Paper Pengertian Pangan Lokal Dan Ketahanan Pangan K.5
-
Upload
bayu-octavian-prasetya -
Category
Documents
-
view
48 -
download
0
Transcript of Paper Pengertian Pangan Lokal Dan Ketahanan Pangan K.5
Diversifikasi dalam Mengatasi Ketahanan Pangan
Teknologi Pengolahan Pangan Lokal
Disusun oleh:
Kelompok 5
Fajar Ali Rizki 121710101095
Maharani Sandiana Lukito 121710101102
Moh. Homsin Wahyudi 121710101105
Utiya Listy Biyumna 121710101119
Naili Mawaddatur Rahmah 121710101136
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Jember
2014
ABSTRAK
Pemenuhan akan kebutuhan karbohidrat masyarakat Indonesia sekitar 80% berasal dari beras, sehingga perlu impor beras dari negara lain. Pemerintah dapat menerapkan diversifikasi pangan untuk mengurangi kebutuhan beras. Pola pikir masyarakat dengan pola konsumsi pangan beras dapat diubah menjadi pangan lokal yang mudah didapat di lingkungan sekitar. Upaya peningkatan ketahanan pangan melalui diversifikasi pangan dilakukan tanpa mengabaikan nilai gizi pangan, sehingga dapat memenuhi AKG (Angka Kecukupan Gizi) masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.
Kata kunci: beras, pangan lokal, pola konsumsi, diversifikasi,
ketahanan pangan dan AKG.
PENDAHULUAN
Produk pangan lokal Indonesia sangat melimpah, biasanya
berkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Produk
pangan lokal dapat membantu mewujudkan ketahanan pangan
nasional dengan melakukan diversifikasi pangan. Diversifikasi
ini dilakukan dengan pengembangan terhadap pangan lokal,
sehingga mengurangi ketergantungan segala macam impor
pangan, seperti beras.
Melalui penataan pola konsumsi yang tidak tergantung
pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat
menetapkan pangan pilihan sendiri dan menaikkan pamor
pangan lokal yang berujung pada peningkatan ketahanan
pangan nasional, sehingga impor dapat diminimalisir dan
dapat menekan timbulnya eksploitasi ekonomi-politik oleh
negara eksportir.
TINJAUAN PUSTAKA
Isu Kebijakan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan peningkatan ketersediaan
pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional. Target yang
diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi pangan lokal
dengan sasaran utama yaitu komoditas pangan hasil pertanian,
seperti beras, jagung dan kedelai. Prinsip utama dalam konsep
ini meliputi peningkatan status gizi (penurunan kelaparan dan
gizi buruk). Hasil yang diharapkan yaitu manusia sehat dan
produktif (angka harapan hidup tinggi).
Aspek ketahanan pangan terdiri dari 4 aspek yaitu
ketersediaan, akses, penyerapan dan stabilitas pangan,
sedangkan status gizi merupakan hasil dari ketahanan pangan.
Bila salah satu aspek tidak terpenuhi, maka satu negara belum
dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang cukup
baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan
regional, bila akses individu untuk memenuhi pangan tidak
merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
Ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan
pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk
terbebas dari kelaparan dan gizi buruk. Konsep ketahanan
pangan bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu
tingkat kesejahteraan manusia. Oleh sebab itu, untuk
memenuhi konsep ketahanan pangan, perlu adanya
diversifikasi pangan agar ketahanan pangan di Indonesia tidak
rapuh (Ariani, 2003).
Isu Kebijakan Pemerintah tentang Diversifikasi Pangan
Fakta yang dihadapi sekarang adalah pola konsumsi
pangan nasional masih tergantung pada satu jenis tanaman
pokok, yaitu beras/padi. Berdasarkan fakta tersebut, tujuan
diversifikasi konsumsi pangan berdasarkan konsep
pembangunan berkelanjutan adalah:
a. Mengurangi Ketergantungan Impor Beras
Impor beras dilakukan karena adanya ketergantungan
permintaan pangan terhadap bahan pangan berupa beras.
