MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

16
MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK PANTING: SUATU KAJIAN ETNOPUITIKA Exploring Banjar Culture Through the Performance of Panting Music: A Study of Ethnopoetics Derri Ris Riana Balai Bahasa Kalimantan Selatan Jalan Jenderal Ahmad Yani km 32, Loktabat, Banjarbaru 70712 Telepon seluler 081348581000, pos-el [email protected] Diajukan: 24 September 2019, direvisi: 21 November 2019 Abstract The performance of panting music is a unique cultural heritage of the Banjar community.The problems that needs to be analyzed is how the performance and Banjar culture represented in panting music. This study uses ethnopoetis theory with qualitative research method. Data are collected through literature (books and video) study and interview. The result is panting music is a local literary performance that presents panting instrument with poetic language that are sung in a distinctive voice. Banjar song lyrics formed like a poem/abab/ and /aaaa/. The use of pause is deliberately done to emphasize words that want to be expressed, while the unique intonation appears on the strains of sound that float with a high pitch at the end of the song. The use of poetic language showed in the use of repetition, paradox, and special diction. The purpose of the poetic is for emphasizing words and increasing the beauty of sound.Banjar culture in social organization system represented in "Kayuh Baimbai", the community's livelihood system represented in "Pambatangan" and "Sungai Martapura , and live equipment and technology system represented in "Paris Barantai" and "Sungai Martapura". Keywords: panting music, ethnopoetics, Banjar culture Abstrak Pentas musik panting merupakan kekayaan budaya khas milik masyarakat Banjar. Hal yang diteliti pada malakaini adalah aspek budaya Banjar dalam lirik lagu musik panting. Penelitian ini menggunakan teori etnopuitika dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Hasilnya adalah pentas musik panting merupa kan p e ntas sastra lokal yang menyajikan instrumen panting dengan bahasa puitis yang dilantunkan dalam nada yang khas. Bentuk lirik lagu Banjar mirip dengan pantun, yaitu bersajak /abab/ da n /aaaa /. Penggunaan jeda sengaja dilakukan untuk menekankan kata yang ingin diungkapkan, s edangkan intonasi khas tampak pada alunan suara dengan lengkingan tinggi di akhir lagu. Penggunaan bahasa puitis tampak pada penggunaan gaya bahasa repetisi, pertentangan, dan kosakata khusus. Penggunaan itu bermanfaat untuk menekankan kata-kata dan menambah keindahan bunyi. Budaya Banjar tampak dalam sistem organisasi sosial (“Kayuh Baimbai”), sistem mata pencaharian masyarakat(“Pambatangan” dan “Sungai Martapura), serta sistem peralatan hidup dan teknologi (“Paris Barantai” dan “Sungai Martapura”). Kata kunci: musik panting, etnopuitika, budaya Banjar

Transcript of MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Page 1: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK PANTING: SUATU KAJIAN ETNOPUITIKA

Exploring Banjar Culture Through the Performance of Panting Music: A Study of Ethnopoetics

Derri Ris Riana

Balai Bahasa Kalimantan Selatan Jalan Jenderal Ahmad Yani km 32, Loktabat, Banjarbaru 70712

Telepon seluler 081348581000, pos-el [email protected] Diajukan: 24 September 2019, direvisi: 21 November 2019

Abstract

The performance of panting music is a unique cultural heritage of the Banjar community.The problems that needs to be analyzed is how the performance and Banjar culture represented in panting music. This study uses ethnopoetis theory with qualitative research method. Data are collected through literature (books and video) study and interview. The result is panting music is a local literary performance that presents panting instrument with poetic language that are sung in a distinctive voice. Banjar song lyrics formed like a poem/abab/ and /aaaa/. The use of pause is deliberately done to emphasize words that want to be expressed, while the unique intonation appears on the strains of sound that float with a high pitch at the end of the song. The use of poetic language showed in the use of repetition, paradox, and special diction. The purpose of the poetic is for emphasizing words and increasing the beauty of sound.Banjar culture in social organization system represented in "Kayuh Baimbai", the community's livelihood system represented in "Pambatangan" and "Sungai Martapura , and live equipment and technology system represented in "Paris Barantai" and "Sungai Martapura".

Keywords: panting music, ethnopoetics, Banjar culture

Abstrak

Pentas musik panting merupakan kekayaan budaya khas milik masyarakat Banjar. Hal yang diteliti pada malakaini adalah aspek budaya Banjar dalam lirik lagu musik panting. Penelitian ini menggunakan teori etnopuitika dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Hasilnya adalah pentas musik panting merupa kan pentas sastra lokal yang menyajikan instrumen panting dengan bahasa puitis yang di lantunkan da lam nada yang khas. Bentuk lirik lagu Banjar mirip dengan pantun, yaitu bersajak /abab/ da n /aaaa /. Penggunaan jeda sengaja dilakukan untuk menekankan kata yang ingin diungkapkan, s edangkan intonasi khas tampak pada alunan suara dengan lengkingan tinggi di akhir lagu. Penggunaan bahasa puitis tampak pada penggunaan gaya bahasa repetisi, pertentangan, dan kosakata khusus. Penggunaan itu bermanfaat untuk menekankan kata-kata dan menambah keindahan bunyi. Budaya Banjar tampak dalam sistem organisasi sosial (“Kayuh Baimbai”), sistem mata pencaharian masyarakat(“Pambatangan” dan “Sungai Martapura), serta sistem peralatan hidup dan teknologi (“Paris Barantai” dan “Sungai Martapura”).

Kata kunci: musik panting, etnopuitika, budaya Banjar

Page 2: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

244

1. Pendahuluan Di dalam masyarakat multietnik

terdapat budaya yang beragam. Keberagaman budaya itu disebabkan oleh kekhasan budaya yang dimiliki tiap-tiap etnik sehingga membuatnya berbeda dengan budaya etnik lain. Salah satu etnik dengan kekhasan budaya yang cukup menonjol adalah mas-yarakat Banjar. Masyarakat Banjar merupakan sebutan masyarakat yang tinggal di Kalimantan Selatan. Di wilayah ini tinggal beberapa etnik/suku bangsa, yaitu suku Banjar, suku Dayak Meratus atau orang bukit, suku Jawa, suku Madura, suku Bugis, dll. Walaupun beragam suku tinggal di Kalimantan Selatan, suku Banjar merupakan suku mayoritas. Oleh karena itu, budaya Banjar sangat menonjol bila dibanding-kan dengan budaya suku lain di daerah ini.

