Paper Poling
-
Upload
firmansyah-alam-akbar -
Category
Documents
-
view
69 -
download
0
description
Transcript of Paper Poling
Gerakan Sosial Melawan Korporasi Tambang: Studi Kasus pada Perlawanan
Petani Lahan Pantai Selatan di Kulon Progo Tahun 2006-2014
Oleh Dicky D. Ananta
Firmansyah Alam AkbarZulaeny
Pendahuluan
Terhitung sejak tahun 2006 hingga sekarang, petani di pesisir selatan Kulon Progo
banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan. Pembicaraan tersebut mengacu pada apa yang
terjadi pada mereka. Sejak periode tersebut, petani penggarap lahan pantai itu, mengalami kasus
land grabbing yang disebabkan oleh adanya penambangan pasir besi. Perampasan tanah tersebut,
seperti biasanya, kemudian memicu konflik diantara petani dengan perusahaan tambang dan
pemerintah daerah.
Perlawanan petani ini bukan tanpa alasan. Mereka melawan sebuah perampasan atas
ruang hidup yang selama ini ditempati dan menjadi sumber penghidupannya, yaitu tanah. Atas
dasar itu, kemudian petani berduyun-duyun untuk membuat sebuah organisasi sebagai
kendaraaan melawan korporasi tambang yang hadir. Menjadi sangat menarik dalam kasus ini,
apabila kita lihat aktor dari korporasi tambang. Hal itu karena di sana terlibat sebuah institusi
besar yang bersifat feodal, dan dianggap oleh sebagian orang sebagai kekuatan pelindung, yaitu
keraton Yogyakarta. Keterlibatan keraton ini melalui perusahaan yang didirikan oleh keluarga
keraton untuk menambang pasir besi tersebut. Dalihnya adalah untuk kemajuan ekonomi
masyarakat pesisir pantai selatan di wilayah Kulon Progo. Dari itu, kemudian dapat dilihat
bahwa keraton ternyata memiliki kekuatan ekonomi.
Pada paper ini, penulis akan memfokuskan diri untuk melihat gerakan perlawanan yang
dilancarkan oleh petani dari munculnya isu pertambangan di Kulon Progo hingga saat ini.
Analisis akan menggunakan beberapa konsep yang berhubungan dengan gerakan sosial. Oleh
karena itu, menjadi sangat penting di sini untuk melihat, apa yang menjadi sumber ketegangan
politik di Kulon Progo sehingga petani berani melawan tatanan feodal di bawah kendali keraton,
proses mobilisasi petani, hingga aksi-aksi kolektif di sana. Dengan demikian, maka paper ini
akan memproblematisasi mengenai bagaimana dinamika gerakan petani dalam melawan
1 | P a g e
korporasi tambang di Kulon Progo dari tahun 2006 hingg sekarang. Ini menjadi pembelajaran
penting bagi kita untuk mengetahui dampak dari proses pembangunan ekonomi yang tidak
memperhatikan aspek sosial dan ekologis.
Gerakan Sosial: dari Contentious Politics hingga Aksi Kolektif
Sebelum kita membicarakan gerakan perlawanan di Kulon Progo, perlu kita lihat
bagaimana literatur selama ini yang membahas teori gerakan sosial. Teori mengenai gerakan
sosial mulai berkembang pada abad ke-19 dengan dominasi studi kasus akademisi-akademisi
negara utara yang menitik beratkan pada perjuangan kelas-kelas sosial tertentu dengan isu-isu
tertentu. Kelas-kelas yang sering disinggung adalah kelas-kelas yang bersinggungan langsung
dengan adanya ketidakadilan atau proses penjarahan materialistik, misalnya petani dan buruh.
Namun sejak awal abad ke-20 paruh kedua gerakan gerakan sosial menjadi semakin variatif
dengan berbagai fitur baru baik dari pelaku gerakan sosial hingga isu-isu yang diperjuangkan di
dalam gerakan sosial tersebut1. Abdul Wahib Situmorang, dalam bukunya yang membahas
mengenai gerakan sosial, berpendapat bahwa setidaknya terdapat dua bagian yang perlu
diperhatikan dalam memahami gerakan sosial, pertama mekanisme-mekanisme gerakan sosial
dan kedua, integrasi mekanisme tersebut dalam bentuk Contentious Politics.2 Pada paper ini,
penulis akan memfokuskan analisa mengenai gerakan sosial, tepatnya gerakan petani di Kulon
Progo dalam kerangka contentious politics.
Political Opportunity Structure (POS) pertama kali dipergunakan oleh Peter Eisinger
dalam American Political Science Review yang berfokus pada kasus gerakan sosial, revolusi, dan
nasionalisme. POS menjelaskan bahwa gerakan sosial terjadi sebagai akibat dari perubahan
struktur politik yang diikuti dengan kesempatan akan membawa perubahan dan hal inilah yang
dinilai menjadi sebuah momentum dari gerakan sosial3. Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles
Tilly membuat sebuah studi yang lebih komprehensif mengenai POS dengan menjabarkan
variabel-variabel selain yang diungkapkan oleh Einsinger. Argumen yang dibangun memang
1Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.hlm. 22 Ibid. hlm.33 Einsinger mengadopsi pandangan Tocqueville yang mengatakan bahwa revolusi tidak hanya terjadi ketika kelompok masyarakat tertentu berdalam dalam tekanan. Aksi kolektif berupa revolusi justru cenderung terjadi ketika terdapat sebuah momentum keterbukaan dalam sistem ekonomi dan politik yang mulanya tertutup.
2 | P a g e
senada dengan Einsinger yakni menekankan pada momentum dari keterbukaan politik dan
ekonomi, namun Mc Adams juga menambahkan variabel elite politik dan pelaku perubahan4
Dalam studi yang lain, Mc Adams mengkaji fenomena Contentious Politics atau
ketegangan politik dalam bukunya yang berjudul Dynamics of Contention. Di dalam buku ini,
Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly menjelaskan fenomena ketegangan politik melalui
empat konsep yaitu mobilizing structure, political opportunity, framing process dan repertoire of
contention.5 Menurut McAdam, perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah momentum dan
derajat tertentu akan menyebabkan munculnya mobilizing structure, political opportunity,
framing process dan repertoire of contention.
Struktur Mobilisasi (Mobilization Structure) juga menjadi salah satu mekanisme yang
penting dalam gerakan sosial seperti yang ditekankan oleh Mc Adams. Faktanya adalah tidak
semua gerakan sosial dapat dijelaskan dengan mekanisme POS dan hal inilah yang selanjutnya
membuat para peneliti sosial lainnya melihat gerakan sosial dari sudut pandang yang berbeda
yakni Struktur Mobilisasi. Berbeda dari POS yang bercondong pada “momentum keterbukaan
lembaga politik dan ekonomi”, dalam struktur mobilisasi ide dan fokus yang dibangun justru
menekankan pada keterlembagaan sistem politik yang baik dapat membangun aksi-aksi kolektif
berikut dengan pilihan bentuk gerakan. Struktur Mobilisasi juga dipandang sebagai sebuah cara
kelompok gerakan sosial untuk melebur dalam aksi kolektif, termasuk taktik gerakan dan bentuk
gerakan sosial, baik organisasi formal gerakan sosial maupun jaringan sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Lebih jelasnya, mobilizing structure ditandakan dengan bersatunya aktor-aktor yang
melawan dengan cara yang rasional di mana organisasi atau pemimpinnya dapat memobilisasi
sumber yang ada untuk melakukan aksi tertentu6.
