FORMULASI KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI...

28
145 FORMULASI KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI DAN KELEMBAGAN SEBAGAI DIAGNOSIS DEGRADASI LAHAN 1 Oleh: Dewi R Indrawati 2 , Purwanto 3 , dan Paimin 4 Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] 2Email : [email protected] ; 3 [email protected] ; 4 [email protected] ABSTRAK Degradasi lahan terjadi sebagai akibat dari kesalahan dalam pengelolaan lahan. Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat berdampak pada perubahan pengelolaan lahan yang selanjutnya mempengaruhi kondisi lahan. Oleh karena itu, formulasi kerentanan sosial ekonomi masyarakat diharapkan dapat digunakan untuk mendiagnosis degradasi lahan, sehingga dengan mengetahui kerentanan sosial ekonomi masyarakat akan dapat diperkirakan tingkat degradasi lahan yang terjadi. Kegiatan dilaksanakan di wilayah SubDAS Walikan yang berada di Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar. Parameter yang diukur mencakup kepadatan penduduk baik geografis maupun agraris; budaya seperti perilaku konservasi dan hukum adat, serta nilai tradisional; ketergantungan terhadap lahan; tingkat pendapatan; kegiatan dasar wilayah; keberdayaan kelembagaan konservasi dan keberdayaan lembaga formal pada konservasi. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan data sekunder dari BPS. Hasil menunjukkan bahwa tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan masuk dalam kategori agak rentan. Namun demikian, ternyata formulasi yang digunakan masih memerlukan penyempurnaan, karena dalam implementasi di lapangan ditemui beberapa kendala. Oleh karena itu, diusulkan revisi formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan. Hasil penilaian tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan dengan menggunakan formulasi hasil revisi yaitu kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan wilayah hilir masuk dalam kategori sedang (agak rentan) dan wilayah hulu masuk 1 Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Teknologi Pengelolaan DAS dalam Upaya Pengendalian Banjir dan Erosi/Sedimentasi, di Hotel Lor Inn, Solo, 15 Oktober 2009.

Transcript of FORMULASI KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI...

145

FORMULASI KERENTANAN SOSIAL-EKONOMI DAN KELEMBAGAN SEBAGAI DIAGNOSIS DEGRADASI

LAHAN1 Oleh:

Dewi R Indrawati2, Purwanto3, dan Paimin4 Balai Penelitian Kehutanan Solo. Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected] 2Email : [email protected] ; 3 [email protected] ; 4

[email protected]

ABSTRAK

Degradasi lahan terjadi sebagai akibat dari kesalahan dalam pengelolaan lahan. Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat berdampak pada perubahan pengelolaan lahan yang selanjutnya mempengaruhi kondisi lahan. Oleh karena itu, formulasi kerentanan sosial ekonomi masyarakat diharapkan dapat digunakan untuk mendiagnosis degradasi lahan, sehingga dengan mengetahui kerentanan sosial ekonomi masyarakat akan dapat diperkirakan tingkat degradasi lahan yang terjadi. Kegiatan dilaksanakan di wilayah SubDAS Walikan yang berada di Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar. Parameter yang diukur mencakup kepadatan penduduk baik geografis maupun agraris; budaya seperti perilaku konservasi dan hukum adat, serta nilai tradisional; ketergantungan terhadap lahan; tingkat pendapatan; kegiatan dasar wilayah; keberdayaan kelembagaan konservasi dan keberdayaan lembaga formal pada konservasi. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan data sekunder dari BPS. Hasil menunjukkan bahwa tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan masuk dalam kategori agak rentan. Namun demikian, ternyata formulasi yang digunakan masih memerlukan penyempurnaan, karena dalam implementasi di lapangan ditemui beberapa kendala. Oleh karena itu, diusulkan revisi formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan. Hasil penilaian tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan dengan menggunakan formulasi hasil revisi yaitu kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan wilayah hilir masuk dalam kategori sedang (agak rentan) dan wilayah hulu masuk

1 Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Teknologi Pengelolaan DAS dalam Upaya

Pengendalian Banjir dan Erosi/Sedimentasi, di Hotel Lor Inn, Solo, 15 Oktober 2009.

146

dalam kategori agak rendah (sedikit rentan). Hasil tersebut sesuai dengan tingkat kekritisan lahan hasil penelitian Paimin dkk.

Kata kunci: kerentanan sosial ekonomi, formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan, degradasi lahan, lahan kritis.

I. PENDAHULUAN Lahan merupakan salah satu unsur sumberdaya alam dalam

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang harus dimanfaatkan berdasarkan azas kelestarian. Pemanfaatan lahan tanpa upaya konservasi yang memadai akan menyebabkan degradasi lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan lahan kritis. Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001, lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Kondisi lahan menjadi kritis demikian sebagai hasil proses degradasi. Sedang Somasiri (1998) memberikan pengertian degradasi lahan sebagai pengurangan atau kehilangan keseluruhan kapasitas sumberdaya alam untuk memproduksi tanaman yang bergizi dan sehat sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan kedap, dan akumulasi zat kimia beracun dll. Dengan demikian, degradasi lahan merupakan hasil dari kesalahan pengelolaan lahan. Interaksi ekosistem alami dan ekosistem sosial (manusia) dalam suatu pengelolaan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan program pengelolaan sumberdaya alam (Eswaran dan Dumanski, 1998).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sukresno (2005) yang menyebutkan bahwa penyebab utama degradasi lahan dalam DAS adalah : 1) penggunaan lahan yang melampaui kapabilitasnya atau kemampuannya; 2) perlakuan terhadap lahan yang mengabaikan prinsip-prinsip konservasi tanah; dan 3) tekanan penduduk (kebutuhan lahan untuk pertanian meningkat). Hal ini menunjukkan bahwa faktor manusia sangat berpengaruh pada terjadinya degradasi lahan dalam suatu DAS. Perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat berdampak pada perubahan pengelolaan lahan yang selanjutnya mempengaruhi kondisi lahan. Oleh karena itu, formulasi kerentanan sosial ekonomi masyarakat diharapkan dapat digunakan untuk mendiagnosis degradasi lahan, sehingga dengan mengetahui kerentanan sosial ekonomi masyarakat akan dapat diketahui apakah lahan yang dikelola masyarakat berpotensi terdegradasi atau tidak.

147

II. METODE DAN LOKASI Untuk menilai kerentanan sosial ekonomi masyarakat

digunakan formulasi yang disajikan dalam Buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS (Paimin, dkk., 2006). Dalam formulasi kerentanan dan potensi sosial ekonomi dan kelembagaan tersebut digunakan tiga kriteria yaitu:

1. Kriteria sosial terdiri dari parameter kepadatan penduduk, baik geografis maupun agraris, budaya seperti perilaku konservasi dan hukum adat, serta nilai tradisional.

2. Kriteria ekonomi terdiri dari parameter ketergantungan terhadap lahan, tingkat pendapatan, dan kegiatan dasar wilayah.

3. Kriteria kelembagaan yang terdiri dari parameter keberdayaan kelembagaan konservasi dan keberdayaan lembaga formal pada konservasi.