Jika dilihat dari fakta sejarah, suku Banjar merupakan pecahan suku bangsa Melayu yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan Selatan. Hal itu terlihat dari bahasa Banjar yang termasuksatu rumpun dengan bahasa Melayu, yaitu rumpun Austronesia. Selain akulturasi bahasa, salah satu warisan budaya Melayu yang hidup di Kalimantan Selatan adalah musik panting. Bagi masyarakat Banjar, musik panting merupakan salah satu ikon budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Keberadaan musik panting pada zaman dahulu didasari fakta sejarah bahwa tradisi lisan di Ka-limantan Selatan lebih menonjol dari-pada tradisi tulis. Oleh karena itu, sastra lisan sangat berkembang. Berbeda dengan kesenian tradisional lainnya yang kian menghilang karena tergerus oleh modernisasi, musik panting masih berkembanghingga saat ini. Musik panting sering dipentaskan pada banyak

acara, seperti pernikahan, penyambutan tamu, pentas musik sekolah, dan acara-acara yang di-selenggarakan oleh pemerintah. Musik panting juga sering dipentaskan dalam festival yang rutin diagendakan tiap tahun.

Perkembangan teknologi mem-bawa dampak besar bagi keberadaan musik panting. Perkembangan itu tidak hanya berdampak pada antusiasme penonton, tetapi juga pada musik panting itu sendiri. Salah satu grup musik panting di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten Banjar, adalah Sanggar Musik dan Tari Tradisional Kalimantan Selatan Kamilau Intan. Sanggar yang merupakan satu dari tiga sanggar di Martapura ini mementaskan musik panting di berbagai acara, khususnya pernikahan. Dalam satu kali acara pernikahan, sanggar tersebut bisa mementaskan sekitar tiga puluh lagu banjar. Lagu-lagu Banjar yang biasa dilantunkan adalah “Kayuh Baimbai”, “Paris Barantai”, “Panting Basalukan”, dll. Sanggar ini tidak hanya menawarkan musik panting, tetapi juga kesenian yang lain, seperti tari Radap Rahayu, tari Baksa Kambang, Madihin, dan Wayang Gung.

Berdasarkan data tersebut, ma-salah pokok yang akan dibahas da-lam penelitian ini adalah (1) bagaimana pentas musik panting? dan (2) ba-gaimana budaya Banjar yang terdapat dalam lirik lagu musik panting? Adapun tujuan penelitian ini adalah me-maparkan pentas musik panting dan memaparkan budaya Banjar yang ter-dapat dalam lirik lagu musik panting. Masalah tersebut dapat dipecahkan me-lalui teori etnopuitika. Etnopuitika digunakan dalam menganalisis musik panting karena musik panting me-rupakan sebuah pentas yang meng-

Page 3: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

245

gunaan bahasa puitis yang sarat akan warna lokal.

Penelitian tentang musik panting sebenarnya sudah dilakukan oleh pe-neliti-peneliti terdahulu. Anderiani (2016) dalam penelitiannya berjudul “Musik Panting di Desa Barikin Ka-limantan Selatan: Kemunculan, Ke-beradaan, dan Perubahannya” men-ggunakan pendekatan etnomusikologis dalam menganalisis perubahan musik panting yang terjadi pada saat ini, yaitu fungsi musik, bentuk penyajian, kon-struksi elemen, dan pola transmisi. Ia menyatakan bahwa perkembangan zaman yang diikuti oleh perkembangan teknologi ikut menentukan perubahan itu.Suryana (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai-Nilai Sosial dalam Penyajian Musik Panting di Ban-jarmasin” juga menyoroti perubahan musik panting, yaitu jika dahulu diguna-kan untuk mengiringi tari Japin, pada saat ini musik panting dipentaskan sendiri. Penelitian ini juga mengungkap nilai-nilai sosial dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam musik panting. Sementara itu, Maknun (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Legenda Lok Laga (Studi Lirik Lagu Musik Panting Kalsel)” menggunakan teori semiotik Riffatere untuk menganalisis lirik lagu musik panting berjudul “Legenda Lok Laga”.Lagu ini berasal dari sebuah mitos naga masa lalu yang mengandung kearifan lokal.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, terletak pada penggunaan teori etnopuitika dalam menganalisis lirik lagu dalam pentas musik panting dan penggalian budaya Banjar dalam lirik lagu musik panting. Jika penelitian sebelumnya lebih ber-fokus pada keberadaan musik pan-ting sebagai pengiring lagu dan hanya menyimpulkan isi lirik lagu tanpa meng-

analisis lebih detail, penelitian ini menggunakan musik panting sebagai satu kesatuan utuh sebuah pentas sastra, yaitu musik panting sebagai pengiringnya dan lirik lagu sebagai penguat keindahan musik panting dengan menggunakan teori etnopuitika.

Istilah etnopuitika pertama kali diperkenalkan oleh Rothenberg (1968), seorang penyair Amerika dengan jurnalnya yang berjudul Alcheringa: Ethnopoetics. Jurnal ini merupakan salah satu bidang baru untuk me-ngodifikasikan dan mengklasifikasikan tradisi lisan dengan menggunakan tra-disi keilmuan barat. Tradisi lisan me-rupakan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya secara lisan oleh kelompok masyarakat ter-tentu. Rothenberg (dalam Aitken, 2014:22) menyatakan bahwa ethnos berarti bangsa, masyarakat, kelompok, atau ras. Sementara itu, puitika yang diungkap oleh Hymes (dalam Bloom-maert, 2006:234) merupakan narasi puitis yang tersirat ketika cerita disusun dalam garis, bait dan bait, dihubungkan oleh 'tata bahasa' narasi (serangkaian fitur formal yang mengidentifikasi dan menghubungkan bagian dari cerita) dan pola organisasi implisit, pasangan, kem-bar tiga, kuartet, dll. Pola tersirat dalam narasi ini merupakan ciri bahasa puitis yang tidak secara langsung mengungkap arti dan makna, tetapi melalui struktur bahasa yang khas. Sherzer (2002:70) menyatakan bahwa bahasa puitis me-miliki pola umum, seperti tata bahasa yang manipulatif, penggunaan repetisi dan paralelisme, kosakata khusus, termasuk bahasa kiasan. Oleh karena itu, etnopuitika merupakan pentas puitika yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu sehingga memiliki warna lokal yang khas.

