Panduan Protokol Indonesia All 2013

36
1 PROTOKOL PENGOBATAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ANAK - 2013 (INDONESIAN CHILDHOOD ALL- 2013 PROTOCOL) I. PENDAHULUAN Rasionalisasi Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik akut (LMA) . Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya. Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20 % mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga menggambarkan situasi di Indonesia secara umum. Sebagai negara yang berkembang Indonesia menghadapi masalah yang sama dengan negara berkembang yang lain, seperti sistem pelaporan yang masih belum baik, malnutrisi, infeksi, biaya protokol pengobatan dan pengobatan suportif yang minimal. Di negara berkembang, banyak faktor berpengaruh negatif terhadap hasil pengobatan LLA anak . Infeksi menjadi penyebab utama dari kematian pada keganasan. Meskipun banyak kemajuan pada pengobatan antineoplastik, infeksi masih menjadi komplikasi yang bermakna. Penderita mengalami berbagai keadaan klinis keganasan dan imunodefisiensi akibat pengobatan ataupun karena proses penyakitnya sendiri. Infeksi menjadi penyebab kematian dan kesakitan pada anak dengan kanker, contohnya leukemia dapat mengganggu fungsi normal imunitas. Obat yang digunakan untuk pengobatan leukemia bersifat mielosupresif dan toksik

description

Panduan Protokol Indonesia All 2013

Transcript of Panduan Protokol Indonesia All 2013

  • 1

    PROTOKOL PENGOBATAN

    LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT ANAK - 2013

    (INDONESIAN CHILDHOOD ALL- 2013 PROTOCOL)

    I. PENDAHULUAN

    Rasionalisasi

    Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak

    merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia

    Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik akut (LMA) . Leukemia

    limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi progresif dari

    sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang dikenal sebagai

    limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah usia 15

    tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak setiap tahunnya.

    Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita

    LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan

    dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20 %

    mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga menggambarkan

    situasi di Indonesia secara umum.

    Sebagai negara yang berkembang Indonesia menghadapi masalah yang

    sama dengan negara berkembang yang lain, seperti sistem pelaporan yang masih

    belum baik, malnutrisi, infeksi, biaya protokol pengobatan dan pengobatan suportif

    yang minimal. Di negara berkembang, banyak faktor berpengaruh negatif terhadap

    hasil pengobatan LLA anak . Infeksi menjadi penyebab utama dari kematian pada

    keganasan. Meskipun banyak kemajuan pada pengobatan antineoplastik, infeksi

    masih menjadi komplikasi yang bermakna. Penderita mengalami berbagai keadaan

    klinis keganasan dan imunodefisiensi akibat pengobatan ataupun karena proses

    penyakitnya sendiri. Infeksi menjadi penyebab kematian dan kesakitan pada anak

    dengan kanker, contohnya leukemia dapat mengganggu fungsi normal imunitas.

    Obat yang digunakan untuk pengobatan leukemia bersifat mielosupresif dan toksik

  • 2

    pada epitel mukosa sehingga penderita berisiko terjadi infeksi bakteri dan atau

    jamur.

    Infeksi merupakan penyulit utama pada anak-anak dengan leukemia akut dan

    menyebabkan kematian. Prevalensi infeksi pada penderita dikarenakan penggunaan

    obat sitotoksik, kortikosteroid, antibiotik spektrum luas, lama rawat inap di rumah

    sakit, gangguan pada imunitas seluler dan humoral, neutropenia, dan disfungsi

    neutrophil.Meskipun didapatkan fakta bahwa infeksi parasit di usus lebih sering dan

    masih menjadi masalah di negara berkembang, beberapa penelitian menemukan

    bahwa tidak didapatkan infeksi parasit pada anak-anak dengan leukemia selama

    pengobatan. Penemuan ini tidak dapat meyingkirkan kemungkinan terjadi infeksi

    parasit pada saat diagnosis. Pengobatan dengan mebendazole dapat diindikasikan

    sebelum memulai pemberian steroid.

    Selain infeksi, malnutrisi juga mempunyai pengaruh yang signifikan

    terhadaphasil pengobatanLLA.Malnutrisi dapat terjadi pada semua fase

    pengobatan.Ada beberapa alasan terjadinya penurunan asupan gizi.Salah satunya

    karena adanya sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis alfa yang menyebabkan

    anoreksia.Efek sitokin pro inflamasi sudah diteliti sebagai penyebab berbagai

    fenomena metabolik pada kanker. Penyebab lain turunnya asupan gizi, anoreksia

    dan efek pada gastrointestinal adalah kemoterapi dan radioterapi. Kerusakan

    mukosa berhubungan dengan dosis obat, dosis obat yang tinggi pada terapi induksi

    meningkatkan resiko toksisitas pada mukosa, pola peningkatan dosis, continuous

    infusion(versus dosis bolus) dan pengobatan kombinasi kemoterapi.Dosis

    kemoterapi yang tinggi sering menyebabkan mukositis oral yang nyeri sehingga

    mengurangi asupan gizi sampai beberapa minggu.Efek pengobatan pada

    gastrointestinal meliputi esofagitis dan enteritis dengan malabsorpsi dan diare

    dimana terjadi peningkatan sensitivitas terhadap rasa pahit; fenomena

    menyebabkan berkurangnya asupan gizi dan kesulitan pemberian suplemen

    oral.Khan,2006 melaporkan bahwa penggunaan nasogastric tube feedingsangat

    bermanfaat.Banyak penelitian melaporkan penderita yang mengalami kemoterapi

    dan radioterapi mengkonsumsi jumlah nutrisi yang lebih sedikit, yang berisiko

    menyebabkan terjadi keseimbangan energi yang negatif dan kekurangan

    mikronutrien.Sebagai contoh, lebih dari 2/3 remaja LLA mengkonsumsi kurang dari

    80% kebutuhan diet harian.

  • 3

    Demam dan netropenia pada penderita kanker merupakan keadaan gawat darurat

    dan membutuhkan evaluasi rawat inap dan pengobatan antibiotik spektrum luas.

    Pendekatan yang agresif disarankan karena 60% dari demam netropeniini

    disebabkan oleh infeksi bakteri baik dengan atau tanpa bakteriemia.

    Meskipun pendekatan ini mengurangi angka kematian, penderita dapat mengalami

    efek yang tidak diinginkan seperti toksisitas anti mikroba, infeksi nosokomial,

    superinfeksi jamur serta dampak psikologis dan finansial dari pengobatan di rumah

    sakit. Santolaya dan kawan-kawan melaporkan pada penelitian prospektif,

    multisenter,dengan tujuan mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan

    infeksi bakterial pada anak-anak dengan kanker, netropeni dan demam. Pendekatan

    yang selektif pada anak-anak dengan demam netropenia akan bermanfaat pada

    populasi anak dengan kanker dan pada sistem pemeliharaan kesehatan pada

    negara berkembang dan maju. Khususnya bagi penderita yang tinggal jauh dari

    rumah sakit (perjalanan lebih dari 1 jam), antibiotik oral spektrum luas harus tersedia

    di rumah dan harus segera diberikan bila penderita panas (contoh: ciprofloxacin).

