Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

18
Partai Politik Islam di Pentas Reformasi Bab I Diskursus Pemikiran dan Aksi Politik Islam Indonesia sebelum Era Reformasi a. Tinjauan umum terhadap pemikiran politik Islam Ada dua perspektif umum yang mengemuka tatkala memperbincangkan posisi agama didalma seluruh aspek kehidupan. Pertama, agama dipandang sebagai instrument ilahiah an diposisikan pada tataran hubungan vertical yaitu antara manusia dan Tuhan. Dalam perspektif sekulerisme agama diharamkan untuk memasuki wilayah public. Dengan kata lain agama merupakan masalh pribadi. Perspektif kedua, agama justru menjadi spirit sekaligus alat pemecah persoalan-persoalan social kemasyaraktan. Salah satu misi utama Islam adalah membangkitkan gerakan perubahan social dan meluruskan pola pikir ummat manusia dengan berlandaskan pada tauhid. Itulah sebabnya dalam konteks misi utama tadi Islam disebut Ad-Din, yang secara etimologis dalam bahasa arab memiliki arti sebagai berikut. Pertama hak untuk menguasai,

Transcript of Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Page 1: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Bab I

Diskursus Pemikiran dan Aksi Politik Islam Indonesia sebelum Era Reformasi

a. Tinjauan umum terhadap pemikiran politik Islam

Ada dua perspektif umum yang mengemuka tatkala

memperbincangkan posisi agama didalma seluruh aspek kehidupan.

Pertama, agama dipandang sebagai instrument ilahiah an diposisikan pada

tataran hubungan vertical yaitu antara manusia dan Tuhan. Dalam

perspektif sekulerisme agama diharamkan untuk memasuki wilayah

public. Dengan kata lain agama merupakan masalh pribadi. Perspektif

kedua, agama justru menjadi spirit sekaligus alat pemecah persoalan-

persoalan social kemasyaraktan.

Salah satu misi utama Islam adalah membangkitkan gerakan

perubahan social dan meluruskan pola pikir ummat manusia dengan

berlandaskan pada tauhid. Itulah sebabnya dalam konteks misi utama tadi

Islam disebut Ad-Din, yang secara etimologis dalam bahasa arab memiliki

arti sebagai berikut. Pertama hak untuk menguasai,

mendominasi ,memerintah dan menaklukan. Kedua syariah atau rambu-

rambu yang harus dipatuhi, tunduk, pasrah dan merendahkan diri. Ketiga

adat istiadat dan kebiasaan. Keempat balasan atas perbuatan, pengadilan

dan penghitungan neraca amal.

Secara konseptual, Ad-Din adalah kode dan jalan yang telah

dijelaskan Allah mencakup keempat arti Ad-Din diatas. Di dalam al Quran

terkandung semua aspek kehidupan manusia. Dimana manusia diwajibkan

mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Sedangkan

religion hanya berada dalam sector atau segmen saja. Menilik perbedaan

cara pandang diatas maka dapat dipahami mengapa ide Negara sekuler

mendapat tantangan sengit di negeri-negeri muslim. Tantangan itu terjadi

Page 2: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

karena definisi tentang agama dalam versi barat hanya hubungan vertical

antara manusia dan Tuhan. Akibatnya, wacana hubungan antara agama

dan politik di negeri Barat kurang mendapat perhatian.

Berbeda secara diametral dengan Islam yang ajarannya mencakup

seluruh aspek kehidupan dan menolak secara tegas sekulerisme. Dalam

Islam tidak dikenal pemisahan antara agama dam politik. Secara garis

besar bisa ditemukan beberapa prinsip pokok yang mengatur kehidupan

masyarakat dalam kerangka berbangsa dan bernegara. Antara lain : (1)

Kekuasaan sebagai amanah (4:58, 149:13); (2) Musyawarah (42:38,

3:159); (3) Keadilan (4:135, 5:8, 16:90, 6:160); (4) Persamaan (9:13); (5)

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (17:70,

17:33, 5:32, 88:21-22, 50:45, 4:32) dan lain sebagainya.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa sekalipun berasal dari

sumber ajaran yang sama, yaitu al Qur’an dan as Sunah hingga kini masih

terdapat perdebatan mengenai hubungan antara Islam dan politik.

