Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria a....
description
Transcript of Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria a....
PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA WANITA TENTANG
EMANSIPASI DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
KARYA MARIA A. SARDJONO
SKRIPSI
Untuk Meraih Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Nama : Marfika Santiasih Isma
NIM : 2134990028
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
SARI
Santiasih Isma, Marfika. 2005. Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Dra. Nas Haryati, M.Pd, Pembimbing II: Dra. L.M Budiyati
Kata kunci: tokoh utama, pandangan tokoh, emansipasi
Novel merupakan karya fiksi yang menyuguhkan peristiwa dengan berbagai permasalahan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Peristiwa tersebut merupakan perwujudan masalah yang ada di masyarakat baik pengalaman pribadi pengarang maupun orang lain. Demikian juga dengan novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono yang menyuguhkan tokoh utama wanita di dalamnya yaitu tokoh Nenek, Ibu, dan Gading. Ketiga tokoh utama wanita dalam novel tersebut berasal dari tiga generasi yang berbeda. Mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang emansipasi. Pandangan yang berbeda tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan ketiga tokoh dalam memperjuangan hak-haknya sebagai seorang wanita yang ingin sejajar dengan kaum laki-laki. Perjuangan tokoh utama dilakukan di bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga.
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah struktur novel berupa tokoh penokohan, emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono, dan pandangan ketiga tokoh utama wanita mengenai emansipasi.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengungkap struktur yang berupa tokoh penokohan, emansipasi wanita dan pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi yang terdapat dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode struktural dengan pendekatan objektif. Penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan deskripsi penokohan lewat pendekatan objektif. Unsur penokohan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana emansipasi yang dilakukan ketiga tokoh utama wanita dalam lingkungan keluarga (domestik) dan masyarakat. Analisis penokohan yang dilakukan dengan metode ini lebih ditekankan pada tokoh dan penokohannya yaitu pada watak atau karakter tokoh.
Hasil pembahasan skripsi ini adalah mengenai tokoh dan penokohan yaitu Nenek, Ibu, dan Gading. Dari analisis penokohan ketiga tokoh utama wanita dalam novel ini tokoh Nenek digambarkan sebagai sosok wanita Jawa yang sudah berumur lebih dari delapan puluh empat tahun yang memegang teguh adat Jawa. Tokoh Ibu digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun, sosok wanita modern yang cenderung tidak lagi memegang teguh adat Jawa. Tokoh Ibu berani untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai seorang wanita. Tokoh Gading adalah generasi ketiga yang hidup di masa
i
modern, berpandangan sangat luas dan selalu menjunjung emansipasi wanita. Analisis selanjutnya, membahas emansipasi wanita di bidang politik dimana tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan haknya untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Di bidang hukum tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan agar mendapatkan hak untuk memperoleh keadilan. Di bidang ekonomi tokoh Ibu memperjuangkan hak mendapatkan kehidupan yang layak dengan menjadi dosen, sedangkan tokoh Gading menjadi seorang wartawan. Di bidang pendidikan tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan haknya dengan mendapatkan pendidikan yang tinggi. Di lingkungan keluarga tokoh Ibu memperjuangkan haknya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh suami sehingga cenderung otoriter. Pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan ada yang mendukung dan ada yang kurang mendukung. Tokoh Ibu karena latar belakang pengalaman masa lalunya sewaktu dia kecil yang mendorong Ibu untuk mendukung sepenuhnya emansipasi wanita. Beliau tidak ingin mengalami apa yang dialami oleh ibunya yaitu Tokoh Nenek yang mendapat perlakuan tidak adil dari suaminya. Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarga yang demokratis dan berwawasan modern serta pendidikan yang tinggi. Tokoh Nenek cenderung kurang mendukung karena latar belakang keluarganya yang mendidik sesuai nilai-nilai sosial yang berpedoman pada budaya dan adat Jawa yang dipengaruhi oleh sistem patriarkat. Bardasarkan hasil pembahasan di atas Penulis menyarankan agar hasil analisis skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono ini dapat digunakan oleh peneliti sastra yang lain untuk menganalisis dari segi sosiologi sastra atau segi ilmu sastra yang lain.
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di dalam siding Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
pada :
hari : Rabu
tanggal : 7 September 2005
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Drs. Mukh. Doyin, M.Si.
NIP 131281222 NIP 132106367
Penguji I, Penguji II, Penguji III,
Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Dra. L.M. Budiyati, M.Pd. Dra. Nas Haryati, M.Pd.
NIP 131813650 NIP 130529511 NIP 131125926
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk
berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 27 Januari 2005
Penulis
(Marfika Santiasih Isma)
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
Kedisiplinan adalah kunci keberhasilan
Kesabaran dan pengendalian diri adalah kunci kesuksesan
Dorongan semangat dan doa dari keluarga adalah kunci dari segalanya
Persembahan:
Segala usaha yang telah menjadi sebuah karya cipta
kupersembahkan kepada Ibunda tercinta, kakak-
kakakku yang selalu memberikan dorongan
semangat dan doa yang tiada henti, dan semua yang
memberikan inspirasi.
v
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi
Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono telah selesai dibuat.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu memberikan bantuan, dorongan, semangat, dan doanya sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dra. Nas Haryati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh
kesabaran memberikan bimbingan, masukan, dan arahan;
2. Dra. L.M Budiyati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing
penulis dengan kesabaran;
3. Rektor UNNES yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menimba ilmu di UNNES dan menyusun skripsi;
4. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia beserta pejabat jurusan yang telah
memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan dalam penyusunan skripsi;
5. Ibu dan Bapak Dosen Jurusan PBSI yang telah memberikan segenap dedikasi
berupa bekal ilmu pengetahuan yang menunjang pembuatan skripsi ini;
6. Pengelola Komunitas Baca 202 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Perpustakaan
UNNES yang telah banyak memberikan kemudahan dengan menyediakan
vi
referensi buku-buku yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;
7. Keluargaku tercinta, ibu dan kakak-kakakku yang telah memberikan doa,
dorongan semangat dalam pembuatan skripsi;
8. Teman-teman PBSI ankatan 1999 terima kasih atas dorongan semangat dan
kerjasamanya selama ini;
9. Semua pihak yang telah banyak membantu namun tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, terutama adik
kelas bisa menjadikan skripsi penulis sebagai bahan referensi. Semoga Allah Swt
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya pada semua pihak yang telah membantu,
Amin.
Semarang,
Penulis
vii
DAFTAR ISI
SARI ………………………………………………………………………………….i
PENGESAHAN KELULUSAN…… ………………………………………………….ii
PERNYATAAN…… ………………………………………………………………….iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…. ………………………………………………….v
PRAKATA…. ………………………………………………………………………….vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...viii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………...xi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….8
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………..8
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………9
BAB II LANDASAN TEORETIS……………………………………………………..10
2.1 Tokoh dan Penokohan……………………………………………………...10
2.1.1 Pengertian Tokoh………………………………………………...11
2.1.2 Macam-macam Tokoh……………………………………………12
2.1.3 Pengertian Tokoh Utama…………………………………………13
2.1.4 Ciri-ciri Tokoh Utama……………………………………………14
2.1.5 Pengertian Penokohan……………………………………………15
2.1.6 Cara Mengenali Watak Tokoh……………………………………17
2.2 Gender………………………………………………………………………21
viii
2.2.1 Pengertian Gender………………………………………………..21
2.2.2 Perbedaan Gender………………………………………………..23
2.2.3 Munculnya Gerakan Emansipasi…………………………………24
2.3 Emansipasi…………………………………………………………………26
2.3.1 Pengertian Emansipasi…………………………………………...26
2.3.2 Gerakan Emansipasi di Berbagai Bidang………………………..27
2.3.2.1 Emansipasi di Bidang Politik………………………….27
2.3.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum…………………………28
2.3.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi……………………….29
2.3.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan…………………….31
2.3.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga…………………..31
2.4 Pandangan Orang tentang Emansipasi…………………………………….33
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………………38
3.1 Sasaran Penelitian…………………………………………………………38
3.2 Pendekatan Penelitian……………………………………………………..38
3.3 Metode Analisis Data……………………………………………………..39
3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………………40
3.5 Langkah Kerja……………………………………………………………..41
BAB IV DESKRIPSI EMANSIPASI DAN PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA
WANITA DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN……………...42
4.1 Tokoh dan Penokohan……………………………………………………42
4.1.1 Nenek…………………………………………………………...44
4.1.2 Ibu………………………………………………………………48
ix
4.1.3 Gading…………………………………………………………..53
4.2 Emansipasi dalam Novel Tiga Orang Perempuan ……………………….58
4.2.1 Emansipasi di Bidang Politik……………………………………60
4.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum…………………………………..60
4.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi…………………………………61
4.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan………………………………63
4.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga……………………………65
4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga
Orang Perempuan………………………………………………………..67
4.3.1 Pandangan Nenek tentang Emansipasi…………………………68
4.3.2 Pandangan Ibu tentang Emansipasi…………………………….73
4.3.3 Pandangan Gading tentang Emansipasi………………………..80
4.3.4 Persamaan dan Perbedaan Pandangan Tiga Tokoh Utama
Wanita………………………………………………………….83
BAB V PENUTUP…………………………………………………………………..87
5.1 Simpulan…………………………………………………………………87
5.2 Saran……………………………………………………………………..89
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..90
x
xi
xii
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus
informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih
berperan aktif dalam pembangunan. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang
berperan aktif, perempuan dituntut untuk beperan aktif juga dalam mengisi
pembangunan. Mereka harus lebih mempunyai suatu sikap yang mandiri,
disamping kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai
dengan bakat yang dimilikinya. Perempuan banyak yang memiliki peran ganda
selain sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai wanita yang
bekerja atau lebih dikenal dengan sebutan wanita karier. Oleh karena itu wanita
belum bisa berperan secara utuh di masyarakat. Di satu sisi perempuan ingin
berperan secara penuh baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat, namun di
sisi lain perempuan tidak boleh melupakan kodratnya sebagai seorang wanita..
Menghadapi permasalahan di atas diperlukan adanya strategi yang tepat
yang mampu mendukung wanita dalam beperan aktif baik di lingkungan keluarga
maupun di luar sebagai wanita karier tanpa mendapat pandangan negatif dari
masyarakat. Strategi tersebut adalah dengan gerakan emansipasi wanita. Namun
pada umumnya masyarakat berprasangka bahwa gerakan emansipasi wanita
adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan nilai-nilai
atau norma-norma sosial yang ada, misalnya lembaga/institusi rumah tangga,
2
perkawinan maupun usaha pemberontakan untuk mengingkari apa yang disebut
kodrat.
Tujuan yang sebenarnya dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta
derajat laki-laki, bukan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki
sevagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki. Dengan
adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak
yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Namun dari pihak
perempuan pun ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang
teguh nilai-nilai budaya tradisional yang masih kuat yaitu ciri tradisional yang
mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif
dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara
domestisitas.
Beberapa orang ahli berpendapat mengenai gerakan emansipasi atau sering
disebut feminisme. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan
wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Geofe 1986:837). Menurut
pendapat yang dikemukakan oleh Dzuhayatin (dalam Bainar 1998:16-17)
feminisme merupakan sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan
suatu penindasan dan pemerasan terhadap wanita dalam masyarakat.
Pandangan yang menyatakan bahwa emansipasi wanita tidak hanya
menuntut kesamaan saja dan itu dianggap tidak begitu penting, yang penting di
3
sini adalah bagaimana wanita memiliki kesempatan untuk mengembangkan
potensi serta bakatnya agar lebih maju (Widoyo 1991:16).
Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut
emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita
tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang
dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk
menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini
merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman
hidupnya sendiri maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek
(dalam Budianta 1990:109) yang menyatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan
dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
itu juga meniru alam dan dunia subyektif manusia. Suharianto (1982:11)
mengatakan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah pengejawantahan
kehidupan, hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Pengarang
dalam menciptakan karya sastra didasarkan pada pengalaman yang telah
diperolehnya dari realitas kehidupan di masyarakat. Peran tokoh dari dunia nyata
kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra.
Permasalaha yang menjadi sorotan publik dan ide dalam sebuah karya
sastra saat ini adalah mengenai permasalahan gender. Adanya perbedaab gender
sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan
gender (gender inqualities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender baik bagi kaum laki-laki
dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan
4
struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut (Fakih 2001:12). Permasalahan gender tersebut yaitu bahwa kehidupan
wanita di zaman dahulu sampai sekarang mengalami kegelapan dan sangat
diabaikan keberadaannya. Gambaran sosok wanita selalu berada dalam kekuasaan
laki-laki (Mukmin 1980:83). Menurut Fakih (2001:10) karena konstruksi sosial
gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka laki-laki kemudian
terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju sifat gender
yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih
besar. Sebaliknya, karena perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses
sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi
serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik
dan biologis selanjutnya. Dengan adanya permasalahan gender tersebut membawa
perkembangan baru bagi dunia sastra yaitu memberikan pengaruh terhadap cara
pandang sastrawan untuk menciptakan tokoh perempuan dalam karya sastranya.
Cara pandang sastrawan tersebut yang pertama adalah wanita sebagai
pelengkap suami atau wanita yang melihat perannya berdasarkan keadaan
biologisnya (baik sebagai isteri, ibu rumah tangga, nenek, dsb). Cara pandang
yang kedua, wanita sebagai sentral kapitalis. Artinya wanita mampu mandiri dan
berkarier di lingkungan luar (Mukmin 2001:13). Wanita yang mencoba
menembus batas stereotip kedudukan perempuan dan melihat diri sendiri sebagai
individu bukan hanya sebagai pendamping laki-laki. Tokoh perempuan seperti ini
adalah mereka yang disebut perempuan feminis yang berusaha mandiri dalam
berfikir dan bertindak, serta menyadari hak-haknya (Chudori 1991:28).
5
Berbicara mengenai karya sastra yang feminis dalam hubungannya dengan
emansipasi tokoh wanita di masyarakat, salah seorang pengarang wanita
Indonesia yang tertarik membicarakan masalah perempuan dalam dunia sastra
melalui karya-karyanya adalah Maria A. Sardjono. Sebagai pengarang Maria A.
Sardjono merupakan pengarang yang cukup poduktif membuat karya sastra yang
bertemakan wanita.
Maria A. Sardjono adalah pengarang wanita yang lahir di Semarang 22
April 1945 namun ia dibesarkan dan bersekolah di Jakarta. Ia menulis sejak
remaja, namun baru pada tahun 1974 karya-karyanya dipublikasikan. Ia sudah
menulis kurang lebih 80 novel, belasan novelet dan buku cerita anak-anak dan
kurang lebih 120 cerpen. Novel-novel karya Maria A. Sardjono di antaranya
adalah Langit di atas Merapi, Pengantin Kecilku, Sepatu Emas Untukmu, Daun-
daun yang Gugur, Menjolok Rembulan, Bintang Dini Hari, Kemuning, Ketika
Flamboyan Berbunga, Melati di Musim Kemarau, Gaun Sutra Warna Ungu,
Lembayung di Kaki Langit, Lembayung di matamu dan masih banyak lainnya. Di
antara novel-novel karya Maria A. Sardjono tersebut ada empat novel yang sudah
difilmkan dan beberapa kali dibeli rumah produksi untuk dibuat sinetron. Salah
satu sinetron tersebut adalah Tiga Orang Perempuan. Novel ini mengisahkan tiga
perempuan berbeda generasi terbentur oleh budaya yang diwarnai sistem
patriarkat. Akibatnya timbul gejolak dalam kehidupan masing-masing dan
kegiatannya mengalami kegamangan ketika harus mengungkapkan cinta terhadap
perasaan laki-laki yang mereka kasihi.
6
Sang nenek membentengi dirinya dari perasaan cinta pada suaminya yang
berpoligami. Sang Ibu lain lagi. Karena melihat rumah tangga orang tuanya, dia
bertekad sebagai wanita super terhadap suami.
Gading sebagai generasi ketiga yang hidup di masa sekarang pun
mengalami benturan nilai-nilai tersebut. Yoyok, kekasihnya, masih memiliki
pemikiran yang sama seperti kakek moyangnya, yaitu tempat yang paling pas bagi
perempuan adalah di dalam rumah. Gading sadar bahwa ada nilai lain yang
menyangkut kasih yaitu pengorbanan, Yoyok sudah pergi meninggalkannya ke
negeri orang. Kemana harus dicarinya lelaki itu? Dia yang akhirnya memberinya
kesadaran bahwa di rumah pun seorang wanita tetap bisa berkarya dan
mengungkapkan eksistensinya, setara dengan laki-laki. Apakah dia harus
menerima jodoh yang didesakkan neneknya, seorang lelaki ningrat modern yang
pikirannya jauh lebih kuno dari Yoyok.
Dari uraian cerita novel Tiga Orang Perempuan di atas dapat kita ambil
suatu permasalahan yang menyangkut masalah emansipasi wanita, sehingga
menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini. Permasalahan yang sejenis
juga pernah dibahas oleh penulis lain tetapi merujuk pada peran tokoh wanita di
dalam keluarga dan masyarakat, bukan inti dari gerakan emansipasi yang
dilakukan oleh tokoh utama wanita. Yang menarik dari novel Tiga Orang
Perempuan ini adalah bagaimana pandangan tiga orang tokoh yang berbeda
generasi yaitu Nenek, Ibu, dan Gading yang terbentur oleh budaya yang diwarnai
sistem patriarkat, bisa menyatukan perbedaan tersebut dalam menghadapi
berbagai permasalahan.
7
Berdasakan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini akan
membahas secara lengkap dan utuh tentang tokoh wanita dalam sebuah karya
sastra (novel), khususnya ditinjau dari segi feminisme. Penelitian sejenis sudah
banyak. Penelitian yang menjadi landasan dalam penelitian skripsi ini diantaranya
skripsi berjudul Feminisme Dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming) oleh
Suprapti Dewi Mahanani yang membahas masalah kedudukan wanita, tokoh
wanita dilihat dari perspektif gender. Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah metode struktural dengan pendekatan objektif. Tokoh utama dalam novel
ini yaitu Tumini yang digambarkan selalu menderita dan dilihat dari perspektif
gender sebagai kaum perempuan ia mengalami ketidakadilan gender yang
termanifestasi kekerasan dalam bentuk pemerkosaan.
Kemudian skripsi Fitriani Nur Rahayu berjudul Perspektif Feminisme
Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto yang
membahas penentuan pola dan pendeskripsian feminisme. Penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Tokoh utama dalam novel ini Bu Bei.