    Kemoterapi masih menjadi pengobatan satu-satunya penderita anak-anak

    dengan LLA meskipun biayanya cukup tinggi.Beberapa negara menyediakan

    protokol untuk menghemat biaya dengan tetap mempertimbangkan hasil

    pengobatan(Veerman 1996).Pengobatan kemoterapi yang terdiri dari obat sitostatika

    memiliki efek samping yang umum dan unik tergantung dari jenis obat.Sebagai

    contoh Prednison dan deksametason, merupakan obat sitostatika yang paling murah

    dan efektif pada ALL dan limfoma.Kedua obat ini merupakan steroid tetapi

    mempunyai efek yang berbeda pada efek anabolik atau muscle building

    steroid.Prednison dan deksametason menyebabkan berkurangnya massa otot,

    kelemahan dan menyebabkan penumpukan lemak di wajah dan perut serta

    menyebabkan hipertensi dan peningkatan kadar gula darah (diabetes). Semua dari

    efek ini bersifat sementara dan memerlukan diet khusus, pengobatan diabetes atau

    kontrol tekanan darah selama pemberian prednison atau deksametason.Sayangnya,

    pengobatan steroid meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi yang serius.

    Gejala panas dan nyeri akan berkurang sehingga akan menyulitkan diagnosis. Jika

    steroid diberikan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelemahan

    pada tulang dan mudah patah pada tulang pinggul dan tulang belakang. Semua efek

    samping ini harus diperhatikan selama fase pemberian kemoterapi.

  • 4

    Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini

    melakukan revisi terhadap protokol LLA sebelumnya.Sedikit penelitian atau data di

    Indonesia yang membahas tentang toksisitas kemoterapi.Data yang ada hanya

    terbatas pada angka kematian berkisar 30% tanpa ada penjelasan penyebab

    kematian pada anak-anak dengan LLA.Masih ada kemungkinan bahwa kombinasi

    steroid dengan daunorubicin pada fase induksi menyebabkan tingginya angka

    kematian. Pada beberapa senter menggunakan deksametason dan daunorubicin

    pada fase induksi, tetapi di negara berkembang kombinasi ini tidak didukung oleh

    pengobatan suportifyang intensif karena keterbatasan sumber daya dan sosio-

    ekonomi keluarga. Diperlukan penelitian berkesinambungan untuk menyusun

    protokol yang sesuai yang mampu memberikan hasil yang optimal pada penderita

    anak dengan LLA di negara berkembang.Jika kita mengacu pada pengalaman

    negara maju, mereka menyusun protokol dan mengevaluasi secara rutin sampai

    mendapatkan protokol yang terbaik dengan sedikit efek samping dan hasil

    pengobatan yang baik.

    Beberapa kali telah diadakan pertemuan oleh Unit Koordinasi Kerja

    Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Hematologi-Onkologi IDAI)

    untuk mengevaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2006. Pertemuan ini

    berupa antara lain : laporan evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2006

    pada forum Kongres Nasional Ikatan Dokter Anak Indonesia dari masing-masing

    institusi pendidikan dokter spesialis anak di seluruh Indonesia, rapat kerja untuk

    mengevaluasi program UKK Hematologi Onkologi dan pertemuan khusus

    membahas evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2006 sehingga disepakati

    hasil evaluasi/penyempurnaan protokol LLA Indonesia 2006 disebut sebagai

    Protokol LLA Indonesia-2013.

  • 5

    II. TUJUAN

    Tujuan pembuatan panduan protokol pengobatan LLA Indonesia 2013 ini adalah :

    A. Tujuan umum

    1. Menyediakan panduan pengobatanLLA anak di Indonesia.

    2. Melakukan evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2013

    3. Meningkatkan keberhasilan pengobatan penderita LLA anak di Indonesia

    B. Tujuan khusus

    1. Untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan sel blast darah tepi pada hari ke 8 setelah

    mulai pengobatan dengan protokol LLA Indonesia 2013 .

    2. Mengevaluasi dan menganalis hasil (event free survival rate/EFS) antara

    Kelompok Risiko Biasa / standard risk (RB) dan Risiko Tinggi / high risk (RT)

    pasien anak dengan LLA yang mendapat pengobatan dengan protokol ini.

    4. Mengevaluasi efek samping penggunaan kemoterapi pada berbagai tahap dari

    protokol LLA Indonesia 2013 .

    5. Mengevaluasi dan menganalisis angka kekambuhan penderita LLA .

    6. Mengevaluasi dan menganalisis putus obat (drop out)penderita LLA.

    7. Mengevaluasi dan menganalisis penyebab kematian penderita LLA .

  • 6

    III. ALUR PENGGUNAAN PROTOKOL LLA INDONESIA-2013

    # tidak perlu BMP ulang

    * BMP ulang setelah fase induksi

    Penilaian respons steroid dilakukan dengan menghitung jumlah sel blast darah tepi

    pada hari ke-8. Pada kelompok SR, bila didapatkan jumlah sel blast> 1000/mm3

    dikategorikan sebagai steroid poor response maka pasien digolongkan sebagai HR

    dan selanjutnya diterapi dengan menggunakan protokol pengobatan HR. Sedangkan

    bila blast< 1000/mm3, maka tetap berada sesuai kelompok risiko (steroid good

    response)

  • 7

    IV. KRITERIA, DEFINISI DAN FOLLOW UP

    Kriteria diagnosis

    Diagnosis LLA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa

    karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang.

    Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ).

    Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika

    mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping .

    Klasifikasi LLA berdasarkan FAB

    Secara umum diklasifikasikan berdasarkan morfologinya kemudian dimasukkan

    dalam kriteria grup yang disebut dengan FAB group.

    Tabel 2. FAB type L-1 dan L-2

    Kriteria Skor

    High Nuclear : citoplasmic ratio > 75% sel +

    Low Nuclear : cytoplasmic ratio >25% dari sel -

    Nucleous : 0-1 (kecil) > 75% dari sel +

    Nucleoli : 1 atau lebih (prominent) > 25% dari sel -

    Irregular/membran inti tidak teratur >25% sel -

    Sel besar >50% dari sel (besar = 2x normal limfosit) -

    (Bennett & Catovsky dkk 1981)

    Tidak dimasukkan kriteria bila : a. kriteria Intermedia, b. inti membran regular> 75%

    dan , c .