Dikarenakan, pertama, buakn saja oleh sebab khasanah Islam yang secara

teologis doctrinal memiliki sumber yang amat kaya sebagai bahan kajian,

sekaligus pedoman dalam bertingkah laku. Namun, juga, kedua,

sebagaimana terekam dalam pelbagai episode sejarah, perilaku politik

kalangan Islam lebih banyak menampakkan ketidaksatuan visi dan

langkah. Hal ini terjadi dikarenakan antara lain adanya perbedaan

penafsiran atas ajaran Islam yang bersumber dari al Qur’an dan as Sunah.

Salah satu implikasi mendasar dari perbedaan tafsir itu terlihat pada

beragam sekte atau paham dalam tubuh umat Islam yang tumbuh dan

berkembang sejak masa khulaafaurrasyidin –empat khalifah pangganti

Nabi Muhammad saw- hingga dewasa ini. Disamping dua penyebab utama

diatas, persoalan konteks social, ekonomi dan politik yang menaungi

perjalanan pemikiran dan aksi politik Islam dalam pelbagai episode sejarah

juga member kontribusi bagi pluralism reaksi dan aksi politik umat Islam.

Dalam konteks pluralism itu, menurut Bahtiar Effendy, politik

Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multiinterpretatif. Pada

Page 3: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

sisi lain, mayoritas kalangan muslim percaya akan pentingnya prinsip-

prinsip Islam dalm kehidupan politik. Namun, pada saat yang bersamaan

tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya

Islam dan politik dikaitkan secara tepat.

Konsekuensi logis dari perbedaan tafsir ats ajaran Islam itu. Dalam

tema ini setidaknya ada tiga aliran pemikiran yang berkembang dikalangan

Islam. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam semata-mata agama dalm

pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan vertical antara

manusia dan Tuhan belaka. Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah

agama dalm pengertian Barat yang tidak ada hubungannya dengan

persoalan kenegaraan. Sedangkan aliran ketiga menolak pendapat Islam

adalah satu agama yang serba lengkap dan dalam Islam terdapat suatu

system ketatanegaraan. Tetapi, aliran ini dengan tokohnya antara lain

Muhammad Hussein Haikal, menolak anggapan bahwa Islam adalah

agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia

dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalm Islam tidak terdapat

sisi kenegaraan, tetapi seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan

bernegara.

Secara umum ada dua spectrum pemikiran politik Islam yang

saling berbeda dan bahkan bertentangan. Sebagian muslim beranggapan

Islam harus menjadi dasar Negara dengan konsekuensi syari’ah harus

diterima sebagai konstitusi Negara.

b. Pemikiran Politik Islam Indonesia

Agar diperoleh lanskap pemikiran politik Isalm yang lebih utuh

khususnya dalam konteks keindonesiaan maka dipandang penting untuk

meneropong dari dua sisi. Pertama, apa dan bagaimana kalangan

intelektual nonj Indonesia memandang dan memaknai dinamika politik

Islam di Indonesia. Kedua, tinjauan perihal dinamika politik Islam

Page 4: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Indonesia yang dilihat dari perspektif intelektual dan aktivis Islam

Indonesia.

Pada sisi pertama, sebagaimana dikaji Bahtiar Effendy. Pertama,

Dekonfessionalisi Islam. Teori yang dikembangkan oleh C.A.O van

Nieuwenhuijze, berpijak dari fenomena akomodasionis kelompok-

kelompok sosiokultur dan politik Belanda. Dalam konteks

Indonesia,menurut Nieuwenhuijze, Islam adalah factor yang dominan

dalam revolusi nasional.

