PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS...
Transcript of PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS...
PANDANGAN MAZHAB FIQIH
TERHADAP AKTIFITAS PERKEREDITAN
PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN
(STUDY KASUS PD.PK KEC PARUNG)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk memenuhi
Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
SUWARDI
NIM: 104043101297
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
PANDANGAN MAZHAB FIQIH
TERHADAP AKTIFITAS PERKEREDITAN
PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN
(STUDY KASUS PD.PK KEC PARUNG)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk memenuhi
Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
SUWARDI
NIM: 104043101297
Pembimbing:
Dr, Abdurrahman Dahlan, MA
NIP: 195811101988031001
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PANDANGAN MAZHAB FIQIH TERHADAP AKTIFITAS
PERKEREDITAN PERUSAHAAN DAERAH PERKEREDITAN KECAMATAN
(Study Kasus PD.PK Kec Parung) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Desember 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam (S.HI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(Perbandingan Mazhab Fiqih).
Jakarta, 16 Desember 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag ( )
NIP. 196511191998031002
Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag. M.Si ( )
NIP. 197412132003121002
Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, MA. ( )
NIP. 195811101988031001
Penguji I : Dr. JM. Muslimin, M.A ( )
NIP. 150 295 489
Penguji II : Dr. KHA, Juaini Syukri. Les. MA ( )
NIP. 195507061992031001
i
بسم اهلل الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas Penulis ucapkan
selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang
diberikan Allah SWT, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan Perusahaan Daerah
Perkereditan Kecamatan (Study Kasus PD.PK Kec Parung) ini dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Penghulu Para Nabi, Nabi
Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat dan ummatnya yang senantiasa
mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, Amiin.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini
selesai Penulis susun. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Maka dengan tulus dan ikhlas Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A.,M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum
2. Bapak DR.H. Ahmad Mukri Aji, MH, dan Dr. H. Muhamad Taufiki, MAg
selaku Kepala dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum.
3. Bapak Dr. H. Abdurahman Dahlan MA, selaku Dosen Pembimbing, yang
telah dengan sabar membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Bapak Dr. JM. Muslimin, M.A dan Dr. KHA, Juaini Syukri. Les. MA selaku
dosen penguji skripsi saya.
5. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas
kepada Penulis untuk mengadakan studi pustaka.
ii
6. Kepada PD.PK Parung, Ade Marpensyah, Hennry, M. Wawan dan seluruh
karyawan PD.PK atas kesempatannya melakukan penelitian di perusahaan
yang bapak pimpin.
7. Kepada Ayahanda dan Ibunda Sair Adih dan Sarnih yang selama ini selalu
mendambakan ananda lulus menjadi S1, serta ayahanda dan ibunda mertua
penulis Abdul Rasjid NA dan Lies terima kasih atas segala do’anya.
8. Kepada istriku tercinta Ita Rahmawati dan anak ku yang saat ini berusia dua
bulan, skripsi ini kupersembahkan untukmu.
9. Kepada semua kakak dan keponakanku Samsu dan Mualifah (Eca, Lia,
Mutia, Eva), Surmih dan Agus (Rusli, Ayu), Bunda Diana dan Aa Dayat
(Shafa, Balqhis) Wawan dan Yeti, Usman dan Hani (Arumi) Dewi dan Anggi
(Aiko)
10. Keluarga besar MTs. As-syafi’iyyah 06 Rawakalong Gunungsindur Bogor
(tempat Penulis membaktikan diri) , khususnya Drs. Hairuddin selaku Kepala
Sekolah beserta kawan-kawan dewan guru. my best friends: Ical, Ahmad,
Onay, Budi, Anwar, kawan – kawan PMF angkatan 2004 Irpan dll, Diding
dan rental Elok.
11. Seluruh sanak family, teman-teman serta semua pihak yang telah tersita
waktu maupun tenaganya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu.
Hanya kepada Allah jualah Penulis serahkan semoga dapat dibalas dengan
pahala yang setimpal.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan kedepan.
