Paper Angkak
-
Upload
rahmat-darmawansyah -
Category
Documents
-
view
105 -
download
10
Transcript of Paper Angkak
FERMENTASI BERAS MERAH (ANGKAK)
Makalah
Disusun untuk memenuhiTugas mata kuliah Mikrobiologi
Oleh:
Nama : Rahmat Darma Wansyah
NIM : 1105105010013
Kelas : Senin, Jam 14:30 WIB
Kelompok : IV
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIANFAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH2012
I. PENGERTIAN ANGKAK
Angkak atau red fermented rice, juga dikenal di China sebagai hung-chu
atau hong-qu. Sementara di Jepang dikenal sebagai beni-koji atau red koji dan di
Eropa dikenal sebagai rotschimmelreis atau red mould. Angkak adalah beras putih
jenis tertentu yang dibiakkan dengan sejenis ragi khusus selama beberapa hari
sehingga mengubah warna beras menjadi merah.
Beras merah Cina atau angkak merupakan pengawet dan pewarna makanan
alami dan menyehatkan. Juga dianggap sebagai obat bermacam penyakit.
Berdasarkan penelitian, produk olahan dari beras ini bias menurunkan kelebihan
kolesterol.
Kata angkak semakin sering terdengar seiring merebaknya kasus demam
berdarah dengue (DBD). Kasus DBD muncul setiap tahun, khususnya di musim
hujan. Beberapa warga masyarakat percaya bahwa angkak dapat digunakan
sebagai obat pendongkrak trombosit. Sejauh ini memang belum ada bukti ilmiah
yang cukup untuk mendukung hal tersebut. Namun, bukti-bukti empiris di
masyarakat telah menunjukkan hal tersebut.
Angkak ialah produk hasil fermentasi dengan substrat beras yang
menghasilkan warna merah karena aktifitas kapang merah. Beras yang digunakan
sebagai bahan baku utama adalah beras putih dengan kualitas baik. Selain
kandungan karbohidratnya tinggi, beras juga mengandung unsur-unsur lain yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan kapang. Angkak dapat pula dibuat dari bahan-
bahan sumber karbon lain seperti gadung, kentang, ganyong, suweg, ubi jalar, dan
tapioka, tetapi intensitas warna yang dihasilkan tidak sebaik pada beras.
II. SEJARAH PEMANFAATAN ANGKAK
Pada dasarnya angkak merupakan produk peninggalan bangsa Cina, seperti
tape dan tempe yang berkembang di Indonesia sampai saat ini. Secara tradisi,
masyarakat Cina dan Asia Timur lainnya menggunakan angkak sebagai bahan
tambahan makanan maupun sebagai bahan pengobatan tradisional. Pembuatan
angkak ini pertama kali dilakukan oleh Dinasti Ming yang berkuasa pada abad
ke-14 sampai pada abad ke-17. Dalam teks tradisional The Ancient Chinese
Pharmacopoeia disebutkan bahwa angkak digunakan sebagai obat untuk
melancarkan pencernaan dan sirkulasi darah. Angkak menjadi konsumsi harian
masyarakat Cina terutama sebagai pengawet dan penyedap makanan. Penduduk
Taiwan memilih meminumnya dalam bentuk anggur beras. Sebenarnya angkak
tidak mempunyai rasa. Etnis Cina mempunyai kebiasaan mencampurkan angkak
agar perut nyaman setelah makan dan agar masakan berwarna merah yang lebih
menarik.
Sejak tahun 1331, angkak digunakan pada proses pembuatan minuman
beralkohol hasil fermentasi, yaitu wine. Di Okinada, kepulauan di bagian selatan
Jepang, selain digunakan sebagai pewarna atau bahan tambahan pada pembuatan
sake (wine hasil fermentasi beras yang merupakan minuman tradisional Jepang),
angkak juga digunakan sebagai pewarna atau bahan tambahan pada produk
makanan lainnya. Sebagai bahan tambahan dalam proses pembuatan makanan
oleh masyarakat Cina dan Asia lainnya, penggunaan angkak sebagai bahan
tambahan makanan lebih diutamakan pada proses pengolahan daging dan ikan.
