PASAR MODERN DAN HANCURNYA HAK SOSIAL · PDF fileIndonesia. Data Binfocus 2008 menyebutkan,...
Transcript of PASAR MODERN DAN HANCURNYA HAK SOSIAL · PDF fileIndonesia. Data Binfocus 2008 menyebutkan,...
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
PASAR MODERN DAN HANCURNYA HAK SOSIAL-EKONOMI PEDAGANG TRADISIONAL
(STUDI KASUS MENJAMURNYA PASAR MODERN DAN DAMPAKNYA TERHADAP HAK BERUSAHA PEDAGANG TRADISIONAL DI KOTA SURABAYA)
Oleh: Umar Sholahudin
Dosen Mata Kuliah Sosiologi Dan Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Surabaya
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Along with the more expansive modern market presence, blatantly destroying the socio-economic rights of the people (traders). These conditions require the presence of local governments' role is more serious, firm and brave, that is reviewing the policy and privatization programs in different economic sectors, especially the privatization and modernization of the market. There should be a paradigm change and urban development policy to be oriented toward empowering capitalistic society that is humane. Development paradigm of capitalism manifestly incapable of providing solutions for improving people's lives, especially for small business sectors. Policy makers need to deconstruct the ideology of development, and raises the ideological construction of alternative development is more empowerment, pro-public interest
Key Word : Modern Market, Social-Economics right
Pendahuluan
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Udang Dasar 1945, disebutkan secara jelas dan tegas bahwa
“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan penghidupan yang layak bagi kemausiaan”. Pasal ini
secara eksplisit menandaskan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dan
memenuhi lapangan pekerjaan yang layak, lapangan usaha ekonomi yang menjadikan warga
negaranya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya.
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat, kebijakan pembangunan
ekonomi nasional harus berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama masyarakat kelas
ekonomi lemah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 tentang perekonomian
nasional, disebutkan bahwa (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azaz
kekeluargaan, (2). Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, bernuansa lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dua pasal dalam UUD 1945 tersebut menjadi dasar konstitusional bagi setiap warga negara
untuk mendapatkan hak atas kehidupan ekonomi atau usaha ekonomi yang layak, yang mampu
meningkatkan kesejahteraannya. Namun amanat konstitusional ini tak seindah realitasnya. Tidak
sedikit kebijakan pembangunan ekonomi yang justru melanggar hak-hak sosial-ekonomi
masyarakat. Jangankan memenuhi dan melindungi hak-hak sosial-ekonomi, terutama hak untuk
135
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 berusaha secara layak dan adil, Negara justru dalam banyak hal melakukan “pembunuhan” hak-hak
sosial ekonomi masyarakat secara sistematis dan massif, melalui kebijakan pembangunan ekonomi
yang kapitalistik.
Pembunuhan hak-hak sosial-ekonomi masyarakat tersebut salah satunya nampak pada
kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang begitu rajin mengobral surat-surat ijin pendirian usaha-
usaha ekonomi besar, yakni pasar-pasar modern di berbagai daerah sampai tingkat RT/RW. Usaha
besar seperti “jejaring laba-laba” tersebut adalah usaha ritel modern. Pedagangan dan pasar
tradisional –yang notabene- banyak dihuni oleh kelompok usaha kecil menengah dengan modal
yang pas-pasan, kian terjepit oleh ekspansi usaha ritel modern yang sangat kapitalistuk. Dalam
rentang waktu 2003-2008, pertumbuhan gerai ritel modern sungguh fantastis, yakni 162%. Bahkan
pertumbuhan gerai Minimarket mencapai 254,8%, yakni dari 2.058 gerai pada tahun 2003 menjadi
7.301 gerai pada tahun 2008. Sementara jumlah pasar trandisional dalam kurun waktu lima tahun
cenderung stagnan. Bahkan saat ini jumahnya semakin menurun.1
Pesatnya pertumbhan ritel modern itu seiring dengan gencarnya penetrasi asing ke
Indonesia. Data Binfocus 2008 menyebutkan, jika pada tahun 1970-1990 pemegang merek asing
yang masuk ke Indonesia hanya lima dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 merek ritel asing yang
masuk sudah menjadi 18 dengan 532 gerai.2 Bahkan saat ini, seiring dengan kebijakan ekonomi
yang semakin liberalistik-kapitalistik, merek ritel asing semakin menjamur dengan ribuan gerai ritel
modern. Semakin menjamurnya ritel modern, pada saat yang sama semakin menghancurkan usaha-
usaha ekonomi kecil para pedagang tradisional.
Fakta tersebut semakin mengkonfirmaskan kepada publikbahwa dominannya pengaruh dan
kendali asing dalam kebijakan ekonomi nasional tidak mampu disikapi secara tegas oleh Negara.
sebaliknya, Negara justru memberikan “ruang bebas” kepada pihak asing untuk “membunuh”
secara legal usaha-usaha ekonomi kecil menengah masyarakat Indonesia melalui legalisasi terhadap
keberadaan usaha ritel modern asing. Praktik legalisasi ritel modern milik asing (baca: obral ijin-ijin
pendirian ritel modern) oleh Negara, tidak hanya melanggar konstitusi, tapi juga telah membunuh
hak-hak sosial-ekonomi masyarakat, terutama para pedagang tradisional.
1 Saat ini di berbagai daerah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, dengan semakin menjamurnya ritel-ritel modern yang memiliki jaringan sampai tingkat RT/RW (Indormart, Alfamart, Alfamidi, dan ritel-ritel modern lainnya), semakin mematikan keberadaan pasar tradisional. Para pedagang tradisional atau yang memiliki usaha ekonomi dengan modal kecil banyak yang gulung tikar, karena tidak mampu bersaing dengan pasar modern. Membanjirnya ritel modern yang mengalir deras ke daerah-daerah, tidak saja mengakibatkan efek domino terhadap usaha ekonomi nasional dan daerah, tapi juga akan menimbulkan efek adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak Industri besar, menengah, dan bahkan kecil yang padat karya akan mengurangi tenaga kerjanya atau bahkan usahanya sendiri terancam gulung tikar, karena produknya tidak laku di pasaran. Jika PHK massal terjadi, maka efek lanjutannya, tingkat pengangguran meningkat, dan jika tingkat pengangguran meningkat, potensi tingkat kemiskinan juga meningkat, dan jika tingkat kemiskinan meningkat, demikian juga dengan tingkat kriminalitas meningkat. Dengan kata lain, kebijakan liberalisasi ekonomi di tengah kondisi Indonesia yang belum siap, akan berpotensi mengakibatkan biaya sosial-politik, dan ekonomi yang sangat tinggi. Apalagi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelamatan yang mendasar dan strategis. 2 Kompas, 15 Maret 2010
136
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Kasus : Menjamurnya Pasar Modern di Surabaya
Proses pembangunan Kota Surabaya bergerak dan berkembang begitu cepat dan pesat.
Sesuai dengan visi dan misi yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah
(RPJMD), Surabaya akan dijadian sebagai Kota asa dan Perdagangan. Konsekwensi dari garis
kebijakan ini, Pemerintah Kota lebih mendepankan pambangunan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan semata.3Para investor, baik dalam negeri maupun asing, diberi kebebasan untuk
membuka dan mengembangkan jaringan bisnisnya di Surabaya. Dan salah satu kebijakan untuk
menaikkan angka pertumbuhan, Pemkot memberi kemudahan dan bahkan cederung mengobral
surat ijin pembangunan atau pendiirian pusat-pusat perbelanjaan mewah. Akibat obral surat ijiin
tersebut, wajah kota dibanjiri pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel-ritel modern.
Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel modern tersebut, -terutama yang
dibangun pihak swasta- mengundang keresahan dan kekhawatiran para pedagang tradisional. Saat
ini jumlah pasar modern di Kota Surabaya jauh lebih banyak dibanding pasar tradisional.
Setidaknya 65 persen sarana perbelanjaan di Surabaya didominasi pasar modern, baik berupa
factory outlet, supermarket, minimarket, department store, maupun mal.4Bisa
dibayangkan,bagaimana mungkin seorang pedagang kecil dengan modal pas-pasan, dapat bersaing
dengan pengusaha besar yang sudah memiliki asset lebih, baik dari segi modal, teknologi, sumber
daya manusia maupun jaringan bisnis luas?
Menurut Sekretaris Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonedia (APPSI) Surabaya,
Buchori Imron mengatakan dampak dari menjamurnya mal-mal yang menjual dengan harga grosir
sangat dirasakan para pedagang tradisional. Rata-rata pendpaatan pasar tradisional menurun hingga
70 persen. Supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan mewah yang menjual harga murah bisa
mematikan pedagang tradisional. Contoh yang paling terpuruk sekarang adalah pedagang di Pasar
Turi. Pada pedagang di Pasar Turi dulu di kenal banyak yang kaya karena perputaran uang
danbisnis mereka lancar. Namun, setelah kini muncul Mal-Mal yang menjual barang dengan harga
grosir, pendapatan mereka turun drastis. Penurunan pendapatan ini tidak hanya terjadi di Pasar Turi
saja, tapi juga di beberapa pasar tradisional lainnya seperti Keputran, Tambahrejo, dan pasar
lainnya.5
3 Vic George dan Paul Wilding (1992) mengatakan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan hanya mengutamakan kesamaan berkompetisi –yang secara konsepsioal berlawanan dengan pembangunan berdimensi kerakyatan- semakin kehilangan daya tariknya karena terbukti kebijakan yang egaliter ternyata tidak menghasilkan hasil yang egaliter, yang terjadi justru ketimpangan dan ketidakdilan sosial-ekonomi. Orientasi pertumbuhan yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini hanya menguntungkan pemilik modal besar, dan sebaliknya merugikan para pengusaha/pedagang kecil. Terkait dengan ini bisa dilihat pada Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim 2008. 4 Radar Surabaya, 13 Januari 2010. 5 Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007
137
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Berdasarkan data resmi Dinas Perdagangan dan perindustrian Pemeirntah Kota Surabaya,
terdapat 704 pasar modern atau pusat perbelanjaan, yang terdiri dari 31 atau 4% berbentuk Mall dan
Plaza, dan 673 berupa pasar atau toko swalayan (lihat gambar 1).
Jika kita cermati, berdasarkan dari data tersebut, nampak ada pembatasan dan bahkan
pengurangan jumlah pasar modern dalam bentuk mall dan plaza. Akan tetapi, pasar modern dalam
bentuk lainnya tumbuh subur, baik pasar modern dalam skala besar maupun kecil (ritel). Sebut saja
misalnya, pendirian pasar-pasar besar; hypermart gyan, dan sejenisnya pelan tapi pasti tumbuh
positif. Pasar-pasar besar tersebut “dibatasi” hanya berdiri di tengah-tengah kota. Dan hampir setiap
wilayah di Surabaya telah berdiri pasar atau took besar (mall, plaza, dan sebagainya), baik di
wilayah Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, maupun Surabaya Pusat. Sehingga saat
ini nyaris hampir penjuru di berbagai wilayah kota sudah padati pasar-pasar atau pusat perbelanjaan
modern (skala besar). Berikut ini adalah daftar pusat perbelanjaan di Surabaya
Pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan mewah di Surabaya, ternyata juga diikuti dengan
pertumbuhan pasar atau took-toko modern dalam sekala kecil, yakni berupa ritel-ritel yang
berbentuk Franchise atau toko waralaba. Toko-toko tersebut diantaranya adalah Indomart, Alfamart,
Alfamidi, dan sebagainya, yang juga tumbuh subur. Bahkan toko modern swalayan ini tumbuh
subur laiknya cendawan di musim hujan sampai ke perkampungan warga. Kita dapat menyaksikan
jarak sekitar 100 atau 200 meter terdapat 2 sampai 3 toko swalayan, bahkan dibeberapa kelurahan
antar took ritel saling berhadap-hadapan. Mereka buka 24 jam non-stop. Atas kondisi ini, dapat
dipastikan, keberadaan warung-warung warga di perkampungan semakin terdesak dan
terpinggirkan. Karena sulit bersaing, keberadaan warung-warung warga “prancangan” semakin
berkurang. Dimulai dari omset yang semakin hari semakin menurun dan berujung pada matinya
pedagang tradisional di perkampungan.
Secara resmi, berdasarkan data dari Dinas Perdagang dan Perindustrian, jumlah toko
swalayan yang ada di Kota Surabaya ini berjumlah 673 yang tersebar di 33 kecamatan. Keberadaan
toko-toko swalayan ter sebut tumbuh subur sampai tingkat kelurahan dengan jam operasi yang non-
stop 24 jam. Dari 33 kecamatan, kecamatan Gubeng yang berada di wilayah Surabaya pusat, yang
Sumber : Disperindag Kota Surabaya, 2015
138
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 memiliki toko swalayan dengan sistem ritel yang paling banyak dengan jumlah 51 toko swalayan,
disusul kecamatan rungkut dengan 40 toko swalayan dan Kecamatan Sawahan dengan 38 toko
swalayan (lebih jelas lihat. Gambar 2 dan 3)
Menjamurnya pasar modern atau ritel modern di berbagai kota di Indonesia, termasuk di
Kota Surabaya, tak lepas dari kebijakan Pemerintah daerahnya yang begitu mudahnya mengobral
surat ijin usaha untuk pasar modern atau ritel modern yang ada di perkampungan Surabaya. Saat ini,
pertumbuhan ritel modern (mini market) di Surabaya bagai cendawan di musim hujan. Cenderung
tidak terkendali. Data yang direkam Pemkot Surabaya dan Dewan Pengurus Daerah Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Indonesia pun berbeda. Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Kota Surabaya mencatat, sampai akhir 2009 ini terdapat 346 mini market di Surabaya. Namun,
DPD Aprindo Jatim mencatat ada 475 mini market di Kota Pahlawan ini sampai akhir 2009.
Khusus untuk ritel, Data Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Timur
menyebutkan, saat ini di Surabaya terdapat 190 gerai minimarket. Jumlah gerai sebanyak itu
merupakan bagian dari total gerai di Jatim yang mencapai 1.200 unit, diantaranya sekitar 650 gerai
139
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 milik Alfamart dan Indomart. Dan yang lebih memprihatinkan, menjamurnya pasar modern tersebut
berlokasi dekat pemukiman bahkan tidak sedikit yang berdampingan dengan pasar tradisional. Ke
depan, seiring dengan pembangunan ekonomikapitalistik Kota Surabaya, gerai-gerai minimarket itu
dipastikan akan bertambah lagi di seantero Surabaya. Praktis usaha kecil warga berupa prancangan
berlahan tapi pasti semakin terpinggirkan dan akhirnya banyak yang gulung tikar.
Menjamurnya pasar modern tersebut Kondisi tersebut dikhawatirkan bakal menggerus
keberadaan pasar-pasar tradisional, yang berdampak tersingkirnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu
pedagang kecil. Secara teoritik, manjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah sudah diprediksi
akan memarginalkan bahkan mematikan pasar-pasar tradisional yang di dalamnya dihuni banyak
usaha ekonomi kecil dari golongan ekonomi lemah. Dan itu sudah menjadi kenyataan yang terjadi
di mana-mana.
Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah
menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Saat
hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya,
terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing
dengan hypermarket. Saat ini, pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar
tradisional menyusut 8% per tahun. Jika kondisi ini tetap di biarkan, ribuan bahkan juataan
pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya.6
Ancaman gulung tikar sangat dirasakan oleh salah satu pedagang tradisional di Surabaya.
Sebut saja, Ny. Tris, pedagang tradisonal di pasar Pahing, Rungkut, Surabaya Timur yang
mengatakan kalau siang sudah sepi. Pedagang umumnya telah menutup kios, terutama berada di
lantai dua. “Ya begini. Kalau sudah pukul 11.00 ke atas tidak ada pembeli yang tutup saja. Buat apa
bertahan wong tidak ada pembeli yang dtalang lagi kok”. Meskinpun pasar Pahing tersebut letaknya
strategis, namun pemebeli mulai enggan untuk masuk ke pasar Pahing. Para pemeli lebih memilih
masuk ke pasar modern dan swalayan yang baru berdiri di sekitar pasang Pahing tersebut. Menurut
para pedagang buah di pasar Pahing, kehadiran pasar modern atau hipermarket di tengah kota
berdampak luas terhadap keberadaan pasar tradisional. Rata-rata omset penjualan per hari makin
turun, yakni sekitar Rp 300.000-400.000. Padahal sebelum ada pasar modern; hipermarket dan
pasar swalayan bisa mencapai Rp 1 juta.7
Rumusan Masalah
Menjamurnya pasar modern di berbagai daerah, termasuk di Kota Surabaya yang sebagian
besar dikendalkan para pemodal besar baik domestik maupun asing merupakan konsekwensi dari
6 http://Appsi.com/opini 7 Kompas Jatim, 17 Maret 2005
140
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 sistem ekonomi Indonesia yang semakin terbuka. Pengembangan pasar modern yang semakin
ekspansif tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada keberadaan
pedagang atau pasar tradisional, yakni hak-hak esosial ekonomi masyarakat, khususnya pedagang
tradisional akan terancam.
Dalam konteks ini, pemerintah daerah secara khusus dihadapkan pada dilema, apakah
membiarkan “kaum kapitalis” pasar modern membangun istana binisnya dengan harapan
mendapatkan angka pertumbuhan ekonomi yang maksimal, ataukah akan berpihak pada
kepentingan ekonomi kerakyatan, dengan jalan menyelamatkan para pedagang tradisional dari
serbuan dahsyat kaum kapitalis? Pengembangan pasar modern, jika dibiarkan tumbuh-sumbur akan
sangat mengancam keberadaan pasar dan pedagang tradisional. Para pedagang kecil dan menengah
yang memiliki modal usaha pas-pasan, akan semakin tergerus oleh penetrasi pasar-pasar modern
yang semakin massif dan ekspansif. Berdasarkan latar di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah;
1. Apakah paradigma dan kebijakan pembangunan soail-ekonomi kota yang terwujud pada
menjamurnya pasar tradisional yang tak terkendali bertentangan dengan dengan dasar
konstitusional, yakni UUD 1945 dan Hak Sosial-ekonomi Masyarakat, khususnya
pedagang/pasar tradisional?
2. Apa dampak yang dirasakan dan dialami pedagang/pasar tradisional terhadap semakin
menajamurnya pasar modern di Kota Surabaya?
3. Kebijakan dan peran aseperti apa yang seharusnya dilakukan pemerintah kota Surabaya
untuk menyelamatkan usaha ekonomi pedagang tradisional dari gempuran pasar modern
dalam berperspektif hukum dan HAM?
Penelitian Ini Bertujuan :
1. Untuk mengkaji secara analitis, apakah paradigma dan kebijakan pembangunan kota yang
terwujud pada menjamurnya pasar tradisional yang tak terkendali bertentangan dengan
dengan dasar konstitusional, yakni UUD 1945 dan Hak Sosial-ekonomi Masyarakat,
khususnya pedagang/pasar tradisional?
2. Untuk mengkaji secara analisitis dampak dari maraknya keberadaan pasar modern terhadap
kegiatan usaha sosial-ekonomi pedagang tradisional di Kota Surabaya.
3. Menentukan kebijakan atau perlindungan hukum seperti apa yang harus dilakukan
pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dalam menyelamatkan usaha ekonomi pedagang
tradisional dari gempuran pasar modern yang berperspektif hukum dan HAM
141
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dan analisa kualitatif dengan
metode kajian deskriptif. Penggalian bahan dan data diperoleh dari Asosiasi Pedagang Pasar
Seluruh Indonesia (APPSI), kajian literatur, informasi media massa dan sumber-sumber lain yang
mendukung. Fokus kajiannya pada maraknya keberadaan pasar modern yang semakin ekspansif dan
dampaknya terdap keberadaan pedagang atau pasar tradisional. Lalu bagaimana peran pemerintah
daerah dalam menyelamatkan pedagang atau pasar tradisional dari gempuran pasar modern yang
semakin ekspansif tersebut.
Data-data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian diseleksi dan dianalisis secara
kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran yang telah disajikan guna memberikan
gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti. Yang menjadi fokus dari analisa kualitatif ini
sesungguhnya pada penunjukkan makna deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada
konteksnya masing-masing.
Kerangka Teoritik
Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalisme sebagai model pembangunan pertumbuhan, saat ini sedang
banyak digandrungi oleh banyak negara, terutama negara-negara berkembang. Model pembangunan
pertumbuhan yang pada dasarnya dibangun di atas landasan kapitalisme. Pandangan kapitslisme
jika digali secara teoritik,pada dasarnya bersumber dan berakar dari pandangan filsafat ekonomi
klasik, terutama ajaran Adam Smith (1776). Keseluruhan filsafat pemikiran ekonomi klasik tersebut
dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalism. Mereka percaya pada kebebasan individu
(person liberty), pemilikan pribadi (private liberty), dan inisiatif individu serta usaha swasta
(private enterprise).8
Dalam perkembangannya, faham ekonomi liberal yang bermetamorafose menjadi neo-klasik
atau neo-liberal, pendirian ekonomi neo-liberal pada prinsipnya tidak mengalami pergeseran
sedikitpun. Dalil mengenai konsep ini adalah: “Transaksi ekonomi harus diserahkan pada pasar agar
setiap orang dapat mengejar kepentingan masing-masing, sehingga yang diuntungkan bukan hanya
beberapa orang akan tetapi juga masyarakat luas.” Negara dilarang ikut campur dalam transaksi
ekonomi, karena akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh
semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas.
8 Mansour Faqih, 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST Press – Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 45-46.
142
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Mekanisme pasar yang di metamorfosiskan dengan invisible hand akan mengatur bagaimana
jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar.9
Sistem ekonomi neo-liberal ini, saat ini sedang menjadi rujukan bagi negara-negara
berkembang dalam menjalankan kebijakan pembangunannya. Pelaksanaan agenda liberalisme
seperti kebijakan yang anti proteksi pada rakyat; jauhkan campur tangan pemerintah dalam
perdagangan melelui deregulasi; tingkatkan perlindungan bagi investasi dan proses produksi;
hilangkan subsidi pada rkayat; namun tegakkan hukum yang melindungi industry; serta
kembangkan pemerintahan yang bersih (good governance) dan transparansi.10
Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik klasik menggunakan metodologi yang
mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode interpretivis dan instropektis,
ekonomi-politik klasik mempelajari bukan hanya bagaimana membuat individu menjadi makmur,
akan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah kemiskinan dan
perbaikan kondisi hidup umat manusia. Pendukung sistem ekonomi-politik klasik menyakini
bahwasannya perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, melainkan juga diimbangi
dengan rasa tanggung jawab sosial. Pasar, menurut pendukung ini bukanlah lembaga yang begitu
penting karena banyak proses produksi ditentukan oleh lembaga-lembaga social lainya seperti
keluarga atau birokrasi. Dalam pendekatan ini yang diutamakan adalah peran lembaga sosial dan
politik, kekuasaan dan manifestasi sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi.