Jakarta, 18 Maret 2011 M
14 Rabiul Awal 1432 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 5
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ........................................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
E. Tinjauan Studi Terdahulu ............................................................ 7
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .................................... 9
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
A. Al-Qur’an Menjadi Sumber Hukum Dalam Islam ...................... 12
1. Pengertian Al-Qur’an ............................................................ 12
2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum ...................................... 17
B. Sunah Menjadi Sumber Hukum Islam Setelah Al-Quran ........... 18
1. Pengertian Sunah ................................................................... 18
2. Sunnah Sebagai Sumber Hukum .......................................... 19
iv
C. Ijtihad .......................................................................................... 22
1. Pengertian Ijtihad .................................................................. 22
2. Jenis-Jenis Ijtihad ................................................................. 23
3. Kedudukan Ijtihad ................................................................. 28
D. Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Memandang Fiqih Muamalah . 29
1. Fiqih Ibadah .......................................................................... 29
2. Pengertian Muamalah ,.......................................................... 31
3. Prinsip – Prinsip Dasar Fiqih Muamalah ............................. 33
4. Kedudukan Muamalah dalam Islam ..................................... 34
BAB III PROFIL PD. PK KEC. PARUNG
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ................................ 37
1. Sejarah Singkat Perusahaan .................................................. 37
2. Permodalan Perusahaan ....................................................... 38
B. Produk-Produk PD. PK Parung ................................................... 39
C. Setruktur Organisasi .................................................................... 44
D. Sistem Pengawasan PD.PK ......................................................... 47
E. Sistem Pembagian Hasil .............................................................. 49
F. Dampak Positif dan Negatif PD.PK Parung Menurut Perpektip
Masyarakat .................................................................................. 49
v
BAB IV AKTIPITAS PD.PK MENURUT PANDANGAN
PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
A. Persamaan dan Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah51
1. Bank Konvensional .............................................................. 51
2. Bank Syari’ah ....................................................................... 54
3. Persamaan Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional ........ 55
4. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional ......... 56
B. Kredit........................................................................................... 58
1. Pengertian kredit .................................................................. 58
2. Jenis-Jenis Kredit .................................................................. 59
C. Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Bank Dan Kredit ............... 61
1. Pengertian Riba ..................................................................... 61
2. Jenis-jenis Riba ..................................................................... 62
3. Hukum Riba ......................................................................... 63
4. Kredit Menurut Perspektif Hukum Islam .............................. 68
5. Pendapat Faqaha Terhadap Bank Konvesional ..................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 76
B. Saran-Saran ................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 78
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan sistem
perbankan yang sesuai dengan prinsip syari’ah mendapat respon positif dari
pemerintah yang antara lain berupa dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang menetapkan bahwa perbankan di Indonesia menganut dual banking
system, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syari’ah. Perundang-undangan
tersebut selanjutnya disempurnakan dengan UU No.10 Tahun 1998, guna
memberikan landasan hukum yang lebih jelas bagi operasional perbankan syari’ah
nasional. Diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut memicu pertumbuhan
Bank Umum Syari’ah dan BPRS di Indonesia. Pada periode 1992-1998 hanya
terdapat 1 Bank Umum Syari’ah dan 78 BPRS yang telah beroperasi di Indonesia.
Sedangkan dalam periode 1998 sampai dengan April 2003, di Indonesia terdapat 2
kantor Bank Umum Syari’ah dan 6 Unit Usaha Syari’ah dengan 49 kantor cabang, 15
Kantor Cabang Pembantu, dan 63 Kantor Kas. Sedangkan BPRS berjumlah 86 yang
tersebar di berbagai kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkat pertumbuhan
yang cukup menggembirakan pasca diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998.1
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syari’ah
Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama
1 http://one indoskripsi.com.
2
manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syari’ah Islam dilandaskan pada
kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “maa laa yatimm al-wajib illa bihi
fa huwa wajib“, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib,
maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah
wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak
akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun
menjadi wajib untuk diadakan.2
Islam membawa pemahaman yang membentuk pandangan hidup tertentu dan
garis hukum yang global. Karenanya, guna menjawab setiap masalah yang timbul,
peran hukum Islam dalam konteks kekinian diperlukan. Kompleksitas masalah umat
seiring dengan berkembangnya zaman, membuat hukum Islam harus menampakkan
sifat elastisitas dan fleksibelitasnya guna memberi manfaat terbaik, dan dapat
memberikan kemaslahatan kepada umat Islam khususnya dan manusia umumnya
tanpa meninggalkan prinsip yang ditetapkan syariat Islam.3
Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 1998 Bab III Pasal 5, menurut jenisnya bank
dibedakan atas :
1. Bank Umum
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran, sedangkan
2 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal. 14 - 15 3 Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, dimuat di Jurnal Pengembangan
Bisnis dan Manajemen, Jakarta. Vol. III, No. 05 – Oktober 2004.