Page 4: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

246

Linguistik struktural digunakan untuk menganalisis struktur puisi dalam seni verbal. Hymes (dalam Bloommaert, 2006: 235—236) menggunakan tiga prinsip universal, yaitu pertama, ke-terkaitan garis dan antargaris (ayat dan bait) yang sering ditandai oleh fitur linguistik formal tertentu, misalnya penanda wacana, partikel, paralelisme sintaksis, dan kontur intonasi,kedua, persamaan antara garis dan kelompok garis tertentu, misalnya pengulangan garis, kesamaan panjang, jumlah suku kata, kontur intonasi, kepaduan gra-matikal dan sebagainya, dan ketiga, keterkaitan cerita dengan budaya yang merefleksikan aktivitas dan pengala-man. Dengan memperhatikan tiga prin-sip universal tersebut, analisis etno-puitika mampu mengungkap dan menggali lebih dalam hubungan bahasa dan budaya dalam seni verbal. Ketika seni verbal diucapkan atau dinyanyikan dalam budaya asli, Hymes (1981:5) menyatakan bahwa analisis eksplisit metabahasa dalam kaitannya dengan bentuk tidak diperlu-kan karena penampil dan penonton membagikan sebuah pengetahuan bahasa sendiri. Oleh karena itu, hubung-an antara penampil dan penonton sangat penting dalam kaitannya dengan kemudahan penyampaian pesan. Se-makin dekat hubungan mereka, semakin mudah pula tarti dan makna yang dipentaskan oleh penampil tersampai-kan. Hal itu dilandasi oleh kekhasan berbahasa yang dimiliki oleh penampil sebagai bagian dari masyarakat. Untuk berkomunikasi sehari-hari, bahasa menggunakan sarana yang berbeda untuk setiap orang. Perbedaan itu terletak pada pilihan kata, struktur kalimat, penggunaan bentuk khususatau gabungan kata yang digunakan, pe-lafalan vokal dan konsonan, serta

kombinasi vokal dan konsonan yang khusus, serta kecepatan, penekanan, nada yang memberikan makna pada bahasa lisan (Sapir, 1921:1). Ke-beragaman pada tuturan itu juga dipengaruhi oleh budaya dari kelompok sosial penutur. Hal itu menyebabkan tuturan bahasa tiap kelompok sosial memiliki kekhasan tersendiri. Sahril (2014: 61) menyatakan bahwa sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh budaya lain dalam waktu yang singkat.

Etnopuitika berbeda dengan etnografi wicara yang diperkenalkan oleh Hymes pada tahun 1960-an. Etno-grafi wicara menggabungkan berbagai disiplin ilmu, yaitu antropologi, li-nguistik, dan sosiologi. Sementara itu, etnopuitika menggabungkan ilmu li-nguistik, antropologi, dan folklor. Pernyataan Hymes yang dikutip dari Sherzer (dalam Bauman, 1992:77) memperkenalkan gagasan peristiwa tutur sebagai pusat etnografi wicara dan menyatakan bahwa analisis peristiwa tutur memerlukan studi keterkaitan hubungan antara sejumlah komponen atau faktor, seperti latar, partisipan, tujuan, organisasi verbal atau teks dalam kaitan tindakan konstituen, kunci atau cara penyampaian, penggunaan variasi bahasa, norma interaksi, dan genre. Etnografi wicara fokus pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh penutur dalam masyarakat tertentu dalam konteks sosial dan budaya.

Tedlock lebih memandang etno-puitika sebagai sebuah cara dalam me-ngucapkan teks. Tedlock (dalam Bauman, 1992:87) menyatakan bahwa skor etnopuitika mengikuti waktu asli

Page 5: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

247

pentas yang direkam dengan membagi kata ke dalam baris menurut peng-gantian bunyi dan hening. Cara peng-ucapan teks pada pentas dikategorikan dalam pembagian kata ke baris, peng-gunaan jeda, dan intonasi. Sementara itu, beberapa aspek dalam pentas, seperti warna suara, efek suara, dan gerak isyarat tidak masuk dalam kajian Tedlock.

Musik panting merupakan pentas puitika yang bercirikan warna lokal Banjar yang dipengaruhi oleh budaya Melayu. Kelokalan itu tampak pada in-strumen dan bahasa yang digunakan. Keindahan musik panting terletak pada kekhasan instrumen utama yang di-gunakan, yaitu panting, serta pada lirik lagu yang dilantunkan. Instrumen pan-ting merupakan alat musik petik yang mengeluarkan suara yang khas. Bahasa yang digunakan dalam lirik lagu panting adalah bahasa Banjar yang dikemas dalam bentuk pantun. Musik panting tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik karena liriknya sarat de-ngan kearifan lokal masyarakat Banjar. Ke-arifan lokal inilah yang perlu digali dan dilestarikan sehingga generasi muda mampu mengambil nilai-nilai positif di dalamnya. Seperti tujuh unsur budaya yang dikategorikan C. Kluckhohn dalam Koentjoroningrat (1983: 206), lirik lagu tersebut menunjukkan budaya Banjar, baik bahasa, sistem pengetahuan, or-ganisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem religi, sistem mata pencaharian, dan kesenian.

2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan me-

tode kualitatif dengan teori etno-puitika untuk menganalisis pentas sas-tra yang dipertunjukkan dalam musik panting. Data mengenai musik panting diperoleh dari tayangan Youtube Sanggar Kamilau

Intan, Martapura dan Sanggar Bahalidang, Banjarmasin. Dari Sanggar Kamilau Intan diambil dua rekaman video musik panting, yaitu rekaman berjudul “Kayuh Baimbai” (diunggah pada tanggal 24 November 2017, dipentaskan pada Festival Musik Panting 2017) dan “Paris Barantai” (diunggah pada tanggal 3 Oktober 2018, dipentaskan pada acara pernikahan Santi Hariati & Beni Permadani pada 2 September 2018 di Sekumpul Marta-pura). Dari Sanggar Bahalidang juga diambil dua video, yaitu video berjudul “Pambatangan” (diunggah pada tanggal 31 Januari 2018, dipentaskan di Siring Menara Pandang, Banjarmasin pada tanggal 28 Januari 2018) dan “Sungai Martapura” (diunggah pada tanggal 29 April 2018, dipentaskan pada acara pernikahan pada tanggal 29 April 2018 di Mantuil, Banjarmasin).