Melalui diversifikasi konsumsi pangan, diharapkan
membuat pilihan bahan pangan semakin beragam, sehingga
dapat menekan ketergantungan terhadap impor beras.
b. Mencapai Pola Konsumsi Pangan Yang Tepat
Ketahanan pangan menitikberatkan pada aspek alokasi
sumber daya ke arah penggunaan yang efisien, fleksibel
dan stabil dengan memanfaatkan potensi lokal yang
tersedia. Salah satu prinsip pokok dalam pelaksanaan
diversifikasi konsumsi pangan adalah pemanfaatan atau
pengoptimalan potensi lokal, baik berupa potensi tanaman
lokal maupun sumber daya manusia.
c. Mewujudkan Pola Pangan Harapan
Pola konsumsi pangan nasional yang selama ini banyak
bergantung pada jenis beras menyebabkan harga beras
semakin cepat meningkat. Akibatnya, harga beras semakin
lama menjadi semakin sulit untuk dijangkau oleh semua
kelompok pendapatan rumah tangga. Melalui diversifikasi
konsumsi pangan diharapkan akan mampu untuk
mengalokasikan pendapatan memilih jenis komoditi
pangan yang relatif lebih terjangkau.
d. Gizi yang Terjangkau Oleh Semua Tingkat Peradaban
Diversifikasi konsumsi pangan memiliki sasaran untuk
memberikan nutrisi atau gizi yang memadai bagi pola
konsumsi rumah tangga, sehingga mampu untuk memenuhi
pola konsumsi sehat dan bergizi di masyarakat.
Upaya diversifikasi pangan sebetulnya sudah dilakukan
oleh pemerintah sejak awal tahun 50-an. Namun sampai
sekarang upaya tersebut masih sulit terwujud. Belajar dari
pengalaman, kebijakan diversifikasi pangan ke depan harus
mengacu pada aturan yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tentang Ketahanan Pangan, yaitu
memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal
serta ditetapkan oleh Menteri atau Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab sesuai
dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Pemerintah
daerah harus mempunyai komitmen yang jelas dalam
memperjuangkan pangan lokal, khususnya melalui program
penganekaragaman pangan, sehingga program ini mendapat
sambutan positif dan dapat mengakar di masyarakat. Ini
berarti keberhasilan diversifikasi pangan adalah tanggung
jawab bersama, bukan hanya pemerintah (Republik Indonesia,
2002).
Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan
Menurut UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara
cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau, sedangkan menurut USAID (1992), ketahanan
pangan adalah kondisi masyarakat pada satu yang bersamaan
memiliki akses yang cukup, baik secara fisik maupun ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam peningkatan
kesehatan dan hidup yang lebih produktif.
Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan
tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada
ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan,
sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi,
individu dan kualitas hidup. Dalam konsep ketahanan pangan,
ruang lingkupnya berbeda dengan yang lain yaitu meliputi
rumah tangga dan individu. Hal ini berarti konsep ketahanan
pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan
akses terhadap pangan pokok.
Pengertian dan Ruang Lingkup Diversifikasi Pangan
Menurut Riyadi (2003), diversifikasi pangan merupakan
suatu proses pemilihan pangan yang tidak hanya tergantung
pada satu jenis pangan, tetapi memiliki beragam pilihan
terhadap berbagai bahan pangan. Penganekaragaman pangan
ditujukan tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan akan
jenis pangan tertentu, tetapi dimaksudkan pula untuk mencapai
keberagaman komposisi gizi, sehingga mampu menjamin
peningkatan kualitas gizi masyarakat.
Diversifikasi pangan didefinisikan sebagai upaya
meningkatkan ketahanan pangan melalui penganekaragaman
pangan, pola konsumsi dan produksi tanpa mengabaikan nilai
gizi pangan. Diversifikasi konsumsi pangan diartikan sebagai
pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh
penambahan konsumsi bahan pangan non-beras. Diperlukan
adanya sosialisasi, inovasi teknologi pangan dan mengubah
pola konsumsi pangan supaya produk lokal dapat diterima
oleh masyarakat.
Pengertian dan Ruang Lingkup Pola Konsumsi
Pola konsumsi adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang
dimakan setiap hari oleh satu orang dan mempunyai ciri khas
untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Kebutuhan pola
konsumsi seseorang berbeda, tergantung dari umur dan berat
tubuhnya. Selain itu, diperlukan susunan pangan yang tepat
yaitu kandungan yang terdapat pada makanan yang
dikonsumsi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
lain-lain.
Pengertian dan Ruang Lingkup AKG
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah nilai yang
menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup
sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis, seperti
kehamilan dan menyusui (Kartasapoetra, 2003). AKG
mengacu pada persentase terbesar yaitu orang berbadan sehat
untuk mencegah difisiensi zat gizi.
