PAPER MDGS.doc
-
Upload
made-indra -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of PAPER MDGS.doc
A. Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDG)
KTT Milenium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan BangsaBangsa
(PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili
oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini
menghimpun komitmen para pemimpin dunia yang tidak pernah ada sebelumnya untuk
menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental
dalam satu paket. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi
Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan
memiliki satu atau beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan pembangunan
manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang
terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung
jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju
berkewajiban mendukung upaya tersebut.
B. LATAR BELAKANG MDGS
Millenium Development Goals (disingkat mDgs) dalam bahasa indonesia diterjemahkan sebagai
tujuan pembangunan milenium (tpm). tujuan pembangunan milenium merupakan paradigma
pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota perserikatan
bangsa-bangsa (pbb) dalam konferensi tingkat tinggi (ktt) milenium pbbbulan september 2000
silam. majelis umum pbb kemudian melegalkannya ke dalam resolusi majelis umum perserikatan
bangsa-bangsa nomor 55/2 tanggal 18 september 2000 tentang Deklarasi milenium perserikatan
bangsa-bangsa (a/res/55/2. United Nations Millennium Declaration). Millennium Development
Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat
pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. Salah satu tujuan MDGs yaitu menurunkan
Angka Kematian Balita sebesar dua pertiga dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2015. Indikator
Angka Kematian Balita yang paling penting adalah Angka Kematian Bayi, untuk selanjutnya
disebut AKB. Selain itu, AKB merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai sejauh mana
ketercapaian kesejahteraan rakyat sebagai hasil dari pelaksanaan pembangunan bidang
kesehatan. Kegunaan lain dari AKB adalah sebagai alat monitoring situasi kesehatan, sebagai
input penghitungan proyeksi penduduk, serta dapat juga dipakai untuk mengidentifikasi
kelompok penduduk yang mempunyai resiko kematian tinggi (SDKI, 2004). Pada dekade 1990-
an, rata-rata penurunan AKB adalah lima persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade
1980-an sebesar empat persen per tahun. Keberhasilan dalam menurunkan AKB ini cukup
signifikan, namun AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN, yaitu 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina; 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand dan
4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia (Bappenas, 2008). Dilihat dari AKB-nya, dalam periode 1991-
2005 Indonesia sudah memenuhi target dari MDGs, artinya ditinjau dari tujuan dapat dikatakan
sudah berhasil. Tetapi kecenderungan yang terjadi, berdasarkan prediksi dari tim BPSUNDP-
Bappenas (2005) penurunan AKB tidak berlangsung cepat, tetapi turun perlahan secara
eksponensial. Berdasarkan pola ini, diperkirakan di tahun 2015 AKB di Indonesia mencapai 21
kematian bayi per 1000 kelahiran. Angka ini belum memenuhi target dari MDGs yaitu sebesar
17 kematian bayi per 1000 kelahiran. Untuk itu pemerintah harus berupaya keras melalui
berbagai program intervensi untuk menekan AKB ini. 2 Diantara provinsi-provinsi di Indonesia
pada tahun 2007, posisi Jawa Timur apabila dilihat dari AKB-nya, termasuk kelompok
menengah yaitu 35 kematian per 1000 kelahiran. AKB terendah yaitu DI Yogyakarta dengan 19
kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat
dengan 74 kematian bayi per 1000 kelahiran (BPS, 2008). Pada tahun 2008 AKB Jawa Timur
turun dari 35 menjadi 32. Apabila dicermati lebih lanjut, kabupaten/kota di Jawa Timur
mempunyai AKB yang sangat beragam, yang terendah di Kota Blitar (22 kematian per 1000
kelahiran) sedangkan tertinggi di Kabupaten Probolinggo (69 kematian per 1000 kelahiran).