Dalam hal ini, selain berfungsi sebagai pewarna, angkak juga berfungsi sebagai
pembangkit rasa dan peningkat daya simpan makanan (pengawet). Sebagai bahan
tambahan makanan, angkak digunakan sebagai pewarna pada masakan daging
unggas, daging babi dan daging lainnya, kue, bahkan pada sup.
Di Filipina, angkak digunakan pada proses pengolahan bagoong, yaitu salah
satu makanan tradisional Filipina berupa ikan awetan (seperti ikan asin).
Masyarakat Filipina juga menggunakan kapang Monascus dalam pembuatan nata
de coco. Dengan mengkombinasikan bakteri penghasil nata (Acetobacter
xylinum) dengan kapang Monascus purpureus akan dihasilkan nata berwarna
merah menarik.
Lewat sejarah pemakaian yang sangat panjang dan tidak adanya dampak
negatif terhadap kesehatan yang pernah dilaporkan membuktikan bahwa angkak
sangat aman untuk digunakan. Di samping itu, pigmen warna dihasilkan dari
proses pemasakan bahan makanan pada suhu tinggi. Berdasarkan hal ini maka
pemanfaatan angkak sebagai bahan tambahan makanan, khususnya sebagai
pewarna alami, berkembang sangat pesat baik di Cina dan negara-negara Asia
lainnya maupun Eropa. Di Jerman, sebagai contoh, angkak dan ekstraknya sedang
dikaji untuk dimanfaatkan sebagai pengganti nitrat/ nitrit yang umum digunakan
pada proses kuring. Kuring adalah proses pengawetan daging yang berfungsi juga
untuk memerahkan daging.
III. MIKROORGANISME DALAM ANGKAK
Jenis kapang yang dipakai pada proses fermentasi untuk menghasilkan
angkak adalah dari genus Monascus. Monascus sp adalah kapang berfilamen yang
termasuk divisi Ascomycotina, kelas Ascomycetes, subkelas Plectomycetidae, ordo
Eurotiales dan family Monascaceae. Salah satu spesiesnya, yaitu M.purpureus
pertama kali diisolasi oleh Went (1895) dari angkak yang berasal dari Jawa,
Indonesia (Blanc et al., 1998). Dari beras angkak ini telah diisolasi berbagai
metabolit sekunder, antara lain zat warna, zat antihiperkolesterolemia, asam-asam
organik, dan enzim (Pastrana et al., 1995).
Monascus dikelompokkan dalam kapang yang bersepta yaitu septa yang
membagi hifa dalam ruangan-ruangan, dimana setiap ruanganmemiliki inti satu
atau lebih. Monascus termasuk dalam kelas Ascomycetes sehingga sistem
reproduksinya menggunakan askospora (spora seksual) dimana spora bersel satu
terbentuk di dalam kantung yang disebut askus. Biasanya terdapat 8 spora di
dalam setiap askus.
Monascus memerlukan unsur baik karbon, nitrogen, vitamin, mineral, dan
faktor lingkungan seperti pH, oksigen, kelembaban dan suhu. Pigmen dibentuk
oleh monascus saat salah satu unsur nutrisi habis, biasanya nitrogen atau fosfor
dan tahap ini dikenal dengan tahap idiofase. Sumber nitrogen yang dipakai dapat
menentukan tipe pigmen yang dihasilkan. Sumber nitrogen yang berupa ekstrak
khamir atau nitrat akan menghasilkan pigmen merah, sedangkan amonium dan
amonium nitrat akan terbentuk pigmen berwarna jingga.
Monascus sp memproduksi enzim-enzim seperti α-amilase, β-amilase,
glukoamilase, lipase, protease, glukosidase dan ribunuklease. Oleh karena itu
kapang ini mampu tumbuh pada bahan yang mengandung pati, protein, atau lipid.
Suhu pertumbuhan untuk Monascus berada dalam kisaran 250C-320C sehingga
kapang ini termasuk dalam golongan kapang mesofilik. Sedangkan pH yang
sesuai untuk pertumbuhannya adalah sekitar 6,5. Monascus bersifat aerobik, yaitu
membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya .
Secara tradisional, di negara asalnya, Cina, angkak diproduksi dengan
menggunakan Monascus anka. Berdasarkan perkembangan hasil penelitian,
beberapa spesies kapang dari genus Monascus lain seperti Monascus purpureus
dan Monascus ruber juga diketahui bias digunakan untuk memproduksi angkak.
Bahkan beberapa kapang dari genus lain seperti Aspergillus terreus dan
Coniothyrium fuckelii diketahui mampu menghasilkan senyawa metabolit
sekunder lovastatin, meskipun produk fermentasi yang dihasilkan berbeda dengan
angkak yang dibuat oleh kapang merah. Selama fermentasi, angkak dengan
kapang merah akan menghasilkan pigmen warna, sedangkan pada kapang
Aspergillus tidak terbentuk pigmen warna.
Zat warna Monascus terdiri dari ankaflavine dan monascine (berwarna
kuning), rubropunctatine dan monascorubrine (jingga) serta rubropunctamine dan
monascorubromine (ungu). Seluruh zat warna Monascus larut larut dalam lemak
dan pelarut organik, sedangkan bentuk kompleksnya larut dalam air. Zat warna ini
sangat stabil terhadap pengaruh suhu, cahaya, oksigen, ion logam, dan perubahan
pH, sehingga dapat menggantikan zat warna sintetik pada makanan dan kosmetik.
Kapang Monascus sp, termasuk Monascus ruber dan Monascus purpureus,
merupakan jenis mikroorganisme yang paling umum digunakan dalam fermentasi
angkak untuk menghasilkan senyawa monakolin K, lovastatin, dan senyawa
monakolin lainnya.
IV. PROSES PEMBUATAN ANGKAK
Secara sederhana, proses pembuatan angkak sebenarnya hampir sama
dengan proses pembuatan beberapa produk fermentasi tradisional seperti tape dan
tempe. Namun, selain penggunaan mikroba yang berbeda, kontrol terhadap proses
fermentasi juga harus dilakukan secara ketat karena mikroba yang digunakan
harus merupakan kultur tunggal, berbeda dengan penggunaan ragi pada
pembuatan tape atau tempe yang umumnya dilakukan dengan kultur campuran.
Penggunaan kultur campuran memiliki keuntungan dalam hal mencegah
tumbuhnya kontaminasi atau pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki.
Sementara pada penggunaan kultur tunggal, kemungkinan untuk terjadinya
kontaminasi lebih besar.
Sebagaimana umumnya proses fermentasi, proses pembuatan angkak
dimulai dari penyiapan inokulum sampai proses inkubasi harus dilakukan secara
aseptic. Adanya kontaminasi atau pertumbuhan mikroba lain harus dihindari
karena selalu akan menyebabkan terbentuknya senyawa lain yang tidak
diinginkan, juga akan mengubah arah fermentasi.
Salah satu faktor pintu keberhasilan dan arah suatu proses fermentasi adalah
jenis mikroba yang digunakan, disamping komposisi nutrisi dari media yang
diberikan serta kondisi lingkungan. Untuk menghasilkan angkak dengan
kandungan senyawa metabolit sekunder monakolin K yang optimum, beberapa
jenis mikroba telah dipelajari oleh beberapa peneliti dari berbagai negara.
Sebagaimana layaknya suatu proses fermentasi, kapang monascus sp berperan
dalam mengubah substrata atau bahan baku menjadi produk fermentasi. Melalui
proses metabolisme yang berlangsung selama proses fermentasi, kapang
Monascus menggunakan beras dengan segala kandungannya sebagai sumber
nutrisi untuk tumbuh dan berkembang biak.
Mikroba yang digunakan dalam proses pembuatan angkak dipelihara
dengan membiarkannya tumbuh dalam tabung reaksi yang diisi dengan PDA
(Potato Dextrose Agar), Permukaan agar dalam tabung hendaknya dibuat miring
agar permukaan media tumbuh kapang menjadi lebih luas. Substrat yang telah
siap diinokulasi dengan inokulum Monascus dan diinkubasikan selama sekitar 20
hari. Substrat beras biasanya digunakan dalam produksi pigmen angkak (Yuan,
1980). Substrat lain adalah jagung, singkong, tepung tapioka dan gaplek, ubi,
sagu, terigu, suweg, dan kentang dan campuran onggok-ampas tahu.
