PAPER MDGS.doc

20
A. Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDG) KTT Milenium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan BangsaBangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Transcript of PAPER MDGS.doc

Page 1: PAPER MDGS.doc

A. Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDG)

KTT Milenium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan BangsaBangsa

(PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili

oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini

menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang tidak pernah ada sebelumnya untuk

menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental

dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi

Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan

memiliki satu atau beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan pembangunan

manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang

terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung

jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju

berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Page 2: PAPER MDGS.doc

B. LATAR BELAKANG MDGS

Millenium Development Goals (disingkat mDgs) dalam bahasa indonesia diterjemahkan sebagai

tujuan pembangunan milenium (tpm). tujuan pembangunan milenium merupakan paradigma

pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota perserikatan

bangsa-bangsa (pbb) dalam konferensi tingkat tinggi (ktt) milenium pbbbulan september 2000

silam. majelis umum pbb kemudian melegalkannya ke dalam resolusi majelis umum perserikatan

bangsa-bangsa nomor 55/2 tanggal 18 september 2000 tentang Deklarasi milenium perserikatan

bangsa-bangsa (a/res/55/2. United Nations Millennium Declaration). Millennium Development

Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat

pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. Salah satu tujuan MDGs yaitu menurunkan

Angka Kematian Balita sebesar dua pertiga dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2015. Indikator

Angka Kematian Balita yang paling penting adalah Angka Kematian Bayi, untuk selanjutnya

disebut AKB. Selain itu, AKB merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai sejauh mana

ketercapaian kesejahteraan rakyat sebagai hasil dari pelaksanaan pembangunan bidang

kesehatan. Kegunaan lain dari AKB adalah sebagai alat monitoring situasi kesehatan, sebagai

input penghitungan proyeksi penduduk, serta dapat juga dipakai untuk mengidentifikasi

kelompok penduduk yang mempunyai resiko kematian tinggi (SDKI, 2004). Pada dekade 1990-

an, rata-rata penurunan AKB adalah lima persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade

1980-an sebesar empat persen per tahun. Keberhasilan dalam menurunkan AKB ini cukup

signifikan, namun AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-

negara ASEAN, yaitu 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina; 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand dan

4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia (Bappenas, 2008). Dilihat dari AKB-nya, dalam periode 1991-

2005 Indonesia sudah memenuhi target dari MDGs, artinya ditinjau dari tujuan dapat dikatakan

sudah berhasil. Tetapi kecenderungan yang terjadi, berdasarkan prediksi dari tim BPSUNDP-

Bappenas (2005) penurunan AKB tidak berlangsung cepat, tetapi turun perlahan secara

eksponensial. Berdasarkan pola ini, diperkirakan di tahun 2015 AKB di Indonesia mencapai 21

kematian bayi per 1000 kelahiran. Angka ini belum memenuhi target dari MDGs yaitu sebesar

17 kematian bayi per 1000 kelahiran. Untuk itu pemerintah harus berupaya keras melalui

berbagai program intervensi untuk menekan AKB ini. 2 Diantara provinsi-provinsi di Indonesia

pada tahun 2007, posisi Jawa Timur apabila dilihat dari AKB-nya, termasuk kelompok

Page 3: PAPER MDGS.doc

menengah yaitu 35 kematian per 1000 kelahiran. AKB terendah yaitu DI Yogyakarta dengan 19

kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat

dengan 74 kematian bayi per 1000 kelahiran (BPS, 2008). Pada tahun 2008 AKB Jawa Timur

turun dari 35 menjadi 32. Apabila dicermati lebih lanjut, kabupaten/kota di Jawa Timur

mempunyai AKB yang sangat beragam, yang terendah di Kota Blitar (22 kematian per 1000

kelahiran) sedangkan tertinggi di Kabupaten Probolinggo (69 kematian per 1000 kelahiran).