Kedua, Domestikasi Islam. Esensi teori yang dikemukakan oleh

Harry J. Benda ini adalah pemandulan “cengkeraman politik” Islam. Bagi

Benda, perkembangan Islam pada pascakolonial di Indonesia

memperlihatkan tingkat kontinuitas tertentu dengan masa lampau

prakolonialnya.

Ketiga, Skimastik dan Aliran. Teori ini dipandang sebagai jawaban

atas pertanyaan : mengapa perebutan kekuasaan secara terus menerus

antara Islam dan Jawaisme harus trjadi pada awalnya. Teori ini sering kali

dipakai instrumen untuk menjelaskan politik Indonesia pada periode

pascakemerdekaan.

Kecenderungan skismatis kedua nilai yang berbeda itu belakangan

berkembang ke bidang-bidang non-agama, seperti bidang politik, struktur

social, dan budaya. Dalam bidang politik, skisme itu turut memainkan

peran dalam berkembangnya permusuhan politik antara Negara-negara

pesisir timur laut pulau Jawa, dibawah kerajaan Demak, dan Negara

sinkretis Mataram di pedalaman Jawa.

Keempat, Trikotomi. Pendekatan ini dirumuskan berdasarkan

pertanyaan bagaimanakah para aktivis politik Islam member respon

terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh

kelompok elite penguasa.

Kelima, Islam Kultural. Teori yang dikembangkan Donald K.

Emerson ini mempertanyakan validitas tesis bahwa ‘Islam yang berada

diluar kekuasaan adalah Islam yang lengkap”, atau bahwa “umat Islam

Page 5: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

yang tidak terus mengupayakan terwujudnya Negara Islam adalah umat

Islam yang tidak berbuat yang sesungguhnya demi Islam”. Dengan kata

lain, teori ini adalah upaya untuk meninjau kembali kaitan doctrinal yang

formal antara Islam dan politik.

Jika tinjauan teoritis diatas lebih menyoroti sisi relasi Islam dengan

kelompok politik lain yang kerap menampakkan wajah perseteruan dan

perspektif itu datang dari akademisi dan para aktivis politik Islam

Indonesia itu sendiri. M. Syafi’i Anwar memilah menjadi enam kelompok

pemikiran : Formalistik, Substantivistik, Transformatik, Idealistik dan

Realistik.

c. Aksi Politik Islam Indonesia

Islam yang semula berasal dari Saudi Arabia itu hadir –dalam

ungkapan Taufik Abdullah dan Sharon Siddique- ke lingkungan Asia

Tenggara yang “unik”. Keunikan itu pulalah yang membuat Islamisasi

Nusantara ditandai oleh akomodasi terhadap nilai-nilai local yang

kemudian membentuk semacam tradisi Islam khas Indonesia, yaitu Islam

sinkretis. Proses penetrasi nilai-nilai Islam tadi dikemudian hari

menimbulkan pola tingkah laku dalm bidang poltik-sosial, ekonomi, dan

lainnya serta meletakkan dasar bagi berbagai corak struktur pengaturan

kekuasaan.

Proses penetrasi yang khas itu bukan tidak meninggalkan persoalan

sama sekali. Justru munsul sebuah persoalan serius, setidaknya dalam

penilaian juru dakwah Islam, yakni kekhawatiran akin meleburnya Islam

kedalam nilai-nilai local. Gerakan pembaharuan muncul didasari oleh

pemikiran bahwa tindakan mengakomodasi tradisi lama ke dalam Islam

merupakan penyimpangan dan untuk itu diperlukan gerakan pembaruan

sebagai upaya untuk memutuskan masa lalu dan berorientasi kepada masa

depan.

Page 6: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Secara lebih elaboratif, pentingnya factor Islam tadi dapat pula

dilihat dari sudut pandang gerakan politik, dimana Islam memiliki tiga

fungsi. (1) sebagai pandangan ideal untuk menentukan mana yang bauik

dan mana yang buruk berdasarkan doktrin Islam. (2) Sebagi nilai-nilai

yang membentuk sikap dan tingkah laku muslim sehingga dikenal adanya

muslim yang saleh dan kurang saleh. (3) Sebagai perekat solidaritas social

dimana Islam dijadikan factor pemersatu yang mengatasi pelbagai macam

pembelahan social.