Terjadinya keragaman dan ketimpangan antar daerah menarik untuk dikaji, apa penyebabnya dan
apakah ada aspek wilayah berpengaruh terhadap AKB. Aspek wilayah dalam penelitian ini
terkait dengan perbedaan karakteristik antar daerah, diantaranya adalah ketersediaan tenaga
medis serta fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh kabupaten/kota di Jawa Timur. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 mengumpulkan berbagai
informasi, diantaranya tentang kematian bayi yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik
sosial ekonomi dan biodemografis. Variabel sosial ekonomi tersebut mencakup tempat tinggal,
pendidikan, serta indeks kekayaan kuantil. Variabel biodemografis meliputi umur ibu, paritas
dan jarak kelahiran. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kematian bayi antara lain
berat bayi saat lahir, pemeriksaan kehamilan dan penolong kelahiran, serta komplikasi saat
persalinan, semuanya telah tercakup didalamnya. Secara umum, bayi yang lahir dari ibu yang
tinggal di daerah perkotaan, mempunyai AKB yang lebih rendah daripada ibu yang tinggal di
daerah perdesaan, hal ini kemungkinan terkait dengan ketersediaan fasilitas yang lebih memadai
dan perilaku kesehatan yang lebih baik dari penduduk perkotaan dibandingkan dengan penduduk
perdesaan. Pendidikan ibu mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan AKB. Keluarga
yang memiliki ibu berpendidikan rendah, mempunyai kecenderungan AKB lebih besar daripada
keluarga yang ibunya berpendidikan lebih tinggi. SDKI (2004) mencatat AKB dari ibu yang
tidak sekolah adalah 67 kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan ibu yang berpendidikan
SLTP mempunyai AKB hampir sepertiganya yaitu 23 kematian bayi per 1000 kelahiran. 3
Penelitian tentang AKB telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Wahid (1993),
Nugroho (1993), Sutanto (1995), Patriani dkk (1999) dan Hartono dkk (2000). Wahid (1993)
mengulas tentang pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap kematian bayi di Sulawesi dengan
metode regresi logistik. Penelitian ini hanya mengkaji hubungan faktor-faktor tersebut terhadap
resiko kematian bayi yang ditimbulkannya, dengan melihat nilai odds rasio dari model yang
terbentuk. Hal serupa juga dilakukan oleh Nugroho (1993) dengan cakupan wilayah di
Kecamatan Sliyeg dan Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu, serta Sutanto (1995)
dengan ruang lingkup daerah di luar Pulau Jawa. Patriani dkk (1999) meneliti tentang pengaruh
karakteristik keluarga terhadap kematian bayi di desa tertinggal pada 3 Provinsi (Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Sumatera Selatan). Metode statistik yang digunakan adalah uji Chi Square.
Penelitian tersebut hanya mengidentifikasi hubungan/keterkaitan antara variabel-variabel
karakteristik keluarga terhadap kematian bayi, tidak mengkaji bagaimana pola hubungannya dan
seberapa kuat hubungan antara variabel independen dengan variabel respon. Demikian juga
penelitian yang dilakukan Hartono dkk (2000) dengan wilayah observasi di Provinsi Kalimantan
Barat. Di Indonesia penelitian tentang AKB sudah banyak dilakukan, tetapi belum ada penelitian
yang mengkaji AKB dan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan tinjauan aspek spasial. Aspek
spasial ini penting untuk dikaji, karena antara satu wilayah dengan wilayah lain mempunyai
perbedaan karakteristik. Keragaman karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Timur
menentukan kualitas kesehatan pada daerah tersebut. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB)
sangat erat kaitannya dengan kualitas kesehatan di suatu daerah. Keunikan karakteristik suatu
wilayah seringkali kurang teramati fenomenanya. Informasi tentang karakteristik lokasi ini bisa
ditangkap dengan menggunakan analisis data spasial. Kuncoro (2002) mengatakan bahwa selama
kurang lebih satu abad, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi
bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan lainnya telah mencoba memberikan penjelasan tentang
mengapa dan dimana suatu aktivitas berlokasi. Hal ini mendorong semakin maraknya penelitian
tentang efek lokasi/spasial sebagai tempat berlangsungnya berbagai aktivitas, baik aktivitas
ekonomi maupun aktivitas sosial lainnya. 4 Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh
W Tobler dalam Anselin (1989) yang berbunyi:“Everything is related to everything else, but near
thing are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh.
