pembuluh darah dan terisi fibrin,
makrofag pada sel focal
4. D (500mg/kg BB) Hemoragi dan nekrosa pada sel hepatosit
5. E (5000mg/kg BB) Infiltrasi sel radang, degenerasi hidropik,
fibrin dan makrofag
Hasil pengamatan histologis hati mencit menunjukkan bahwa pada
kelompok A (Gambar 6) kontrol tidak mengalami perubahan/kerusakan dan pada
perlakuan B (Gambar 7) terdapat nekrosa pada sel hepatosit dan terjadi hemoragi.
Pada kelompok perlakuan C (Gambar 8) terdapat perubahan berupa pelebaran
pembuluh darah dan terisi fibrin, sekaligus terdapat makrofag pada sel focal. Pada
kelompok perlakuan D (Gambar 9) terdapat kerusakan berupa hemoragi dan
nekrosis pada sel hepatosit, sedangkan pada kelompok perlakuan E (Gambar 10)
terdapat kerusakan berupa infiltrasi radang, degenerasi hidropik, fibrin dan
makrofag. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6-10.
27
Gambar 6. Struktur histologi hati mencit kelompok A (kontrol) dengan
(pembesaran 100x). Ket : Vena centralis normal (kuning),
Hepatosit normal (hijau).
Gambar 7. Struktur histologi hati mencit kelompok B (5mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Nekrotik hepatosit di sekitar vena centralis (kuning),
Terjadi hemoragi (hijau).
28
Gambar 8. Struktur histologi hati mencit kelompok C (50mg/kg BB) dengan
(pembesaran 100x). Ket : Fibrin (kuning),
Makrofag pada sel focal (hijau).
Gambar 9. Struktur histologi hati mencit kelompok D (500mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Hemoragi (kuning),
Nekrotik (hijau)
Vena centralis (biru)
29
Gambar 10. Struktur histologi hati mencit kelompok E (5000mg/kg BB) dengan
(pembesaran 400x). Ket: Fibrin (kuning),
Infiltrasi sel radang (hijau),
Terjadi degenerasi hidropik (biru),
Makrofag (merah).
Hasil pengamatan terhadap hati mencit yang diberikan perlakuan gelatin
tulang ayam dengan dosis 5 mg/kg BB, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5000
mg/kg BB (Gambar 7-10) menunjukkan adanya perubahan/kerusakan pada sel
hepatosit baik berupa nekrosa, hemoragi, makrofag sampai infiltrasi sel radang.
Pada kelompok kontrol yang tidak diberi gelatin tulang ayam tidak terjadi
perubahan/kerusakan pada struktur histologi hati mencit (Mus musculus) jantan.
Perubahan/kerusakan pada setiap perlakuan cenderung sama yaitu nekrosa,
hemoragi dan terdapat makrofag. Pada kelompok yang diberi gelatin tulang ayam
dengan dosis 5 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB mulai terlihat perubahan/kerusakan
berupa nekrosa pada sel hepatosit dan hemoragi. Nekrosis hati dapat terjadi secara
spontan pada hewan uji setelah pemberian agen terapeutik dosis tinggi, hal ini
30
disebabkan kemungkinan pengaruh langsung agen yang bersifat toksik seperti zat
kimia maupun toksin kuman. Hal ini sesuai dengan pendapat Ressang (1984),
yang menyatakan bahwa nekrosis hati bisa juga disebabkan oleh pengaruh
langsung agen yang bersifat toksik seperti zat kimia maupun toksin kuman
(nekrosis toksipatik), atau kardosena kekurangan faktor-faktor yang sangat
diperlukan sel seperti oksigen dan zat-zat makanan (nekrosi trofoatik).
Pada kelompok perlakuan 50 mg/kg BB terlihat kerusakan berupa pelebaran
pembuluh darah dan terisi fibrin, sekaligus terjadi makrofag pada sel focal.
Sedangkan pada kelompok perlakuan 5000 mg/kg BB terdapat kerusakan berupa
infiltrasi radang, degenerasi hidropik, fibrin dan makrofag. Kerusakan hepar
karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis zat kimia, dosis
yang diberikan, dan lamanya paparan zat tersebut seperti akut, subkronik atau
kronik. Semakin tinggi konsentrasi suatu senyawa yang diberikan maka respon
toksik yang ditimbulkan semakin besar. Menurut Amalina (2009), kerusakan
hepar dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau timbulnya
disfungsi hepar secara perlahan-lahan.