Secara tradisional, pembuatan angkak umumnya menggunakan beras
sebagai substrat, melalui sistem fermentasi padat. Beras yang cocok digunakan
sebagai substrat adalah beras pera, yaitu beras yang memiliki kadar amilosa
tinggi, tetapi rendah amilopektin. Angkak dibuat dengan cara memasukkan beras
ke dalam wadah (seperti cawan petri) setelah dicuci bersih. Kemudian dipanaskan
di dalam otoklaf pada suhu 1210C selama 15 menit. Tujuannya adalah untuk
membunuh semua mikroba agar tidak mengkontaminasi dan mengganggu proses
pembuatan angkak. Setelah itu, beras didinginkan pada suhu 360C. Setelah
didinginkan pada suhu sekitar 360C, beras tersebut diinokulasi dengan inokulum
Monascus purpureus. Setelah itu, campuran tersebut diaduk hingga rata dan
diinkubasi pada suhu 330C selama 10 hari. Berikut ini adalah bagan proses
produksi angkak di Cina.
Melalui proses fermentasi fase padat dengan menggunakan kapang dari
genus monascus yang kadang disebut kapang merah, beras yang semula putih
bersih akan berubah menjadi merah. Bulir-bulir besar yang tadinya berwarna
putih akan diselimuti pigmen merah yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Berikut ini adalah bagan pembuatan angkak di Cina.
Gambar bagan proses produksi angkak di Cina (Yuan, 1980)
V. KANDUNGAN DAN KEGUNAAN
Melalui proses fermentasi, sumber karbon dari beras tidak hanya digunakan
oleh kapang monascus untuk menghasilkan pigmen warna dan memperbanyak
diri, tetapi juga membentuk senyawa lain. Melalui proses metabolisme yang
berlangsung selama proses fermentasi, kapang Monascus juga menghasilkan
beberapa senyawa metabolit sekunder lain.
Metabolit yang terbentuk selama proses fermentasi umumnya berupa
senyawa-senyawa poliketida seperti monascin, ankaflavin, rubropunctatin, dan
monascorubriny ang merupakan pigmen warna. Selain itu, proses fermentasi juga
menghasilkan beberapa senyawa metabolit sekunder bentuk poliketida lain seperti
monakolin K yang identik dengan lovastatin atau mevinolin serta senyawa
monakolin lainnya.
Angkak juga mengandung beberapa asam lemak tak jenuh seperti asam
oleat, asam linoleat, asam inoleat, serta vitamin B-kompleks seperti niasin yang
semuanya dipercaya bermanfaat dalam membantu penurunan kadar trigliserida
dan meningkatkan kadar kolesterol baik (HDL). Beberapa peneliti juga
melaporkan bahwa beberapa komponen lain bisa menunjang kemampuan bahan
ini dalam fungsi sebagai penurun kolesterol. Komponen senyawa-senyawa
tersebut antara lain plant sterol seperti beta-sitosterol, campesterol, serta seng.
Oleh karena itu, efek hipolipidemik dari angkakharus diperhitungkan sebagai efek
sinergi dari semua komponen yang terkandung di dalamnya, termasuk serat kasar
yang berasal dari beras sebagai bahan dasarnya.
Dalam seni pengobatan Cina tradisional, angkak digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit. Senyawa obat yang terdapat di dalam angkak
sesungguhnya merupakan metabolit sekunder dari kapang Monascus purpureus,
yaitu lovastatin. Kadar lovastatin pada angkak sekitar 0,2%. Lovastatin (C24H36O5)
adalah bahan bioaktif yang dikenal baik berperan dalam penurunan kolesterol,
pengobatan diabetes, PJK, rapuh tulang, penghambatan tumor, dan penyakit
degeneratif. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa angkak
mengandung senyawa gamma-aminobutyric acid (GABA) dan asetil klorida, yaitu
senyawa aktif yang bersifat hipotensif, artinya mampu menurunkan tekanan darah.
Warna merah angkak sangat potensial sebagai pengganti warna merah
sintetis, yang saat ini penggunaanya sangat luas pada berbagai produk makanan.