Neo-liberalisme merupakan perkembangan dari sistem kapitalisme yang mutakhir.
Ditujukan untuk mengatasi periode stagnasi dan perlambatan (slowdown) pertumbuhan kapitalis
dinegara-negara maju dan memperluas penetrasi dinegara-negara berkembang guna memperluas
zona akumulasi profit. Ditangan Von Hayek, guru besar yang menghidupkannya kembali,
neoliberalisme menghendaki pelepasan yang radikal peran negara (intervensi) terhadap mekanisme
pasar. Aturan dasar kaum neoliberal adalah 'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan
pasar menentukan harga’, 'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi', 'pemerintah harus
menyingkir dari menghalangi jalan'. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal
sebagai The Neo-liberal Washington Consensus, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat
terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi
intemasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam rangka
membentuk opini public.11
9 Abdul Aziz, SR, 2009, Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Makalah singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi Pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, tidak dipublikasikan. 10 Mansour Faqih, Ibid, halaman 207 11 Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html)
143
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Ide pasar sebagai prinsip untuk mengatur masyarakat dan sebagai bentuk sosialisasi, secara
sejarah dan logika ada kaitannya dengan kelas menengah (middle class). Pada mentalitet kelas
menengah, mahluk yang “beradab” itu, adalah manusia-manusia yang yakin bahwa “keinginan
untuk kaya” adalah suatu inovasi alamiah dan universal. Bagi J.S. Mill (dalam Bethoud, 1992),
keinginan untuk kaya dihadapkan pada dua “prinsip yang antagonis” atau dua “motif yang
bertentangan secara abadi”, yakni “keengganan pada kerja” dan “keinginan untuk sekarang juga
menikmati kegemaran yang mahal”. Dalam pandangan kelas menengah, sifat manusia yang suka
mengumpulkan harta harus dipandang menurut dua kategori sederhana yang telah lama ada, yaitu
dikotomi antara kaya dan miskin, serta antara pemilik kekayaan dengan mereka yang bekerja.
Negara dan Pasar
Bagaimana hubungan pasar dengan negara? Hobbes, pada abad ke-16, berbicara soal state of
nature (kondisi alamiah) dan menganjurkan perlunya “leviathan” sebagai pengatur dalam
kehidupan masyarakat, dan wujudnya adalah negara. Negara menurutnya harus memainkan penting
dalam kehidupan masyarakat untuk mengatasi kondisi “bellum omnium contra omnes” (von
Schmid, 1984). Tetapi ketika munculnya Adam Smith, bapak ekonomi modern, dengan karya
monumentalnya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada akhir abad
ke-18 justru menganjurkan hal yang sebaliknya. Artinya, peran negara dibatasi dan pasarlah yang
harus memainkan peran penting dan mendapat kebebasan yang luas dalam kehidupan ekonomi.
Dalam sistem ekonomi pasar atau neo-liberal, negara dilarang ikut campur dalam transaksi
ekonomi, karena akan menganggu stabilitas pasar dan mengurangi kesejahteraan masyarakat.
Sistem ekonomi ini dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin
dengan sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar dengan kekuatan invisible hand-nya akan
mengatur sendiri bagaimana jalannya keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar terjadi.
Salah satu ekonom Indonesia yang setuju ekonomi pasar, Chatib Basri, ekonom dari Universitas
Indonesia, yang mengatakan dirinya lebih cenderung memilih model ekonomi yang di dalamnya
peran pemerintah relatif terbatas. Alasan utamanya adalah sistem itu justru bisa memberikan banyak
manfaat kepada orang banyak.12
Pasar, melalui mekanismenya sendiri, diasumsikan akan hidup dan berkembang dengan
baik. Dengan kekuatan the invisible hand yang ada di dalamnya, pasar akan mengatur persaingan-
persaingan dalam kehidupan ekonomi (Caporaso dan Levine, 1997). Dalam hubungan ini, negara
lebih berhendak untuk mengatur, sementara pasar lebih suka untuk tidak diatur, dan keduanya
memiliki kepentingan yang berbeda.
12 Chatib Basri, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, 2006,halaman 69
144
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Kendati Smith merupakan pendukung faham laissez-faire, tetapi dia masih menyisakan
peran negara setidaknya dalam empat hal penting, yakni: pertama, menjamin kebebasan masyarakat
untuk menghadang serangan atau agresi dari luar kendati harus membutuhkan cost ekonomi yang
besar; kedua, melindungi warga masyarakat dari ketidakadilan serta penindasan dari warga
masyarakat lainnya; ketiga, menjamin kesejahteraan serta menjaga tetap tersedianya lapangan
pekerjaan berikut adanya pranata-pranata yang bermanfaat bagi masyarakat serta negara
bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur; dan keempat, menciptakan hukum-hukum
ekonomi, terutama pada situasi-situasi tertentu, untuk menghindari terjadinya monopoli dan praktik-
parktik yang eksploitatif. Kata Ebenstein, apa pun bentuk pemerintahan sebuah negara – demokratis
atau totaliter, monarki atau republik, komunis atau fasis, kapitalis atau kolektif – masyarakat
membutuhkan pelayanan dari badan-badan pemerintah.
Kesadaran akan peran negara bagi kepentingan pelayanan publik berikut hadirnya gagasan
negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus merupakan kritik terhadap faham liberalisme klasik
yang sangat laissez-faire. Hal ini muncul terutama di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-18
dan awal abad ke-19 yang di dalamnya turut digerakkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan
psikologi. Inilah yang kemudian mendorong munculnya gagasan welfare state (Ebenstein, 1960).
Namun, gagasan ekonomi neoliberalisme ini (Adamisme) kemudian mendapat kritik tajam dari
John Maynard Keynes. Menurut Keynes, dalam sistem ekonomi yang tidak stabil (baca: krisis),
sifat spekulasi mendominasi aksi para kapitalis. Pasar dipenuhi oleh spekulasi dan ketidakpastian.
Karena itu, peran negara harus ada untuk menstabilkan ketidakpastian pasar. Gagasan Keynes ini
didukung oleh Hyman Minsky dalam Stabilizing an Unstable Economy, yang mengatakan
instabilitas bersifat alamiah pada sebuah sistem perekonomian.13
Perdebatan tentang batas-batas peran antara negara dan pasar sesungguhnya masih terus
berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya para ahli ekonomi politik mengedepankan peran dan
kebebasan pasar, tetapi pada saat yang lain berusaha mendorong peran dan intervensi negara.
Francis Fukuyama (1992), pada awal 1990-an berbicara soal keunggulan kapitalisme dan demokrasi
liberal. Menurutnya, pasca-keruntuhan komunisme di Uni Sovyet dan negara-negara Eropa Timur,
kapitalisme (dan juga demokrasi liberal) praktis tampil sebagai ideologi dan “pemain” tunggal yang
tanpa saingan. Baginya, liberalisme dan kapitalisme telah memenangkan pertarungan ideologi,
sehingga tibalah apa yang disebutnya akhir sejarah (the end of history).
