KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

of 114 /114
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN (Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat ) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh MUHAMAD FADILAH NIM. 1112015000039 JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Embed Size (px)

Transcript of KEARIFAN LOKAL SEBAGAI KETAHANAN PANGAN

(Studi Kasus : Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat)
SKRIPSI
Oleh
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 Kearifan Lokal Sebagai Ketahanan Pangan (Studi kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Skripsi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Kebiasaan menyebabkan semakin beragam konsumsi jenis makanan pokok. Community-based food system (Sistem makanan pokok berbasis komunias/masyarakat ) menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsian kearifan lokal sebagai upaya mempertahankan ketahanan pangan. Penelitian ini dilakukan di kampung adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimai Selatan, Kota Cimahi. Pengambilan sampel menggunakan teknik Pursposive Sampling. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dan pendekatan emik. Instruemen pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi partisipan dan dokumentasi. Data hasil penelitian dianalisis melalui tiga tahapan yaitu open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian ini menunjukan nilai Kearifan lokal di kampung Cireundeu dalam mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok bermanfaat sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan kesejahteraan pangan dan ketahanan pangan di masyarakat Masyarakat dan kebudayaan Cireundeu memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara satu sura.
Kata Kunci : Kampung Adat Cireundeu, Kearifan Lokal, Ketahanan Pangan
ii
Abstract Muhamad Fadilah, NIM: 1112015000039 The Local Wisdom As An Effort To Keep The Food Security (Case Study : Cireundeu Village, Leuwigajah, South Cimahi, Cimahi City, West Java). Thesis : Social Science Department, Faculty of Tarbiyah and Education, , Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta.
Everyone or ethnic group had a differnt way to consume based food depend on their habit. This habit caused variety of based food. Community-based food system offer the people opportunity to increase daily income, life quality, product capacity and a opportunity to keep the food security. This study aims to find out the local wisdom as effort to keep the food security in Cireundeu Village, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Cimahi City. The sampling was done by purposive sampling technic. The method used was qualitative research with Emik approach. The instrument used were deep interiew, participan observation and docmentation. The data were analyzed by three stage that was open coding, axial coding, and selective coding. The result shows that the local wisdom value in cireundeu village that consume cassava as based food had benefit to increase prosperity and food security.Cireundeunese have characteristic that are Rasi as based food and Satu Sura Ceremony.
Key word: Cireundeu Village, Local Wisdom, The Food Security
iii
Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Kearifan Lokal Sebagai Ketahanan
Pangan (Studi Kasus : Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat). Shalawat dan salam
senantiasa menyelimuti Rasulullah SAW tercinta beserta keluarga, sahabat dan
para pengikutnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi
strata satu (S1) untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan (S.Pd) yang diajukan
kepada Fakultas Ilmut Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarya, dan untuk menerapkan dan mengembangkan teori-teori yang penulis
peroleh selama kuliah
Selanjutnya dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat
perhatian dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan pelaksanaan ini. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengetahuan Sosial.
4. Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A. selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama mengikuti perkuliahan.
5. Prof. Dr. Ulfah Fajarini, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I Jurusan IPS
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
iv
6. Dr. H. Nurochim, MM selaku Dosen Pembimbing II Jurusan IPS FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada penulis selama penulisan skripsi.
7. Seluruh Dosen yang berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
khususnya Dosen Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial yang memiliki peran sangat
besar bagi saya dalam proses perkuliahan.
8. Seluruh staf Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
bekerja dengan baik melayani mahasiswa.
9. Abah Emen sebagai ketua adat serta seluruh masyarakat kampung adat
Cireundeu yang telah memberikan izin penelitian dan membantu peneliti
selama menjalankan penelitian ini.
10. Orang tua, Subandi dan Karyati yang penulis sangat cintai karna telah
membesarkan dan mendidik sampai saat ini.
11. Keluarga, Kholilah, Maisapri, Tina Hasanah, dan seluruh keluarga besar
penulis yang banyak membantu baik secara moril ataupun materil semasa
menjalani kuliah.
12. Dhuhana Putri Ramadhani, yang senantiasa memberikan motivasi, semangat,
do’a, serta selalu bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga urusan kita
diperlancar.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan, Ikhsan Tila Mahendra, Mega Dhaniswara A.,
Fikry Kautsar A., Sheila Muria P., Aida Sri Rahayu, Hanni Khairunisa,
Ardhana Erviani, Nita Chairunnisa, dan Nurits Nadia K. yang selalu
menemani serta saling mendukung penulis selama masa perkuliahan.
14. Afif NDS dan Zakiah Noor Nasution sahabat sejak masa MAN yang
mendukung penuh penulisan karya ilmiah ini.
15. Febriani Ramadhana teman yang selalu membantu dan memberi masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
16. Rizky Maulana, Amry Al Mursalaat, Maulana Yusuf, Abdurrohman, dan Nia
teman berbagi suka dan duka selama masa perkuliahan.
v
angkatan 2012 semoga kita dapat meraih kesuksesan kedepannya.
18. Rekan-rekan Guru SD Islam Al-Amjad, khususnya Dra. Hj. Nurlaelah
sebagai kepala SD Islam Al-Amjad yang selalu mendukung penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
19. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan skripsi ini. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan
memberikan informasi relevan yang dibutuhkan juga sebagai bahan perbandingan
untuk pembuatan laporan kedepannya.
Penulis,
E. Tujuan Penelitian............................................................................. 5
2. Potensi Kearifan Lokal................................................................ 9
4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan ........................................... 12
5. Nilai-Nilai Budaya .................................................................... 13
B. Ketahanan Pangan .......................................................................... 19
vii
D. Kerangka Berpikir .......................................................................... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1. Tempat Penelitian ..................................................................... 39
F. Analisis Data .................................................................................. 46
A. Hasil Penelitian ............................................................................. 50
Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun 2014.................... 39
Tabel 3.2 Indikator Pedoman Wawancara...................................................... 48
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Sex Ratio dan Kepadatan
Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi Selatan
Tahun 2014.................................................................................... 51
Tabel 4.2 Jumlah RW, RT, Ketua RT, Karang Taruna dan Anggota
Karang Taruna Menurut Kelurahan di Kecamatan Cimahi
Selatan Tahun 2014 ....................................................................... 52
di Kecamatan Cimahi Selatan Tahun 2014..................................... 55
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Meurut Agama dan Kelurahan di Kecamatan
Cimahi Selatan Tahun 2014………………………………………59
ix
Gambar 4.1 Warga sedang membersihkan ladang singkong ............................. 54
Gambar 4.2 Bale Sara Sehan tampak dari luar.................................................. 55
Gambar 4.3 Bale Sara Sehan tampak dari dalam .............................................. 56
Gambar 4.4 Ais Pangampih ialah Bapak Widi.................................................. 57
Gambar 4.5 Ketua RT Bapak Jajat .................................................................. 58
Gambar 4.6 Singkong yang telah digiling kemudian dijemur ........................... 62
Gambar 4.7 Makanan olahan dari singkong...................................................... 64
Gambar 4.8 Rasi yang sudah dimasak .............................................................. 66
Gambar 4.9 Rasi yang siap dikonsumsi sebagai makan pokok.......................... 67
x
Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian………………………….. 96
Lampiran 10 Surat Keterangan Penelitian………………………………... 97
Lampiran 11 Surat Keterangan Penelitian ……………………………….. 98
Lampiran 12 Lembar Uji Referensi………………………………………. 99
1
1
Pemenuhannya pun telah dijamin oleh negara dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28H ayat 1. Kebutuhan pangan dikatakan kebutuhan fundamental karena
jika tidak terpenuhi, maka kehidupan seseorang dapat dikatakan tidak layak.
Pemenuhan akan pangan sangat penting karena menentukan kualitas dari sumber
daya manusia.