Ia memperjuangkan wanita agar memiliki kedudukan yang sejajar dengan kaum
pria, persamaan hak atas rumah dan tanah serta persamaan hak untuk menikah
lagi. Penelitian sejenis tersebut sangat relevan dengan penelitian dalam kajian ini,
yang mencoba untuk melengkapi penelitian sejenis yang sudah ada. Perbedaannya
adalah pada permasalahan yang dikaji. Pada skripsi Suprapti (2001) yang berjudul
Feminisme Dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming) dibahas masalah
kedudukan wanita, tokoh wanita dilihat dari perspektif gender. Sedangkan pada
skripsi Fitriani (2003) yang berjudul Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita
8
Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dibahas penentuan pola dan
pendeskripsian feminisme. Berbeda dengan skripsi Tri Rahmawati yang berjudul
Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita Pada Novel Jalan Bandungan Karya
Nh. Dini (2003) dibahas peran dan emansipasi tokoh utama wanita baik di
lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Penelitian dalam skripsi ini
membahas pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda generasi tentang
emansipasi. Perbedaan tersebut tidak hany dari segi umur tetapi juga menyangkut
latar belakang kehidupan sosial ketiga tokoh wanita itu.
1. 2 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah mengenai emansipasi wanita,
permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut.
1. Bagaiamanakah watak tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono?
2. Bagaimanakah deskripsi emansipasi tiga tokoh utama wanita dalam novel
Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono?
3. Bagaimanakah pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi
dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
9
1. Mengungkapkan watak tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga
Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono.
2. Mengungkapkan deskripsi emansipasi tiga tokoh utama wanita
dalam novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono.
3. Mengungkapkan pandangan tiga tokoh utama wanita dari tiga
generasi yang berbeda tentang emansipasi Tiga Orang Perempuan
Karya Maria A. Sardjono.
1.4 Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk
memberikan wawasan baru, pengetahuan, dan pemahaman yang benar tentang
emansipasi untuk digunakan sebagai referensi mahasiswa Jurusan PBSI dalam
membuat skripsi.
10
BAB II
LANDASAN TEORETIS
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai teori yang mendukung
pembahasan pada BAB IV nanti sebagai landasan pokok dalam pengkajian. Teori
yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori tentang tokoh utama yang meliputi
(1) tokoh penokohan meliputi pengertian tokoh, pengertian tokoh utama, cirri-ciri
tokoh utama, pengertian penokohan, cara mengenali tokoh utama, kemudian teori
yang berhubungan dengan emansipasi yang meliputi (2) teori gender meliputi
pengertian gender, perbedaan/bias gender, munculnya gerakan emansipasi; (3)
emansipasi yang meliputi pengertian emansipasi, berbagai bidang emansipasi,
berbagai tanggapan tentang emansipasi.
2.1. Tokoh dan Penokohan
Dalam sebuah karya fisik berupa novel terdapat tokoh dan penokohan
yang sebagian besar tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati
berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan
satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita, tetapi juga berperan untuk
menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa,
terutama psiko-analisa, merupakan salah satu alasan pentingnya peranan tokoh
cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang (Sumardjo 1986:63).
Cerita dapat ditelusuri dan diikuti perkembangannya lewat perwatakan
tokoh-tokoh cerita atau penokohan cerita. Konflik-konflik yang terdapat dalam
11
suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari tokoh-tokohnya, baik yang bersifat protagonis maupun antagonis,
tokoh utama maupun tokoh bawahan. Karena itu, kemampuan pengarang
mendeskripsikan karakter tokoh cerita yang diciptakan sesuai dengan tuntutan
cerita dapat pula dipakai sebagi indikator kekuatan sebuah cerita fiksi.
Penelitian ini memfokuskan pada tokoh khususnya tokoh utama wanita.
Pada setiap cerita selalu terdapat tokoh utama yang memegang peranan penting
dalam cerita. Berbicara mengenai tokoh utama tidak terlepas dari segala tindakan
dan tingkah lakunya disetiap peristiwa.
Kita akan memulai landasan teori ini dengan menguraikan pengertian
tokoh penokohan dan pengertian tokoh utama.
2.1.1. Pengertian Tokoh
Cerita rekaan pada dasarnya mngisahkan seseorang ataun beberapa
orang yang menjadi tokoh. Menurut Sudjiman (1991:16) tokoh idividu adalah
rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan didalam berbagai peristiwa
cerita. Jadi tokoh adalah orangnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
perlakuan dalam tindakan. Badudu dan Zain (1996:152) mengartikan tokoh
sebagai pemegang peranan penting dalam cerita roman, novel dan cerita pendek.
Dari pendapat ketiga ahli tentang tokoh tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa tokoh merupakan individu rekaan yang berperan sangat
penting dalam suatu karya sastra (novel) yang mengalami berbagai peristiwa atau
perlakuan. Dalam cerita rekaan terdapat berbagai peristiwa yang dialami tokohnya
12
dan peristiwa tersebut dialami tidak hanya satu tokoh saja tapi dialami oleh
beberapa tokoh sehingga dalam cerita rekaan terdapat beberapa tokoh. Tokoh
dalam cerita rekaan ini ada berbagai macam.
2.1.2. Macam-macam Tokoh
Menurut beberapa ahli tokoh rekaan dalam cerita terbagi menjadi
beberapa macam tokoh. Macam-macamnya adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan cara menampilkannya, tokoh cerita dibedakan menjadi tokoh
datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat
atau tokoh kompleks (complex atau round character) (Nurgiyantoro 1998
:181). Menurut Forster (1970:750) didalam cerita rekaan tokoh datar
disoroti satu segi wataknya saja. Tokoh datar bersifat statis, wataknya
sedikit sekali atau bahkan tidak berubah dalam perkembangan lakuan
(Sudjiman 1991:20-21). Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih
dari segi watak, kepribadian, dan jati dirinya secara berganti-gantian
(Nurgiyantoro 1998:183: (Sudjiman 1991:21). Dibandingkan dengan
tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang
sesungguhnya karena selain memiliki berbagai kemungkinan sikap dan
tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams 1981:20-21).
2. Berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya (Nurgiyantoro 1998:176)
atau fungsinya (Sudjiman 1991:17-18) tokoh didalam cerita rekaan
dibedakan menjadi tokoh sentral atau tokoh utama (central character,
main character ) dan tokoh bawahan atau tokoh tambahan (peripheral
character). Tokoh sentral (dan tokoh tambahan) terdiri dari tokoh
13
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis merupakan
pengejawantahan dari norma-norma dan nilai-nilai yang idela bagi
pembaca (Altenbernd dan Lewis 1966:59). Sementara itu, menurut
(Sudjiman 1991:17-18), tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang
peran pimpinan didalam cerita. Dalam cerita rekaan juga terdapat tokoh
antagonis yaitu tokoh penyebab konflik (Nurgiyantoro 1998:179). Tokoh
antoganis adalah tokoh yang menjadi penentang utama atau yang
berposisi dengan protagonis (Nurgiyantoro 1998:179; Sudjiman 1991:
19). Tokoh bawahan, menurut Grimes (1975:43), adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya didalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan
untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh tambahan
yang menjadi kepercayaan tokoh protagonis yang disebut tokoh andalan
(Sudjiman 1986:75; 1991:20).
2.1.3. Pengertian Tokoh Utama
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwa tokoh dalam cerita rekaan
ada bermacam-macam, salah satunya adalah tokoh sentral atau sering disebut
dengan tokoh utama.
Menurut Nurgiyantoro (2002:176-177), tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh utama menurut Nurgiyantoro digolongkan dari segi peranan atau
14
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, disamping itu dalam kategori ini
juga terdapat tokoh tambahan.
Sudjiman (1998:71) mengatakan bahwa tokoh utama disebut juga tokoh
sentral. Tokoh ini memegang peranan penting dan selalu menjadi tokoh sentral,
dalam cerita yang menjadi sorotan kisahan dalam cerita yang menjadi sorotan
kisahan dalam cerita. Tokoh utama masuk kedalam jenis tokoh berdampingan
dengan tokoh bawahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang mempunyai peranan penting didalam
cerita, lebih sering muncul dan juga sering dibicarakan oleh pengarangnya
(Aminuddin 2002:79). Tokoh utama disebut juga tokoh inti. Dari ketiga pendapat
ahli tersebut diatas, pendapat Aminuddin dan Nurgiyantoro yang lebih mendekati
pengertian tokoh utama yang sebenarnya karena mereka menambahkan adanya
tokoh yang sering muncul dan sering dibicarakan oleh pengarang atau paling
banyak diceritakan oleh pengarang.
2.1.4 Ciri-ciri Tokoh Utama
Dalam sebuah cerita rekaan, kita dapat melihat adanya berbagai macam
tokoh baik tokoh utama/sentral dan tokoh bawahan. Dalam membedakan antara
tokoh utama dengan tokoh bawahan terdapat ciri-ciri yang melekatinya. Ciri-ciri
yang akan dibahas adalah ciri-ciri tokoh utama.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan cirri-ciri tokoh utama bukan
hanya frekuensi atu seringnya kemunculan tokoh itu didalam cerita, melainkan
intensitas keterlibatannya didalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
15
Tokoh utama ini yang paling tinggi intensitas keterlibatannya didalam peristiwa-
peristiwa yang membangun cerita, wktu yang digunakan untuk menceritakan
pengalaman tokoh utama lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang
digunakan untuk mengisahkan tokoh-tokoh lain, tokoh utama selalu berhubungan
dengan semua tokoh yang ada didalam cerita sedangkan tokoh-tokoh lain tidak
saling berhubungan, menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokonj
ini selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik
(Nurgiyantoro 2002:177). Ditambahkan oleh pendapat Aminuddin (2002:89)
bahwa tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan selalu
dibicarakan oleh pengarang. Tokoh utama juga daapt dirunut dari judul, misalnya
novel Siti Nurbaya yang secara langsung kita dapat mengetahuinya siapa tokoh
utamanya yaitu Siti Nurbaya.
2.1.5 Pengertian Penokohan
Penokohan berasal dari kata tokoh yang berarti pelaku. Karena yang
dilukiskan mengenai watak-watak tokoh atau pelaku cerita, maka disebut
perwatakan atau penokohan.
Dengan demikian perwatakan atu penokohan adalah pelukisan
tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita.
Moh. Thani Ahmad (dalam Dewan Bahasa 1974:509) menyebutkan adalah sifat
menyeluruh dari manusia yang disorot, termasuk perasaan, keindahan ,cara
berpikir, cara bertindak, dan sebagainya. Badudu dan Zain (1996:152)
mengartikan tokoh sebagai pemegang peran penting dalam cerita-cerita roman,
16
novel dan cerita pendek. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sudjiman (1991
:16) bahwa tokoh utama adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam
beberapa peristiwa cerita. Menurut Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam tindakan.
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya
naratif. Suatu peristiwa terjadi oleh karena adanya aksi/reaksi tokoh-tokoh. Tanpa
tokoh tidak akan mungkin ada peristiwa cerita.
Penokohan atau perwatakan adalah cara penyajian tokoh dan penyajian
citra tokoh baik dalam keadaan lahir maupun batin. Sedangkan watak adalah
kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan tokoh dengan tokoh
lain (Suharianto 1982:31). Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro 1995:165)
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan menurut Aminuddin (1995:79)
adalah cara pengarang menampilkan tokoh/pelaku itu dalam cerita.
Menurut Nurgiyantoro (2000:165) penokohan itu juga disamakan artinya
dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah penciptaan citra
tokoh dalam karya sastra (Kridalaksana 1997:165). Istilah penokohan lebih luas
pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab mencakup masalah siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca.
17
Penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang
seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita disebut penokohan (Jones 1986 :
33; Sudjiman 1986:53; 1991:23). Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi
kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh cerita yang lain
(Sudjiman 1986 : 80; 1991 : 23). Watak itulah yang menggerakkan tokoh untuk
melakukan perbuatan tertentu sehingga cerita menjadi hidup.
Beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa penokohan yang
berhasil menggambarkan tokoh-tokoh tersebut dan mengembangkan watak dari
tokoh-tokoh tersebut yang memiliki tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan
amanat, perkembangan haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan
kausalitas.
2.1.6 Cara Mengenali Watak Tokoh
Seperti yang telah dikemukakan dalam uraian diatas bahwa cirri-ciri
tokoh utama adalah tokoh itu paling banyak diceritakan pengarang, selalu
berhubungan dengan tokoh lain, selaslu menjadi sorotan, diutamakan, berperan
penting, dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh ini selalu
hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik (Nurgiyantoro 2002 :
177). Ditambahkan oleh Aminuddin (2002 : 89) bahwa tokoh utama merupakan
tokoh yang sering diberi komentar dan selalu dibicarakan oleh pengarang. Tokoh
utama juga dapat dirunut dari judul, misalnya novel Siti Nurbaya yang secara
langsung kita dapat mengetahui tokoh utamanya adalah Siti Nurbaya.
18
Setelah mengungkapkan ciri-ciri tokoh utama, kita beralih pada
bagaimana cara mengenali watak dari tokoh utama tersebut. Berdasarkan ciri
tokoh utama diatas, tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan
atau mendominasi peristiwa. Untuk mengetahui dominasi tokoh dalam cerita, kita
lebih dulu mendata peristiwa atau insiden diperlukan untuk menentukan tokoh
utama.
Menurut Luxemburg (dalam Nugiyantoro 2002 : 177), peristiwa adalah
peralihan dari suatu keadaan yang lain. Sedangkan Sukada ( 1987 : 57)
menggunakan istilah insiden untuk menyebut even sehubungan dengan peristiwa
atau kejadian yang terkandung dalam cerita, baik besar atau kecil dan didalam
insiden terkandung ide, tendens, amanat, motif, latar yang dituangkan pengarang.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas disimpulkan bahwa istilah insiden dan
peristiwa artinya sama, hanya istilah saja yang beda.
Untuk mengenali watak atau karakter tokoh utama dapat dilihat dari
apa yang dikatakan dan apa yang dilakuakan (Abrams 1981 : 20). Identifikasi
tersebut adalah didasarkan pada konsistensi atau keajegannya. Dalam artian
konsistensi sikap, moralitas pelaku, dan pemikiran dalam memecahkan,
memandang dan bersikap dalam menghadapi berbagai peristiwa. Dengan bahasa
yang berbeda, David Daiches menyebutkan bahwa karakter atau watak tokoh
utama cerita fiksi dapat muncul dari sejumlah peristiwa atau insiden dan
bagaimana reaksi tokoh utama itu pada peristiwa yang dihadapi (Daiches 1948 :
352). Oleh karena itu diperlukan cara atau teknik untuk mengenali watak tokoh.
19
Cara mengenali watak tokoh bisa juga dengan menggunakan metode
penokohan. Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Pertama menurut Hudson (1963 : 146-147),
metode analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan
sifat-sifat, hasrat, pikiran dan perasaan tokoh, kadang-kadng disertai komentar
tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini memang sederhana dan hemat,
tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk
membentuk gambarannya tentang si tokoh (Sudjiman 1991 : 24).
Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau
metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,
percakapan, cakapan, dan lakukan tokoh yang disajikan pengarang melalui
narrator. Bahkan watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari
gambaran lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain
tentang tokoh utama. Metode ini lebih hidup dan menggalakkan pembaca untuk
menyimpulkan watak tokoh (Sudjiman 1991 : 26). Para kritikus modern pada
umumnya beranggapan bahwa secara intrinsik metode dramatik bermutu lebih
tinggi daripada metode analitik (Sudjiman 1991 : 27).
Metode yang ketiga, menurut Kenney (1996 : 36), adalah metode
kontekstual. Dengan metode ini watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang
digunakan narator didalam mengacu kepada tokoh cerita. Meskipun demikian
ketiga metode tersebut dapat dipakai secara bersama-sama dalam menggarap
sebuah novel.
20
Selain cara yang sudah disebutkan diatas, diperlukan juga teknik yang
digunakan dalam menampilkan tokoh dalam suatu cerita disebut teknik
penokohan yang digunakan oleh pengarang dalam menentukan karakteristik
tokoh-tokoh melalui tiga dimensi, yaitu :
a. Dimensi fisilogis, adalah ciri-ciri badan atau ragawi, misalnya usia,
jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri muka, serta ciri fisik yang lain.
b. Dimensi psikologis, adalah ciri-ciri rohani atau jiwa, misalnya
mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, sikap, serta rohani yang
lain.
c. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan didalam masyarakat,
misalnya status sosial, pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat,
jenjang pendidikan.
d. Pandangan hidup, agama, ideologi, aktivitas sosial, dan ciri sosiologis
yang lain.
Suardi Tasrif (dalam Lubis 1960 : 180), mengemukakan 7 macam cara
melukiskan perwatakan tokoh cerita, yaitu :
a. Physical description : menggambarkan bentuk lahir dari pelaku cerita.
b. Portroyal of throught streem of concius : pelukisan jalan pikiran atau
apa yang terlintas dalam pikiran tokoh.
c. Reaction to event : penggambaran tentang bagaimana reaksi pelaku
terhadap kejadian-kejadian.
d. Direct auther analysis : menganalisis langsung watak tokoh.
21
e. Discussion of environment : pelukisan keadaan sekitar lingkungan
pelaku, seperti keadaan kamar yang biasa memberi kesan jorok dan
sebagainya.
f. Reaction of others about to character : pelukisan mengenai bagaimana
pandangan pelaku lain terhadap tokoh utama.
g. Conversation of about to character : perbincangan pelaku-pelaku lain
terhadap tokoh utama, untuk memberi kesan terhadap tokoh utama.
2.2. Gender
2.2.1. Pengertian Gender
Gender menurut Fakih (1999 : 77) adalah perbedaan perilaku antara laki-
laki dan perempuan yang dokonstruksikan secara social, yakni perbedaan yang
bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan
perempuan) melalui proses social dan kultur yang panjang.
Caplan (dalam Fakih 1999:72) menguraikan bahwa perbedaan perilaku
antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses
social dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu, berubah
dari tempat ketempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis
(seks) akan tetap tidak berubah.
Rahardjo (dalam Teguh 1995 : 5) menerangkan gender adalah suatu
istilah untuk menerangkan bagaimana suatu budaya menginterpretasikan
perbedaan kelamin yaitu dalam memberikan arti seseorang yang lahir sebagai
22
wanita serta stereotip gender yang berkaitan dengan citra, peran, dan kedudukan
didalam masyarakat.