Fukuyama sesungguhnya juga hendak menegaskan tentang pentingnya kebebasan dan peran
pasar. Tetapi beberapa tahun kemudian –pasca-krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di
kawasan Asia dan pasca-tragedi 11 September 2001 dan peledakan Pentagon di Amerika Serikat–
13 Herry Suhardiyanto, pada kata pengantar buku Didin S. Damanhuri, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE Univeritas Indonesia, 2009, halaman ix
145
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Fukuyama pun justru berbicara tentang pentingnya peran negara. Menurutnya, hampir sepanjang
abad ke-20 peran negara melemah, dan karena itu harus segera dibangkitkan kembali untuk turut
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu peran dan fungsi negara
yang dikemukakan Fukuyama (2005) adalah menangani kegagalan pasar. 14
Pembahasan dan Analisis
Sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 33 bahwa sistem ekonomi
Indonesia dalah sistem ekonomi kekayatan, ayat 1 dan 4 menyebutkan bahwa “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” dan “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pasal ini mengisaratkan bahwa
perekonomian nasional yang harus dibangun dan diwujudkan adalah ekonomi kerakyatan.
Konsekwensi dari amanah konstitusi ini adalah pembangunan ekonomi nasional harus lebih
berpihak pada ekonomi rakyat.
Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah
sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi.
Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara
dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34,
peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4)
memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5)
memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Pasar modern (modern market) semakin menjadi fenomena penting dengan peran yang terus
mengedepan dalam kehidupan ekonomi di berbagai negara di dunia, terutama negara-negara yang
menganut sistem ekonomi kapitalisme seperti Indonesia. Ia (pasar modern) hadir sebagai kekuatan
ekonomi dengan ditopang oleh kekuatan modal besar dan banyak pula di antaranya yang beroperasi
14 Abdul Aziz, SR, op. cit
146
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 lintas negara atau tampil sebagai multi-national corporation. Di Indonesia, pasar modern ada yang
milik asing, sehingga menjadi wujud penanaman modal asing.
Dalam praktik kehidupan ekonomi-bisnis, pasar modern itu antara lain mewujud
minimarket, supermarket, dan hypermarket. Bentuk usaha ini sering pula disebut toko modern atau
ritel modern. Dalam pasar modern seperti minimarket, supermarket, dan hypermarket memiliki
fasilitas lengkap dan bagus, suasana yang nyaman dan bersih, barang serba ada dengan kualitas baik
dan harga pasti, dan dalam banyak hal menjanjikan sesuatu yang menarik kepada masyarakat
konsumen. Sekaligus pula ia, terutama hypermarket, menjadi tempat rekreasi dan arena pertunjukan
berbagai kreasi seni.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang merupakan mengejawantahan dari
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, ada beberapa jenis pasar modern yang ada di Indonesia saat ini yaitu minimarket,
supermarket, hypermarket, departement store dan perkulakan. Meskipun sudah ada aturan yang
mengikat, namun perkembangan dan pertumbuhan pasar modern atau ritel modern tak bisa dielakan
dan dikendalikan. Semangat membina dan melindungi pasar-pasar tradisional akibat semakin
menjamurnya pasar atau ritel modern tidak terjadi. Justru yang terjadi adalah pertumbuhan pasar
dan ritel modern bagaikan cendawan di musim hujan.
Secara nasional, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Gerai ritel di Indonesia terus
mengalami pertumbuhan yang cukup impresif. Baik ritel walayan maupun ritel non swalayan
tumbuh mencapai lebih dari 765 ribu gerai. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, Pertumbuhan gerai tersebut di dominasi oleh ritel
tradisional sebanyak 750 ribu gerai atau tumbuh sebesar 42% dan ritel modern dalam format mini
market dengan pertumbuhan sebanyak 16 ribu gerai atau tumbuh sebesar 400%. Prospek
perkembangan usaha ritel dan pusat belanja ini dinilai semakin membaik jika dilihat dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai rata-rata 6% per tahun dengan konsumsi domestik
mencapai 54,56% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya konsumsi domestik ini didorong
oleh besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa dengan struktur penduduk
berusia di bawah 39 tahun yang mencapai 60% serta penduduk kelas menengah yang mencapai 45
juta jiwa pada 2014.15Perkembangan ritel ini juga diikuti dengan omzet yang sangat besar setiap
tahunnya yakni dari sekitar Rp.135 triliun pada tahun 2012, meningkat menjadi sekitar Rp.148
triliun pada tahun 2013, dan diperkirakan omzet ritel pada tahun 2014 dapat mencapai Rp.162,8
triliun.16
15 http://bisnis.liputan6.com/read/814452/765-ribu-gerai-ritel-menjamur-di-indonesia, diunduh 3 Mei 2015 16 bisnis.com,2014
147
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Potensi pasar ritel Indonesia untuk jangka menengah panjang masih besar meskipun
pertumbuhan omzet ritel nasional 2014 diperkirakan hanya naik tipis seiring melambatnya
pertumbuhan ekonomi. Omzet ritel modern nasional pada 2014 diperkirakan tumbuh 10%.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan nilai penjualan ritel modern
2014 mencapai Rp162,8 triliun. Permintaan produk Fast Moving custumer good (FMCG),
terutama makanan dan minuman masih menjadi contributor utama, yakni mencapai 60%17.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi Kota Surabaya
Proses pembangunan Kota Surabaya bergerak dan berkembang begitu cepat dan pesat.
Sesuai dengan visi dan misi yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah
(RPJMD 2010-2015), Surabaya akan dijadian sebagai kota jasa dan perdagangan. Konsekwensi dari
garis kebijakan ini, Pemerintah Kota akan lebih mendepankan pambangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan semata.18 Para investor, baik dalam negeri maupun asing, diberi
kebebasan untuk membuka dan mengembangkan jaringan bisnisnya di Surabaya. Dan salah satu
kebijakan untuk menaikkan angka pertumbuhan, Pemkot memberi kemudahan dan bahkan
cederung mengobral surat ijin pembangunan atau pendirian pusat-pusat perbelanjaan mewah, Toko-
toko modern atau ritel-ritel modern. Akibat obral surat ijin tersebut, wajah kota dibanjiri pusat-pusat
perbelanjaan mewah, baik di pusat-pusat kota maupun di perkampungan warga.
Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel-ritel modern di perkampungan
tersebut, terutama yang dibangun pihak swasta mengundang keresahan dan kekhawatiran para
pedagang tradisional. Saat ini jumlah pasar dan ritel modern di Kota Surabaya jauh lebih banyak
dibanding pasar tradisional. Setidaknya 65 persen sarana perbelanjaan di Surabaya didominasi pasar
modern, baik berupa factory outlet, supermarket, minimarket, department store, maupun mal.19
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang pedagang kecil dengan modal pas-pasan, dapat
bersaing dengan pengusaha besar yang sudah memiliki asset lebih, baik dari segi modal, teknologi,
sumber daya manusia maupun jaringan bisnis luas?. Bahkan saat ini, ritel-ritel modern seperti
Alfamart, Indomart, Alfamidi sudah menjamur dan mengepung toko-toko tradisional di
perkampungan. Pelan tapi pasti, toko-toko “prancangan” warga kampung akan tersingkir dan
semakin tergerus.
17 MajalahIndustry Update, Volume 16, September 2014 18 Vic George dan Paul Wilding (1992) mengatakan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan dan hanya mengutamakan kesamaan berkompetisi –yang secara konsepsioal berlawanan dengan pembangunan berdimensi kerakyatan- semakin kehilangan daya tariknya karena terbukti kebijakan yang egaliter ternyata tidak menghasilkan hasil yang egaliter, yang terjadi justru ketimpangan dan ketidakdilan sosial-ekonomi. Orientasi pertumbuhan yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini hanya menguntungkan pemilik modal besar, dan sebaliknya merugikan para pengusaha/pedagang kecil. Terkait dengan ini bisa dilihat pada Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim 2008. 19 Radar Surabaya, 13 Januari 2010.