Beberapa perubahan struktur hepar akibat senyawa kimia yang dapat
tampak dalam pengamatan mikroskopis seperti, radang, fibrosis, degenerasi, dan
nekrosis. Hal ini sependapat dengan Robins dan Kumar (1992), yang menyatakan
bahwa kerusakan hepar akibat senyawa kimia ditandai dengan lesi biokimiawi
yang memberikan rangkaian perubahan fungsi dan struktur. Beberapa perubahan
struktur hepar akibat senyawa kimia yang dapat tampak dalam pengamatan
31
mikroskopis seperti, radang, fibrosis, degenerasi, dan nekrosis. Nekrosis adalah
kematian sel atau jaringan pada organime hidup.
Hepatotoksisitas akibat senyawa kimia merupakan komplikasi potensial
yang hampir selalu ada pada setiap senyawa kimia yang diberikan karena hepar
merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan bahan asing yang
masuk termasuk gelatin tulang ayam. Sebagaimana yang dinyatakan Robins dan
Kumar (1992) bahwa kerusakan sel hepar jarang disebabkan oleh suatu substansi
secara langsung, melainkan seringkali oleh metabolit toksik dari substansi yang
bersangkutan. Menurut Jayanti (2011), apabila proses metabolisme tidak berjalan
dengan normal, maka akan menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya adalah
penyakit yang terjadi di hepar. Sel-sel yang terdapat di hati akan terdeposit
sehingga akan mengalami perubahan.
Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis tulang
ayam yang diberikan maka perubahan/kerusakan hati yang ditimbulkan semakin
besar pula. Hal tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi oleh semakin tinggi
konsentrasi/dosis suspensi yang diberikan, sebagaimana pernyataan Rasyid dkk.,
(2011), bahwa dosis merupakan hal utama yang menentukan apakah suatu zat
kimia bersifat racun atau tidak.
32
C. Gambaran Mikroskopis Ginjal Mencit (Mus musculus)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil
pengamatan struktur histologi ginjal mencit (Mus musculus) seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Pengamatan Struktur Histologis Ginjal Mencit (Mus musculus)
setelah Pemberian Gelatin Tulang Ayam Secara Peroral.
No. Kelompok Perlakuan Perubahan/Jenis kerusakan
1. A (0mg/kg BB) Tidak ada kerusakan (normal)
2. B (5mg/kg BB) Hemoragi di sekitar tubulus dan nekrotik
tubulus, infiltrasi sel radang
3. C (50mg/kg BB) Kongesti, hemoragi, nekrotik tubulus dan
glomerulus
4. D (500mg/kg BB) Hemoragi dan nekrotik tubulus
5. E (5000mg/kg BB) Hemoragi tubulus dan glomerulus,
nekrotik
Gambaran mikroskopis ginjal mencit (Mus musculus) jantan selama
penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 – 15.
Gambar 11. Struktur histologi ginjal mencit kelompok A (Kontrol) dengan
(pembesaran 200x). Ket: Tubulus normal (kuning),
Capsula Bowman (Glomerulus) normal (hijau).
33
Gambar 12. Struktur histologi ginjal mencit kelompok B (5mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Hemoragi di sekitar tubulus (kuning),
Nekrotik tubulus (hijau),
Infiltrasi sel radang (biru).
Gambar 13. Struktur histologi ginjal mencit kelompok C (50mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Kongesti (kuning),
Hemoragi (hijau),
Nekrotik tubulus dan glomerulus (biru).
34
Gambar 14. Struktur histologi ginjal mencit kelompok D (500mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Hemoragi (kuning),
Nekrotik tubulus (hijau).
Gambar 15. Struktur histologi ginjal mencit kelompok E (5000mg/kg BB) dengan
(pembesaran 200x). Ket : Hemoragi tubulus dan glomerulus (kuning),
Nekrotik tubulus dan glomerulus (biru).
35
Hasil pengamatan struktur histologis ginjal diatas pada perlakuan kontrol / 0
mg/kg BB (Gambar 11) tidak terjadi perubahan/kerusakan. Pada perlakuan dosis 5
mg/kg BB (Gambar 12) mulai terlihat perubahan/kerusakan berupa hemoragi di
sekitar tubulus, nekrotik tubulus dan infiltrasi sel radang. Pada perlakuan dosis 50
mg/kg BB (Gambar 13) terdapat perubahan berupa kongesti, hemoragi, nekrotik
tubulus dan glomerulus. Pada perlakuan dosis 500 mg/kg BB (Gambar 14)
terdapat perubahan/kerusakan berupa hemoragi dan nekrotik tubulus, sedangkan
pada perlakuan dosis 5000 mg/kg BB (Gambar 15) atau dosis perlakuan tertinggi
terdapat perubahan/kerusakan berupa hemoragi tubulus dan glomerulus, serta
terjadi nekrotik.