3
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara
dan penyalur dana antar pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan
dana. Peran ini disebut dengan financial intermediary.4
Penyesuaian dana penyempurnaan kebijakan di bidang perbankan nasional
diharapkan mempercepat terciptanya sistem perbankan nasional yang efektif dan
efisien. Peranan bank untuk golongan masyarakat ekonomi lemah terutama
masyarakat di daerah pedesaan sangat diperlukan. Bank Perkreditan Rakyat
Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (BPR PD PK) merupakan lembaga yang
melayani jasa perbankan guna memenuhi kebutuhan pelayanan jasa-jasa perbankan
dan penyedia layanan jasa-jasa perbankan, dimana peranannya dirasakan oleh
masyarakat di daerah pedesaan.5
Industri perbankan di Indonesia sangat penting peranannya dalam
pembangunan perekonomian. Terutama sekali dalam menyediakan dana bagi dunia
usaha. Selain itu perbankan dibutuhkan karena mempunyai fungsi yang sangat
mendukung bagi pertumbuhan perekonomian. Jasa keuangan yang dilakukan oleh
bank disamping menyalurkan dana atau memberikan pinjaman (credit) juga
4 Muh. Zuhri, Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 h. 144 5 http://www.scribd.com, 13 November 2009.
4
melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan.
Kemudian usaha bank lainnya dalam berupa memberikan jasa-jasa keuangan yang
mendukung dan memperlancar kegiatan dalam memberikan pinjaman dengan
kegiatan dalam menghimpun dana. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD
PK) merupakan salah satu badan kredit yang disponsori oleh pemerintah yang
beroperasi di daerah-daerah pedesaan yang berpusat di setiap kecamatan.
Masalah kekurangan modal dari penduduk pedesaan, khususnya dari pedagang
kecil serta berbagai kasus masyarakat desa sebagai akibat terbatasnya sumber tempat
meminjam, mendapat perhatian besar dari pemerintah daerah. Hal ini diwujudkan
dengan didirikannya Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK). Melalui
lembaga perkreditan ini, bagi para pedagang kecil pada khususnya merupakan salah
satu alternative terbaik yang dapat dipilih. Dimana pada pokoknya PD PK ini
mempunyai tujuan untuk membantu masyarakat pedesaan pada umumnya dan bagi
para pedagang kecil pada khususnya melalui bantuan modal yang diberikan.6
Jika di lihat dari aktifitas PD PK maka PD PK termasuk ke dalam kategori
Bank perkreditan rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional tidak berdasarkan prinsip syari’ah, dalam kegiatan Bank Perkreditan
Rakyat tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, artinya jasa-jasa
perbankan yang ditawarkan bank Perkreditan Rakyat jauh lebih sempit jika
dibandingkan dengan kegiatan atau jasa Bank umum.7
6 http://www.scribd.com/doc/19709042/perkreditan-masyarakat -pedesaan.14 November 2009
7 Kasmir, “Dasar-Dasar Perbankan” (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), hl. 20
5
Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) Parung berdiri atas
peraturan daerah Provinsi Jawa Barat nomor 14 tahun 2006 dan peraturan Menteri
dalam Negeri nomor 22 tahun 2006. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan
(PDPK), ini ada karena tingginya kebutuhan masyarakat akan permodalan usaha yang
sehat, sehingga terbangun sebuah perekonomian daerah yang kuat dan stabil, dimana
masyarakat dapat mandiri dan siap bersaing dengan kemajuan daerah lainnya.
Dari uraian di atas Penulis merasa tertarik dengan peran PD PK terutama PD
PK di Kecamatan Parung Kab. Bogor, yang berupaya untuk meningkatkan
perekonomian rakyat kecil melalui pemberian kredit secara konvensional dan produk-
produk yang ditawarkan lainnya, serta perbandingannya dengan perkreditan secara
syari’ah. Penulis berkeinginan menulis sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi
yang diberi judul “Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas Perkereditan
Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (Pd.Pk) (Study Kasus Pd.Pk Kec
Parung)”
B. Identifikasi Masalah
Jika membahas Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) tentu akan
banyak masalah-masalah yang akan muncul, maka dengan maksud tersebut penulis
mencoba membatasi masalah hanya seputar aktifitas pada PD PK, produk-produk
yang ditawarkan oleh PD. PK.
Selain membahas seputar PD. PK dan produk-produk yang di tawarkan tentu
akan ada beberapa masalah lainnya yaitu bagaimana keberadaan PD. PK di pandang
dari sudut hukum Islam.