Pendapat Hubies ( dalam Anshori 1997 : 24) tentang gender adalah
suatu sistem peran dan hubungan perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan
biologisnya tetapi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Kesemuanya dibangun
berdasarkan konvensi yang lebih modern, yang tidak menempatkan suatu
kelompok sebagai pusat dan membuang kelompok lainnya ke posisi marginal. Hal
ini akan berarti hilangnya pertentangan peran laki-laki dan perempuan diberbagai
sektor kehidupan, sehingga akan terjadi pergeseran peran. Wanita tidak lagi
ditempatkan sebagai konco wingking, tetapi sebagai mitra dalam pengertian yang
luas dan memiliki kesempatan saam berdasarkan kemampuan yang dimilki.
Konsep gender yang dikembangkan Hubies (dalam Anshori 1997 : 25)
meliputi :
1. Gender Different, yaitu perbedaan-perbedaan karakter, perilaku, harapan
yang dirumuskan untuk tiap-tiap orang menurut jenis kelamin.
2. Gender Gap, yaitu perbedaan dalam hubungan berpolitik dan bersikap
antara laki-laki dan perempuan.
3. Genderization, yaitu acuan konsep penempatan jenis kelamin pada
identitas diri dan pandangan kepada orang lain.
4. Gender Identity, yaitu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seseorang
menurut jenis kelaminnya.
5. Gender Role, yaitu peran perempuan dan laki-laki yang diterpakan dalam
bentuk nyata menurut budaya setempat yang dianut.
23
Konsep gender yang dikembangkan oleh Mangun Wijaya (dalam
Sumartan 1995 : 286-287) bahwa munculnya ketidakadilan gender disebabkan
karena adanya ketidakpuasan dengan konsep seks yang melihat perbedaan antara
kaum laki-laki dan perempuan dari segi biologisnya. Konsep ini hanya melihat
perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan, akan mengakibatkan
perbedaan perlakuan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan tersebut di
dalam kehidupannya di masyarakat.
2.2.2. Perbedaan Gender
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan
kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen tidak berubah, tidak dapat
dipertukarkan dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai
ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
maupun kultural. Ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan
perempuan.
Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dengan gender sangatlah
penting dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena
ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
24
ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan
masyarakat secara lebih luas (Fakih 2001:3-4).
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis lki-
laki dengan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan
tersebut dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya benetuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui ajaran
keagamaan maupun Negara yang pada akhirnya dianggap menjadi ketentuan
Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak biasa diubah lagi. Sehingga
perbedaan tersebut dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat
perempuan.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Perbedaan tersebut
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki
dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
2.2.3. Munculnya Gerakan Emansipasi
Perbedaan gender yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender
tersebut, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.
Gerakan emansipasi merupakan salah satu menifestasi ketoidakadilan tersebut.
Oleh karena itu kaum perempuan berusaha untuk menghilangkan ketidakadilan
tersebut dengan menggerakkan emansipasi disegala bidang. Di Indonesia gerakan
ini pertama kali dicetuskan oleh R.A Kartini. Melalui tenaganya mendidik dan
25
mengajar kaum wanita pada zamannya itu, ia telah membuka hati dan pikiran
kaum wanita untuk lebih maju. Gerakan emansipasi ini kemudian diteruskan oleh
pejuang-pejuang wanita seperti Dewi Sartika yang mendirikan sekolah khusus
untuk wanita.
Selain di Indonesia, gerakan emansipasi wanita juga terjadi dibelahan
dunia yang lain seperti di Amerika. Gerakan ini muncul disebabkab oleh beberapa
aspek, diantaranya adalah aspek politik, aspek agama, konsep sosialis dan konsep
marxis. Ketiga aspek ini senantiasa menjadi landasan gerakan emansipasi atau
lebih dikenal dengan sebutan gerakan feminisme. Tujuan kaum wanita melalui
gerakan emansipasi ini adalah untuk tidak mengungguli atu mendominasi kaum
laki-laki sebagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki.
Tujuan yang sebenarnya dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan
kedudukan dan derajat kaum wanita agar sama atau sejajar dengan kedudukan
derajat kaum laki-laki. Untuk mencapai tujuan ini dengan cara memperoleh hak
dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh kaum laki-laki, kemudian
munculah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara yang
lain adalah dengan membebaskan kaum perempuan dari ikatan lingkungan
domestik atau lingkungan keluarga atau lebih dikenal dengan istilah women’s
liberation movement, disingkat dengan women’s lib, atau women’s emancipation
movement, yatiu gerakan emansipasi wanita.
Pelopor dari gerakan ini adalah Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott,
dan Susan B. Anthony. Dalam konvensi di Seneca Falls, para pelopor itu
menggalang dukungan bagi tuntutan agar para wanita diberi hak yang sama
26
dibidang hukum, ekonomi dan sosial. Kendala yang dihadapi pada masa-masa itu
adalah nilai-nilai Victoria (Inggris) dengan ciri tradisional yang mengharuskan
kaum perempuan menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersiakap pasif dan
menyerah, rajin mengurus rumah tangga dan keluarga atau memelihara
domestisitas (www.sekitarkita.com 2002)
Manifestasi ketidakadilan gender yang menyebabkan munculnya
gerakan emansipasi, sebagai contoh kasus dibidang ekonomi. Program pemerintah
yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya program
swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara eknomis telah
menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan
mereka. Pemiskinan terjadi juga didalam rumah tangga, masyarakat atau kultur
dan bahkan Negara (Fakih 2001:14).
2.3. Emansipasi
2.3.1. Pengertian Emansipasi
Emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai bidang atau aspek
kehidupan dalam masyarakat. Perjuangan wanita yang menuntut kesejajaran
dengan pria, sesuai dengan norma-narma kesusilaan, agama dan batas-batas yang
ada pada diri wanita sehingga tumbuh keseimbangan pikir dan rasa yang utuh
kemudian timbul menjadi keharmonisan.
Menurut Nadiyah (dalam Widoyo 1991 : 16) bahwa emansipasi wanita
adalah keseimbangan partisipasi antara pria dan wanita. Madya berpendapat
bahwa emansipasi wanita kemajuan secara harmonis yaitu bahwa antara pria dan
27
wanita tidak harus sama sebab kesejajaran wanita adalah untuk mengembangkan
potensi sehingga mampu berfungsi secar harmonis (Widoyo 1991 : 16).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa emansipasi wanita
adalah bukan sekadar emansipasi berhadapan dengan persamaan hak dengan pria,
tetapi emansipasi manusia sejati, baik secara lahiriah maupun rohaniah.
Emansipasi harus mampu melahirkan wanita yang mempunyai watak dan
kepribadian yang berintegritas tinggi, yang sanggup menepis dan menyingkirkan
segala hal yang melecehkan dan merendahkan kehormatan dan martabat wanita
dengan gagah berani bersama pria menegakkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebenaran dan keadialan.
2.3.2. Gerakan Emansipasi di Berbagai Bidang
Gerakan emansipasi terjadi disegala bidang kehidupan. Diantaranya
dibidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan keluarga. Karena
gerkan emansipasi yang terjadi diberbagai bidang kehidupan ini, maka diperlukan
suatu pengklasifikasian/penggolongan untuk membedakan antara emansipasi
dibidang yang satu dengan emansipasi dibidang yang lain. Berikut akan dijelaskan
pengklasifikasian gerakan emansipasi tersebut.
2.3.2.1 Emansipasi di Bidang Politik
Biasanya gerakan emansipasi yang terjadi dibidang politik disebabkab
karena ketidakadilan gender yang terjadi ditingkat Negara. Banyak kebijakan dan
hokum Negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih
28
mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidakadilan gender. Salah satu contoh
adanya asumsi bahwa kedudukan seorang presiden sebaiknya dijabat oleh seorang
laki-laki. Sebagian orang menganggap jabatan tersebut jika dipegang oleh wanita
akan menimbulkan kekacauan. Wanita dianggap tidak mampu memikul tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya. Apa yang telah diuraikan diatas merupakan
hal yang disebut subordinasi. Kebijakan dibuat tanpa “ menganggap penting “
kaum perempuan. Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki pembawaan “
emosional “ sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau
menjadi manajer bahkan sebagai seorang presiden, adalah proses subordinasi dan
diskriminasi berdasarkan gender. (Fakih 2001 : 74).
Melalui gerakan emansipasi, wanita mencoba untuk menuntut keadilan
agar mereka diakui dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam politik
dan menjadi mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki. Salah satu tuntutan wanita
adalah agar mereka bisa mempertahankan keputusan sendiri tanpa adanya
intervensi dari kaum laki-laki.
2.3.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum
Emansipasi di bidang hukum banyak terjadi di masyarakat. Emansipasi
terjadi sebagai akibat adanya ketidakadilan gender di bidang hukum. Sistim
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seringkali merugikan kaum
perempuan. Diantaranya hukum mengenai kekerasan terhadap kaum perempuan
baik fisik maupun non fisik, mengenai hak waris dan sebagainya. Dianggap
merugikan kaum perempuan karena pelaku tidak mendapatkan hukuman yang
berat atau bahkan terbebas dari hukuman.
29
Melalui gerakan emansipasi di bidang hukum diharapkan tidak lagi
merugikan kaum perempuan dan memberikan keadilan yang seadil-adilnya
terhadap kepentingan kaum perempuan sehingga mereka merasakan terlindungi
dari ketidakadilan gender di bidang hukum yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
2.3.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi
Pembangunan dewasa ini menuntut adanya partisipasi dari semua pihak.
diharapkan baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut berpartisipasi. Menurut
teori neoklasik dengan perspektif mutu modal manusia (human capital),
perspektif ini menekankan keterlibatan perempuan di pasar kerja (sektor publik)
merupakan tututan pembangunan dan hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses
modernisasi. Tanpa keterlibatan itu sulit bagi kaum perempuan untuk merubah
dan memperbaiki nasib dan memperbaiki kualitas hidup. Keterlibatan mereka
dalam pasar kerja diharapkan secara lambat laun dapat memperbaiki status
perempuan.
Didalam dunia kerja memungkinkan bagi perempuan untuk
memperbaiki ketrampilan dan mutu kehidupan ketimbang tetap bertahan di sektor
domestik. Pembangunan dan modernisasi membuka kesempatan bagi kaum
perempuan untuk memasuki sektor publi (modern) untuk mendapatkan upah.
Peluang itu dapat membantu kaum perempuan keluar dari kungkungan sektor
domestik atau sektor tradisional (pertanian) biasanya bekerja untuk keluarga
tanpa upah (Bhasin1993).
Namun pada kenyataannya malah terjadi pemiskinan ekonomi
(marginalisasi) terhadap kaum wanita. Meskipun tidak setiap marginalisasi
30
perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun sebagian besar
marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan tersebut. Misalnya
banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program
pertanian Revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini
karena asumsinya bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki. Atas dasar itu
banyak petani perempuan tergusur dari sawah dan pertanian, bersamaan dengan
tergusurnya ani-ani, kredit untuk petani yang artinya petani laki-laki serta
pelatihan pertanian yang hanya ditujukan kepada petani laki-laki.
Selain pekerjaan itu banyak sekali pekerjaan yang dianggap sebagai
pekerjaan perempuan seperti,“ guru taman kanak-kanak atau sekretaris” yang
dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki dan seringkali berpengaruh
terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut. Lebih ekstrim lagi
kesempatan wanita untuk lebih maju seringkali dihambat bahkan dijegal oleh
kaum laki-laki. Mereka tidak mau tersaingi atau bahkan tidak mau melihat wanita
yang secara ekonomi lebih dari kaum laki-laki. Disamping itu adanya keyakinan
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) misalnya maka
setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai
‘tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih 2001:5).
Tuntutan wanita dengan gerakan emansipasi di bidang ekonomi ini
adalah agar mereka diberi kebebasan untuk bekerja sesuai dengan bakat dan
kemampuannya, serta diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki. Kesempatan
untuk lebih maju terbuka lebar dan tidak ada hambatan yang sering dikaitkan
dengan masalah gender. Peluang kerja disektor modern membuka kemungkinan
31
bagi kaum perempuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam
upaya mengembangkan diri serta memperbaiki kondisi kehidupan antara lain
dengan meningkatkan pendidikan dan ketrampilan.
2.3.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan
Adanya subordinasi dan marginalisasi perempuan terjadi karena laki-laki
menganggap kaum perempuan tidak memilki kemampuan yang paling tidak
seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan kaum wanita tidak diberi kesempatan untuk
mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Berbeda dengan kaum laki-laki,
mereka diberi kesempatan dan fasilitas lebih untuk mendapatkan pendidikan
sehingga mereka bisa bekerja di segala bidang.
Anggapan masyarakat bahwa perempuan nantinya akan kedapur,
mengapa harus sekolah tinggi-tinggi, menyebabkan kaum wanita tidak maju.
Pembodohan tersebut dimaksudkan agar wanita selalu berada dibawah kaum laki-
laki, sehingga mereka bisa diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh kaum
laki-laki.
Oleh karena itu melalui gerakan emansipasi wanita ingin mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang stinggi-tingginya seperti yang
didapat oleh kaum laki-laki.
2.3.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga
Selain di bidang politik, ekonomi, maupun pendidikan ketidakadilan
gender juga terjadi dilingkungan keluarga (domestik). Bagaimana proses
pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga
dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan
32
asumsi bias gender. Oleh karenanya rumah tangga juga menjadi tempat kritis
dalam mensosialisasikan ketidakadialn gender. Yang terakhir dan yang paling
sulit untuk diubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar didalam
keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun laki-laki. Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa manifestasi ketidakadilan gender ini telah
mengakar mulai dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada
tingkat Negara yang bersifat Global (Fakih 2001:23).
Dilingkungan keluarga peran gender perempuan adalah mengelola
rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih
banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain peran gender perempuan
tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat
bahwa mereka harus betanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan
domestic. Sosisalisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam
diri perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan
bagi kaum laki-laki tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak
tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban
kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang bekerja diluar
rumah.
Selain bekerja diluar, mereka juga masih harus bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan domestik. Beban kerja yang dipikul oleh kaum wanita sangat
berat dan seringkali kaum laki-laki tidak menghargai mereka. Kekerasan baik fisik
maupun batin seringkali kaum laki-laki berikan kepada kaum wanita jika dalam
menyelesaikan pekerjaan domestik atau yang lain dirasa tidak maksimal.
33
Oleh karena itu kaum perempuan juga mengusahakan agar kaum laki-
laki juga mendapatkan bagian dalam pekerjaan domestik, meskipun dalam skala
yang tidak besar. Kaum wanita juga menuntut agar dalam menyelesaikan
pekerjaan domestic ini kaum laki-laki ikut membantu tidak hanya memberikan
perintah, memarahi atau mencela pekerjaan domestik kaum perempuan yang tidak
maksimal. Dalam hal ini kaum laki-laki menjadi mitra yang sejajar dengan kaum
perempuan.
2.4 Pandangan Orang tentang Emansipasi
Emansipasi wanita merupakan masalah yang dari dulu hingga sekarang
masih menjadi perbincangan yang serius di masyarakat. Hal ini menimbulkan
berbagai pandangan atau asumsi yang berbeda-beda. Ada yang mendukung/pro
dengan emansipasi, ada juga yang menentang/kontra dengan emansipasi.
Beberapa pandangan yang beredar didalam masyarakat, antara lain
menganggap bahwa wanita sebagai pelengkap, manusia kelas kedua, tempatnya
dibelakang, dan punya kedudukan atau derajat yang lebih rendah dari kaum pria.
Sadar atau tidak warisan yang berakar dikalangan masyarakat turut mewarnai
pandangan dan sikap wanita tentang diri sendiri, maupun sikap kaum pria tentang
diri wanita. Dalam kenyataan dunia modern, yang ditandai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terasa ikut pula mengubah pandangan nilai-nilai
yang beredar dalam masyarakat tentang kaum pria.
Keberhasilan kaum wanita dalam peranan tertentu didalam
pembangunan masyarakat misalnya, sudah sering terdengar dan dapat disaksikan.
34
Ada wanita sukses dalam dunia kecantikan dan berbusana, sukses didalam dunia
perdagangan, mengusahakan rumah makan, mendirikan rumah sakit, dunia
pendidikan, ada pula wanita yang dikirim keluar angkasa sebagia astronot, polisi,
camat, menteri, duta besar, perdana menteri dan bahkan sebagai presiden juga ada.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa wanita telah membuktikan
kemampuannya, ia berhasil menempatkan diri sejajar dengan kaum pria, duduk
sama rendah berdiri sama tinggi. Wanita yang telah menemukan ajti dirinya,
memiliki martabat pribadi mampu menunjukkan kemandiriannya berdasarkan
bakat-bakatnya serta keahliannya yang persis sama dengan pria, kendatipun dari
sudut fisik wanita tidak dapat berubah menjadi pria. Kenyataan ini juga
menunjukkan bahwa emansipasi sudah diterima dengan baik oleh masyarakat.
Banyak juga kaum pria yang mengakui bahwa emansipasi yang dilakukan wanita
di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, sangat membantu kaum pria
untuk menjadi mitra yang sejajar.
Namun pandangan yang menentang dalam masyarakat juga masih
banyak dilontarkan oleh kaum anti emansipasi baik kaum pria maupun kaum
wanitanya sendiri. Mereka berprasangka bahwa gerakan emansipasi wanita adalah
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial
yang ada, misalnya lembaga/institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha
pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan
adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak
yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Pihak perempuanpun
ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang teguh nilai-nilai
35
budaya tradisional yang masih kuat, yaitu ciri tradisional yang mengharuskan
wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif menyerah, rajin
mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara domestisitas. Namun
dimasyarakat kita masih pula mendengar dan melihat kenyataan-kenyataan
negative, yang menghinggapi kaum wanita, misalnya wanita yang bersedia
dijadikan isteri kedua, ketiga, atau piaraan, wanita diperkosa, dianiaya, dibunuh
dan lain-lain (Fakih 2001:3-4).
Didalam setiap pertemuan (lokakarya, seminar) wanita pada umunya
kurang banyak berbicara, lebih banyak diam, belum berani mengeluarkan
gagasan, kendati dalam hati nuraninya wanita memiliki bakat dan banyak gagasan
yang brilian.
Jati diri dan kemandirian wanita, sebenarnya suatu rangsangan untuk
menghantarkan kaum wanita bertanya dan merefleksikan diri secara jujur.
Seberapa jauh kaum wanita telah dapat membuktikan kemampuannya, bahwa
mereka telah dapat menempatkan diri sejajar dengan kaum pria, dan berapa
banyak wanita yang telah berusaha meningkatkan kualitas mencapai tingkatan
hidup yang sejajar dengan kaum pria tanpa mengabaikan jati diri secara kodrati
sebagai kaum pria.