Perubahan/kerusakan pada setiap perlakuan cenderung sama yaitu terjadi
hemoragi dan nekrosis di sekitar tubulus dan glomerulus. Menurut Sutjibto
(1998), kerusakan sel yang terjadi secara nekrosis dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu piknosis, kariolisis dan kariokinesis. Piknosis adalah pengerutan inti
sel sehingga inti terlihat lebih kecil dari ukuran normalnya dan biasanya sel yang
mengalami piknosis akan terlihat berwarna gelap. Kariolosis ditandai dengan
kosongnya sel karena nukleus yang hilang dari dalam sel, sehingga sel hanya
berupa rongga kosong atau bahkan bila kariolisis terjadi secara sempurna maka
sel tersebut sudah tidak akan terlihat lagi bila diamati. Kariokenesis adalah inti
yang pecah dan menjadi bagian-bagian yang kecil yang tersebar di sekitar tempat
sel tersebut berada sebelumnya.
Pada kelompok perlakuan 50 mg/kg BB (Gambar 13) terdapat
perubahan/kerusakan berupa kongesti. Kongesti merupakan istilah yang
36
menunjukkan kelebihan volume darah pada suatu bagian pembuluh darah. Hal ini
dapat terjadi karena terlalu banyak darah yang masuk ke arteri atau terlalu
kecilnya darah yang menuju vena. Hal ini sesuai pendapat Jones et al.,(1997)
yang menyatakan bahwa secara mikroskopis kongesti dicirikan dengan adanya
dilatasi pada dinding arteri atau kapiler yang disebabkan oleh banyaknya volume
darah pada bagian tersebut. Menurut Greaves (2000), kongesti adalah peningkatan
cairan pada suatu tempat yang terjadi karena proses pasif yang disebabkan
kegagalan aliran cairan keluar dari jaringan, misalnya pada kerusakan vena. Jika
dilihat secara visual maka daerah jaringan atau organ yang mengalami kongesti
akan berwarna lebih merah (ungu) dan secara mikroskopi kapiler-kapiler dalam
jaringan melebar penuh berisi darah. Terdapat dua mekanisme timbulnya
kongesti, yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah tersebut dan
penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah tersebut. Kongesti dapat
terjadi pada daerah yang mengalami peradangan.
Pada 500 mg/kg BB (Gambar 14) terdapat perubahan/kerusakan berupa
hemoragi dan nekrotik tubulus. Menurut Carlton (1995) dalam Mu’nisa dkk.,
(2012), nekrosa pada tubuli merupakan akibat dari keadaan ischemia atau karena
zat toksik yang masuk ke epitel tubuli. Respon sel epitel tubuli berupa degenerasi
yang kemudian dilanjutkan dengan nekrosa dan desquamasi sel. Epitel ginjal
merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan toksik. Bahan toksik yang
biasanya masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut dapat menimbulkan
perubahan pada ginjal berupa cloudy swelling, degenerasi lemak dan nekrosa.
Sedangkan pada perlakuan 5000 mg/kg BB (Gambar 15) dosis perlakuan tertinggi
37
terdapat hemoragi tubulus dan glomerulus, serta terjadi nekrotik. Menurut Carlton
(1995) dalam Mu’nisa dkk., (2012), glomerulus merupakan kapiler kompleks
yang mempunyai fungsi utama dalam filtrasi. Apabila terjadi kerusakan pada
glomerulus maka akan terganggu. Kerusakan glomerulus yang parah dapat
mengganggu sistem vaskular peritubular dan berpotensi untuk mengalirkan zat
racun ke tubuli. Sebaliknya, kerusakan yang parah pada tubuli akibat peningkatan
tekanan intra glomerulus dapat menyebabkan terjadinya atropi glomerulus.
Menurut Lu (1995) dalam Fitri (2011), ginjal menjadi organ sasaran dari
efek toksik karena peranannya dalam mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat,
membawa toksikan melalui sel tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Efek
toksikan yang ditunjukkan dapat beragam, mulai dari perubahan biokimia sampai
dengan kematian sel, yang umumnya muncul sebagai perubahan fungsi ginjal
sampai dengan gagal ginjal.
