Partai Politik Islam di Pentas Reformasi
-
Upload
fanimasani -
Category
Documents
-
view
228 -
download
0
Transcript of Partai Politik Islam di Pentas Reformasi
![Page 1: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/1.jpg)
Partai Politik Islam di Pentas Reformasi
Bab I
Diskursus Pemikiran dan Aksi Politik Islam Indonesia sebelum Era Reformasi
a. Tinjauan umum terhadap pemikiran politik Islam
Ada dua perspektif umum yang mengemuka tatkala
memperbincangkan posisi agama didalma seluruh aspek kehidupan.
Pertama, agama dipandang sebagai instrument ilahiah an diposisikan pada
tataran hubungan vertical yaitu antara manusia dan Tuhan. Dalam
perspektif sekulerisme agama diharamkan untuk memasuki wilayah
public. Dengan kata lain agama merupakan masalh pribadi. Perspektif
kedua, agama justru menjadi spirit sekaligus alat pemecah persoalan-
persoalan social kemasyaraktan.
Salah satu misi utama Islam adalah membangkitkan gerakan
perubahan social dan meluruskan pola pikir ummat manusia dengan
berlandaskan pada tauhid. Itulah sebabnya dalam konteks misi utama tadi
Islam disebut Ad-Din, yang secara etimologis dalam bahasa arab memiliki
arti sebagai berikut. Pertama hak untuk menguasai,
mendominasi ,memerintah dan menaklukan. Kedua syariah atau rambu-
rambu yang harus dipatuhi, tunduk, pasrah dan merendahkan diri. Ketiga
adat istiadat dan kebiasaan. Keempat balasan atas perbuatan, pengadilan
dan penghitungan neraca amal.
Secara konseptual, Ad-Din adalah kode dan jalan yang telah
dijelaskan Allah mencakup keempat arti Ad-Din diatas. Di dalam al Quran
terkandung semua aspek kehidupan manusia. Dimana manusia diwajibkan
mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Sedangkan
religion hanya berada dalam sector atau segmen saja. Menilik perbedaan
cara pandang diatas maka dapat dipahami mengapa ide Negara sekuler
mendapat tantangan sengit di negeri-negeri muslim. Tantangan itu terjadi
![Page 2: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/2.jpg)
karena definisi tentang agama dalam versi barat hanya hubungan vertical
antara manusia dan Tuhan. Akibatnya, wacana hubungan antara agama
dan politik di negeri Barat kurang mendapat perhatian.
Berbeda secara diametral dengan Islam yang ajarannya mencakup
seluruh aspek kehidupan dan menolak secara tegas sekulerisme. Dalam
Islam tidak dikenal pemisahan antara agama dam politik. Secara garis
besar bisa ditemukan beberapa prinsip pokok yang mengatur kehidupan
masyarakat dalam kerangka berbangsa dan bernegara. Antara lain : (1)
Kekuasaan sebagai amanah (4:58, 149:13); (2) Musyawarah (42:38,
3:159); (3) Keadilan (4:135, 5:8, 16:90, 6:160); (4) Persamaan (9:13); (5)
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (17:70,
17:33, 5:32, 88:21-22, 50:45, 4:32) dan lain sebagainya.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa sekalipun berasal dari
sumber ajaran yang sama, yaitu al Qur’an dan as Sunah hingga kini masih
terdapat perdebatan mengenai hubungan antara Islam dan politik.
Dikarenakan, pertama, buakn saja oleh sebab khasanah Islam yang secara
teologis doctrinal memiliki sumber yang amat kaya sebagai bahan kajian,
sekaligus pedoman dalam bertingkah laku. Namun, juga, kedua,
sebagaimana terekam dalam pelbagai episode sejarah, perilaku politik
kalangan Islam lebih banyak menampakkan ketidaksatuan visi dan
langkah. Hal ini terjadi dikarenakan antara lain adanya perbedaan
penafsiran atas ajaran Islam yang bersumber dari al Qur’an dan as Sunah.
Salah satu implikasi mendasar dari perbedaan tafsir itu terlihat pada
beragam sekte atau paham dalam tubuh umat Islam yang tumbuh dan
berkembang sejak masa khulaafaurrasyidin –empat khalifah pangganti
Nabi Muhammad saw- hingga dewasa ini. Disamping dua penyebab utama
diatas, persoalan konteks social, ekonomi dan politik yang menaungi
perjalanan pemikiran dan aksi politik Islam dalam pelbagai episode sejarah
juga member kontribusi bagi pluralism reaksi dan aksi politik umat Islam.