Namun demikian, satu hal yang patut disayangkan adalah berbaurnya
kaum wanita dan laki-laki dalam banyak bidang, yang orang sebagai kemajuan,
ternyata disisi lain malah menyebabkan kemunduran pada pribadi wanita itu
sendiri.
36
Emansipasi bukanlah konsep yang berasal dari Timur. Ia diserap dari
perbendaharaan Barat, yang pada realisasinya posisi agama telah disisihkan,
digantikan oleh logika dan sementara itu semangat spiritualisme berganti pola
menjadi nafsu materialisme. Wanita Barat menuntut untuk mandiri secara
ekomoni. Gerakan yang hanya didasarkan pada materialisme ini telah mengikis
sedikit demi sedikit sisi perasaan kewanitaan, dan Barat bukannnya menambah
kehormatan wanita (Anshori 1992:200).
Gerakan emansipasi tesebut memberikan kebebasan kepada kaum pria
tetapi bukan berarti bebas tanpa batas. Ada norma-norma, nilai-nilai moral yang
membatasinya terutama norma-norma atau nilai-nilai agama. Sebenarnya agama
tidak melarang wanita untuk berperan langsung dalam kehidupan masyarakat
dengan gerakan emansipasinya, asalkan realisasi peran tersebut ditata berdasarkan
agama serta selalu didasarkan pada adanya perbedaan orientasi antara wanita dan
pria.
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono memaparkan
bagaimana emansipasi para tokoh utamanya baik di bidang politik, hukum,
ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga. Tokoh Nenek cenderung
menentang emansipasi wanita karena latar belakang keluarganya yang berasal dari
kaum ningrat. Mereka masih memegang teguh adat Jawa yang masih dipengaruhi
sistem patriarkat. Ayah Nenek seorang bangsawan keraton sedangkan ibunya
adalah saudagar batik yang kaya raya. Kedua orang tua Nenek sejak kecil selalu
menanamkan nilai-nilai Jawa dalam diri Nenek. Sejak Umur tujuh tahun Nenek
dipingit, tidak boleh keluar rumah kecuali pada saat Nenek sekolah sampai
37
nantinya masa remaja Nenek akan dilamar oleh laki-laki pilihan dari keluarga
ningrat. Masa pingitan dilalui nenek dengan berbagai kegiatan kewanitaan seperti
belajar memasak, menjahit, mengurus rumah tangga dan berbagai pengetahuan
mengenai urusan rumah tangga. Dalam diri Nenek ditanamkan nilai-nilai bahwa
seorang wanita harus berani bersikap pasrah, nrimo, sabar, dan mengabdi pada
suami dan nilai-nilai sosial lainnya. Hal tersebut yang menyebabkan Nenek
cenderung menentang emansipasi wanita.
Tokoh Ibu sangat mendukung emansipasi wanita. Hal tersebut dilatar
belakangi pengalaman masa lalu Ibu sewaktu kecil. Orang tua Ibu (Kakek dan
Nenek) hidup dalam perkawinan poligami. Kakek mempunyai banyak selir. Suatu
ketika saat Nenek mengandung adik yang diidam-idamkan Ibu akan dilahirkan,
Kakek tidak ikut menemani proses persalinan. Kakek pergi ke tempat selirnya
yang baru. Hal itu mengakibatkan adik Ibu meninggal. Karena peristiwa itu, Ibu
bertekad tidak akan mau diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya kelak
dalam perkawinan. Bahkan, Ibu bertekad akan mengungguli suami maupun laki-
laki manapun di bidang politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan.
Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita di bidang politik, hukum,
ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga dilatarbelakangi lingkungan
keluarga yang yang demokratis, berwawasan modern dan pendidikan yang tinggi.
Dia berpandangan bahwa gerakan emansipasi wanita memang seharusnya
diperjuangkan wanita agar mereka mendapat kesempatan untuk maju dan
mengembangkan potensi serta bakat yang dimilikinya.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah tentang emansipasi pada novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono. Lebih rinci penelitian ini meneliti tentang
gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita dari tiga generasi yang berbeda
tentang emansipasi pada novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Sumber data penelitian ini adalah novel Tiga Orang Perempuan karya
Maria A. Sardjono. Penelitian bersumber dari keseluruhan teks novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka
Utama pada tahun 2002 dan pernah juga diterbitkan oleh SAN Agency.
3.2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif. Menurut Abrams
(dalam Baribin 1987 : 33) pendekatan objektif adalah pendekatan yang dipandang
sebagai keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian yang berjalinan erat secara
batiniah, yang menghendaki pertimbangan, dan analisis dengan kriteria unsure
intrinsik berdasarkan keberadaannya, seperti kompleksitas, koherensi,
keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya.
Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsure novel
yaitu tokoh dan penokohan. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif
sebab penelitian ini memfokuskan pada unsur-unsur yang terdapat pada karya
39
sastra, dalam hal ini unsur intrinsik yang berhubungan dengan tokoh utama
wanita, yang dihubungkan dengan emansipasi.
Penelitian ini dilakukan pada pandangan emansipasi tokoh utama wanita
dilihat dari perbedaan usia, latar belakang dan kebudayaan yang menjadi pedoman
hdup mereka. Penelitian tentang emansipasi (gambaran dan pandangan) ketiga
tokoh dalam novek Tiga Orang Perempuan ini merupakan penelitian yang
dihubungkan dengan feminisme ini digunakan untuk mengungkapkan emansipasi
wanita dalam kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setiap hasil penelitian ini
selalu bersifat deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya
berbentuk deskripsi fenomena (Aminuddin 1990 : 16).
3.3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
struktural. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme untuk
mendeskripsikan tiga tokoh utama wanita yang memiliki pandangan yang berbeda
tentang emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Penulis menggunakan metode ini karena penelitian ini , memfokuskan diri pada
unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra. Penulis menitikberatkan pada unsur
tokoh utama wanita tersebut tantang emansipasi dan gambaran emansipasi yang
terdapat dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
40
3.4. Teknik Analisis Data
Sebelum penulis membuat penelitian, terlebih dahulu penulis
merumuskan langkah-langkah atau teknik untuk menganalisis data yang sudah
didapat. Tujuan perumusan ini adalah agar dalam pembuatan penelitian , penulis
tidak melakukan penelitian yang tidak relevan dengan rumusan permasalahan
yang sudah dibuat sebelumnya. Teknik dilakukan dengan menganalisis data
secara urut sesuai kronologis.
Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara
menganalisis unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan. Unsur tokoh dan
penokohan ini difokuskan pada tiga tokoh utama wanita yang terdapat didalam
novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Kemudian dilanjutkan
dengan pemaparan mengenai gambaran secara umum emansipasi yang terdapat di
dalam novel tersebut. Berikutnya dipaparkan pandangan ketiga tokoh utama
wanita terhadap emansipasi.
3.5. Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Membaca sumber data yaitu novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono secara heuristik dan hermeneutik. Tujuan dari membaca novel
secara heuristik adalah agar penulis dapat mengangkat makna secara
harfiah novel tersebut yang berupa kode bahasa, sehingga diketahui
bagaimana jalan ceritanya dan isi novel secara garis besar. Sedangkan
41
melalui pembacaan hermeneutik penulis dapat menangkap makna novel
ini secara lebih mendalam dan mengungkapkan makna-makna yang
tersirat. Pembacaan secara hermeneutik membantu kita untuk menafsirkan
kode sastra dan kode budaya, yang pada penelitian ini digunakan untuk
mengungkap bagaimana gambaran tentang emansipasi yang ada dalam
novel tersebut dan mengungkapkan pandangan ketiga tokoh utama wanita
dari tiga generasi yang berbeda tentang emansipasi.
2. Menentukan tokoh utama wanita, sebab itu adalah langkah awal untuk
menuju penelitian tentang emansipasi tokoh utama wanita pada novel
Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
3. Menganalisis penokohan ketiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga
Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
4. Memaparkan emansipasi yang ada dalam novel Tiga Orang Perempuan
karya Maria A. Sardjono.
5. Menganalsis pandangan tentang tiga tokoh utama wanita tentang
emansipasi dalam novel tersebut.
6. Membuat simpulan hasil analisis.
42
42
BAB IV
DESKRIPSI EMANSIPASI DAN PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA
WANITA DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian terhadap suatu teks karya sastra
yang berbentuk novel. Penelitian terhadap novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono ini ditinjau dari segi struktural dan teori gender. Dari segi struktural, akan
dianalisis tentang tokoh dan penokohan. Kemudian, akan dianalisis juga bagaimana
gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda tentang emansipasi wanita
yang terbentur oleh budaya yang diwarnai oleh sistem patriarkat dan bagaimana wujud
nyata emansipasi yang mereka sumbangkan dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam novel ini
mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.
4.1 Tokoh dan Penokohan
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono menampilkan tiga tokoh
utama wanita dari tiga generasi yang berbeda yang terbentur oleh budaya yang dipengaruhi
sistem patriarkat. Faktor tersebut mempengaruhi pandangan mereka tentang emansipasi.
Ketiga tokoh ini dianggap cukup membawa misi pengarang dalam kaitannya dengan
emansipasi wanita. Pembahasan tiga tokoh utama wanita ini akan difokuskan pada
bagaimana cara pandang ketiga tokoh yang berbeda generasi tersebut tentang
43
emansipasi yaitu tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam novel Tiga Orang Perempuan karya
Maria A. Sardjono ini.
Analisis penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan hanya ditekankan pada
tokoh dan penokohannya yaitu tokoh utama. Sebab dalam skripsi ini tidak dibahas struktur
secara keseluruhan, penelitian ini terfokus pada emansipasi wanita dalam novel dan
pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi. Adapun tokoh utama novel ini
adalah Nenek, Ibu, dan Gading. Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh utama karena
memiliki ciri-ciri tertentu sebagai tokoh utama yaitu paling banyak diceritakan pengarang,
tokoh diceritakan mulai dari awal permasalahan ketika Nenek ingin menjodohkan Gading
kemudian ketika konflik antara Ibu dan Bapak sampai akhirnya ketiga tokoh ini mampu
menyelesaikan konflik yang mereka alami. Ciri kedua, tokoh selalu berhubungan dengan
tokoh lain, dalam setiap konflik tokoh Nenek berhubungan dengan Gading dan Ibu yaitu
ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, Ibu kurang menyetujuinya.
Ciri ketiga, tokoh selalu menjadi sorotan, berperan penting, dan menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam setiap
terjadinya konflik selalu dimunculkan oleh pengarang. Konflik-konflik tersebut diantaranya
Nenek yang ingin menjodohkan Gading, perkawinan Ibu dan Bapak yang retak, dan
pertemuan Gading dengan mantan kekasihnya yang belum juga mendapat restu dari Nenek.
Ketiga tokoh ini sangat menentukan perkembangan plot dari awal munculnya
permasalahan, konflik yang memuncak, sampai pada akhirnya konflik tersebut dapat
diselesaikan dengan baik. Ketiga tokoh juga berperan penting dalam setiap peristiwa,
karena ketiga tokoh tersebutlah yang menjadi titik fokus pembicaraan dalam novel ini.
Ketiga tokoh tersebut selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik,
44
yaitu ketika konflik yang terjadi antara Nenek dengan Gading saat beliau menjodohkannya,
konflik antara Ibu dengan Nenek mengenai masalah rumah tangga, konflik Gading dengan
Hari dan mantan kekasihnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga tokoh utama
wanita tersebut di atas.
4.1.1 Nenek
Secara fisik Nenek merupakan sosok wanita yang sudah tua yaitu berumur lebih
dari delapan puluh empat tahun namun beliau masih sehat dan bicaranya pun begitu
mantap. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Malahan demi meyakinkan alat-alat di dalam telingaku itu kucondongkan tubuhku ke arah suara itu, yang keluar dari mulut seorang perempuan tua berumur lebih dari delapan puluh empat tahun, tapi masih tampak sehat.” (TOP hlm: 7) Sosok nenek dalam keluarganya dikenal sebagai seorang wanita yang sangat keras
pendiriannya, bahkan nyaris keras kepala. Beliau sulit sekali untuk menerima perubahan-
perubahan yang banyak sekali terjadi di zaman ini. Seperti saat Gading memberikan
argumentasi saat sang nenek membujuknya untuk menikah dengan laki-laki yang
dijodohkan nenek untuknya. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini.
“Eyang tadi bilang, kamu itu mbok jangan terlalu banyak memilih dan menimbang. memilih, menimbang, dan menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang akan dipilih.” (TOP hlm: 8) “Eyang masalahnya bukan terletak pada hak untuk memilih dan dipilih, melainkan pada keyakinan mengenai satu hal yang penting. Yaitu, Mas Hari bukanlah laki-laki yang sesuai untuk Gading.” (TOP hlm: 10)
45
Nenek merupakan seorang sosok wanita Jawa tulen yang selalu memegang teguh
adapt istiadat Jawa. Baginya adat istiadat itu sudah mendarah daging dalam didikan
keluarganya sampai beliu mempunyai tujuh orang anak bahkan cucu dan cicitnya juga
diberikan. Petikan berikut memaparkan pernyataan tersebut.
“Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah, penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP hlm: 18) Namun demikian, nenek di satu sisi adalah sosok perempuan yang sangat tabah,
lembut, berjiwa seni, dan memperlihatkan segi-segi feminitasnya yang kuat sebagai wanita
Jawa dengan sederet tuntutan mengenai keutamaan yang berhasil digapainya. Berikut ini
kutipan pernyataan tersebut.
“Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. Seperti yang eyangku sering katakana kepadaku bahwa perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami,” (TOP hlm: 26) “Bahkan menurut budeku itu, eyangku pernah mengalami kesulitan melahirkan pada saat suaminya baru saja mengambil selir baru sesudah memulangkan yang lama.” (TOP hlm: 29) Nenek adalah seorang isteri yang setia, patuh, dan menurut pada suami tidak
pernah berbuat yang di luar batas norma dalam perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan
selalu beliau terapkan filsafat Jawa mengenai bagaimana menjadi isteri yang baik bagi
suami dan anak-anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
46
“Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebab menurut ajaran yang diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri.” (TOP hlm: 26) Meskipun demikian sebagai seorang wanita dan seorang isteri dia tidak pernah
mencintai suaminya seratus persen karena baginya itu akan menimbulkan penderitaan
batin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tak pernah berani mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang, meskipun orang itu adalah suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan karena penuh dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, ketidakpercayaan diri, ketidaktenteraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi, dan terutama ketakutan akan ditinggalkan.” (TOP hlm: 32) “Cukup dia saja yang mencintaimu. Dan kalau toh nanti muncul juga perasaan cinta karena terbiasa hidup bersama dalam mengarungi suka dan duka, janganlah perasaan itu kauserahkan sepenuhnya kepadanya kalau kau ingin hidup dengan hati yang damai.” (TOP hlm: 32) Nenek merupakan sosok wanita Jawa yang modern, cukup berwawasan luas dan
mementingkan anak-anaknya, terutama dalam hal kebutuhan akan pendidikan. Tekadnya
untuk memberi pendidikan setinggi mungkin bagi ketujuh anaknya dan juga
pengorbanannya untuk mengabdikan diri kepada keluarganya. Dia ingin membuktikan diri
sebagai perempuan yang kuat, perempuan yang tidak hanya bisa menadahkan tangan
menunggu pemberian suami saja. Hal itu untuk menunjukkan keberhasilannya sebagai
isteri dan ibu melebihi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan saingannya.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
47
“Dan menilik jumlah anak yang dilahirkan mencapai tujuh orang, termasuk ibuku sebagai si bungsu, aku mempunyai dugaan bahwa beliau termasuk isteri yang paling disayang. Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anak itu mendapat pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka.” (TOP hlm: 27) Tekad besar Nenek muncul ketika ia ingin melihat anak-anaknya berhasil dalam
bidang studi mereka. Beliau selalu menemani anak-anak belajar sampai malam walaupun
dengan terkantuk-kantuk. Apalagi di saat mereka akan menempuh ujian. Begitu juga
dengan seluruh kasih dan pengabdiannya, nenek selalu berpuasa setiap kali mengetahui
anaknya yang mangalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah maupun hal-hal lainnya. Hal
tersebut beliau lakukan agar mereka mendapat kemudahan dalam menghadapi kesulitan.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm: 80) Nenek merupakan anak keturunan bangsawan. Ayah beliau adalah seorang
bangsawan tinggi keratin Solo, sedangkan ibunya adalah anak saudagar batik yang kaya
dari keluarga bukan bangsawan. Meskipun demikian, beliau memperlihatkan arogan, sikap
keras yang nyaris seperti tangan besi, dan keberanian melakukan sesuatu yang jarang
ditemui pada wanita-wanita seusianya yang lahir di balik tembok keraton yang tingginya
dua setengah meter. Beliau meneruskan usaha batik ibunya. Pernyataan tersebut seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
48
“Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak pernah terjun dalam urusan bisnis, Eyang Putri justru bergerak secara aktif mengurusi bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai “bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan.” (TOP hlm: 78)
4.1.2 Ibu
Ibu adalah sosok wanita yang digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun
tapi nada bicaranya masih tampak bersemangat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat
dalam kutipan berikut ini.