  • 8

    Dibutuhkan waktu untuk pemahaman kepada orangtua agar mengijinkan anaknya

    untuk memulai terapi

    Kriteria evaluasi terapi

    a. Semua kasus LLA harus di registrasi dengan baik, evaluasi faktor risiko , dan

    kemudian bandingkan hasil terapi yang kita peroleh dengan hasil terapi yang

    ada diliteratur.

    b. Hasil terapi induksi dievaluasi setelah terapi 6 minggu dengan melakukan

    aspirasi sumsum tulang.

    c. Remisi komplit (complete remission) :

    Hasil pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan leukemic blast

    kurang dari 5% dari 200 sel berinti

    Tidak didapatkan sel leukemi pada pemeriksaan darah tepi

    Tidak didapatkan sel leukemi pada pemeriksaan cairan cerebrospinal

    Tidak didapatkan infiltrasi sel leukemi pada bagian organ tubuh yang lain.

    d. Remisi tidak komplit (incomplete remission) :

    Didapatkan 5-20% sel blast pada sumsum tulang. Dilakukan ulangan

    pemeriksaan sumsum tulang 7-14 hari kemudian.

    e. Kambuh/relap (Relapse) :

    Lebih dari 20% blast diantara 200 sel inti pada sumsum tulang

    Dan/ atau didapatkan leukemic blast pada darah tepi

    Dan/atau cerebromeningeal leukemia ; adanya limfoblast pada apusan

    dari sample cairan serebrospinal yang diambil dengan interval 24 jam

    Dan/ atau adanya leukemic infiltrate ditempat lain

  • 9

    Biopsi testis harus dilakukan dengan dugaan adanya relaps testis

    Definisi Risiko Biasa (Standar Risk) :

    - Tidak didapatkan tanda-tanda dari Risiko tinggi

    Definisi dari Risiko tinggi (High Risk) :

    - Pada saat didiagnosis : salah satu dari kriteria dibawah ini

    o Umur < 1 tahun atau > 10tahun

    o Leukosit > 50.000 x 109/L

    o Massa mediastinum > 2/3 dari diameter rongga thorak

    o Terdapat > 15/3 ( 5 m) sel leukemia di cairan liquor serebrospinal

    (Cerebrospinal-meningeal leukemia)

    o T-cell leukemia

    o Mixed leukemia (bilineage leukemia)

    - Lebih dari 1000 sel blast/m3 pada pemeriksaan darah tepi setelah 1 minggu

    mulai terapi pada LLA kelompok risiko biasa (RB)

    Pasien dengan B-sel leukemia/limfoma (FAB morfologi L-3) harus diterapi dengan

    protokol khusus.

    - Remisi hematologi jika sel blast ditemukan kurang dari 5% pada sumsum

    tulang. Persentase ini dihitung dari 200 sel berinti.

    - Remisi komplit :terjadiremisi hematologi dan tidak adanya sel leukemia pada

    darah tepi, cairan serebrospinal dan bagian tubuh.

  • 10

    V. PENGOBATAN

    I. Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika.

    Untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut karena pengrusakan oleh sel

    leukemia selama induksi :

    Awal terdiagnosis:hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis 1-2

    ml/kg/jam

    - Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjatanda

    sindrom lisis tumor (lihat lampiran hiperleukositosis)

    - Transfusi :Dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl

    selama pelaksanaan kemoterapi.

    Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan, bila perlu beri

    furosemid

    Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika adalah > 8 g/dl.Namun setelah

    pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen sel darah merah

    diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl (oksigenasi jaringan

    dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 12 g/dl ) (untuk lebih jelasnya

    lihat lampiran transfusi darah)

    Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3, beri

    transfusikomponen trombosit (lihat lampiran tranfusi darah)

    Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction(IPF).

    Bila ada trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak

    diberitransfusi konsentrat trombosit.

    Jika trombositopenia berkepanjangan, dapat diberikan transfusi

    trombositbersamaan tindakan intratekal (IT), atau segera setelah selesai

    melakukan IT.

  • 11

    Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan

    karena faktor koagulasi, yang dibuktikan dengan pemanjangan darijalur

    intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.

    -Nutrisi

    Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum memulai

    kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus dipastikan,

    jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube). (lihat lampiran nutrisi)

    - Pengendalian infeksi

    Wajib mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien.

    Periksa rutindan menjaga kebersihan mulut dan mandi sikat gigi,hindari

    terjadinya luka dan perdarahan gusi dengan jangan menggosok gigi terlalu

    keras.

    Tidak diperlukan profilaksis antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat azol

    ; flukonazol,itrakonazol) maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat sepsis,

    pemberian sitostatika menunggu perbaikan keadaan umum minimal 3x24

    jam dengan pemberian antibiotika intravena, jika infeksi ringan, pemberian

    sitostatika bersamaan dengan antibiotika.

    Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter

    gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada

    saat sakit dan tiap 6 bulan.

    Konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi

    Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg

    selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5

    mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.

    Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg

    sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu merupakan

    rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari jerovecii,diberikan segera

    setelah selesai fase konsolidasi.

    - Pemeriksaan status gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan, setelah

    induksi, konsolidasi, reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid.

  • 12

    Pemeriksaan status nutrisi termasuk :

    -. Anamneses riwayat tumbuh kembang

    -. Antropometri

    Berat badan dan tinggi badan diukur dengan menggunakan WHO growth

    chart. -

    - Pemeriksaan laboratorium : evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P, ureum,

    kreatinin,albumin, SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total.asam urat, pH urin

    II. Pemberian Sitostatika

    1.Fase Induksi

    Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari prednisone

    (PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin (DNR), dan

    methotrexate ( MTX ) intratekal.

    Prednisone(PRED) :

    - digunakan pada Risiko Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT).

    - Pada RB, window period diberikan dosis 60 mg/m2 per oral dibagi dalam 3

    dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40 mg/m2 selama 5 minggu (total

    6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi

    separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari ke 42.

    - Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap.

    Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus

    diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).

  • 13

    RISIKO BIASA

    Fase Induksi

    Minggu 0 1 2 3 4 5 6

    MTX IT

    VCR 1,5 mg/m2 IV

    Prednison

    60/40 mg/m2 po

    DNR 30 mg/m2 infus

    L-Asp 7500 IU/mg2 SK

    Blas LCS

    Blas darah tepi *

    BMP

    * Bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol RT

    Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya

    menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor,menggunakan

    MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ), 2x seminggu dilakukan sampai

    negatif 3x berturut-turut

    Apabila terjadi relaps CNS akan dikelola secara khusus.

    DNR dosis 30 mg/m2, bila tidak ada dapat diganti Doxorubicin 20 mg/m.

    RISRISIKO TINGGI

    Window

    ww 40 mg/m2

  • 14

    Fase induksi

    Minggu 0 1 2 3 4 5 6

    MTX IT

    VCR 1,5 mg/m2 IV

    Prednison

    60/40 mg/m2 po

    DNR 30 mg/m2 infus

    L-Asp 7500 IU/mg2 SK

    Blas LCS

    Blas darah tepi *

    BMP

    Vinkristin (VCR) :

    - Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam

    10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).