Empat video dari dua sanggar musik panting itu dipilih dan di-klasifikasikan sesuai dengan budaya Banjar yang lebih menonjol dalam pentas panting. Selain diperoleh dari rekaman video, data penunjang musik panting juga diperoleh dari wawancara. Wawancara dilakukan dengan satu orang pengelola sanggar dari Sanggar Kamilau Intan. Sementara itu, data penunjang lain juga diperoleh dari berbagai referensimusik panting. Se-telah diklasifikasikan, data rekaman kemudian ditranskripsikan ke bentuk tulisan dan diterjemahkan dari bahasa Banjar ke bahasa Indonesia. Rekaman yang telah ditranskripsikan dan diterjemahkan dianalisis berkaitan dengan pentas musik panting dan budaya Banjar dalam musik panting dengan teori etnopuitika.

Page 6: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

248

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pentas Musik Panting

Pementasan musik panting di-bawakan oleh satu kelompok yang terdiri atas beberapa orang, yaitu vokalis dan pemegang instrumen. Jum-lah personel dalam kelompok musik panting bisa bervariasi, tergantung pada keinginan sanggar musik panting yang bersangkutan. Dari dua sanggar musik panting yang diamati, yaitu Sanggar Kamilau Intan dan Sanggar Bahalidang, jumlah vokalis rata-rata dua orang, bisa laki-laki dan perempuan atau pe-rempuan dan perempuan. Sementara itu, jumlah pemegang instrumen rata-rata berjumlah enam orang.Kelompok musik panting ini memakai kostum yang seragam, yaitu baju Banjar/Melayu/-sasirangan (batik khas Kalimantan Selatan). Dalam pementasannya, ke-lompok musik panting ini bisa dalam posisi duduk bersila di lantai, biasanya dalam festival musik panting, dan duduk di kursi, biasanya dalam pesta per-kawinan. Selain dari segi kostum, unsur utama pentas musik panting adalah instrumen utama, yaitu alat musik panting yang berupa alat musik petik. Dari informasi yang diperoleh, pada zaman dahulu musik panting di-pertunjukkan secara tradisional tanpa didukung oleh alat musik modern. Namun, pada saat ini musik panting juga diiringi oleh musik pendukung lainnya, yaitu gitar, biola, drum, keyboard, kendang, tamborin, dan sebagainya. Alat musik panting yang digunakan pun bisa lebih dari satu, bahkan sampai tiga sehingga menjadi dominan di antara alat musik lainnya.

Unsur penting dalam puitika pentas adalah bahasa dan suara. Dari segi suara, sesuai dengan pendekatan Tedlock tentang etnopuitika yang me-nekankan pada cara pengucapan teks,

pentas musik panting memperhatikan pembagian kata ke baris yang tersusun pada pola mirip pantun yang bersajak /abab/ dan /aaaa/, penggunaan jeda, dan intonasi yang khas.Penggunaan jeda dilakukan pada pergantian baris satu dan yang lain, terutama pergantian bait yang diikuti pergantian penyanyi. Jeda diletakkan pada kata yang ditekankan, misalnya pada “Kayuh Baimbai” dalam lirik /kayuh kayuh baimbai/ kata kayuh diberi jeda sebelum kata kayuh setelahnya. Penggunaan jeda itu untuk menekankan kata kayuhyang berupa ajakan. Intonasi khas pada lagu Banjar musik panting secara umum mengalun-alun dari rendah ke tinggi. Akhir lagu dinyanyikan dengan nada tinggi dan melengking. Pada lagu “Paris Barantai”, akhir kata dipakai lagi pada baris berikutnya. Dalam “Sungai Martapura” dan “Pambatangan”, intonasi khas tampak pada alunan nada yang mengalun pelan seperti meratapi nasib.

Lantunan suara yang naikturun serta dibarengi dengan vibra yang dimiliki oleh vokalis menambah estetika musik panting. Keindahan lantunan lagu dalam musik panting terletak pada keserasian antara instrumen dan kualitas vokal dari sang vokalis. Kualitas vokal yang diperlukan adalah tempo, dinamik, lafal, intonasi, vibra, dan sebagainya. Ketika semua unsur ter-sebut dicapai, lantunan lagu musik panting terdengar indah. Vokalis yang biasanya berjumlah dua orang ini me-miliki kemampuan vokal yang saling mendukung. Dalam melantunkan lagu, kedua vokalis ini akan saling berbagi peran: vokalis pertama menyanyikan bait pertama, sedangkan vokalis kedua akan menyanyikan bait kedua. Se-mentara itu, pada bagian refrein akan dinyanyikan secara kolaborasi atau secara bersama-sama.

Page 7: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

249

Unsur penting lain dari puitika pentas adalah bahasa. Bahasa yang digunakan pada pentas musik panting tampak pada teks/lirik lagu yang dilantunkan. Teks berbahasa Banjar ini dinyanyikan tanpa teks karena vokalis sudah hafal, tetapi kadang-kadang masih menggunakan teks. Lirik lagu dalam musik panting berupa lagu-lagu Banjar. Lirik lagu Banjar ini berbentuk pantun berupa /abab/ yang sangat puitis dan enak didengar, misalnya pada lirik lagu “Kayuh Baimbai” berikut ini/kayu putih diracik racik//Sudah diracik-racik dibagi dua//Ayu kita baapik-apik//Kalulah barasih gasan kita juwa/. Selain berupa /abab/, lirik lagu panting berbentuk /aaaa/, misalnya dalam lirik “Pambatangan”. Lirik tersebut dapat dilihat sebagai berikut /Panas hujan kada manjadi papantangan//Kada heran tatap dirasaakan//Mananjak batang sambil barami-ramian//Akhirnya sampai katujuan/.

Penggunaan bahasa puitis tam-pak pada ciri-ciri bahasa puitis dalam lirik lagu, yaitu penggunaan gaya ba-hasa, repetisi, kosakata khusus, bahasa kiasan, dan sebagainya. Gaya bahasa repetisi sering digunakan dalam lirik la-gu Banjar. Repetisi dilakukan dengan mengulang kata, frasa, klausa, dan kalimat. Hal itu bertujuan untuk me-nekankan, menegaskan, dan mencipta-kan estetika lirik lagu. Gaya bahasa repetisi tampak pada kutipan lirik lagu “Kayuh Baimbai”, misalnya /Kayuh kayuh baimbai//Ayu kaka ai kita kayuh baimbai//Kayuh kayuh baimbai//Ayu sabarataan kayuh baimbai/. Kalimat “kayuh baimbai” diulang-ulang untuk menegaskan kembali karena lirik lagu ini berupa ajakan untuk mengayuh bersama-sama yang berarti ‘bekerja sama’.

