Paradoks Diskontinuitas Rekrutmen Politik Dalam UU Pilkada Serentak
description
Transcript of Paradoks Diskontinuitas Rekrutmen Politik Dalam UU Pilkada Serentak
Paradoks Diskontinuitas Rekrutmen Politik Dalam UU Pilkada Serentak
Tahun 2015 Dan Cita-Cita Demokrasi Substansial
HIMPUNAN MAHASISWA ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Surabaya 2016
Paradoks Diskontinuitas Rekrutmen Politik Dalam UU Pilkada Serentak Tahun 2015
Dan Cita-Cita Demokrasi Substansial
Pilada serentak tahun 2015 suda berlalu. Pemilu yang demokratis pun
dilaksanakan dengan pemilihan langsung atas rakyat. Beragam tanggapan dan
problematika pun muncul dalam perhelatan demokrasi kemarin. Mulai terdapat
daerah yang batal mengikuti pemilu karena tidak ada calon yang berkompetisi (calon
tunggal), dan kemudian terindikasi beratnya persyaratan pencalonan bagi kedua
kalangan; baik dari partai politik atau calon perseorangan (independen) untuk terlibat
sebagai kandidat calon kepala daerah. Masalah tersebut sangat bersinergi sebagai
dampak dari Undang-Undang Pilkada tahun 2015. Sehingga bisa dipastikan Pilkada
serentak selanjutnya juga akan demikian. Untuk itu diharapkan revisi Undang-Undang
Pilkada 2015 dalam mewujudkan kelancaran dan etiket demokrasi.
Sebagaimana UU Pilkada 2015 mensyaratkan calon dari partai politik bisa lolos
dengan kriteria mempunyai dukungan kursi di DPR 20% dan calon dari perseorangan
harus mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 7-10% yang kemudian
melalui putusan MK, pada tahun 2017 mendatang harus berdasarkan pada Daftar
Pemilih Tetap (DPT) bukan KTP-dinilai menjadi faktor utama minimnya calon yang
muncul dalam kontestasi politik Pilkada serentak 2015. Kendatipun demikian,
persyaratan ini justru pada perkembangan terakhirnya masih menuai gugatan dan
belum melahirkan keputusan final.
Demokrasi dalam artian yang ideal, salah satu tujuannya adalah meningkatnya
partisipasi politik dan kontinuitas rekrutmen politik. Searah tujuan demokrasi
substantif ini tentunya diharapkan terlaksana pada momentum Pilkada serentak 2015
kemarin. Realitas dalam partisipasi politik pemilih sebagaimana dilansir
REPUBLIKA.CO.ID sudah mulai meningkat signifikan pada angka 86,8% dalam survei
LP3ES dikota-kota besar seperti Medan, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Manado,
dan Denpasar. Berbeda dengan rekrutmen politik yang justru terbengkalai karena
aturan Undang-undang yang menyulitkan dalam syarat pencalonan.
Syarat pencalonan dari partai politik dalam Pilkada harus melalui dukungan
kursi di DPR 20% tentu menguntungkan partai besar dan merugikan partai kecil. Partai
kecil tidak bisa mengusung calon kepala daerah dalam Pilkada dan tidak jarang pula
partai besar justru “menjual” potensi kursi di DPR kepada non-kader partainya melalui
“mahar politik” dengan keuntungan yang lebih fantastik ketimbang mengusung dari
kader partai sendiri. Hal yang seperti inilah yang mematikan “bisa” rekrutmen politik.
Sosok popularitas dan finansial prioritas menggeser esensi rekrutmen politik, terutama
di tubuh partai politik yang kemudian pada akhinrya partai politik melengserkan sendi-
sendi demokrasi melalui gagalnya rekrutmen politik.
Dengan demikian tentulah gagasan akar rumput diperlukan untuk
membumihanguskan potensi penghambat rekrutmen politik. Dalam hal ini Undang-
undang Pilkada harus direvisi. Korelasi penghambat cita-cita demokrasi substansial
dengan undang-undang Pilkada adalah pada syaart pencalonan, terutama syarat
kriteria minimal 20% dukungan kursi di DPR bagi calon dari partai politik. Karena
dengan Undang-undang tersebutlah yang meminimalisasi calon yanng muncul dalam
Pilkada dan menjadialasan partai politik “menjual” potensi kursi di DPR kepada calon
non-kader partai dengan mekanisme “mahar politik” yang lumrah terjadi. Sehingga
kemudian rekrutmen politik ddengan diskontinuitasnya menutup “kran” demokasi
substansial yang dicita-citakan bangsa Indonesia.