“Aku tertegun. Kutatap wajah ibuku karena aku mendengar nada-nada yang meletup-letup dalam suaranya. Kulihat, wajah perempuan yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun itu tampak bersemangat ketika berbicara. Pada saat itu, wajahnya terlihat cantik sekali, sebab dengan matanya yang bercahaya ia jadi tampak lebih muda.” (TOP hlm: 120-121)
Sosok ibu sangat perhatian dengan keluarganya, baik suami maupun anak-
anaknya. Kasih sayang yang ia berikan ia wujudkan dalam kehidupan rumah tangga dengan
memberikan pelayanan yang terkadang bagi anak-anak dan suaminya dianggap terlalu
berlebihan, namun mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh ibu semata-mata karena ia
sangat menyayangi keluarganya itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“Kehujanan lagi, sayang?”Kudengar suara lembut di belakangku.” “Sudahlah,” katanya kemudian. “Lekaslah ganti bajumu yang basah itu, lalu mandilah dengan air panas. Minta Yu Mi, sana. Ibu akan menyiapkan wedang jahe untukmu. Ibu tidak ingin melihatmu sakit lagi!” (TOP hlm: 114)
49
Ibu sangat berbeda dengan Nenek yang memiliki hati tegar namun lembut
keibuan, hangat dan suka berbicara tetapi keras kepala, Ibu merupakan wanita yang agak
dingin, tertutup dan termasuk dominant dalam keluarga inti. Persamaan keduanya adalah
sama-sama termasuk wanita mandiri dan keras hati. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Namun entah apa pun alasan maupun kebenarannya, acap kali aku ingin mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh ayahku. Bapak memang tidak terlalu memperdulikan penampilannya. kombinasi antara pantalon, kemeja, dan dasinya suka ngawur. Ibulah yang mengaturkan warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren. Kemudian ibuku juga mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran, listrik, telepon, dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil. Kapan mobil tuanya harus diservis, kapan pula mobil Bapak yang juga sudah jauh dari baru itu harus diganti oli gardannya, dan seterusnya lagi.” (TOP hlm: 122-123)
Meskipun demikian antara Nenek dengan Ibu dalam kehidupan yang menyangkut
keluarga, mereka senantiasa melancarkan protes apabila terjadi ketidakadilan yang dialami
oleh mereka, terutama yang menyangkut masalah budaya patriarkat. Yang berbeda adalah
caranya. Eyang Putri melakukan protesnya dengan mengambil alih keterbatasan keuangan
Eyang Kakung yang tak sanggup menyejahterakan ketiga isteri dan ketiga belas anaknya
itu pada perusahaan batiknya.Ibu melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah
perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah
profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.” (TOP hlm: 122)
50
“Sedangkan ibu, karena usianya belum memasuki usia pension, sampai sekarang beliau masih tetap mengajar. Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai keberadaannya. Bahkan menurut kabar angina, Ibu termasuk dosen favorit, karena banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi. Maka kesibukannya semakin bertambah saja.” (TOP hlm: 122)
Ibu sebagai seorang isteri tidak seperti Eyang Putri yang selalu bersikap sabar,
penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami.
Intinya bagi Eyang Putri sebagai isteri harus ikut kemana pun suaminya pergi. Pandangan
Ibu bertolak belakang dengan pandangan Eyang Putri, Ibu tidak setuju dan menganggap
pandangan Eyang Putri tersebut sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang yang menuntut
wanita untuk beremansipasi. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“Soalnya ibu teringat pada sikap Eyang. Zaman sudah maju begini, beliau masih saja mempunyai anggapan bahwa perempuan berada pada tataran yang lebih rendah darpada laki-laki karena katanya itu sedah merupakan tatanan dunia. Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut. Tetapi ibu menunjukkan bahwa anggapan seperti itu sama sekali tidak benar. Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki suami! (TOP hlm: 124-125)
Ibu adalah sosok wanita yang memiliki sifat keras, tegas, dan sesekali juga
meledak-ledak, itu terjadi jika ibu menghadapi masalah, berargumantasi, terutama yang
menyangkut masalah emansipasi wanita. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“Seperti orang Jawa yang lain, Bapak juga mendapat ajaran kuno namun sangat relevan dengan keadaan sekarang, yaitu sebisanya menghindari konflik terbuka demi keharmonisan relasi antarmanusia. Sementara ibuku termasuk orang yang keras, tegas, dan sesekali juga meledak-ledak. (TOP hlm. )
51
Sebagai seorang isteri, ibu tidak pernah melayani suaminya seperti halnya Eyang
Putri melayani Eyang Kakung dulu. Itu dikarenakan anggapan ibu bahwa mereka juga
sama-sama capek selesai bekerja jadi apapun yang bisa dikerjakan oleh suaminya
hendaknya dikerjakan sendiri tidak perlu isteri yang mengurusnya. Ibu menginginkan
adanya kesetaraan gender dalam rumah tangganya, Tidak ada keharusan bagi ibu untuk
melayani keperluan suami untuk hal-hal yang sepele yang bisa dikerjakan sendiri.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Ibu ingin memperlihatkan kepada Bapak bahwa laki-laki dan perempuan itu setara dalam segala hal. Karenanya Ibu menunjukkan kepada Bapak bagaimana Ibu mampu menyelesaikan segala urursan yang ada tanpa harus minta tolong kepadanya. Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa sajalah.” (TOP hlm: 182) Sikap Ibu yang demikian itu memperlihatkan bahwa beliau dalam hal cinta
memiliki prinsip dan pandangan yang berbeda dari Eyang Putri dan kakak-kakak
perempuan yang lain. Termasuk dalam hal mencintai suami. Ia melihat bahwa dalam
mencintai seseorang kita harus tetap realistis dan rasional. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Cinta itu sangat indah, Sayang. Tetapi jangan pernah tenggelam di dalamnya sehingga kita lupa bahwa kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu indah. Bahkan penuh dengan pelabagai macam perjuangan. Maka akhirnya nanti jika mereka yang sedang mabuk cinta itu mulai bersentuhan dengan realitas, keindahan cinta yang semula menggebu dan berkobar-kobar penuh berbunga indah itu akan berubah warna dan kadarnya. Jadi, Sayang, dalam menghadapi cinta itu hendaknya rasio dan perasaan itu selalu berjalan seiring dan setujuan dan selalu pula dalam keadaan seimbang.” ( TOP hlm: 167 ) “Ibu Cuma mau mengatakan bahwa betapapun tenggelamnya hati yang sedang jatuh cinta, kita harus tetap realistis dan rasional.” ( TOP hlm: 168 )
52
Sikap ibu yang begitu keras, ternyata membawanya ke dalam situasi yang tidak
menyenangkan, di mana Bapak ternyata ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Bapak
melakukan itu karena beliau tidak pernah mendapatkan kasih saying, perhatian, belaian
manja dari isterinya sendiri. Perkawinannya dengan Ibu dirasakan begitu kaku dan dia
merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga tidak ada artinya lagi dihadapan Ibu.
Apa yang dilakukan oleh Bapak sebagai suami telah mengahncurkan prinsip Ibu yang telah
lama dibangunnya bagai benteng itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“Bapak mengkhianati Ibu, Nduk. Ada perempuan lain dalam kehidupannya.” Suara Ibu kembali bergetar.” Sakit sekali rasanya.” ( TOP hlm: 176 ) “Namun apa pun itu, kita tidak perlu menengok ke belakang. Sekarang yang penting, Ibu akan memperlihatkan kepada bapakmu bahwa Ibu tetap akan berpegang teguh prinsip hidup Ibu mengenai makna perkawinan.” “ Bapakmu tahu betul, Ibu tidak suka dimadu seperti Eyang.” “Jadi Ibu akan mengajukan suatu penyelesaian yang jelas dan pasti. Yaitu perceraian!” ( TOP hlm: 182-183 ) “Tetapi air mata yang ditumpahkannya beberapa malam yang lalu, sangat banyak. Waktu Gading melihat tangisnya itu, rasanya seolah Ibu tidak akan berhenti menangis, ” sahutku. “ Bapak tahu apa sebabnya? Itu karena laki-laki yang ia cintai telah mengkhianatinya dan tega merobohkan prinsip hidup yang dibangunnya bagai benteng itu.” ( TOP hlm: 199 ) Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu menyebabkan perubahan sikap dari Ibu.
Beliau terlihat rapuh, tidak seperti biasa sewaktu ada masalah yang menimpanya itu. Ia
sangat tegas berwibawa, kuat, dan tegar. Namun demikian Ibu tetap mencoba untuk kuat
menghadapi cobaan dengan bantuan Gading anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ibu jangan terlalu sedih,” bisikku di sisi telinganya. “ Sekarang masuklah ke kamar dan cobalah untuk tidur. Ibu harus tetap kuat. Gading ingin melihat Ibu seperti biasanya. Kuat, tegar, mandiri, tegas, berwibawa, dan tidak membiarkan emosi mewarnai rasio. Gading juga ingin melihat sisi Ibu yang lain, yang hangat
53
keibuan dan memancarkan rasa percaya dan damai di hati kami semua.” ( TOP hlm: 185) “ Ibu mencintai bapak dengan caranya sendiri. Tetapi Gading tahu betul, Ibu sangat mencintai Bapak. Tak ada laki-laki lain dalam hidupnya. Meskipun demikian, betapapun besar cinta Ibu kepada Bapak, tetapi dengan kenyataan seorang perempuan lain telah menyela dalam perkawinannya, tidak mengikis kekuatan prinsip hidupnya. Maka meskipun dengan hati hancur, Ibu akan tetap konsisten dan berpegang teguh pada suara hati dan penilaian moral dalam batinnya. Gading yakin sekali, tidaklah mudah bagi Ibu untuk menentukan sikap yang bukan hanya akan melukai dirinya sendiri saja, tetapi juga akan melukai hati kami anak-anaknya. Tetapi kemauan dan tekad Ibu sangat kuat. ” (TOP hlm:200) Namun pada akhirnya berkat tekad Gading yang ingin menyelamatkan keluarga
dari bencana akibat permasalahan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya itu, keluarganya
berhasil melewati masa-masa kritis dengan baik. Kedua orang tuanya bersatu kembali
menjadi keluarga yang lebih berbahagia.
4.1.3 Gading
Gading adalah seorang gadis dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, baik
sebagai seorang anak, cucu, kakak, dan sebagai seorang wanita muda yang memiliki cita-
cita yang tinggi untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang dapat membanggakan
keluarganya dan orang-orang yang dia cintai. Gading adalah sosok wanita yang kritis
dengan keadaan di sekitarnya, terutama dengan hal-hal yang dia nilai bertentangan dengan
hati nuraninya, seperti yang dapat kita lihat dalam cuplikan berikut.
“ Dan ajaran pengembangan kepribadianku serta dalam proses pencarian diri, ajaran-ajaran keduanya kuolah dalam batinku, menjadi nilai-nilai sendiri yang kuyakini kebenarannya untuk kujadikan pegangan hidup. Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. ” ( TOP hlm: 222 )
54
Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan dalam diri Gading tersebut pola piker
yang kritis menandainya dalam berbagai pola sikap dan tingkah lakunya, terutama dalam
mengambil keputusan mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya maupun
orang lain. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Dan meskipun aku tumbuh dewasa di antara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan hati nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri.” ( TOP hlm: 222 ) Gading sangat dekat dengan nenek dan ibunya sehingga dia selalu terbuka untuk
menceritakan segala masalah yang dia hadapi dengan kedua wanita yang sangat dia
hormati dan sangat dia cintai itu. Dia selalu meminta nasehat dan masukan yang sangat dia
butuhkan dan itu cukup membantu untuk memecahkan segala masalah yang dia hadapi.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan karena sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun juga cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tak pernah merasa bosan mengobrol dan bertanya-tanya ini-itu kepadanya. Dengan demikian, dari kedua perempuan terdekatku itulah aku banyak menimba ilmu pengetahuan hidup. ” ( TOP hlm: 221-222) “ Karena kedekatanku dengan ibu, kuceritakanlah semua hal yang menyangkut hubunganku dengan Mas Yoyok dan bagaimana perasaanku terhadapnya. Demikian juga hal-hal yang menyangkut Mas Hari dan bagaimana pula perasaanku dalam hal ini. ” ( TOP hlm: 222) Sebagai seorang gadis yang modern, Gading mempunyai profesi yang
mendukung yaitu sebagai seorang wartawan. Profesi tersebut sangat cocok dengan
kepribadian yang dimiliki olehnya. Seorang Gading yang kritis, supel dan mempunyai
pikiran yang modern dan keinginan untuk maju tidak kalah dengan laki-laki, seorang
55
pekerja keras dan professional di bidangnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat
dalam kutipan berikut ini.
“ Ya doakan saja aku tidak harus ke luar kota lagi pada hari itu. Kau tahu kan, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang!” (TOP hlm: 234) Gading mempunyai sifat yang kurang tegas dalam mengambil keputusan,
sehingga memberikan kesan dia seorang wanita yang tidak mudah mengambil keputusan
sendiri untuk kebaikannya maupun orang lain. Kesan tersebut kadang menyebabkan orang
lain menjadi salah paham akan sikap dia seolah memberikan harapan terhadap orang lain
untuk bisa mendekatinya. Hal itu dikarenakan untuk menjaga perasaan Nenek. Pernyataan
tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Gading kalau nanti Nak Hari dating ke sini, usahakanlah agar kau bisa bersikap lebih tegas dan tidak memberinya harapan,” katanya kepadaku suatu ketika.” (TOP hlm: 223) Ketakutan akan teringat kembali pada kenangan saat Gading bersama dengan
Yoyok menjadi penghalang untuk kembali menjalin persahabatan dengan Ida adik Yoyok.
Bahkan dia segan dating di hari pernikahan Ida gara-gara takut akan kenangan itu sendiri.
Hal itu disebabkan Gading masih memendam rasa cinta terhadap Yoyok yang selama ini
masih dia simpan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Namun terlepas dari masalah itu, sebenarnya keenggananku yang paling besar bersumber pada rasa takut. Aku takut luka-luka hatiku akan kambuh kembali. Ada banyak tempat di rumah mereka yang pasti akan mengingatkanku pada laki-laki itu.” (TOP hlm: 234)
56
Sifat lain yang dimiliki oleh Gading adalah sifat itu akan muncul ketika dia
menghadapi orang yang dicintainya yaitu Yoyok. Ketika ia bertemu dengan Yoyok dalam
pesta pernikahan adik Yoyok, rasa itu timbul setelah sekian lama dia berpisah dengannya.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ah, alangkah iriku padanya. Kenapa aku tidak bisa bersikap tenang dan santai seperti dia? Mengapa pula lidahku masih saja kelu padahal Mas Yoyok tampak begitu percaya diri? Sungguh, alangkah memalukan diri ini!” (TOP hlm: 248) Meskipun demikian Gading adalah seorang gadis yang cerdas, pengetahuannya
sangat luas dan terkadang karena kecerdasannya itu, dalam berkata-kata sering
menggunakan filsafat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Lho, yang namanya kemungkinan itu kan luas cakupannya, Da. Sebab kata ‘ mungkin ’ dalam hal ini memiliki keterbukaan untuk pelbagai macam hal yang bisa terjadi. Aku kan manusia biasa dengan segala keterbatasan dalam ruang dan waktu. Jadi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu tadi secara pasti dan mutlak.” “ Wah, wah Gading. Malam-malam kok berfilsafat!” Ida tertawa geli. “ Bukannya berfilsafat.” Aku juga tertawa. “ Aku uma mau mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada suatu kepastian yang mutlak kecuali ketidakpastian itu sendiri!” (TOP hlm: 258) Gading adalah seorang gadis yang cerewet, suka berbicara tapi tidak untuk hal-hal
yang berisi bualan. Berbicara dengan Gading terkadang teresan memperdebatkan sesuatu
apalagi menyangkut hal yang berbeda dengan prinsip hidupnya pastilah dia akan segera
memprotes atau mengomentari. Namun terkadang hal itu tidak dia lakukan jika dia
berbicara dengan Nenek karena ia tidak ingin dianggap cucu yang suka membantah dan
untuk menjaga perasaan Neneknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“ Tetapi ayo, kita kembalikan pembicaraan pada pokok persoalan. Eyang ingin tahu, apa yang menyebabkanmu tidak seceriwis biasanya. Mana burung prenjak Eyang?” (TOP hlm: 36)
57
“ Lagi pula, aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku juga tidak ingin membuatnya kecewa. Jadi terpaksalah lidahku kudorong dalam-dalam dan kusembunyikan jauh di dalam mulutku. Tetapi tenyata meskipun aku sudah berdiam diri seperti itupun, tetap saja sikapku tidak berkenan di hati nenekku.” (TOP hlm: 9) Gading sangat mendukung adanya gerakan emansipasi. Segala hal yang
menyangkut masalah kesetaraan gender selalu menjadi perhatiannya. Menurut dia
kesetaraan itu sangat penting baik bagi kaum wanita maupun kaum pria untuk bisa
memahaminya agar kesetaraan itu dapat terwujud meskipun ada pihak-pihak yang pro dan
kontra. Dukungan tersebut dia wujudkan dengan menjadi seorang wartawan di sebuah
tabloid terkenal. Di sana sia menjadi seorang wanita yang mampu sejajar dengan pria dan
dia bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Kau bekerja di mana, Gading?” Mas Yoyok menyela pembicaraan kami. Kusebutkan nama perusahaan yang menerbitkan tabloid tempatku bekerja. “ Itu perusahaan raksasa, Gading. Kau berbahagia dengan pekerjaanmu sebagai wartawan?” Mas Yoyok bertanya lagi. “Ya. Di tempat itu ilmu yang kupelajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami. Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula.” (TOP hlm: 260-261) Sebagai seorang gadis yang sudah beranjak dewasa, Gading tidak mudah
terhanyut oleh rayuan laki-laki, apalagi oleh laki-laki yang tidak dicintainya. Baginya
perasaan suka apalagi cinta tidak dapat dipaksakan. Itu merupakan hak asasi setiap
individu. Hal ini terjadi ketika laki-laki yang dijodohkan Nenek itu mulai merayu Gading.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
58
“ Sungguh, Dik Gading? Itu bukan semacam yah…… Sikap jual mahal atau strategi jinak-jinak merpati, begitu? Suara Mas Hari terdengar amat lembut dan mengandung rayuan. Kalau saja suara itu ditujukan kepa perempuan lain, aku yakin orang tiu akan mabuk kepayang dibuatnya. Tetapi aku, bukannya mabuk tetapi malah muak.” (TOP hlm: 210) Menurut pendapat Gading pernikahan haruslah berdasarkan rasa cinta antara
pihak laki-laki dan perempuan. Di samping itu pernikahan membutuhkan perencanaan dan
persiapan yang matang sehingga dapat berjalan dengan lancar. Pernyataan tersebut seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi kau harus tahu, Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu perencanan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi tidak bisa sembarangan!” (TOP hlm: 266)
4.2 Emansipasi Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga Orang Perempuan
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. sardjono mengemukakan masalah-
masalah ketidakadilan gender serta masalah lain yang menyangkut hal tersebut. Masalah-
masalah tersebut saling berhubungan dan apabila dilihat dari kacamata feminisme, masalah
ketidakadilan gender mendorong lahirnya emansipasi wanita.
Dalam novel ini dipaparkan tentang emansipasi wanita. Pria dan wanita telah
bergandengan tangan hampir di semua bidang kehidupan seperti di bidang politik, hukum,
ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Emansipasi yang ada dalam novel
dipelopori oleh tokoh utama wanitanya yaitu Ibu, dan Gading. Sedangkan tokoh Nenek
cenderung menentang emansipasi wanita. Emansipasi tokoh utama wanita dilakukan
mencakup lingkungan keluarga, pendidikan, ekonomi, di kantor, dalam bidang politik dan
hukum.