Terjadinya keragaman dan ketimpangan antar daerah menarik untuk dikaji, apa penyebabnya dan

apakah ada aspek wilayah berpengaruh terhadap AKB. Aspek wilayah dalam penelitian ini

terkait dengan perbedaan karakteristik antar daerah, diantaranya adalah ketersediaan tenaga

medis serta fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh kabupaten/kota di Jawa Timur. Survei

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 mengumpulkan berbagai

informasi, diantaranya tentang kematian bayi yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik

sosial ekonomi dan biodemografis. Variabel sosial ekonomi tersebut mencakup tempat tinggal,

pendidikan, serta indeks kekayaan kuantil. Variabel biodemografis meliputi umur ibu, paritas

dan jarak kelahiran. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kematian bayi antara lain

berat bayi saat lahir, pemeriksaan kehamilan dan penolong kelahiran, serta komplikasi saat

persalinan, semuanya telah tercakup didalamnya. Secara umum, bayi yang lahir dari ibu yang

tinggal di daerah perkotaan, mempunyai AKB yang lebih rendah daripada ibu yang tinggal di

daerah perdesaan, hal ini kemungkinan terkait dengan ketersediaan fasilitas yang lebih memadai

dan perilaku kesehatan yang lebih baik dari penduduk perkotaan dibandingkan dengan penduduk

perdesaan. Pendidikan ibu mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan AKB. Keluarga

yang memiliki ibu berpendidikan rendah, mempunyai kecenderungan AKB lebih besar daripada

keluarga yang ibunya berpendidikan lebih tinggi. SDKI (2004) mencatat AKB dari ibu yang

tidak sekolah adalah 67 kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan ibu yang berpendidikan

SLTP mempunyai AKB hampir sepertiganya yaitu 23 kematian bayi per 1000 kelahiran. 3

Penelitian tentang AKB telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Wahid (1993),

Nugroho (1993), Sutanto (1995), Patriani dkk (1999) dan Hartono dkk (2000). Wahid (1993)

mengulas tentang pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap kematian bayi di Sulawesi dengan

metode regresi logistik. Penelitian ini hanya mengkaji hubungan faktor-faktor tersebut terhadap

resiko kematian bayi yang ditimbulkannya, dengan melihat nilai odds rasio dari model yang

terbentuk. Hal serupa juga dilakukan oleh Nugroho (1993) dengan cakupan wilayah di

Page 4: PAPER MDGS.doc

Kecamatan Sliyeg dan Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu, serta Sutanto (1995)

dengan ruang lingkup daerah di luar Pulau Jawa. Patriani dkk (1999) meneliti tentang pengaruh

karakteristik keluarga terhadap kematian bayi di desa tertinggal pada 3 Provinsi (Jawa Barat,

Jawa Tengah dan Sumatera Selatan). Metode statistik yang digunakan adalah uji Chi Square.

Penelitian tersebut hanya mengidentifikasi hubungan/keterkaitan antara variabel-variabel

karakteristik keluarga terhadap kematian bayi, tidak mengkaji bagaimana pola hubungannya dan

seberapa kuat hubungan antara variabel independen dengan variabel respon. Demikian juga

penelitian yang dilakukan Hartono dkk (2000) dengan wilayah observasi di Provinsi Kalimantan

Barat. Di Indonesia penelitian tentang AKB sudah banyak dilakukan, tetapi belum ada penelitian

yang mengkaji AKB dan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan tinjauan aspek spasial. Aspek

spasial ini penting untuk dikaji, karena antara satu wilayah dengan wilayah lain mempunyai

perbedaan karakteristik. Keragaman karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Timur

menentukan kualitas kesehatan pada daerah tersebut. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB)

sangat erat kaitannya dengan kualitas kesehatan di suatu daerah. Keunikan karakteristik suatu

wilayah seringkali kurang teramati fenomenanya. Informasi tentang karakteristik lokasi ini bisa

ditangkap dengan menggunakan analisis data spasial. Kuncoro (2002) mengatakan bahwa selama

kurang lebih satu abad, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi

bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan lainnya telah mencoba memberikan penjelasan tentang

mengapa dan dimana suatu aktivitas berlokasi. Hal ini mendorong semakin maraknya penelitian

tentang efek lokasi/spasial sebagai tempat berlangsungnya berbagai aktivitas, baik aktivitas

ekonomi maupun aktivitas sosial lainnya. 4 Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh

W Tobler dalam Anselin (1989) yang berbunyi:“Everything is related to everything else, but near

thing are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang

lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh.