6
C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan masalah lain di luar
wilayah penelitian, maka dalam skripsi ini Penulis membatasi pada masalah
Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) di Kec. Parung Bogor,
konsep-konsep serta produk-produk yang ditawarkan serta peranannya di
masyarakat dan perbandingannya dengan perkreditan secara syari’ah.
2. Perumusan Masalah
Melihat dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka pokok masalah
dalam skripsi ini bagaimana pandangan hukum Islam terhadap keberadaan PD.
PK? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana aktivitas PD PK Kec. Parung dalam upaya meningkatkan
perekonomian masyarakat Parung ?
b. Apa dampak positif dan negatif dari perkreditan secara konvensional ?
c. Apa perbedaan antara Perkreditan Konvensional dengan Perkreditan Syari’ah
?
d. Bagaimana para imam mazhab memandang perkreditan, khususnya
perkreditan PD. PK ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah:
1. Mengetahui peran PD PK Kec. Parung, konsep-konsep, produk-produk dan
peranannya di masyarakat Parung
7
2. Mengetahui Dampak positif dan negatif dari perkreditan konvensional
3. Mengetahui Pandangan parmazhab fiqih tentang Perkreditan Konvensional
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut, :
1. Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
proses pendewasaan Hukum Islam di Indonesia disamping sebagai syarat
kelulusan pendidikan S1.
2. Bagi jurusan Perbandingan Mazhab Fiqih, hasil pembahasan skripsi ini
diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi umum, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi ketika
dihadapkan pada masalah yang diangkat penulis
E. Tinjauan Studi Terdahulu
Dari beberapa tulisan baik itu Skripsi, Buku-buku dan artikel yang saya ketahui
memang sangat banyak yang membahas tentang kredit diantaranya, Hukum
Perbankan di Indonesia, yang di tulis oleh Muhammad Djumhana, di dalam bukunya
mengartikan Kredit berasal dari bahasa Romawi “Credere” yang berarti percaya,
dasar dari kredit adalah kepercayaan.8 Buku lain yang membahas tentang kredit yaitu
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan, seseorang
atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari Bank, maka orang atau
badan usaha tersebut telah mendapatkan kepercayaan dari Bank pemberi kredit.9
8 Djumhana Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
1996), h.229. 9 Rahman Hasanuddin, Aspek – Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar
Legal Officer, (Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998), h. 95.
8
Di dalam buku Kasmin yang berjudul, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, tujuan dan fungsi dari kredit diantaranya adalah: mencari keuntungan,
membantu usaha nasabah dan membantu pemerintah.10
Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syari’ah
Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama
manusia. Pengaturan lembaga perbankan dalam syari’ah Islam dilandaskan pada
kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan bahwa “ maa laa yatimm al-wajib illa bihi
fa huwa wajib “, yakni sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib,
maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (yakni melakukan kegiatan ekonomi) adalah
wajib diadakan. Oleh karena pada zaman modern ini kegiatan perekonomian tidak
akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, maka lembaga perbankan ini pun
menjadi wajib untuk diadakan.11
,Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, yang di
tulis oleh Karim Adiwarman.
Muhammad Zuhri di dalam bukunya yang berjudul, Riba Dalam Al-Qur’an dan
Masalah Perbankan, menuliskan bank adalah lembaga perantara dan penyaluran dana
antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana. Peran ini
disebut dengan financial intermediary12
selain itu juga Hamzah Ya’qub dalam
bukunya yang berjudul, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Moh. Hatta, Bank adalah
10
Kasmin, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,(Jakarta; Rajawali Press, 2001), h. 96 11
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal. 14 – 15. 12
Muh Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan : titik antisipatif, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1990), h. 144.
9
sendi kemajuan masyarakat. Sekiranya tidak ada Bank, maka tidak akan terdapat
kemajuan seperti sekarang ini13
.
Dari beberapa judul buku di atas, sangatlah berbeda dengan apa yang ada dalam
karya ilmiah yang penulis tulis adalah bagai mana pandangan mazhab fiqih
memandang segala aktifitas PD.PK dalam membantu perekonomian masyarakat.