    Daunorubisin (DNR)intravena :

    - untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28

    dengan dosis 30 mg/m2.

    - untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28,

    35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip

    IV dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan

    Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.

    L- Asparaginase (L-Asp) (jenis L-Asp E coli) :

    40 mg/m2

  • 15

    - Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga

    akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT

    - Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian

    dalam 2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT

    - Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya

    meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda

    dengan merk lain dari Asparaginase.

    - Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m

    dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi

    dalam syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak

    dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.

    - Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis

    20000 IU/m2/dosis.

    - Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada

    pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase

    reinduksi.

    - Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi

    trombosit terlebih dahulu.

    Metotreksat (MTX) triple drug intratekal.

    - Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

    - Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan 3

    ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

    Umur Dosis

    < 1 tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun

    6 mg/kali 8 mg/kali 10mg/kali 12mg/kali

  • 16

    Beberapa hal yang perlu diingat

    1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh

    berdasarkan dari BB dan TB dari Gehan dan George (lihat appendix-II). Pada

    bayi (anak dibawah 1 tahun dengan BB < 10kg), dosis yang diberikan

    berdasarkan formula sbb ;

    Dosis =dosis dalam mg/m2=.....mg/kg

    30

    ( Dikutip dari Gehan & George : Perkiraan luas permukaan tubuh berdasar BB

    dan TB, Chancer Chemoter Rep. 1970; 54:225-35)

    BB < 6 kg : reduksi 50%

    BB 6 -10 kg/< 1 tahun : reduksi 30%

    2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni

    bukan merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan L-

    Asp pada fase ini. Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan

    secara penuh terlepas dari parameter hematologi.

    3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli), terapi

    tetap bisa dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis yang

    sama atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis.

    Penggunaan L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat,

    pankreatitis atau hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai normal, L-

    Asp bisa dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi

    hipofibrinogenemia (

  • 17

    6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.

    7. Bila jumlah lekosit 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia :

    beri allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 7 hari.

    -Minggu pertama :

    -Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah

    infeksi, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.

    - Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil rendah.

    - Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman

    dekompensasi cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai diuretik.

    - Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya

    kelebihan cairan .

    - Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis

    Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum elektrolit (Na,K,

    Ca, P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis terapkan

    managemensindroma tumor lisis .

    -Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya, bukan

    karena steroid, vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan vincristine dapat

    dilanjutkan.

    - Amati tanda-tanda infeksi

    - Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP, dan

    kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan

    sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien

    tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan

    kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera

    Berikan antibiotika spektrum luas.

    - Pasien dengan jumlah netrofil < 500,

  • 18

    - lakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur dan berikan antibiotika iv dengan

    segera.

    -Antibiotika spectrum luas harus mencakup gram positif dan gram negatif .

    Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan antibiotik (TKA) dan

    antibiotika yang tersedia dimasing masing rumah sakit .

    - Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak membaik,

    dianjurkan pemberian anti jamur.

    Pada masa induksi, eradikasi sel leukemia merupakan hal yang terpenting,

    sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp diberikan dengan dosis penuh,

    mungkin DNR bisa ditunda sementara.

    2.Konsolidasi

    RISIKO BIASA

    Minggu 8 9 10 11 12

    MTX IT

    HD-MTX 1000 mg/m2/IV

    Leukovorin 15 mg/m2/kali

    6 MP 50 mg/m2/po

    RISIKO TINGGI

  • 19

    Minggu 8 9 10 11 12 13

    MTX IT

    HD-MTX 1000 mg/m2/iv

    Leukovorin 15 mg/m2/kali

    Siklofosfamid

    1000 mg/m2 infus (dengan MESNA)

    6 MP 50 mg/m2/po

    Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HD-MTX)dengan

    leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.

    HD-MTX

    - Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang

    baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :

    Lekosit 2000/mm3

    Trombosit 75000/ mm3

    Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)

    Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas nilainormal.

    Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)

    Tidak ada infeksi, diare, mucositis

    Tidak ada gangguan kencing

    - Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.

    - Saat pemberian HD-MTX

    Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24 jam

    ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.

    Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24 jam,

    Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX, diberikan

    selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam.

    Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal,

    toksisitas pada liver ( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian

  • 20

    tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada

    saat pemberian HD-MTX.

    Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal liver,

    gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya

    ditunda.

    Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan

    penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv

    pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.

    Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat

    ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat

    perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan

    malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama

    pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.

    Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.

    - Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28

    - Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor).

    - Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

    Umur dan dosis pemberian MTX it

    Umur Dosis

    < 1 tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun

    6 mg/kali 8 mg/kali 10mg/kali 12mg/kali

    Cyclophosphamide

    - Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan

    pemberian Mesna

  • 21

    3. Intensifikasi

    RISIKO TINGGI

    Minggu 14 15 16 17 18

    MTX IT

    VCR 1,5 mg/m2 IV

    Prednison 40 mg/m2 po

    DNR 30 mg/m2 infus

    Citarabin 75 mg/m2 IV

    Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.

    Prednison (PRED) :

    - Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4

    minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi

    separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.

    Vincristine :

    - Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10

    ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).

    - Selesai intensifikasi, konsul neurologi.

    Daunorubicin (DNR)intravena :

    - Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam

    IV).

    Citarabine

    - Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.

  • 22

    Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3

    mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.

    MTX i.t

    - MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan

    pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan

    konsolidasi).

    4. Rumatan (Maintenance)

    - Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir

    pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18,

    dan akan berakhir pada minggu ke 118

    - Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase

    rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas

    anak terhadap kemoterapi.

    - Persyaratan untuk mengawali rumatan.

    kondisi umum baik.

    tidak ada infeksi.

    Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit

    >50.000/mm3 tidak ada perdarahan.

    fungsi hati dan ginjal baik.

    6 MP dan MTX

    - Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal

    yang dapat ditoleransi.

    - Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong

    (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan

    bukan dengan susu.

    - Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3

    bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.

  • 23

    - Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila

    terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX

    ini juga harus dihentikan bila ada pneumonia.

    - Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir

    pemberian 6-MP.

    Deksametason

    - Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan

    reaksi yang normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk

    menurunkan ataupun menaikkan dosis.

    Catatan Penting :

    - Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .

    - Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat

    berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek

    samping cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.

  • 24

    - Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps,

    pemberian obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol.

    Hentikan pemberian cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah

    1 minggu pemberian 6 MP dan MTX.

    Indikasi untuk adjusting dosis dan menurunkan dosis 6MP dan MTX

    - Lekopenia pada pasien tanpa cotrimoksazol.

    Pada hitung lekosit 1000-2000/mm3:dberikan setengah dosis.

    Nilai hitung lekosit < 1000/mm3hentikan sitostatika sampai jumlah lekosit

    2000/mm3

    - Lekopenia pada pasien dengan cotrimoksazol.

    Lekosit< 2000/mm3, pemberian cotrimoksazol dihentikan sementara itu

    sitostatika dapat diteruskan jika kondisi anak stabil.