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Fokus dari ketahanan pangan ini tidak hanya penyediaan pangan tingkat
wilayah akan tetapi termasuk tingkat rumah tangga dan individu. Permasalahan
ketahanan pangan merupakan permasalahan yang multidimensi, meskipun tidak
ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan
pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada 3 dimensi yang
berbeda, namun saling berkaitan, yaitu: 1) Kesedian pangan; 2) akses pangan
oleh rumah tangga; dan 3) pemanfaatan pangan oleh individu
Hasil penelitian Somaratme di Srilanka menyatakan bahwa kerentanan dan
ketahanan pangan di masyarakat banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial,
budaya, dan lingkungan sosial. Hubungan sosial di antara masyarakat sering
2
memainkan peran kunci dalam menjaga ketahanan pangan. Berbagi makanan dan
tidak membiarkan orang lain kelaparan merupakan nilai budaya yang kuat dan
tumbuh dibanyak masyarakat. Aspek sosial tersebut harus dipertimbangkan
dalam pengukuran ketahanan pangan.
perbedaan pola makan. Setiap masyarakat atau suku mempunyai kebiasaan
makan berbeda sesuai kebiasaan yang dianut. Kebutuhan makan bukanlah satu-
satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, disamping itu ada kebutuhan
fisiologis, seperti pemenuhan gizi ikut mempengaruhi. Setiap strata atau
kelompok sosial masyarakat mempunyai pola tersendiri dalam memperoleh,
menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari strata atau
kelompok sosial masing-masing.1 Hal ini menyebabkan semakin beragam
konsumsi jenis makanan pokok. Komunitas-komunitas di Indonesia telah
mengembangkan berbagai makanan pokok seperti sagu, jagung, ketela pohon,
dan ubi jalar. Berbagai jenis tanaman itu tumbuh dan tersedia sepanjang tahun di
berbagai keadaan lahan dan musim. Sejak dulu secara turun-temurun masyarakat
desa terbiasa memanfaatkan sumber-sumber pangan yang beragam itu sebagai
basis pemenuhan kebutuhan pangan pokok sehari-hari maupun sebagai camilan.
Keragaman pangan juga mengandung keragaman nutrisi, bahkan diantara
tanaman pangan itu berkhasiat obat. Sistem pangan lokal inilah yang menjadi
andalan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dan mengatasi ancaman
dari bahaya kelaparan atau krisis pangan.2
Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang
sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas.
Sistem komunitas pangan (community based food systems) memiliki peran
1 Suhardjo, Sosio Budaya Gizi, (Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, 1989).
2 Witoro, “Menemukan kembali dan Memperkuat Sistem Pangan Lokal”, Makalah Lokakarya disampaikan Pad Forum Pendamping Petani Regio Gedepahala, Kampung Pending, Sukabumi, 2-24 September 2003.
3
system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat
meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan kapasitas untuk
memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat
menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang. Salah satu
komunitas yang tetap melestarikan tradisi pangan berbasis pangan lokal adalah
kampung adat Cirendeu, kelurahan Leuwigajah, kecamatan Cimahi Selatan, kota
Cimahi, Jawa Barat. Komunitas ini memiliki tradisi mengkonsumsi singkong
sebagai makanan pokok. Tindakan sosial yang melandasi masyarakat Cireundeu
memilih singkong sebagai makanan pokok, pola tindakan sosialnya mengarah
kepada dua pola, yaitu tindakan sosial rasionalitas instrumental dan tindakan
sosial tradisional. Pola tindakan rasionalitas instrumental, yaitu tindakan
individu-individu di masyarakat yang diarahkan kepada suatu tujuan berdasarkan
kriteria tertentu dalam menentukan suatu pilihan.3 Dalam konteks ini tindakan
masyarakat kampung adat Cireundeu pada awalnya sebagai bentuk adaptasi
terhadap lingkungan geografis yang berbukit-bukit serta lahan kering, selain itu
untuk memenuhi sumber pangan singkong yang bisa dipanen dan mudah diolah.
Tipologi tindakan sosial kedua adalah tindakan tradisional, yaitu tindakan yang
dilakukan berulang-ulang dan telah berlangsung secara turun temurun.
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam
kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya
bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik.4
3 Amir Fadhilah & Badri Yatim, “Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Ketahanan Pangan Masyarakat : Studi Kasus pada Masyarakat Kp. Cireundeu Kelurahan Leuwi Gajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat, Desa Molamahu Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo , Komunitas Baduy Desa Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten”, Laporan Penelitian Kompetitif, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2009).
4 Sediaoetama AD., Imu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, (Jakarta : Dian Rakyat,1999).
4
biokimia, tetapi makanan dapat dilihat sebagai gejala budaya. Gejala budaya
terhadap makanan dibentuk karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya.
Suatu kelompok masyarakat melalui pemuka ataupun mitos-mitos (yang beredar
di masyarakat) akan mengijinkan warganya memakan makanan yang boleh
disantap dan makanan yang tidak boleh disantap.5 “Ijin” tersebut menjadi
semacam pengesahan atau legitimasi yang muncul dalam berbagai peraturan
yang sifatnya normatif. Masyarakat akan patuh terhadap hal itu. Munculnya
pandangan tentang makanan yang boleh dan tidak boleh disantap menimbulkan
kategori “bukan makanan” bagi makanan yang tidak boleh disantap.
Hal itu juga memunculkan pandangan yang membedakan antara nutrimen
(nutriment) dengan makanan (food). Nutrimen adalah konsep biokimia yaitu zat
yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang
memakannya. Sedang makanan (food) adalah konsep budaya, suatu pernyataan
yang berada pada masyarakat tentang makanan yang dianggap boleh dimakan
dan yang dianggap tidak boleh dimakan dan itu bukan sebagai makanan.6
Kategori terhadap makanan yang muncul adalah makanan yang boleh dimakan
dan makanan yang tidak boleh dimakan. Kategori tersebut berasal dari latar
belakang budaya masyarakat yang mengijinkan orang untuk memakan makanan
tertentu. Latar belakang budaya dapat berasal dari pandangan tradisional atau
adat istiadat, pandangan hidup (way of life) ataupun agama. Memakan makanan
yang diijinkan berarti patuh dan taat pada norma budaya yang ada, tetapi
sekaligus membawa “keselamatan” bagi dirinya agar tidak berada pada jalan
sesat atau melakukan pelanggaran. Makanan yang tidak boleh dimakan berarti
makanan tersebut dianggap sebagai makanan yang tidak sepatutnya dimakan
5 Irmayanti Meliono Budianto, “Dimensi Etis Terhadap Budaya Makan dan Dampaknya pada Masyarakat”, Jurnal Makara sosial Humaniora, Vol. 8 No. 2, Agustus 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
6 Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, Antropologi Kesehatan, Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, (Jakarta: UI Press,1986).
5
(haram) karena tidak dijinkan oleh norma budaya yang ada dan agama. Orang
akan tidak bahagia atau keselamatan terancam karena memakan makanan yang
seharusnya tidak boleh dimakan.
Mengacu pada pemikiran di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat lebih
jauh mengenai kearifan lokal yang mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat
di Kampung Adat Cirendeu, dengan judul: ”Kearifan Lokal sebagai
Ketahanan Pangan”. Adapun kajian ini adalah : (1). untuk memahami konsep
kearifan lokal dan relevensinya dalam membentuk budaya pangan lokal
masyarakat pedesaan di Indonesia (kasus Desa Cirendeu). (2). Untuk membahas
peran dan fungsi kearifan lokal dalam membentuk budaya pangan lokal.
B. Fokus Masalah
3. Nasi singkong sebagai makanan pokok
C. Pembatasan Masalah
Nasi singkong sebagai salah satu kearifan lokal dalam ketahanan pangan
D. Rumusan Masalah
kebutuhan pangan?
kearifan lokal
2. Mengapa singkong yang dijadikan makanan pokok sebagai pengganti nasi
F. Manfaat Penelitian
a. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
referensi atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan tentang
kearifan lokal yang ada di Indonesia.
b. Bagi peneliti lebih lanjut, dapat dijadikan referensi dalam mengembang-
kan budaya masyarakat suatu daerah untuk masyarakat lain.
2. Manfaat Praktis
pengganti nasi sebagai makanan pokok.
b. Bagi pemerintah diharapkan dapat menjadikan masukan dalam menjaga
ketahanan pangan di Indonesia.
berbagai sumber dan para ahli serta memiliki prespektif yang berbeda.
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan dan lokal, kearifan
sepadan dengan kebijaksanaan, seperti halnya seorang filsuf yang
mencintai kebijaksanaan, sedangkan istilah lokal berarti setempat, istilah
menunjuk kepada kekhususan tempat atau kewilayahan karena itu kearifan
lokal dapat dipahami sebagai kebijakan setempat dalam masyarakat
multikultural, masing-masing kelompok mempunyai kebenaran masing-
masing karena itu, kita lihat bahwa kearifan lokal itu akan bersifat relatif
terhadap kearifan lokal lainnya.1
nilai-nilai yang dimiliki komunitas masyarakat tertentu. Sejalan dengan itu,
Haidlor mengatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai suatu
budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang
berulang ulang, melalui internalisasi dan interpretasi melalui ajaran agama
dan budaya yang sosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan
pedoman dalam kehidupan masyarakat. 2 Sedangkan menurut Caroline
Nyamai-Kisia, “kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang
1 Mikka Wildha Nurochsyam, Tradisi Pasola antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”. Dalam Ade Makmur, (ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, (Jakarta:Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Republik Indonesia, 2011), h.86.