Lebih lanjut, Tarrow menjelaskan bahwa substansi dari gerakan sosial disusun dalam
sebuah proses yang dinamakan framing process. Bert Klandermans dalam Tarrow (2011)
mendefinisikan framing process sebagai sebuah proses dari aktor sosial, media dan anggota
masyarakat untuk ikut serta menafsirkan, mendefinisikan dan mengkaji ulang hubungan negara
berikut dengan aktor-aktor yang berkonflik. Proses framing ini bukan hanya menyangkut
masalah pola hubungan semata namun juga memberikan sebuah identifikasi terhadap identitas
4 Yang dimaksudkan dengan pelaku perubahan adalah mereka aktor-aktor yang bersinggungan langsung dengan skema ketimpangan atau ketidakadilan atau isu dari gerakan sosial tertentu.5 Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, Dynamics of Contention, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 146 Ibid. hlm. 16
3 | P a g e
kelompok-kelompok yang berkonflik (“kami” dan “mereka”). Framing proses juga penting
dalam mengetahui sukses atau gagalnya sebuah gerakan sosial, karena framing juga berkaitan
dengan pemahaman mengenai fokus masalah yang diperjuangkan berikut dengan strategi dalam
memperjuangkan masalah tersebut7. Lalu, interaksi antara mobilizing structure, political
opportunity dan framing process ini membentuk repertoire of contention berupa pilihan bentuk
taktik dan strategi aksi dalam menjalankan aksi kolektif berikut dengan variasi strategi aksi
tersebut, seperti dengan melakukan aksi demonstrasi, long march, okupasi, aksi damai, melalui
jalur hukum dan sebagainya.
Pemaknaan Contentious politics sendiri dalam pandangan McAdams dimaknai sebagai
sebuah proses:
“……episodic, public, collective interaction among makers of claims and their
objects when (a) at least one government is a claimant, an object of claims, or a
party to the claims and (b) the claims would, if realized, affect the interests of at
least one of the claimants.”8
Dalam definisi mengenai ketegangan politik tersebut, dapat dilihat bahwa ketegangan
politik berlangsung secara episodik bukan berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu, ia terjadi
dalam ranah publik bukan sekedar dalam tataran elit dan konflik yang terjadi di dalamnya
diakibatkan oleh klaim yang dibuat entah dari pemerintah maupun dari objek yang lain (seperti
masyarakat) mengenai klaim tersebut. Klaim yang berbeda inilah yang akhirnya membuat kedua
belah pihak yang saling berebut klaim berujung pada konflik. Ketegangan politik, menurut
Sidney Tarrow, terjadi ketika masyarakat biasa yang mendapatkan bantuan dari warga negara
yang berpengaruh dan mampu mengubah suasana publik dimana mereka bersatu untuk melawan
elit ataupun pemerintah yang berwenang.9
Konflik Pasir Besi Kulon Progo
Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan yang didominasi oleh
tanah pasir, materi pasir ini diendapkan oleh aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir
pantai Kulon Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8 km, terbagi dalam 4 kecamatan
dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan 7 David A. Snow dan Robert D. Benford, Ideology, Frame Resonance and Participant Mobilization (Greenwich, Conn: JAI Press, 1988)8 Doug McAdam, ibid, hlm. 59 Sidney Tarrow, ibid, hlm. 6
4 | P a g e
kedalaman air tanah antara hingga 12 meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000 meter dari
permukaan laut yang diperkirakan luas lahan pasir pantai daerah Kulon Progo bisa mencapai
3.600.000 m2, atau sekitar 3600 hektar. Namun dari 3600 hektar tersebut, sebanyak 2500 hektar
lahan pantai digunakan untuk pertanian dan perkebunan.10
Dilihat dari sisi historis, pada awalnya pesisir pantai Kulon Progo hanyalah gundukan
pasir pantai yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dikuasai oleh siapapun, gundukan pasir
tersebut tersebar di desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan, dan Karangwoni.
Namun pada awal tahun 1980-an, salah seorang petani mencoba berinisiatif menanam produk
hortikultura di lahan pasir tersebut. Kegiatan bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang
pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Perkembangan teknik pengairan dan pemupukan
membuat hasil panen cabe, melon dan semangka yang semakin baik dan banyak.
Pada tahun 2003, Potensi pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo mulai terdeteksi, hal itu
diindikasi dari temuan kajian geologi yang menyebutkan bahwa kandungan pasir besi di Kulon
Progo sendiri mencapai 300 juta ton kubik dengan produktivitas mencapai 500.000 hingga 2 juta
ton per hari. Potensi pasir besi yang luar biasa ini berkaitan dengan sifat dan karakteristik
mineral magnetik yang terdapat di dalam pasir besi. Adanya variasi mineral magnetik di dalam
pasir besi memungkinkan munculnya pilihan alternatif dalam pemanfaatan pasir besi yang lebih
komersial. Adapun pilihan alternatif tersebut adalah kandungan vanadium yang berharga di
dalam perut pasir Kulonprogo. Dengan demikian, pasir besi di pesisir selatan wilayah Kulon
Progo tersebut dapat dikatakan emas hitam, karena harganya bisa seribu kali lipat dibanding besi
biasa.11
Untuk melihat bagaimana Keraton Yogyakarta sebagai kekuatan ekonomi, spesifiknya
pada kasus tambang pasir besi di Kulon Progo ini, maka kita perlu melihat aktor-aktor di
dalamnya serta dengan cara apa Keraton aktor-aktor tersebut melanggengkan tujuan-tujuan
ekonominya. Dalam kasus di Kulon Progo, keterlibatan dan awal terbentuknya PT Jogja Magasa
Iron (JMI) serta aktor lainnya perlu ditinjau agar kita dapat memiliki gambaran yang utuh
mengenai keraton sebagai kekuatan ekonomi di Yogyakarta.
Pada awalnya, potensi yang besar dari keuntungan pasir besi di Kulon Progo ini yang
menarik keraton Yogyakarta dan investor untuk melakukan eskavasi pertambangan di daerah
10 Wasisto Raharjo Jati, “Predatory Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon Progo”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 hal.9411 Ibid.hal.98
5 | P a g e
tersebut, lalu keraton bersama investor mendirikan perusahaan dengan nama PT Jogja Magasa
Mining (JMM). PT. JMM ini kemudian akhirnya bertransformasi menjadi Jogja Magasa Iron
(JMI), perusahaan ini yang kemudian memegang lisensi untuk menambang pasir di Kulon Progo.
Ketertarikan tersebut tidak lepas dari keinginan pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Puro Pakualaman yang ingin mengembangkan Provinsi Yogyakarta melalui
tambang pasir besi yang dianggap sangat potensial.12 Keinginan kedua Raja tersebut kemudian
berkembang menjadi pendirian industri, tidak hanya wilayah pertambangan, di pesisir pantai
selatan yang merupakan tanah Sultan dan Paku Alam jika kita merujuk pada segi historis wilayah
tersebut. Atas dasar itulah kemudian pada tanggal 6 Oktober 2005 dibentuk PT Jogja Magasa
Mining (PT. JMM) oleh Lutfi Heyder, Imam Syafi, GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun dan
BRMH Hario. Tiga nama terakhir yang disebutkan merupakan keturunan dari Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembangunan PT Jogja Magasa Mining ini juga diikuti dengan
perjanjian kerja sama manajemen dengan AKD (Australian Kimberly Diamond Limited) untuk
melakukan penelitian awal potensi pasir besi.13 Legitimasi untuk melakukan kegiatan
penambangan didapat ketika dikeluarkannya Kuasa Pertambangan No.
008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 pada tanggal 12 Oktober 2005 dengan lokasi pertambangan
terletak di sepanjang pantai antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto, Kabupaten Kulon
Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan lahan Pakualaman, dengan luas
area pertambangan 4.076,7 Ha.
Kisah ini kemudian berlanjut pada tahun 2008 dengan dilakukanya join venture antara PT
JMM dan Indomines Ltd dari Australia sehingga PT JMM bertransformasi dan berubah nama
menjadi PT JMI (Jogja Magasa Iron). Seiring dengan transformasi tersebut, status Kuasa
Pertambangan yang sebelumnya dimiliki oleh PT JMI kemudian meningkat menjadi Kontrak
Karya pada tanggal 4 November 2008, dengan luas area 2.987,79 Ha, yang terletak di sepanjang
pantai antara Sungai Progo dan Sungai Serang.14 Dalam proses penandatanganan Kontrak Karya
tersebut, PT. JMI diwakili oleh Presiden Komisaris Lutfi Heyder dan Menteri ESDM Purnomo
Yusgiantoro sebagai perwakilan pemerintah.15 Berdasarkan Kontrak Karya tersebut, PT. JMI
12 “Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses pada 27 April 2014 pukul 13.0313 Ibid.14 Ibid.15 AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya), Makalah tidak diterbitkan, tanpa tahun. Diunduh dari https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi_Kulon_Progo_Anatomi_Esk
6 | P a g e
mengantongi izin operasi selama 30 tahun.