Hukum itulah yang menjadi pilar tentang kajian sains regional. Adanya efek spasial merupakan
hal yang lazim terjadi antara satu region dengan region yang lain. Pada data spasial, seringkali
pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi lain yang berdekatan
(neighboring). Anselin (2003) menjelaskan apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat
analisis pada data spasial, maka bisa menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi
error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Oleh karena itu, dibutuhkan metode
statistik yang bisa mengatasi fenomena variabilitas data spasial tersebut. Sifat data spasial adalah
mempunyai sifat error yang saling berkorelasi (spatial autocorrelation atau spatial dependence)
dan adanya spatial heterogeneity. Spatial Autokorelasi terjadi karena adanya dependensi
(korelasi error spasial) dalam data cross section. Sedangkan spatial heterogeneity terjadi
disebabkan perbedaan antara satu region dengan region lainnya (efek region random).
Dependensi dalam data regional dapat disebabkan oleh adanya variabel laten, yaitu variabel yang
keberadaannya berpengaruh tetapi tidak dapat diukur secara langsung. Sebagai contoh kualitas
kesehatan suatu masyarakat tidak dapat diukur secara langsung, tetapi indikator yang bisa
menerangkan diantaranya adalah Angka Kematian Bayi (AKB), tingkat morbiditas (kesakitan),
dan angka harapan hidup. Salah satu “alat” yang sering dipakai dalam penelitian ekonomi adalah
ekonometrika. Selama ini, ekonometrika tidak begitu memperhatikan efek spasial sebagai
sesuatu yang berpengaruh dalam model. Pada tahun 1970 istilah ekonometrika spasial
diperkenalkan oleh Jean Paelick dalam kajiannya tentang model ekonometrika multiregional.
Saat ini, kajian tentang ekonometrika spasial semakin berkembang. Selain dibidang ekonomi,
dibidang yang lain juga tumbuh dengan pesat seperti kesehatan lingkungan, biometrika,
kriminologi, maupun dibidang klimatologi. Beberapa riset tentang spasial diantaranya adalah
penelitian Arbia (1996) tentang aglomerasi industri di Italia. Fingleton (1999) mengkaji tentang
pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa. Gallo (2006) meneliti tentang 5 fenomena urbanisasi di
Spanyol. Knaap (2006) mempelajari hubungan antara perdagangan, lokasi dan upah di Amerika
Serikat. Anselin dkk (2006) meneliti tentang pemilihan lokasi dan persaingan harga pada
perdagangan gasolin di Austria. Anselin (1988) juga telah mengembangkan beberapa model
spasial yang didasarkan atas teori ekonomi yang disebut spatial econometrics. Model tersebut
terdiri dari spatial lag, model spatial error, model campuran antara spatial lag dan spatial error,
dan model komponen error dengan autokorelasi spasial (model regresi data panel dengan
korelasi spasial). Komponen yang mendasar dari model spasial adalah matriks penimbang
spasial, matriks inilah yang mencerminkan adanya hubungan antara satu region dengan region
lainnya. Banyak metode dalam membuat matriks penimbang. Metode yang lazim digunakan
diantaranya adalah pendekatan titik dan pendekatan area. Pendekatan titik yaitu titik letak
geografis suatu wilayah yang berdasarkan posisi koordinat garis lintang dan garis bujur.