2 Haidlor, “Kearifan Lokal Sebagai Landasan Pembangunan Bangsa”, Jurnal Multicultural dan Multireligius, Vol 9 2010, h.5.
8
tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
budaya sekitarnya”.3
Dalam hal ini, Suhartini mengatakan bahwa kearifan lokal
merupakan warisan-warisan nenek moyang dalam tata nilai kehidupan
yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Kearifan lokal
juga adalah proses adaptif keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap
lingkungan yang ada di masyarakat yang diwariskan secara turun menurun
dan menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam dan
lingkunganya, yang diketahui sebagai kearifan lokal, suatu masyarakat.
Dan melalui, “keraifan lokal ini masyarakat bisa mampu bertahan mampu
menghadapi berbagai krisis yang menimpanya.”4 Selain itu, Suhartini pun
mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat
(lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.5
Menurut Permana Kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap
situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.
Kearifan lokal juga dapat diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.6
3 Pasopati Media Group Bondowoso, “Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia”, ,(www.passopatifm.com), 2013.
4 Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Penggelolan Sumber Alam dan Lingkungan,” Makalah disampaikan pada Seminar, Pendidikan dan Penerapan MIPA, FMIPA Universitas Negeri (Yogyakarta, Yogyakarta, 16 Mei 2009).
5 Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. Jurnal Filsafat, 2004. h, 111.
6 Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengatasi Bencana, (Jakarta: Wedatama Widia Sastra, 2010).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kearifan berarti
kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam
berinteraksi. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau
pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda
dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang
mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal.7
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa kearifan
lokal juga disebut juga proses adaptif, terhadap lingkungan dan
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi
berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat .
2. Potensi keungulan Kearifan Lokal
Potensi keungulan kearifan lokal diinspirasi dari berbagai sumber
yang dimiliki setiap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, hal-hal
tersebutlah yang menjadi adanya sebuah keungulan yang dimiliki
kelompok tertentu sesuai dengan daerah masing-masing. Menurut,
“Akhmad Sudrajat, konsep pengembangan keunggulan lokal diinspirasi
dari berbagai potensi, “yaitu potensi sumber daya alam (SDA), sumber
daya manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis.”8 Berikut adalah
penjelasan beberapa jenis potensi:
a. Potensi Sumber daya alam, adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan hidup, contohnya bidang pertanian ialah padi, jagung,
buah-buahan, sayuran-sayuran, dan lain sebagainya; bidang
7 MuinFahmal, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, (Yogyakarta: UII Press, 2006).
8 Jamal Ma’ mur Asmani, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, (Jakarta: DIVA Press, 2012), h. 32-39.
10
bidang perternakan misalnya unggas, kambing, sapi, dan lain
sebagainya. bidang perikanan, seperti ikan laut dan tawar, rumput laut,
tambak, dan lain-lain.
serta mampu mendayagunakan potensi alam sekitarnya secara
seimbangan dan berkesinambungan, pengertian adaptif artinya mampu
menyesuaikan diri terhadap tantangan alam, perubahan IPTEK, dan
perubahan sosial budaya. Bangsa Jepang, karena biasa diguncang
gempa, sehigga cara hidup dan sistem arsitektur yang dipilih
diadaptasikan dari resiko menghadapi gempa, keraifan lokal semacam
ini juga dipunyai di berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan
tranformatif artinya mampu memahami, menerjemahkan, serta dari
kontak sosialnya dan dengan fenomena alam, bagi kemasalahatan
dirinya dimasa depan, sehingga yang berkembang berkesinambungan.
c. Potensi Geografis. Tidak semua objek geografi menjadi dan fenomena
geografis berkaitan dengan konsep keunggulan kearifan lokal, sebab,
keunggulan lokal dicirikan nilai guna fenomena geografis bagi
penghidupan dan kehidupan yang memiliki, dampak ekonomis, dan
pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya
angin yang merupakan cuaca dan iklim sebagai fenomena geografis di
atmosfer.
d. Potensi budaya. Budaya adalah sikap, sedangkan sumber sikap adalah
kebudayaan. Agar kebudayaan dilandasi dengan sikap baik,
masyarakat perlu memadukan antara idealisme dengan realisme, yang
pada hakikatnya merupakan perpaduan antara seni dan budaya. Ciri
11
lain merupakan sikap menghargai kebudayaan daerah sehingga
menjadi keunggulan lokal.
potensi sejarah dalam bentuk peninggalan benda-benda purbakala
maupun tradisi adat istiadat yang masih dilestarikan hingga saat ini.9
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa kelima potensi di atas
menjadi sumber utama dalam menentukan keunggulan lokal yang di
miliki setiap komunitas-komunitas tertentu sesuai dengan daerahnya
masing-masing.
Sebelum adanya hukum negara dengan segala perangkatnya.
Masyarakat melewati beberapa fase yang merupakan juga sebuah fase
berlakunya hukum-hukum sebelumnya, baik sebagai sumber hukum dalam
bermasyarakat ataupun untuk pribadi. Menulusuri sejarah peradaban
manusia membawa kita kepada empat era, “yang pertama merupakan
zaman kebangkitan logos yang meninggalkan takhayul dan mistisme,
Kedua zaman medieval yang di dominasi oleh gereja, dimana akal
dijadikan budak perempuan keimanan, Ketiga era kebangkitan kembali
rasionalisme dan empirisme dan kombinasinya. Keempat, adalah era
kesadaran dimana kita merasa perlu untuk menggali kembali pemikiran-
pemikiran filosofis yang diharapkan akan memanusiakan manusia.”10
Sedangkan menurut Auguste Comte, “Membagi perkembangan masyarakat
dalam arti lembaga kemasyarakatan disesuaikan dengan tahap
9 Ibid. h. 32-39. 10A Mappadjantji Amien, Kemandirian Lokal konsepsi pembangunan, organisasi, dan pendidikan
dalam prespektif Sains Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2005), h. 2-3.
12
manusia yaitu tahap teologis, tahap metafisis, tahap positifistis.” 11
Jadi sebelum adanya hukum formal masyarakat desa atau adat
memakai hukum adat atau kebudayaan sebagai sumber hukum.
Keberadaan sumber daya alam dimaksud diyakini telah lahir mendahului
negara, demikian pula masyarakat telah ada sebelum negara berdiri.
Dengan demikian “potensi penggelolan sumber daya alam berdasarkan
budaya lokal telah dilakukan oleh masyarakat sebelum negara berdiri.”12
4. Kearifan lokal sebagai kebudayaan
Pada penjelasan sebelumnya, salah satu potensi kearifan lokal adalah
sebagai budaya itu dikarnakan kearifan lokal terjadi karna adanya
kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat.
Menurut Rusmin Tumanggor, kebudayaan adalah idea berupa model-
model pengetahuan yang dijadikan landasan atau acuan oleh seseorang
sebagai anggota masyarakat melakukan aktifitas sosial, menciptakan materi
kebudayaan dalam unsur budaya universal: agama, ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta
kesenian.13 Kebudayaan itu muncul atas adanya kesepakatan bersama antar
individu dalam masyarakat tersebut. Kebudayaan menyangkut keseluruhan
aspek kehidupan manusia baik material maupun non material.14
Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan
tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur
11Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo persas 2005), h. 349- 350.
12 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan lokal Revatalisasi Hukum Adat Nusantara ,(Jakarta: Grasindo 2005), h. 2.
13 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Grup, 2015), h.25.
14 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, h. 81.
13
dipisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah manusia itu
sendiri. Sekalipun manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya
tidak akan mati dan akan diwariskan pada keturunannya, demikian
seterusnya. Pewarisan kebudayaan manusia, tidak selalu terjadi kepada
anak-cucu mereka, melainkan kepada manusia yang satu dapat belajar
kebudayaan dari manusia lainnya atau dengan kata lain kebudayaan
tersebut dapat dipelajari oleh manusia lain yang tidak memiliki hubungan
kekerarabatan yang dekat dengan mereka atau tidak memiliki hubungan
darah.
bersama antar individu dalam masyarakat sebagai proses adaptasi terhadap
alam dan lingkungannya yang dilakukan oleh manusia dalam rangka untuk
dapat bertahan hidup.