Dengan adanya kontrak karya tersebut, PT Jogja Magasa Iron siap menanamkan investasi
1,7 miliar dolar AS untuk penambangan pasir besi (sand iron) sekaligus memproduksi besi kasar
(pig iron) di pesisir selatan Kulon Progo. Rincian investasi itu 600 juta dolar AS untuk tambang
dan 1,1 miliar dolar AS untuk infrastruktur. Dari tambang pasir besi yang menggunakan sistem
pertambangan terbuka tersebut, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak 20 juta dolar
AS per tahun, pendanaan lokal 7 juta dolar AS per tahun dan royalti 11,25 juta dolar AS per
tahun. Pemprov Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo akan mendapat kontribusi pengembangan
masyarakat dan wilayah sebesar 1,5 % dari penjualan atau senilai 7 juta dolar AS per tahun
selama 10 tahun pertama dan selanjutnya sebesar 2 %. 18 Wilayah aplikasi kontrak karya seluas
2.987 hektar itu akan memiliki kapasitas produksi 1 juta ton di tahun pertama, per 2012, jika itu
menguntungkan akan ditingkatkan sampai 5 juta ton.16
Menjelang akhir 2012 misalnya, Indo Mines Limited tak lagi menguasai saham PT JMI
karena dibeli oleh Grup Rajawali. Ini merupakan kelompok bisnis raksasa milik Peter Sondakh.
Saham sebesar 57,12 persen milik perusahaan asal Australia tersebut dibeli secara bertahap
dengan dana hingga mencapai lebih dari Aus$ 50 juta.17 Kelompok bisnis itu bukanlah pemain
baru, walaupun sempat turun-naik dihantam krisis moneter pada 1998.
Sebelumnya, pada Desember 2010, Peter diumumkan sebagai salah satu orang terkaya
kedelapan di Indonesia oleh majalah Forbes. Selain mengendalikan PT JMI, Grup Rajawali juga
memiliki dua perusahaan pertambangan lainnya yakni PT Golden Eagle Energy Tbk untuk batu
bara, serta PT Meares Soputan Mining, dengan komoditas emas. Dalam sejumlah laporan
disebutkan, Peter Sondakh pada periode 1980-an juga dikenal dekat dengan anak mantan
Presiden Soeharto: Bambang Trihatmodjo. Salah satu wujud bisnisnya, keduanya mendirikan
jaringan televisi swasta pertama, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 1989.18
Potensi ekonomi yang besar pada lahan yang ditempati oleh petani sejak tahun 1980-an
ini kemudian menjadi alasan land grabbing terjadi pada para petani tersebut. Ini kemudian yang
alasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta diakses pada 20 Mei 2014 pukul 12.32 WIB16 AB.Widyanta, ibid. hlm..517 Anugerah Perkasa, ”Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses pada 2 Mei 2014 pukul 16.30 WIB18 Ibid.
7 | P a g e
menjadi akar konflik bagi kasus penambangan pasir besi yang melibatkan Keraton-Pemerintah
Daerah, baik Kulon Progo dan D.I. Yogyakarta, dengan petani hingga sekarang.
Konflik Agraria: Contentious Politics Petani dan Korporasi Tambang
Dari narasi di atas, sebenarnya potensi dan sumber konflik antara petani dengan
perusahaan tambang dan pemerintah daerah, terletak pada perebutan lahan yang menjadi lokus
kontestasi kepentingan dua kelompok tersebut. Proses land grabbing yang dimaksud di sini
secara jelas menunjukan bahwa lahan pantai yang dikelola petani selama lebih dari dua puluh
tahun, dan beberapa telah disertifikasi, diklaim sebagai milik keraton yang kemudian digunakan
sebagai area penambangan pasir besi. Di sisi lain, keraton di sini juga menjadi aktor ekonomi
secara langsung dengan adanya perusahaan yag didirikannya (PT. JMM kemudian
bertransformasi menjadi PT. JMI). Posisi ini kemudian didukung oleh pemerintah daerah dan
pusat dengan dikeluarkannya Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya Pertambangan. Dengan
itu, klaim keraton sebagai pemilik tanah petani di atas, mengakibatkan petani kehilangan
lahannya. Selain itu, land grabbing ini sekaligus menghancurkan sumber pendapatan petani
sebagai penggarap lahan pantai.
Konflik tanah antara petani dan korporasi tambang dapat ditelusuri dari adanya dualisme
pengaturan tanah di Yogyakarta. Dualisme pengaturan tersebut kemudian berdampak pada
adanya kerancuan hukum mengenai pemilik lahan dari pesisir selatan Kulon Progo. Di satu sisi,
keraton mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya, sehingga dapat digunakannya untuk
aktivitas tambang. Adapun tanah yang diklaim tersebut masuk sebagai tanah Sultanaat Ground
(SG) dan Pakualamanaat Ground (PAG). Di sisi lain, petani secara sah merasa berhak memiliki
lahan yang ditempatinya sejak dekade 1980-an. Kerancuan akan kepemilikan tanah di pesisir
pantai ini yang kemudian menjadi sumber dari ketegangan politik (contentious politics) antara
petani dan perusahaan tambang (di sini merupakan milik keraton), dan pemerintah daerah.
Ketegangan politik diantara keduanya yang membuat perlawanan petani mengemuka hingga hari
ini.
Secara historis, SG dan PAG merupakan produk turunan dari adanya perjanjian Giyanti,
atau sering juga disebut dengan Pilahan Nagari (Pembagian Negeri) pada 13 Februari 1755 di
Desa Giyanti.19 Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja dengan gelar Sampeyan dalem
19 Kerajaan Mataram terlibat dalam konflik perang saudara yang kemudian diselesaikan dengan membagi daerah kerajaan menjadi dua yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Lih M. C. Ricklefs dalam
8 | P a g e
Ingkang Sinuwun Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdurrachman Sajidin
Panotogomo Kalifatullah. Sultan Hamengku Buwono mendapat setengah dari wilayah kerajaan
Mataram di sebelah barat dengan nama kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat.20 Dari adanya
pembagian kerajaan tersebut, Belanda sebagai penguasa kolonial mengakui adanya empat daerah
otonomi, yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan Pakualaman.
Dari adanya pengakuan itu, salah satu kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang cukup
mengemuka dan masih terwariskan hingga kini adalah soal tanah yang diatur oleh Paniti Kismo,
yaitu Sultan Ground/Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamanaat Ground (PAG) yang
berdasarkan pada Rijksblad 1918. Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad
Pakualaman No 18 tahun 1918 menyatakakan bahwa, “Sakabehing bumi kang ora ana tanda
yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”
(semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan menurut hak eigendom, maka tanah itu
adalah milik kerajaanku)21. Inilah asal mula adanya tanah SG dan PAG.
Tanah Sultan dan tanah Paku Alaman merupakan semua tanah yang berada di wilayah
keraton Kasultanan dan Puro Paku Alaman kecuali tanah-tanah yang sudah diberikan hak
kepemilikannya kepada siapapun. Definisi ini mengacu pada domein verklaring yang berlaku
sejak zaman pendudukan Belanda yaitu tahun 1918, dan dikukuhkan melalui UU No. 3 Tahun
1950 tentang Keistimewaan Yogyakarta dan Perda DIY No. 5 Tahun 1954, hingga dinyatakan
kembali pada tanggal 11 April 2000 pada acara Inventarisasi dan Sertifikasi Tanah-Tanah
Keraton DIY antara pemerintah dan instansi terkait. Salah satu poin penting dari peraturan
tersebut adalah Yogyakarta memiliki kekuasaan untuk mengatur hak atas tanahnya, sebagaimana
dinyatakan sebagai domein verklaring yang berlaku pada tahun 1918. Namun jelas bahwa
Peraturan daerah tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta di atas, dibuat sebagai
aturan yang sifatnya sementara, sambil menunggu adanya hukum tanah nasional.22
Pada masa Orde Lama dilakukan dekolonisasi hukum agraria dengan mengkaji ulang
Agrarische Wet 1870 hingga akhirnya pada tanggal 24 September 1960, terbentuk dasar hukum
baru dalam Lembaran Negara No.104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau dikenal dengan istilah UU PA. UU PA
Ahmad Nashih Luthfi, dkk, Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan. (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009), hlm 50.20 Soedarisman Poerwokoesoemo dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. Ibid., hlm 50-51.21 Ahmad Nashih Luthfi, dkk, ibid. hlm. 15522 Ibid. hlm. 168
9 | P a g e
diikuti oleh peraturan pengganti pemerintah, undang-undang No.56 Tahun 1960 (yang dikenal
dengan undang-undang landreform). Bersamaan dengan itu, pada tahun 1973 Sultan HB IX
pernah berkirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya meminta DIY diperlakukan
sama dengan daerah lain dalam bidang agraria. Surat itu dibalas 11 tahun kemudian melalui
Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun
1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan dengan Perda No 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Berlaku Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY yang secara resmi menghapuskan
Rijksblad No 16/1918 dan Rijksblad No 18/1918 yang diatur Perda DIY No 5 Tahun 1954.23
Semangat dari adanya UU PA ini adalah adanya land reform, dimana tanah yang
terkonsentrasi pada segelintir orang atau kelompok harus diserahkan pada negara untuk di
redistribusikan pada petani atau kelompok masyarakat yang tidak memiliki tanah. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah sebagai sebuah kekayaan material.