Pada lirik lagu yang lain, “Paris Barantai”, gaya repetisi juga tampak, mi-

salnya /Wayah pang sudah hari baganti musim//Wayah pang sudah.../, /Bamega umbak manampur di sala karang//Umbak manampur di sala karang/, /adinda iman di dada rasa malayang//iman di dada rasa malayang/, /Babaris tabangpang bamban kuhalangakan//tabangpang bamban kuhalangakan/, /babaris hatiku dandam ku salangakan//hatiku dandam ku salangakan/, /nang datang rasa bapaluk lawan siading//rasa bapaluk lawan siading/, /sabantal tangan kadada hidung kapipi//tangan kadada hidung kapipi/. Pada lirik lagu tersebut, hampir semua baris dalam lirik lagu itu diulang untuk menegaskan dan menambah nilai estetik.

Gaya bahasa yang mengungkapkan pertentangan juga terdapat dalam lirik lagu Banjar. Gaya bahasa paradoks itu di-gunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan membandingkan antara dua hal yang bertentangan dalam situasi yang berkebalikan untuk menciptakan efek ter-tentu. Gaya bahasa ini tampak dalam lirik lagu “Pambatangan”,misalnya /Siang dan malam //Waktu hari baganti hari/dan /Panas hujan kada manjadi papantangan/. Penggunaan gaya bahasa pertentangan ini untuk menimbulkan efek tertentu bagi pendengar bahwa orang Pambatangan merupakan pekerja keras yang diibaratkan dengan bekerja siang dan malam, serta panas dan hujan.

Penggunaan bahasa puitis dalam lirik lagu Banjar juga terletak pada kosa-kata khusus yang dipakai. Kosakata itu berkaitan dengan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis lirik lagu. Kosakata khusus yang digunakan, misalnya pada kata batang dalam lirik lagu yang berarti ‘tempat untuk cuci dan mandi di tepi sungai yang terbuat dari kayu’. Kosakata khusus ini digunakan

Page 8: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

250

untuk menekankan bahwa di dalam budaya Banjar ada batang.

Selain itu, ada pula kosakata khusus jukung. Jukung merupakan perahu kecil yang terbuat dari kayu. Kosakata ini digunakan untuk me-nekankan bahwa dalam budaya Banjar terdapat perahu kecil bernama jukung yang biasa digunakan untuk meng-angkut barang yang dijual di pasar terapung.

Sesuai dengan analisis linguistik struktural Hymes, lirik lagu dalam mu-sik panting mengandung keterkaitan ayat dan bait, pengulangan bait dan intonasi, dan keterkaitan lirik lagu dengan budaya yang merefleksikan akti-vitas dan pengalaman dari masya-rakat pemiliki musik panting. Oleh karena itu, tidak hanya menekankan bahasa dan suara, puitika pentas juga menonjolkan warna lokal pemilik puitika pentas tersebut. Kajian musik panting tidak dapat terlepas dari budaya Banjar yang melekat.

3.2 Budaya Banjar dalam Musik Panting

Pentas musik panting menunjuk-kan pentas puitika yang sarat akan warna lokal berupa budaya Banjar. Berikut ini adalah lirik lagu Banjar yang dipentaskan dalam musik panting oleh Sanggar Kamilau Intan, Martapura yang berjudul “Kayuh Baimbai”.

Kayuh Baimbai

Kayuh kayuh baimbai [kayuh kayuh bersama-sama] Ayu kaka ai kita kayuh baimbai2X [ayo kaka kita kayuh bersama-sama] Ulah lingkungan nang nyaman [buat lingkungan yang nyaman]

Nyaman juwa mata mamandang 2X [nyaman juga mata memandang] Kayuh kayuh baimbai [kayuh kayuh bersama-sama] Ayu kaka ai kita kayuh baimbai 2X [ayo kaka kita kayuh bersama-sama] Apik-apik lawanlah ratik [bersih-bersih dengan sampah] Jangan buang disambarangan [jangan buang sembarangan] Hati-hati lawanlah ratik bisa-bisa jadi panyakit [hati-hati dengan sampah bisa-bisa jadi penyakit] Jangan di buang jangan dihambur ratik-ratik sambarangan [jangan dibuang jangan dihambur sampah-sampah sembarangan] Ada pang wadah ada pang wadah nang disadiakan [ada tempat ada tempat yang disediakan] Bujurlah juwa jangan bahambur jangan baratik di jalanan [benarlah juga jangan berhamburan jangan bersampah di jalan] Mun tamu datang kadakah ini mambari supan [jika tamu datang tidakkah ini memberi malu] Kayu putih diracik racik [kayu putih dipotong-potong] Sudah diracik-racik dibagi dua [sudah dipotong-potong dibagi dua]

Page 9: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

251

Ayu kita baapik-apik [Ayo kita bebersih-bersih] Kalulah barasih gasan kita juwa [kalau bersih buat kita juga] Kayuh kayuh baimbai [kayuh kayuh bersama-sama] Ayu kaka ai kita kayuh baimbai 2X [ayo kaka kita kayuh bersama-sama] Apik-apik lawanlah ratik [bersih-bersih dengan sampah] Jangan buang disambarangan [jangan buang di sembarang tempat] Hati-hati lawanlah ratik bisa-bisa jadi panyakit [Hati-hati dengan sampah bisa-bisa jadi penyakit] Kayuh kayuh baimbai [kayuh kayuh bersama-sama] Ayu sabarataan kayuh baimbai 2X [ayo semua kayuh bersama-sama] Ulah lingkungan nang nyaman [buat lingkungan yang nyaman] Nyaman juwa mata mamandang 2X [nyaman juga mata memandang] Secara keseluruhan, lirik lagu musik panting berjudul “Kayuh Baimbai” menunjukkan budaya Banjar yang berupa sistem organisasi sosial, yaitu sistem interaksi sosial masyarakat Banjar yang mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini tampak pada perilaku menjaga lingkungan. Struktur bahasa puitis lirik lagu “Kayuh Baimbai” merefleksikan masyarakat Banjar. Mak-