5. Nilai-nilai Budaya
Karna itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga
(nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis),
religious (nilai agama).16
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan
masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe),
simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan
15 T.O Ihromi, pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), h.18. 16 Elly M. Setiadi, Op. Cit., h. 31.
14
lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi
atau sedang terjadi.17
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.18
Sekurang-kurangnya ada enam nilai budaya yang amat menentukan
wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai
masyarakat, yaitu:
benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.
2) Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar
kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang
senantiasa maju disebut aspek progresif dari kebudayaan.
3) Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
dedudukan dan ketakziman kepada yang Maha gaib, maka manusia
mengenal nilai agama.
4) Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika
dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal
nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama
17 “Nilai-Nilai Budaya”, Diakses pada 14 Oktober 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Nilai- nilai_budaya.
18 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h.87.
15
kebudayaan.
5) Nilai kuasa. Manusia merasa puas jika orang lain mengikuti
pikirannya, norma-normanya, dan kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilai kuasa.
6) Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta,
persahabatan, dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan
merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilai solidaritas. 19
dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.20 Zulkarnain dan Febriamansyah
menyatakan kearifan lokal berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu
yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan
dalam bentuk sistem nilai dan norma adat.21
Adat istiadat termasuk ke dalam wujud kebudayaan yang bersifat
abstrak, karena adat istiadat berisi gagasan, ide-ide atau peraturan yang
dituangkan melalui tulisan, adat berfungsi untuk mengatur mengendalikan
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Berikut beberapa pengertian tentang adat-istiadat dari
beberapa sumber:
19 Rusmin Tumanggor, Op.Cit, h. 142. 20 Departemen Sosial RI, Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, 2006. 21 Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan 1, 2008, h. 72.
16
Adat istiadat secara umum dapat dikatakan bahwa kata adat itu berarti keseluruhan bentuk kelakuan (behavior) yang diwarisi turun-menurun (tradition) oleh satu kumpulan. Kata istiadat dapat diartikan sebagai kegunaan dan cara sesuatu adat itu dipakai. Jadi secara singkat dapatlah kita simpulkan pengertian adat istiadat itu sebagai bentuk keseluruhan bentuk kelakuan turun–menurun cara dan kegunaannya pada satu kumpulan masyarakat.22
Dalam kamu besar bahasa Indonesia, adat istiadat diartikan sebagai aturan tentang perbuatan atau kelakuan yang lazim diikuti atau dilakukan sejak dahulu kala, yang sudah menjadi kebiasaan turun menurun antar generasi sebagai warisan sehingga integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Ada termasuk wujud gagasa kebudayaan yang terdiri atas nilai nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dan yang lainya berkaitan menjadi satu sistem.23
Berdasarkan uraian di atas yang terkait dengan adat istiadat adalah
nilai-nilai yang abstrak yang didalamnya mengandung nilai-nilai yang
merupakan sumber hukum atau tata kelakuan yang dijalani seseorang
dalam sebuah kesatuan hidup dalam kelompok masyarakat sama seperti
kearifan lokal yang merupakan tata-cara perilaku dalam sebuah kesatuan
kelompok masyarkat.
diketahui sebagai perilaku sosial masyarakat lokal dalam berinteraksi dan
berinterelasi dengan kehidupannya. Perilaku sosial dalam kaitannya dengan
lingkungan paling tidak terdiri dua dimensi, yaitu: pertama, bagaimana
karakteristik dan kualitas lingkungan mempengaruhi perilaku social
22 Ikhtisar budaya ( Bandar Sri Begawan: Dewan bahasa dan kebudayan kementian kebudayaan, 1976), h. 7.
23 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka)
17
karakteristik dan kualitas lingkungan.24
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu.25
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tradisi merupakan kebiasaan
kolektif dan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Tradisi merupakan
mekanisme yang dapat membantu memperlancar perkembangan pribadi
anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju
kedewasaan. Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama
di dalam masyarakat. Jika tradisi bersifat absolut, nilainya sebagai
pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai
pembimbing, melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karna itu,
tradisi yang kita terima perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan
dengan zaman.26
pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah
dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan
tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan
bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan
manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan.
25 Ridwan N,“Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, 2007, http://ibda.files.wordpress.com /2008/04/2- landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf. diakses 12 Januari 2016. 26 Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.12-13.
yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai
antitesis atau perubahan sosial budaya dan modernisasi. Kearifan lokal
produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam
arti luas.
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan
karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan
melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata
nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata
lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup
mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang
mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah
sebagai berikut :
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
19
B. Ketahanan Pangan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu ketahanan pangan, akan
diuraikan pengertian tentang pangan dan jenis-jenisnya serta akan diuraikan
mengenai konsumsi pangan. Pangan merupakan kebutuhan utama bagi
manusia. Di antara kebutuhan yang lainnya, pangan merupakan kebutuhan yang
harus dipenuhi agar kelangsungan hidup seseorang dapat terjamin. Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang dulu hingga sekarang masih
terkenal dengan mata pencaharian penduduknya sebagia petani atau bercocok
tanam. Luas lahan pertanianpun tidak diragukan lagi. Namun, dewasa ini
Indonesia justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan di mana yang
menjadi kebutuhan pokok semua orang. Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004, Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan
atau minuman. Pangan dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu pangan segar, pangan
olahan, dan pangan siap saji.
1) Pangan Segar
Misalnya beras, gandum, singkong, segala macam buah, ikan, air segar.
27 Rohaedi Ayat, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya,1986).
20
diperuntukkan bagi kelomjpok tertentu dalam upaya memelihara dan
meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.
3) Pangan Siap Saji
Pangan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan bisa
langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar
pesanan.
Adapun tanaman pangan ialah semua jenis tanaman yang dapat
menghasilkan karbohidrat dan protein. Beberapa jenis tanaman yang tergolong
sebagai tanaman pangan adalah: 1) Tanaman Umbi-Umbian (singkong, talas,
ubi jalar, dll); 2) Tanaman Serealia (padi, gandum, jagung, dll); 3) Tanaman
Kacang-Kacangan (kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dll).
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang di makan oleh
seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologik, psikologik,
maupun sosial. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup
jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per-orang per-hari yang umum
dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu.
Konsumsi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air baik yang diolah maupan yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan dan minuman bagi konsumsi manusia yang termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.28
28 Ditjen Bina kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat., Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), (Jakarta : Depkes RI, 2004).
21
yang dikonsumsi (dimakan) atau diminum seseorang atau kelompok orang pada
waktu tertentu. Jenis dan jumlah pangan merupakan informasi yang penting
dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi.29
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
faktor ekonomi dan harga dimana keadaan ekonomi keluarga relatif mudah
diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan
miskin, selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi
pangan adalah harga pangan dan non pangan. Harga pangan yang tinggi
menyebabkan berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan riil berkurang.
Keadaan ini menyebabkan konsumsi pangan berkurang sedangkan faktor sosio-
budaya dan religi yaitu aspek sosial budaya berarti fungsi pangan dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaaan lingkungan, agama, adat,
kebiasaan dan pendidikan masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu masyarakat
mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan
yang digunakan untuk dikonsumsi. Kebudayaan mempengaruhi seseorang
dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis bahan pangan,
pengolahan, serta persiapan dan penyajiannya.30
Pangan atau makanan yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi untuk
mempertahankan kehidupan manusia yaitu sebagai sumber energi dan
pertumbuhan serta mengganti jaringan atau sel tubuh yang rusak. Karna pangan
menyediakan unsur-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi. Zat gizi
tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan
membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh. Konsumsi
pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya
29 Hardinsyah,. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. (Bogor: Pusat Antar Universitas. IPB, 1994)
30 Baliwati, Y. F, Pengantar Pangan dan Gizi, Cetakan I, (Jakarta: Penerbit Swadaya, 2004).
22
pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari
negara ke negara.
maka penyediaan pangan tentunya dapat ditempuh melalui:
a. Produksi sendiri, dengan cara mengalokasikan sumber daya alam (SDA),
manajemen dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta
aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal.
b. Import dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai
disektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan luar negeri.
Hal ini dilakukan agar ketersediaan pangan selalu tercukupi untuk
kebutuhan masyarakat.
Ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan suatu keadaan
dimana pangan tersedia bagia setiap individu setiap saat dimana saja baik
secara fisik, maupun ekonomi. Ada tiga aspek yang menjadi indikator
ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu sektor ketersediaan pangan, stabilitas
ekonomi (harga) pangan, dan akses fisik maupun ekonomi bagi setiap
individu untuk mendapatkan pangan.
merata, dan terjangkau.31
31 Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang : Pangan, ews.kemendag.go.id diakses pada 14 Januari 2016
23
kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.32
Sumarwan mengatakan bahwa ketahanan pangan pada dasarnya juga
membahas hal-hal yang menyebabkan orang tidak tercukupi kebutuhan
pangannya. Hal-hal tersebut meliputi antara lain tersedianya pangan,
lapangan kerja dan pendapatan. Ketiga hal tersebut menentukan apakah
suatu rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi bagi setiap anggota keluarganya.33
Soekirman mengungkapkan bahwa cukup tidaknya persediaan pangan
di pasar berpengaruh pada harga pangan. Kenaikan harga pangan bagi
keluarga yang tidak bekerja atau yang bekerja tetapi penghasilannya tidak
cukup, dapat mengancam kebutuhan gizinya yang berarti ketahanan pangan
keluarganya terancam. Sebaliknya, persediaan cukup, harga stabil tetapi
banyak penduduk tanpa kerja dan tanpa pendapatan, berarti tanpa daya beli,
juga menyebabkan persediaan pangan itu tidak efektif. Karena itu
pembangunan Sumber daya Manusia (SDM) akan mengatur keseimbangan
dan keserasian antara kebijaksanaan sistem pangan (produksi, distribusi,
pemasaran, dan konsumsi) dan kebijaksanaan di bidang sosial seperti
penanggulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, gizi dan lain-lain.34
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi
pangan pada beberapa tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional
(daerah), dan tingkat rumah tangga serta individu.35
32 “Ketahanan pangan”, https://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan diakses pada 17 Desember 2016
33 Sumarwan, U. dan D. Sukandar, Identifikasi Indikator dan Variabel serta Kelompok Sasaran dan Wilayah Rawan Pangan Nasional, (Bogor: Jurusan GMSK-Faperta IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan, Departemen Pertanian R.I Widuri Press, 1998).
34 Soekirman, “Ketahanan Pangan : Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya”, Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan pangan Rumah Tangga, Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
35 Suhardjo, “Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga”. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah tangga. Yogyakarta, 26-30 Mei, 1996.
24
terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, untuk memenuhi kebutuhan
gizi harian yang diperlukan agar dapat hidup dengan aktif dan sehat.36
Sejalan dengan itu dalam ketahanan pangan terdapat 3 (tiga) komponen
penting pembentuk ketahanan pangan, yaitu produksi dan ketersediaan
pangan, jaminan akses terhadap pangan, serta mutu dan keamanan pangan.
Internasional Confrence in Nutrition (FAO/WHO) mendefenisikan
ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.
Sedangkan World Food Summit memeperluas defenisi FAO/WHO dengan
persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.
World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses oleh semua
orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang
sehat dan aktif. Oxfam, ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap
orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan
yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. FIVIMS
(Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems),
mendefinisikan ketahanan pangan merupakan kondisi ketika semua orang
pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat. Sejalan dengan itu, Hasil Lokakarya
Ketahanan Pangan Nasional mendefenisikan ketahanan pangan sebagai
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga
36 Suryana A, Kapita Selecta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan, (Yogyakarta :BPEE, 2003).
25
dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu
kewaktu agar dapat hidup sehat.
Sementara itu ketahanan pangan tingkat global, nasional, regional,
komunitas lokal, rumah tangga dan individu merupakan suatu rangkaian
sistem hierarkis. Lebih jauh mengungkapkan bahwa ketahanan pangan
tingkat komunitas lokal merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup
menjamin ketahanan pangan untuk seluruh rumah tangga. Selanjutnya
ketahanan pangan tingkat regional merupakan syarat keharusan bagi
ketahanan pangan tingkat komunitas lokal tetapi tidak cukup menjamin
ketahanan pangan komunitas lokal. Pada akhirnya ketahanan pangan tingkat
nasional tidak cukup menjamin terwujudnya ketahanan pangan bagi semua
orang, setiap saat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pangan agar dapat
hidup sehat dan produktif.37 Dalam hal ini ketahanan pangan rumah tangga
tidak cukup menjamin ketahanan pangan individu. Kaitan antara ketahanan
pangan individu dan rumah tangga ditentukan oleh alokasi dan pengolahan
pangan dalam rumah tangga, status kesehatan anggota rumah tangga, kondisi
kesehatan dan kebersihan lingkungan setempat. Selain itu faktor tingkat
pendidikan suami-istri, budaya dan infrastruktur setempat juga sangat
menentukan ketahanan pangan individu/rumah tangga.
Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan
pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan
pangan dapat ditempuh melalui produksi sendiri dengan memanfaatkan
pengalokasian sumber daya alam. Basis dari konsep ketahanan pangan
nasional adalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, terutama di
perdesaan. Demikian pula sebaliknya, ketahanan pangan di tingkat rumah
37 Simatupang, P, Toward Sustainable Food Security: The Need for A New Paradigm in Simatupang, P. et a/. (eds) Indonesia's Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses, (Adelaide : Centre for International Economic Studies, University of Adelaide 5005 Australia, 1999).
26
pangan regional dan di tingkat nasional.
Berbagai pengertian di atas menunjukkan bahwa konsep dan
pengertian atau definisi ketahanan pangan sangat luas dan beragam. Namun
demikian dari luas dan beragamnya konsep ketahanan pangan tersebut
intinya adalah terjaminnya ketersediaan pangan bagi umat manusia secara
cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh pangan dari
waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan beraktivitas.
Terkait dengan konsep terjamin dan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
setiap individu tersebut perlu pula diperhatikan aspek jumlah, mutu,
keamanan pangan, budaya lokal serta kelestarian lingkungan dalam proses
memproduksi dan mengakses pangan. Dalam perumusan kebijakan maupun
kajian empiris ketahanan pangan, penerapan konsep ketahanan pangan
tersebut perlu dikaitkan dengan rangkaian sistem hirarki sesuai dimensi
sasaran mulai dari tingkat individu, rumah tangga, masyarakat/komunitas,
regional, nasional maupun global.
ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti
luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan
memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan,
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3)
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa
distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan
merata di seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi
27
harga yang terjangkau.
ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
a. Berorientasi pada rumah tangga dan individu
b. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses
c. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi dan sosial
e. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Tujuan program ketahanan pangan adalah:
a. Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.
b. Mengembangkan kelembagaan pangan. .
c. Mengembangkan diversifikasi pangan
d. Meningkatnya ketersediaan pangan.
2. Sistem Ketahanan Pangan
Kecukupan (sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan
waktu (time).38 Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan
dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga
komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability
dan stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan
pemanfaatan pangan.
28
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut
masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian
rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga
harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.
Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar
proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas
harga pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses
masyarakat terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah,
belum menjamin kecukupan pangan bagi individu atau masyarakatnya.
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat
agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat
mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat
kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi
yang cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang
sehat, daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif. 39
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan
pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan
pangan.40
diatasi dengan beberapa cara sebagai berikut :
39 Thaha R. Abd,dkk, Pangan Dan Gizi. (Bogor : Penerbit DPP Pergizi Pangan Indonesia, 2002). 40 Suryana, A, Loc.Cit.
29
wilayah, dengan potensi yang dimanfaatkan secara optimal maka dapat
membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan dan akhirnya dengan ekonomi yang baik masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan pangannya.
2) Membuat lumbung hidup melalui gerakan 1 rumah 5 tanaman berupa
tanaman sayur, singkong, jagung, dll, sehingga masing-masing rumah
tangga dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya serta memiliki
alternative pangan lainnya.
3) Mengurangi konsumsi beras, dalam satu keluarga kami himbau untuk
mengurangi konsumsi beras 1 ons per hari dan diganti makanan lain
pengganti beras yang apabila diasumsikan 1 kelurahan 3500 KK maka
dalam satu hari kita mampu mengurangi 3500 ons beras dan apabila ini
bisa diterapkan di seluruh wilayah, ketahanan pangan akan terwujud
4) Mengenalkan makanan non beras sejak dini melalui keluarga, dimana
setiap keluarga dihimbau untuk memasak masakan non beras minimal
1 kali dalam seminggu. Tujuannya selain dalam rangka ketahanan
pangan, juga mengenalkan makanan non beras kepada anak-anak yang
sekarang mulai tidak mengenal makanan tradisional.
5) Pengembangan UKM dan ekonomi kreatif sebagai lapangan pekerjaan
bagi masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang ada.
6) Melalui Celengan sedekah, celengan sedekah adalah gerakan
kemanusiaan yang dilakukan dengan cara membagi celengan kepada
keluarga yang mampu, setelah 1 atau 2 bulan maka celengan yang
30
keluarga-keluarga yang kurang mampu.41
dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan berbasis pada
potensi, sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
3. Rawan pangan
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan
berakvitas dengan baik. Rawan pangan dapat dibedakan 2 jenis yaitu : (a)
rawan pangan kronis, yaitu ketidak cukupan pangan secara menetap akibat
ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri.