Dengan itu diharapkan kehidupan masyarakat yang adil dan setara dapat dijalankan.
Meski UU PA telah diberlakukan, tanah yang dikenai UU PA hanya pada tanah yang
berhukum Barat dan tanah-tanah yang sebelumnya dikenai program Prona. Dengan kata lain,
tanah yang telah diberikan kepada Barat dulunya, bukan tanah keraton sepenuhnya. Dengan
demikian pemberlakuan UU PA lagi-lagi bukan untuk memperjelas status tanah meski
diidealkan oleh Sri Sultan demikian, melainkan aspek politiklah yang justru mendominasi
dimana tanah merupakan milik Keraton.24 Di sisi lain, meski UU PA telah diberlakukan, konsep
tanah adalah milik raja, sebagaimana dibenarkan oleh UU No 3/1950 dilanjutkan dengan Perda
DIY No. 5 Tahun 1954 yang mengatur keistimewaan Yogyakarta tetap berjalan. Melalui
kebijakan tersebut, peraturan tanah di Yogyakarta bersifat otonom, sehingga memberi tameng
terhadap intervensi hukum tanah nasional (UU PA).25 Artinya, tanah-tanah SG dan PAG tetaplah
eksis diakui oleh keraton dan pemerintah.
Bukti bahwa SG dan PAG masih eksis hingga saat ini, dapat dilihat dari tanah yang
dikuasai keraton dengan mekanisme tersebut. Keberadaan tanah Sultan dan tanah Paku Alaman
tersebut diakui baik oleh masyarakat luas maupun pemerintah. Hal tersebut terlihat dengan jelas
dimana jika pemerintah daerah hendak menggunakan tanah di wilayah Yogyakarta harus terlebih
23 “Bertani atau Mati” diunduh dari http://selamatkanbumi.com/ID/bertani-atau-mati/ diakses pada 3 Mei 2014 pukul 05. 30 WIB.24 Luthfi, op.cit., hlm 175-176.25 Ibid.
10 | P a g e
meminta izin pada pihak Keraton. Demikian juga mereka kalangan usaha yang ingin berinvestasi
di Yogyakarta. Sementara masyarakat mengakui tanah itu ditandai dengan penerimaan Surat
Kekancingan yang ada di tangan masyarakat yang menjelaskan bahwa status tanah yang
ditempati adalah tanah magersari. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa kekuasaan
atas tanah di Yogyakarta masih dipegang oleh pihak Keraton pasca diberlakukannya UU PA
sekalipun.
Berdasarkan data Biro Tata Pemerintahan DIY, hingga tahun 2005, ada sekitar 6.000
hektar (60.000.000 meter persegi) lebih tanah Keraton dan Puro yang tersebar di seluruh wilayah
DIY.26 Tanah SG kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman. Sedangkan, PAG
banyak di Kulon Progo.27 Berbeda dengan hitungan yang dilakukan oleh majalah Himmah edisi
tahun 2002, jumlah total tanah SG dan PAG yang ada di DIY seluas 37.782.661 meter persegi.28
Perbedaan jauh hampir dua kali lipat ini justru menunjukkan ketidakjelasannya bidang mana saja
yang dianggap tanah SG dan PAG sehingga mempengaruhi hasil penghitungan. Pihak keraton
dan Paku Alaman sendiri tidak tahu persis di mana letak tanah SG dan PAG.
Bentangan SG dan PAG di DIY bisa luas tersebut, sebab berdasarkan Rijksblad
Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan
dan kadipaten. Akar konflik tepat terjadi saat keraton (sekaligus Pemerintah Daerah), mengklaim
bahwa tanah yang dikelola petani di lahan pesisir selatan Kulon Progo tersebut merupakan
bagian dari Pakualamanaat Ground (PAG).
Sementara itu, pesisir pantai selatan Kulon Progo sendiri pada awalnya merupakan
kawasan tandus dan gundukan pasir pantai tak bertuan yang tidak bernilai ekonomi apapun di
kawasan Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan dan Karangwuni. Namun
demikian, pada awal 1980-an salah seorang petani dari dari empat desa tersebut mencoba
berinisiatif menanam produk hortikultura di lahan pasir tersebut. Kegiatan bercocok tanam di
atas lahan pasir berkembang pesat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas,
26 Dian Yanuardi, Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia. Makalah disampaikan dalam International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012. (Organized by the Land Deals Politics Initiative (LDPI) and hosted by the Department of Development Sociology at Cornell University, Ithaca, NY). hlm. 1527 Geoge Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”, diunduh dari http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/ diakses pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.28 Luthfi, dkk, op.cit. hlm. 172-173
11 | P a g e
perkembangan teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon dan
semangka yang semakin baik dan banyak. Bersamaan dengan itu, jumlah masyarakat yang ikut
bercocok tanam juga bertambah. Hal itu kemudian memicu tumbuhnya pesisir selatan Kulon
progo menjadi salah satu pemukiman petani.
Secara umum pola sebaran permukiman di daerah permukiman adalah mengelompok
dengan bentuk memanjang sepanjang pantai, dari timur ke barat. Tingginya ekspektasi terhadap
produk hortikultura dari pertanian pesisir selatan terutama cabai, tomat, dan sayuran hijau
lainnya baik di pasaran lokal maupun provinsi lainnya menjadikan kawasan pesisir selatan
dengan cepat berkembang menjadi kawasan padat penduduk dengan tingkat densitas tinggi.
Jumlah sebaran penduduk di pesisir pantai selatan dapat dilihat dalam tabel berikut,
Sumber: Wasisto Raharjo Jati, 2013
Karena telah menempati tanah yang tak bertuan dan itu lebih dari dua puluh tahun, maka
banyak warga kemudian mengajukan sertifikasi. Hal ini dibenarkan oleh peraturan UU No. 5
Tahun 1960 tentang Pembaharuan Agraria, dimana tanah yang tak bermiliki kemudian dikelola
selama lebih dari dua puluh tahun dapat diajukan sertifikasi. Adapun dalam Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 1954, di mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai tanah secara
turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik.29 Dari itu, kemudian warga mengklaim
secara sah memiliki tanah yang ditempatinya.
Dari area konsesi yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM, menurut Pemerintah DIY
yang juga keraton Jogja, 80% tanah yang masuk dalam proyek tambang pasir besi itu adalah
29 Wasisto Raharja Jati, op.cit. hlm. 106
12 | P a g e
PAG, artinya hampir seluas 2400 hektar diklaim milik Keraton.30 Padahal sebenarnya di wilayah
tersebut banyak tanah yang sudah dilegalisasi dengan sertifikasi tanah oleh petani berdasarkan
peraturan di atas. Berdasarkan itu, lahan dalam proyek tersebut yang menjadi milik keraton
hanya seluas 200 hektar, sisanya adalah milik petani dengan sertifikat yang dapat dibuktikan.31
Land grabbing dalam kasus ini terjadi saat klaim dari keraton (dan Pemerintah daerah) yang
menyatakan bahwa tanah di pesisir Kulon Progo adalah bagian dari PAG dan diperuntukan
sebagai lahan penambangan pasir besi, sedangkan secara sah tanah tersebut telah dimiliki petani
dengan bukti sertifikat yang dipunyainya. Contentious politics hadir di antara saling klaim
kepemilikan lahan yang menjadi area konsesi tambang pasir besi.
