Pasca Panen n Pngolahan Jagung
Click here to load reader
Transcript of Pasca Panen n Pngolahan Jagung
ALTERNATIF TEKNOLOGI PASCA PANEN DAN PENGOLAHAN JAGUNG
Agus Sutanto, Dwi Nugraheni dan Kendriyanto
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sektor pangan merupakan bagian strategis dari pembangunan nasional.
Pemantapan ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan pembangunan
sektor pertanian, karena menyangkut unsur ketersediaan pangan yang
merupakan hasil dan usaha peningkatan produksi pertanian. Upaya ini pernah
tercapai dengan program swa sembada pangan nasional.
Kebutuhan akan pangan selalu mengikuti trend jumlah penduduk. Pada
perkembangan selanjutnya kebutuhan pangan juga dipengaruhi oleh
peningkatan pendapatan per kapita, perubahan pola konsumsi masyarakat dalam
globalisasi situasi pangan dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa diversifikasi
pangan sangat diperlukan untuk mendukung pemantapan swasembada pangan.
Dari kondisi ini maka harus dapat dipenuhi dua hal, yaitu penyediaan bahan
pangan dan diversifikasi olahan pangan (Saenong dkk, 2002).
Agroindustri dengan bahan baku jagung saat ini sudah banyak beredar
secara luas, seperti minyak jagung, sirup jagung dan gula jagung, dan lain-lain.
Namun semua produk tersebut masih berbau luar negeri, sehingga harganya
menyesuaikan pada orang yang lebih mempunyai kelebihan penghasilan.
Dengan demikian semakin jelas bahwa makanan dari bahan jagung bukan lagi
menjadi bahan pangan yang ‘inferior’ lagi saat ini. Bahkan dengan slogan yang
semakin menjanjikan bahwa makanan dari jagung tersebut dapat menurunkan
kadar gula darah dan non kolesterol (Corputty, 1977), maka produk tersebut
semakin banyak dicari dan dikonsumsi banyak orang.
Sayangnya, produk–produk industri dari bahan jagung di atas masih
menggunakan teknologi tinggi, sehingga masih belum terjangkau dengan
teknologi yang ada di petani atau masyarakat umum. Produk olahan tradisional
dari bahan jagung, seperti marning, grits, emping, tepung jagung dan kue–kue
dari bahan jagung, masih banyak diproduksi oleh masyarakat Jawa Tengah pada
umumnya. Maka dengan meminjam slogan tentang keunggulan bahan jagung
yang dapat menurunkan kadar gula dan non kolesterol ini, sepantasnya makanan
tradisional tersebut dapat diperbaiki cara pengolahan dan penampilan, sehingga
dapat menarik daya beli banyak orang. Cara pengolahannya harus lebih hygienis
dan nilai gizinya masih tetap dipertahanka, dengan penanganan pasca panen dan
pengolahan atau prosesing yang tepat.
Komoditi jagung mempunyai potensi besar sebagai bahan baku industri
makanan, minuman, minyak dan pakan ternak. Kandungan protein jagung lebih
tinggi dari pada beras, sehingga cocok sebagai bahan makanan yang bergizi.
Hasil analisa yang dilakukan oleh Balai Penelitian Jagung dan Serealia adalah
kandungan protein dari 100 g bahan tepung jagung, sorgum dan terigu berturut
– turut sebanyak 9.2 g, 11.0 g dan 11.5 g yang lebih tinggi dibanding dengan
tepung beras yang hanya mengandung protein sebanyak 7.0 g (Suarni, 2002).
Berbagai produk olahan tradisional dari jagung mempunyai beragam nama dan
aneka olahan, diantaranya adalah marning, nasi jagung, kerupuk jagung,
gempol, dan lain-lain. Bila dalam cara pengolahannya dilakukan dengan benar,
hal ini akan mempunyai nilai gizi yang lebih baik.
Dalam kegiatan yang dilaporkan ini dilakukan pembinaan kepada petani
koopertor sampai mampu berproduksi dengan baik. Untuk mengetahui tingkat
perubahan dan kemajuan pengkajian perlu dilakukan pengukuran – pengukuran
indikator teknis, sosial dan ekonomi. Pengukuran ini dilakukan pada setiap
pembinaan, sehingga setiap ada perubahan introduksi teknologi dapat diperbaiki
dengan segera. Kegiatan ini juga diharapkan mampu untuk memotivasi petani
dalam meningkatkan pendapatan usahatani melalui kegiatan ‘home industri’.
1.2 Sumber Teknologi
1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
2 Balai Penelitian Serealia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
3 Balai Besar Pasca Panen, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
1.3 Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
Tujuan :
1. Penerapan teknologi alat dan mesin pemipil dan penepung jagung
2. Penerapan teknologi diversifikasi pengolahan aneka makanan dari bahan
jagung untuk peningkatan pendapatan petani.
Manfaat :
1. Petani mampu menerapkan cara pengelolaan pasca panen jagung untuk
menekan kehilangan hasil produk dan kualitasnya.