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam memperoleh data yang diperlukan untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini, Penulis menggunakan metode penelitian Primer, Sekunder dan Tersier
yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Data-data penelitian ini terdiri dari data Primer, Sekunder dan Tersier. Data
Primer adalah data yang diperoleh langsung dari PD. PK yang sumbernya
didapatkan dari praktisi PD. PK dan masyarakat yang terlibat didalamnya,
sedangan data Sekunder data-data yang didapatkan dari tulisan-tulisan serta
komentar dari para ahli. Sedangan data Tersier adalah data yang didapatkan dari
mana saja sebagai sumber yang mendukung.14
2. Jenis dan sumber data
Pada penulisan skripsi ini Penulis menggunakan jenis Data Primer yang
bersumber dari Alqur’an, Hadits dan perundang-undangan sedangkan untuk
menambah data Penulis menggunakan jenis data sekunder yang bersumber dari
13
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), h. 193. 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Jakarta : PT. Bina Aksara,1985), cet. Ke-2, h.139
10
literatur-literatur lainnya seperti, : majalah, artikel, koran, wawancara, dan lain-
lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini menggunakan instrumen wawancara pada praktisi dan
anggota PD. PK terutama data-data PD. PK dan studi literatur atau perpustakaan.
4. Analisis Data
Analisa Data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu penulis menganalisis dengan cara menguraikan dan
mendeskripsikan masalah-masalah yang berkaitan dengan PD PK beserta dampak
hukumnya (menurut hukum Islam), untuk didapatkan suatu kesimpulan yang
obyektif. 15
Sedangkan dalam penulisan skripsi ini Penulis menggunakan buku “Pedoman
penulisan skripsi, tesis dan disertasi” yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, diawali dengan pendahuluan pada bab I dan
diakhiri dengan penutup pada bab V. Untuk memberi kemudahan bagi pembaca,
berikut ini adalah rincian dari sistematika bab-bab skripsi ini :
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari delapan pokok bahasan, yaitu
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
15
Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 15
11
Bab II menjelaskan sumber hukum Islam Al-Quran, Sunah, Iztihad. Prinsip –
prinsip Islam dalam bidang Muamalah serta Makosidu Syari’ah.
Bab III untuk memudahkan pembaca, di dalam skripsi ini penulis akan
menuliskan profil dari PD. PK Kec. Parung yang meliputi, sejarah perdirinya PD. PK,
pengurus PD. PK, sistem kerja PD. PK dan Produk yang di tawarkan Oleh PD. PK
kepada masyarakat dan dampak positif dan negatif keberadaan PD.PK ditengah
masyarkat
Bab IV pada bab inilah, masuk pada masalah inti dari skripsi ini yaitu
kedudukan PD. PK dengan menggunakan cara pandang mazhab fiqih terhadap PD.
PK
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran sebagai pengikat
dari seluruh pembahasan yang penulis telah susun dari awal.
12
BAB II
SUMBER - SUMBER
HUKUM ISLAM
A. Al-Qur’an Menjadi Sumber Hukum Dalam Islam
1. Pengertian Al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di
sekitar pengertian Al-Qur‟an baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafi‟i
misalnya mengatakan bahwa Al-Qur‟an bukan berasal dari kata apapun dan
bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan
dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz Al-Qur‟an
berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan, karena
dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Al-Qur‟an itu satu sama
lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asy‟ari dan para pengikutnya
mengatakan bahwa lafadz Al-Qur‟an diambil dari akar kata qarn yang berarti
menggabungkan sesuatu atas yang lain, karena surah-surah dan ayat-ayat Al-
Qur‟an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.1
Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan Al-Qur‟an
tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan
1 As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul
asli Mabahits fi Ulum Al-Qur‟an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II.
13
karakteristik Al-Qur‟an itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling
berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk
memaparkan pengertian Al-Qur‟an secara etimologis dan terminologis
berdasarkan pendapat beberapa ahli.
Secara etimologis, Al-Qur‟an merupakan Masdar dari kata
kerja “Qoroa” yang berarti bacaan atau yang ditulis,2 sedang menurut
Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna.3
Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi
sebagai berikut :
Safi‟ Hasan Abu Thalib menyebutkan :
Artinya: Al-Qur‟an adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab
dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syari‟at.4
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan
bahasa arab sesuai dengan bahasa Nabi Muhammad ya itu bahasa arab agar
Nabi Muhammad lebih mengerti maksud dan tujuan wahyu yang diturunkan
2 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : (Gaya Media Pratama, Cet. I.
1999), hal. 55. 3 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Mizan, Cet. III, Bandung: 1996), hal. 3.
4 Safi‟ Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo :
Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990), hal. 54.
14
kepada beliu, sebab Al-Quran yang diturnkan sebagai sumber hukum utama
jika Rasullah menhadapi permasalahan-permasalahan.
Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :
122
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur‟an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf/12 : 2)5
Ayat ini menegaskan pendapat Safi‟ Hasan Abu Thalib diatas Al-
Quran diturunkan menggunakan bahasa arab karena para sahabat Nabi
Muhammad pun berbahasa arab dengan menggunakan bahasa arab apa yang
diwahyukan kepada Nabi lalu Nabi menjelaskan kepada sahabat agar lebih
mudah dan dimengerti oleh sahabat.
Sedangkan menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud Al-Qur‟an adalah :
Artinya: Al-Kitab yang disebut Al-Qur‟an dalah kalam Allah SWT, yang
diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafadz
Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-
lembaran mushaf.6
5 Al-Quran terjemah
6 Zakaria al-Birri, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi Littiba‟ah,
1975), hal. 16
15
Untuk lebih memperjelas definisi Al-Qur‟an ini penulis juga nukilkan
pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-
Qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam
mushaf yang dinukil secara mutawatir.7
Definisi diatas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut :
a. Al-Qur‟an sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Qur‟an adalah
wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau
pikiran Nabi.
b. Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna
dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari
Allah sendiri.
c. Al-Qur‟an terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Qur‟an tidak mencakup
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang
kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri.
d. Al-Qur‟an dinukil secara mutawatir, artinya Al-Qur‟an disampaikan
kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan
berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.8
7 Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : (PT. Bulan Bintang, Cet. I, )hal. 53. 8 Ibid, hal. 54.
16
Dalam kaitannya dengan sumber dalil, Al-Qur‟an oleh ulama ushul sering
disebut dengan al-Kitab. Umumnya didalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul
dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut Al-Quran dengan Al-Kitab.9
Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab didalam Al-Qur‟an sendiri sering
disebut Al-Kitab yang dimaksud adalah Al-Qur‟an. Seperti firman Allah :
22
Artinya: Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah/2 : 2 ).
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur‟an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan
menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir,
dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini. Penukilan Al-Qur‟an
dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke
generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian
otentisitas dan keabsahan Al-Qur‟an dan terpelihara sepanjang masa serta tidak
akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :
159
Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur‟an dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)
9 Zakaria Al-Birri, op.cit, hal. 16.
17
Jelaslah bahwa Allah yang menurunkan Al-Quran kepada Nabi
Muhammad melalui malikat Jibril kebenaranya tidak akan pernah diragukan
sampai kapanpun.
2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa Al-Qur‟an adalah sumber
hukum yang paling utama, dengan kata lain, Al-Qur‟an menempati posisi awal
dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Al-Qur‟an dipandang sebagai sumber
hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi‟ Hasan Abi Thalib10
menegaskan :
Artinya: Al-Qur‟an dipandang sebagai sumber utama bagi hukum-hukum
syari‟at. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang
menyertai dan bahkan cabang dari Al-Qur‟an. Dan dari sini, jelas
bahwa Al-Qur‟an menempati posisi utama dalam berargumentasi,
tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak
ditemukan didalamnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa Al-Qur‟an adalah sumber
hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan
pelengkap dan cabang dari Al-Qur‟an, karena pada dasarnya sumber-sumber lain
10
Safi Hasan Abu Talib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, (Kairo : Dar
al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990), hal. 63-64
18
itu akan kembali kepada Al-Qur‟an. Al-Ghazali11
bahkan mengatakan, pada
hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda
Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang
bermacam-macam hukum Allah SWT.
B. Sunnah Menjadi Sumber Hukum Islam Setelah Al-Quran
1. Pengertian Sunnah
Para ulama ahli hadits dan para lama ahli ushul fikih memberikan
ta‟rif kata sunnah, demikian:
Artinya: "Apa-apa yang datang dari Nabi SAW berupa perkataan-
perkataannya perbuatan-perbuatannya, taqrirnya dan apa-apa yang
beliau cita-citakan untuk mengerjakannya".12
Abdul Wahab Khallaf, menegaskan yang dimaksud dengan As-Sunnah
ialah :
Artinya: “Sunnah ialah apa-apa yang bersumber dari Rasulullah saw baik
berupa perkataan, perbuatan maupun penetapannya”.13
11
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min „Ilmi al-Ushul, (Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971), hal. 118. 12
Ibid, hal. 230 13
Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqih, (Pustaka Firdaus. Cet. VIII: Jakarta, 2003), hal. 65
19
Adapun pembagaian sunnah sebagai berikut :
a. Al-Sunnah Qauliah (ucapan) yaitu: Hadis-Hadis Rasulullah SAW, yang
diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persesuaian (situasi), seperti
sabda Rasulullah SAW.