Pola Konsumsi Pangan di Indonesia
Potensi ketersediaan pangan lokal Indonesia memang
sangat melimpah. Indonesia memiliki setidaknya 77 bahan
makanan lokal yang mengandung karbohidrat yang hampir
sama dengan nasi, sehingga bisa dijadikan substitusi
(Yuliatmoko, 2010). Produk pangan lokal seperti beras
cianjur, asinan bogor, talas bogor, bubur manado dan lain-lain
menyimpan potensi indigenus yang merupakan kekuatan luar
biasa (Hariyadi, 2010). Banyaknya keragaman pangan lokal
olahan, bila dikembangkan dengan baik akan memiliki nilai
ekonomi dan strategis ketahanan pangan yang dapat
diandalkan.
Masyarakat Indonesia memiliki pola konsumsi pangan
yang bisa dibilang cukup unik yaitu peran beras/nasi sebagai
sumber utama karbohidrat. Sekitar 80% dari pemenuhan akan
kebutuhan karbohidrat masyarakat Indonesia berasal dari beras
yang ditanak menjadi nasi. Hampir seratus persen tingkat
konsumsi beras di Indonesia, dimana dalam setiap tahunnya
rata-rata konsumsi beras sekitar 139 kg/orang. Hal ini sangat
bergantung pada produksi dan ketersediaan beras untuk
mencukupi kebutuhan beras yang ada. Konsumsi beras yang
tinggi juga merupakan penyebab utama tingginya prevalensi
penyakit diabetes di Indonesia. Data Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan bahwa Indonesia menduduki
peringkat keempat sebagai negara dengan prevelensi diabetes
tertinggi di dunia (Suyastiri, 2008).
Pengertian dan Ruang Lingkup Pangan Lokal
Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama
diproduksi, berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah atau
suatu kelompok masyarakat lokal tertentu. Umumnya produk
pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal dan
pengetahuan lokal pula. Di samping itu, produk pangan lokal
biasanya dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen
lokal pula, sehingga produk pangan lokal ini berkaitan erat
dengan budaya lokal setempat. Karena itu, produk ini sering
kali menggunakan nama daerah, seperti gudeg jogja, dodol
garut, jenang kudus, beras cianjur dan sebagainya (Hariyadi,
2010).
Aneka ragam pangan lokal tersebut berpotensi sebagai
bahan alternatif pengganti beras. Sebagai contoh, di Papua ada
beberapa bahan pangan lokal setempat yang telah lama
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai bahan baku
pengganti beras, seperti ubi jalar, talas, sagu, gembili dan
jawawut. Produk pangan lokal tersebut telah beradaptasi
dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun
temurun (Rauf dan Lestari, 2009). Selain di Papua, beberapa
pangan lokal yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
bahan pengganti beras adalah jagung di Madura dan
Gorontalo.
Produk pangan lokal Indonesia sangat melimpah. Biasanya,
produk pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya
masyarakat setempat. Oleh karena itu, produk-produk ini
kerap kali juga menyandang nama daerah, sebagai misal,
dodol garut, jenang kudus, gudeg jogja, dan lain-lain.
Beraneka ragam dan jumlah yang sangat besar dari produk
pangan lokal tersebut, tentu sangat potensi dalam mewujudkan
kemandirian pangan nasional. Terwujudnya kemandirian
pangan suatu daerah atau negara, dengan sendirinya akan
mempercepat tercapainya ketahanan pangan nasional.
Namun demikian, hingga saat ini, produk pangan lokal
belum mampu menggeser beras dan tepung terigu yang
mendominasi makanan di Indonesia. Salah satu penyebabnya
adalah rendahnya inovasi teknologi terhadap produk pangan
lokal. Kalaupun mulai ada kreasi terhadap produk pangan
lokal, seperti Cassava Vruitpao (bakpao yang terbuat dari
singkong), steak kampung Mucuna Crspy (steak berbahan
baku kara benguk), rasi (nasi dari singkong), brownies dari
singkong, dan lain-lain. Namun, jumlahnya masih dirasakan
sangat terbatas, sehingga pangan lokal belum mampu menarik
minat konsumen untuk mengkonsumsinya. Di sisi lain, di era
globalisasi saat ini, permintaan konsumen akan produk pangan
terus berkembang. Konsumen tidak hanya menuntuk produk
pangan bermutu, bergizi, aman, dan lezat, namun juga sesuai
selera atau bahkan dapat membangkitkan efek gengsi atau
berkelas bagi yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu,
inovasi atau kreasi terhadap produk pangan tidak hanya
terfokus pada mutu, gizi, dan keamanan semata. Namun aspek
selera konsumen (preferensi) juga patut dipertimbangkan.