Peta pasir besi konflik
Sumber: Wasisto, 2013
Selain konflik agraria sebagai sumber utama contentious politics, petani menolak adanya
tambang pasir besi di wilayah tempat tinggalnya karena berhubungan dengan eksistensi
kehidupan mereka. Hal yang utama adalah hilangnya mata pencaharian mereka karena lahan
pantai yang selama ini menghidupinya masuk dalam area tambang. Akibatnya, mereka kemudian
kehilangan mata pencaharian. Kegiatan bertani di pesisir pantai bagi para warga merupakan
penyangga hidup mereka yang berjumlah 50 ribu jiwa. Supriyadi, ketua PPLP, mencontohkan
bahwa bagi yang mempunyai lahan garapan tanaman cabai 1.200 meter persegi saja bisa dipanen
sebanyak 30 kali dengan hasil rata-rata Rp 70 juta dalam waktu enam bulan. Sedangkan bagi
30 Dian Yanuardi, op.cit, hlm. 1431 Wasisto Raharjo Jati, op.cit. hlm. 107
13 | P a g e
yang tidak mempunyai lahan garap bisa menjadi buruh petik cabai dengan bayaran Rp 30 ribu
hingga Rp 50 ribu per hari.32
Hal kedua yang membuat mereka kemudian melawan land grabbing yang terjadi di lahan
yang dimilikinya datang dari adanya ancaman penganguran secara besar-besaran sebagai akibat
dari hilangnya mata pencaharian sebagai petani. Kondisi tersebut yang secara struktural akan
membuat penduduk menjadi buruh di kemudian hari. Menurut Supriyadi, ketua PPLP, Meskipun
penambangan pasir besi itu akan membuka lapangan kerja bagi warga pesisir, seberapa banyak
yang bisa diserap sebagai buruh tenaga kerja di penambangan itu. Selain itu setelah nanti
penambangan besi berakhir, bagaimana nasib anak-cucu mereka nanti. Warga lebih memilih
bertani, karena masih bisa diwariskan kepada anak cucu, ketimbang menjadi buruh
penambangan yang tidak akan bisa mewariskan apapun kepada anak cucu.33
Selain persoalan sosial, masalah ekologis juga menjadi alasan dari petani untuk menolak
adanya tambang pasir besi di wilayahnya. Dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan
oleh penambangan pasir besi itu meliputi beberapa poin berikut, (1) kerusakan ekosistem gumuk
pasir. Ini berhubungan dengan yang terjadi di Cilacap saat penambangan pasir besi dijalankan di
sana, tsunami kecil sering terjadi dan masuk ke area warga. Petani Kulon Progo
mengkahwatirkan hal demikian terjadi di sana. Apalagi penambangan ini tidak dilakukan dengan
analisam Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. AMDAL beru ada setelah
izin konsesi diberikan. (2) Intrusi air laut ke daratan. Hal ini berhubungan dengan pengambilan
pasir besi yang akan membuat air laut bisa masuk ke sumur-sumur warga. (3) Abrasi laut selatan.
Abrasi laut selatan akan semakin parah karena rencana penambangan hingga kedalaman hingga
14,5 meter dengan panjang 22 kilometer dan lebar 1,8 kilometer. (4) Rusaknya lahan pertanian
pesisir pantai. Puluhan ribu petani mengkhawatirkan lahan mereka akan rusak akibat dari
penambangan, padahal saat ini mereka sudah menikmati dengan kehidupan bertani di pantai
ini.34
Hal di atas yang menjadi sumber contentious politics antara petani dan korporasi
tambang. Sumber utamanya adalah pada land grabbing yang dilakukan oleh perusahaan tambang
tersebut melalui konsesi lahan yang diklaim sebagai milik keraton melalui mekanisme tanah
32 AB. Widyanta, op.cit, hlm. 9 33 Ibid.34 Ibid, hlm. 9-10
14 | P a g e
PAG. Padahal tanah-tanah tersebut telah dimiliki petani secara legal. Land grabbing ini membuat
petani kehilangan mata pencahariannya dan berpotensi mengalami krisisi sosial dan ekologis.
Perlawanan Petani: Contentious Politics ke Aksi Kolektif
Kemunculan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dilatarbelakangi oleh keresahan
warga Kulonprogo terkait rencana penambangan pasir besi yang dilakukan di lahan pesisir pantai
yang notabene merupakan lahan pertanian masyarakat.Isu-isu yang berkembang di kalangan
petani serta mimbar-mimbar masjid desa menimbulkan keresahan masyarakat pesisir
pantai.Sejumlah petani dari empat kecamatan (Galur, Panjatan, Temon, dan Wates) yang
mencakup 10 desa (Banaran, Karangasem, Garongan, Pleret, Bugel, Glagah, Palian, Sindutan,
Jangkaran, dan Karangwuni) pun mengorganisir diri dan membentuk Paguyuban Petani Lahan
Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) pada 1 April 2006. Di sesepuhi oleh salah seorang adik Sri
Sultan HB X, Adjie Kusumo, PPLP dibentuk untuk menolak rencana pertambangan pasir besi di
wilayah mereka.35
Pada awal pembentukan PPLP, Adjie Kusumo terlibat dalam pengorganisasian para
petani lahan pantai.Namun, PPLP akhirnya memutuskan untuk independen dan tidak lagi
melibatkan Adjie Kusumo36.Hal ini kemudian diasumsikan karena perseteruan politik
antarapemerintah pusat dengan pemerintah provinsi yang terkait RUUK Yogyakarta (2010),
telah merubah peta konflik internal Keraton Yogyakarta.Konsolidasi internal Keraton berhasil
meminimalisir friksi Sri Sultan HB X dan Adjie Kusumo.Dalam situasi itu, tidak strategis bagi
PPLP untuk tetap melibatkan Adjie Kusumo.37 Pada perkembangannya, isu-isu terkait
pertambangan pasir besi yang berkembang di masyarakat mulai berbuah kenyataan ketika para
petugas PT Jogja Magasa Mining (JMM)—perusahaan milik keluarga penguasa politik di
Propinsi Yogyakarta, yaitu Kasultanan dan Paku Alaman—mulai mensosialisasikan rencana
penambangan pasir besi itu. Proses sosialisasi dilakukan melaluibeberapa jalur: sosialisasi
langsung kepada warga, sosialisasi melalui sejumlah tokoh formal daninformal, dan sosialisasi
melalui dinas pemerintah daerah maupun kantor DPRD Kulon Progo. Namun, sosialisasi yang
dilakukan mendapatkan tentangan dan penolakan dari masyarakat yang tergabung dalam PPLP.
Proses dinamika konflik ini kemudian membuat penulis berargumen bahwa munculnya gerakan 35AB. Widyanta, ibid. hlm 3.36 Hasil penuturan Nasib Wardoyo (40 tahun), Warga Karangwuni 5, anggota PPLP, dikutip dari AB. Widyanta, ibid. 37Ibid.
15 | P a g e
sosial yakni PPLP diawali oleh suatu pra-kondisi dimana terjadi ketegangan (contentious
politics) menyangkut politik agraria dimana ada 2 pihak yang saling kontra. Petani lahan pantai
yang kemudian mendirikan PPLP dengan pihak perusahaan yakni PT JMM yang kemudian
berubah nama menjadi PT JMI beserta pemerintahan keraton yang notabene memiliki
kewenangan atas lahan (Sultan Ground dan Pakualaman Ground).
Berdasarkan adanya contentious politics menurut pandangan Abdul Wahib Situmorang
dalam sebuah mekanisme gerakan sosial, dalam studi yang lain, Mc Adams mengkaji fenomena
Contentious Politics atau ketegangan politik dalam bukunya yang berjudul Dynamics of
Contention. Di dalam buku ini, Mc Adams, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly menjelaskan
fenomena ketegangan politik melalui empat konsep yaitu mobilizing structure, political
opportunity, framingprocess dan repertoire of contention.Konsep political opportunity ini sendiri
berkaitan dengan kemunculan PPLP sebagai efek dari keterbukaan politik dan ekonomi dalam
lingkup desentralisasi pemerintahan utamanya dalam studi kasus di Jogja. Kemudian dari
desentralisasi itulah muncul keterbukaan ekonomi yang menjadi pintu masuk ketegangan politik
sehingga memunculkan gerakan sosial PPLP.