2. Tersosialisasinya teknologi pasca panen jagung melalui partisipasi aktif
petani dalam kegiatan di lapangan.
3. Peningkatan produktivitas usahatani lahan kering berbasis jagung serta
tumbuh dan berkembangnya aneka produk olahan jagung
4. Peningkatan pendapatan usahatani melalui penanganan pasca panen dan
pengolahan produk jagung
II. PENGERTIAN BEBERAPA ISTILAH
Pemanenan : penentuan waktu panen, pemungutan hasil, pengumpulan dan
pengangkutan ke tempat proses selanjutnya
Pengupasan : pelepasan kulit, pemisahan kulit, pemisahan jagung tongkol
muda dan rusak.
Pengeringan : proses pengeringan, pengangkutan, dan proses selanjutnya
Pemipilan : melepas biji dari tongkol, memisahkan tongkol, memisahkan
kotoran dan mengangkut jagung pipilan.
Penyimpanan : mempertahankan kondisi bahan agar tidak susut dan turun
mutunya sebelum diproses lebih lanjut.
Grading dan standarisasi : memisahkan produk berdasarkan klas/ kriterianya
sebelum dilakukan pengemasan.
Peningkatan daya guna jagung : pembuatan beras jagung, tepung jagung,
sirup jagung, gula jagung, dan lain-lain.
Menurut Thahir dkk. (1989), kegiatan butir 1 sampai 5 umumnya dilakukan oleh
petani. Kegiatan grading dan standarisasi dilakukan oleh BULOG dan KUD,
sedangkan pendayagunaan hasil umumnya banyak dilakukan oleh sektor industri.
III. LOKASI PENGKAJIAN DAN DAERAH REKOMENDASI
Lokasi Pengkajian :
Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Pelaksanaan
pengkajian dilakukan pada T.A 2004 – 2006.
Daerah Rekomendasi :
Daerah rekomendasi adalah daerah pada lahan kering dataran rendah ataupun
dataran tinggi yang mempunyai komoditi pertanaman tanaman jagung. Daerah–
daerah tersebut misalnya di Kabupaten Temanggung, Grobogan, Boyolali,
Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, Batang, Tegal, Pemalang,
Pekalongan.
IV. LANGKAH OPERASIONAL PENERAPAN TEKNOLOGI
1 Pemipilan jagung
Untuk meningkatkan efisiensi waktu dan menekan biaya, maka dilakukan
pemipilan jagung dengan menggunakan alat pemipil jagung. Alat yang
digunakan bisa secara manual maupun dengan mesin penggerak. Alat pemipil
jagung tanpa menggunakan mesin penggerak motor yang digunakan antara lain
: pemipil engkol (dengan tangan), dan pemipil pedal threser (dengan kaki).
Jagung yang akan dipipil harus dalam kondisi kering benar dengan kadar air +
14 %, hal ini untuk menghindari kerusakan yang terjadi akibat gesekan ataupun
pukulan alatnya.
2 Pemberasan dan penepungan jagung
Jagung yang akan diproses menjadi bahan makanan perlu dilakukan
proses lanjutan, dengan membuat beras dan tepung jagung. Secara tradisional
pemberasan dan penepungan jagung dapat dilakukan dengan ditumbuk biasa.
Namun untuk mempercepat proses pemberasan dan penepungan dapat
Gb. 1. Alat pemipil jagung tipe pedal (pedal threser)
digunakan Alsin pemberas dan penepungan. Alsin pemberas dan penepung ini
sudah banyak diusahakan orang dengan cara upahan per kg hasil, melalui usaha
pelayanan jasa alsintan (UPJA).
Perlakuan pemberasan jagung dimaksudkan untuk menghilangkan kulit
ari dan sekaligus memperkecil ukuran jagung. Hal ini akan memudahkan untuk
proses penepungan selanjutnya. Sebelum dilakukan atau dimasukkan dalam
Alsin penepung, beras jagung harus direndam selama + 24 jam untuk
memudahkan dalam penepungan.
3 Peningkatan daya guna jagung
Manfaat jagung sebagai subsititusi bahan pangan sangat banyak
perannya. Beberapa produk bahan makanan dari jagung yang sudah biasa
ditemui di Jawa Tengah adalah nasi jagung dan marning. Namun apabila digali
lebih banyak, manfaat jagung ini sangat banyak sekali, diantaranya dibuat
menjadi kerupuk jagung, aneka kue kering, tortilla, grits, dan sebagainya.