Pendekatan area berupa contiguity murni (ketetanggaan antar region), ataupun memasukkan
unsur lain ke dalam konsep contiguity sesuai dengan kasus yang dipelajari. Sebagai contoh
LeSage (2005) juga menggunakan suatu matriks penimbang berdasarkan kemungkinan faktor
lain yang juga mempengaruhi variasi spasial pada kasus yang sedang diamati. Salah satu
penelitiannya tentang banyaknya hak paten yang ada di suatu daerah. Matriks penimbang spasial
yang digunakannya adalah beda waktu tempuh dan beda Gross Domestic Product (GDP) antar
wilayah yang saling bertetangga. Pemerintah saat ini gencar melakukan kebijakan tentang
desentralisasi pelayanan kesehatan, salah satunya dengan dibangunnya rumah sakit rujukan (Tipe
A dan Tipe B) di berbagai daerah. Tujuan didirikannya rumah sakit rujukan tersebut untuk
memback-up rumah sakit-rumah sakit yang ada, sebagai upaya lebih mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat serta pemerataan pembangunan dibidang kesehatan. Keberadaan rumah sakit
rujukan tersebut diduga sebagai pemicu adanya dependensi/keterkaitan antar wilayah.
Karakteristik daerah yang beragam satu sama lainnya, perlu diakomodir dalam pembuatan suatu
permodelan. Selama ini penelitian tentang AKB belum mempertimbangkan dependensi/
keterkaitan antar daerah. Diharapkan penggunaan 6 model regresi spasial ini, mampu
menghasilkan model AKB yang spesifik di setiap daerah sehingga semakin informatif dan
aplikatif. Lahirnya Deklarasi milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara
berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin
dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya,untuk menangani isu perdamaian, keamanan,
pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. negara-negara anggota
pbbkemudian mengadopsi mDgs. setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut
indikatornya. mDgs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan
serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. mDgs didasarkan atas konsensus dan
kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan
pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya
tersebut.Dikotomi orientasi pembangunan antara pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana
diketahui, sudah berlangsung sejak lama. akan tetapi berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa
pembangunan yang menekankan pada pemerataan lebih berdampak positif. nilai positif ini
setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama, bahwa orientasi pembangunan yang
menekankan pada pemerataan akan mengangkat kesejahteraan penduduk secara lebih luas.
Dengan begitu, lebih banyak penduduk yang dapat menikmati hasil pembangunan. Kedua, secara
timbal balik, karena semakin banyaknya penduduk yang kesejahteraannya meningkat, pada
gilirannya akan lebih banyak lagi sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi dalam
pembangunan. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan menjadi lebih pasti. sebaliknya
orientasi pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan akan lebih menghasilkan
kesenjangan dalam masyarakat.pada dekade 1980-an banyak kelompok studi yang
mendiskusikan orientasi pembangunan “Growth” versus “Development” tersebut. salah satu
yang dapat disebutkan di sini adalah “club of rome”, kelompok yang kemudian mengemukakan
argumen tentang “Limit to Growth”. selanjutnya pada dekade 1990-an, pbbmembawa isu
orientasi pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia tersebut (development)
ke dalam pembahasan, diskusi, serta kesepakatan antarnegara. tahun 1992, misalnya,
diselenggarakan ktt bumi di rio de Janeiro. tahun 1994 digelar pula konferensi kependudukan
dan pembangunan di cairo. tahun 1995, ganti konferensi gender dan pemberdayaan perempuan
dilaksanakan, berikut beberapa konferensi lainnya yang sejalan setelah itu.puncak dari upaya
mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia, baik untuk
generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan kepala negara dan
kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi milenium. Deklarasi ini berisi kesepakatan
negara-negara tentang arah pembangunan berikut sasaran-sasarannya yang perlu
diwujudkan.secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi:
(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat;
(2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang;
(3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(4) menurunkan kematian anak;
(5) meningkatkan kesehatan maternal;
(6) melawan penyebaran Hiv/aiDs, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa);
(7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan
(8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
C. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA
MDG 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN
Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh indikator
USD 1,00 per kapita per hari, menjadi setengahnya. Kemajuan juga telah dicapai dalam upaya
untuk lebih menurunkan lagi tingkat kemiskinan, sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan
nasional dari tingkat saat ini sebesar 13,33 persen (2010) menuju targetnya sebesar 8 - 10 persen
pada tahun 2014. Prevalensi kekurangan gizi pada balita telah menurun dari 31 persen pada
tahun 1989 menjadi 18,4 persen pada tahun 2007, sehingga Indonesia diperkirakan dapat
mencapai target MDG sebesar 15,5 persen pada tahun 2015. Prioritas kedepan untuk
menurunkan kemiskinan dan kelaparan adalah dengan memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan infrastruktur pendukung, dan memperkuat sektor pertanian. Perhatian khusus
perlu diberikan pada: (i) perluasan fasilitas kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM); (ii) pemberdayaan masyarakat miskin dengan meningkatkan akses dan penggunaan
sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii) peningkatan akses penduduk miskin
terhadap pelayanan sosial dan (iv) perbaikan penyediaan proteksi sosial bagi kelompok termiskin
di antara yang miskin.