148
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Pertumbuhan pasar memang melesat. Dengan didukung permodalan dari sindikasi
perbankan, jaringan distribusi, kualitas produk terjamin, dan manajemen tangguh, pasar modern
menjadi belantara bagi pasar tradisional. Wajar bila pasar tradisional menemui kematiannya ketika
dihadapkan dengan pasar modern. Pasar Turi merupakan salah satu contoh kemeranaan pasar
tradisional di Surabaya. Pasar yang dulu didesain sebagai pusat perbelanjaan terlengkap dan
terbesar di Indonesia Timur, kini berangsur-angsur ditinggalkan.
Mulai berkurangnya pembeli di pasar yang menjadi ikon Surabaya ini bukan karena
pengelolanya tidak cakap mengurus pasar. Meski manajemennya dipisahkan dari PD Pasar Surya,
namun pedagang mengalami kelesuan omzet ketika pemerintah setempat enggan menghentikan
ekspansi pasar modern. Bayang-bayang menuju kematian sulit dihalau ketika pemerintah
mengizinkan pendirian Pusat Grosir Surabaya (PGS) yang letaknya tidak sampai 100 meter dari
Pasar Turi.
Sebelumnya perdagangan ritel Pasar Turi disaingi pedagang besar di Pertokoan Sinar Galaxi
yang ada di depannya. Persaingan makin berat ketika pemerintah membolehkan Ramayana
memperluas usahanya di lahan belakang Pasar Turi. Di sebelah selatan, berdiri pula pertokoan ritel
kelas besar.Para pelaku usaha ritel yang ‘mengepung’ Pasar Turi tidak salah mengembangkan
usahanya. Demikian pula pengelola Royal Plaza tidak patut disalahkan bila ekspansi usahanya bisa
mematikan pedagang di pasar Wonokromo yang juga harus bersaing dengan pedagang di Darmo
Trade Centre yang berada di lantai atas Pasar Wonokromo
Sebut saja misalnya, di Jakarta, PD Pasar Jaya menyebutkan pertumbuhan pasar tradisional
empat kali lipat pasar modern (21,76 persen) pada tahun 1985. Sepuluh tahun kemudian,
pertumbuhan pasar modern menjadi 62,25 persen, sedangkan pasar tradisional 37,75 persen. Di
Surabaya, berdasarkan laporan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dari 81 unit
pasar yang dimiliki Pemkot Surabaya, hanya sepertiga yang mampu bertahan menghadapi ekspansi
pasar modern. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 T ahun 2007, ada beberapa jenis
pasar modern yang ada di Indonesia saat ini yaitu minimarket, supermarket, hypermarket,
departement store dan perkulakan.
Pertumbuhan fenomenal ritel modern, salah satunya diakibatkan gencarnya penetrasi ritel
asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada 1970-1990 pemegang merek ritel
asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek
ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18,
dengan 532 gerai. Tahun 2015, merek ritel asing yang akan melebarkan sayapnya ke Indonesia
masih juga bertambah. Yang terbaru, raksasa ritel asal Korea Selatan, Lotte Mart, akan menjajal
peruntungan mereka di bisnis dagangan ritel Indonesia. Lotte yang pada 2008 lalu mengakuisisi PT
Makro Indonesia (pusat perkulakan Makro) dalam waktu dekat akan membuka 2 gerai baru di
149
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Jakarta. Hingga 2013, Lotte akan membuka sedikitnya 26 gerai di mana 19 di antaranya adalah
dengan rebranding (mengganti nama) Makro.
Sistem Ekonomi Pasar
Secara teroritis, menjamurunya pasar modern yang berkembang pesat di berbagaidaerah di
Indonesia, termasuk di Surabaya, tak lepas dari sistem ekonomi yang dianut Indonesia, yakni sistem
ekonomi liberal-kapitalisme.20 Sistem ekonomi pasar sangat begitu dominan memainkan peran
politik-ekonomnya ke seluruh jagad dunia. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa negara seperti
Ingris dan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia karena komitmen mereka terhadap kebijakan
pasar bebas.21 Kebijakan tersebut lebih mendorong pertumbuhan pasar dari pada mendorong arus
finansial dan perdagangan yang diatur negara. Strategi ini meminimalkan jangkauan regulasi
pemerintah sembari mendukung kepemilikan swasta terhadap sumber daya, usaha, dan bahkan
gagasan.
Dalam konkteks globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai bagian kecil dari sistem ekonomi
dunia, tak bisa lari dari kenyataan. Dalam sistem ekonomi pasar, peran-peran negara akan semakin
minimalis, yang berlaku adalah kekuatan pasar. Intervensi negara ke pasar dalam perspektif teori
ekonomi liberal/neo-liberal dinilai akan menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi negara.
Para penganut faham ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai
hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa
“pasar bebas” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat
yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.22
Dan pelbagai pernjanjian internasional yang diberlakukan dalam kegiatan ekonomi dunia
merupakan salah satu wujud dari sistem ekonomi pasar. Dan ketika negara lepas kontrol terhadap
struktur yang mulai disintegrasi, Indonesia mulai dipaksa menerima investasi asing demi
pertumbuhan. Dan menjamurnya investor asing yang mendirikan pasar-pasar modern di berbagai
kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Surabaya, menunjukkan kuatnya cengkeraman sistem
ekonomi kapitalisme di Indonesia. Sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit, sebalilknya
memberangus usaha ekonomi rakyat lemah.
Kondisi tersebut yang disebut Walden Bello sebagai krisis model pembangunan di Asia
Tenggara. Pembangunan di negara-negara tersebut selain berhasil meningkatkan pertumbuhan luar
biasa, di dalamnya juga tertanam bibit-bibit yang akan tumbuh menghancurkan sistem dan model
20 Sistem ini tentu saja bertentangan dengan sistem ekonomi yang yang dianut Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945pasal 33 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa sistem ekonomi kita berdasarkan asas kekeluargaan. Sistem ini yang disebut oleh Ekonom UGM, Mubyarto sebagai “Sistem Ekonomi Pancasila” 21 Rezim kebijakan ini kemudian dikenal sebagai “liberalism”. Dalam bentuk modernnya disebut “neoliberalisme”. Istilah “neo-liberalisme” merujuk pada doktrin-doktrin pasar bebas yang dikaitkan dengan para ekonom “liberal” klasik abad 18 dan 19 (Adam Smith dan David RIchardo). Lihat uraian Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press 2008,halaman 11. 22 Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, halaman 216
150
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 itu sendiri.23Model pembangunan ekonomi kapitalistik diberlakukan negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, hanya menguntungkan segelintir orang saja (baca: pemodal besar), sementara
pada saat yang sama menghancurkan usaha ekonomi tradisional.
Pembunuhan Hak Sosial-Ekonomi
Banyak orang beranggapan bahwa konsep atau teori pembangunan dengan berbagai varian-
variannya seperti teori ekonomi kapitalisme klasik David Richardo dan Adam Smith, modernisasi,
pertumbuhan, motivasi, struktural-fungsionalimse sampai pada teori pembangunan ekonomi
modern dan berbagai teori sepadanannya adalah resep yang cukup menjanjikan bagi proses
perubahan sosial dan perbaikan kondisi masyarakat.
Tapi kenyataannya yang terjadi adalah proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan
yang begitu parah. Masyarakat jadi korban-korban keganasan idiologi pembangunan ini. Hak-hak
sosial-ekonomi, budaya masyarakat tercerabut dari akarnya. Konsepsi di atas persis seperti apa yang
terjadi dalam proses pembangunan di Kota Surabaya ini. Berbagai proyek pembangunan berskala
besar dan mewah bermuculan bagaikan cendawan di musin hujan.