Sebagai alternatif pembuatan olahan dari bahan jagung yang telah berhasil
Gb. 2. Alsin pemberas jagung
Gb. 3. Alsin penepung jagung
dicoba dan dikembangkan adalah pembuatan kerupuk jagung sebagai usaha
industri rumah tangga petani. Selain itu juga dapat diolah menjadi kue kering
(kue semprit).
a. Pembuatan kerupuk jagung : Pembuatan kerupuk jagung ini dapat
dilakukan dalam bentuk bahan kerupuk jagung (kerupuk jagung mentah)
maupun kerupuk jagung yang siap saji (kerupuk jagung matang). Urutan
proses pembuatan kerupuk jagung adalah dari jagung pipilan kering
kemudian digiling menjadi beras jagung dengan polysher. Beras jagung
dimasukkan dalam air (direndam) selama 24 jam, lalu digiling halus dengan
alsin penepung sehingga diperoleh tepung jagung. Dari tepung jagung
diolah menjadi nasi jagung dengan cara dikukus. Pengukusan nasi jagung
dilakukan sebanyak sekali saja dan pada waktu pengukusan ini juga
dimasukkan bumbu – bumbu, seperti : garam dan bawang putih. Kemudian
nasi jagung ditumbuk dalam ’lumpang’ sebentar, tidak sampai lembut. Dari
tumbukan ini kemudian dicetak tipis – tipis, dengan alat penggiling mie.
Potongan kerupak jagung dengan ukuran 2 x 3 cm, dijemur sampai kering
pada panas matahari. Seperti telah disampaikan di depan, dari kerupuk
jagung mentah tersebut bisa langsung dikemas dan dijual d pasar ataupun
dari bahan kerupuk jagung mentah ini lalu digoreng dan dikemas sebagai
produk siap saji.
b. Pembuatan kue semprit : Kue ini menggunakan bahan dari tepung
jagung atau maizena yang banyak dijual di pasaran. Tepung maizena dapat
sebagai bahan utama maupun sebagai bahan substitusi, karena resep aslinya
adalah menggunakan tepung terigu. Kue semprit maizena biasa disebut
sebagai kue semprit karena dibuat dengan cara ditekan atau disemprotkan.
Umumnya kue kering semprit dibuat dengan creaming methode, maksudnya
adalah mentega/margarin dikocok bersama gula.
V. HASIL KERAGAAN TEKNOLOGI
1. Alat Pemipil Jagung
Ada beberapa tipe/ jenis alat yang dapat dipergunakan untuk memipil
jagung tongkol, antara lain mesin pemipil, pemipil pedal, pemipil tangan dan
pemipil tradisional (seperti parutan). Masing – masing alat menghasilkan
kapasitas dan mutu yang tidak sama. Dari hasil kajian ditunjukan bahwa pemipil
jagung tipe pedal mempunyai kapasitas lebih besar dibanding dengan pemipil
tangan/ engkol.
Alsin pemipil jagung tipe engkol (hand sheller) banyak dijual di pasar
bebas, merupakan produk pabrikan yang sudah baku dan mudah ditemukan di
toko alat / mesin pertanian (Gambar 4). Sedangkan tipe pedal (Pedal threser)
adalah alat pemipil jagung hasil pengembangan prototipe PJ – 1 dari Balai
Penelitian Kacang dan Umbi-umbian. Dalam pembuatannya, tipe pedal
mengalami modifikasi dari bengkel pembuatnya, yaitu adanya tempat duduk dan
roda untuk memindahkan alat (Gambar 1).
Dari kajian tiga cara pemipilan jagung diperoleh keragaan performans
(unjuk kerja) masing – masing alat dilihat dari aspek teknis kapasitas alat,
efisiensi dan daya tumbuhnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Kapasitas efektif alat pemipil tipe engkol lebih kecil dibandingkan dengan tipe
pedal, namun masih lebih besar dibanding dengan cara tradisional. Alat pemipil
tipe engkol bentuknya lebih kecil, mempunyai lubang ‘intake’ jagung yang bisa
diatur. Lubang ‘intake’ gunanya untuk memasukkan jagung yang akan dipipil.
Lubang ini bisa diatur besar dan kecilnya sesuai diameter tongkol jagung yang
dimasukkan. Bila tongkol jagung besar, maka ‘intake’ harus besar pula, karena
bila ‘intake’ kecil menyebabkan tongkol tidak masuk dan tidak dipipil. Pada
keadaan sebaliknya, jagung kecil dimasukkan pada ‘intake’ yang besar, jagung
tidak terpipil atau terpipil sedikit, karena tidak ada gesekan pada baris jagung
dengan baik.
Tabel 1. Kapasitas rata – rata hasil pipilan jagung dari 4 jenis alat pipil jagung
No Alat pipil K.e (kg/jam) E.p (%) K.p. (%) D.t. (%)
1 Pedal (Pedal threser) 165.0 98.7 1.3 63.3
2 Engkol (Hand sheller) 47.3 94.7 1.5 61.3
3 Tradisional 20.2 100.0 1.1 67.3
4 Power threser PJ-M1 1400.0 95.8 3.7 -
Keterangan : K.e. = kapasitas efektif alat pemipil jagung ( kg/jam ) E.p. = efisiensi pemipilan jagung ( % ) K.p. = kerusakan hasil pipilan jagung ( % ) D.t. = daya tumbuh hasil pipilan jagung ( % )
2. Penyimpanan
Kerusakan butir jagung juga dapat menyebabkan daya tumbuhnya menjadi
rendah. Dari hasil pipilan dengan dengan persentase kerusakan hampir sama,
setelah diuji daya tumbuhnya menunjukkan bahwa perlakuan pemipilan jagung
cara tradisional mempunyai persentase daya tumbuh tertinggi ( 67,3 % ).