Pada penelitian ini perubahan/kerusakan yang terjadi secara mikroskopis
lebih banyak terdapat pada hati dibanding ginjal karena diketahui hati merupakan
organ pertama yang dicapai oleh obat-obatan dan zat lain yang diabsorpsi usus
melalui vena porta, sehingga disebutkan bahwa hati adalah tempat utama
metabolisme dan detoksifikasi obat. Hal ini sesuai pernyataan Lu (1994) dalam
Fitri (2011) yang menyatakan bahwa hati merupakan organ paling sering rusak,
karena metabolisme obat/berbagai senyawa terutama terjadi dalam hati sehingga
kemungkinan terjadinya kerusakan organ hati ini menjadi sangat besar. Apabila
proses metabolisme tidak berjalan dengan normal, maka akan menimbulkan
berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit yang terjadi di hati. Sel-sel yang
38
terdapat di hati akan terdeposit sehingga akan mengalami perubahan. Menurut
Bhara (2004), kerusakan hepar berhubungan erat dengan perdarahannya dan suatu
susunan unit yang lebih kecil yaitu asinus hepar, yang merupakan konsep terbaru
dari unit fungsional hepar terkecil. Hepatosit merupakan sel dengan bentuk
polihedral yang mempunyai permukaan 6 atau lebih, dengan membran sel yang
jelas dan inti bulat di tengah.
Hasil pengamatan perubahan/kerusakan yang terjadi pada hati maupun
ginjal kemungkinan disebabkan oleh proses dari pembuatan gelatin tulang ayam
tersebut, meskipun diketahui gelatin merupakan senyawa non toksik, sebagaimana
pernyataan dari Lefaux (1968) yang menyatakan bahwa gelatin merupakan
senyawa non toksik pada jumlah yang biasa digunakan secara normal. Dalam
jumlah besar, gelatin dapat menyebabkan pseudo-agglutinations dan fiksasi
protein darah pada jaringan. Pengaruh tersebut bersifat reversible, secara terus-
menerus akan dihilangkan dari tubuh melalui proses eliminasi. Menurut Nurilmala
dkk., (2006), penggunaan asam pada gelatin tulang ayam diduga bahwa masih ada
sisa-sisa asam yang digunakan pada saat proses demineralisasi masih terbawa
pada saat proses ekstraksi, yang akan mempengaruhi tingkat keasaman pada
gelatin yang dihasilkan.
Namun banyak faktor yang dapat menyebabkan kelainan pada histologi hati
mencit. Menurut Bateson (2001) dalam Rita (2008), yang menyatakan beberapa
penyebab yang dapat mengganggu fungsi hati adalah sebagai berikut :
a. Alkohol, minum alkohol terlalu banyak dapat mengakibatkan kerusakan
dan penyakit pada hati/hepar.
39
b. Infeksi, infeksi virus seperti hepatitis, demam kuning, dapat
menyebabkan kerusakan pada hati dan kadang-kadang mengakibatkan
gangguan kesehatan yang berlangsung lama.
c. Obat-obatan dan jamu.
d. Logam-logam berat.
Hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis gelatin tulang ayam yang diberikan
maka perubahan/kerusakan hati dan ginjal yang ditimbulkan semakin besar pula.
Menurut Rasyid dkk., (2011), hal tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi oleh
semakin tinggi konsentrasi/dosis suspensi, sebagaimana diketahui bahwa dosis
merupakan hal utama yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat racun atau
tidak. Meskipun hati mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan toksikan
dengan kapasitasnya yang lebih tinggi dalam proses biotransformasi toksikan.
Akan tetapi paparan oleh berbagai bahan toksik secara berlebih dapat
menyebabkan kerusakan hepar.
40
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Semakin tinggi dosis gelatin tulang ayam yang diberikan maka perubahan
makroskopis hati dan ginjal dilihat dari segi warnanya mulai terlihat pucat
sampai kehitaman yang menandakan hati dan ginjal tersebut abnormal,
sedangkan dilihat dari segi permukaan dan konsistensinya tampak normal.
2. Semakin tinggi dosis gelatin tulang ayam yang diberikan maka
perubahan/kerusakan histologi pada hati dan ginjal semakin besar pula.