Salah satu proyek pembangunan yang sedang digalakan Pemerintah Kota Pemkot Surabaya
adalah proyek modernisasi pasar. Janji Pemkot Surabaya yang akan menjadikan proyek modernisasi
pasar tradisional akan menguntungkan para pedang tradisional hanyalah isapan jempol. Justru
sebaliknya, proyek modernisasi pasar memarginalkan para dan bahkan mematikan usaha pada
pedagang pasar tradisional. Kondisi ini diperparah lagi dengan proyek mallisasi dan ritelisasi yang
merambah kampung-kampung warga. Dampak negatifnya sangat dirasakan para pedagang kecil.
Kehidupan sosio-ekonomi, terutama usaha ekonominya sangat begitu terancam dengan
kehadiran pasar-pasar mewah yang dikendalikan para kaum pemodal (baca: kapitalis). Dalam
kondisi semacam ini, para pedagang tradisional sulit untuk bersaing dengan para pedagang kelas
kakap. Bahkan dalam pandangan kaum kapitalis pasar, para pedagang tradisonal dianggap sebagai
kelompok yang menggangu ketertiban dan kenyamanan, karena itu harus dilenyapkan. Dan inilah
memang salah satu karakter kaum kapitalis.
Dalam konsep pasar modern, yang berlaku adalah hukum besi ekonomi yang sangat
berkarakter kapitalistik. Siapa yang beruang atau memiliki kapital banyak, merekalah yang akan
menguasai pasar ekonomi. Ekonomi kapitalisme tidak toleran dan bahkan tidak memiliki idiologi
kemanusiaan. Kapitalisme akan membunuh siapa saja yang menghalangi pencapaian profit yang
sebesar-besarnya dengan menggunakan cara ”machavellian” atau menghalalkan segala cara.
Dan cara-cara machavellian inilah yang selama ini masih dipakai pembuat kebijakan di
Pemerintahan Kota untuk ”melegalkan” lahirnya pasar-pasar modern di Surabaya ini. Pihak Pemkot
23 Mansour Faqih, ibid. halaman 88
151
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 dan bahkan Pemprop Jatim sangat begitu mudah ”mengobral” ijin-ijin pembangunan pasar-pasar
modern oleh pihak swasta. Para kapitalis sangat begitu leluasa membangun pasar-pasar mewah
tanpa adanya teguran, apalagi hukuman. Bahkan realitas yang terjadi adalah persengkokolan antara
pihak penguasa dan pengusaha untuk mengegolkan ambisi kapitalismenya dengan membangun
pasar-pasar modern baru sampai tingkat RT/RW. Persengkongkolan inilah yang kemudian
melahirkan korban-korban pembangunan kapitalistik, yakni para pedagang tradisional, seperti
prancangan di kampung-kampung warga. Praktik ini yang disebut sebagai praktik pembunuhan hak-
hak sosial-ekonomi warga yang berlangsung secara sistematis dan massif melalui praktik legalisasi
“yang tertutup” terhadap keberadaan pasar modern.
Contoh yang paling terasa di Kelurahan Ketintang tempat penulis tinggal, pasca di
bangunnya ritel baru; Indormart, Alfamart, dan Alfamidi, salah seorang pedagang prancangan di
sekitar Ketintang mengeluhkan pendapatannya menurun hingga 90 persen setelah dibukanya ketiga
ritel tersebut. “kalau dulu rata-rata saya mendapat Rp 500.000 per hari. sekarang makin menurun,
paling-paling sehari dapat Rp 50.000,’tuturnya”. Hal serupa dialami mayoritas pedagang kecil
lainnya yang “kampungnya” di serbu ritel-ritel baru. Para pembeli lebih memilih berbelanja ke
pasar modern, karena lebih mudah dan nyaman serta mungkin lebih bergengsi.
Kekeluhan para pedagang kecil tersebut bisa saja merupakan representasi dari sebagian
besar pedagang tradisional yang menjadi korban proyek menjamurnya pasar modern di kampung-
kampung di Kota Surabaya, baik yang difasilitasi oleh Pemkot Surabaya sendiri maupun yang
dibangun oleh pidak swasta. Bahkan Pemkot sendiri ”mengobral” surat-surat ijin baru kepada pihak
swasta untuk membangun pusat perbelanjaan mewah baru. Dan korban-korban lainnya akan segera
menyusul, mengingat proyek “ritelisasi” dan swastanisasi pasar di Surabaya saat ini masih akan
terus berjalan dan tak terkendali.
Pelan tapi pasti, keberadaan pasar tradisional semakin ditinggalkan para konsumennya.
Selain karena faktor eksternal (baca: menjamurnya pasar modern), faktor internal juga
mempengaruhi para konsumen meninggalkan pasa tradisional. Salah satnya adalah masalah sarana
dan prasana pasar tradisional yang dianggap kumuh, tidak nyaman dan tidak aman. Besarnya minat
konsumen di perkotaan untuk berbelanja di supermarket daripada pasar tradisional merupakan
tantangan besar bagi pasar tradisional. Pasar tradisional harus mulai melakukan inovasi dan
revolusi, terutama dalam memenuhi keinginan konsumen dalam berbelanja.
Berdasar survei lembaga riset Retailer and Business Development "AC Nielsen" terhadap
15.000 responden di Asia Pasifik 2003 mengenai tren orang berbelanja, kebanyakan konsumen
menghabiskan uangnya (berbelanja) di supermarket (39 persen). Untuk Indonesia, di antara 1.019
responden di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sebanyak 33 persen berbelanja di supermarket.
Sementara itu, 30 persen responden berbelanja di toko barang-barang konsumen yang masih
152
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 dilayani pemilik atau pekerjanya. Sementara itu, pusat perbelanjaan modern telah berkembang pesat
lebih dari 31,4 persen dalam kurun dua tahun saat dilakukan survei. Hal itu disebabkan kebutuhan
konsumen yang semakin beragam serta masalah kenyamanan, kualitas, dan harga yang murah
daripada supermarket maupun minimarket.
Selain itu, tantangan krusial bagi pengembangan pasar tradisional adalah sempitnya ruang
bersaing pedagang pasar tradisional yang kini mulai sangat terbatas. Selama ini, pasar tradisional
dianggap memiliki comparative advantages dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk
banyak komoditas. Namun saat ini, menjamurnya pengecer (ritel) modern yang memiliki skala
ekonomis cukup luas dan akses langsung terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok
penjualan. Mereka pun mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya, para pedagang
pasar tradisional umumnya mempunyai skala kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup
panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional
kini mulai terkikis.
Peran Pemerintah
Faham dan praktik ekonomi pasar melalui liberalisasi perdagangan, dalam pandangan kritis
dinilai tidak akan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan ekonomi negara, terutama
negara-negara sedang berkembang atau miskin. Ekonomi pasar yang memberikan peran yang
terbatas pada negara, akan menjemuruskan ekonomi negara pada keterpurukan. Krisis ekonomi dan
moneter yang terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang yang berdampak pada
kehidupan masyarakat, merupakan salah satu akibat dari lepasnya kontrol peran negara atas
ekonomi domestik suatu negara. Ekonomi domestik negara sudah dikendalikan oleh kekuatan
pasar. Dan kita semua tahu bahwa kekuatan pasar itu bukan sesuatu yang netral, berjalan alamiah,
akan tetapi dikendalikan oleh negara-negara industry maju. Dengan kata lain, negara-negara
industry maju memiliki mission terselurung dalam mengendalikan sistem ekonomi negara-negara di
dunia.24
Di tengah persaingan usaha yang tidak sehat, antara pasar modern dengan pasar tradisional,
pemikiran Peter Evans saya pikir perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai solusi
menyelamatkan nasib pedagang dan pasar tradisional yang semakin tergerus. Evans mengatakan,
perlu ada intervensi terhadap pasar yang sudah begitu “liar” dikuasai para pemodal besar. Pemda
tidak mesti mengikuti selera ekonomi pasar yang kapitalistik tersebut secara keseluruhan.