Kemudian disusul masing – masing alat pipil tipe pedal mempunyai daya tumbuh
63,3 % dan tipe engkol mempunyai daya tumbuh 61,3 %. Terhadap cara
tradisional (kontrol) mempunyai daya tumbuh tertinggi (67,3 %) dan berbeda
nyata dibanding dengan kedua alat pemipil yang diperkenalkan. Sedangkan
untuk penggunaan alat pemipil jagung tidak mempunyai beda nyata pada efek
daya tumbuh hasil pipilannya.
Gb. 4. Hand sheller, banyak dijual di toko Alsintan
Biasanya untuk memperoleh benih jagung hanya memerlukan jumlah yang
sedikit saja. Untuk itu pemipilan jagung dengan tujuan sebagai bibit jagung
disarankan untuk dipipil dengan cara tradisional. Namun apabila pemipilan
jagung untuk memperoleh benih yang baik dan jumlah banyak atau untuk tujuan
komersial, maka penggunaan alat pemipil sangat diperlukan untuk digunakan.
Alat pemipil yang digunakan bisa alat pemipil tipe pedal maupun tipe engkol,
karena hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Apabila petani ingin
mencukupi kebutuhan benihnya sendiri, maka lebih baik dilakukan pemipilan
dengan cara tradisional. Hal ini selain dapat memilih langsung bagian biji yang
baik, juga dapat menseleksi biji yang baik dan hasil kerusakan biji paling sedikit.
3. Alat Pemberas dan Penepung
Penggunaan alsin pemberas jagung dapat membantu pengolahan bahan
pangan jagung dipedesaan. Alat tradisional untuk pemberasan jagung ini adalah
dengan ditumbuk menggunakan alu. Proses pemberasan jagung ini secara
bahasa setempat disebut sebagai ‘gecrok’. Untuk pekerjaan gecrok secara
tradisional memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang melelahkan.
Sedangkan menggunakan alsin pemberas, yang fungsinya sebagai pengganti
gecrok, sangat efektif dan efisien dalam prosesnya. Dari uji coba proses
pemberasan pada beberapa varietas jagung adalah sebagaimana pada Tabel 2.
Tabel 2. Rerata keragaan unjuk kerja alsin pemberas jagung
No Varietas Jagung Kapasitas (kg/jam) Rendemen (%)
1 MS 2 400 72
2 Bisi 2 350 82
3 P 11 375 71
4 Srikandi Putih 380 73
5 Lokal 450 52
Rata - rata 391 70
Dari Tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa kapasitas alsin dalam
memproses menjadi beras jagung rata – rata 391 kg/jam. Kapasitas terbesar
diperoleh pada jagung lokal sebesar 450 kg/jam, sedangkan kapasitas lebih kecil
pada jagung varietas P 11. Hal ini menunjukkan bahwa varietas lokal lebih
mudah diproses menjadi beras jagung (digecrok) dari pada varietas hibrida (Bisi
2 dan P11). Namun demikian rendemen yang diperoleh dari hasil gecrok
berbanding terbalik. Rendemen hasil beras jagung tertinggi diperoleh pada
jagung varietas Bisi 2 sebesar 82 %, yang artinya bahwa dari jagung pipilan
sebanyak 100 kg, akan diperoleh sebanyak 82 kg beras jagung. Sedangkan rata
– rata rendemen untuk beberapa varietas jagung adalah 70 % beras jagung.
Pemberasan jagung mempunyai tujuan untuk menghilangkan lembaga dan
sekaligus mengupas kulit arinya. Lembaga jagung mempunyai kandungan lemak
lebih tinggi (Winarno, 1989), sehingga apabila dicampurkan dalam penepungan
selain sulit dibuat tepung juga menyebabkan kandungan lemaknya dapat
menyebabkan mudah mengalami pembusukan. Sedangkan kulit ari jagung
sangat sulit dibuat tepung karena strukturnya terdiri dari bahan / unsur yang
sulit dipecahkan. Dalam masakan pun akan terlihat warna yang lebih mengkilat.
Atau bila dimakan akan terasa kasar bila melewati tenggorokan, sehingga
mengurangi kualitas masakan jagung.
Pembuatan tepung jagung cara basah adalah yang biasa dilakukan petani,
yaitu sebelum digiling perlu perendaman beras jagung selama minimal 1 hari.
Penggilingan dalam keadaan basah dilakukan berulang – ulang karena untuk
memberikan hasil tepung yang lebih lembut. Hal ini mempengaruhi kapasitas
alatnya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan pembuatan beras jagung.