    Setelah 1 minggu jika tidak ada perubahan, 6-MP dan MTX dapat diberikan

    dengan dosis separuh.

    Jika tidak ada perubahan setelah pemberian sitostatika maka sitostatika

    dihentikan dan atau lakukan aspirasi sumsum tulang untuk melihat

    kemungkinan terjadinya relaps.

    - Jika nilai lekosit sudah > 2000/mm3, 6-MP dan MTX dimulai dengan dosis

    normal dan 2 minggu kemudian dibericotrimoksazol. Ketika nilai lekosit

    dibawah 1000/mm3cotrimoksazol dan sitostatika harus dihentikan sampai nilai

    lekosit kembali 2000/mm3.

    - Pada infeksi berat atau kecurigaan infeksi berat maka pengobatan fase

    rumatan untuk sementara dihentikan.

    - Gangguan fungsi liver

  • 25

    Gangguan fungsi hati ini sering terjadi selama masa pengobatan.

    Sepanjangnilai bilirubin normal, peningkatan nilai SGOT dan SGPT tidak

    merubah terapi.

    Bila terjadi gangguan fungsi hati disertai demam, hepatomegali, kadar

    bilirubin 2.0 mg/dl, merupakan indikasipenghentian sitostatika dan

    dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab infeksi .

    Pada kasus asimptomatik dengan bilirubin 1.3-2.0 mg/dl dan SGPT 80-150

    IU/L dan kondisi klinis baik, maka kemoterapi dapat dilanjutkan tanpa

    perhatian khusus.

    Apabila tetap ada gangguan fungsi atau kambuh berulang dalam kurun

    waktu 6 bulan ( berarti sitostatika dihentikan beberapa kali) ,lakukan tes

    diagnostikpatologi hati.

    Indikasi meningkatkan dosis 6-MP dan MTX

    - Jika jumlah hitung lekosit 4000.mm3 , pastikan pasien betul-betul meminum

    obatnya.Bila terjadi ketidakpatuhan, maka dosis ke 2 obat tersebut dapat

    dinaikkan hingga 20% untuk 6 minggu kedepan.

    Pungsi lumbal dan obat intratekal

    - Selama tahun pertama pengobatan rumatan , MTX intratekal (triple drug

    MTX/Deksametason/Ara-C) dimasukkan selang 8 minggu.MTX yang

    dimasukkan harus tanpa pengawet (MTX-SP) (without preservative).Jika tidak

    ada liquor yang keluar saat pungsi lumbal, maka obat intratekal jangan

    diberikan.

    - Berhati-hatilah dengan pemberian MTX-SP karena tanpa pengawet, bakteri

    dapat tumbuh, sehingga obat ini tidak dapat digunakan untuk keesokan

    harinya.Setelah pemberian intratekal, pasien berbaring datar, dengan kepala

    sedikit lebih rendah, agar obat terdistribusikan ke seluruh ruang meningeal.Ini

    untuk memastikan bahwa efeknya sebagai anti leukemik dan juga mencegah

    efek tingginya konsentrasi MTX di area conus dari mielum.

    Catatan :

  • 26

    Perubahan obat harus dihindari, misal jika vincristine diberikan secara intratekal,

    pasien akan menderita atau meninggal karena mielopati dan deserebrasi.

    Vincristine jangan pernah ada di ruang lumbal pungsi.

  • 27

    VI. OBAT SITOSTATIKA .

    Umumnya sitostatika efektif untuk kanker karena mengganggu produksi dan

    DNA sel kanker . Sitostatikaberpengaruh pada sel tubuh , juga mempunyai

    aktivitas yang kuat pada sel yang tumbuh cepat . Akibatnya, pertumbuhan sel

    rambut, kuku, gastrointestinal dan sel darah akan lebih cepat terhenti oleh obat

    sitostatika daripada sel tubuh lainnya, disamping itu sitostatika memiliki efek

    samping yang khusus untuk setiap jenis obatnya. Deskripsi masing-masing

    sitostatikaakan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini. Setiap sejawat yang

    menggunakan protokol iniwajib mengetahui pengaruh dan efek samping obat

    yang tertera pada protokol LLA- Indonesia 2013.

    1. Vincristine

    Efek : inhibisi mitosis.

    Efek samping utama : lekopenia, trombositopenia (jarang terjadi) konstipasi,

    kram perut, ileus paralitik, gangguan sensoris, parese nervus kranialis,

    stomatitis, alopesia, sindoma SIADH , arefleksi, kelemahan otot, neuralgia.

    Penyimpanan dan stabilitas : VCR disimpan pada suhu 2-8 0C. Secara kimiawi

    stabil selama 14 hari pada suhu 40 C bila diencerkan dengan larutan normal

    salin atau dekstrose 5%.

    2. Deksametason

    Bekerja dengan cara mengikat reseptor sel intrasitoplasma , selanjutnya

    memblok secara ireversibel fase G1 dan interfase pada sel limfoid. Untuk

    mematikan reseptor sel dibutuhkan beberapa hari.Deksametason dapat

    menembus sawar darah otak (blood brain barrier) dan efektif pada sistem

    saraf pusat.

    Efek samping :sebagian besar menunjukkan efek glukokortikoid, sedikit

    mineralokortikoid. Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan

    lemak.Menambah gluconeogenesis (hiperglikemia) dan katabolisme

    protein.Inhibisipadaaksis hypothalamus-pituitary-adrenal.Imunosupresi.

  • 28

    adipositas, osteoporosis, sindroma cushing, hipertensi, hiperglikemia,

    pseudotumor serebri, miopati.

    Penyimpanan dan stabilitas : tablet dan ampul disimpan pada suhu kamar.

    Cara pemberian ; oral atau intravena.

    3. L-Asparaginase

    Efek :split L-Asparagin pada L-Asparaginase dan ammonia.

    Efek samping : reaksi alergi, demam, menggigil, mual, muntah, koagulopati,

    gangguan fungsi liver, hipobetalipoproteinemia, non-ketosis hiperglikemia.

    Peringatan : Pengobatan sebaiknya tidak diinterupsi ( karena risiko

    sensibilitas). Jika ternyata tidak dapat dihindari, maka dosisnya dimulai dari

    dosis rendah.

    Bila diberikan sesaat sebelum atau bersamaan dengan VCR akan

    menyebabkan toksisitas meningkat.

    L-Asp meningkatkan efek vindesin dan etoposid.

    Stabilitas : setelah dilarutkan, L-Asp harus segera digunakan, jumlah yang

    tersisa dalam botol harus dibuang.