na itu secara khas tergali dari kalimat /kayuh kayuh baimbai/. Kata “kayuh” bermakna ‘kayuh/dayung’, sedangkan baimbai bermakna ‘bersama-sama’.Oleh karena itu, arti secara keseluruhan adalah ‘mendayung bersama-sama’. Ka-ta kayuh tidak terlepas dari masyarakat Banjar yang berorientasi pada sungai zaman dahulu sampai sekarang. Bagi masyarakat Banjar, sungai merupakan sumber penghidup-an. Tidak hanya di-gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu mandi dan cuci, tetapi juga di-gunakan sebagai sumber mata pen-caharian. Sungai dijadikan tempat untuk bertransaksi jual-beli di pasar terapung. Oleh karena itu, sungai memiliki makna khusus bagi masyara-kat Banjar. Kayuh baimbai dapat diartikan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat Banjar memiliki budaya berupa kerja sama untuk men-capai tujuan. Tujuan bersama yang ingin dicapai dalam lirik lagu ini adalah mem-buat lingkungan yang nyaman seperti pada kalimat /Ulah lingkungan nang nyaman/. Lingkungan yang nyaman bukan hanya peran satu atau dua orang, melainkan juga banyak orangkarena tujuan yang ingin dicapai itu digunakan untuk kepentingan bersama, yakni /Nyaman juwa mata mamandang 2X/. Imbauan itu diungkapkan secara berulang-ulang dengan ungkapan yang berbeda, tetapi tujuan dari makna itu sama, misalnya pada ungkapan pada bait berikutnya, yaitu /kalulah barasih gasan kita juwa/. Untuk membuat lingkungan nya-man ditinggali terdapat ungkapan-ungkap-an untuk mengimbau atau memberi pesan kepada masyarakat. Imbauan itu berupa larangan membuang sampah sembarangan karena bisa menimbulkan penyakit, yakni dalam lirik /hati-hati lawanlah ratik bisa-bisa jadi panyakit, jangan buang

Page 10: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

252

disambarangan/. Selain menimbulkan pe-nyakit, sampah yang berhamburan akan membuat malu jika ada tamu yang datang seperti dalam /Mun tamu datang kadakah ini mambari supan/. Ratik atau sampah tidak boleh dibuang sembarangan karena sudah ada tempat sampah yang diletakkan di jalan, seperti dalam ungkapan /Ada pang wadah ada pang wadah nang disadiakan/.

Video musik panting kedua dari Sanggar Kamilau Intan berjudul “Paris Barantai”. Lagu yang diciptakan oleh H. Anang Andriansyah tersebut ditampil-kan di acara pernikahan. Berikut ini adalah lirik lagu “Paris Barantai”.

Paris Barantai Wayah pang sudah hari baganti musim [sudah waktunya hari berganti musim] Wayah pang sudah... [sudah waktunya] Kotabaru gunungnya bamega [Kotabaru gunungnya berawan] Bamega umbak manampur di sala karang [berawan ombak menerpa di sela karang] Umbak manampur di sala karang [ombak menerpa di sela karang] Batamu lawanlah adinda [bertemu dengan adinda] adinda iman di dada rasa malayang [adinda iman di dada rasa melayang] iman di dada rasa malayang [iman di dada rasa melayang] Pisang silat tanamlah babaris [pisang silat tanamlah berbaris]

Babaris tabangpang bamban kuhalangakan [berbaris tebangkan bambu kututupkan] tabangpang bamban kuhalangakan [tebangkan bambu kututupkan] Bapalat gununglah babaris [menghadap gununglah berbaris] babaris hatiku dandam ku salangakan [berbaris hatiku rindu ingin kusampaikan] hatiku dandam ku salangakan [hatiku rindu ingin kusampaikan] Burung binti batiti di batang [burung binti bertengger di jamban] di batang si batang buluh kuning manggading [di jamban si jamban buluh menguning] di batang buluh kuning manggading [di jamban buluh menguning] malam tadi bamimpi lah datang [malam tadi datanglah mimpi] nang datang rasa bapaluk lawan siading [yang datang rasa berpelukan dengan adinda] rasa bapaluk lawan siading [rasa berpelukan dengan adinda] Kacilangan lampulah dikapal [terang lampu di kapal] dikapal anak walanda main komidi [di kapal anak Belanda main komidi] anak walanda main komidi

Page 11: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

253

[anak Belanda main komidi] Kasiangan guringlah sabantal [kesiangan tidurlah sebantal] sabantal tangan kadada hidung kapipi [sebantal tangan ke dada hidung ke pipi] tangan kadada hidung kapipi. [tangan ke dada hidung ke pipi] Lirik “Paris Barantai” meng-gambarkan ungkapan rindu seseorang kepada sang kekasih setelah sekian lama tidak bertemu. Kenyataan itu tampak secara tersirat di awal lagu, yaitu /wayah pang sudah hari baganti musim/. Frasa berganti musim meng-indikasikan bahwa perpisahan itu sudah berlangsung cukup lama, setidaknya telah melalui pergantian musim di Indonesia yang kurang lebih ber-langsung selama enam bulan. Kalimat wayah pang sudah menunjukkan bahwa ia sudah tidak sabar untuk bertemu. Kerinduan akan kekasih di-ungkapkan dengan mengenang per-temuan mereka di Kotabaru, sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Se-latan. Suasana kota yang digambarkan dengan indah selaras dengan suasana hati penulis yang sedang berbahagia karena bertemu dengan sang kekasih. Penggambaran itu tampak pada larik /Kotabarugunungnya bamega//Bamega umbak manampur di sala karang//Umbak manampur di sala karang/. Kotabaru merupakan kabu-paten yang secara daratan terpisah dengan kabupaten yang lain karena terletak di Pulau Laut. Kotabaru me-miliki pemandangan yang indah karena keunikan gunungnya. Gunung tersebut selalu diselimuti awan sehingga disebut dengan /Kotabaru gunungnya bamega/.

Selain itu, letak Kotabaru yang berada di tepi laut menambah indahnya suasana kota dengan suara ombak menerpa karang dalam larik /Bamega umbak manampur di sala karang//Umbak manampur di sala karang/. Suasana Kotabaru itu menambah syahdu kerinduan terhadap kekasih. Unsur budaya yang terdapat da-lam lirik lagu ini adalah sistem per-alatan hidup dan teknologi. Hal itu tam-pak pada kata larik /Burung binti batiti di batang//di batang si batang buluh kuning manggading//di batang buluh kuning manggading/. Kata batang dalam larik tersebut bermakna ‘jamban’ yang digunakan untuk mandi dan mencuci di tepi sungai. Jamban biasanya terbuat dari bambu yang dalam lirik itu di-gambarkan dengan seekor burung ber-tengger di batang. Walaupun ma-syarakat modern sudah memiliki jam-ban di setiap rumah, banyak masyarakat tepi sungai yang masih menggunakan batang untuk aktivitas mandi dan mencuci.

Selain lirik lagu “Kayuh Baimbai” dan “Paris Barantai” yang dipentaskan oleh Sanggar Kamilau Intan, berikut ini adalah lirik lagu Banjar yang dipentas-kan dalam musik panting oleh Sanggar Bahalidang dengan judul “Pambatang-an” karya Anang Ardiansyah.