Kapasitas penepungan dalam pengamatan kajian ini diperoleh sebesar 37,5
kg/jam atau 2,6 jam/kw.
Rendemen
100 %
120 %
120 %
100 %
Gb. 5. Diagram alir proses penggilingan jagung dan rendemennya
Tepung jagung
Digiling
Beras jagung
Direndam, 24 jam
4. Peningkatan Daya Guna Jagung
Suatu produk dari bahan dasar jagung sudah banyak dibuat diantaranya :
marning, nasi jagung, dan lain-lain. Selain itu juga dibuat menjadi kerupuk
jagung yang telah dijucoba di Kabupaten Temanggung sejak tahun 2005.
Tahapan proses pembuatan kerupuk jagung adalah sebagaimana pada diagram
berikut :
Gb. 6. Diagram pengolahan kerupuk jagung
Digiling tipis
Kerupuk mentah
Dipotong kecil dan dijemur
Dikukus
Tepung jagung
+ Air, bumbu
Digoreng
Dijual
Nasi jagung
Dikemas
Kerupuk matang
+ Bumbu dan aroma
Bahan utama dalam pembuatan kue semprit ini adalah tepung, bisa dari
tepung terigu, tepung tapioka, tepung maizena, tepung beras, ataupun tepung
ketan. Tepung – tepung ini bisa saling menggantikan atau dikombinasikan,
tergantung dari rasa kue yang diinginkan. Cara – cara atau resep pembuatan
kue semprit adalah sebagai berikut :
Bahan :
Mentega / margarin 150 gr
Gula halus 200 gr
Telur 2 butir
Tepung maizena 250 gr
Tepung terigu 250 gr
Soda kue ½ sdt
Kayu manis bubuk ½ sdt
Cara membuat :
- Kocok gula dan mentega sampai halus, masukkan telur dan kocok sampai
tercampur rata
- Masukkan campuran tepung dan aduk dengan garpu atau sendok kayu
sampai rata benar
- Semprotkan pada loyang yang telah diolesi dengan mentega
- Panggang atau oven dengan api yang sedang sampai matang
VI. KELAYAKAN FINANSIAL 1. Analisa ekonomi penggunaan alat pemipil pedal
Investasi untuk pembelian alat pemipil pedal lebih tinggi dibanding dengan
alat pemipil engkol. Namun alat pemipil pedal mempunyai keunggulan dalam
kemampuan dan kapasitas produksi lebih besar. Dari Tabel 1 diperoleh angka
kapasitas alat pemipil pedal sebesar 165.0 kg/jam atau 6.06 jam/ton jagung
pipilan. Hal ini berarti bahwa untuk menyelasaikan dan memperoleh jagung
pipilan sebanyak 1 ton akan diperlukan waktu selama 6.06 jam dalam
pengoperasian alat pemipil tipe pedal.
Permasalahan dalam analisa ekonomi ini adalah besarnya biaya yang harus
ditanggung untuk pengoperasian alat dengan kapasitas seperti tersebut di atas.
Biaya ini biasa disebut sebagai Biaya Pokok. Biaya pokok secara ekonomi dapat
dihitung per satuan unit produk atau per satuan waktu. Skenario perhitungan
dalam analisis dimulai dari umur alat pemipil jagung (umur 4 dan 5 tahun) dan
upah operator per hari ( Rp. 10.000,- dan Rp. 15.000,-). Sedangkan umur alat
pemipil diambil dari daftar referensi yang ada.
Biaya tetap dalam pengoperasian alat pemipil jagung pedal terdiri dari
biaya penyusutan per tahun dan bunga modal. Biaya penyusutan alat
diperhitungkan untuk menilai alat setelah digunakan. Bunga modal
diperhitungkan dari nilai investasi awal, dalam tahun 2004 ini, besarnya
diasumsikan 12 %. Sedang biaya tidak tetap terdiri dari biaya perawatan dan
perbaikan / RAM (repair and maintenance) dan biaya operator. RAM mengacu
pada pedoman alat dan mesin pertanian secara umum, yaitu sebesar 2 % dari
selisih harga awal dan akhir setiap 100 jam kerja pelayanan ( Sarjono, 2000).
Tabel 3. Skenario analisa ekonomi penggunaan alsin pemipil jagung tipe pedal, Kab. Temanggung, 2004
Umur Alat No Uraian 5 th ( I ) 4 th ( II )
1 Biaya tetap : Biaya penyusutan (Rp/thn) Bunga modal 12%(Rp/thn)
750.000 450.000 300.000
862.500562.500300.000
2 Biaya tidak tetap Biaya perawatan dan perbaikan
(Rp/jam) 450 450
Upah operator (Rp/jam) Rp.10.000 / hari (A) Rp. 15.000 / hari (B)
2.857 4.285
2.8574.285
Σ biaya tidak tetap, pada : - upah A - upah B
3.307 4.735
3.3074.735
3 Biaya pokok, pada : - A - B
31.404 40.061
30.49539.152
4 Biaya pokok + laba 20%, - A - B
37.685 48.073
36.59446982
6 Break even point (t / thn), pada : - A - B
66 66
82,582,5
Biaya operator termasuk dalam biaya variabel ( VC ). Dari Tabel 3 dapat
dilihat bahwa besarnya biaya variabel dipengaruhi oleh besarnya upah operator.