Hukum itulah yang menjadi pilar tentang kajian sains regional. Adanya efek spasial merupakan

hal yang lazim terjadi antara satu region dengan region yang lain. Pada data spasial, seringkali

pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi lain yang berdekatan

(neighboring). Anselin (2003) menjelaskan apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat

analisis pada data spasial, maka bisa menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi

error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode

statistik yang bisa mengatasi fenomena variabilitas data spasial tersebut. Sifat data spasial adalah

Page 5: PAPER MDGS.doc

mempunyai sifat error yang saling berkorelasi (spatial autocorrelation atau spatial dependence)

dan adanya spatial heterogeneity. Spatial Autokorelasi terjadi karena adanya dependensi

(korelasi error spasial) dalam data cross section. Sedangkan spatial heterogeneity terjadi

disebabkan perbedaan antara satu region dengan region lainnya (efek region random).

Dependensi dalam data regional dapat disebabkan oleh adanya variabel laten, yaitu variabel yang

keberadaannya berpengaruh tetapi tidak dapat diukur secara langsung. Sebagai contoh kualitas

kesehatan suatu masyarakat tidak dapat diukur secara langsung, tetapi indikator yang bisa

menerangkan diantaranya adalah Angka Kematian Bayi (AKB), tingkat morbiditas (kesakitan),

dan angka harapan hidup. Salah satu “alat” yang sering dipakai dalam penelitian ekonomi adalah

ekonometrika. Selama ini, ekonometrika tidak begitu memperhatikan efek spasial sebagai

sesuatu yang berpengaruh dalam model. Pada tahun 1970 istilah ekonometrika spasial

diperkenalkan oleh Jean Paelick dalam kajiannya tentang model ekonometrika multiregional.

Saat ini, kajian tentang ekonometrika spasial semakin berkembang. Selain dibidang ekonomi,

dibidang yang lain juga tumbuh dengan pesat seperti kesehatan lingkungan, biometrika,

kriminologi, maupun dibidang klimatologi. Beberapa riset tentang spasial diantaranya adalah

penelitian Arbia (1996) tentang aglomerasi industri di Italia. Fingleton (1999) mengkaji tentang

pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa. Gallo (2006) meneliti tentang 5 fenomena urbanisasi di

Spanyol. Knaap (2006) mempelajari hubungan antara perdagangan, lokasi dan upah di Amerika

Serikat. Anselin dkk (2006) meneliti tentang pemilihan lokasi dan persaingan harga pada

perdagangan gasolin di Austria. Anselin (1988) juga telah mengembangkan beberapa model

spasial yang didasarkan atas teori ekonomi yang disebut spatial econometrics. Model tersebut

terdiri dari spatial lag, model spatial error, model campuran antara spatial lag dan spatial error,

dan model komponen error dengan autokorelasi spasial (model regresi data panel dengan

korelasi spasial). Komponen yang mendasar dari model spasial adalah matriks penimbang

spasial, matriks inilah yang mencerminkan adanya hubungan antara satu region dengan region

lainnya. Banyak metode dalam membuat matriks penimbang. Metode yang lazim digunakan

diantaranya adalah pendekatan titik dan pendekatan area. Pendekatan titik yaitu titik letak

geografis suatu wilayah yang berdasarkan posisi koordinat garis lintang dan garis bujur.

Pendekatan area berupa contiguity murni (ketetanggaan antar region), ataupun memasukkan

unsur lain ke dalam konsep contiguity sesuai dengan kasus yang dipelajari. Sebagai contoh

LeSage (2005) juga menggunakan suatu matriks penimbang berdasarkan kemungkinan faktor

Page 6: PAPER MDGS.doc

lain yang juga mempengaruhi variasi spasial pada kasus yang sedang diamati. Salah satu

penelitiannya tentang banyaknya hak paten yang ada di suatu daerah. Matriks penimbang spasial

yang digunakannya adalah beda waktu tempuh dan beda Gross Domestic Product (GDP) antar

wilayah yang saling bertetangga. Pemerintah saat ini gencar melakukan kebijakan tentang

desentralisasi pelayanan kesehatan, salah satunya dengan dibangunnya rumah sakit rujukan (Tipe

A dan Tipe B) di berbagai daerah. Tujuan didirikannya rumah sakit rujukan tersebut untuk

memback-up rumah sakit-rumah sakit yang ada, sebagai upaya lebih mendekatkan pelayanan

kepada masyarakat serta pemerataan pembangunan dibidang kesehatan. Keberadaan rumah sakit

rujukan tersebut diduga sebagai pemicu adanya dependensi/keterkaitan antar wilayah.