Setelah adanya political opportunity, McAdams kemudian menggambarkan mekanisme
gerakan sosial melalui konsep mobilizing structure.Konsep mobilizing structure tergambar
melalui adanya upaya strukturisasi gerakan via jaringan-jaringan PPLP.Terkait dengan jaringan
perjuangan, PPLP melakukan aliansi atau kerjasama dengan lembaga-lembaga diantaranya LBH
Yogja, Walhi Yogya, sejumlah LSM, dan beberapa kalangan akademis. Selain berjejaring
dengan lembaga-lembaga tersebut, Kemudian berdasarkan konsep framing structure, PPLP
dalam hal ini sebagai bentuk gerakan sosial memiliki dasar landasan kemunculannya, fokus
tujuan pendiriannya, pendefinisian pihak-pihak yang tergabung didalammnya, serta
pendefinisian siapa pihak-pihak yang bertentangan dengannya.
Ada empat faktor yang menjadiraison d’etre terbentuknya politik identitas di kalangan
petani lahan pasir. Pertamaadalah proses reintegrasi masyarakat pedesaan dengan penduduk
lahan pantai. Reintegrasi juga berarti reagrarianisasi yang berperan besar terjadinya ruralisasi
pemuda desa yang bekerja di kota untuk kembali bertani. Implikasi yang muncul adalah bertani
kini dipandang sebagai pekerjaan yang menjanjikan seiring dengan meningkatnya harga
pangan.Kedua, Adanya perbaikan kesejahteraan bagi petani lahan pasir. Adanya sistem
komunalisasi pertanian yang dilakukan oleh petani berimplikasi pada menurunnya tingkat
16 | P a g e
kemiskinan, persediaan pangan yang bertambah, dan naiknya pendapatan dari setiap panen raya
yang diestimasi mencapai 130 juta rupiah per hektar dengan asumsi hasil panen sehari mencapai
8-9 ton dengan harga sekilo Rp 15.000. Begitu berharganya bertani di lahan pasir inilah yang
memunculkan semboyan “bertani atau mati” sebagai bentuk penegasan atas penolakan tambang
pasir besi.Ketiga, adanya kebangggan bagi kelompok petani sebagai pionir dalam pertanian
lahan pasir yang pertama di Indonesiayang pertama dilakukan di Kulonprogo. Maka, konteks
kesuburan dan produktivitastanahpasir besi menjadi narasi penting dalam pembentukan identitas
tersebut (Yanuardy,2012).Keempat, Mutualisme ekonomi antara sektor agraris dengan
geomorfologis tersebut pada akhirnya menghasilkan keuntungan yang maksimal. Dari hasil
pertanian bawang merah, petani akan mendapatkan penghasilan Rp53.085.977,48 untuk
setiaphektarnya. Sementara untuk usaha tani komuditas cabai, petani memperoleh penghasilan
sebesar Rp 8.668.116,68untuk setiap hektarnya. Secara keseluruhan, produksi pertanian di 1
hektar lahan pasir bisa memberi keuntungan bersih sebesar lebih dari Rp 30 juta dalam
setahun.Hal ini tentu saja jauh lebih tinggi dibandingkan apabila hanya menanam padi pada 1
hektar sawah yang hanya memberi keuntungan maksimal Rp 4 juta setahun. Maka tidaklah
mengherankan, apabila petani pesisir lahan pantai berusaha mati-matian untuk mempertahankan
tanah pertanian terhadap upaya eskavasi lahan pantai pesisir selatan Kulon Progo oleh PT Jogja
Magasa Mining selaku investor38
Setelah adanya framing structure, McAdams dkk kemudian melanjutkannya melalui
sebuah mekanisme repertoir of contention. PPLP sebagai gerakan sosial kemudian memiliki
bentuk dan cara perjuangannya dalam menentang serta menolak rencana tambang pasir besi di
wilayah pantai Kulon Progo. Bentuk dan cara penolakan yang dilakukan melalui berbagai bentuk
yakni aksi damai maupun non-damai dengan cara yang beragam seperti demonstrasi, advokasi
via jaringan yang dimiliki, hingga cara-cara agresif.Pada 27 Agustus 2007, PPLP berdemonstrasi
di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek
pertambangan pasir besi.Bupati Toyo Santosa Dipo dan Ketua DPRD Kulon Progo Kasdiyono
menyetujui tuntutan wargasecara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri jika terjadi
pengingkaran di kemudian hari39.Lima bulan paska persetujuan, guna mencari kejelasan
informasi seputar mega proyek pasir besi yang serba simpang-siur, pada 4 Februari 2008,
38Wasisto Jati Raharjo, op.cit, hlm. 97-98.39Penolakan Rencana Pemerintah Melakukan Penambangan Biji Besi dalam Berita Kaum Tani, 2 Edisi II September 2007, hlm.9-10 dikutip dari AB. Widyanta.ibid. hlm 3.
17 | P a g e
sejumlah perwakilan dari PPLP melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR RI (yang
membidangi masalah energi, sumber daya mineral, ristek dan lingkungan hidup) di Senayan
Jakarta. Menurut Widodo, anggota PPLP, selama ini ternyata Komisi VII hanya memperoleh
informasi sepihak yang menyatakan bahwa tidak pernah ada masalah di lapangan dan
masyarakat telah menerima rencana proyek tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk tidak
menyetujuinya.Karenanya, Komisi VII berencana akan terjun langsung ke lapangan untuk
mengetahui kondisimasyarakat yang sebenarnya, agar tidak ada anggota masyarakat di Kulon
Progo yang dirugikan. Selain beraudiensi di Senayan, PPLP juga diterima Kedutaan Besar
(Kedubes) Australia di Jakarta untuk membicarakan persoalan yang sama40.
Sebulan berselang, pada 1-5 Maret 2008, warga Desa Bugel didukung PPLP yang
berjumlah ratusan orang, menggelar aksi pemblokiranjalan yang merupakan akses
keluarmasuknya kendaraan Pilot Project PT. Jogja Magasa Mining (JMM) menuju pantai Trisik.
Aksi yang diikuti hingga ratusan warga itu ditempuh lantaran Bupati dan Ketua DPRD Kulon
Progo ingkar terhadap kesepakatan tahun sebelumnya. Sementara warga lainnya memblokir
jalan, pada 4 Maret 2008, sebagian anggota PPLP melakukan konferensi pers di kantor LBH
Yogyakarta, yang menegaskan bahwa pelaksanaan uji coba pilot project penambangan pasir besi
di Desa Trisik dan Banaran, Kecamatan Galur, pada dasarnya melanggar prosedur. Anggota
PPLP memegang masukan dari Komisi VII DPR RI yang beberapa waktu sebelumnya
berkunjung ke sana bahwa pilot project tidak boleh dilakukan sebelum AMDAL (Analisa
Dampak Lingkungan) terbit41. Serangkaian aksi-aksi penolakan ini semakin memperjelas PPLP
sebagai lembaga gerakan sosial masyarakat petani di wilayah pesisir Kulon Progo.
Pada 3-6 Juni 2008, PPLP bertemu dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) dalam rangka investigasi yang dilakukannya di Kulon Progo. Dalam pertemuan
bersamaperwakilan PPLP dan LBH, Nurkholis selaku Anggota Subkomisi Pemantauan dan
Penyelidikan Komnas HAM, menyampaikan dua hasil kesimpulan investigasi: (1). Ada dugaan
pelanggaran HAM karena hak-hak warga mendapat informasi proyek penambangan terabaikan.
Eksekutif dan perusahaan pelaksana proyek harus mencatat hal itu; (2). Masyarakat lahan pantai
Kulon Progo terpecah dua kubu (yang pro dan yang kontra).Ada indikasi bahwa Bupati Kulon
Progo danjajarannya belum banyak berperan. Selain dua hasil investigasi itu, ditegaskan pula
40http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=152231&actmenu=36 seperti dikutip dari AB. Widyanta. ibid.41Ibid., hlm 4.