Masing-masing parameter tersebut kemudian diberikan bobot dan besaran sebagaimana disajikan dalam Lampiran 1. Adapun klasifikasi tingkat kerentanan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai suatu kategori memberikan gambaran sebuah kondisi yang semakin buruk terkait dengan parameter bersangkutan, dan sebaliknya.

Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerentanan sosial-ekonomi dan kelembagaan

Kategori Nilai Tingkat kerentanan Tinggi > 4,3 Sangat rentan Agak tinggi 3,5 – 4,3 Rentan Sedang 2,6 – 3,4 Agak rentan Agak rendah 1,7 – 2,5 Sedikit rentan Rendah < 1,7 Tidak rentan

Sumber: Paimin, dkk. (2006)

Data primer yang digunakan untuk melihat parameter budaya, ketergantungan terhadap lahan, tingkat pendapatan dan kelembagaan dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan responden yang diambil dari masyarakat desa setempat. Data sekunder yang digunakan untuk melihat parameter kepadatan

148

penduduk dan kegiatan dasar wilayah diambil dari monografi desa dan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat.

Lokasi pengujian kerentanan sosial ekonomi adalah di Sub DAS Walikan. Data dikumpulkan dari beberapa desa yang merupakan bagian dari areal model DAS mikro (AMDM). Data diambil dari Desa Jatiyoso yang berada di wilayah hilir (34,084% luas AMDM) dan Desa Wonorejo yang berada di wilayah hulu (52,014% luas AMDM), Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar yang keseluruhannya mencakup 86,098% luas AMDM. Dengan demikian, wilayah tersebut diharapkan bisa mewakili kondisi Sub DAS yang ada.

III. KERENTANAN SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN

Hasil kajian di wilayah SubDAS Walikan untuk kriteria dan kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan sebagai berikut.

3.1 Ekonomi 1) Tingkat Pendapatan dan Ketergantungan Terhadap Lahan

Berdasarkan data yang terkumpul dari Desa Jatiyoso, lahan yang dimiliki masyarakat berupa lahan tegal dan sawah. Luas kepemilikan lahan tersebut rata-rata 0,683 Ha untuk lahan sawah dan 0,379 Ha untuk lahan tegal, dengan kelerengan 25 – 45%. Selain itu, masyarakat juga mempunyai lahan pekarangan dengan luas rata-rata 0,269 Ha. Jenis tanaman yang biasa ditanam pada lahan sawah adalah padi (3 kali dalam setahun), sedang pada lahan tegal adalah jagung (2 kali dalam setahun) dan ketela pohon sebagai tanaman semusim, tanaman kayu (Sengon, suren, mahoni dan jati) dan cengkeh. Jenis tanaman semusim tersebut dipilih karena memang cocok dengan lahan yang ada, mudah dalam budidaya maupun pemasaran hasilnya. Adapun pola tanam yang diterapkan pada lahan tegal lebih banyak campuran antara tanaman semusim dan tanaman keras, dimana tanaman keras ditanam dengan jarak lebar dan tanaman semusim sebagai tanaman bawah tegakan. Penanaman tanaman keras pada umumnya dianggap sebagai tabungan. Teknik penanaman diketahui secara turun-temurun dan dari penyuluh, sehingga saat ini masyarakat sudah

149

mulai membuat cemplongan dan memberi pupuk kandang untuk tanaman keras.

Selain pertanian, masyarakat pada umumnya memiliki ternak, terutama sapi dan kambing. Rata-rata kepemilikan ternak tersebut adalah sapi satu ekor dan kambing 2 ekor. Ternak sapi yang dipelihara adalah untuk penggemukan. Pada umumnya, ternak tersebut akan dijual apabila ada keperluan dan kemudian apabila kondisi memungkinkan pemilik ternak akan membeli kembali. Ternak besar dalam hal ini sapi dan kambing memerlukan rumput untuk pakan yang biasanya diambil dari lahan tegal yang dimiliki masyarakat. Untuk itu, masyarakat sengaja menanam rumput di lahan pertanian untuk persediaan pakan ternak.

Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa sumber pandapatan masyarakat di Desa Jatiyoso berasal dari pertanian yang berbasis lahan baik itu tanaman semusim maupun tanaman keras, serta dari peternakan, industri rumah tangga, perdagangan dan pendapatan di luar pertanian lainnya. Pendapatan masyarakat di Desa Jatiyoso dalam satu tahun mencapai Rp. 7.335.700,-. Pendapatan tersebut jauh lebih tinggi bila dibanding dengan pendapatan per kapita Kabupaten Karanganyar yang hanya sebesar Rp. 4.561.426,52,- (BPS, 2006). Namun berdasarkan pendapatan yang ada, terlihat ketergantungan masyarakat pada lahan cukup tinggi baik dari hasil tanaman semusim maupun tanaman kayu-kayuan. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase penghasilan masyarakat terhadap total pendapatan yaitu 60,19 % dari tanaman semusim, 4,30 % dari tanaman kayu, 26,80 % dari ternak, dan sisanya dari luar usaha tani (8,71%). Dengan demikian, 64,49 % pendapatan masyarakat adalah dari lahan, dan 26,80 % juga masih ada keterkaitan dengan lahan karena pakan ternak yang dipelihara juga sebagian berupa rumput yang diambil dari lahan.

Data yang terkumpul dari Desa Wonorejo menunjukkan bahwa lahan yang dimiliki masyarakat berupa lahan tegal. Luas kepemilikan lahan tersebut rata-rata 0,632 Ha, dengan kelerengan > 45%. Selain itu, masyarakat juga mempunyai lahan pekarangan, tetapi luasannya relatif sempit yaitu rata-rata 0,033 Ha. Adapun jenis tanaman semusim yang biasa ditanam masyarakat pada lahan tegal adalah sayuran (bawang putih, bawang merah, wortel, sawi dan lain-lain) dan jagung. Biasanya lahan tegal tersebut hanya digunakan untuk menanam tanaman semusim saja meskipun kelerengan lahan cukup curam. Tanaman keras seperti pinus,

150

mahoni, suren, sengon dan cengkeh hanya ditanam pada lahan yang sudah tidak menghasilkan bila digunakan untuk budidaya tanaman semusim, dimana pola tanam yang diterapkan adalah campuran atau monokultur tanaman keras dengan jarak tanam rapat. Teknik penanaman diketahui secara turun-temurun sehingga penanaman tanaman keras tanpa membuat cemplongan dan pupuk kandang.

Selain pertanian, masyarakat Desa Wonorejo pada umumnya memiliki ternak, terutama sapi dan kambing. Rata-rata kepemilikan ternak tersebut adalah sapi satu ekor dan kambing satu ekor. Ternak sapi yang dipelihara adalah untuk penggemukan. Pada umumnya, ternak tersebut akan dijual apabila ada keperluan dan kemudian apabila kondisi memungkinkan akan membeli kembali. Ternak besar dalam hal ini sapi dan kambing memerlukan rumput untuk pakan ternak yang biasanya diambil dari lahan tegal yang dimiliki masyarakat. Untuk itu, masyarakat sengaja menanam rumput di lahan pertanian untuk persediaan pakan ternak.

Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa sumber pandapatan masyarakat di Desa Wonorejo berasal dari pertanian yang berbasis lahan (tanaman semusim), peternakan dan pendapatan lain di luar pertanian. Pendapatan masyarakat di Desa Wonorejo dalam satu tahun mencapai Rp. 4.898.500,-. Berdasarkan pendapatan yang ada, maka terlihat ketergantungan masyarakat pada lahan cukup tinggi terutama dari hasil tanaman sayuran. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase penghasilan masyarakat terhadap total pendapatan yaitu 42,24 % dari tanaman semusim, 47,19 % dari ternak dan 10,57% dari luar usaha tani lainnya. Pendapatan dari ternak tersebut sebenarnya juga masih ada keterkaitan dengan lahan karena pakan ternak berupa rumput dipelihara di lahan petani. Kondisi pengelolaan lahan di Desa Jatiyoso dan Desa Wonorejo disajikan dalam Tabel 2.

151

Tabel 2. Kondisi pengelolaan lahan di Desa Jatiyoso dan Desa Wonorejo

No. Uraian Desa Jatiyoso (hilir) Desa Wonorejo (hulu) 1 Lahan Sawah irigasi dan tegal Tegal 2 Lereng 25 – 45 % > 45% 3 Tan. Semusim

- jenis - pola

Padi (sawah 3x tanam) Jagung (tegal 2 x tanam) singkong untuk tegal sebagai tanaman bawah tegakan

Sayur (bawang putih, bawang merah, wortel, sawi dll) Jagung Khusus tanaman semusim

4 Tan. Keras - jenis - alasan pemilihan - pola

Sengon, suren, mahoni, jati dan cengkeh Cocok, kemudahan dalam budidaya dan pasar Campuran/monokultur jarak lebar

Pinus (dominan), mahoni, suren dan sengon (sedikit), cengkeh Cocok, kemudahan dalam budidaya dan pasar Campuran/monokultur jarak rapat, pada lahan yg tidak bisa untuk tanaman semusim/sayur

Sumber : Analisa data primer (2007)

2) Kegiatan Dasar Wilayah Di Kabupaten Karanganyar, ada beberapa sektor usaha yang

menjadi mata pencaharian masyarakat antara lain pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Berdasarkan data yang tersedia, jumlah tenaga kerja di Kecamatan Jatiyoso ada 33.661 orang, sedang jumlah tenaga kerja pada setiap sektor sebagai berikut : pertanian (13.243 orang), industri (461 orang), perdagangan (3.380 orang) dan jasa (298 orang). Adapun jumlah tenaga kerja di Desa Jatiyoso ada 4.645 orang, sedang jumlah tenaga kerja pada setiap sektor sebagai berikut : pertanian (3.725 orang), perdagangan (565 orang), swasta (225 orang) dan jasa (15 orang). Ada pun jumlah tenaga kerja di Desa Wonorejo ada 3.254 orang, sedangkan jumlah tenaga kerja pada setiap sektor sebagai berikut : pertanian (1.401 orang), perdagangan (1.013 orang), swasta (485 orang), dan jasa (138 orang).

Hasil penghitungan menunjukkan bahwa di Desa Jatiyoso nilai LQ sektor pertanian (2,04) dan perdagangan (1,21) lebih besar dari

152

1, artinya kegiatan dasar masyarakat di lokasi kegiatan bertumpu pada sektor pertanian dan perdagangan karena komposisi mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah pada sektor perdagangan dan pertanian. Di Desa Wonorejo nilai LQ sektor pertanian (1,09) dan perdagangan (3,10) lebih besar dari 1, artinya kegiatan dasar masyarakat di lokasi itu bertumpu pada sektor perdagangan dan pertanian karena komposisi mata pencaharian sebagian besar penduduknya ada pada sektor perdagangan dan pertanian.

3.2 Sosial 1) Kepadatan Penduduk

Berdasarkan data dari Kabupaten Karanganyar Dalam Angka Tahun 2005, diketahui bahwa kepadatan penduduk Kabupaten Karanganyar adalah 1.086 orang/Km2. Luas Kecamatan Jatiyoso adalah 67,16 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 40.146 orang, sehingga kepadatan penduduk geografis adalah 598 orang/Km2. Luas lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan kering adalah 4.235,75 Ha, maka kepadatan penduduk agraris adalah 9 orang/Ha.

Berdasarkan data dari Kecamatan Jatiyoso Dalam Angka Tahun 2005 diketahui bahwa luas Desa Jatiyoso adalah 6,52 Km2 dengan jumlah penduduk 4.399 orang, sehingga kepadatan penduduk geografis adalah 675 orang/Km2. Luas Desa Wonorejo adalah 20,45 Km2 dengan jumlah penduduk 6.091 orang, sehingga kepadatan penduduk geografis adalah 298 orang/Km2.

Data dari BPDAS Solo (2004) menunjukkan luas wilayah Desa Jatiyoso yang menjadi lokasi AMDM adalah 5,3594 Km2 dengan kepadatan penduduk geografis 628 orang/Km2 dan luas lahan pertanian 374,795 Ha dengan kepadatan penduduk agraris 9 orang/Ha. Adapun luas wilayah Desa Wonorejo yang menjadi lokasi AMDM adalah 8,1787 Km2 dengan kepadatan penduduk geografis 115 orang/Km2 dan luas lahan pertanian 134,4575 Ha dengan kepadatan penduduk agraris 7 orang/Ha.

2) Budaya dan Nilai Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, pada umumnya masyarakat di Desa Jatiyoso sudah membuat teras, berupa teras bangku yang dibuat nyabuk gunung. Teras bangku dibuat dengan lebar bidang olah 2 - 4 m. Selain itu, sebagian petani

153

menanam tanaman penguat teras dengan jenis rumput gajah. Tanaman ini dipilih karena selain berfungsi sebagai penguat teras untuk menahan erosi juga bisa digunakan untuk pakan ternak. Pembuatan teras sudah dilakukan secara turun-temurun, artinya pengetahuan untuk pembuatan teras sudah diketahui oleh masyarakat, tetapi secara teknis terus diperbaiki melalui kegiatan penyuluhan.

Disamping upaya konservasi tersebut, masyarakat juga sudah mempunyai kebiasaan baik dalam hal memelihara lingkungan. Salah satunya dilihat dari kebiasaan masyarakat mengelola sampah. Pada umumnya masyarakat membuat lubang untuk pembuangan sampah yang kemudian ditimbun. Perilaku konservasi dan kebiasaan pengelolaan sampah menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini merupakan modal yang baik untuk mendukung upaya implementasi pengelolaan DAS pada skala mikro.

Di Desa Wonorejo, pada umumnya teras yang dibuat adalah teras gulud. Hal ini dilakukan karena jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman sayuran. Masyarakat membuat lubang untuk pembuangan sampah yang kemudian ditimbun atau dibuang di kebun agar bercampur menjadi pupuk, sedangkan sampah plastik dibakar.