Pambatangan Matan di hulu [dari hulu] Mambawa rakit bagandengan [membawa rakit bergandengan] Bahanyut matan di udik Barito [mengikuti deras Sungai Barito] Awal hari baganti minggu [awal hari berganti minggu]

Page 12: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

254

Siang dan malam [siang dan malam] Waktu hari baganti hari [waktu hari berganti hari] Istilah urang mancari rajaki [istilah orang mencari rezeki] Kada talapas lawan gawi [tidak terlepas dengan kerja] Panas hujan kada manjadi papantangan [panas hujan tidak menjadi pantangan] Kada heran tatap dirasaakan [tidak heran tetap dirasakan] Mananjak batang sambil barami-ramian [menaiki batang sambil bersenang-senang] Akhirnya sampai katujuan akhirnya sampai ke tujuan] Inilah nasib manjadi urang pambatangan [inilah nasib menjadi orang pekerja batang] Jika nasib sudah ditantuakan [jika nasib sudah ditentukan] Insya Allah ada harapan [Insya Allah ada harapan]

Struktur bahasa puitis dalam li-rik lagu musik panting yang berjudul “Pambatangan” tersebut menunjukkan budaya Banjar, yakni sistem mata pencaharian pambatangan, pekerja batang/kayu. Profesi pambatangan pa-

da zaman dahulu cukup menjanjikan dari segi ekonomi karena kayu menjadi komoditas terpenting dalam pereko-nomian di wilayah Kalimantan Selatan. Profesi ini lama-lama berkurang seiring dengan menurunnya produksi dari perusahaan kayu. Orang pambatangan bekerja sebagai penjaga kayu-kayu log/gelondong yang biasa ditaruh di pinggir sungai atau pengangkut kayu-kayu tersebut dari hulu sungai ke tempat tujuan yang diungkapkan dalam lirik /matan di hulu/. Kayu-kayu log itu disusun secara berjajar di air dan diikat sehingga berfungsi sebagai rakit yang bergandengan. Rakit-rakit itu mengalir dan mengikuti derasnya Sungai Barito untuk dibawa sampai ke tujuan yang diungkapkan dalam lirik /mambawa rakit bagandengan, bahanyut matan di udik Barito/.

Orang pambatangan digambar-kan sebagai pekerja keras dalam mencari penghasilan. Kerja keras itu diungkapkan dalam pekerjaan yang tidak mengenal waktu karena ber-langsung berhari-hari, bahkan ber-minggu-minggu, dari pagi sampai ma-lam seperti ungkapan bahasa puitis /siang dan malam, waktu hari baganti hari, istilah urang mancari rajaki/. Orang pambatangan harus berpisah selama beberapa waktu dengan keluarganya untuk mencari rezeki karena letak pekerjaannya yang jauhdi hulu Sungai Barito. Selain itu, per-juangan hidup orang pambatangan juga tampak pada berbagai rintangan dalam menjalani pekerjaannya. Rintangan orang pambatangan yang bekerja di lingkungan alam adalah kondisi cuaca. Pada kondisi cuaca apa pun, baik panas maupun hujan, orang pambatangan harus mampu menjalankan pekerjaan dan bertahan hidup seperti dalam ungkapan /panas hujan kada manjadi

Page 13: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

255

papantangan, kada heran tatap dirasaakan/.

Walaupun pekerjaannya kadang-kadang berisiko, orang pambatangan tetap menikmati pekerjaan. Cara me-nikmati pekerjaan itu adalah di-lakukan dengan bersenang-senang se-hingga tidak terasa cepat sampai ke tujuan, yang terlihat dalam /mananjak batang sambil barami-ramian, akhirnya sampai katujuan/. Selain itu, cara menikmati pekerjaan adalah menerima nasib. Wujud sikap menerima nasib itu tampak pada kepasrahan kepada Tuhan yang diungkapkan dalam /Inilah nasib manjadi urang pambatangan, jika nasib sudah ditantuakan, Insya Allah ada harapan/. Lagu musik panting dari Sanggar Bahalindang yang sarat akan budaya lokal Kalimantan adalah “Sungai Marta-pura”. Berikut merupakan kutipan lirik lagu “Sungai Martapura” karangan Syarifudin, M.S.

Sungai Martapura Sungai Martapura kalu tanang banyunya [Sungai Martapura kalau tenang airnya] Hilir mudik kayuhan jukung-jukung [Hilir mudik kayuhan jukung-jukung] Mancari nafakah rajaki nang halal [Mencari nafkah rezeki yang halal] Saharian hanyar bulik ka rumah [Seharian baru pulang ke rumah] Hati siapa jua, tarasa kada bungah [Hati siapa juga, terasa tidak senang] Urang-urang bakisah silsilah sungai [Orang-orang berkisah silsilah sungai]

Rami jukung lawan sarat muatan [Ramai jukung dengan banyak muatan] Mambawa hasil tanaman di kabun [Membawa hasil tanaman di kebun] Manisnya sungai di wayah malam [Manisnya sungai di waktu malam] Tumatan jauh cahaya lampu [Dari jauh cahaya lampu] Ditingkah karuh urang nyanyak guring [ketika orang sedang tidur nyenyak] Kakal sungaiku do'a barataan [Kekal sungaiku doa semuanya]

Budaya sungai yang melekat

pada Martapura tampak pada lagu

musik panting berjudul “Sungai Marta-

pura”. Sungai bagi masyarakat Marta-

pura memiliki banyak fungsi, antara lain

sebagai sarana transportasi berupa

jukung, perahu kecil yang digerakkan

dengan dayung. Budaya lokal yang

tampak pada sarana transportasi ini

berupa sistem peralatan hidup dan

teknologi. Jukung merupakan salah satu

peralatan hidup dan teknologi yang

dimiliki oleh masyarakat Martapura. Hal

itu dapat dilihat pada larik berikut

/Sungai Martapura kalu tanang

banyunya//Hilir mudik kayuhan jukung-

jukung/. Dengan jukung, masyarakat

Martapura bisa mencapai wilayah yang

tidak dapat dijangkau dengan per-

jalanan darat. Ketika jembatan peng-

hubung antarwilayah belum dibangun,

jukung menjadi alat transportasi utama.

Namun, di era modernisasi, ketika alat

Page 14: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

256

transportasi sudah maju, jukung tidak

lagi menjadi alat transportasi utama

bagi sebagian masyarakat.