3. Pada pemberian konsentrasi 5 mg/kg BB - 5000 mg/kg BB menunjukkan
telah terjadi perubahan histopatologi pada hati dan ginjal yang menunjukkan
bahwa pemberian dengan dosis ini telah melebihi dari dosis normal.
B. Saran
Sebaiknya penggunaan dosis gelatin tulang ayam < 5 mg/kg BB dan perlu
penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut untuk membuktikan bahwa gelatin
tulang ayam tersebut aman dari semua aspek.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alim. 2013. Mencit (Mus musculus) dan Klasifikasinya. http://www.biologi-
sel.com/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2015.
Amalina, N. 2009. Uji toksisitas akut ekstrak valerian (Valeriana officinalis)
terhadap hepar mencit Balb/C. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.
Andun. 2011. Pembuatan Gelatin. http://andunsejati.blogspot.com/. Diakses pada
tanggal 4 Februari 2015.
Anggorodi, R. 1973. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.
Arifvianto, B. 2007. Head generation akibat disipasi energi mekanis pada proses
pemotongan tulang dalam operasi bedah ortopedi. Jurnal Mesin dan
Industri, 4 (2) = 166-174.
Astuti, U.N.W., R. Dewi, H. Siska, H.S. Susilo. 2006. Pemanfaatan mindi (Melia
azedarach L.) sebagai anti parasit Trypanosoma evansi dan dampaknya
terhadap struktur jaringan hepar dan ginjal mencit. Fakultas Biologi
UGM, Yogyakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji
Gelatin. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Bhara, M. 2004. Pengaruh pemberian kopi dosis bertingkat per oral 30 hari
terhadap gambaran histologi hepar tikus wistar. Laporan Akhir Karya
Tulis Ilmiah. FK Universitas Diponegoro, Semarang. Hal, 22-28.
Fitri, E. 2011. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Rambut Jagung (Zea mays L.)
Ditinjau dari Nilai LD50 dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Hati dan
Ginjal pada Mencit. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Departemen Farmasi, Depok.
Greaves, P. 2000. Histopathology of Preclinical Toxicity Studies Interpretation
and Relevance in Drug Safety Evaluation. Second Edition, 372-380.
Elsevier, Amsterdam.
Grobben, A.H., P.J. Steele, R.A. Somerville and D.M Taylor. 2004. Inactivation
of the bovine-spongiform-encephalophaty (BSE) agent by the acid and
alkali processes used the manufacture of bone gelatin. Biotechnology and
Applied Biochemistry, 39: 329-338.
42
Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L.Caballero and M. P. Montero. 2011.
Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from
alternative sources. Food Hydrocolloids. 25: 1813-1827.
Hadi, S. 2005. Karakteristik Fisikokimia Gelatin Tulang Kakap Merah (Lutjanus
sp.) serta Pemanfaatannya dalam Produk Jelly. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, p.21-35.
Haris. 2008. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Nila sebagai Gelatin dan Pengaruh
Lama Penyimpanan pada Suhu Ruang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Harjana, T. 2011. Buku Ajar Histologi. Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.
Himawan, S. 1992. Patologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hlm. 86.
Hodgson, E. 2010. A Textbook of Modern Toxicology. Fourth edition. A John
Wiley and Sons. Inc., North Carolina. Publication, 225 – 236.
Imeson. 1992. Thickening and Gelling Agent for Food. Blackie Academic and
Profesional, London.
Jayanti, D.P. 2011. Pengaruh Perbedaan Lama Pemberian Diet Kolesterol
terhadap Perlemakan Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi.
FST Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Jones Tc, Hunt RD, King NW. 1997. Veterinary Pathology. Williams and
Walkins : Ed ke-6, USA.
Lefaux, R. 1968. Practical Toxicology of Plastics. Cleveland: CRC Press Inc., 285
pp.
Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001. Optimum condition of extrcting
collagen from chicken feet and its caracetristics. Asian-Australian
Journal of Animal Science 14 : 1638-1644.
Loomis, T. A. 2001. Toksikologi Dasar Edisi ketiga (Essentials of Toxicology)
Penerjemah: Imono Argo Donatus. IKIP Semarang Press, Semarang. Hal
225-233.
Malole, M.B.M, dan Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan Laboratorium.
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal 28-45.
Martianingshi, N. dan L. Atmaja. 2009. Analisis sifat kimia, fisika, dan termal
gelatin dari ekstraksi kulit ikan pari (Himantura gerradi) melalui variasi
43
jenis larutan asam. Prosiding. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Meyer, L.H. 1960. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York.