Semakin besar upah operator semakin besar pula biaya variabelnya. Efek
selanjutnya adalah semakin besar pula biaya tidak tetap (VC), menyebabkan
semakin tinggi biaya pokok yang harus dibayar oleh pemakai alat pemipil
tersebut. Dalam Tabel tersebut untuk biaya upah operator per hari = Rp.
10.000,- (P) mengakibatkan biaya pokok sebesar Rp. 31.404,- dan Rp. 30.495,-
(untuk umur pemakaian 5 dan 4 tahun). Sedangkan bila harga upah Rp.
15.000,- meningkatkan biaya pokok menjadi Rp. 40.041,- dan Rp. 39.152,- untuk
usia pemakaian 5 dan 4 tahun.
Biaya pokok tersebut di atas belum termasuk keuntungan yang diterima
oleh pengelola. Dalam perhitungan ini bila diambil keuntungan 20%, maka biaya
pokok yang harus dibayar menjadi biaya sewa sebesar masing – masing Rp.
37.685,- (IP), Rp. 48.073,- (IQ), Rp. 36.594,- (IIP) dan Rp. 46.982,- (IIQ). Jadi
apabila kelompok tani sebagai pengelola alsin untuk menjual jasa dapat
memberikan pelayanan kepada anggota kelompok tani dan petani lain di
sekitarnya dengan jasa sewa sebesar Rp. 31.404,-/ton (skenario IP) atau Rp.
48.073,-/ton (skenario IQ). Namun apabila pihak penyewa tidak menggunakan
operator alat, artinya hanya menyewa alat saja, maka harus membayar uang
sewa alat sebesar Rp. 11.404,- per ton jagung pipilan atau Rp. 11.404,- per hari.
Dan harga sewa ini apabila dibulatkan bisa menjadi Rp. 11.500,- per hari.
Dengan biaya sewa sebesar Rp. 31.500,- (dengan operator) atau
Rp. 11.500,- per hari, maka pihak pengelola harus dapat mencari nasabah
penyewa alat pipil jagung sampai 66 ton per tahun. Hal ini dimaksudkan pada
tahun ke 5 nanti, pihak pengelola dapat menambah alat atau memperbaharui
alat pemipil jagung lagi. Dalam hitungan yang sama apabila pengelola
menghendaki penambahan alat atau memperbaharui alat dalam jangka waktu 4
tahun, maka pengelola harus dapat mencari nasabah penyewa alat pipil jagung
sampai 82.5 ton per tahun.
2. Analisa ekonomi alat pemipil tipe engkol
Pengalokasian dana untuk alat pemipil engkol lebih kecil dibanding dengan
tipe pedal. Sebaiknya setiap pengelola jasa pemipil jagung ini mempersiapkan
alat pemipil yang mempunyai kapasitas kecil, selain mempunyai pemipil kapasitas
besar. Investasi modal alat pemipil engkol ini sebesar Rp. 170.000 / alat. Alat
pemipil engkol ini mempunyai kapasitas sebesar 47.3 kg / jam, lebih kecil
dibanding tipe pedal.
Alat pemipil tipe engkol ini dioperasikan oleh satu orang saja, sehingga
mengurangi komponen biaya variabelnya. Struktur analisa ekonomi masih sama
dengan Tabel 4, sehingga perhitungan untuk memperoleh biaya pokok
menggunakan cara yang sama. Dari Tabel 3 diperoleh Gambaran bahwa untuk
memipil jagung 1 ton memerlukan biaya pokok sebesar Rp. 33.802,- (skenario
IP) atau Rp. 48.863,- (skenario IQ).
Apabila dilihat dari kapasitas alat pemipil engkol sebesar 47.3 kg/jam atau
21.1 jam / ton, maka bisa dihitung bahwa untuk memipil 1 ton jagung
memerlukan waktu 21.1 jam. Kalau dalam sehari biasa kerja selama 7 jam,
berarti untuk memipil jagung 1 ton memerlukan waktu selama 3 hari. Kaitan
dengan biaya pokok di atas berarti untuk memipil 1 ton jagung memerlukan
biaya sebesar Rp. 33.802,- (skenario IP) atau Rp. 48.863,- (skenario IQ),
meskipun harus menunggu selesai sampai 3 (tiga) hari. Namun apabila hanya
menggunakan alat pemipilnya saja, pemilik jagung hanya menyewa alatnya saja,
maka biaya pokok untuk sewa alat bisa dihitung sebesar Rp. 1.268,- atau apabila
dibulatkan menjadi Rp. 1.300,- per hari.