Menjelang pecah Perang Dunia II, Jepang banyak melakukan

aktivitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang

beragama Islam. Hal ini dilakukan untuk antara lain meniupkan slogan

anti Barat. Harry J. Benda mencatat tiga perbedaan antara kebijakan

Belanda dan Jepang terhadap Islam. Pertama, yang menjadi sandaran

politik colonial di era penjajahan Belanda adalah kaum priyayi, sedangkan

masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam dan nasionalis sekuler.

Kedua, yang menjadi juru bicara pergerakan nasional di era penjajahan

Belanda adalah pemimpin nasionalis sekuler, sedangkan pada masa Jepang

adalah golongan Islam. Ketiga, pemerintah Hindia-Belanda cenderung

tidak pernah memberi angin kepada golongan Islam, sedangkan

pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya.

Salah satu bentuk perhatian Jepang terhadap kalangan Islam ini

adalah pemberian prioritas untuk mendirikan organisasi, yakni pada

tanggal 10 September 1943 dimana Muhammadiyah dan NU disahkan

kembali disusul dengan Persyarikatan Umat Islam di Majalengka pada 1

Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi. Bahkan, sebagai

pengganti MIAI yang dibubarkan pada bulan Oktober 1943 karena dinilai

anti Jepang, Jepang mengizinkan pendirian organisasi federatif baru,

Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dengan pendukung utama

dari Muhammadiyah dan NU.

Page 7: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Perdana Menteri Kuniaki Koisovdidepan Diet (parlemen Jepang)

pada tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada

Indonesia “dalam waktu dekat”. Kebijakan ini terpaksa diambilnya

mengingat posisi Jepang yang semakin terdesak dalam Perang Pasifik.

Sebagai realisasinya dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 9 April 1945.

Berdirinya BPUPKI memiliki nilai strategis bagi Indonesia. Karena

baru kali inilah, untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin

Indonesia berkumpul dalam suatu wadah membicarakan persiapan

kemerdekaan bangsa beserta perlengkapannya, seperti dasar Negara,

kabinet dan parlemen. Komposisi keanggotaannya yang berjumlah 68

orang ini adalah 8 orang dari Jepang dan 15 orang dari golongan Islam,

selebihnya dari golongan sekuler dan priyayi Jawa. Ketuanya adalah Dr.

Radjiman Wedyoningrat, seorang mistik Jawa yang pernah menjadi

anggota Budi Utomo. Dari komposisi diatas jelas terlihat hanya ada dua

golongan besar yang memiliki peran signifikan dipentas perpolitikan

nasional saat itu, yakni golongan Islam dan nasionalis sekuler.

Dengan mengikuti basis pemikiran politik masing-masing kekuatan

politik diatas maka soal dasar Negara adalah wilayah perdebatan yang

sensitive. Pasalnya masing-masing kelompok berupaya agar ideologinya

menjadi landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengenai

dasar Negara ini dari golongan nasionalis sekuler tampil tiga ornag juru

bicara, yaitu Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945, Mohamad

Yamin (29 Mei 1945), dan Soepomo (31 Mei 1945). Sedangkan dari

golongan Islam tampil Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Dua

pendapat yang saling bertentangan itu, sebagaimana dicatat sejarah, pada

akhirnya tidak dapat dipertemukan.

Beberapa cendikiawan muslim menganggap bahwa diterimanya

ideology Negara Pancasila dan dihapuskannya Piagam Jakarta merupakan

Page 8: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

kekalahan politik Islam. Kalangan Islam sangat optimis bahw aproklamasi

akan diikuti oleh stabilitas dimana pemilu akan segera dilaksanakan.

Mereka yakin pula akan menang, mengingat jumlah penduduk Indonesia

yang mayoritas beragama Islam. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah

kedudukan golongan Islam justru tidak bertambah kuat setelah Soekarno

dan Moh. Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden.