b. Al-Sunnah fi‟liyah, yaitu: perbutan-perbuatan nabi Muhammad SAW,
seperti pekerjaan melakukan shalat lima kali (sehari semalam) dengan
sunnah kaifiyah, (tata cara) dan rukun-rukunya, pekerjaan menunaikan
ibadah haji dan pekerjaanya, mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari
pihak penuduh.
c. Al-Sunnah taqririyah, yaitu: perbutan sebagaian para sahabat Nabi yang
telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbutan itu berbentuk ucapan atau
perbutan, sedangakan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya,
atau tidak menunjukan tanda-tanda ingkar atau menyetujuinya, dan atau
melahirkan anggapan baik tehadap perbutan itu, sehingga dengan adanya
ikrar dan persetujuan ini perbutan tersebut dianggap sebagai perbuatan
yang dilakukan Rasul SAW, sendiri.14
2. Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntutan yang
disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih dan mendatangkan yang
14
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, (P.T. Rajagrafindo Persada,
Cet,VIII, Jakarta: 2002) hal.46-47
20
qath‟i atau zhanny.15
Karenanya, dengan kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi
umat Islam dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para
mujtahid dijadikan sebagai rujukan istinbath dan hukum-hukum syari‟at bagi
mukallaf. Dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah
hukum-hukum yang ada didalam Al-Qur‟an, sebagai peraturan perundangan yang
harus ditaati.
Ada beberapa alasan yang kuat yang mendukung pemakaian As-Sunnah
sebagai hujjah atau sumber hukum, yaitu sebagai berikut :
a. Adanya nash-nash Al-Qur‟an yang memerintahkan agar patuh dan tunduk
kepada Nabi. Sebagaimana firman Allah :
459Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. (QS. An-Nisa‟ : 59)
b. Sunnah Nabi SAW pada dasarnya adalah penyampaian (tabligh) risalah Tuhan
dan Allah menugaskan kepada Nabi agar menyampaikannya kepada Umatnya.
Maka menerapkan dalil-dalil sunnah berarti sama dengan menerapkan syari‟at
Allah SWT. Allah berfirman :
15
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqih, (Gema Risalah Press.. Cet. II: Bandung, 1997), hal.
15.
21
567
Artinya: Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (QS. Al-
Maidah/5 : 67).
c. Ada nash Al-Qur‟an yang menerangkan bahwa Nabi berbicara atas nama
Allah, sebagaimana firman Allah :
5334
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm/53 : 3-4).
d. Ijma‟ para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah
wafat, melakukan ketentuan-ketentuan Al-Quran dan juga ketentuan As
Sunnah. Ini terlihat jelas terhadap sikap Khulafa Rasyidin Abu Bakar apa bila
mendapatkan suatu masalah beliu tidak hafal dan tidak mengetahui sunnah
makan beliu mencari sahabat yang mengetahui sunnah tersebut.16
e. Didalam A-Qur‟an, Allah SWT telah mewajibkan kepada umat manusia untuk
melakukan ibadah fardhu dengan lafadz „am tanpa penjelasan secara detail,
baik mengenai hukumnya atau cara melaksanakannya. Seperti firman Allah :
477
16
Drs. H. Kamal Muchtar, Ushul Fiqih, (PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta, 1995) Jilid 2,
hal, 92
22
Artinya: Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat (QS. An-Nisa‟/4 : 77).
Pada ayat diatas hanya ada perintah mendirikan sholat tidak ada penjelasan
bagaimana cara sholat maka sunnahlah yang menjelaskan bagaimana cara
melakukan sholat seperti hadis Nabi:
Artinya: Sabda Rasulullah saw : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat
aku melakukan shalat” (Shahih Bukhari)17
C. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad (اجتهاد) itu dari bahasa arab, dari kata kerja (fi‟il) اجتهد
(ijtihada) - يجتهد (yajtahidu) – yang artinya “sungguh ,(ijtihada) اجتهادا
sungguh” misalnya dikatakan: اجتهد فى األمر (ia bersungguh-sungguh dalam
suatu urusan”).
Tetapi yang dimaksud dengan kata ijtahada atau “ bersungguh –
sungguh” itu, bukan dalam urusan yang ringan atau mudah, melainkan dalam
urusan yang berat atau sulit.