    Dosis L-Asp 6000 7500 u/m2; pemberian iv dalam 100 mL cairan diberikan

    dalam 1-2 jam (protocol COG)

    a. Atau im dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi

    b. Atau setelah L-asp diaspirasi dalam syringe, ditambahkan 0,5-1mL lidocain

    dalam syringe yang sama (tidak dikocok agar tidak tercampur), kemudian

    diberikan i.m perlahan

    c. Risiko hipersensitif / anafilaksis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi

    pada pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada

    fase reinduksi

    d. Jika ada trombositopenia dan pemberian i.m., maka berikan terlebih dahulu

    transfusi trombosit.

    4. Methotrexate

    Efek : antifolat antimetabolit (, antagonis asam folat ).

  • 29

    Efek samping : anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare, mukositis,

    dermatitis, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati.

    Penyimpanan dan stabilitas : vial dan tablet disimpan pada suhu kamar,

    terlindung dari cahaya.Jika MTX tablet tidak tersedia dapat diganti MTX iv.

    5. 6-Mercaptopurine

    Efek : purin antimetabolit.

    Efek samping :gangguan fungsi hati, leukopenia, trombositopenia, anoreksia,

    mual, muntah, stomatitis, imunosupresi.

    Penyimpanan dan stabilitas: tablet disimpan pada suhu kamar.

    6. Citarabine

    Efek : antimetabolit, antagonis piridin, inhibitor kompetitif polimerase DNA, efek

    sitotoksik pada fase G1 siklus sel.

    Efek samping : leukopenia, mual, muntah, trombositopenia, demam, stomatitis,

    diare, gangguan fungsi hati, imunoseupresi.

    Penyimpanan dan stabilitas : botol Ara-C disimpan pada suhu kamar. Setelah

    dilarutkan, larutan harus disimpan pada suhu kamar, harus diberikan dalam

    waktu 48 jam.

    7. Doxorubicin, Daunorubicin

    Efek : inhibisi mitosis

    Efek samping : mielosupresi, mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, gagal

    jantung (decompensatio cordis), kardiomiopati.

    Penyimpanan dan stabilitas : vial injeksi disimpan pada suhu kamar, stabil

    dalam gelap 48 jam.

    8. Cyclophosphamide

    Efek samping : mielosupresi, perdarahan sistitis (dicegah dengan pemberian

    Mesna), kardiomiopati, SIADH , stomatitis, mual, muntah dan alopesia.

    .

  • 30

    Penyimpanan dan stabilitas : dalam bentuk tablet dan bubuk injeksi disimpan

    pada suhu kamar sebaiknya dalam suhu 250C dan tidak lebih dari 300C.

    Persiapan : larutkan bubuk dengan sterile water injection atau dekstrose 5%

    untuk mencapai konsentrasi 20 mg/ml. Disimpan selama 24 jam pada suhu

    kamar atau hingga 6 hari pada suhu 4-10 0C.

  • 31

    VII.ANALISIS STATISTIKA

    1. Untuk mengetahui peningkatan hasil pengobatan dengan protokol ini

    dianalisis dengan menggunakan metode Kaplan-Meier.

    2. Membandingkanhasil pengobatan ALL pada anak dengan risiko biasa

    (standardrisk ) dan risiko tinggi (high risk) menggunakan protocol

    Indonesia ALL 2013 ini .

    3. Analisis Kaplan-Meier untuk menghitung Overall survival(OS), Event free

    survival, dan juga angka relap, angka drop-out (dropout rate) dan angka

    kematian akibat toksisitas (toxic death rate).

    4. Mengevaluasi adverse effect yang timbul pada pemberian kemoterapi.

    Mencatat tiap adverse efek yang muncul berdasarkan kriteria WHO.

    5. Memonitor status gizi, pengendalian infeksi, hygiene, edukasi dan

    informasi kepada orang tua.

  • 32

    Daftar pustaka

    1. Hastings C. The Childrens Hospital Oakland Hematology/oncology handbook. St.Louis: Mosby, 2002. p. 153-9.

    2. Margolin JF, Steuber CP, Poplacl DG. Acute lymphoblastic leukemia. In: Pizzo PA, Poplack DG, eds. Principles and practice of pediatric oncology. Fourth edition. Philadelphia: Lippinkot William&Wilkins,2002. p. 489-544.

    3. WHO Working Group. Use and interpretation opf anthropometric indicators of nutritional status. Bulletin of the World Health Organization 1986; 64: 924-941.

    4. Meija-Arangure JM, Fajardo-Gutierrez A, Reyes-Luiz NI, Bernaldez-Rios R, Meija-Dominique AM, Navarrez_Navarro S, et al. Malnutrition in childhood lymphoblastic leukemia: A predictor of early mortality during the induction-to-remission phase of treatment. Arch Med Res 1999; 30: 150-153.

    5. Pui CH, Evans WE. Acute lymphoblastic leukemia. Drug Therapy 1998;339(9):605-15. 6. Khan AR, Sheikh MH, Intekhab K. Pre-existing malnutrition and treatment outcome in children

    with acute lymphoblastic leukemia. JPMA 2006; 556:171. 7. Khan AR, Sheikh MH, Intekhab K. Effect of hypoproteinemia on treatment outcome in children

    with acute lymphoblastic leukemia. J Ayub Med College 2006; 18(2). 8. Delbecque-Boussard L, Gottrand F, Nelken B, Mazingue F, Vic P, Farriaux JP. Nutritional

    status of children with acute lymphoblastic leukemia: a longitudinal study. Am J Clin Nutr 1997; 65: 95-100.

    9. Marin M, Lopez M, Mendizabol L, Arguelles R. malnutrition as an adverse prognostic factors in the response of treatment and survival of patients with lymphoblastic leukemia. Gac Med Mex 1991; 127(2): 125-132.

    10. Yu, Kuvibidila, Ducos, Warrier. Nutritional status of children with leukemia. Med Pediatr Oncol 1994; 22(2): 73-77.

    11. Aksoy U, Erbay A, Akisu C, Apa H, Ozkoc S, Ozturk S. Intestinal parasites in children with neoplasms. Turkish J Pediatr 2003;45:129-132.

    12. Ghavani MJ, Ashraf F, Vosough P, Rakin MB. Survey of intestinal parasitic infection in leukemic children and evaluation of their serum immunoglobulin. Iranian J Publ Health 2003;32(1):19-21.

    13. Miller RA, Holnterg RE, Lansen CR. Life threatening diarrhea caused by cryptosporidium in a child undergoing therapy for acute lymphoblastic leukemia. J Pediatr 1983;103:256-9.

    14. Lewis IJ, Host CA, Baxby D. Diarrhoea due to cryptosporidium in ALL. Arch Dis Child 1984;60:60-2.

    15. Makled MK, Azab ME, Abdalla HM, Sherif EA, Nasef NS. Opportunistic parasitic infections in immunocompromised hosts. J Egypt Soc Parasitol 1991;21:657-68.

    16. Kuper H, Adami HD, Trichopolous D. Infectious as a major preventable cause of human cancer. J Intern Med 2000;248:171-83.