Kondisi ini berakar pada kemiskinan dan (b) rawan pangan transien/
transistori, yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah
tangga secara kontemporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam,
kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat
mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi,
atau pendapatan.42
Menurut Food An Agriculture Organization Of The United Nations
(FAO) dan Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, maka
kondisi rawan pangan dapat diartikan bahwa individu atau rumah tangga
masyarakat yang tidak memiliki akses ekonomi (penghasilannya tidak
memadai atau harga pangan tidak terjangkau), tidak memiliki akses secara
41“Sistem Ketahanan Pangan”, https://www.kompasiana.com/retnaningtyas/sistem-ketahanan- pangan_58e59ef8729773d4094d19c5. Diakses pada 26 Desember 2017.
fisik, untuk memperoleh pangan yang cukup kehidupan yang normal, sehat
dan produktif, baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Rawan pangan dapat mengakibatkan kelaparan, kurang gizi dan
gangguan kesehatan, termasuk didalamnya busung lapar. Bahkan dalam
keadaan yang paling fatal dan menyebabkan kematian.
Kejadian krisis pangan dan gizi dapat diantisipasi apabila gejala
gejala kekurangan pangan dan gizi serta masalahnya dapat secara dini
diidentifikasi dan kemudian dilakukan tindakan secara tepat dan cepat
sesuai dengan kondisi yang ada.43
Tanda-tanda rawan pangan yang erat kaitannya dengan usaha
individu/rumah tangga untuk mengatasi kerawanan pangan.
1) Tanda-tanda pada kelompok pertama, berhubungan dengan gejala
kekurangan produksi dan cadangan pangan suatu tempat yaitu:
a. Terjadinya eksplosi hama dan penyakit pada tanaman;
b. Terjadi bencana alam berupa kekeringan, banjir, gempa bumi,
gunung meletus, dan sebagainya;
d. Terjadinya penurunan persediaan bahan pangan setempat;
2) Sedangkan tanda-tanda rawan pangan kedua yang terkait akibat rawan
pangan, yaitu : kurang gizi dan gangguan kesehatan meliputi ;
a. Bentuk tubuh individu kurus;
b. Ada penderita kurang kalori protein (KKP) atau kurang makanan
(KM);
43 Badan Ketahanan Pangan Propinsi Sumatera Utara, Analisis Konsumsi Kebutuhan Pangan, http:/bpk.pertanian.go.id., 2005.
32
c. Terjadinya peningkatan jumlah orang sakit yang dicatat di Balai
Kesehatan Puskesmas;
e. Peningkatan angka kelahiran dengan angka berat badan dibawah
standar
mengatasi masalah rawan pangan yang meliputi;
a. Bahan pangan yang kurang biasa dikonsumsi seperti gadung yang
sudah mulai makan sebagian masyarakat;
b. Peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset;
c. Peningkatan penjualan ternak, peralatan produksi (bajak dan
sebagainya);
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli
dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada suatu individu
dan rumah tangga. Penyebab kelaparan seringkali bukan disebabkan oleh
kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses bahan
pangan karena kemiskinan. Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan
pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau rumah
tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan. Kemampuan akses
bergantung pada besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli
bahan pangan, atau kepemilikan lahan untuk menumbuhkan makanan
untuk dirinya sendiri. Rumah tangga dengan sumber daya yang cukup
33
serta mampu mempertahankan akses kepada bahan pangan.
Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. 1)
Akses langsung, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri,
2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli bahan pangan yang
diproduksi di tempat lain. Lokasi dapat mempengaruhi akses kepada bahan
pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut meski
demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak selalu
menyebabkan seseorang membeli bahan pangan tersebut karena ada faktor
selera dan budaya. Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota rumah
tangga juga gender menentukan keinginan memilih bahan pangan yang
diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan
dibeli.44
Untuk mendukung penelahaan yang lebih mendetail, penulis berusaha
melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun hasil penelitian yang
relevan dengan topik penulisan ini. Jurnal dan karya ilmiah yang sebelumnya
pernah ditulis ditelusuri sebagai bahan perbandingan maupun rujukan dalam
penulisan karya ilmiah ini, yakni :
1. Dalam jurnal berjudul Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan
Lokal Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo, Penelitian ini penulis
mengungkapkan perspektif budaya memandang makanan bukanlah
sesuatu yang dipandang semata-mata berhubungan dengan aspek
fisiologis dan biologis manusia melainkan secara menyeluruh terserap
44 Nur Sagran, “Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia”, http://www.academia.edu/20194304/Kondisi_Ketahanan_Pangan_Indonesia_saat_Ini, diakses 22 Desember 2017.
dalamnya tersirat pemenuhan kebutuhan manusia, sosial, dan budaya
dalam rangka melangsungkan kehidupan dan meningkatkan
kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Tradisi kuliner berbasis
pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal sebagai gambaran pola-
pola hidup masyarakat yang mampu menghadirkan identitas kolektifitas
dan representasi sosial budaya dalam mengkonsepkan makanan, fungsi
sosial makanan.45
Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat
Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota
Cimahi). Penelitian ini membahas tentang masyarakat kampung
Cireundeu yang mampu mempertahankan ketahanan pangannya dengan
cara mengganti makanan pokok layaknya masyarakat Indonesia, yaitu
beras menjadi singkong. Masyarakat kampung Cireundeu juga mampu
melestarikan kearifan lokal daerah mereka dengan mempertahankan
kebudayaan yang berasal dari nenek moyang mereka. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai nilai-nilai
kearifan lokal dalam mempertahankan ketahanan pangan masyarakat
kampung adat Cireundeu. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori dari Ayatrohaendi mengenai kearifan lokal sedangkan teori
mengenai ketahanan pangan diambil dari Peraturan Pemerintah No. 68
tahun 2002. Metode yang digunakan adalah metode Etnografi kualitatif.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk kearifan lokal yang ada
45 Amir Fadhilah. “ Kearifan Lokal dalam Membentuk Daya Pangan Lokal Komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo”, Jurnal Al-Tur Vol. XIX No. 1, Januari 2013, Fakultas Adab dan Humaniora & Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
35
aturan-aturan khusus, ketahanan pangan yang diperlihatkan warga
Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun
diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia,
interaksi sosial yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu
berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat
nyaman, aman, dan damai, masyarakat dan kebudayaan Cireundeu
memiliki ciri khas yaitu rasi sebagai makanan pokok dan upacara satu
sura. Kesimpulan cara mempertankan pangan kampung adat Cireundeu
ini menjadi ciri khas budaya, nilai-nilai budaya yang terkandung
didalamnya menjadikan ini sebagai kearifan lokal Kampung Adat
Cireundeu.46
3. Dalam jurnal yang berjudul Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat
Kaitannya dengan Ketahanan Nasional, Penelitian ini berupaya
mendalami pola-pola adaptasi yang dikembangkan penduduk Pesisir Krui
menanggapi tantangan/dilema dalam mempertahankan keserasian dengan
lingkungan hidupnya dari perspektif ketahanan nasional. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola-pola adaptasi yang dikembangkan masyarakat
dalam merespon keterbatasan lahan dan sumberdaya alam, intervensi
ekonomi pasar, dan intervensi politik telah melemahkan kohesi sosial dan
memicu munculnya gejala-gejala sosial yang mengarah pada konflik dan
tindak kekerasan yang membahayakan stabilitas keamanan sehingga
mengganggu ketahanan nasional. Penelitian menyarankan agar kebijakan-
46 Rizka Nurdiani, “Penerapan Nilai-nilai Kearifan Lokal Dalam Mempertahankan Ketahanan Pangan (Studi Etnografi pada Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan, Kota Cimahi)”. Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014).
36
ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat serta tidak
bersifat represif dan diskriminatif. Selain itu, perlu upaya penguatan
kelembagaan adat dan penciptaan diversifikasi lapangan pekerjaan untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.47
4. Dalam jurnal yang berjudul Kearifan lokal tentang mitigasi bencana pada
masyarakat Baduy. Penelitian ini mengenai kearifan lokal masyarakat
Baduy dalam pencegahan bencana. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi dan
wawancara mendalam, dan data diolah secara deskriptif-analitik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan pandangan
tradisional masyarakat Baduy yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu
melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak
terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor di wilayah Baduy; (2)
di wilayah Baduy banyak permukiman penduduk berdekatan dengan
sungai, tidak terjadi bencana banjir; (3) walaupun rumah dan bangunan
masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu,
rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4)
wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian
Barat, tidak terjadi
5. kerusakan bangun an akibat bencana gempa. Kearifan lokal dalam
mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Baduy sejatinya didasari oleh
pikukuh (ketentuan adat) yang menjadi petunjuk dan arahan dalam
berpikir dan bertindak. Pikukuh merupakan dasar dari pengetahuan
47 Friska Liberti, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan : Studi Kasus Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat Kaitannya dengan Ketahanan Nasional”, :http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20329639&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.