Dalam konteks pluralism itu, menurut Bahtiar Effendy, politik
Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif. Pada
![Page 3: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/3.jpg)
sisi lain, mayoritas kalangan muslim percaya akan pentingnya prinsip-
prinsip Islam dalm kehidupan politik. Namun, pada saat yang bersamaan
tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya
Islam dan politik dikaitkan secara tepat.
Konsekuensi logis dari perbedaan tafsir ats ajaran Islam itu. Dalam
tema ini setidaknya ada tiga aliran pemikiran yang berkembang dikalangan
Islam. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam semata-mata agama dalm
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan vertical antara
manusia dan Tuhan belaka. Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah
agama dalm pengertian Barat yang tidak ada hubungannya dengan
persoalan kenegaraan. Sedangkan aliran ketiga menolak pendapat Islam
adalah satu agama yang serba lengkap dan dalam Islam terdapat suatu
system ketatanegaraan. Tetapi, aliran ini dengan tokohnya antara lain
Muhammad Hussein Haikal, menolak anggapan bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalm Islam tidak terdapat
sisi kenegaraan, tetapi seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara.
Secara umum ada dua spectrum pemikiran politik Islam yang
saling berbeda dan bahkan bertentangan. Sebagian muslim beranggapan
Islam harus menjadi dasar Negara dengan konsekuensi syari’ah harus
diterima sebagai konstitusi Negara.
b. Pemikiran Politik Islam Indonesia
Agar diperoleh lanskap pemikiran politik Isalm yang lebih utuh
khususnya dalam konteks keindonesiaan maka dipandang penting untuk
meneropong dari dua sisi. Pertama, apa dan bagaimana kalangan
intelektual nonj Indonesia memandang dan memaknai dinamika politik
Islam di Indonesia. Kedua, tinjauan perihal dinamika politik Islam
![Page 4: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/4.jpg)
Indonesia yang dilihat dari perspektif intelektual dan aktivis Islam
Indonesia.
Pada sisi pertama, sebagaimana dikaji Bahtiar Effendy. Pertama,
Dekonfessionalisi Islam. Teori yang dikembangkan oleh C.A.O van
Nieuwenhuijze, berpijak dari fenomena akomodasionis kelompok-
kelompok sosiokultur dan politik Belanda. Dalam konteks
Indonesia,menurut Nieuwenhuijze, Islam adalah factor yang dominan
dalam revolusi nasional.
Kedua, Domestikasi Islam. Esensi teori yang dikemukakan oleh
Harry J. Benda ini adalah pemandulan “cengkeraman politik” Islam. Bagi
Benda, perkembangan Islam pada pascakolonial di Indonesia
memperlihatkan tingkat kontinuitas tertentu dengan masa lampau
prakolonialnya.
Ketiga, Skimastik dan Aliran. Teori ini dipandang sebagai jawaban
atas pertanyaan : mengapa perebutan kekuasaan secara terus menerus
antara Islam dan Jawaisme harus trjadi pada awalnya. Teori ini sering kali
dipakai instrumen untuk menjelaskan politik Indonesia pada periode
pascakemerdekaan.
Kecenderungan skismatis kedua nilai yang berbeda itu belakangan
berkembang ke bidang-bidang non-agama, seperti bidang politik, struktur
social, dan budaya. Dalam bidang politik, skisme itu turut memainkan
peran dalam berkembangnya permusuhan politik antara Negara-negara
pesisir timur laut pulau Jawa, dibawah kerajaan Demak, dan Negara
sinkretis Mataram di pedalaman Jawa.
Keempat, Trikotomi. Pendekatan ini dirumuskan berdasarkan
pertanyaan bagaimanakah para aktivis politik Islam member respon
terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh
kelompok elite penguasa.
Kelima, Islam Kultural. Teori yang dikembangkan Donald K.
Emerson ini mempertanyakan validitas tesis bahwa ‘Islam yang berada
diluar kekuasaan adalah Islam yang lengkap”, atau bahwa “umat Islam
![Page 5: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/5.jpg)
yang tidak terus mengupayakan terwujudnya Negara Islam adalah umat
Islam yang tidak berbuat yang sesungguhnya demi Islam”. Dengan kata
lain, teori ini adalah upaya untuk meninjau kembali kaitan doctrinal yang
formal antara Islam dan politik.