59
Pandangan yang salah tentang emansipasi oleh masyarakat pun turut mendukung
adanya perbedaan pandangan. Bahkan terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada
tempatnya mengenai emansipasi oleh masyarakat. Gerakan emansipasi ini oleh masyarakat
dianggap melanggar kodrat Tuhan. Kodrat seorang wanita selain mengandung dan
menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makan, pakaian, dan lain-
lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik) anak. Karena wanita
diposisikan pada tugas-tugas domestik, mereka tidak boleh bekerja di luar tugas-tugas
domestik. Hal inilah yang menyebabkan sifat superioritas kaum pria terhadap kaum wanita
dan mengukir dominasi mereka di masyarakat.
Emansipasi wanita dalam novel ini mencakup bidang politik, hukum, ekonomi,
pendidikan, dan lingkungan keluarga. Emansipasi di bidang politik menyoroti masalah
subordinasi atau pengambilan keputusan. Emansipasi di bidang hukum membahas
mengenai perjodohan dan perkawinan poligami. Emansipasi di bidang ekonomi membahas
masalah marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita yang menyebabkan
ketergantungan kaum wanita terhadap kaum pria. Emansipasi di bidang pendidikan
membahas mengenai masalah pentingnya memperoleh pendidikan yang layak untuk
kesejahteraan manusia dan wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan tersebut.
Emansipasi di lingkungan keluarga membahas mengenai masalah kecenderungan wanita
yang mendapat ketidakadilan gender di lingkungan keluarga. Semua bidang tersebut akan
dibahas lebih lanjut oleh penulis.
Berikut ini akan dibahas mengenai gambaran emansipasi di bidang politik,
hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.
60
4.2.1 Emansipasi di Bidang Politik
Munculnya gerakan emansipasi di bidang politik dalam novel ini digambarkan
dengan adanya ketidakbebasan wanita dalam pengambilan keputusan dan dalam pusat-
pusat kekuasaan pembuat keputusan (subordinasi). Sebenarnya politik dan hukum yang
berlaku di Indonesia adalah secara das sollen (keharusan normatif) menerima gerakan
feminisme yang meletakkan pria dan wanita dalam kdudukan yang setara. Tetapi secara
das sein (kenyataan praktis) kesetaraan/kesejajaran tersebut masih jauh dari
menggembirakan. Hukum adat memandang wanita sebagai makhluk yang rendah
derajatnya daripada pria. Wanita dilarang mengambil keputusan karena hal itu bukanlah
haknya, melainkan hak pria. Sebagai seorang wanita hanya diwajibkan untuk menerima
segala keputusan yang diambil oleh pria dan tidak diperbolehkan membantahnya. Hal itu
terjadi ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, laki-laki pilihan Nenek.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Eyang tadi bilang, mbok kamu jangan terlalu banyak memilih dan menimbang. Memilih, menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang akan dipilih.” (TOP hlm: 8)
4.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum
Selain dalam hal pengambilan keputusan, emansipasi juga muncul dalam bidang
hukum. Hukum adat dan hukum pemerintah yang berupa hukum tentang perkawinan
kurang melindungi hak kaum wanita dari ketidakadilan gender. Wanita tidak diprioritaskan
dalam pengambilan keputusan politik dan hukum, peran mereka dalam kehidupan politik
dan hukum selalu di bawah dominasi pria. Salah satu contoh ketidakadilan gender dalam
perkawinan yaitu adanya perjodohan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua dan
61
dipaksa tunduk pada suami). Hal ini terjadi ketika Nenek menjodohkan Gading dengan
Hari. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah, penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP hlm: 18) Adanya poligami yang dilakukan oleh kaum pria terhadap kaum wanita. Hal ini
terjadi ketika Kakek menikah lagi dan Nenek membiarkan dirinya untuk dimadu tanpa
membantah keinginan Kakek tersebut. Perceraian yang mengakibatkan terpisahnya
hubungan antara ayah, ibu dan anak-anak mereka. Hal ini terjadi ketika perkawinan antara
Ibu dengan ayah Gading retak akibat dari kesalahan Ibu yang terlalu menjunjung tinggi
emansipasi tanpa memandang kodratnya sebagai seorang wanita dan seorang isteri
sehingga hampir saja beliau kehilangan orang yang paling dicintainya yaitu ayah.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi.” (TOP hlm: 26)
4.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi
Gerakan emansipasi di bidang ini muncul karena ketidakadilan gender di bidang
ekonomi yang telah menimbulkan marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum
wanita. Kaum wanita miskin karena mereka hanya diperbolehkan bekerja pada sektor
domestik (rumah tangga) seperti memasak, mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak.
Secara otomatis wanita tidak boleh bekerja di luar tugas domestik tersebut. Wanita tidak
62
dapat bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Oleh karena itu, wanita lebih miskin
daripada pria. Bahkan, ia tergantung pada pria. Kalaupun ada wanita yang bekerja di luar
rumah, gajinya tidak setinggi gaji pria. Kaum wanita yang bekerja di sektor publik
dianggap sebagai anomaly atau pekerjaan pelengkap sehingga bila dalam pengupahannya
terdapat diskriminasi, hal itu dianggap wajar.
Upaya peningkatan peranan wanita dalam pembangunan merupakan bagian
integral yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan merupakan salah satu fokus
Pembangunan Jangka Panjang II. Kemitrasejajaran yang harmonis antara wanita dan pria
memiliki persamaan hak, kewajiban, kedudukan, peranan, dan kesempatan yang dilandasi
sikap dan perilaku saling menghormati, saling menghargai, saling membantu dan saling
mengisi dalam pembangunan di berbagai bidang.
Dalam novel ini tiga tokoh utama wanitanya sama-sama memiliki kesempatan
bekerja di luar tugas domestik. Bekerja di sektor publik ketiga tokoh utama wanita tersebut
sangat sukses. Nenek sukses dengan usaha batik peninggalan leluhurnya, Ibu sukses
sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi bahkan beliau dicalonkan menjadi dekan dan
juga dosen favorit untuk pembimbing skripsi, sedangkan Gading berprofesi sebagai
wartawan sebuah tabloid terkenal, profesi yang sangat mewakili jiwanya sebagai seorang
gadis yang cerdas. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak pernah terjun dalam urusan bisnis, Nenek justru bergerak secara aktif mengurus bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai “bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan. ” (TOP hlm: 78)
63
“ Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi… Seolah, profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimiliki. ” (TOP hlm: 122) “ Kau kan tahu, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang. ” (TOP hlm: 234) “ Ya, di tempat itu ilmu yang kupalajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami. Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula. ” (TOP hlm: 261) Ketiga tokoh utama wanita tersebut beranggapan bahwa emansipasi yang
dilakukan adalah untuk menghapuskan segala ketidakadilan gender di bidang ekonomi
yang dapat menyebabkan pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita.
4.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan
Masyarakat menganggap wanita lebih rendah daripada pria dan hany mampu
mengerjakan pekerjaan domestik, oleh karena itu wanita tidak diperbolehkan menuntut
ilmu tinggi-tinggi dan bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Hal tersebut merupakan
pembodohan terhadap kaum wanita. Mereka bodoh karena tidak mendapat kesempatan
untuk menuntut ilmu. Bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Para
orang tua khawatir bahwa jika anak perempuannya pandai menulis dan membaca, akan
menjadi jahat dan melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Hal inilah yang
menyebabkan kekurangan intelektualitas kaum wanita yang merupakan akibat dari
keterkekangan kehidupan mereka dan keterbatasan pendidikan formalnya. Perempuan yang
bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, cenderung bersifat pasif dan menyerah saja pada
kemauan orang lain. Oleh karena itulah melalui gerakan emansipasi, tiga tokoh utama
wanita dalam novel ini memperjuangkan hak mereka agar diberi kebebasan dan
64
kesempatan untuk menambah pengetahuan, menajamkan otak, mengeluarkan pendapat, dan
menguasai apa yang harus dikuasai sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Tokoh Nenek berusaha menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi agar kelak
bisa menjadi orang sukses, dihormati orang. Namun tujuan Nenek sebenarnya adalah untuk
memperlihatkan pada suami dan selirnya bahwa tanpa bantuan Kakek, anak-anak Nenek
dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak selir Kakek. Hal
itu merupakan gengsi/prestise yang ingin ditunjukkan oleh Nenek agar dipandang sebagai
wanita yang kuat dan mandiri serta berwawasan luas dan modern. Pernyataan tersebut
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anaknya mendapat pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka. ” (TOP hlm: 27) Tokoh ibu tidak kalah lagi. Beliau sangat menjunjung emansipasi wanita di
bidang pendidikan. Karena menurutnya dengan pendidikan wanita dapat sejajar dengan
kaum pria di segala bidang kehidupan bahkan mendominasi atau jauh mengalahkan kaum
pria. Seorang wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dan
menguasai apapun yang harus dikuasai sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal
sudah menjadi keharusan agar wanita tidak diremehkan dan tidak direndahkan oleh kaum
pria. Sebagai bukti keberhasilannya menyekolahkan anak-anak, sekarang Gading memiliki
profesi sebagai wartawan. Tujuan yang ingin dicapai oleh Ibu adalah untuk mengalahkan
dominasi kaum pria di segala bidang kehidupan. Bahkan kalau bisa seorang wanita bisa
memimpin pria.
Tokoh Gading juga sangat menjunjung tinggi emansipasi di bidang pendidikan. Ia
beranggapan bahwa pendidikan sangat penting agar wanita bisa sejajar dengan kaum pria.
65
Namun tidak menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita. Tidak seperti Ibunya yang ingin
mengalahkan kaum pria tetapi hanya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
kaumnya agar lebih maju.
4.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga
Menurut penelitian di negara Barat, kasus ketidakadilan gender paling banyak
terjadi di lingkungan keluarga. Institusi “keluarga” merupakan tempat yang paling rawan
bagi wanita. Mereka dalam keluarga cenderung menjadi korban potensial ketidakadilan
gender. Hal ini disebabkan oleh posisi subordinat wanita dalam masyarakat yang
mengakibatkan kekurangan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber sosial ekonomi
secara menyeluruh.
Wanita mendapat perlakuan yang berbeda dengan pria terutama dalam hal
perkawinan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua). Seperti yang dialami oleh
tokoh Gading, dia harus menerima perjodohannya dengan pria pilihan Nenek. Dengan alas
an, laki-laki tersebut berasal dari keluarga ningrat yang jelas bibit, bobot, dan bebetnya.
Seorang perempuan juga dipaksa tunduk kepada suami. Hal ini dialami oleh tokoh Nenek.
Beliau sangat menghormati suaminya, dan tidak pernah membantah semua keinginan
suaminya itu. Menurut Nenek, sebagai seorang isteri harus menerima apa saja perlakuan
sang suami. Wanita juga harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum” dan menerima
dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah
digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
66
Karena posisi wanita yang lemah tersebut, pria cenderung memperlakukan wanita
(isteri) sebagai benda yang dimilikinya, layaknya benda-benda yang lain. Suami sering
berbuat sewenang-wenang terhadap isteri, sedangkan isteri seolah-olah tidak mempunyai
hak untuk melawan tindakan suami, termasuk mencegah suami untuk kawin lagi
(poligami). Hal inilah yang dialami oleh tokoh Nenek. Beliau sangat menghormati
keputusan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain atau bahkan memiliki banyak
selir. Paham nrimo ing pandum tetap dijunjung tinggi oleh Nenek, sehingga dia tidak
pernah merasa dimadu atau diduakan oleh suaminya. Pasrah pada nasibnya dan tidak
pernah memprotes segala perilaku suaminya yang tidak menyenangkan hatinya. Pernyataan
tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26) “ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26) Hal ini sangat bertolak belakang dengan hati nurani tokoh lainnya yaitu Ibu dan
Gading. Apa yang dilakukan oleh Nenek sebagai suatu kesalahan yang terbesar dalam
kehidupan seorang wanita. Mereka menganggap apa yang dialami oleh Nenek adalah
sebuah bentuk penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Kedua tokoh ini
sangat menentang dengan apa yang menjadi pedoman hidup Nenek. Oleh karena itu dengan
segala usaha mereka ingin terbebas dari belenggu budaya patriarkat, budaya yang sangat
mengekang kebebasan kaum wanita untuk lebih maju dan sejajar dengan kaum pria.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
67
“ Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan, dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan. Terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut. Tetapi Ibu tidak bisa menerima pandangan seperti itu…. Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki suami! ” (TOP hlm: 124-125)
4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga
Orang Perempuan
Pandangan tiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki perbedaan-
perbedaan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor seperti latar belakang sosial yang berbeda,
lingkungan keluarga yang mendidiknya, dan sebagainya. Pandangan tiga tokoh utama
wanita dari tiga generasi yang berbeda tentang emansipasi ini menimbulkan pertentangan
antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya.
Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu ketiga tokoh tersebut saling
mendukung satu sama lain. Misalnya ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan
laki-laki pilihan Nenek, Ibu sangat menentang niat tersebut. Ibu mendukung niat Gading
yang menolak perjodohan tersebut. Pandangan ketiga tokoh muncul ketika mereka
menghadapi suatu konflik yang menyangkut bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan,
dan lingkungan keluarga.
Ketiga tokoh utama wanita terutama tokoh Ibu dan Gading memiliki pandangan
yang sama tentang emansipasi. Keduanya sangat mendukung gerakan tersebut. Lain halnya
dengan Nenek yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh Ibu dan Gading
tentang emansipasi. Pandangan Nenek bertentangan bahkan cenderung bersifat tradisional.
Berikut akan dipaparkan pandangan ketiga tokoh tentang emansipasi di bidang politik,
hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.
68
4.3.1 Pandangan Nenek tentang Emansipasi Wanita
Tokoh Nenek dalam novel ini diceritakan memiliki pandangan yang berbeda
tentang emansipasi wanita dibandingkan dengan dua tokoh utama wanita yang lainnya
yaitu ibu dan Gading. Tokoh Nenek cenderung menentang dan bersifat tradisional. Hal ini
disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal beliau tinggal sejak kecil yaitu lingkungan
keratin. Baik ayahnya maupun ibunya sangat memegang teguh budaya Jawa, dan
menanamkannya ke dalam jiwa dan batin Nenek sewaktu masih muda.
Tembok keraton yang tinggi membatasi dia dalam pergaulan dengan dunia luar.
Hal ini menyebabkan dia sangat sulit menerima perubahan-perubahan yang banyak terjadi
di luar. Jangankan bergaul dengan gadis-gadis teman sebayanya, bergaul dengan teman
laki-lakinya pun dia tidak diperbolehkan. Sebagai seorang gadis muda sejak berumur tujuh
tahun menurut adat Jawa harus dipingit. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah hingga
saatnya tiba yaitu saat dia menerima lamaran dari laki-laki yang sudah dijodohkan oleh
orang tuanya. Selama dalam pingitan berbagai ajaran tentang kewanitaan diterimanya.
Yaitu berbagai hal tentang memasak, menjahit, dan sebagainya. Sebagai seorang wanita
diajarkan untuk selalu pasrah pada nasibnya, tidak diperbolehkan untuk mengambil
keputusan, memilih, menimbang, tentang suatu hal karena itu bukan haknya sebagai
seorang wanita, tetapi merupakan hak kaum pria. Hal tersebut beliau pegang teguh hingga
saat beliau ingin menjodohkan Gading cucunya dengan laki-laki pilihannya. Pernyataan
tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Eyang tadi bilang, kamu mbok ya jangan terlalu banyak memilih dan menimbang-nimbang. Memilih dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang akan dipilih. ” (TOP hlm: 8)
69
Pandangan Nenek ini sangat bertentangan dengan emansipasi yang dilakukan
kaum wanita yang ingin memperjuangkan haknya dalam bidang politik dan hukum.
Kebebasan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan, serta kebebasan untuk
mengemukakan pendapat juga diperoleh kaum wanita tidak hanya kaum pria saja. Karena
itu hak manusia yang dimilikinya, baik pria maupun wanita sama.
Ayah Nenek seorang bangsawan tinggi keratin dan ibunya seorang saudagar batik
yang kaya tapi bukan dari keluarga bangsawan. Sebagai perempuan Jawa, ia begitu patuh
kepada adapt istiadat dan pekatnya budaya Jawa sama seperti perempuan-perempuan lain
yang sezaman dengannya. Namun pandangan Nenek tentang emansipasi wanita di bidang
ekonomi adalah penting. Beliau berani terjun dalam dunia bisnis yaitu menjadi pengusaha
batik meneruskan usaha ibunya. Alasannya untuk menopang ekonomi keluarganya dan
beliau sebagai seorang isteri tidak hanya bergantung menunggu jatah dari suaminya.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak pernah terjun dalam urusan bisnis, Nenek justru bergerak secara aktif mengurus bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai “bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan. ” (TOP hlm: 78) Beliau memiliki sifat dan kemauan yang sedemikian keras dan kuat sampai-
sampai menelorkan gagasan dan bahkan cita-cita yang barangkali jarang dimiliki oleh
perempuan-perempuan lain yang hidup sezaman dengan beliau. Cita-cita itu adalah
mengusahakan agar ketujuh anaknya bersekolah setinggi mungkin. Gaji Eyang Kakung
memang mampu membiayai hidup keluarga besarnya, yaitu seorang isteri, dua selir, dan
70
tiga belas anak. Tetapi untuk biaya sekolah semua anaknya sampai ke perguruan tinggi,
jelas itu tidak akan mencukupi. Maka Nenek dengan seluruh tekadnya berusaha menambal
kekurangan itu dengan memajukan pabrik batik warisan orang tuanya. Dan berkat
usahanya itulah akhirnya semua anaknya berhasil menjadi sarjana. Bahkan empat orang
diantaranya, termasuk Ibu, meraih sarjana strata dua. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anaknya mendapat pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka. ” (TOP hlm: 27) “Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm.80) Pandangan Nenek tentang emansipasi wanita di bidang ekonomi adalah sangat
penting dan tiu harus dilakukan oleh seorang wanita agar keluarganya dapat memperoleh
kehidupan yang layak dan mencukupi segala kebutuhannya. Sehingga bisa mendapatkan
apa yang patut didapat oleh wanita yaitu kehidupan yang layak, pendidikan yang tinggi.