Berkaitan dengan tradisi, ada beberapa tradisi masyarakat baik di Desa Jatiyoso maupun Desa Wonorejo yang masih dilakukan sampai saat ini yaitu slametan, bersih desa dan gotong royong. Slametan biasanya dilakukan secara perseorangan untuk peringatan orang meninggal, menyambut bulan suro dan lain-lain. Bersih desa dilakukan sebagai ungkapan syukur dari warga desa yang dilakukan secara bersama. Adapun gotong royong biasanya dilakukan dalam pembangunan sarana dan prasarana desa dan pembangunan rumah. Apabila ada yang tidak ikut serta dalam gotong royong akan diberikan sanksi berupa denda, tetapi pemberian sanksi tersebut sering tidak diterapkan.

3.3 Kelembagaan Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa pada lokasi

kegiatan sudah ada kelompok tani. Namun kelompok tani di kedua desa itu sangat berbeda:

1. Kelompok tani di Desa Jatiyoso dibentuk karena adanya kegiatan Model DAS Mikro (MDM), sehingga baru terbentuk

154

pada tahun 2006. Perintis berdirinya kelompok tani ini adalah penyuluh karena berkaitan dengan kelancaran kegiatannya. Namun pemilihan pengurus sudah melalui musyawarah anggota dan pihak desa. Kegiatan kelompok tani lebih mengarah pada kegiatan kehutanan dan menyangkut juga kegiatan pertanian. Pertemuan rutin kelompok tani ini adalah selapan sekali, dimana materi pertemuan masih ditentukan oleh pengurus dan penyuluh.

2. Kelompok tani di Desa Wonorejo telah dibentuk sejak tahun 1970-an yang berdirinya dirintis oleh masyarakat dan kepala desa. Kegiatan kelompok tani adalah pertanian tanaman pangan serta kegiatan rutin lainnya seperti arisan dan simpan pinjam. Pertemuan kelompok tani dilakukan selapan sekali dimana materi yang dibahas dalam pertemuan merupakan masukan anggota dan pengurus.

3.4 Kerentanan Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pendapatan masyarakat di Desa Jatiyoso dalam satu tahun rata-

rata Rp. 7.335.700,-. Pendapatan tersebut lebih tinggi bila dibanding dengan pendapatan per kapita Kabupaten Karanganyar yang sebesar Rp. 4.561.426,52,-, sehingga masuk dalam kategori rendah. Bila dilihat dari prosentase distribusi pendapatan, terlihat bahwa ketergantungan masyarakat pada lahan relatif tinggi, dimana prosentase penghasilan masyarakat dari lahan terhadap total pendapatan yaitu 64,49 %. Dengan demikian, ketergantungan terhadap lahan masuk dalam kategori sedang karena berkisar antara 50 % - 75 %.

Adapun pendapatan masyarakat di Desa Wonorejo dalam satu tahun mencapai Rp. 4.898.500,- yang sedikit lebih tinggi dari pendapatan per kapita Kabupaten Karanganyar, sehingga masuk dalam kategori rendah. Berdasarkan pendapatan yang ada, terlihat ketergantungan masyarakat pada lahan tidak terlalu tinggi yaitu 42,24 %. Dengan demikian, ketergantungan terhadap lahan masuk dalam kategori rendah karena kurang dari 50%. Sedang dengan melihat nilai LQ sektor pertanian > 1, maka kerentanan Sub DAS dilihat dari parameter kegiatan dasar wilayah masuk dalam kategori tinggi.

Kepadatan penduduk geografis di Kecamatan Jatiyoso (598 orang/Km2), Desa Jatiyoso (675 orang/Km2) dan Desa Wonorejo 298 orang/Km2, maka semuanya lebih rendah bila dibanding

155

dengan kepadatan penduduk geografis Kabupaten Karanganyar (1.086 orang/Km2). Dengan demikian, kepadatan penduduk geografis di lokasi kegiatan termasuk dalam kategori rendah. Sedang kepadatan penduduk agraris dari lokasi AMDM di Desa Jatiyoso (9 orang/Ha) dan Desa Wonorejo (7 orang/Ha) menunjukkan bahwa rata-rata orang masih bisa mengelola lahan seluas 0,11 – 0,14 Ha. Dengan demikian, kepadatan penduduk agraris di lokasi kegiatan termasuk dalam kategori tinggi karena rata-rata masyarakat mengelola lahan lebih kecil dari 0,25 Ha.

Desa Jatiyoso dan Desa Wonorejo mencakup 86,098% luas AMDM, dimana Desa Jatiyoso berada di wilayah hilir (34,084% luas AMDM) dan Desa Wonorejo berada di wilayah hulu (52,014% luas AMDM). Masyarakat Desa Jatiyoso sebagian besar telah melakukan upaya konservasi baik dengan cara pembuatan teras maupun penanaman tanaman keras. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku konservasi masyarakat di Desa Jatiyoso masuk dalam kategori rendah.

Untuk Desa Wonorejo, perilaku konservasi masyarakat masuk dalam kategori tinggi, karena sebagian besar masyarakat belum melakukan upaya konservasi berkaitan dengan jenis tanaman yang diusahakan. Selain itu, masih ada nilai-nilai tradisional yang berlaku baik yang berkaitan dengan pengelolaan lahan maupun kebersamaan dalam masyarakat, sehingga masuk dalam kategori rendah. Namun bila dilihat dari tidak diterapkannya sanksi dengan ketat terhadap pelanggaran-pelanggaran aturan yang ada maka dari segi hukum adat masuk dalam kategori tinggi.

Di Desa Jatiyoso masyarakat telah melakukan penanaman tanaman keras dan membuat teras sehingga kegiatan konservasi sebenarnya telah melembaga. Dengan demikian dilihat dari sisi kerentanannya, parameter keberdayaan kelembagaan konservasi masuk dalam kategori rendah.

Di Desa Wonorejo, mengingat lahan pertaniannya diusahakan untuk sayuran, maka pada umumnya masyarakat belum melakukan penanaman tanaman keras dan kalaupun dibuat teras masih merupakan teras gulud. Sebenarnya masyarakat tahu akan pentingnya upaya konservasi baik dengan penanaman tanaman keras maupun pembuatan teras pada kondisi lahan mereka yang cukup curam. Dengan demikian, dilihat dari sisi kerentanannya, parameter keberdayaan kelembagaan konservasi masuk dalam kategori sedang.

156

Lembaga formal desa di kedua desa belum berperan dalam upaya konservasi. Adapun kelompok tani yang ada yang seharusnya bisa berperan dalam kegiatan konservasi, saat ini masih belum mandiri. Dengan demikian, dari sisi kerentanan, keberdayaan lembaga formal dalam konservasi masuk dalam kategori tinggi.

Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa karakteristik sosial ekonomi dan kelembagaan Sub DAS Walikan hilir masuk dalam kategori sedang (agak rentan) dengan nilai/skor 2,6 (Tabel 3) dan Sub DAS Walikan hulu juga masuk dalam kategori sedang (agak rentan) dengan nilai/skor 3,1 (Tabel 4). Dengan demikian, wilayah hilir dan hulu masuk kategori agak rentan. Meskipun dalam kategori yang sama tetapi dengan skor yang berbeda (lebih tinggi di wilayah hulu). Hal ini menunjukkan bahwa penyebab kerentanannya berbeda. Pada wilayah hilir, kerentanan yang disebabkan perilaku konservasi dan keberdayaan kelembagaan konservasi masuk dalam kategori rendah, tetapi ketergantungan terhadap lahannya tinggi. Sedang wilayah hulu, kerentanan yang disebabkan perilaku konservasi dan keberdayaan kelembagaan konservasi berturut-turut masuk dalam kategori tinggi dan sedang, tetapi ketergantungan terhadap lahannya rendah. Penyebab kerentanan tersebut disamping akan berpengaruh terhadap degradasi lahan juga pada upaya yang akan dilakukan dalam pengelolaan DAS.