Tidak hanya menjadi sarana

transportasi, tetapi Sungai Martapura

juga menjadi sarana untuk mencari

rezeki. Mata pencaharian sebagian

masyarakat tergantung pada Sungai

Martapura. Peran Sungai Martapura

tersebut dapat dilihat dalam larik /Hilir

mudik kayuhan jukung-jukung//Mancari

nafakah rajaki nang halal//Saharian

hanyar bulik ka rumah///Rami jukung

lawan sarat muatan//Mambawa hasil

tanaman di kabun//.Jukung-jukung

digunakan untuk mengangkut hasil

kebun berupa buah-buahan dan sayur-

sayuran. Hasil kebun yang diangkut di

atas jukung itu dijual di pasar terapung

bersama dengan jukung-jukung yang

juga menawarkan hasil kebun yang lain.

Pasar terapung menawarkan transaksi

jual-beli di atas sungai dengan alat

transportasi jukung.

4. Simpulan

Dalam kajian etnopuitika, unsur yang diutamakan adalah bahasa dan suara. Agar dapat tersampaikan dengan baik dan dinikmati oleh penonton, pentas musik panting harus memenuhi beberapa hal, yaitu bahasa puitis dan lantunan suara yang menarik. Peng-gunaan bahasa puitis dalam lirik lagu musik panting tampak pada peng-gunaan gaya bahasa repetisi, per-tentangan/paradoks, dan kosakata khu-sus. Penggunaan bahasa puitis itu bertujuan untuk menekankan kata-kata tertentu dan keindahan bunyi. Dalam lantunan suara musik panting, jeda digunakan untuk menekankan kata yang ingin diungkapkan dan untuk menanda-

kan peralihan dari satu bait ke bait setelahnya yang digantikan oleh pe-nyanyi berikutnya. Sementara itu, intonasi khas pentas musik panting berupa suara mengalu-alun yang di-nyanyikan dari nada rendah ke lengking tinggi.

Musik panting merupakan ke-senian tradisional Kalimantan Selatan yang pada hakikatnya mengandung nilai-nilai luhur masyarakat penganut-nya. Nilai-nilai luhur itu dilantunkan dalam rangkaian bait dalam lirik lagu musik panting. Tidak hanya indah dan menghibur, musik panting juga kental akan warna lokal, yaitu budaya Banjar. Hal itu tampak pada empat buah lirik lagu musik panting yang ditampilkan oleh dua sanggar musik panting, yaitu “Kayuh Baimbai” dan “Paris Barantai” oleh Sanggar Kamilau Intan”serta “Pambatangan” dan “Sungai Martapura” oleh Sanggar Bahalidang.

Lirik lagu “Kayuh Baimbai” menunjukkan budaya sistem organisasi sosial berupa sistem interaksi ma-syarakat Banjar yang mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Ungkapan kayuh baimbai tidak terlepas dari masyarakat Banjar yang berorientasi pada sungai sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sementara itu, “Pambatangan” menunjukkan budaya Banjar yang berupa sistem mata pen-caharian masyarakat Banjar pada masa lalu, yaitu orang pembatangan. Sistem mata pencaharian lain juga tampak pada lirik lagu “Sungai Martapura”, yakni berjualan di atas jukung. Unsur budaya lain yang ditemu-kan adalah sistem peralatan hidup dan teknologi yang berupa batang dalam “ParisBarantai” dan jukung dalam “Sungai Martapura”.

Page 15: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Meneroka Budaya...(Derri Sis Rina)

257

Daftar Acuan

Aitken, Stuart C. 2014. The Ethnopoetics of Space and Transformation: Young People’s Engangement, Activism and Aesthetics. Burlington, USA: Ashgate Publishing Company.

Anderiani, Lupi. 2016. Musik Panting di Desa Barikin Kalimantan Selatan: Kemunculan, Keberadaan, dan Perubahannya. Resital, Jurnal of Performing Art, 17(3), 140-157.dari: http://journal.isi.ac.id/index.php/resital/article/view/2229/720Bloommaert, Jan. 2006. Ethnopoetics as Functional Recontruction: Dell Hymes’ Narrative View of the World. Functions of Language 13:2 (2006), 229–249. dari https://www.researchgate.net/publication/263141909_Ethnopoetics_as_Functional_Reconstruction_Dell_Hymes'_Narrative_View_of_the_World

Bauman, Richard (Ed.). 1992. Folklore, Cultural Performances, and Popular Entertainments. New York: Oxford University Press, Inc.

Hymes, Dell. 1981. In Vain I Tried to Tell You. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Koentjarananingrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Maknun, Moch Lukluil. 2017. Legenda Lok Laga (Studi Lirik Lagu Musik Panting Kalsel). Panangkaran, Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat, 1 (2), 257-275. dari: http: //ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/panangkaran/article/view/0102-04.

Sahril. 2014. Tradisi Akikah Masyarakat Melayu Pentas Sastra Lokal “Syair Nyanyian Anak” dalam Kajian Etnopuitika, Jentera, 3 (1) 59-71. dari: https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://ojs.badan

bahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/article/download/433/208&ved=2ahUKEwicrpui2uThAhUIMI8KHXliC2cQFjABegQlARAB&usg=AOvVaw2pdKwlnXDUfgoxviQ9hXiZ.

Sapir, Edward. 1921. Language: An Introduction to the Study of Speech. San Diego, aNew York, London: Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.

Sherzer, Joel. 2002. Speech Play and Verbal Art. Austin: The University of Texas Press.

Suryana, Rima. 2015. Nilai-Nilai Sosial dalam Penyajian Musik Panting di Banjarmasin. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, 4 (2), 170-180. dari: https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/JS/article/view/3320/2876.

Sumber Data:

Video musik panting “Kayuh Baimbai” oleh Sanggar Kamilau Intan. Diakses tanggal 18 Mei 2019 dari https://www.youtube.com/watch?v=LwyoPhWbEQY

Video musik panting “Paris Barantai” oleh Sanggar Kamilau Intan. Diakses tanggal 18 Mei 2019 dari https://www.youtube.com/watch?v=cRZQdh-jKbY

Video musik panting “Pambatangan” oleh Sanggar Bahalidang. Diakses tanggal 20 Mei 2019 dari https://www.youtube.com/watch?v=l8nsV38UGwY

Video musik panting “Sungai Martapura” oleh Sanggar Bahalidang. Diakses tanggal 20 Mei 2019 dari https://www.youtube.com/watch?v=pw8zikLZRxk

Page 16: MENEROKA BUDAYA BANJAR MELALUI PENTAS MUSIK …

Kelasa, Vol. 14, No. 2, Desember 2019: 243—258

258