Meskipun demikian sebagai seorang wanita Jawa yang memegang teguh adat-istiadat Jawa,
beliau tidak pernah lepas dari ajaran-ajaran orang tuanya. Sebagai seorang perempuan Jawa
dalam hal perkawinan tidak diperbolehkan memilih calon sendiri atau dengan kata lain
mereka dipaksa untuk menerima jodoh pemberian orangtuanya dan dipaksa tunduk kepada
suaminya. Hal itu dialami Nenek dahulu ketika menikah dengan Kakek. Hal ini
dikarenakan Nenek sebagai seorang wanita yang diposisikan sebagai orang yang mengurus
rumah tangga, sejak kecil hingga dewasa kehidupannya sudah diatur oleh orang tua
termasuk masalah jodoh. Menurut orang tua Nenek, menikahkan anak gadisnya dengan
71
seorang bangsawan dianggap sebagai satu cara termanjur untuk menaikkan derajat bagi
keluarga besar mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Maka nilai seperti itu pulalah yang tertanam dalam batin seluruh keluarga besar Eyang Putri. Wajahnya yang rupawan menjadi harapan keluarga untuk memurnikan kembali darah bangsawan mereka. Bibit, bobot, dan bebet Eyang Putri cukup bagus. Wajahnya rupawan. Pendidikannya lumayan. Maka menjadi seorang isteri bangsawan tinggi atau malah isteri salah satu putra raja merupakan sesuatu yang pantas baginya. ” (TOP hlm: 24) “ Bagi keluarga si gadis, semakin tinggi kedudukan anak perempuannya nanti dalam kehidupan rumah tangga bangsawan, akan semakin naik derajat mereka di mata masyarakat. ” (TOP hlm: 26) Karena pandangan-pandangan itulah, Nenek ingin menjodohkan Gading dengan
laki-laki yang dianggap pantas untuk cucunya itu. Pantas dari segi bibit, bobot, dan
bebetnya, sehingga diharapkan akan menaikkan derajat keluarga mereka di mata
masyarakat.
Selain itu dalam rumah tangga seorang isteri harus tunduk kepada suami. Menurut
ajaran yang diterimanya dari orang tuanya, bahwa seorang isteri harus patuh dan menurut
pada suami. Tidak diperbolehkan membantah apa yang sudah menjadi kehendak suami.
Segala yang dilakukan oleh suami harus diterima isteri sebagai suatu takdir. Ajaran ini
beliau tanamkan di hati semua anak-anak, cucu bahkan cicitnya. Termasuk cucu
kesayangannya yaitu Gading. Dengan segala cara beliau berusaha memberikan nasehatnya
tentang sikap yang harus dimiliki oleh seorang isteri kepada suaminya. Pernyataan tersebut
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26)
72
“ Sebab menurut ajaran yang diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri. Sutu sikap yang harus dikuasai mereka melebihi kemampuan laki-laki untuk hal yang sama. Sebab, laki-laki tidak perlu memperhitungkan kehadiran sesama yang berjenis perempuan sebagai makhluk yang memiliki tataran setara. ” (TOP hlm: 27) Apabila nilai-nilai tersebut tidak dimiliki dan diterapkan oleh perempuan, akan
berakibat fatal. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian akan terjadi. Pernyataan
tersebut sperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Oleh karena itu kalau seorang perempuan tidak bisa bersikap kompromistis, maka akan lebih malanglah nasibnya. Bercerai dari suami, apalagi dipulangkan ke rumah orangtuanya, merupakan aib besar yang bukan hanya disandang dirinya sendiri, tetapi juga keluarga besarnya. ” (TOP hlm: 27) Salah satu hal yang tidak dimengerti oleh Ibu dan Gading, adalah bagaimana
seorang wanita seperti Nenek menerima perilaku Kakek yang memiliki isteri banyak atau
selir. Pandangan Nenek terhadap perkawinan poligami, bahwa itu adalah hak seorang laki-
laki. Apalagi Kakek adalah seorang keturunan bangsawan yang kaya. Bagi mereka tidaklah
menjadi masalah meminang gadis mana pun yang disukainya. Pernyataan tersebut seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Pada masa itu, bagi bangsawan tinggi--- apalagi yang kaya --- tidaklah sulit untuk meminang gadis mana pun yang diinginkanya. Hanya dengan mengutus orang-orang kepercayaannya, ia bisa mengambil gadis yang diminatinya untuk dijadikan selir. ” (TOP hlm: 26) “ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26)
73
Agar kita sebagai isteri bertahan adalah dengan menerima pasrah apa yang sudah
menjadi hak suaminya. Memiliki sikap “ nrimo ing pandum ” adalah jurus terampuh yang
harus dimiliki oleh perempuan agar tidak menjadi orang yang kalah. Menurut Nenek kita
boleh mencintai suami, namun jangan sampai menyerahkan semua hati kita kepada mereka.
Hal ini dimaksudkan agar jika terjadi sesuatu kita tidak akan terlalu merasa sakit hati.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Bukankah sudah berapa belas kali Eyang nasihatkan padamu untuk jangan sekali-kali memberikan seluruh hatimu kepada seorang laki-laki. Sedikit saja sudah cukup, sehingga kalau ada apa-apa, yang sedikit itu akan segera terbang ditiup angina dan larut diterpa waktu. ” (TOP hlm: 18) “ Mengingat adanya perempuan-perempuan lain, aku tidak tahu apakah nenekku itu benar-benar mampu melayari kehidupan perkawinannya dengan cara seperti yang dimaksudkannya kepadaku, yaitu tidak menyerahkan seluruh hati kepada seorang laki-laki. ” (TOP hlm: 28) Meskipun demikian Nenek bahagia dengan perkawinannya. Tidak pernah
sekalipun beliau memperlihatkan air muka yang keruh dan wajah yang murung. Apalagi
menangis. Kalaupun pernah menitikkan air mata, itu adalah tangis haru ketika anak-
anaknya berhasil dalam pendidikan atau ketika mereka menikah dan kemudian
memberinya cucu-cucu.
4.3.2 Pandangan Ibu tentang Emansipasi Wanita
Tokoh utama wanita yang kedua adalah Ibu. Tokoh ini merupakan generasi kedu,
anak bungsu dari tujuh anak yang dimiliki Nenek. Karena merupakan generasi yang
berbeda dan terlahir di lingkungan yang berbeda pula, maka mempengaruhi pandangan Ibu
terhadap emansipasi wanita. Tokoh ini sangat mendukung gerakan emansipasi wanita.
Lingkungan keluarga yang tidak terlalu mengekang kebebasan dia. Ibu sangat mendukung
74
adanya gerakan emansipasi. Di bidang politik dan hukum, Ibu menentang adanya
perjodohan. Wanita tidak diperkenankan untuk menolaknya. Padahal menurut Ibu
perjodohan hanya akan menyengsarakan wanita itu sendiri. Dalam perjodohan si wanita
tidak mengenal laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya, bahkan dari keluarga mana
dia berasal pun tidak diketahui oleh si gadis. Pernyataan tersbut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“ Tetapi bagaimanapun juga dalam hal-hal yang menyangkut perkawinan semacam itu, eyangmu tidak akan berani terlalu jauh mencampuri urusan keluarga anak-anaknya. Lagi pula sudah bukan zamannya lagi melamar anak gadis tanpa lebih dulu meminta persetujuan yang bersangkutan, sahut ibuku. ” (TOP hlm: 120) “ ….memberinya pemahaman baru bahwa keberadaan perempuan, dalam arti eksistensinya sebagai seorang manusia atau individu, tidaklah berada di bawah dominasi siapa pun juga. Termasuk dominasi orang tua atau suaminya. Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. ” (TOP hlm: 120) “ Eyangmu harus tahu bahwa perempuan juga berhak menentukan nasibnya sendiri, berhak memilih siapa yang akan menjadi suaminya dan berhak pula menolak laki-laki yang disodorkan pada kita, kalau kita memang tidak menyukainya. ” (TOP hlm: 124) Pandangan Ibu yang memperjuangkan hak-hak wanita tidak hanya beliau lakukan
di bidang politik dan hukum saja. Di bidang pendidikan, Ibu mendapat pendidikan sampai
ke jenjang yang tinggi, sehingga mampu untuk mencari penghasilan sendiri. Menurut
beliau seorang perempuan berhak menentukan sendiri cara dia merealisasikan potensi dan
bakatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Terutama kepada para wanita. Sikap mereka tetap saja diskriminatif dan seksis, tidak mau tahu bahwa perempuan juga mempunyai hak dan cita-cita sendiri. Bahwa, wanita juga ingin merealisasikan potensi dan bakatnya. ” (TOP hlm: 121) Ibu tidak menyetujui adanya penindasan kaum wanita di bidang ekonomi
(pemiskinan ekonomi), pembodohan akibat kurangnya pendidikan yang diperoleh mereka.
Oleh karena itu beliau melancarkan protes terhadap ketidakadilan gender di bidang
75
ekonomi dengan berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi. Pernyataan tersebut
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi… Seolah, profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimiliki. ” (TOP hlm: 122) Dengan cara inilah menurut Ibu, seorang wanita tidak akan pernah ditindas lagi
oleh laki-laki. Mereka tidaka akan berani memperlakukan wanita dengan semena-mena.
Kaum wanita dapat mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan kalu perlu menjadi mitra
yang sejajar dengan pria. Menunjukkan kemampuan kita sebagai seorang wanita untuk
mengerjakan semua pekerjaan yang dilakukan oleh pria adalah cara yang tepat agar tidak
direndahkan oleh mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
“ Kalau perempuan ingin dihargai haknya, ingin kesetaraannya dengan laki-laki diakui, maka mereka harus bisa pula menunjukkan kemampuan yang sama seperti apa yang dikerjakan oleh laki-laki. ” (TOP hlm: 123)
Pandangan Ibu sebenarnya sependapat dengan pandangan Nenek tentang
emansipasi wanita di bidang pendidikan dan ekonomi. Pernyataan tersebut seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Terlepas dari tujuan sesungguhnya, dalam beberapa hal Ibu menyetujui pendapat Eyang. Perempuan memang harus bisa mandiri agar jangan terlalu direndahkan laki-laki. Perempuan juga harus mempunyai pengetahuan tinggi dan kemampuan untuk bersikap mandiri agar tidak tergantung kepada laki-laki. ” (TOP hlm: 136)
Oleh karena itulah, Ibu tidak ingin hal itu terjadi pada putrinya. Sudah menjadi
kewajiban kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya agar sederajat dengan kaum
laki-laki. Namun Ibu berharap apa yang telah diperjuangkan tersebut tidak akan melanggar
76
kodrat kita sebagai seorang perempuan yaitu mengurus rumah tangga. Pernyataan tersebut
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ibu berharap tidak seorang pun di antara kalian anak-anak perempuanku, pernah direndahkan orang hanya karena kalian berjenis kelamin perempuan. Kalau kau beranggapan bahwa perempuan itu memiliki hak, kewajiban, dan kesetaraan dengan laki-laki, kerjakanlah apa yang bisa kalian lakukan sejauh itu tidak menyalahi kodratmu sebagai perempuan yang mengalami haid, bisa mengandung, melahirkan, dan menyusui. ” (TOP hlm: 123)
Pandangan Ibu walaupun ada yang sependapat dengan pandangan Nenek, ada
beberapa hal yang beliau tidak sependapat. Misalnya saja pandangan Nenek tentang
perkawinan. Ibu sangat tidak menyukai adanya perjodohan atau kawin paksa, nilai-nilai
Jawa yang harus dimiliki seorang wanita sebagai isteri yang terlalu memberatkan tugas
mereka sebagai isteri. Ibu sangat tidak menyetujui pandangan bahwa seorang isteri harus
memiliki sikap pasrah, sabar, pemaaf, nrimo, bakti dan penuh pelayanan kepada suami.
Menurutnya, wanita adalah seorang manusia biasa bukanlah benda atau bayang-bayang
yang dianggap tidak ada. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
“ Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan, dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan. Terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut. Tetapi Ibu tidak bisa menerima pandangan seperti itu…. Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki suami! ” (TOP hlm: 124-125)
Bagi Ibu, seorang isteri mempunyai hak dan kebebasan untuk melakukan sesuatu
yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang terbatas tersebut sangat diperlukan
agar dalam kehidupan berumahtangga, tidak terjadi penindasan oleh suami. Bahkan lebih
parah lagi menurut pandangan Ibu, bila kebebasan wanita dalam kehidupan
77
rumahtangganya tidak ada, dia hanya dijadikan pembibitan untuk pria dalam mendapatkan
keturunan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. Maka, seorang isteri juga seorang individu merdeka yang memiliki kehendak bebas dan mampu mempertanggungjwabkan perbuatannya. Maka pula eyangmu harus bisa memahami bahwa seorang isteri bukan perhiasan rumah, bukan pula termasuk salah satu inventaris rumah. Lebih-lebih lagi, seorang isteri bukanlah tempat pembibitan untuk mendapatkan keturunan bagi laki-laki. ” (TOP hlm: 120)
Isteri adalah seorang manusia biasa yang mempunyai kemampuan terbatas. Ada
kalanya seorang isteri tidak mampu mengerjakan sesuatu melebihi kemampuannya sebagai
seorang isteri. Tugas rumah tangga yang cukup berat, masih dibebani pula dengan tugasnya
di luar rumah yaitu sebagai wanita karier, tidak didukung oleh suami untuk membantu
meringankan bebannya tersebut. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“ Bahwa perempuan juga manusia biasa yang mempunyai keterbatasan di saat masyarakat mengharuskan dia menjadi perempuan super yang bisa membagi diri ke dalam pelbagai peran. Ya sebagai Ibu, sebagai isteri, sebagai pengelola rumah tangga, sebagai warga masyarakat setempat, sebagai karyawati atau apa pun kariernya di luar rumah, dan sebagai anak bangsa di suatu negara berikut segala kewajibannya. ” (TOP hlm: 123)
Oleh karena itu, Ibu menganggap dalam pekerjaan rumah tangga sebaiknya ada
pembagian tugas antara suami dengan isteri. Hal tersebut dikarenakan mereka berdua
sama-sama bekerja di luar rumah. Agar adil suami membantu isteri dalam menyelesaikan
tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci piring, pakaian, menyapu dan pekerjaan rumah
yang lainnya. Ibu menganggap bahwa pembedaan tugas rumah tangga harus ditiadakan
agar sama-sama berpartisipasi, tidak ada yang merasa dirugikan. Pernyataan tersebut
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
78
“ Mestinya bapakmu yang mencuci piring-piring kotor ini, wong hari ini dia tidak pergi kemana-mana! ” (TOP hlm: 150) “ Yang harus kaukasihani itu Ibu, Mayang! ” Sudah bangunnya paling pagi, itulah sebenarnya yang mau Ibu katakana, bahwa pekerjaan ibu rumah tangga itu berat. ” (TOP hlm: 150) Sebagai seorang isteri, Ibu tidak pernah melayani suaminya seperti Nenek
melayani Kakek. Beliau menganggap menyediakan minuman, menyediakan air hangat
untuk mandi adalah hal yang masih bisa dikerjakan oleh suaminya, sehingga Ibu tidak
perlu untuk melayaninya. Hal itu Ibu lakukan agar suaminya tahu bahwa dalam rumah
tangga harus ada kesetaraan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“ Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa sajalah. ” (TOP hlm: 182) “ Begitu pula ketika Eyang Putri menegur Ibu sewaktu beliau melihat Bapak mengambil sendiri minunmannya dari meja the, kudengar Ibu membantah dengan kalen tetapi tegas. Biar sajalah, Bu. Bukan hanya dia yang capek. Ratih juga merasakannya. Kami sama-sama bekerja seharian… ” (TOP hlm: 141) Karena menganggap sama-sama capek, Ibu tidak mau melayani Bapak. Padahal,
melayani suami adalah tugas utama sebagai seorang isteri. Namun, Ibu tetap bersikukuh
untuk tidak melayani Bapak. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“ Nah, dalam kondisi sama-sama capek, bahkan lebih capek lagi, masih haurskah Ibu juga melayani kebutuhan Bapak? Adilkah kalau Ibu terus didesak-desak untuk melayani Bapak hany karena budaya kita mengatakan bahwa suami harus dicintai, dilayani, dan dimanjakan? ” (TOP hlm: 144)
79
Apa yang Ibu lakukan terhadap Bapak bukan tidak beralasan. Hal tersebut
dikarenakan masa lalu Ibu yang begitu menyakitkan sehingga masih membekas sampai
sekarang. Ibu mengalami masa di mana beliau harus menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan. Setiap hari Ibu harus menyaksikan ketidakadilan yang dialami oleh ibunya
yaitu Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Semasa kecil, hidup Ibu penuh dengan pergolakan batin, antara lain karena melihat ketidakadilan yang terjadi di rumah tempat Ibu hidup dan menjadi bagian di dalamnya. ” (TOP hlm: 126) Ketidakadilan yang dialami oleh ibunya adalah karena ayahnya menjalani hidup
rumah tangga dengan melakukan poligami. Beliau mempunyai banyak selir. Ibu tidak bisa
membayangkan bagaimana Nenek bila hidup berumah tangga dengan kondisi yang
demikian. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Ketidakadilan terhadap perempuan yang diwakili oleh ibuku sendiri, yaitu eyang putrid kalian itu. Bayangkanlah bagaiamana seorang perempuan cantik, muda, dan cerdas seperti Eyang Putri, yang kalau menilik kemampuannya dia bisa hidup mandiri, harus memberikan kesetiaan dan pengabdiannya kepada seorang laki-laki yang tidak pernah menghargai pengorbanannya. Eyang kakung bukan hanya mempunyai selir-selir yang kemudian dinikahinya, tetapi sering bermain-main dengan perempuan lain tanpa memahami bagaimana perasaan istserinya. ” (TOP hlm: 126) Namun ada hal yang paling membuat Ibu sakit hati dan trauma, yaitu saat Nenek
mengandung dan akan melahirkan adiknya. Di saat penting seperti itu Kakek tidak
mendampingi Nenek. Bahkan Beliau berada di rumah salah satu selirnya. Akibatnya Nenek
kehilangan anak tersebut meninggal saat dilahirkan. Ibu tidak bisa membayangkan
bagaimana situasi tersebut dialami Nenek. Kondisinya yang sudah tidak kuat menahan
sakit, dan dia butuh dukungan suaminya harus berjuang sendiri melahirkan anaknya.
Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
80
“ Waktu eyang putrimu mengandung adik Ibu dan kemudian tiba waktu untuk melahirkannya. Itulah saat yang pahit bagi Ibu. ” (TOP hlm:129) “ Nah, dalam keadaan hamil tua seperti itu, Eyang Putri ingin supaya Eyang Kakung lebih banyak menemaninya, terutama malam itu. Saat itu, perutnya memang sudah mulai terasa tegang-tegang. Tetapi Eyang Kakung menjawab bahwa beliau sudah terlanjur ditunggu oleh istrinya yang lain. ” (TOP hlm:129) Itulah yang melatar belakangi pandangan Ibu terhadap Emansipasi Wanita di
lingkungan keluarga yang sangat berbeda dengan pandangan Nenek. Pandangan Ibu terlalu
berlebihan sehingga terkesan melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan yang sudah
bersuami. Emansipasi yang Ibu lakukan itu justru memberi gambaran bahwa beliau ingin
mendominasi bahkan mengungguli laki-laki di segala bidang.