157

Tabel 3. Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan Hilir yang diwakili oleh Desa Jatiyoso

Kriteria Parameter/Bobot Hasil Penilaian

Skor Skor x Bobot

Sosial Kepadatan penduduk geografis (10%)

Rendah 1 10

Kepadatan penduduk agraris (10%)

Tinggi 5 50

Perilaku konservasi (20%)

Rendah 1 20

Hukum adat (5%) Tinggi 5 25 Nilai tradisional

(5%) Rendah 1 5

Ekonomi Ketergantungan terhadap lahan (20%)

Sedang 3 60

Tingkat pendapatan (10%)

Rendah 1 10

Kegiatan dasar wilayah (10%)

Tinggi 5 50

Kelembagaan Keberdayaan kelembagaan konservasi (5%)

Rendah 1 5

Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)

Tinggi 5 25

Kerentanan soseklem 260

158

Tabel 4. Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di Sub DAS Walikan Hulu yang diwakili oleh Desa Wonorejo

Kriteria Parameter/Bobot Hasil Penilaian

Skor Skor x Bobot

Sosial Kepadatan penduduk geografis (10%)

Rendah 1 10

Kepadatan penduduk agraris (10%)

Tinggi 5 50

Perilaku konservasi (20%)

Tinggi 5 100

Hukum adat (5%) Tinggi 5 25

Nilai tradisional (5%) Rendah 1 5

Ekonomi Ketergantugan terhadap lahan (20%)

Rendah 1 20

Tingkat pendapatan (10%)

Rendah 1 10

Kegiatan dasar wilayah (10%)

Tinggi 5 50

Kelembagaan

Keberdayaan kelembagaan konservasi (5%)

Sedang 3 15

Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)

Tinggi 5 25

Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan 310

Dari hasil kajian Paimin dkk. (2007) diketahui sebaran

penutupan lahan di DAS Mikro Walikan seperti Gambar 1. Hasil kajian tersebut juga menyatakan bahwa luas lahan kritis di SubDAS Walikan yang termasuk kategori rentan/kritis (skor 3,5 – 4,3) seluas 185,8 ha, agak kritis (Skor 2,6 – 3,4) seluas 527,8 ha dan sedikit kritis (skor 1,7 – 2,5) seluas 782,4 ha (Gambar 2). Wilayah yang agak kritis menyebar dari sebagian hulu sampai hilir, sedang wilayah yang sedikit kritis sebagian besar justru berada di wilayah hulu yang penutupan lahannya adalah hutan. Hasil kekritisan lahan tersebut bila dikaitkan dengan hasil kerentanan sosial-ekonomi dan kelembagaan terlihat ada sedikit

159

ketidaksesuaian. Untuk wilayah hilir hasil kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan masuk dalam kategori sedang (agak rentan), yang sesuai dengan hasil kekritisan lahan yang juga masuk dalam kategori agak kritis (Perhatikan Gambar 1 dan Gambar 2 untuk Desa Jatiyoso). Namun tidak demikian dengan wilayah hulu yang hasil kerentanan sosial ekonominya masuk dalam kategori agak rentan, tetapi kekritisan lahan masuk dalam kategori sedikit rentan (Perhatikan Gambar 1 dan Gambar 2 untuk Desa Wonorejo). Dengan demikian, dapat diasumsikan ada sesuatu yang kurang tepat dalam metode penilaian yang digunakan.

Gambar 1. Peta Sebaran Penutupan Lahan DAS Mikro Walikan

Gambar 2. Peta Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan di DAS Mikro Walikan

160

IV. FORMULASI KERENTANAN SOSIAL EKONOMI

Berdasarkan pengalaman pengumpulan data di lapangan, ada beberapa parameter yang besarannya kurang sesuai sehingga dapat menimbulkan bias dalam menentukan nilai kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk itu, ada beberapa parameter yang besarannya memerlukan penyempurnaan yaitu:

1. Perilaku konservasi dengan besaran prosen luas SubDAS yang sudah dikonservasi lebih ke arah fisik, sehingga sebaiknya masuk dalam parameter manajemen di fisik. Sedang untuk sosial ekonomi, perilaku ini besarannya lebih kepada pengetahuan masyarakat dan pelembagaan konservasi di dalam masyarakat. Untuk itu, besaran yang akan digunakan adalah:

a. rendah, bila konservasi telah melembaga dalam masyarakat (masyarakat betul-betul tahu manfaat konservasi, tahu tekniknya dan melaksanakannya);

b. sedang, bila masyarakat tahu konservasi tetapi tidak melakukannya;

c. Tinggi, bila tidak tahu dan tidak melakukan konservasi. 2. Kelembagaan lebih difokuskan pada lembaga-lembaga yang

ada baik yang formal maupun non formal.

3. Parameter-parameter kepadatan penduduk geografis, kepadatan penduduk agraris dan tingkat pendapatan memerlukan penyempurnaan. Hal ini dikarenakan jarang atau bahkan tidak pernah ada kepadatan penduduk geografis dan agraris di tingkat desa/kecamatan yang sama besarnya dengan kepadatan penduduk di tingkat kabupaten. Demikian pula halnya untuk tingkat pendapatan. Untuk itu dipandang perlu untuk merubah nilai mutlak menjadi kisaran-kisaran nilai, kemudian diberikan skala yang mencerminkan kondisi setempat.

a. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk yang biasanya digunakan adalah perbandingan jumlah penduduk (jiwa) dengan luas seluruh wilayah (Km2) atau sering disebut sebagai kepadatan penduduk geografis. Kepadatan penduduk geografis

161

dinyatakan dalam jiwa/ Km2. Kepadatan penduduk ini mencerminkan besarnya tekanan penduduk pada lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanannya pada lahan. Wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi perlu mendapat perhatian karena mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadi kerusakan lingkungan akibat pemanfaatan lahan dan air yang lebih besar.

Ada beberapa klasifikasi kepadatan penduduk yang digunakan sebagai berikut.

1) Food and Agriculture Organization/FAO (1985) mengklasifikasikan kepadatan penduduk menjadi dua yaitu a) Kepadatan rendah dengan kepadatan penduduk < 250

jiwa/Km2 b) Kepadatan tinggi dengan kepadatan penduduk > 250

jiwa/Km2 2) National Urban Development Strategies/NUDS (2002)

mengklasifikasikan kepadatan penduduk menjadi tiga yaitu: a) Daerah pedesaan (rural) dengan kepadatan penduduk <

100 jiwa/Km2 b) Daerah pinggiran (Suburban) dengan kepadatan

penduduk 100 – 10.000 jiwa/Km2 c) Daerah perkotaaan (urban) dengan kepadatan penduduk

> 10.000 jiwa/Km2 3) Menurut Undang-Undang No. 56/PRP/1960 dalam

Pemkab Musi Rawas (2005), kepadatan penduduk diklasifikasikan menjadi empat yaitu: a) Tidak padat dengan kepadatan penduduk 1 – 50

jiwa/Km2 b) Kurang padat dengan kepadatan penduduk 51 – 250

jiwa/Km2 c) Cukup padat dengan kepadatan penduduk 251 – 400

jiwa/Km2 d) Sangat padat dengan kepadatan penduduk > 401

jiwa/Km2.