Dalam masa revolusi unutk memertahankan kemerdekaan inilah

pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3

November 1945 yang ditandatangani oleh wakil presiden Moh. Hatta

tentang anjuran membentuk partai-partai politik. Berdasarkan tinjauan

ideologi yang didominasi oleh : ideologi Masyumi, Partai Syarikat Islam

Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) dan Nahdlatul Ulama

(NU). Ideology nasionalis sekuler diwakili oleh PNI. Ideology Marxis-

sosialis diwakili oleh Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia, dan

Pesindo. Mengingat posisi dan peran signifikan dari Masyumi pada decade

1940-1950-an itu maka selanjutnya adalah penting untuk mengetengahkan

sosoknya.

Didalam majelis konstituante, partai-partai politik Islam

memeroleh kursi 230 kursi sedangkan partai-partai lainnya 286 kursi.

Berarti partai politik Islam memiliki 45% kursi, sedangkan UUDS 1950,

penetapan UUD Baru harus didukung oleh 2/3 anggota komite yang hadir.

Tanpa didukung partai politik lainnya tidak mungkin para politisi Islam

meloloskan ideology Islam sebagai dasar Negara.

Bab II

Perubahan Strategi Perjuangan Politik Umat Islam Era Reformasi

a. Polemik Kebangkitan Kembali Politik Aliran di Era Reformasi

Page 9: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Salah satu wacana yang mengemuka seiring dengan munculnya

partai-partai politik Islam diera reformasi ini –dan juga partai-partai

berbasis suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) lainnya- adalah

kebangkitan kembali “politik aliran”. Istilah aliran ini merujuk pada

pengelompokkan politik pada dasawarsa 1950-an, yang tegas terlihat

dalam pemilu 1955. Yang khas pada fenomena itu adalah

pengelompokkan politik terjadi menurut kesamaan orientasi budaya, yaitu

ikatan sekolompok orang kepada dominant culture dalam kelompoknya.

Dikarenakan soal politik aliran erat kaitannya dengan masalah

ideologi politik maka pertama-tama ynag mesti diungkap adalah makna

ideology itu sendiri. Thomas H Greene menyebut ideologi sebagai ide-ide

yang berhubungan secara logis dan yang menerangkan prinsip-prinsip atau

nilai-nilai yang memberikan legitimasi kepaa lembaga-lembaga dan

perilaku politik. Maurice Duverger menyebut sebuah doktrin berubah

menjadi ideologi ketika suatu kelompok social menganutnya. Menurut

Robert Lane ideology tercipta manakala suatu dasar eksistensial

masyarakat yang menciptakan pengalaman-pengalaman bersama,

diinterpretasikan melalui premis-premis cultural tertentu oleh manusia

yang memiliki kualitas-kualitas pribadi tertentu , dalam melihat konflik-

konflik tertentu.

Ideologi merupakan cita-cita yang dalam dan luas, bersifat jangka

panjang bahkan dalam hal-hal dasar bersifat universal. Ideologi dirasakan

merupakan milik suatu kelompok manusia yang dapat mengidentitaskan

dirinya dengan isi ajaran tersebut. Duverger mengklasifikasikan

kelompok-kelompok ideologis menjadi ideology politikdan ideology non-

politik. Ideology politik dimaksudkannya sebagai ideologi-ideologi “yang

berhubungan dengan hakekat kekuasaan dan pelaksanaannya”. Sedangkan

ideologi non-politik tidak mempunyai hubungan langsung dengan

kekuasaan.

Page 10: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

Kehadiran begitu banyak partai politik Islam, setelah pertama kali

pada pemilu 1955, menunjukkan bahwa perilaku politik kalangan Islam

memang kerap kali menampakkan ketidaksatuan visi dan langkah Islam.

b. Polemik Diseputar Pendirian Partai Politik

Indonesianis Dr. Lance Castles menyebut fenomena pendirian

partai-partai politik Indonesia pasca lengsernya Soeharto dengan sebutan

“The Age of Parties”. Tanpa ada gerakan reformasi, Soeharto mungkin

masih bertahan serta mungkin pula kebebasan pers dan politik tengah

memasuki masa “bulan madu” ini bagai jauh dari panggangan api. Namun,

sejarah berkata lain, seolah-olah sukma Maklumat Wakil Presiden Moh.