4.3.3 Pandangan Gading tentang Emansipasi Wanita
Gading adalah seorang gadis yang terlahir di era globalisasi dan di lingkungan
keluarga yang demokratis. Meskipun kedua orang tuanya masih menanamkan nilai-nilai
budaya Jawa, namun tidak menutup kebebasan anak-anaknya untuk maju. Selain itu
mereka dididik untuk berpikiran modern dan berwawasan luas. Kebebasan berbicara yang
diajarkan oleh orang tuanya memberikan pengetahuan bahwa manusia bebas untuk
mengemukakan pendapatnya, bebas untuk memilih, menimbang dan memutuskan sesuatu
tanpa adanya campur tangan dari pihak luar.
Oleh karena itu dia sangat setuju dengan perjuangan wanita untuk menuntut
haknya di bidang politik, hukum dimana perempuan bebas untuk memilih, menimbang dan
memutuskan suatu hal. Pandangan dia tentang hal ini, bahwa perempuan adalah manusia
yang memiliki hak yang sama seperti halnya dengan laki-laki. Kebebasan untuk memilih,
menimbang dan memutuskan tersebut tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja tapi
81
juga dimiliki oleh perempuan. Pandangan yang dimiliki oleh Gading ini senada dengan
pandangan yang dimiliki oleh Ibu, namun bertolak belakang dengan pandangan yang
dimiliki oleh Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Celakanya, apa yang dikatakan oleh nenekku itu sangat bertentangan dengan apa yang ada di dalam batinku. Bagiku bicara soal hak untuk memilih, itu adalah milik setiap orang, entah dia laki-laki entah pula dia itu seorang perempuan. Bukan hany milik laki-laki saja. Terlebih jika itu menyangkut martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sebagai hak dasar atau hak asasi manusia. ” (TOP hlm:9) Dengan berdasarkan pandangannya tersebut, Gading menolak perjodohannya
dengan laki-laki pilihan Neneknya.
Pandangan Gading tentang emansipasi wanita tidak hanya di bidang
politik/hokum saja, tetapi juga di bidang pendidikan. Gading sangat bersyukur dia
dilahirkan di lingkungan keluarga yang sangat memperhatikan masalah pendidikan.
Pendidikan adalah modal penting yang harus dimiliki manusia agar kelak dia bisa menjadi
orang yang sukses. Dengan pendidikan yang didapat oleh Gading menjadikannya sebagai
gadis yang kritis dengan keadaan sekitar, dan mengajarkannya menjadi perempuan yang
bijak yang mampu memilih dan memilah hal mana yang dianggap benar dan mana yang
salah. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. Dan meskipun aku tumbuh dewasa diantara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan hati nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri. ” (TOP hlm:222) Gading mendapat pendidikan yang tinggi, oleh karena itu dia memilih profesi
menjadi seorang wartawan. Sebuah cita-cita yang lama dia impikan untuk diwujudkan.
Menurutnya, profesi sebagai wartawan adalah profesi yang paling tepat untuknya saat ini.
82
Karena dia memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang suatu hal. Gading juga dapat
memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
kutipan berikut ini.
“ Kau kan tahu, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang. ” (TOP hlm:234) “ Ya, di tempat itu ilmu yang kupalajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami. Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula. ” (TOP hlm:261) Dari profesinya ini, Gading mendapatkan kehidupan ekonomi yang serba
berkecukupan. Bahkan berbagai fasilitas yang sebelumnya tidak dia miliki seperti mobil
dan sebagainya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tak kuceritakan bahwa bulan depan aku sudah menempati posisi yang lebih tinggi, menggantikan atasanku yang mendapat tugas baru. Dan juga tak kuceritakan bahwa posisi baruku yang lebih menuntut tanggung jawabku nantinya, aku akan mendapat beberapa fasilitas yang sekarang tidak kumiliki, yaitu ruang sendiri, mobil dinas, dan tentu saja kenaikan gaji. ” Selain itu emansipasi yang dilakukan oleh Gading juga di lingkungan keluarga.
Dalam sebuah perkawinan, dia berpandangan bahwa jodoh yang nantinya menjadi
suaminya adalah orang yang telah dia pilih sendiri, bukan pilihan orang lain. Sebuah
perkawinan tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurutnya perkawinan itu sakral, dan
sebisanya dilakukan sekali seumur hidup. Oleh karena itu perkawinan harus dipersiapkan
benar-benar, sehingga kita tidak menyesal di kemudian hari. Pernyataan tersebut seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi kau harus tahu Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang
83
suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi, tidak bisa sembarangan! ” (TOP hlm:266) Seperti halnya pandangan Ibu, menurut Gading perkawinan poligami tidak
menghormati hak perempuan. Dengan poligami laki-laki telah melecehkan kaum
perempuan dan merendahkan martabat perempuan.
4.3.4 Persamaan dan Perbedaan Pandangan Ketiga Tokoh Utama Wanita
Pandangan ketiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaan pandangan tersebut didasarkan atas kesamaan visi dan misi yang
ingin dicapai oleh tokoh-tokoh tersebut. Persamaan pandangan tokoh utama wanita dalam
novel ini mencakup di bidang politik/hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan
keluarga.
Dalam bidang politik/hukum tokoh Ibu dan Gading memiliki persamaan
pandangan yaitu bahwa seorang wanita memiliki hak untuk memilih, menimbang, dan
memutuskan sama halnya dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Hak tersebut
merupakan hak individu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia baik laki-laki maupun
perempuan. Kebebasan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan tersebut patut
diperjuangkan oleh kaum perempuan agar mereka mendapat perlakuan yang sama dengan
laki-laki sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang merugikan kaum perempuan.
Bidang lain yang memiliki persamaan pandangan yaitu bidang ekonomi. Tokoh
Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan pandangan yaitu bahwa seorang wanita
memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dengan bekerjalah mereka
memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan penghidupan
84
yang layak. Kaum wanita yang bekerja memiliki kesempatan untuk mengembangkan
potensi dan bakat yang dimilikinya sehingga menjadikannya sebagai wanita yang maju.
Namun tokoh Nenek berpandangan seperti tersebut di atas lebih cenderung karena keadaan
yang memaksa beliau untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Suaminya yang beristeri
banyak tidak cukup menanggung biaya hidup Nenek dan anak-anaknya. Oleh karena itu
Nenek bekerja mengembangkan usaha batik untuk menghidupi anak-anaknya.
Dalam bidang pendidikan tokoh Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan
pandangan yaitu bahwa pendidikan adalah kunci yang harus dimiliki manusia agar maju
dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Pendidikan adalah hak yang dimiliki oleh semua
manusia baik laki-laki maupun perempuan. Persamaan pandangan tersebut dibuktikan oleh
tokoh Nenek dengan memberikan pendidikan yang setinggi mungkin kepada anak-
anaknya. Tokoh Ibu adalah bukti konkret dari cita-cita Nenek. Ibu berhasil menjadi seorang
dosen di sebuah perguruan tinggi favorit. Sedangkan tokoh Ibu mampu menyekolahkan
Gading sampai ia menjadi seorang wartawan. Menurut Gading profesinya sebagai
wartawan sesuai dengan ilmu yang telah diperolehnya di bangku kuliah. Profesi tersebut
juga menyalurkan bakat dan talenta yang dimiliki oleh Gading. Intinya dengan pendidikan
membuka jalan kita untuk menjadi maju dan mendapatkan penghidupan yang layak.
Dalam lingkungan keluarga tokoh Ibu dan Gading memiliki persamaan
pandangan yaitu bahwa kaum perempuan sebagai seorang isteri adalah manusia biasa yang
berhak mendapatkan perlakuan yang adil dari suaminya. Perjodohan dan perkawinan
poligami adalah salah satu contoh ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga. Kedua
hal tersebut sangat bertentangan dengan apa yang ingin diperjuangkan wanita melalui
gerakan emansipasi wanita. Tokoh Ibu dan Gading juga sangat tidak menyetujui
85
perjodohan dan perkawinan poligami. Kebebasan kaum perempuan untuk memilih calon
pendamping hidupnya adalah hak yang mendasar yang dimiliki oleh kaum perempuan.
Perkawinan poligami cenderung membuat kaum wanita sebagai korban yang dirugikan
oleh kaum laki-laki. Terkadang isteri yang satu tidak mendapat nafkah lahir batin yang
sama dengan isteri yang lain bahkan diterlantarkan.
Selain persamaan pandangan tentang emansipasi, ketiga tokoh ini juga memiliki
perbedaan pandangan. Terlihat dalam bidang politik/hukum, tokoh Nenek memiliki
perbedaab pandangan dengan tokoh Ibu dan Gading. Nenek sangat menentang kebebasan
wanita untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Karena menurutnya hak itu hanya
dimiliki oleh kaum laki-laki saja. Kita sebagai kaum perempuan tempatnya adalah untuk
dipilih. Unsur tradisional cenderung lebih dominan untuk dipertahankan oleh tokoh Nenek.
Sedangkan tokoh Ibu dan Gading sangat setuju dengan gerakan emansipasi yang
memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan.
Sebagai kaum yang feminis, kedua tokoh tersebut kurang mempertahankan unsure
tradisional bahkan tokoh Ibu cenderung membuang unsur tersebut.
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam lingkungan keluarga. Tokoh Nenek yang
memegang tradisi sangat kuat membenarkan adanya perjodohan. Karena dengan
perjodohan, akan meningkatkan derajat keluarga di mata masyarakat. Dengan jalan
perjodohan kita dapat memperoleh calon menantu yang bibit, bebet, dan bobotnya jelas dan
sudah pasti dari keluarga ningrat. Tokoh Nenek memliki pandangan bahwa seorang wanita
sebagai isteri harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum”, pasrah, berbakti kepada
suami, dan melayani suami. Tokoh nenek meskipun tidak membenarkan perkawinan
poligami yang dijalaninya bersama kakek, tidak mampu untuk menentang keinginan kakek
86
untuk beristeri banyak. Beliau lebih memilih diam tanpa protes sedikit pun kepada kakek
dan menjalani kehidupan perkawinan dengan hati pasrah. Sedangkan tokoh Ibu dan Gading
sangat tidak setuju dengan pandangan Nenek tersebut. Sebagai seorang isteri hendaknya
diberi kebebasan juga untuk mensejajarkan diri dengan suaminya. Sehingga mereka tidak
diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya.
87
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab IV dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pembahasan mengenai watak tiga tokoh utama wanita. Tokoh pertama,
Nenek, adalah sosok wanita Jawa berumur lebih dari delapan puluh empat tahun. Beliau
masih memegang teguh adat Jawa. Nilai-nilai atau norma-norma Jawa yang dianut
mempengaruhi pandangannya tentang emansipasi. Tokoh kedua, Ibu, adalah sosok wanita
Jawa berumur lebih dari lima puluh tahun. Berwawasan modern, dan tidak lagi memegang
teguh adat Jawa sebagai pedoman hidupnya. Tokoh ini berpandangan bahwa emansipasi
wanita adalah penting untuk diperjuangkan. Tokoh ketiga, Gading, adalah sosok wanita
modern yang hidup di masa sekarang. Dia sangat mendukung emansipasi wanita namun
tidak meninggalkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang ada di masyarakat Jawa.
Kedua, analisis watak tiga tokoh utama wanita di atas selanjutnya digunakan
untuk mendeskripsikan emansipasi yang ada di dalam novel Tiga Orang Perempuan.Hasil
dari pembahasan tersebut adalah bahwa emansipasi wanita dalam novel ini terjadi dibidang
politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Di bidang politik,
emansipasi wanita menuntut adanya hak yang sama untuk memilih, menimbang, dan
memutuskan. Tokoh Ibu dan Gadinglah yang memperjuangkannya. Hal tersebut dibuktikan
dengan menolak keinginan Nenek untuk menjodohkan Gading dengan laki-laki pilihan
Nenek. Seorang wanita berhak untuk memilih siapa calon suaminya kelak,
mempertimbangkan apakah laki-laki pilihannya itu benar-benar yang terbaik, baru
88
kemudian memutuskan apakah laki-laki itu menjadi suaminya atau tidak. Di bidang hukum,
emansipasi wanita memperjuangkan hak wanita agar mendapatkan keadilan. Tokoh Ibu dan
Gading adalah sosok wanita yang memperjuangkan haknya tersebut. Menurut kedua tokoh
tersebut, kaum wanita berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum yang
menyangkut masalah perkawinan, hak waris dan sebagainya. Di bidang ekonomi, tokoh Ibu
memperjuangkan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak yaitu dengan bekerja
menjadi seorang dosen. Tokoh Gading dengan profesinya sebagai seorang wartawan
menggambarkan wanita yang ingin memeperjuangkan emansipasi wanita di bidang
ekonomi. Di bidang pendidikan, tokoh Ibu dan Gading menggambarkan adanya perjuangan
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Di lingkungan keluarga, tokoh Ibu
memperjuangkan hak agar mendapatkan perlakuan yang tidak sewenang-wenang dari
suami.
Ketiga, pembahasan mengenai tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang
emansipasi. Ada yang mendukung ada pula yang kurang mendukung. Tokoh Nenek kurang
mendukung karena latar belakang budaya/adat. Tokoh Ibu mendukung emansipasi karena
latar belakang pangalaman masa lalu semasa beliau masih kecil.Tokoh Gading mendukung
emansipasi wanita karena latar belakang lingkungan keluarganya yang demokratis dan
berwawasan modern. Kedua tokoh, Ibu dan Gading, sama-sama mendukung emansipasi
wanita karena alasan bahwa wanita berhak untuk maju dan memperoleh hak yang sama
seperti kaum laki-laki.
89
5.2 Saran
Penulis menyarankan agar hasil analisis skripsi yang berjudul Pandangan Tiga
Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A.
Sardjono ini dapat bermanfaat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar
mengenai emansipasi wanita kepada para pembaca sastra. Manfaat lain bagi peneliti sastra,
penelitian ini dapat digunakan untuk menganalisis novel ini dari segi sosiologi sastra atau
segi ilmu sastra yang lain untuk mendapatkan penelitian yang baru bagi dunia sastra.
90
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
_________. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Anshori. 1997. Feminisme Refleksi Muslimah Asas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.
______. 1997. Feminisme Refleksi Masyarakat Indonesia. Bandung: Pustaka Budaya.
Badudu, J.S Zain, Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Baribin, Raminah. 1987. Kritik dan Penilaian Sastra. Semarang: IKIP Press.
Chudori, Leila S. 1991. Potret Perempuan dalam Novel Indonesia Tempo. No 10 Tahun
XXI 4 Mei. Jakarta: Graffiti Press.
Djajanegara, Soenarjati. 2002. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.
Dewi Mahanani, Suprapti. 2003. Feminisme dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming) Karya Karmaputra. Semarang: Unnes.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar. ____________. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Lubis, Mochtar. 1960. Teknik Mengarang. Jakarta: Balai Pustaka.
Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
__________________. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. __________________. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
91
Nur Rahayu, Fitriani. 2003. Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita dalam Novel
Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Semarang: Unnes. Rahmawati, Tri. 2001. Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita dalam Novel Jalan
Bandungan Karya NH Dini. Semarang: Unnes. Sardjono, A. Maria. 2002. Tiga Orang Perempuan. Jakarta: Gramedia. Sayuti, A. Suminto. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud. Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II. Jakarta: Gramedia.
______________. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
______________. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Utama.
Sugihastuti. 2002. “Kritik Sastra Feminis” Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa.
Sumartan, dkk. 1995. Mendidik Manusia Merdeka, Romo YB Mangunwijaya 65 Th. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Suyati, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud
Sukada, Made. 1987. Pembinaan Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.
Teguh. 1995. Gender dan Transformasi Sosial. Makalah disampaikan dalam seminar Bedah Buku Gender dan Transformasi Sosial Karya Mansour Fakih. ISI Yogyakarta: Yogyakarta.
92
LAMPIRAN
SINOPSIS
Judul novel : Tiga Orang Perempuan
Nama Pengarang : Maria A. Sardjono
TIGA ORANG PEREMPUAN
Kota Solo identik dengan budaya dan adat Jawa yang sangat kental. Masyarakatnya
masih memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang masih dipengaruhi oleh
budaya patriarkat. Salah seorang di antaranya adalah Nenek. Sosok wanita Jawa yang
berumur kurang lebih delapan puluh empat tahun, namun masih menampakkan
kekuatannya di masa muda. Beliau hidup bahagia dengan keluarganya yaitu Ibu dan
Gading. Ibu adalah anak terakhir Nenek. Dia adalah sosok wanita modern berumur kurang
lebih lima puluh tahun. Tokoh Gading adalah generasi ketiga, seorang gadis dengan
pemikiran kritis dan berwawasan luas.
Ketiga tokoh tersebut terlibat suatu masalah yang rumit. Masalah itu menyangkut
kehidupan pribadi Gading yang akan dijodohkan Nenek dengan laki-laki pilihannya.
Namun keinginan Nenek tersebut tidak disetujui oleh Ibu. Menurutnya, Gading berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain. Apalagi di
masa sekarang wanita harus mampu untuk hidup mandiri, maju, dan bisa mengembangkan
93
potensi dan bakat yang dimilikinya. Emansipasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh
seorang wanita agar bisa disejajrkan dengan kaum laki-laki. Pendapat ini dibantah Nenek.
Beliau cenderung menentang karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga
ningrat. Semenjak kecil dia dipingit oleh keluarganya sampai beranjak remaja dan dilamar
oleh laki-laki pilihan keluarganya. Berbeda dengan Gading yang sangat mendukung
emansipasi seperti Ibunya, namun masih memegang nilai-nilai sosial yang ada di
masyarakat terutama masyarakat Jawa.
Permasalahan semakin rumit ketika Ibu menghadapi kenyataan suaminya sendiri
selingkuh dengan wanita lain yang lebih muda usianya. Suaminya melakukan itu dengan
alasan Ibu terlalu otoriter dan menganggap rendah suaminya hanya karena ingin
menunjukkan dominasi Ibu di mata suaminya dan semua laki-laki di mana pun baik di
tempat kerja maupun di lingkungan keluarganya.
Permasalahan itu berakhir setelah adanya campur tangan Gading yang tidak ingin
melihat keluarganya hancur. Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek pun menyadari
bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh Ibu dan Gading adalah semata-mata untuk
membuka hati kaum laki-laki agar tidak memperlakukan kaum perempuan dengan
seenaknya. Bukan untuk memberontak dan melanggar nilai-nilai yang sudah diyakini
masyarakat sebagai ketetapan Tuhan yang disebut kodrat.
94