Besaran untuk parameter kepadatan penduduk akan digunakan angka yang pasti artinya kriteria tersebut merupakan kriteria yang statis (tidak berubah seiring dengan pertumbuhan penduduk). Hal ini akan bermanfaat untuk

162

melihat keterbandingan kondisi dari waktu ke waktu dan keterbandingan antara daerah.

Dari beberapa klasifikasi kepadatan penduduk yang ada harus dipilih salah satu yang akan digunakan sebagai acuan dalam penghitungan. Dalam hal ini akan digunakan klasifikasi sesuai Undang-Undang No. 56/PRP/1960. Alasan pemilihan metode klasifikasi ini adalah karena ada dasar hukum yang kuat yang bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, kisaran klasifikasi dari NUDS dirasa terlalu luas. Namun demikian ada sedikit perubahan yaitu untuk kategori ‘tidak padat’ dan ‘kurang padat’ dijadikan satu kategori karena sebenarnya keduanya masuk dalam kategori kepadatan penduduk yang rendah. Berkaitan dengan hal tersebut, besaran untuk parameter kepadatan penduduk sebagai berikut:

1) Penduduk ‘jarang’ dengan kepadatan penduduk < 250 jiwa/Km2 masuk kategori rendah dengan skor 1

2) Penduduk ‘padat’ dengan kepadatan penduduk 250 – 400 jiwa/Km2 masuk kategori sedang dengan skor 3

3) Penduduk ‘sangat padat’ kepadatan penduduk > 400 jiwa/Km2 masuk kategori tinggi dengan skor 5.

b. Kepadatan Penduduk Agraris

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), kepadatan penduduk agraris adalah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah penduduk pada suatu daerah dengan luas lahan pertanian yang tersedia. Kepadatan penduduk agraris dinyatakan dalam orang/Ha. Melalui kepadatan penduduk agraris versi BPS tersebut akan diketahui daya dukung lahan pertanian untuk menyediakan pangan bagi penduduk di wilayah tersebut. Oleh karena itu, besaran yang digunakan dalam formulasi untuk parameter kepadatan penduduk agraris adalah luas lahan pertanian (Ha) untuk ketersediaan pangan bagi setiap orang dalam satu tahun.

Menurut Sumarno (2006), kebutuhan makan pokok orang per hari setara dengan 370 gram beras; atau 493 gram jagung; atau 833 gram ubi kayu segar. Dengan demikian kebutuhan pangan per orang dalam satu tahun setara dengan 135 kg beras; atau 180 kg jagung; atau 300 kg ubi kayu segar. Sedangkan produktivitas lahan 4,58 ton gabah kering giling

163

(GKG)/ha atau 2,75 ton beras/ha; atau 3 ton jagung/ha; atau 14 ton ubi kayu segar/ha.

Dalam penentuan besaran untuk parameter kepadatan penduduk agraris ini diasumsikan kebutuhan pangan hanya dipenuhi dari beras, artinya setiap orang membutuhkan 135 kg beras setiap tahunnya. Apabila lahan pertanian merupakan lahan sawah yang dapat ditanami satu kali dalam setahun, maka minimal dibutuhkan (135 kg/2.750 kg/ha) ~ 0,049 ha ~ 0,050 ha lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan per orang, artinya kepadatan agraris mencapai 20 orang/Ha. Namun apabila dapat ditanami 2 kali setahun maka luas minimal yang diperlukan 0,025 ha, artinya kepadatan agraris mencapai 40 orang/Ha. Untuk itu, perbaikan besaran untuk parameter kepadatan penduduk agraris sebagai berikut:

1) Lahan < 0,025 (kepadatan agraris > 40 orang/ha) masuk dalam kategori tinggi dengan skor 5;

2) Lahan 0,025 - 0,05 (kepadatan agraris 20 – 40 orang/ha) masuk dalam kategori sedang dengan skor 3;

3) Lahan > 0,05 (kepadatan agraris < 20 orang/ha) masuk dalam kategori rendah dengan skor 1.

c. Tingkat Pendapatan

Besaran untuk tingkat pendapatan akan didasarkan pada garis kemiskinan. Pertimbangan yang mendasarinya yaitu apabila tingkat pendapatan per kapita masih di bawah garis kemiskinan, berarti masyarakat belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini tidak hanya pangan tetapi juga sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Dalam kaitan dengan pengelolaan DAS, semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat memberikan tingkat kerentanan yang semakin tinggi terhadap DAS.

Garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikeluarkan pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 152.847,- per kapita per bulan. Garis kemiskinan tersebut 74,99% komponennya merupakan komponen makanan dengan perincian: garis kemiskinan makanan Rp. 114.619,- dan garis kemiskinan non makanan Rp. 38.228,- per kapita per bulan (Berita Resmi Statistik No. 47/IX/1 September 2006) yang keduanya dihitung berdasarkan pengeluaran. Berdasarkan

164

standar BPS tersebut, garis kemiskinan adalah sebesar Rp. 1.834.164,-/kapita/tahun yang terdiri dari garis kemiskinan makanan Rp. 1.375.428,-/kapita/tahun dan non makanan sebesar Rp. 458.736,-/kapita/tahun.

Nilai tersebut sangat rendah apabila dibandingkan dengan standar kemiskinan Internasional (Bank Dunia) yang ditetapkan sebesar US$ 2 per orang per hari. Apabila nilai kurs Rp. 9.000,- per dollar, maka garis kemiskinan Rp. 540.000,-/orang/bulan atau Rp. 6.480.000,-/orang/tahun. Selain itu, Bank Dunia juga menetapkan klasifikasi penduduk sangat miskin untuk yang pengeluaran per harinya di bawah US$ 1 (Perdana, 2000). Dengan asumsi kurs Rp. 9.000,- per dollar maka standar kemiskinan sebesar Rp. 270.000,-/kapita/bulan atau Rp. 3.240.000,-/kapita/tahun. Namun demikian, standar Bank Dunia yang berlaku secara universal untuk semua negara tersebut dirasa kurang tepat bila diterapkan di Indonesia atau Negara berkembang umumnya, karena nilai riil uang sebesar US$ 2 di Negara maju dan Negara berkembang sangat berbeda. Artinya, dengan jumlah uang yang sama dimungkinkan bisa dibeli bahan makanan yang lebih banyak di Indonesia atau Negara berkembang umumnya daripada dibelanjakan di Negara maju (Anonim, 2007).