Dengan menggunakan perhitungan secara matematis biasa, maka apabila
pengelola jasa alat pemipil tipe engkol ingin memperbaharui atau menambah alat
lagi dalam jangka waktu 3 tahun (skenario I), maka pihak pengelola harus dapat
mencari nasabah penyewa alat untuk melayani pemipilan sebanyak 23.7 ton /
tahun. Atau bila dikonversi dalam hari, harus disewa oleh petani selama 2 bulan
15 hari. Tapi bila pihak pengelola ingin lebih pendek titik impasnya selama 2
tahun (skenario II), harus bisa melayani pemipilan jagung sebanyak 35.5 ton /
tahun atau dalam konversi hari sebanyak 3 bulan 18 hari.
Tabel 4. Skenario analisa ekonomi penggunaan alsin pemipil jagung tipe engkol, Kab. Temanggung, 2004.
Umur Alat No Uraian
3 th ( I ) 2 th ( II ) 1 Biaya tetap :
Biaya penyusutan (Rp/thn) Bunga modal 12%(Rp/thn)
71.400 51.000 20.400
96.90076.50020.400
2 Biaya tidak tetap Biaya perawatan dan perbaikan
(Rp/jam) 30 30
Upah operator (Rp/jam) Rp.10.000 / hari (A) Rp. 15.000 / hari (B)
1.428 2.143
1.4282.143
Σ biaya tidak tetap, pada : - upah A - upah B
1.458 2.173
1.4582.173
3 Biaya pokok, pada : - A - B
33.802 48.863
33.51548.576
4 Biaya pokok + laba 20%, - A - B
40.562 58.635
40.21858.291
6 Break even point (t / thn), pada : - A - B
23,7 23,7
35,535,5
3. Analisa ekonomi alat pemberas dan penepung jagung
Alsin pemberas jagung memerlukan operator antara 1 – 2 orang, dalam
perhitungan ini menggunakan operator 2 (dua) orang sehingga dapat ditangani
dengan lancar. Kapasitas alsin pemberas jagung adalah 391 kg/jam atau 2.557
jam/ton beras jagung. Bila umur mesin diasumsikan mencapai 4 (empat) tahun,
maka perhitungan kelayakan ekonomi dapat dilihat pada Tabel berikut. Biaya
tetap = Rp. 2.932.500,- per tahun dan biaya tidak tetap = Rp. 22.083 per jam,
sehingga Biaya pokok operasional alat tiap ton memerlukan biaya sebesar Rp.
76.027,-. Bila pemberasan ini tarip harganya Rp 200,-/kg, maka break event
point (BEP) diperoleh = 38,5 ton per tahun.
Sedangkan pada alsin penepung jagung mempunyai nilai akhir adalah
10 % dari harga awal (Sarjono, 2000) atau sebesar Rp. 450.000,-. Bila
diasumsikan bahwa umur alsin selama 4 thn dan bunga modal sebesar 12 %,
maka diperoleh biaya tetap sebesar Rp. 1.380.000,-. Sedangkan biaya tidak
tetap merupakan biaya operasional pada waktu alat tersebut dijalankan, terdiri
dari biaya bahan bakar, biaya pelumas, biaya perawatan dan perbaikan, dan
upah operator yang menjalankan alsin tersebut. Baik biaya tetap maupun biaya
tidak tetap dalam perhitungan ini adalah sama persis dengan alsin pemberasan,
karena menggunakan alat yang sama. Yang membedakan adalah saringan dan
prosesnya, sehingga diperoleh kapasitas yang berbeda.
Tabel 5. Perhitungan kelayakan ekonomi alsin pemberas jagung
No Uraian Jumlah
1 Biaya Tetap
Harga alat pemberas Nilai akhir alat Perkiraan umur alat Biaya penyusutan Bunga modal 12 % Jumlah biaya tetap (FC) / thn
Rp. 8.500.000 Rp. 850.000 4 thn Rp. 1.912.500,- Rp. 1.020.000,- Rp. 2.932.500,-
2 Biaya tidak tetap per jam
Bahan bakar Pelumas Biaya perawatan dan perbaikan (2%/thn) Upah operator (2 orang, @ Rp. 20.000/hr) Jumlah biaya tidak tetap
Rp. 12.000 Rp. 1.920 Rp. 2.448 Rp. 5.715 Rp. 22.083
3 Biaya pokok alat per ton Rp. 76.027
4 Break event point (ton/thn) 38,5
Kapasitas alsin penepung diperoleh 2.6 jam/kw tepung jagung, maka akan
diperoleh biaya pokok alsin sebesar Rp. 42.980,- tiap kuintal pembuatan tepung.