18 | P a g e
bahwa Komnas HAM akan mengerucutkan rekomendasi ke Presiden, meski tak ada jaminan
rekomendasi pasti disetujui42.
Kemudian, pada 21 Juli 2008, PPLP bersama ribuan massanya (1.500 orang) melakukan
demostrasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), dan mendesak Fakultas Kehutanan untuk
membatalkan kerjasama penelitian rehabilitasi pasca penambangan pasir besi dengan PT Jogja
Magasa Mining(JMM). Aksi demonstrasi itu terjadi lantaran UGM tidak memberikan sikap
resmi setelah PPLP mengirim surat permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali. Mengingat kerasnya
reaksi petani pantai lahan pasir untuk mendesak pembatalan penelitian tersebut, maka Rektor
UGM Soejarwadi dan Dekan Fakultas Kehutanan M. Na’iem pun akhirnya bersedia
membatalkan kerjasama penelitian itu dengan penandatangan suratpernyataan43.
PPLP kembali berunjuk rasa, pada 23- 25 Oktober 2008, guna menuntut pertanggung-
jawaban Ketua DPRD dan Bupati Kulon Progo yang pernah menandatangani pernyataan
penolakan rencana tambang pasir besi pada tanggal 27 Agustus 2007 lalu. Selaintak satu pun
anggota dewan masuk kantor, Ketua DPRD Kulon Progo, Kasdiyono, juga dikabarkan masih ada
di Jakarta untuk menghadiri pertemuan Asosiasi Ketua DPRD Kota dan Kabupaten se-Indonesia.
Sementara, Bupati Kulon Progo, Toyo Santoso Dipo, belum kembali dari tugas dinas di
Jakarta44.Perjuangan PPLP dari awal pembentukannya pada April 2006 kemudian berbanding
terbalik dengan kenyataan di lapangan. Tepat pada 4 November 2008, muncul berita di media
massa bahwa kontrak karya tambang pasir besi Kulon Progo resmi ditandatangani. Kontrak
karya antara PT. Jogja MagasaIron (JMI) yang diwakili Phil Welten, Presiden Komisaru Kutfi
Heyder dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, itu mengantongi ijin operasi selama 30
tahun45. Perjuangan mereka dari kurun 2006-2008 tidak membuahkan hasil ketika PT JMM yang
kemudian berubah nama menjadi PT Jogja Magasa Iron (JMI) mendapat kontrak karya terkait
tambang pasir besi di wilayah Kulon Progo.
42 “Komnas HAM Akan Beri Presiden Rekomendasi Soal Lahan Pasir Besi”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Presiden.Rekomendasi.Soal.Lahan.Pasir.Besi pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.47 WIB43 “UGM Batalkan Kesepakatan dengan PT JMM”, diunduh dari http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakatan.dengan.PT.JMM pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.52 WIB44 “Petani Pantai Tatap Tunggui DPR”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 22.02 WIB45“Sesepuh PPLP Sesalkan Kontrak Penambangan Pasir Besi”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.Penambangan.Pasir. Besi. Pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 10.17 WIB
19 | P a g e
Pasca diterbitkannya kontrak karya terkait izin pertambangan pasir besi kepada PT JMI,
situasi yang berkembang adalah terjadinya konflik-konflik yang melibatkan masyarakat yang
tergabung dalam PPLP dengan pihak-pihak pemerintah maupun perusahaan tambang. Pada 8
Juni 2009, enam orang warga Desa Karangsewu (Mukidi, Wagiyo, Dwi Santoso, Tukijo,
Sugiyanto dan Ponco), Kecamatan Galur, diperiksa di Markas Polisi Resort Kulon Progo atas
tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan. Sebelumnya, mereka terlibat konflik
dengan kepala dukuh III Karangsewu,Isdiyanto, menyangkut persoalan pendataan para petani
penggarap lahan pasir di kawasan yang rencananya akan dijadikan lokasi penambangan pasir
besi46. Periode waktu setelahnya, kasus-kasus kriminalitas menjadi modus bagi perusahaan untuk
menekan masyarakat.Tingkat radikalitas masyarakat Kulon Progo kemudian meningkat.
Pada 20 Okober 2009, terjadi bentrokan fisik antara petani Paguyuban Petani Lahan Pasir
Kulon Progo dengan aparatkepolisian, saat unjuk rasa menentang acara konsultasi publik
penambangan pasir besi pesisir selatan Kulon Progo. Polisi menembakkan gas air mata untuk
mengusir massa yang mulai beringas karena kecewa. Dua petani dilaporkan luka berat dan
puluhan yang lain luka ringan47. Konflik sempat mereda selama kurun waktu setahun namun
pada 17 Desember 2010, situasi pesisir selatan KulonProgo, DI Yogyakarta, tiba-tiba memanas
setelah kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA –Andal) rencana penambangan pasir
besi diterima oleh Komisi Amdal Kulon Progo. Ribuan warga yang ingin melindungi tanah
garapan, warga menutup Pilot project Idan menyandera enam dari tujuh mobil rombongan
surveyor (PT Pudipon Nusantara Makmur yang diduga rekanan PT Jogja Magasa Iron) serta
menyegel lokasi proyek percontohan tambang pasir besi di DesaKarangsewu, Kecamatan
Galur48.
Selang sepuluh hari kemudian, 27 Desember 2010, didampingi kuasa hukumnya LBH
Yogya, Petani lahan pasir Kabupaten Kulon Progo melaporkan Bupati Kulon Progo Toyo S Dipo
ke polisi. Bupati dinilai melanggar undang-undang dengan mengeluarkan izin pemanfaatan
pesisir pantai menjadi kawasan pertambangan pasir besi. Surat Keputusan Bupati bernomor 140
46 Lihat http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/09/brk,20090609-180900,id.html dikutip dari AB. Widyanta. ibid.47“Bentrok dengan Polisi, 2 Petani Kulon Progo Luka Berat”, diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Kulon.Progo.Luka.Berat pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 10.54 WIB.48“Pesisir Kulon Progo Memanas”, diunduh dari http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.01 WIB
20 | P a g e
tertanggal 11 Mei 2010 itu melanggar pasal 37 ayat 7 UU No 26 tahun 2007 tentang tata ruang
dan wilayah. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap pejabat pemerintah dilarang mengeluarkan
izin yang tidak sesuai dengan tata ruang49.
Radikalisasi warga kembali terjadi pada 9 April 2011. Warga menangkap dan
menyandera tujuh buruh bangunan di pilot project penambangan pasir besi milik PT Jogja
Magasa Iron (JMI) selama dua jam. Tujuh orang yang disandera itu adalah warga desa tetangga.
Penangkapan dan penyanderaan itu pun akhirnya berbuntut ditangkapnya Tukijo oleh Polisi
pada 1 Mei 2011. Selang dua hari penangkapan Tukijo, 3 Mei 2011, sekitar 1.500 warga
Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) mendatangi Mapolres Kulonprogo. Kedatangan warga
dengan 20 unit truk dan 50 sepeda motor tersebut menyampaikan tuntutan agar polisi
membebaskan rekan mereka, Tukidjo warga Gupit, Karangsewu, Galur yang ditangkap polisi
atas tuduhan melakukan penyanderaan terhadap 7 buruh lepas PT Jogja Magaza Iron (JMI)50.
Atas penangkapan Tukijo, LBH Yogyakarta melayangkan surat gugatan praperadilan ke
Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada 9 Mei 2011. Selain tak menunjukkan surat
identitas penangkapan, polisi yang juga telah melanggar UU No. 12 tahun 2005 tentang konvensi
internasional hak sipil politik. Tapi akhirnya, Polisilah yang memenangkan gugatan praperadilan
pada 24 Mei 2011.Sebulan berselang, sidang perdana Tukijo pun digelar pada 16 Juni 2011,
dengan materi, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum51.
Selain bentuk-bentuk tekanan yang bermodus tindak kriminal, PT JMI beserta
pemerintah juga melakukanan intimidasi kepada masyarakat untuk melepaskan kepemilikan
tanahnya kepada pihak perusahaan. Menurut Widodo, ketua PPLP setelah Supriadi, mengatakan
bahwa intimidasi-intimidasi tersebut dilakukan oleh pemerintah dan kaki tangan PT JMI.