Hatta No X tanggal 3 November 1945 kembali hadir dilangit politik

Indonesia. Wujudnya, adlah dengan lahirnya 148 partai politik dan 42

diantaranya yang terkategorikan sebagai partai politik Islam. Kehadiran

partai-partai politik Islam ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk

memanfaatkan liberalisasi politik yang melanda Indonesia di era reformasi

ini.

Dengan memerhatikan setting social-politik yang melatarbelakangi

kehadiran partai-partai politik Islam dapat disimpulkan bahwa kemunculan

mereka didasari sejumalh factor sebagai berikut : Pertama, sebagai reaksi

atas perilaku politik yang dialami kalangan Islam yang membuat mereka

termarginalisasi selama sekitar empar decade terakhir. Kedua adalah

sebagai reaksi panggilan moral untuk berpartisipasi dalam pemulihan

kondisi Indonesia yang carut-marut sepeninggal Soeharto. Dalam konteks

inilah, pendirian parpol bisa diberi makna sebagai kepedulian kalangan

Islam atas nasib bangsa dan Negara.

Pentingnya faktor Islam dalam kiprahnya dipentas nasional buakn

saja karena faktor taken for granted seperti yang dikemukakan oleh

Kuntowijoyo namun juga oleh karena faktor kebesaran kuantitasnya itu

Page 11: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

sendiri. Mengaca pada tiga hasil sensus mayoritas umat Islam, yakni pada

tahun 1971, 1980, 1990, nampak jelas terlihat posisi mayoritas umat Islam

itu mencapai 90%. Kalangan yang bisa memahami dan menerima

keberadaan partai politik yang berlandaskan agama bertolak belakang dari

sejumlah pemikiran berikut. Pertama, prinsip demokrasi yang memang

meniscayakan pluralisme termasuk dalam persoalan wadah perjuangannya

(partai politik). Kedua, spirit reformasi yang meniscayakan tegaknya

liberalisasi politik sebagai antithesa dari kekangan politik yang digelar

oleh rezim ORLA dna ORBA. Ketiga, bagi kalangan Islam politik

pendirian partai politik Islam didasari oleh premis dasar ajaran Islam yang

paripurna, yang tidak memisahkan wilayah politik dengan agama.

Sekalipun arus utama yang lebih berkembang lebih mendukung pendirian

partai politik Islam namun tidak sedikit pula yang berpandangan

sebaliknya.

c. Partai Politik Islam : Antara Satu Partai dan Banyak Partai

Dengan jumlah partai politik Islam sebanyak 42 itu tak terelakkan

memunculkan kekhawatiran serius soal bakl terfragmentasinya suara umat

Islam. Problem lain yang amat krusial adalah fragmentasi tadi tak hanya ke

lapisan massa namun juga membuat sulitnya para politisi Islam

membangun soliditas serta jaringan dalam menghadapi pemilu 1999.

Kekhawatiran soal fragmentasi yang bakal bermuara kepada

kekalahan electoral kekuatan politik Islam di ajang pemilu itu sangatlah

beralasan. Kekhawatiran demikian mengemuka dikarenakan umat

memiliki pengalaman empiris yang tidak begitu baik tatkala pemilu

demokratis pertama digelar pada tahun 1955. Banyaknya parpol Islam

yang bermunculan di era reformasi ini memang mengundang beragam

tanggapan. Disamping soal polemic mengenai politik aliran, yang dalam

derajat cukup tegas ditujukan kepada fenomena pembentukkan parpol

Islam juga keprihatinan terutama dari mereka yang menyetujui hadirnyab

Page 12: Partai Politik Islam di Pentas Reformasi

parpol Islam dari sisi jumlah parpol Islam yang dipandang terlampau

banyak. Lanjutan halaman 62……