    17. Khan SA, Wingard JR. Infection and mucosal injury in cancer treatment. J Nat Cancer Inst Monogr 2001;29:31-6.

    18. Nash, Chen, Smart. Cacrum oris-like lesions. Br J Oral Maxillaofac Surg 1991; 29(1): 51-53. 19. Rego MFN, Pinheiro GS, Metze K, Lorand-Metze I. Acute leukemias in Piaui: comparison with

    features observed in other regions of Brazil. Braz J Med Biol Res 2003;36(3). 20. Advani S, Pai S, Venzon D, Kurkure PK, Nair CN, Sirohi B, et al. Acute lymphoblastic leukemia

    in India: An analysis of prognostic factors using single treatment regimen. Annals of Oncology 1999;10: 167-176.

    21. Advani SH, Giri NK, Pai SK, Nair CN, Kurkure PA, Tapan SK, et al. Acute lymphoblastic leukemia in childhood: treatment, results and prognostic factors. Indian J Cancer 1989; 26(3): 180-188.

    22. Wessels G, Hesseling PB, Buurman M, Oud C, Nel ED. An analysis of prognostic variables in acute lymphocytic leukemia in a heterogenous South African population. J Trop Med 1997; 43: 156-161.

    23. Greenberg PL, Gordeuk V, Issaragrisil S, Siritanaratkul N, Fucharoen S, Ribiero RC. Major hematologic diseases in the developing world new aspects of diagnosis and management of thalassemia, malarial anemia, and acute leukemia. American Society of Hematology 2001.

    24. Lobato-Mendizabal, Ruiz-Arguelles, Hospital Universitario de Puebla. The magnitude of maintenance chemotherapy as a prognostic factor in the survival of patients with standard risk acute lymphoblastic leukemia. Rev Invest Clin 1990; 42(2): 81-87.

  • 33

    25. Ribeiro RC, Pui CH. Saving the children improving childhood cancer treatment in developing countries. N Engl J Med 2005; 352: 21: 2158-2160.

    26. Ugrasena IDG, Sutaryo, Supriadi E, Vroling L, Cloos J, Hooijberg JH, Veerman AJP. High frequency of the 3R/3R polymorphism in the thymidylate synthease enhancer region in Indonesian childhood acute lymphoblastic leukemia. Pediatr Indones 2006; 46: 103-1123.

    27. Veerman AJP, Sutaryo, Sumadiono. Commentary. Twinning: A regarding scenario for development of oncology services in transitional countries. Pediatr Blood Cancer 2005; 45: 103-106.

    28. Ito C, Evans WE, McNinch L, Coustan-Smith E, Mahmoud H, Pui CH, Campana D. Comparative cytotoxicity of dexamethasone and prednisolone in childhood acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol 1996;14:2370-76.

    29. Ahmed SF, Tucker P, Mushtaq T, Wallace AM, William DM, Hughes IA. Short-term effects on linear growth and bone turnover in children randomized to receive prednisolone or dexamethasone. Clin Endocrinol 2002;57(2):185-91.

    30. Belgaumi AF, Al-Bakrah M, Al-Mahr M, Al-Jefri A, Al-MUsa A, Saleh M, et al. Dexamethasone-associated toxicity during induction chemotherapy for childhood acute lymphoblastic leukemia is augmented by concurrent use of daunomycin. Cancer 2003;97(11):2898-903.

    31. Ulrike NG, Elvira A, Gudrun F, Dirk S, Rosmarie S, Christiane S, Ralf J. Thromboembolic events in children with acute lymphoblastic leukemia (BFM protocols): prednisone versus dexamethasone administration. Blood 2003;101(7):2529-33.

    32. Vienna , Murao, Ramos, Oliviera, De-Carvalho, DE-Baltos, et al. Malnutrition as a prognostic factor in lymphoblastic leukemia: a multivariate analysis. Arch Dis Child 1994; 71(4): 304-310.

    33. Pui CH, Sandlund JT, Pei D, Rivera GK, Howard SC, Ribeiro RC, et al. Results of therapy for acute lymphoblastic leukemia in black and white children. JAMA 2003; 290(15): 2001-2007.

    34. Shu XO, Linet MS, Steinburg M, Wen WQ, Buckley JD, Neglia JP, et al. Breats feeding and risk of childhood leukemia. J Natl Cancer Inst 1999; 91: 1765-1772.

    35. Veerman AJ, Hahlen K, Kamps WA, Van Leeuwen EF, De Vaan GA, Solbu G, et al. High cure rate with a moderately intensive treatment regimen in non-high risk childhood acute lymphoblastic leukemia. Results of protocol ALL VI from the Dutch Childhood Leukemia Group. J Clin Oncol 1996;114:911-8.

    36. Schwartz CL, Thompson EB, Gelber RD, Young ML, Chilton D, Cohen HJ, Sallon SE. Improved response with higher corticosteroid dose in children with acute lymphoblastic leukemia. J Clin Oncol 2001;19:1040-6.

    37. Igarashi S, Manabe A, Ohara A, Kumagai M, Saito T, Okimoto Y, et al. No advantage of dexamethasone over prednisolone for the outcome of standard and intermediate risk childhood acute lymphoblastic leukemia in the Tokyo Chldrens Cancer Study Group L95-14 Protocol. J Clin Oncol 2005;23(27):6489-98.

    38. Mitchell CD, Richards SM, Kinsey SE, Lilleymen J, Vora A, Eden TOB. Benefit of dexamethasone compared with prednisolone for childhood acute lymphoblastic leukemia: resuls of the UK Medical Research Council ALL97 randomized trial. BJH 2005;129:734-45.

    39. Arico M, Valsecchi MG, Conter V, Rizzari C, Pession A, Messina C, et al. Improved outcome in high-risk childhood acute lymphoblastic leukemia defined by prednisone poor response treated with double Berlin-Frankfurt-Muenster protocol II. Blood 2002;100:420-6.

    40. Bostrom BC, Sensel MS, Harland NS, Gaynon PS, La MK, Johnston LK, et al. Dexamethasone versus prednisone and daily oral versus weekly intravenous mercaptopurine for patients with standard risk acute lymphoblastic leukemia: a report from the Childrens Cancer Group. Blood 2003;101:3809-17.

    41. Mostert S, Gundy GM, Sutaryo, Sitaresmi MN, Veerman AJ. Influence of socioeconomic status on childhood acute lymphoblastic leukemia treatment in Indonesia. Pediatrics 2006 Oct 30

    42. Aapro M., Crawford J., Kamioner D. Prophylaxis of chemotherapy-induced febrile neutropenia with granulocyte colony-stimulating factors: where are we now?. Support Care Cancer (2010) 18:529541

    43. Baglin TP., Gray JJ., Marcus RE., Wreghitt TG. Antibiotic resistant fever associated with herpes simplex virus infection in neutropenic patients with haematological malignancy. J Clin Pathol 1989; 42:12558

    44. Carcillo J. Whats new in the pediatric intensive care medicine. Pediatr Crit Care Med. 2006;34:S183-190

    45. Celkan T., Ozkan A., Apak H., Diren S., Can G., Yuksel L, et al. Bacteremia in childhood cancer. J Trop Pediatr. 2002;48:373-7

  • 34

    46. Danilatou V., Mantadakis E., Galanakis E., Christidou A., Stiakaki E., Kalmanti M. Three cases of viridans group streptococcal bacteremia in children with febrile neutropenia and literature review. Scand J Infect Dis. 2003;35:873-6.