Jika tinjauan teoritis diatas lebih menyoroti sisi relasi Islam dengan
kelompok politik lain yang kerap menampakkan wajah perseteruan dan
perspektif itu datang dari akademisi dan para aktivis politik Islam
Indonesia itu sendiri. M. Syafi’i Anwar memilah menjadi enam kelompok
pemikiran : Formalistik, Substantivistik, Transformatik, Idealistik dan
Realistik.
c. Aksi Politik Islam Indonesia
Islam yang semula berasal dari Saudi Arabia itu hadir –dalam
ungkapan Taufik Abdullah dan Sharon Siddique- ke lingkungan Asia
Tenggara yang “unik”. Keunikan itu pulalah yang membuat Islamisasi
Nusantara ditandai oleh akomodasi terhadap nilai-nilai local yang
kemudian membentuk semacam tradisi Islam khas Indonesia, yaitu Islam
sinkretis. Proses penetrasi nilai-nilai Islam tadi dikemudian hari
menimbulkan pola tingkah laku dalm bidang poltik-sosial, ekonomi, dan
lainnya serta meletakkan dasar bagi berbagai corak struktur pengaturan
kekuasaan.
Proses penetrasi yang khas itu bukan tidak meninggalkan persoalan
sama sekali. Justru munsul sebuah persoalan serius, setidaknya dalam
penilaian juru dakwah Islam, yakni kekhawatiran akin meleburnya Islam
kedalam nilai-nilai local. Gerakan pembaharuan muncul didasari oleh
pemikiran bahwa tindakan mengakomodasi tradisi lama ke dalam Islam
merupakan penyimpangan dan untuk itu diperlukan gerakan pembaruan
sebagai upaya untuk memutuskan masa lalu dan berorientasi kepada masa
depan.
![Page 6: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/6.jpg)
Secara lebih elaboratif, pentingnya factor Islam tadi dapat pula
dilihat dari sudut pandang gerakan politik, dimana Islam memiliki tiga
fungsi. (1) sebagai pandangan ideal untuk menentukan mana yang bauik
dan mana yang buruk berdasarkan doktrin Islam. (2) Sebagi nilai-nilai
yang membentuk sikap dan tingkah laku muslim sehingga dikenal adanya
muslim yang saleh dan kurang saleh. (3) Sebagai perekat solidaritas social
dimana Islam dijadikan factor pemersatu yang mengatasi pelbagai macam
pembelahan social.
Menjelang pecah Perang Dunia II, Jepang banyak melakukan
aktivitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang
beragama Islam. Hal ini dilakukan untuk antara lain meniupkan slogan
anti Barat. Harry J. Benda mencatat tiga perbedaan antara kebijakan
Belanda dan Jepang terhadap Islam. Pertama, yang menjadi sandaran
politik colonial di era penjajahan Belanda adalah kaum priyayi, sedangkan
masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler.
Kedua, yang menjadi juru bicara pergerakan nasional di era penjajahan
Belanda adalah pemimpin nasionalis sekuler, sedangkan pada masa Jepang
adalah golongan Islam. Ketiga, pemerintah Hindia-Belanda cenderung
tidak pernah memberi angin kepada golongan Islam, sedangkan
pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya.
Salah satu bentuk perhatian Jepang terhadap kalangan Islam ini
adalah pemberian prioritas untuk mendirikan organisasi, yakni pada
tanggal 10 September 1943 dimana Muhammadiyah dan NU disahkan
kembali disusul dengan Persyarikatan Umat Islam di Majalengka pada 1
Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi. Bahkan, sebagai
pengganti MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943 karena dinilai
anti Jepang, Jepang mengizinkan pendirian organisasi federatif baru,
Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dengan pendukung utama
dari Muhammadiyah dan NU.
![Page 7: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/7.jpg)
Perdana Menteri Kuniaki Koisovdidepan Diet (parlemen Jepang)
pada tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada
Indonesia “dalam waktu dekat”. Kebijakan ini terpaksa diambilnya
mengingat posisi Jepang yang semakin terdesak dalam Perang Pasifik.
Sebagai realisasinya dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 9 April 1945.
Berdirinya BPUPKI memiliki nilai strategis bagi Indonesia. Karena
baru kali inilah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin
Indonesia berkumpul dalam suatu wadah membicarakan persiapan
kemerdekaan bangsa beserta perlengkapannya, seperti dasar Negara,
kabinet dan parlemen. Komposisi keanggotaannya yang berjumlah 68
orang ini adalah 8 orang dari Jepang dan 15 orang dari golongan Islam,
selebihnya dari golongan sekuler dan priyayi Jawa. Ketuanya adalah Dr.
Radjiman Wedyoningrat, seorang mistik Jawa yang pernah menjadi
anggota Budi Utomo. Dari komposisi diatas jelas terlihat hanya ada dua
golongan besar yang memiliki peran signifikan dipentas perpolitikan
nasional saat itu, yakni golongan Islam dan nasionalis sekuler.