Dalam penentuan besaran tingkat pendapatan akan digunakan garis kemiskinan yang dikeluarkan BPS sebagai acuan penghitungan. Dari garis kemiskinan yang dikeluarkan BPS dapat dilihat bahwa pemerintah masih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan makanan, padahal kebutuhan dasar manusia mencakup juga sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Berdasarkan rasio antara pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk barang dan jasa (GSR = Goods Service Ratio) dapat dilihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran untuk pangan lebih besar daripada non-pangan mengindikasikan bahwa masyarakat belum sejahtera. Sesuai dengan teori Engel (dalam Rahayu, 2008), bahwa rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) akan mengalokasikan pengeluaran untuk makanan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran non-pangan. Idealnya kebutuhan akan makanan pokok dalam komposisi garis kemiskinan di bawah 50%. Oleh karena itu, apabila BPS menggunakan garis kemiskinan makanan Rp. 114.619,-, maka

165

paling tidak garis kemiskinan non makanan juga mempunyai nilai yang sama agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Artinya, garis kemiskinan yang digunakan paling tidak Rp. 229.238,- per kapita per bulan atau Rp. 2.750.856,-/kapita/tahun.

Dalam Berita Resmi Statistik No. 47/IX/1 September 2006 ada empat kriteria yang digunakan oleh BPS untuk pengelompokan yaitu masyarakat yang pengeluarannya < garis kemiskinan (GK) masuk dalam kriteria miskin, 1 GK – 1,25 GK masuk hampir miskin, 1,25 GK – 1,5 GK masuk hampir tidak miskin, dan > 1,5 GK masuk penduduk tidak miskin.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dan dengan memperhatikan empat kriteria penggolongan yang digunakan BPS, akan disusun perbaikan besaran tingkat pendapatan untuk formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan SubDAS. Besaran standar kemiskinan yang digunakan adalah Rp. 2.750.856,-/kapita/tahun yang ditentukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pengeluaran makanan dan non makanan. Namun demikian, besaran rupiah yang digunakan sebagai standar kemiskinan tersebut akan berubah apabila garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS mengalami perubahan. Setelah dilakukan penyederhanaan nilai, perbaikan besaran untuk parameter tingkat pendapatan sebagai berikut.

1) Tingkat pendapatan < 0,67 standar kemiskinan (< Rp. 1.834.200,-/kapita/tahun), artinya sangat miskin dan masuk dalam kategori tinggi dengan skor 5. Angka tersebut berdasarkan garis kemiskinan yang dikeluarkan BPS tahun 2006 sebesar Rp. 1.834.164,-/kapita/tahun yang proporsinya masih lebih berat pada pengeluaran untuk makanan. Dengan standar ini sebenarnya orang belum mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.

2) Tingkat pendapatan 0,67 – < 1 (standar kemiskinan) atau Rp. 1.834.200,- - < Rp. 2.750.900,-/kapita/tahun, artinya miskin dan masuk dalam kategori agak tinggi dengan skor 4.

3) Tingkat pendapatan 1 – < 1,25 standar kemiskinan (Rp. 2.750.900,- - < Rp. 3.438.600,-/kapita/tahun, artinya

166

hampir miskin dan masuk dalam kategori sedang dengan skor 3.

4) Tingkat pendapatan 1,25 - < 1,5 standar kemiskinan (Rp. 3.438.600,- - < Rp. 4.126.300,-/kapita/tahun, artinya hampir tidak miskin dan masuk dalam kategori agak rendah dengan skor 2.

5) Tingkat pendapatan ≥ 1,5 standar kemiskinan (≥ Rp. 4.126.300,-/kapita/tahun), artinya tidak miskin dan masuk dalam kategori rendah dengan skor 1.

Berdasarkan pengalaman tersebut maka formulasi untuk kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan diperbaiki sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.

Besaran yang telah direvisi tersebut, kemudian dicoba untuk menganalisa data yang dikumpulkan. Dengan menggunakan formulasi baru tersebut maka kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan pada SubDAS Walikan Hilir memiliki nilai 2,7 (Tabel 6) atau masuk kategori sedang (agak rentan), sedangkan kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan pada SubDAS Walikan Hulu memiliki nilai 2,5 (Tabel 7) atau masuk kategori agak rendah (sedikit rentan). Hal itu terjadi karena kepadatan penduduk di wilayah hilir masuk dalam kategori tinggi. Sedang untuk parameter perilaku konservasi dan ketergantungan terhadap lahan pada kedua wilayah (hilir dan hulu) itu saling berlawanan. Untuk wilayah hilir, kerentanan perilaku konservasinnya masuk kategori rendah tetapi ketergantungan terhadap lahannya sedang. Sedangkan untuk wilayah hulu, kerentanan perilaku konservasinya masuk kategori sedang tetapi ketergantungan terhadap lahannya rendah.

167

Tabel 5. Revisi formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan Kriteria Parameter Besaran Kategori Skor

Sosial (50%)

Kepadatan penduduk geografis (10%)

< 250 jiwa/Km2 250 – 400 Jiwa/Km2 > 400 jiwa/Km2

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Kepadatan penduduk agraris (10%)

< 20 orang/Ha 20 – 40 orang/Ha > 40 orang/Ha

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Perilaku konservasi (20%)

- konservasi telah melembaga dalam masyarakat (masyarakat betul-betul tahu manfaat konservasi, tahu tekniknya dan melaksanakan)

- masyarakat tahu konservasi tetapi tidak melakukan

- tidak tahu dan tidak melakukan konservasi

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Hukum adat (5%)

- Adat istiadat (pelanggar dikucilkan)

- Kebiasaan (pelanggar didenda)

- Tata kelakuan (pelanggar ditegur)

- Cara (pelanggar dicemooh)

- Tidak ada hukuman

Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi

1 2 3 4 5

Nilai tradisional terkait dengan pengelolaan lahan (5%)

- Ada dan masih dipegang teguh

- Ada tetapi sudah mulai diabaikan

- Tidak ada

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Ekonomi (40%)

Ketergantungan terhadap lahan (20%)

< 50% 50 % - 75 % > 75%

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Tingkat pendapatan (10%)

≥ 1,5 standar kemiskinan*) 1,25 – <1,5 standar kemiskinan 1 – <1,25 standar kemiskinan 0,67 – <1 standar kemiskinan < 0,67 standar kemiskinan

Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi

1 2 3 4 5

Kegiatan dasar LQ pertanian < 1 Rendah 1

168

Kriteria Parameter Besaran Kategori Skor wilayah (10%) LQ pertanian = 1

LQ pertanian > 1 Sedang Tinggi

3 5

Kelembagaan (10%)

Keberdayaan kelembagaan informal pada konservasi (5%)

Ada dan berperan Ada tetapi tidak berperan Tidak ada

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Keberdayaan kelembagaan formal pada konservasi (5%)

Sangat berperan Cukup berperan Tidak berperan

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Catatan : *) Garis kemiskinan yang digunakan adalah dua kali garis kemiskinan makanan

yang dikeluarkan BPS tahun 2006 yaitu Rp. 114.619,-/kapita/bulan atau Rp. 2.750.856,-/kapita/tahun.

**)Besaran rupiah yang digunakan sebagai standar kemiskinan tersebut akan berubah apabila standar kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS mengalami perubahan.