Di sisi lain, pangan lokal atau pangan tradisional dapat
berperan sebagai survival strategi bagi masyarakat golongan
ekonomi lemah dalam sistem ketahanan pangan. Pola pangan
tradisional dapat menjadi pelengkap makanan pokok selain
beras. Adanya penggunaan bahan lokal yang biasanya lebih
terjamin ketersediaanya sebagai makanan pokok yang murah
dan dapat dijangkau oleh masyarakat setempat dan berdampak
pada penambahan pendapatan riil rumah tangga (Lestari, dkk,
2007).
Contoh Diversifikasi Bahan Pangan Umbi
Salah satu dari pengembangan pangan lokal adalah
pemanfaatan umbi-umbian menjadi produk-produk pengganti
beras. Sampai saat ini pemanfaatan ubi kayu di Indonesia masih sangat
terbatas. Menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi
Jawa Tengah bahwa konsumsi energi beberapa kelompok
pangan belum mencapai standar, termasuk konsumsi umbi-
umbian baru mencapai 100,51 kkal/kap/th pada tahun 2011.
Pemanfaatan ubi kayu sebagian besar diolah menjadi
produk setengah jadi berupa pati (tapioka), tepung ubi kayu,
gaplek dan chips. Produk olahan yang lain adalah tape, getuk,
tiwul dan lain-lain, padahal kandungan pati ubi kayu yang
tinggi merupakan potensi besar untuk dikembangkan menjadi
produk yang lebih bernilai ekonomi tinggi, terutama dari
varietas pahit dengan kandungan HCN di atas 100 ppm.
Usaha diversifikasi dalam pengolahan ubi kayu yang lain
adalah mokaf atau tepung ubi kayu yang dibuat dengan cara
fermentasi sebab pengolahan ubi kayu menjadi tepung ubi
kayu/tepung gaplek masih menyisakan bau yang kurang
diminati oleh industri pangan, sehingga perlu modifikasi baik
secara fisik (pengaruh suhu dan tekanan), kimiawi (secara
hidrolisis asam atau basa) maupun biologi (dengan proses
fermentasi) untuk mengubah karakteristik tepung atau pati ubi
kayu. Pengolahan dalam bentuk tepung memberikan banyak
manfaat, diantaranya dapat diperkaya dengan vitamin dan
mineral, mudah menyimpannya, awet, fleksibel dalam
pengolahannya, penyajiannya dapat disesuaikan dengan selera
masyarakat dan dari segi kuliner dapat ditingkatkan variasi
cara mengolah untuk menghasilkan aneka ragam makanan sesuai selera
modern. Pengolahan tepung-tepungan juga menjadi salah satu
prioritas program kementrian pertanian dalam rangka percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal
(Lestari, dkk, 2007).
KESIMPULAN
Ketahanan pangan suatu daerah/negara dapat diketahui dari
tingkat tercapainya ketersediaan pangan bagi seluruh
masyarakat. Ketersediaan pangan tidak hanya cukup, namun
juga harus aman dan memenuhi AKG. Diversifikasi pangan
perlu dilakukan untuk menekan ketergantungan impor beras
dan untuk mengembangkan tingkat konsumsi pangan lokal
yang relatif banyak tingkat ketersediaannya di daerah dan
pengolahannya dapat disesuaikan dengan cara pengolahan
daerah setempat. Untuk mengembangkan pola konsumsi
pangan lokal di Indonesia, dapat dilakukan dengan cara
mengubah pola konsumsi masyarakat, inovasi teknologi
pangan lokal dan sosialisasi pemahaman produk baru,
sehingga produk pangan lokal yang dihasilkan menarik minat
konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M.A. 2003. Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Pangan di Indonesia. Bogor : Forum Agro Ekonomi.
Hariyadi, P. 2010. Penguatan Industri Penghasil Nilai Tambah Berbasis Potensi Lokal. Jurnal PANGAN. Vol. 19 (4): 295-301.
Kartasapoetra, G. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta. Rineka Cipta.
Lestari, A., Maksum, M., dan Widodo, K. 2007. Peran Makanan Tradisional Berbahan Baku Ubi Kayu Terhadap Sistem Ketahanan Pangan di Tinjau dari Perspektif Ekonomi Rumah Tangga. Jurnal AGRITECH. Vol. 27 (1).
Rauf, A.W dan Sri Lestari,M. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal Sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 28 (2).
Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002. Ketahanan Pangan. Jakarta.
Riyadi. 2003. Diversifikasi Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Suyastiri, N. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 13: 51-60.
United States Agency for International Development. 1992. USAID Policy Determinantion. Washington: USAID.
Yuliatmoko, W. 2010. Inovasi Teknologi Produk Pangan Lokal Untuk Percepatan Ketahanan Pangan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.