MDG 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA
Upaya Indonesia untuk mencapai target MDG tentang pendidikan dasar dan melek huruf sudah
menuju pada pencapaian target 2015 (on-track). Bahkan Indonesia menetapkan pendidikan dasar
melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran
pendidikan dasar universal. Pada tahun 2008/09 angka partisipasi kasar (APK) SD/MI termasuk
Paket A telah mencapai 116,77 persen dan angka partisipasi murni (APM) sekitar 95,23 persen.
Pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) secara umum disparitas partisipasi pendidikan antarprovinsi
semakin menyempit dengan APM di hampir semua provinsi telah mencapai lebih dari 90,0
persen. Tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDG pendidikan adalah
meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan,
untuk mendapatkan pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Berbagai kebijakan dan
program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut adalah: (i) perluasan akses yang merata
pada pendidikan dasar khususnya bagi masyarakat miskin; (ii) peningkatan kualitas dan relevansi
pendidikan; (iii) penguatan tatakelola dan akuntabilitas pelayanan pendidikan. Kebijakan alokasi
dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen dari jumlah anggaran
nasional akan diteruskan untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal pada
tahun 2015.
MDG 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN
Berbagai kemajuan telah dicapai dalam upaya meningkatkan kesetaraan gender di semua jenjang
dan jenis pendidikan. Rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berturut-turut sebesar 99,73 dan 101,99 pada tahun
2009, dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15 sampai 24
tahun telah mencapai 99,85. Oleh sebab itu, Indonesia sudah secara efektif menuju (on-track)
pencapaian kesetaraan gender yang terkait dengan pendidikan pada tahun 2015. Di bidang
ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di
sektor nonpertanian. Di samping itu, proporsi kursi yang diduduki oleh perempuan di DPR pada
Pemilu terakhir juga mengalami peningkatan, menjadi 17,9 persen. Prioritas ke depan dalam
mewujudkan kesetaraan gender meliputi : (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan
dalam pembangunan; (2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan; dan (3)
peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.
MDG 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK
Angka kematian bayi di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup signifi kan dari 68 pada
tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, sehingga target sebesar 23
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 diperkirakan dapat tercapai. Demikian pula dengan
target kematian anak diperkirakan akan dapat tercapai. Namun demikian, masih terjadi disparitas
regional pencapaian target, yang mencerminkan adanya perbedaan akses atas pelayanan
kesehatan, terutama di daerah-daerah miskin dan terpencil. Prioritas kedepan adalah memperkuat
sistem kesehatan dan meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat
miskin dan daerah terpencil.
MDG 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di
Indonesia, angka kematian ibu melahirkan (MMR/Maternal Mortality Rate) menurun dari 390
pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian
MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan
kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada
saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian. Upaya menurunkan angka kematian ibu
didukung pula dengan meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan unmet need
yang dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
Ke depan, upaya peningkatan kesehatan ibu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan
berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana
dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.
MDG 6: MEMERANGI HIV/AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAIINYA
Tingkat prevalensi HIV/AIDS cenderung meningkat di Indonesia, terutama pada kelompok
risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik dan pekerja seks. Jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di Indonesia meningkat dua kali lipat antara tahun 2004 dan 2005. Angka kejadian
malaria per 1.000 penduduk menurun dari 4,68 pada tahun 1990 menjadi 1,85 pada tahun 2009.