Karakteristik daerah yang beragam satu sama lainnya, perlu diakomodir dalam pembuatan suatu

permodelan. Selama ini penelitian tentang AKB belum mempertimbangkan dependensi/

keterkaitan antar daerah. Diharapkan penggunaan 6 model regresi spasial ini, mampu

menghasilkan model AKB yang spesifik di setiap daerah sehingga semakin informatif dan

aplikatif. Lahirnya Deklarasi milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara

berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin

dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya,untuk menangani isu perdamaian, keamanan,

pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. negara-negara anggota

pbbkemudian mengadopsi mDgs. setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut

indikatornya. mDgs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan

serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. mDgs didasarkan atas konsensus dan

kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan

pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya

tersebut.Dikotomi orientasi pembangunan antara pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana

diketahui, sudah berlangsung sejak lama. akan tetapi berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa

pembangunan yang menekankan pada pemerataan lebih berdampak positif. nilai positif ini

setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama, bahwa orientasi pembangunan yang

menekankan pada pemerataan akan mengangkat kesejahteraan penduduk secara lebih luas.

Dengan begitu, lebih banyak penduduk yang dapat menikmati hasil pembangunan. Kedua, secara

timbal balik, karena semakin banyaknya penduduk yang kesejahteraannya meningkat, pada

gilirannya akan lebih banyak lagi sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi dalam

pembangunan. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan menjadi lebih pasti. sebaliknya

Page 7: PAPER MDGS.doc

orientasi pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan akan lebih menghasilkan

kesenjangan dalam masyarakat.pada dekade 1980-an banyak kelompok studi yang

mendiskusikan orientasi pembangunan “Growth” versus “Development” tersebut. salah satu

yang dapat disebutkan di sini adalah “club of rome”, kelompok yang kemudian mengemukakan

argumen tentang “Limit to Growth”. selanjutnya pada dekade 1990-an, pbbmembawa isu

orientasi pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia tersebut (development)

ke dalam pembahasan, diskusi, serta kesepakatan antarnegara. tahun 1992, misalnya,

diselenggarakan ktt bumi di rio de Janeiro. tahun 1994 digelar pula konferensi kependudukan

dan pembangunan di cairo. tahun 1995, ganti konferensi gender dan pemberdayaan perempuan

dilaksanakan, berikut beberapa konferensi lainnya yang sejalan setelah itu.puncak dari upaya

mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia, baik untuk

generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan kepala negara dan

kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi milenium. Deklarasi ini berisi kesepakatan

negara-negara tentang arah pembangunan berikut sasaran-sasarannya yang perlu

diwujudkan.secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi:

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat;

(2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang;

(3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;

(4) menurunkan kematian anak;

(5) meningkatkan kesehatan maternal;

(6) melawan penyebaran Hiv/aiDs, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa);

(7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan

(8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Page 8: PAPER MDGS.doc

C. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA

MDG 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN

Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh indikator

USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upaya

untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan

nasional dari tingkat saat ini sebesar 13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 - 10 persen

pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada

tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat

mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Prioritas kedepan untuk

menurunkan kemiskinan dan kelaparan adalah dengan memperluas kesempatan kerja,

meningkatkan infrastruktur pendukung, dan memperkuat sektor pertanian. Perhatian khusus

perlu diberikan pada: (i) perluasan fasilitas kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah

(UMKM); (ii) pemberdayaan masyarakat miskin dengan meningkatkan akses dan penggunaan

sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii) peningkatan akses penduduk miskin

terhadap pelayanan sosial dan (iv) perbaikan penyediaan proteksi sosial bagi kelompok termiskin

di antara yang miskin.

MDG 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA

Upaya Indonesia untuk mencapai target MDG tentang pendidikan dasar dan melek huruf sudah

menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar

melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran

pendidikan dasar universal. Pada tahun 2008/09 angka partisipasi kasar (APK) SD/MI termasuk

Paket A telah mencapai 116,77 persen dan angka partisipasi murni (APM) sekitar 95,23 persen.

Pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) secara umum disparitas partisipasi pendidikan antarprovinsi

semakin menyempit dengan APM di hampir semua provinsi telah mencapai lebih dari 90,0

persen. Tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDG pendidikan adalah

Page 9: PAPER MDGS.doc

meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan,

untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Berbagai kebijakan dan

program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut adalah: (i) perluasan akses yang merata

pada pendidikan dasar khususnya bagi masyarakat miskin; (ii) peningkatan kualitas dan relevansi

pendidikan; (iii) penguatan tatakelola dan akuntabilitas pelayanan pendidikan. Kebijakan alokasi

dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen dari jumlah anggaran

nasional akan diteruskan untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal pada

tahun 2015.

MDG 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN

PEREMPUAN

Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang

dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di

sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun

2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24

tahun telah mencapai 99,85. Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efektif menuju (on-track)

pencapaian kesetaraan gender yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015. Di bidang

ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di

sektor nonpertanian. Di samping itu, proporsi kursi yang diduduki oleh perempuan di DPR pada

Pemilu terakhir juga mengalami peningkatan, menjadi 17,9 persen. Prioritas ke depan dalam

mewujudkan kesetaraan gender meliputi : (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan

dalam pembangunan; (2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan; dan (3)

peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.

MDG 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK

Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifi kan dari 68 pada

tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23

per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan

target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas

regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan

Page 10: PAPER MDGS.doc

kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat

sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat

miskin dan daerah terpencil.

MDG 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU

Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di

Indonesia, angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari 390

pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian

MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan

kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan

persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada

saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian. Upaya menurunkan angka kematian ibu

didukung pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need

yang dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.

Ke depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan

berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana

dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.

MDG 6: MEMERANGI HIV/AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAIINYA

Tingkat prevalensi HIV/AIDS cenderung meningkat di Indonesia, terutama pada kelompok

risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. Jumlah kasus HIV/AIDS yang

dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian

malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009.

Sementara itu, pengendalian penyakit Tuberkulosis yang meliputi penemuan kasus dan

pengobatan telah mencapai target. Pendekatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini

terutama diarahkan pada upaya pencegahan dan pengarusutamaan ke dalam sistem pelayanan

kesehatan nasional. Selain itu, pengendalian penyakit harus melibatkan semua pemangku

kepentingan dan memperkuat kegiatan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat.

Page 11: PAPER MDGS.doc

MDG 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP

Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup tinggi, walaupun

upaya peningkatan luas hutan, pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk

melaksanakan kerangka kebijakan penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun kedepan

telah dilakukan. Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73

persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah

tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 51,19 persen

(2009). terus meningkat Upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi

yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk

melayani jumlah penduduk perkotaan yang. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan

sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab

dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya

untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber

daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga

kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun

2009. Upaya untuk penurunan proporsi rumah tangga kumuh dilakukan melalui penanganan

pemukiman kumuh.

Page 12: PAPER MDGS.doc

MDG 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN

Indonesia merupakan partisipan aktif dalam berbagai forum internasional dan mempunyai

komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi

multilateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang

berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah mendapat manfaat

dari mitra pembangunan internasional. Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dan

pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia, Jakarta Commitment telah ditandatangani

bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009. Bersamaan dengan ini, Indonesia telah

berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB. Hal ini

ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB dari 24,6

persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun 2009. Sementara itu, Debt Service Ratio

Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun

2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan informasi, sektor swasta telah membuat

investasi besar ke dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan akses pada telepon genggam,

jaringan PSTN, dan komunikasi internet telah meningkat sangat pesat selama lima tahun

terakhir. Pada tahun 2009, sekitar 82,41 persen dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada

telepon seluler.

Page 13: PAPER MDGS.doc

DAFTAR PUSTAKA

http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20%20MDGR%202007%20(bahasa).pdf

http://www.bappenas.go.id/files/1913/5229/9628/laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia-2011__20130517105523__3790__0.pdf

http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201236.pdf

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-7454-1308201026-bab1.pdf

http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_BI_Background.pdf

http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia%20MDG%20Indonesian.pdf

http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201236.pdf

http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20%20MDGR%202007%20(bahasa).pdf

http://www.smeru.or.id/report/training/menjembatani_penelitian_dan_kebijakan/untuk_organisasi_advokasi/files/112.pdf

http://bappeda.pekanbaru.go.id/berita/524/status-pencapaian-mdgs-di-indonesia/page/1/