Dengan mengikuti basis pemikiran politik masing-masing kekuatan
politik diatas maka soal dasar Negara adalah wilayah perdebatan yang
sensitive. Pasalnya masing-masing kelompok berupaya agar ideologinya
menjadi landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengenai
dasar Negara ini dari golongan nasionalis sekuler tampil tiga ornag juru
bicara, yaitu Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945, Mohamad
Yamin (29 Mei 1945), dan Soepomo (31 Mei 1945). Sedangkan dari
golongan Islam tampil Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Dua
pendapat yang saling bertentangan itu, sebagaimana dicatat sejarah, pada
akhirnya tidak dapat dipertemukan.
Beberapa cendikiawan muslim menganggap bahwa diterimanya
ideology Negara Pancasila dan dihapuskannya Piagam Jakarta merupakan
![Page 8: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/8.jpg)
kekalahan politik Islam. Kalangan Islam sangat optimis bahw aproklamasi
akan diikuti oleh stabilitas dimana pemilu akan segera dilaksanakan.
Mereka yakin pula akan menang, mengingat jumlah penduduk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah
kedudukan golongan Islam justru tidak bertambah kuat setelah Soekarno
dan Moh. Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden.
Dalam masa revolusi unutk memertahankan kemerdekaan inilah
pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3
November 1945 yang ditandatangani oleh wakil presiden Moh. Hatta
tentang anjuran membentuk partai-partai politik. Berdasarkan tinjauan
ideologi yang didominasi oleh : ideologi Masyumi, Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) dan Nahdlatul Ulama
(NU). Ideology nasionalis sekuler diwakili oleh PNI. Ideology Marxis-
sosialis diwakili oleh Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia, dan
Pesindo. Mengingat posisi dan peran signifikan dari Masyumi pada decade
1940-1950-an itu maka selanjutnya adalah penting untuk mengetengahkan
sosoknya.
Didalam majelis konstituante, partai-partai politik Islam
memeroleh kursi 230 kursi sedangkan partai-partai lainnya 286 kursi.
Berarti partai politik Islam memiliki 45% kursi, sedangkan UUDS 1950,
penetapan UUD Baru harus didukung oleh 2/3 anggota komite yang hadir.
Tanpa didukung partai politik lainnya tidak mungkin para politisi Islam
meloloskan ideology Islam sebagai dasar Negara.
Bab II
Perubahan Strategi Perjuangan Politik Umat Islam Era Reformasi
a. Polemik Kebangkitan Kembali Politik Aliran di Era Reformasi
![Page 9: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/9.jpg)
Salah satu wacana yang mengemuka seiring dengan munculnya
partai-partai politik Islam diera reformasi ini –dan juga partai-partai
berbasis suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) lainnya- adalah
kebangkitan kembali “politik aliran”. Istilah aliran ini merujuk pada
pengelompokkan politik pada dasawarsa 1950-an, yang tegas terlihat
dalam pemilu 1955. Yang khas pada fenomena itu adalah
pengelompokkan politik terjadi menurut kesamaan orientasi budaya, yaitu
ikatan sekolompok orang kepada dominant culture dalam kelompoknya.
Dikarenakan soal politik aliran erat kaitannya dengan masalah
ideologi politik maka pertama-tama ynag mesti diungkap adalah makna
ideology itu sendiri. Thomas H Greene menyebut ideologi sebagai ide-ide
yang berhubungan secara logis dan yang menerangkan prinsip-prinsip atau
nilai-nilai yang memberikan legitimasi kepaa lembaga-lembaga dan
perilaku politik. Maurice Duverger menyebut sebuah doktrin berubah
menjadi ideologi ketika suatu kelompok social menganutnya. Menurut
Robert Lane ideology tercipta manakala suatu dasar eksistensial
masyarakat yang menciptakan pengalaman-pengalaman bersama,
diinterpretasikan melalui premis-premis cultural tertentu oleh manusia
yang memiliki kualitas-kualitas pribadi tertentu , dalam melihat konflik-
konflik tertentu.
Ideologi merupakan cita-cita yang dalam dan luas, bersifat jangka
panjang bahkan dalam hal-hal dasar bersifat universal. Ideologi dirasakan
merupakan milik suatu kelompok manusia yang dapat mengidentitaskan
dirinya dengan isi ajaran tersebut. Duverger mengklasifikasikan
kelompok-kelompok ideologis menjadi ideology politikdan ideology non-
politik. Ideology politik dimaksudkannya sebagai ideologi-ideologi “yang
berhubungan dengan hakekat kekuasaan dan pelaksanaannya”. Sedangkan
ideologi non-politik tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kekuasaan.