Beberapa contoh produk makanan yang telah menggunakan pewarna merah
angkak adalah anggur, keju, sayuran, pasta ikan, kecap ikan, minuman beralkohol,
aneka kue, serta produk olahan daging (sosi, ham, kornet). Sebagai pewarna
alami, angkak memiliki sifat yang cukup stabil, dapat bercampur dengan pigmen
warna lain, serta tidak beracun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pigmen angkak memiliki aktivitas
sebagai antimikroba,sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan pewarna
pada bahan makanan yang mudah terkontaminasi mikroba. Dengan demikian,
angkak dapat berperan ganda, yaitu sebagai pewarna sekaligus pengawet. Angkak
terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen (bakteri penyebab
penyakit) dan bakteri perusak berspora, seperti Bacillus cereus dan Bacillus
stearothermophillus.
Sejauh ini belum ada penelitian yang benar-benar bisa membatasi jumlah
maksimal konsumsi angkak yang dianjurkan untuk kesehatan. Menurut penelitian
sendiri, jumlah angkak yang dikonsumsi rata-rata per hari di Asia adalah sekitar
14-55 gram. Bisa dibilang angkak cukup aman untuk dikonsumsi sehari-hari.
Namun demikian, tentu perlu diwaspadai juga agar jangan sampai terlalu
berlebihan karena apapun yang dikonsumsi terlalu berlebihan akan tentunya
kurang baik bagi kesehatan.
Efek sampingnya sendiri terbilang cukup aman. Hanya ada kemungkinan
alergi pada kasus tertentu yang sangat jarang dijumpai. Namun karena
dikhawatirkan adanya mekanisme Monacolin dalam liver, maka dianjurkan
sebaiknya orang yang memiliki masalah dengan liver atau ginjalnya ataupun
wanita yang sedang hamil dan menyusui untuk tidak mengkonsumsi angkak
(menurut Medline Plus dan Medical Institute).
VI. KESIMPULAN
Poin-poin yang menjadi kesimpulan dari paper ini adalah:
1. Angkak merupakan produk hasil fermentasi padat dari kapang Monascus sp
dengan berbahan dasar beras.
2. Produksi Angkak juga dapat dilakukan oleh kapang jenis Aspergillus, tetapi
hasilnya akan berbeda. Selama fermentasi, angkak dengan kapang merah akan
menghasilkan pigmen warna, sedangkan pada kapang Aspergillus tidak
terbentuk pigmen warna.
3. Monascus sp akan menghasilkan pigmen selama proses fermentasi. Zat warna
Monascus terdiri dari ankaflavine dan monascine (berwarna kuning),
rubropunctatine dan monascorubrine (jingga) serta rubropunctamine dan
monascorubromine (ungu).
4. Angkak dapat disubstitusikan pada pembuatan berbagai makanan. Sebagai
bahan tambahan makanan, angkak digunakan sebagai pewarna pada masakan
daging (sosis, kornet, nugget, ham, bakso), kue, bahkan pada sup.
5. Kandungan terpenting Angkak adalah HMG-CoA (monakolin/lovastatin/statin)
yang diakui sangat efektif untuk menurunkan kolesterol jahat LDL.
DAFTAR PUSTAKA
Blanc, P. J., Loret, M. O., and Goma, G. 1998. Pigment and Citrinin Production During Cultures of Monascus in Liquid and Solid Media, Advance in Solid State Fermentation, Department Genie Biochemique et Alimentaire, France. 393-399.
Blanc, P. J., Loret, M. O., Santerre, A. L., Pareilleux, A., Prome, D., Laussac, J. P. and Goma, G. 1994. Pigments of Monascus, Journal of Food Science, 59(4): 862-865.
Pastrana, L., P. J. Blanc, A. L. Santerre, M.O. Loret, and G. Goma. 1995. Production of Red Pigments by Monascus ruber in Synthetic Media with a Strictly Controlled Nitrogen Source, Process Biochem., 30(4): 333-341.
Tisnadjaja, D. 2006. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah dengan Angkak. Penebar Swadaya, Depok.
Wibowo, M. S. 2006. Transportasi Gen Resistensi Higromisin ke Kapang Monascus purpureus Mutan Albino melalui mediasi Agrobacterium tumefaciens, Laporan Penelitian Fundamental, Intitut Teknologi Bandung. 9-11.