37
bencana.48
bertujuan untuk menemukan “Model Pengembangan Ketahanan Pangan
Berbasis Pisang dengan Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal”. Model ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan publik dan
upaya edukasi dan advokasi publik dalam bidang pangan untuk
mendorong terwujudnya ketahanan pangan nasional. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan: 1) Terdapat keragaman profil produksi
pisang, distribusi, konsumsi, dan peran kearifan lokal di Kabupaten
Lumajang, Malang, dan Blitar, 2) Optimalisasi peran kearifan lokal dapat
dijadikan fokus utama dalam upaya mengembangkan ketahanan pangan
berbasis pisang, dan 3) Beberapa komponen penting dan strategis dalam
model pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui
revitalisasi nilai kearifan lokal dan penguatan kelembagaan kelompok tani
adalah: a) kearifan lokal (penguatan penggunaan bahan pangan berbasis
lokal, peran perempuan, peran tokoh masyarakat/agama, gotong royong,
guyub rukun, desa mandiri pangan, pertanian ramah lingkungan,
pertanian multikultur, dan perencanaan berbasis masyarakat) dalam
pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi
nilai kearifan lokal tersebut yang menjadi lokomotif pengembangan
adalah kearifan lokal dan kelembagaan kelompok tani.49
48 Raden Cecep Eka Permana, dkk, “Kearifan Local Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy”, http://lib.ui.ac.id/abstrakpdfdetail.jsp?id=20322209&lokasi=lokal. Di akses Oktober 2017.
49 Moch. Agus Krisno Budiyanto, “Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Loka". Jurnal Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, 2012.
sekitarnya yang diwariskan secara turun menurun dan kearifan lokal juga
adalah sarana yang bisa digunakan masyarkat dalam menghadapi berbagai
tantangan yang dihadapi masyarakat. Kearifan lokal muncul juga karna adanya
tradisi masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kearifan lokal
berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya
alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk
kehidupan.
manusia secara cukup serta terjaminnya pula setiap individu untuk memperoleh
pangan dari waktu kewaktu sesuai kebutuhan untuk dapat hidup sehat dan
beraktivitas. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan
penyediaan pangan.
Gambar 2.1
Kerangka Berpikir
1. Tempat Penelitian
di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat.
Tabel 3.1
Cimahi Selatan memiliki 1 tempat hiburan/rekreasi budaya. Tempat
hiburan/rekreasi yang dimaksud di atas yaitu adalah kampung adat
Cireundeu.
40
yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.1
Populasi di kampung adat Cireundeu secara terstruktur dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu tokoh masyarakat contohnya ketua adat,
ketua lingkungan misalnya ketua RT atau ketua PKK, dan masyarakat
umum.
oleh populasi tersebut.2 Dalam penelitian ini populasi terdiri dari tokoh
masyarakat dan masyarakat kampung adat Cireundeu.
Sample yang diambil oleh peneliti antara lain adalah ketua adat,
ketua RT, ketua PKK, dan beberapa masyarakat kampung adat
Cireundeu.
metode metode penelitian, ilmu tentang alat-alat dalam penelitian.3
Berkaitan dengan hal itu, pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu
upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan
kebenaran.4 Selain itu, Mahsun juga mendefinisikan penelitian sebagai
1 Sugiyono, Metode Penelitian pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan RnD, (Bandung : Alfabeta, 2012), h.15. 2 ibid 3 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996),h.4. 4 Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 49.
suatu ikhtiar yang dilakukan manusia dalam upaya pemecahan masalah
yang dihadapi.5 Namun dalam praktiknya, upaya untuk mencari kebenaran
atau pemecahan masalah seperti yang disebutkan di atas dalam dunia ilmiah
tidak begitu saja bisa dikatakan sebagai penelitian. Hal ini sangat
bergantung pada jenis masalah yang ingin dicari jawabannya serta prosedur
atau cara apa yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut.6
Dalam sebuah penelitian yang ditempuh tentu terdapat tujuan yang
ingin dicapai, untuk itulah dibutuhkan suatu pendekatan guna
mempermudah penelitian. Pendekatan yang digunakan oleh seorang
peneliti akan menuntunnya pada metode apa yang harus digunakan, tetapi
dalam pemilihannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti jenis
data yang diteliti, serta paradigma yang menyertainya. Sehingga apa yang
menjadi tujuan penelitian dapat tercapai.
Dalam hal penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
kualitatif yaitu penelitian yang diarahkan untuk mengambil fakta
berdasarkan fakta subjek penelitian mengetengahkan hasil penelitian secara
rinci. Pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan lapangan penelitian,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Emik dan alasaan
digunakan pendekatan ini objek dan subjek yang berhubungan dengan
fenomena kebudayaan tentang keberadaan kearifan lokal dari kampung
Adat Cirendeu dan mengambarkan kearifan lokal berdasarkan pada sudut
pandang partisipan (informan setempat).7 Kerangka teori yang telah
dibangun menjadi pengarah agar hasil berdasarkan tujuan dalam
memperoleh data, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis
penelitian deskriptif adalah jenis yang tujuanya memberikan gambaran
yang jelas tentang karakteristik dari fenomena yang sedang diteliti.
Fenomena yang diteliti adalah kearifan lokal di kampung adat Cirendeu.
5 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1. 6 Ibid. 7 Suwardi Endraswara, Metode Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Idiologi, Epistemologi,
dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Widayatama, 2006). h. 56.
42
Sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang kearifan lokal dan
adat istiadat dikaitkan dalam hubunganya dengan ketahanan pangan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengambilan sample
dengan teknik purpose sampling, menurut Sugiyono purpose sampling
adalah teknik untuk menentukan sample penelitian dengan beberapa
pertimbangan tertentu yang bertujuan data yang diperoleh nantinya bisa
lebih representatif.8 Teknik pengambilan sample ini memiliki tujuan
tertentu. Artinya setiap sample yang diambil dari populasi dipilih langsung
oleh peneliti karna tujuan dan pertimbangan tertentu. Misalnya informan
yang dipilih oleh peneliti adalah orang-orang yang berhubungan langsung
terhadap perjalanan tradisi pada masyarakat kampung adat Cireundeu.
Dengan demikian maka peneliti dapat mendapatkan informasi yang akurat
dan terpercaya dari informan yang dituju.
C. Langkah – Langkah Penelitian
ketua adat mengenai data yang diperlukan untuk penelitian, menentukan
aspek kearifan lokal dan aspek ketahanan pangan yang digunakan, dan
membuat instrumen penelitian berdasarkan aspek kearifan lokal dan
aspek ketahanan pangan.
2. Tahap Pelaksanaan
1) Menemui ketua RT untuk diarahkan menemui ketua adat
2) Melakukan wawancara dengan ketua adat dan ketua RT
3) Ketua RT mengarahkan untuk mewawancarai ketua PKK kampung
adat Cireundeu
5) Pengamatan langsung kondisi geografis kampung adat Cireundeu
3. Tahap penarikan Kesimpulan
sehingga dihasilkan kesimpulan berupa deskripsi kemampua masyarakat
kampung adat Cireundeu dalam mempertahankan kebutuhan pangan
berdasarkan kearifan lokal yang ada.
D. Teknin Pengumpulan Data
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Observasi Partisipan
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.
Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat terjadi
atau berlangsung-nya peristiwa. Selanjutnya penelitian ini juga termasuk
ke dalam jenis teknik observasi langsung yaitu observasi yang
dilakukan dimana observer berada bersama objek yang diselidiki.9 Dalam
penelitian kebudayaan observasi yang digunakan adalah observasi
partisipan. Observasi partisipan adalah bagian dari kerja lapangan
budaya, sepenuhnya kegiatan ini dilakukan di lapangan budaya, disertai
perangkat yang telah dipersiapkan. Cara ini merupakan langkah penting
dalam kajian budaya. Observasi partisipan melibatkan keikutsertaan
peneliti dengan individu yang diobservasi atau komunitas. Peneliti
budaya akan membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran peneliti
sehingga observasi dan proses pencatatan informasi mengenai kehidupan
9 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006), h.47.