Limbah RPA Melalui Metode Ekstraksi Termodifikasi Untuk
Menghasilkan Gelatin. Fakultas Peternakan Universitas Udayana,
Denpasar. P.181.
Misna. 2012. Sistem Urogenital. https://hmkuliah.wordpress.com/. Diakses pada
tanggal 4 Februari 2015.
Muliani, H. 2011. Pertumbuhan mencit (Mus musculus L) setelah pemberian biji
jaraj pagar (Jatropha curcas), White Mouse (Mus musculus L) Growth
Exposed to Barbados Nut's Seed. Bioma. P.73-79.
Mu’nisa, A., Muflihunna, A, dan A. Faridah. 2012. Gambaran histologi ginjal
pada mencit diabetes yang diberi ekstrak daun sukun. Fakultas MIPA,
Universitas Negeri Makassar, Makassar.
Nurilmala, M., M. Wahyunil dan H. Wiratmaja. 2006. Perbaikan nilai tambah
limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp) menjadi gelatin serta analisis
fisika-kimia. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol IX Nomor 2.
Poppe, J. 1992. Gelatin. In A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent for
Food. Academic Press. New York.
Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayam dengan berbagai jenis larutan asam
dan lama perendaman. Animal Production. 9 (2) : 99 – 104.
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 472-479.
Rasyid, M., Usmar, dan Subehan. 2011. Uji toksisitas akut ekstrak etanol
lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val.) pada mencit. Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ressang, A. 1984. Buku Pelajaran Patologis Khusus Veteriner. Edisi II, 53, 54,
240, 246. Bali Cattle Disease Investigation Unit, Denpasar.
Rita, D. 2008. Gambaran Makrokopis dan Miskrokopis Hati Ginjal Akibat
Pemberian Plumbum Asetat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Robbins, S. L. dan Kumar, V. 1992. Buku Ajar Patologi 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Surabaya. Hlm. 14-17.
44
Septriansyah, C. 2000. Kajian Proses Pembuatan Gelatin dari Hasil Ikutan Tulang
Ayam dalam Kondisi Asam. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Penerjemah: Braham,
U. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal 565-567.
Smith, B. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di
Daerah Tropis. UI Press, Jakarta.
Soengkawati, A.M. 1979. Riset Pengolahan Tulang dan Kulit Sisa, Balai
Penelitian Kulit. Departemen Perindustrian, Yogyakarta.
Sutjibto, N.S. 1998. Petunjuk Praktikum Patologi DIII. Laboratorium Patologi.
FKH UGM, Yogyakarta.
Ward, A.G dan Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin.
Academic Press, London.
Yuniarifin, H., V. P. Bintoro dan A. Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagai
konsentrasi asam fosfat pada proses perendaman tulang sapi terhadap
rendemen, kadar abu dan viskositas gelatin. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro, Semarang.
45
Serbuk Gelatin
LAMPIRAN
Bagan Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang Ayam :
Penyiapan Bahan Baku (Tulang Ayam)
Pemotongan Tulang dan Pencucian
Demineralisasi (H2SO4 1 M)
Ekstraksi (70OC dan 75
OC)
CH3COOH 0,1 M
Pengeringan oven (60OC 1-2 hari)
Penggilingan Akhir
46
RIWAYAT HIDUP
BUDI UTOMO, lahir di Benteng Selayar pada tanggal 12
Oktober 1992, anak ke-3 dari empat bersaudara dari pasangan
bapak Bahtiar dan ibu Basse. Jenjang pendidikan formal yang
pernah ditempuh adalah TK Pertiwi di Benteng Selayar, dan
melanjutkan Sekolah Dasar di SD Mis.Aisyiah Benteng, lulus
tahun 2005. Kemudian setelah lulus di SD, malanjutkan di SMP Negeri 1 Benteng
lulus tahun 2008, kemudian malanjutkan di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 1 Benteng, lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan SMU, penulis
diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN UNDANGAN) tahun 2011 di Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makasssar.
Dokumentasi
Kandang Pemeliharaan Mencit selama Perlakuan
Kandang Pemeliharaan Mencit selama Perlakuan
Pakan Komersial sebagai Pakan Mencit Gelatin yang dilarutkan dalam akuades
Pemberian Suspensi Gelatin Tulang Ayam secara Oral
Proses Nekropsi (pembedahan) di BB-Vet Maros
Proses Nekropsi dan Pengambilan Organ Hati dan Ginjal Mencit