24 Umar Sholahudin, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal Transisi Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans Institute, Malang
153
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Pemerintah harus memproteksi kepentingan ekonomi kerakyatakan, terutama para pedagang
tradiisonal yang memiliki modal usaha pas-pasan.25
Dalam pandangan para ekonom pro pasar, ekonomi pasar atau liberalisasi ekonomi -yang
salah satunya diwujudkan dalam bentuk pembangunan pasar modern, mallisasi, dan ritelisasi di
suatu negara- dianggap sebagai jalan keluar bagi kemacetan pertumbuhan ekonomi bagi dunia ini,
sejak awal oleh mereka dari kalangan ilmu sosial kritis dan yang memikirkan perlunya tata dunia
ekonomi yang adil serta bagi kalangan yang melakukan pemihakan terhadap yang lemah, telah
dicurigai sebagai bungkus baru dari imperalisme dan kolonialsime.26
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melahirkan lebih banyak lagi kebijakan
pembangunan ekonomi yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat pasar tradisional sebagai
bentuk tanggung jawab pemerintah kota kepada publik, yakni dengan membuat regulasi yang tegas
untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur serta penguatan manajemen
dan modal pedagang di pasar tradisional. Sedangkan untuk pasar modern perlu dilakukan
pengkajian ulang mengenai target konsumen dan komponen barang yang dijual, termasuk mengenai
harga.27
Secara yuridis, upaya untuk menyelamatkan nasib pasar tradisional dari serangan dahsyat
pasar modern sudah ada. Sebut saja misalnya pemerintah pusat telah menerbitkan Peraturan
Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern. Sebagai indaklanjut, Pemerintah Kota bersama DPRD Surabaya
juga telah memiliki pengaturan masalah toko swalayan melalui Peraturan Daerah (Perda) kota
Surabaya No. 8 tahun 2011 tentang Toko Swalayan, dan lebih khusus lagi yang baru adalah Perda
No. 8 tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan. Namun demikian, Semua regulasi yang ada
tidak mampu “membendung” muculnya ritel-ritel atau toko modern baru di sudut-sudut kota.
Munculnya berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib pedagang tradisional
dan membatasi munculnya toko atau ritel modern yang baru, namun pada kenyataannya, regulasi
tersebut justru banyak dimainkan oleh “oknum-oknum” baik pengusaha maupun kalangan birokrasi
Pemerintah kota. Banyak pelanggaran yang dilakukan para pengusaha toko atau ritel modern terkait
dengan pendirian usaha baru, namun tidak ada tindakan sama sekali, kaluoun ada tindakan, itupun
hanya sekedarnya.
Karena itu, secara regulasi, pemerinta kota telah memiliki seperangkat aturan yang sudah
cukup memadai, mulai dari pusat sampai daera (UU-Perda), namun yang paling lemah adalah pada
tahap implementasi dan pengawasan yang lemah. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah
25 Peter Evans, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, 1995, halaman 21 26 Mansour Faqih, Ibid, halaman 211 27 http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi
154
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 penegakan hukum yang konsisten. Jangan sampai Perda yang telah disahkan nanti menjadi “macan
ompong”, tak mampu menjerat para kapitalist ritel. Selain itu, kalau bisa tak sekedar membatasi,
tapi melarangnya. Mengingat pasar-pasar modern yang ada saat ini sudah terlalu banyak. Dan
dampaknya sudah sangat terasa dan terlihat. Dengan regulasi yang jelas dan tegas, setidaknya dapat
melindungi dan menyelamatkan pedagang tradisonal dari keterpurukan ekonomi akibat serangan
pegadang kelas kakap yang sangat kapitalistik.28
Secara konstitusional, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang besar untuk
melindungi kedaulatan dan kepetingan nasional. Cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, yaitu : “….Melindungi segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah
darah Indonesia dan mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
harus menjadi pondasi dasar dan nafas kolektif bagi pemerintah dalam menajalankan program
pembangunan ekonomi nasional. Menurut pakar ekonomi kerakyatan, Sri Edi Swasono, cita-cita
kemerdekaan yang merupakan tuntutan kostitusonal tersebut jangan sampai tergadaikan dan
menjadi komoditas di era pasar bebas yang sangat kapitalistik dan berdasar liberalism (paham
perfect individual liberty).29
Kesimpulan
Selama ini kita dijejali oleh idiologi-idiologi pembangunan positivistik yang cenderung
berwatak rekayasa. Posisi masyarakat tidak mendapat tempat dalam konteks idiologi ini. Mereka
dianggap sebagai objek pembangunan yang harus “patuh”. Kita butuh subjektivitas masyarakat
dalam melahirkan satu idiologi alternatif yang partisipatif. Dengan kata lain kita sudah waktunya
mendekonstruksi teori atau idiologi pembangunan dan varian-variannya, dan memunculkan
konstruksi idiologi atau teori alternatif yang lebih empowerment.
Karena itu, sudah saatnya pihak Pemkot mengkaji ulang kebijakan dan program swastanisasi
diberbagai sektor ekonomi, terutama swastanisasi dan modernisasi pasar. Dan lebih dari itu yang
lebih mendasar dan strategis adalah bagaimana merubah paradigma pembangunan kota yang
kapitalistik ini menjadi pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang
bersifat humanis.
Paradigma pembangunan kapitalistime sudah nyata-nyata tidak mampu memberikan solusi
perbaikan bagi kehidupan masyarakat, tetutama bagi sektor ekonomi usaha kecil atau lemah. Sudah
waktunya kita dan terutama para pembuat kebijakan pembangunan mendekonstruksi teori atau
idiologi pembangunan dan varian-variannya, dan memunculkan konstruksi idiologi pembangunan
alternatif yang lebih empowerment dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
28 Umar Sholahudin, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar Surabaya, 28 Mei 2010 29 Sri Edi Swasono, kata sambutan dalam buku Didin S. Dmanhuri; Negara, Civil Society, Pasar dalam Kemelut Globalisasi, FE-UI Press, 2009, halamanv
155
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
156
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Daftar Pustaka Aziz, Abdul, SR., Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, makalah singkat untuk
bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April – 1 Mei 2009, tidak dipublikasikan.
Basri, Chatib, 2006, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, Jakarta
Chang, Ha-Joon dan Ilene Grabel, 2008, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press, Yogyakarta
Damanhuri, Didin S., 2009,Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE-UI Jakarta.
Evans, Peter., 1995, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton University Press, New Jersey, USA.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Boos, New York
Faqih, Masour., 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Basri, Chatib., 2006, Ekonomi PasardalamMembela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi liberal, Fredeem Institute, Pustka Alvabet, Jakarta.
Sholahudin, Umar, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal Transisi Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans Institute, Malang
_______________, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar SBY, 28 Mei 2010
Suyanto, Bagong., 2008, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; Tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Surat Kabar dan media online: http://Appsi.com/opini http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi
Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju, dalamhttp://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html)
Harian Kompas Jatim, 17 Maret 2005 Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007
Radar Surabaya 13 Januari 2010 Harian Kompas, 15 Maret 2010
Umar Sholahudin, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar Surabaya, 28 Mei 2010 http://bisnis.liputan6.com/read/814452/765-ribu-gerai-ritel-menjamur-di-indonesia, diunduh 3 Mei
2015
bisnis.com, 2014
Majalah Industry Update, Volume 16, September 2014
157
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 Peraturan Perundangan-Undangan Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional,
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Peraturan Daerah (Perda) kota Surabaya No. 8 tahun 2011 tentang Toko Swalayan, Perda No. 8
tahun 2014 tentang Penataan Toko Swalayan
158