Tabel 6. Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan Hilir dengan formulasi baru

Kriteria Parameter/Bobot Hasil Penilaian

Skor Skor x Bobot

Sosial Kepadatan penduduk geografis (10%)

tinggi 5 50

Kepadatan penduduk agraris (10%)

rendah 1 10

Perilaku konservasi (20%) rendah 1 20 Hukum adat (5%) Tinggi 5 25 Nilai tradisional (5%) rendah 1 5 Ekonomi Ketergantugan terhadap lahan

(20%) sedang 3 60

Tingkat pendapatan (10%) rendah 1 10 Kegiatan dasar wilayah (10%) tinggi 5 50 Kelembagaan Keberdayaan kelembagaan

informal pada konservasi (5%) sedang 3 15

Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)

Tinggi 5 25

Kerentanan soseklem 270

169

Tabel 7. Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di Sub DAS Walikan Hulu dengan formulasi baru

Kriteria Parameter/Bobot Hasil Penilaian

Skor Skor x Bobot

Sosial Kepadatan penduduk geografis (10%)

sedang 3 30

Kepadatan penduduk agraris (10%)

rendah 1 10

Perilaku konservasi (20%) sedang 3 60 Hukum adat (5%) tinggi 5 25 Nilai tradisional (5%) rendah 1 5 Ekonomi Ketergantugan terhadap lahan

(20%) rendah 1 20

Tingkat pendapatan (10%) rendah 1 10 Kegiatan dasar wilayah (10%) tinggi 5 50 Kelembagaan

Keberdayaan kelembagaan informal pada konservasi (5%)

sedang 3 15

Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)

tinggi 5 25

Kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan 250

Apabila dikaitkan dengan kondisi lahan kritis di SubDAS Walikan sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, memang ada kesesuaian. Wilayah hilir masuk dalam kategori sedang (agak rentan/agak kritis) dan wilayah hulu masuk dalam kategori agak rendah (sedikit rentan/sedikit kritis). Hal tersebut menunjukkan bahwa formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan dapat digunakan sebagai diagnosis degradasi lahan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 1. Dengan menggunakan formulasi kerentanan sosial

ekonomi dan kelembagaan dalam Sidik Cepat Degradasi SubDAS, tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan masuk dalam kategori agak rentan dengan skor 2,6 untuk wilayah hilir dan 3,1 untuk wilayah hulu.

2. Formulasi yang digunakan masih memerlukan penyempurnaan, karena dalam implementasi di lapangan ditemui beberapa kendala. Oleh karena itu, diusulkan revisi

170

formulasi kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan khususnya untuk parameter perilaku konservasi, kepadatan penduduk geografis, kepadatan penduduk agraris, tingkat pendapatan serta kelembagaan formal dan informal.

3. Hasil penilaian tingkat kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan di SubDAS Walikan dengan menggunakan formulasi hasil revisi yaitu kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan wilayah hilir masuk dalam kategori sedang (agak rentan) dengan skor 2,7 dan wilayah hulu masuk dalam kategori agak rendah (sedikit rentan) dengan skor 2,5. Hasil kalkulasi ini sesuai dengan tingkat kekritisan lahan hasil penelitian Paimin dkk.

5.2 Saran Kerentanan yang tinggi terletak pada hukum adat, kegiatan

dasar wilayah dan keberdayaan lembaga formal pada konservasi lahan, maka diperlukan aturan, penyuluhan terhadap petani dan pemberdayaan kelembagaan pada kegiatan konservasi lahan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Laporan Kemiskinan Bank Dunia di Indonesia Tak

Sesuai Kenyataan.http://www.kapanlagi.com/h/0000151546.html BPS. 2006. Berita Resmi Statistik No. 47/IX/1 September 2006.

Jakarta. Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No.

52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Jakarta.

Eswaran, H dan J. Dumanski. 1998. Land Degradation and Sustainable Agriculture; A Global Perspective. Hlm 208-226 Dalam Bushan, L.S, I.p. Abrol, M.S. Rama Mohan Rao. Eds. Soil and Water Conservation. Challenges and Oppurtunities, 8th International Soil Conservation Conference, Vol. I. Indian Assc, of Soil and Water Cons. Deha Dun. India.

FAO. 1985. Applied Research Needs and Soil Conservation Techniques For Field Trial in The Outer Islands. Ministry of Forestry and United Nations Development Programme.

Paimin, dkk. 2007. Kajian Implementasi Pengelolaan DAS Pada Skala Mikro. Laporan Penelitian Tahun 2007. Balai Penelitian Kehutanan Solo. Surakarta.

171

Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (SubDAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Musi Rawas. http://musi-rawas.go.id/musirawas/images/stories/pdf/bab25.pdf

Perdana, A. 2000. Angka Kemiskinan Versi Bank Dunia dan Sensitivitasnya. A collection of published essay or articles. http://koleksiartikel.blogspot.com/2000/12/

Sukresno dkk. 2005. Laporan Kajian Karakterisasi DAS Zona Ekologi Jawa dan Sumatera. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS IBB. Badan Litbang Kehutanan.

Sumarno. 2006. Pentingnya Setiap Propinsi Berswasembada Beras. SINARTANI Edisi 1, 7 Maret 2006.

172

Lampiran 1. Formulasi kerentanan dan potensi sosial ekonomi dan kelembagaan

Kriteria Parameter Besaran Kategori Skor Sosial (50%)

Kepadatan penduduk geografis (10%)

< rata-rata kabupaaten = rata-rata kabupaten > rata-rata kabupaten

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Kepadatan penduduk agraris (10%)

> 0,25 Ha = 0,25 Ha < 0,25 Ha

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Perilaku konservasi (20%)

> 80% luas SubDAS 60 – 79% 40 – 59% 20 – 39% <19%

Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi

1 2 3 4 5

Hukum adat (5%) Adat istiadat (pelanggar dikucilkan) Kebiasaan (pelanggar didenda dengan pesta adat) Tata kelakuan (pelanggar ditegur ketua adat/orang lain)) Cara (pelanggar dicemooh) Tidak ada hukuman

Rendah Agak rendah Sedang Agak tinggi Tinggi

1 2 3 4 5

Nilai tradisional terkait dengan pengelolaan lahan (5%)

Ada Tidak ada

Rendah Tinggi

1 5

Ekonomi (40%)

Ketergantungan terhadap lahan (20%)

< 50% 50 % - 75 % > 75%

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Tingkat pendapatan (10%)

> pendapatan per kapita Kabupaten

= pendapatan per kapita Kabupaten

< pendapatan per kapita Kabupaten

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Kegiatan dasar wilayah (10%)

LQ pertanian < 1 LQ pertanian = 1 LQ pertanian > 1

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Kelembagaan (10%)

Keberdayaan kelembagaan informal pada konservasi (5%)

Konservasi telah melembaga dalam masyarakat Masyarakat tahu konservasi tapi tidak melakukan Tidak tahu dan tidak melakukan konservasi

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Keberdayaan kelembagaan formal pada konservasi (5%)

Sangat berperan Cukup berperan Tidak berperan

Rendah Sedang Tinggi

1 3 5

Sumber: Paimin, dkk. (2006)