![Page 10: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/10.jpg)
Kehadiran begitu banyak partai politik Islam, setelah pertama kali
pada pemilu 1955, menunjukkan bahwa perilaku politik kalangan Islam
memang kerap kali menampakkan ketidaksatuan visi dan langkah Islam.
b. Polemik Diseputar Pendirian Partai Politik
Indonesianis Dr. Lance Castles menyebut fenomena pendirian
partai-partai politik Indonesia pasca lengsernya Soeharto dengan sebutan
“The Age of Parties”. Tanpa ada gerakan reformasi, Soeharto mungkin
masih bertahan serta mungkin pula kebebasan pers dan politik tengah
memasuki masa “bulan madu” ini bagai jauh dari panggangan api. Namun,
sejarah berkata lain, seolah-olah sukma Maklumat Wakil Presiden Moh.
Hatta No X tanggal 3 November 1945 kembali hadir dilangit politik
Indonesia. Wujudnya, adlah dengan lahirnya 148 partai politik dan 42
diantaranya yang terkategorikan sebagai partai politik Islam. Kehadiran
partai-partai politik Islam ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk
memanfaatkan liberalisasi politik yang melanda Indonesia di era reformasi
ini.
Dengan memerhatikan setting social-politik yang melatarbelakangi
kehadiran partai-partai politik Islam dapat disimpulkan bahwa kemunculan
mereka didasari sejumalh factor sebagai berikut : Pertama, sebagai reaksi
atas perilaku politik yang dialami kalangan Islam yang membuat mereka
termarginalisasi selama sekitar empar decade terakhir. Kedua adalah
sebagai reaksi panggilan moral untuk berpartisipasi dalam pemulihan
kondisi Indonesia yang carut-marut sepeninggal Soeharto. Dalam konteks
inilah, pendirian parpol bisa diberi makna sebagai kepedulian kalangan
Islam atas nasib bangsa dan Negara.
Pentingnya faktor Islam dalam kiprahnya dipentas nasional buakn
saja karena faktor taken for granted seperti yang dikemukakan oleh
Kuntowijoyo namun juga oleh karena faktor kebesaran kuantitasnya itu
![Page 11: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/11.jpg)
sendiri. Mengaca pada tiga hasil sensus mayoritas umat Islam, yakni pada
tahun 1971, 1980, 1990, nampak jelas terlihat posisi mayoritas umat Islam
itu mencapai 90%. Kalangan yang bisa memahami dan menerima
keberadaan partai politik yang berlandaskan agama bertolak belakang dari
sejumlah pemikiran berikut. Pertama, prinsip demokrasi yang memang
meniscayakan pluralisme termasuk dalam persoalan wadah perjuangannya
(partai politik). Kedua, spirit reformasi yang meniscayakan tegaknya
liberalisasi politik sebagai antithesa dari kekangan politik yang digelar
oleh rezim ORLA dna ORBA. Ketiga, bagi kalangan Islam politik
pendirian partai politik Islam didasari oleh premis dasar ajaran Islam yang
paripurna, yang tidak memisahkan wilayah politik dengan agama.
Sekalipun arus utama yang lebih berkembang lebih mendukung pendirian
partai politik Islam namun tidak sedikit pula yang berpandangan
sebaliknya.
c. Partai Politik Islam : Antara Satu Partai dan Banyak Partai
Dengan jumlah partai politik Islam sebanyak 42 itu tak terelakkan
memunculkan kekhawatiran serius soal bakl terfragmentasinya suara umat
Islam. Problem lain yang amat krusial adalah fragmentasi tadi tak hanya ke
lapisan massa namun juga membuat sulitnya para politisi Islam
membangun soliditas serta jaringan dalam menghadapi pemilu 1999.
Kekhawatiran soal fragmentasi yang bakal bermuara kepada
kekalahan electoral kekuatan politik Islam di ajang pemilu itu sangatlah
beralasan. Kekhawatiran demikian mengemuka dikarenakan umat
memiliki pengalaman empiris yang tidak begitu baik tatkala pemilu
demokratis pertama digelar pada tahun 1955. Banyaknya parpol Islam
yang bermunculan di era reformasi ini memang mengundang beragam
tanggapan. Disamping soal polemic mengenai politik aliran, yang dalam
derajat cukup tegas ditujukan kepada fenomena pembentukkan parpol
Islam juga keprihatinan terutama dari mereka yang menyetujui hadirnyab
![Page 12: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022012902/5571f9d64979599169908e14/html5/thumbnails/12.jpg)
parpol Islam dari sisi jumlah parpol Islam yang dipandang terlampau
banyak. Lanjutan halaman 62……