Sedangkan bila tarip penepungan sebesar Rp. 500,- per kg jagung, maka
diperoleh biaya pulang pokok (break event point) sebesar 191 kw/tahun. Hasil
ini bisa dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 6. Perhitungan kelayakan ekonomi alsin penepung jagung
No Uraian Jumlah
1 Biaya Tetap
Harga alat penepung Nilai akhir alat Perkiraan umur alat Biaya penyusutan Bunga modal 12 % Jumlah biaya tetap (FC) / thn
Rp. 4.500.000 Rp. 450.000 4 thn Rp. 900.000,- Rp. 480.000,- Rp. 1.380.000,-
2 Biaya tidak tetap per jam
Bahan bakar Pelumas Biaya perawatan dan perbaikan (2%/thn) Upah operator (1 orang, @ Rp. 20.000/hr) Jumlah biaya tidak tetap
Rp. 7.525 Rp. 1.120 Rp. 486 Rp. 2.900 Rp. 12.031
3 Biaya pokok alat per kwintal Rp. 42.980
4 Break event point (kw/thn) 191
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
1. Alat dan mesin pemberas maupun penepung jagung sangat membantu
petani dalam pasca panen dan pengolahan jagung di pedesaan. Alsin
pemberas jagung dengan daya 12 PK, mempunyai kapasitas kinerja
sebesar 391 kg/ jam beras jagung. Sedangkan alsin penepung jagung
mempunyai kapasitas kinerja sebesar 37,5 kg/jam
2. Secara ekonomis, pengoperasian alsin pemberas jagung memerlukan
biaya pokok sebesar Rp. 76.027 pada setiap ton pengolahan jagung
menjadi jagung pipil. Biaya ini belum termasuk keuntungan bagi
pengusaha jasa alsintan. Sedangkan BEP (break event point) atau titik
pulang pengembalian modal alsintan sebesar 38.5 ton per tahun, apabila
umur ekonomis alsin selama 4 tahun.
3. Alsin penepung jagung mempunyai kapasitas 37.5 kg / jam. Dengan
asumsi pada kondisi yang normal, maka biaya pokok untuk
mengoperasionalkan alsin penepung jagung ini adalah sebesar Rp.
42.980,- per kuintal.
4. Kesiapan bengkel pembuat alsintan belum banyak berkembang, sehingga
keperluan alsintan yang tidak ada di pasaran harus di pesan ke daerah
lain. Namun demikian untuk bengkel perbaikan alat (servis), rata – rata
bengkel setempat sudah mampu mengerjakannya.
5. Pengoperasian alsin penepung jagung dapat juga dilakukan oleh kaum
wanita tani, sebagai mata pencaharian atau pendapatan keluarga. Hal ini
perlu ditumbuhkan upaya – upaya positif dalam pengembangan tenaga
kerja di pedesaan. Dalam penanganan pasca panen dan pengolahan
hasil dapat diwujudkan dan didorong ke arah home industri, untuk
memperoleh nilai tambah dan penghasilan keluarga.
B. SARAN
Adanya tanggapan positif dari hasil penjaringan umpan balik teknologi
pada acara temu lapang, beberapa kendala yang disampaikan oleh produsen
makanan dan petani pada umumnya adalah kemampuan petani yang masih
terbatas. Keterbatasan ini tidak hanya dari modal saja, namun juga kemampuan
dalam memasarkan produk hasil olahannya ke pasaran. Oleh karena itu masih
memerlukan bimbingan dan arahan dari para pembina dan pemerintah daerah
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Makarim, A.K. dan S. Partohardjono, 2002. Analisis sistem sebagai alat bantu penyusunan strategi peningkatan produksi, pendapatan petani dan pengembangan usahatani palawija. Prosiding seminar nasional inovasi Teknologi Palawija. Buku – 2 hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Munarso, S.J., BAS Santosa, Djoko S.D., 1992. Struktur, komposisi dan nilai gizi jagung. Dalam buku Paket Informasi Jagung. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Depatan, Jakarta. 1992.
Saenong, S., Firdaus K., Wasmo K., Imam U.F. dan Akil, 2002. Inovasi teknologi jagung. Menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
Sarjono, 2000. Analisa ekonomi penggunaan alat dan mesin pertanian. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Serpong. 2000.
Suarni, 2002. Teknologi pengolahan jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar nasional inovasi Teknologi Palawija. Buku – 2 hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Sutanto, A., Djoko P., Kendriyanto, Hendro K., 2005. Kajian pasca panen dan pengolahan produk jagung putih untuk bahan pangan. Laporan Kegiatan. BPTP Jawa Tengah. 2005.
Wariyah, C., 2000. Optimasi waktu perendaman dan pemasakan dalam otoklaf pada pengolahan jagung goreng. Laporan Penelitian. Unwama, Yogyakarta, 2000.
Wariyah, C., 2001. Optimasi kadar air biji jagung selama perendaman dan pengolahan jagung goreng. Laporan Penelitian. Unwama, Yogyakarta, 2001.
Wariyah, C., 2005. Kinetika penyerapan air selama perendaman biji jagung. Dalam Agromedia, vol. 23, No. 2, hal. 81 – 93. STIP Farming, Semarang.
Winarno, F.G., 1989. Teknologi Pengolahan Jagung. Risalah seminar hasil penelitian tanaman pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.