    47. DeSancho MT., Rand JH. Bleeding and thrombotic complications in critically ill patiensts with cancer. Crit Care Clin. 2001:17:599-622.

    48. Freifeld AG., Bow EJ., Sepkowitz KA., Boeckh MJ., Ito JI., Mullen CA., Raad II., et al. Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patients with Cancer: 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Practice Guideline.CID 2011:52 (15 February); e56-93

    49. Friese CR. Chemotherapy-induced neutropenia: Important new data to guide nursing assessment and management. Adv Stud Nurs. 2006;4(2):21-25.

    50. Gabay M., Tanzi M. Guidelines for the Management of Febrile Neutropenia. Pharmacy Practice News. Desember 2009. 9-17

    51. Goad KE., Gralnick HR. Coagulation disorders in cancer. Hematol Oncol Clin North Am. 1996;10:457

    52. Goldstein B., Giroir B., Randolph A. International Consensus Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005;6(1):28.

    53. Greenberg D., Moser A., Yagupsky P., Peled N., Hofman Y., Kapelushnik J., Leibovitz E. Microbiological spectrum and susceptibility patterns of pathogens causing bacteraemia in paediatric febrile neutropenic oncology patients: comparison between two consecutive time periods with use of different antibiotic treatment protocols. Int J Antimicrob Agents. 2005;25:469-73

    54. Hughes WT., Armstrong D., Bodey GP., Bow EJ., Brown AE., Calandra T, et al. Guidelines for the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis. 2002;34:730-51

    55. Jaksic B., Martinelli G., Perez-Oteyza J., Hartman CS., Leonard LB., Tack KJ. Efficacy and safety of linezolid compared with vancomycin in a randomized, double-blind study of febrile neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis. 2006;42:597-607.

    56. Johnson MJ. Bleeding, clotting, and cancer. Clin Oncol (R Coll Radiol). 1997;9:294-301 57. Lai HP., Hsueh PR., Chen YC., Lee PI., Lu CY., Lu MY, et al. Bacteremia in hematological and

    oncological children with febrile neutropenia: experience in a tertiary medical center in Taiwan. J Microbiol Immunol Infect. 2003;36:197-202.

    58. Lehrnbecher T., Phillips R., Alexander S., Alvaro F., Carlesse F., Fisher B. Guideline for the Management of Fever and Neutropenia in Children With Cancer and/or Undergoing Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. J Clin Oncol 30.1-12

    59. Liang DC., Chen SH., Lean SF. Role of granulocyte colonystimulating factor as adjunct therapy for septicemia in children with acute leukemia. Am J Hematol. 1995;48:76-81.

    60. Link H., Bhme A., Cornely OA., Hffken K., Kellner O., Kern WV, et al. Antimicrobial therapy of unexplained fever in neutropenic patients. Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S105-17.

    61. Lucas KG., Brown AE., Armstrong D., Chapman D., Heller G. The identification of febrile, neutropenic children with neoplasic disease low risk of bacteremia and complications of sepsis. Cancer. 1996;77:791-9.

    62. Lyman GH., Lyman CH., Agboola O, for the ANC Study Group. Risk Models for Predicting Chemotherapy-Induced Neutropenia. The Oncologist 2005;10:427437

    63. Maschmeyer G., Ostermann H., Wendt S., Richter G. Guidelines of the infectious diseases working party of the German Society of Hematology and Oncology. Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S105-17

    64. Meckler G., Lindemulder S. Fever and Neutropenia in Pediatric Patients with Cancer. Emerg Med Clin N Am 27 (2009) 525544

    65. Mendes AVA., Sapolnik R., Mendona N. New guidelines for the clinical management of febrile neutropenia and sepsis in pediatric oncology patients.J Pediatr (Rio J). 2007;83(2 Suppl):S54-63

    66. Naurois J.D., Novitzky-Basso I, Gill M.J., Marti F.M., Cullen M.H., Roila F. On behalf of the ESMO Guidelines Working Group. Management of febrile neutropenia: ESMO Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology 21 (Supplement 5): 2010;v252v256

    67. Renoult E., Buteau C., Turgeon N., Moghrabi A., Duval M., Tapiero B. Is routine chest radiography necessary for the initial evaluation of fever in neutropenic children with cancer? Pediatr Blood Cancer. 2004;43:224-8

  • 35

    68. Rotstein C., Bow EG., Laverdiere M. Randomized placebo-controlled trial of uconazole prophylaxis for neutropenic patients: benet based on purpose and intensity of cytotoxic therapy. Clin InfectDis 1999; 28:33140

    69. Ruhnke M., Bhme A., Buchheidt D., Donhuijsen K., Einsele H., Enzensberger R, et al. Diagnosis of invasive fungal infections in hematoloy and oncology. Guidelines of the Infectious Diseases Working Party (AGIHO) of the Germany Society of Hematology and Oncology (DGHO). Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S141-8.

    70. Sachdeva RC., Jefferson LS., Coss-Bu J., Brody BA. Resource consumption and the extent of futile care in a pediatric intensive care setting. J Pediatr. 1996;128:742-7

    71. Santolaya ME., Rabagliati R., Bidart T., Paya E., Guzman AM., Morales R, et al. Consenso manejo racional del paciente con cncer, neutropenia y fiebre: rational approach towards the patient with cancer, fever and neutropenia. Rev Chilena Infectol. 2005;22 Supl 2:S79-S113

    72. Segal BH., Almyroudis NG., Battiwalla M., Herbrecht R., Perfect JR., Walsh TJ, et al. Prevention and early treatment of invasive fungal infection in patients with cancer and neutropenia and in stem cell transplant recipients in the era of newer broad-spectrum antifungal agents and diagnostic adjuncts. Clin Infect Dis. 2007;44:402-9.

    73. Sharma A., Lokeshwar N. Febrile Neutropenia in Haematological Malignancy. J Postgrad Med. 2005;Vol 51; suppl 1; S42-S48

    74. Veyradier A., Jenkins CS., Fressinaud E., Meyer D. Acquired von Willebrand syndrome: from pathophysiology to management. Thromb Haemost. 2000;84:175-82

    75. Winston DJ., Hathorn JW., Schuster MG., Schiller GJ., Territo MC. A multicenter, randomized trial of fluconazole versus amphotericin B for empiric antifungal therapy of febrile neutropenic patients with cancer. Am J Med. 2000;108:282-9.

  • 36