Karena intimidasi itu juga akhirnya banyak warga melepas lahannya.Itu akibat dari gerakan akar
rumput tak mengetahui arti perjuangannya sendiri.Sejak awal warga dari Karangwuni memang
kurang solid dengan perjuangan PPLP.Ketika kami gelar acara-acara, yang datang itu-itu
49http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/12/27/brk,20101227-301838,id.html seperti dikutip dari AB. Widyanta.ibid..50“Ribuan Warga PPLP Gruduk Mapolres Kulonprogo”, diunduh dari http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulonprogo.html pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.10 WIB51“Besok Sidang Perdana Tukijo Digelar”, diunduh dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-Perdana-Tukijo-Digelar pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.15 WIB
21 | P a g e
saja.Akhirnya yang menolak melepas lahannya ya itu-itu saja52. Pola gerakan PPLP pada
akhirnya selain mendapat tantangan dari perusahaan maupun pemerintah juga mendapat
tantangan lain dari internal PPLP itu sendiri.
Keempat mekanisme contentious politics seperti yang ditulis McAdams, Tarrow, dan
Tilly telah menjadikan PPLP sebagai suatu gerakan sosial yang utuh dimana gerakannya
mencakup empat mekanisme contentious politics yakni political opportunity, mobilizing
structure, framing structure, hingga repertoir of contention.
Penutup
Dari argumen di atas dapat dilihat bahwa perlawanan petani terhadap korporasi tambang
tidak hadir dengan sendirinya. Hal itu diawali dari adanya ketegangan politik (contentious
politics) yang disebabkan dari perampasan tanah yang dimiliki oleh petani. Perampasan tanah ini
terjadi dengan klaim yang dilakukan oleh keraton atas tanah yang telah ditempati dan ditanami
petani sebagai bagian dari Paku Alamanaat Grounded (PAG). Tanah yang diklaim itu akan
dijadikan sebagai lahan konsesi tambang pasir besi, dimana perusahaan tambang tersebut juga
didirikan dan dimiliki oleh keraton. Konflik agraria ini yang menjadi sumber contentious politics
antara petani penggarap lahan pantai dengan korporasi tambang (keraton) dan pemerintah
daerah. Selain itu, sumber ketegangan politik juga dihadirkan dari dampak sosial dan ekologis
yang akan ditimbulkan dari pertambangan itu.
Dari ketegangan politik tersebut, muncul sebuah gerakan sosial yang di dalamnya dapat
kita lihat terdiri dari beberapa variabel, seperti political opportunity, struktur mobilisasi, proses
framing dan repertoire. Dinamika perlawanan petani di Kulon Progo, dapat dianalisa dengan
kerangka konseptual demikian. Berbagai mobilisasi, diskusi, aksi, dan konsolidasi merupakan
bagain dari gerakan yang dilakukan petani utnuk melawan secara total hadirnya tambang di
wilayahnya. Tujuan besar dari adanya gerakan sosial yang dilakukan oleh petani di Kulon progo
tersebut secara umum adalah untuk mempertahankan tanah sebagai ruang hidup dan sumber
penghidupannya. Di sisi lain juga untuk mempertahankan tatanan ekologis dan lingkungan dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh korporasi tambang pasir besi di lahan pesisir selatan Kulon
Progo. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi mereka yang berakal atas ekspansi kapital yang
52“Widodo: Mengabaikan Hal-Hal Kecil adalah Masalah Besar”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/04/widodo-mengabaikan-hal-hal-kecil-adalah-kesalahan-besar/ pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.29 WIB
22 | P a g e
tidak memperhatikan dampak sosial dan ekologis dari manusia yang sebenarnya sebagai subyek
pembangunan itu sendiri.
Daftar Pustaka
Sumber referensi buku:
McAdam, Doug, dkk. Dynamics of Contention. Cambridge: Cambridge University Press, 2004
Situmorang, Abdul Wahib. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007.
Snow, David A. dkk. Ideology: Frame Resonance and Participant Mobilization. Greenwich,
Conn: JAI Press, 1988
Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics 3rd Edition.
Cambridge: Cambridge University Press, 2011
Sumber referensi jurnal:
23 | P a g e
Jati, Wasisto Raharjo. “Predatory Regime Dalam Ranah Lokal: Konflik Pasir Besi di Kab. Kulon
Progo”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013
Ricklefs, Lih M. C. dalam Ahmad Nashih Luthfi, dkk. “Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat
dan yang Dilupakan”. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2009.
Yanuardi, Dian. “Commoning, Dispossession Projects and Resistance: A Land Dispossession
Project for Sand Iron Mining in Yogyakarta, Indonesia” Makalah disampaikan dalam
International Conference on Global Land Grabbing II pada 17-19 Oktober 2012.
Sumber referensi internet:
“Sejarah Perusahaan PT. JMI”, diunduh dari http://jmi.co.id/id/his.htmldiakses pada 27 April
2014 pukul 13.03
AB. Widyanta, Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan
Resolusinya), Makalah tidak diterbitkan, tanpa tahun. Diunduh dari
https://www.academia.edu/4892667/Konflik_Mega_Proyek_Tambang_Pasir_Besi_Kulon
ProgoAnatomi_Eskalasi_Resolusinya_-_AB._Widyanta diakses pada 20 Mei 2014 pukul
12.32 WIB
Anugerah Perkasa, ”Jejak Hitam Keraton di Kulon Progo”, diunduh dari
http://indoprogress.com/2014/04/jejak-hitam-keraton-di-kulonprogo/ diakses pada 2 Mei
2014 pukul 16.30 WIB
“Bertani atau Mati” diunduh dari http://selamatkanbumi.com/ID/bertani-atau-mati/ diakses pada
3 Mei 2014 pukul 05. 30 WIB
Geoge Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”, diunduh dari
http://indoprogress.com/2011/02/sg-dan-pag-penumpang-gelap-ruuk-yogyakarta/ diakses
pada 2 Mei pukul 21.36 WIB.
“Komnas HAM Akan Beri Presiden Rekomendasi Soal Lahan Pasir Besi”, diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/06/06/18353379/Komnas.HAM.Akan.Beri.Preside
n.Rekomendasi.Soal.Lahan.Pasir.Besi pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.47 WIB
“UGM Batalkan Kesepakatan dengan PT JMM”, diunduh dari
http://lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/07/22/19372035/UGM.Batalkan.Kesepakata
n.dengan.PT.JMM pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 21.52 WIB
24 | P a g e
“Petani Pantai Tatap Tunggui DPR”, diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/13543010/petani.pantai.tatap.tunggui.dprd
pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 22.02 WIB
“Sesepuh PPLP Sesalkan Kontrak Penambangan Pasir Besi”, diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/04/15173760/Sesepuh.PPLP.Sesalkan.Kontrak.
Penambangan.Pasir. Besi. Pada tanggal 19 Mei 2014, pukul 10.17 WIB
“Bentrok dengan Polisi, 2 Petani Kulon Progo Luka Berat”, diunduh dari
http://regional.kompas.com/read/2009/10/20/1311153/Bentrok.dengan.Polisi..2.Petani.Ku
lon.Progo.Luka.Berat pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 10.54 WIB.
“Pesisir Kulon Progo Memanas”, diunduh dari
http://regional.kompas.com/read/2010/12/18/0332487/Pesisir.Kulon.Progo.Memanas
pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.01 WIB
“Ribuan Warga PPLP Gruduk Mapolres Kulonprogo”, diunduh dari
http://www.krjogja.com/news/detail/82180/Ribuan.Warga.PPLP.Gruduk.Mapolres.Kulon
progo.html pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.10 WIB
“Besok Sidang Perdana Tukijo Digelar”, diunduh dari
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/06/15/88388/Besok-Sidang-
Perdana-Tukijo-Digelar pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.15 WIB
“Widodo: Mengabaikan Hal-Hal Kecil adalah Masalah Besar”, diunduh dari
http://indoprogress.com/2014/04/widodo-mengabaikan-hal-hal-kecil-adalah-kesalahan-
besar/ pada tanggal 20 Mei 2014, Pukul 11.29 WIB
25 | P a g e