Sementara itu, pengendalian penyakit Tuberkulosis yang meliputi penemuan kasus dan
pengobatan telah mencapai target. Pendekatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini
terutama diarahkan pada upaya pencegahan dan pengarusutamaan ke dalam sistem pelayanan
kesehatan nasional. Selain itu, pengendalian penyakit harus melibatkan semua pemangku
kepentingan dan memperkuat kegiatan promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
MDG 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Tingkat emisi gas rumah kaca di Indonesia cukup tinggi, walaupun
upaya peningkatan luas hutan, pemberantasan pembalakan hutan, dan komitmen untuk
melaksanakan kerangka kebijakan penurunan emisi karbon dioksida dalam 20 tahun kedepan
telah dilakukan. Proporsi rumah tangga dengan akses air minum layak meningkat dari 37,73
persen pada tahun 1993 menjadi 47,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu, proporsi rumah
tangga dengan akses sanitasi layak meningkat dari 24,81 persen (1993) menjadi 51,19 persen
(2009). terus meningkat Upaya untuk mengakselerasi pencapaian target air minum dan sanitasi
yang layak terus dilakukan melalui investasi penyediaan air minum dan sanitasi, terutama untuk
melayani jumlah penduduk perkotaan yang. Untuk daerah perdesaan, penyediaan air minum dan
sanitasi dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat agar memiliki tanggung jawab
dalam pengelolaan infrastruktur dan pembangunan sarana. Di samping itu, perlu dilakukan upaya
untuk memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber
daya air dan pengelolaan sistem air minum dan sanitasi yang layak. Proporsi rumah tangga
kumuh perkotaan menurun dari 20,75 persen pada tahun 1993 menjadi 12,12 persen pada tahun
2009. Upaya untuk penurunan proporsi rumah tangga kumuh dilakukan melalui penanganan
pemukiman kumuh.
MDG 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN
Indonesia merupakan partisipan aktif dalam berbagai forum internasional dan mempunyai
komitmen untuk terus mengembangkan kemitraan yang bermanfaat dengan berbagai organisasi
multilateral, mitra bilateral dan sektor swasta untuk mencapai pola pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan (pro-poor). Indonesia telah mendapat manfaat
dari mitra pembangunan internasional. Untuk meningkatkan efektifitas kerjasama dan
pengelolaan bantuan pembangunan di Indonesia, Jakarta Commitment telah ditandatangani
bersama 26 mitra pembangunan pada tahun 2009. Bersamaan dengan ini, Indonesia telah
berkomitmen untuk menurunkan pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB. Hal ini
ditunjukkan dengan menurunnya rasio pinjaman luar negeri pemerintah terhadap PDB dari 24,6
persen pada tahun 1996 menjadi 10,9 persen pada tahun 2009. Sementara itu, Debt Service Ratio
Indonesia juga telah menurun dari 51 persen pada tahun 1996 menjadi 22 persen pada tahun
2009. Untuk meningkatkan akses komunikasi dan informasi, sektor swasta telah membuat
investasi besar ke dalam teknologi informasi dan komunikasi, dan akses pada telepon genggam,
jaringan PSTN, dan komunikasi internet telah meningkat sangat pesat selama lima tahun
terakhir. Pada tahun 2009, sekitar 82,41 persen dari penduduk Indonesia mempunyai akses pada
telepon seluler.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20%20MDGR%202007%20(bahasa).pdf
http://www.bappenas.go.id/files/1913/5229/9628/laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia-2011__20130517105523__3790__0.pdf
http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201236.pdf
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-7454-1308201026-bab1.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_BI_Background.pdf
http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia%20MDG%20Indonesian.pdf
http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/pdfprosiding2/fisip201236.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/docs/UNDP%20-%20%20MDGR%202007%20(bahasa).pdf
http://www.smeru.or.id/report/training/menjembatani_penelitian_dan_kebijakan/untuk_organisasi_advokasi/files/112.pdf
http://bappeda.pekanbaru.go.id/berita/524/status-pencapaian-mdgs-di-indonesia/page/1/