44
Obervasi partisipan dilakukan dengan cara mengunjungi Kampung
Adat Cirendeu, Jawa Barat diantaranya pengamatan terhadap keadaan
Lingkungan, Petani, Masyarakat, dan insitusi-insitusi bersangkutan dan
mengikuti beberapa acara adat yang dilaksanakan. Observasi digunakan
antara lain:
pengamatan secara langsung.
menganalisis data-data tersebut
Wawancara adalah, bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu.11 Sedangkan menurut pendapat lain wawancara, “adalah suatu
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil tatap muka antara si penanya dengan si penjawab
(informan) dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara).12
observasi (pengamatan). Melalui wawancara mendalam (indept
interview) menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk dua
macam pertanyaan, yaitu pertanyaan substantif dan pertayanyaan teoritik.
10 Suwandi, Op, Cit. 11 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), h.
180. 12 M. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), h. 234.
45
Selanjutnya peneliti melakukan pertemuan berulang-ulang setelah
aktivitas budaya untuk melaksanakan wawancara guna memperoleh data
aktivitas kultural, sosial, religious, dan lain-lain.13 Dan yang dijadikan
sumber wawancara adalah segenap warga Kampung Adat Cirendeu dan
sekitarnya.
data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar,
majalah, jurnal dan sebagainya.14 Teknik dokumentasi diperlukan untuk
mengetahui arsip-arsip atau data-data monografi desa yang berhubungan
erat dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini peneliti
menggunakan data-data mengenai kependudukan, luas wilayah dan juga
struktur pemerintahan dan juga sosial ekonomi masyarakat Kampung
Adat Cirendeu.
kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Sedangkan
tehnik pengecekan keabsahan data dapat dilakukan dengan delapan cara
yaitu perpanjangan, keikutsertaan, ketekunan, keajegan pengamatan,
triangulasi, pemeriksaan sejawat melakukan diskusi, analisis kasus negatif,
pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Berdasarkan teori diatas,
penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai alat pengecekan keabsahan
13 Suwandi, Op. Cit. h, 152. 14 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Untuk Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara,
2002), h. 236.
memanfaatkan sesuatu diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data. Secara singkat, macam-macam tehnik
triangualsi adalah;
1. Triangulasi sumber data, yaitu menggunakan multi sumber data untuk
membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh.
pengumpulan data untuk menggali data sejenis.
Maka sesuai dengan pengertian macam-macam triangulasi diatas,
peneliti menggunakan triangulasi metode, yaitu menggunakan berbagai
macam metode pengumpulan data seperti: wawancara, observasi dan
dokumentasi untuk menggali data yang sejenis. Untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini, data yang terkumpul akan dianalisis
dengan analisis deskriptif, melalui proses pengumpulan data secara
keseluruhan yang diperoleh setelah penelitian, yang kemudian data tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan hasil pengumpulan data sesudah proses
penelitian, selanjutnya data tersebut diverifikasi yaitu penyahihan atau
pembuktian kebenaran dari data yang diperoleh tersebut.
F. Analisis Data
Reduksi data dilakukan dengan membuat pengelompokan dan abstraksi.
Analisis bersifat terbuka, open-ended, dan induktif. Jumlahnya tersebut dan
yang kurang relevan patut direduksi. Maksudnya, analisis bersifat longgar,
15 Lexy, Op. Cit h, 324
47
tidak kaku, dan tidak statis. Analis boleh berubah, kemudian mengalami
perbaikan, dan pengembangan sejalan dengan data yang masuk. Analisis
juga tidak direncanakan terlebih dahulu.
Tahap-tahap analisis data dalam penelitian budaya meliputi: open
coding, axial coding, dan selective coding. Pada tahap open coding peneliti
berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait dengan
topik penelitian. Open coding meliputi proses memerinci (breaking down),
memeriksa (examining), memper-bandingkan (comparing), dan meng-
konseptualisasikan (concept-tualizing), dan mengkatagorikan (categorizing)
data pada tahap axial coding hasil data yang diperoleh dari open coding
diorganisir kembali berdasarkan katagori untuk dikembangkan kearah
proposisi. Pada tahap ini dilakukan hubungan antar kategori. Hubungan
tersebut dianalisis seperti model paradigma grounded theory menurut Straus
dan Corbin yang meliputi kondisi penyebab fenomena konteks kondisi
intervening strategi interaksi dan konsekuensi.
Tahap selanjutnya ialah selective coding tahapan ini peneliti
mengklasifikasikan proses pemeriksaan kategori inti kaitannya dengan
kategori lainnya. Katagori inti ditemukan melalui perbandingan hubungan
kategori dengan mengunakan model paradigma. Selanjutnya memeriksa
hubungan kategori dan akhirnya menghasilkan simpulan yang diangkat
menjadi general design. Tahapan ini akan memudahkan peneliti untuk
memberi makna pada setiap kategori. Tiap kategori dapat ditafsirkan dan
disimpulkan, agar diperoleh kejelasan pemahaman.16
16 Suwardi, Op.Cit, h, 174-175.
48
Cireundeu?
3. Dibagi menjadi berapa wilayah
kampung adat Cireundeu?
ini muncul?
Cireundeu?
Budaya
2. Siapa yang memulai tradisi-tradisi
disini?
4. Bagaimana peran tokoh
masyarakat/ketua adat untuk menjaga
yang khas disini?
untuk menyimpan hasil panen?
pangan habis?
dimanfaatkan untuk apa saja?
singkong?
Keterjaminan
pokok?
dapat dimanfaatkan selain singkong?
untuk panen?
50
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data observasi, transkrip
wawancara dan data hasil dokumentasi. Analisis dilakukan data observasi
dan dokumentasi dilakukan secara deskriptif berdasarkan data temuan
peneliti yang didukung menggunakan hasil wawancara terkait keadaan
umum kampung adat Cirendeu, Sejarah kampung adat Cirendeu dan
peranan warga adat dalam mempertahankan kearifan lokal budaya nenek
moyang dalam menjaga ketahanan pangan.
1. Keadaan Umum Kampung Adat Cireundeu
Sejarah nama Cireundeu itu sendiri berasal dari nama “pohon
reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi
pohon reundeu. pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat
herbal. Maka dari itu kampung ini di sebut Kampung Cireundeu. 1
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di lembah
Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun
secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan,
Kota Cimahi. Hal istimewa dari kampung ini yaitu di mulut jalan Desa
Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka “Wilujeng Sumping Di
Kampung Cireundeu” dengan arti selamat datang untuk para tamu di
daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak
memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW),
tetapi lebih fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama yang
telah mengakar yang diwariskan oleh tetua adat dulu.
1 Jajat, Wawancara, Cireundeu Desember 2017
51
apapun filosopi kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka
wajib untuk dipertahankan.
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang terletak di
lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung
Gajahlangu, namun secara administratif Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Table 4.1
Leuwigajah memiliki jumlah penduduk 44.729 orang serta luas
lahan 393,47 ha dengan kepadatan 11.468,97. Di kampung adat
Cireundeu yang masih termasuk wilayah kelurahan Leuwigajah
memiliki jumlah penduduk yang terdiri dari 50 kepala keluarga
atau 800 jiwa, serta kampung adat Cireundeu memiliki luas 65 ha
terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 5 ha untuk pemukiman.2
2 ibid
Kelurahan Leuwigajah terdiri dari 20 RW dan 148 RT yang
terlihat pada tabel di atas. Salah satu kampung yang berada di
wilayah kelurahan Leuwigajah tersebut adalah kampung
Cireundeu.
Kang Jajat mengatakan, “kampung adat Cireundeu terdiri dari 2 kampung yaitu kampung pojok dan kampung adat, yang terdiri dari 1 RW dan 5 RT, dengan rincian kampung adat Cireundeu itu terdapat 2 RT, sedangkan untuk kampung pojok terdapat 3 RT dan dari dua kampung tersebut dipimpin oleh satu orang ketua rukun warga (RW).”3
b. Peraturan Adat
moyang seperti dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak
sembarangan.
Seperti yang diungkapkan oleh kang Jajat “kalo untuk mendapatkan singkong itu kita tanem sendiri, jadi disini tuh ada tiga jenis wilayah adat, yang pertama itu hutan larangan dan hutan tutupan, keduanya ga boleh di pake berladang, tapi untuk hutan
3 Ibid
53
tutupan ini adalah sebagai salah satu lahan cadangan, tujuannya kalo hutan baledahan ga bisa dipakai lagi buat tanem sesuatu, jadi