Oleh sebab itu, maka kata ijtahada itu dalam bahasa Arab harus
dipergunakan dengan rangkaian kata yang menunjukan akan sesuatu yang
berat, bukan yang ringan. Misalnya: – ia bersungguh) اجتهد فى حمل الرحا
sungguh dalam membawa batu penggilingan). Tidak boleh dikatakan اجتهد فى
.(ia telah bersunggu-sungguh dalam membawa sebiji sawo) حمل خرد لت
17
Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadis terpilih, (Gema Insani : Jakarta, 1991) hal. 68
23
Kata ijtahada harus dipergunakan demikian, karena kata ijtahada itu
pokok kata jahdu (جهد) atau juhdu (جهد), yang artinya”kuasa” atau “kuat”
dan/atau “kepayahan” dari sinilah makna kata jihad bisa diartikan (جهاد)
“perang” karena berjihad itu tentu disertai dengan susah payah, dengan
mengeluarkan kekuatan dan dengan penuh kesungguhan untuk melawan
musuh.18
Demikian arti kata ijtihad, maka dengan demikian, kata mujtahid (مجتهد)
itu, artinya sepanjang lughat, ialah „yang bersungguh-sungguh” dalam berusaha
mengerjakan urusan yang berat atau sulit.
Adapun ijtihad menurut istilahan para ulama ahli usul fiqih yaitu: ijtihad
ialah menghabiskan kesanggupam dalam memperoleh suatu hukum syarak yang
amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Mujtahid itu ialah seorang fakih (ahli hukum agama) yang menghabiskan
kesanggupanya untuk menghasilkan dalam (sangkaan) dengan menetapak hukum
syarak dengan jalan istinbath dari al-quran dan sunnah.19
2. Jenis – Jenis Ijtihad
a. Ijma'
Secara definitif ijma‟, menurut ahli usul adalah kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah terhadap
suatu hukum syari‟at mengenai suatu peristiwa. Dengan kata lain, apabila
18
KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran dan Assunnah, (PT. Bualan Bintang,
Jakarta: 1999) hal. 428-429. 19
ibid, hal. 42
24
terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak
ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Qur‟an dan Sunnah),
kemudian para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu
peristiwa dan disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, maka
kesepakatan itulah yang disebut dengan ijma‟.
Ijma‟ merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi
kuat dalam menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas
sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam.
Sejumlah ayat dan hadits Nabi menjadi justifikasi teologis kekuatan ijma‟
sebagai sumber hukum dalam Islam.
Pemberian warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul
dengan anak laki-laki orang yang meninggal dunia. Nenek laki-laki tersebut
menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari
harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum
berdasarkan ijma‟ sahabat.20
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna‟ atau pemesanan barang
yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh, karena dinilai sama
seperti halnya membeli barang yang tidak ada merupakan contoh hukum yang
bersumber dari hasil ijma‟, sahabat.
Penggunaan ijma‟ sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama
20
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001) hal. 31
25
beliau hidup setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan
hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu
masalah.
Ijma‟ memiliki kehujjahan sebagai sumber hukum didasarkan pada
sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surat An-Nisa‟ yang mana
didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai
pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia (seperti kepala
negara, menteri, legislatif, yudikatif dan sebagainya) dan pemegang urusan
agama seperti para mujtahid, mufti dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri
telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti dan
dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti dan melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya21
. Dalam surat An-Nisa‟ ayat 83 dikemukakan :
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul
dan Ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
21
Ibid, hal 32
26
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).(Q.S, An-Nisa: 83)
Argumentasi teologis kedua yang dijadikan justifikasi kehujjahan
ijma‟ sebagi sumber hukum dalam Islam adalah sejumlah hadits Nabi SAW
yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat
kesalahan dan kesesatan seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibn
Majah, yang mengatakan “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan”.
Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh para mujtahid
memiliki kehujjahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib
diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyâs
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamarkan sesuatu dengan yang lain. Adapun qiyas
secara teriminologi yang dikemukakan oleh Sadr al-Syari‟ah qiyas adalah
memberlakukan hukum asal kepada hukum furu‟ desebabakan kesatuan illat
yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.22
Adapun menurut Ibnu Rusyd, al-Qiyas berfungsi sebagai sebuah
metode dan solusi untuk menjawab dan merespon kasus - kasus hukum yang
tidak disentuh oleh Syara yang tidak terdapat didalam Al-Qur‟an dan Hadis23
Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya
22
Drs. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos, 1996) hal.62 23
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hal. 3
27
namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek
dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama.24
Dalam Islam, Ijma dan
qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya maka qiyas dapat digunakan sebagi
sumber hukum.
c. Istihsan
Istihsan menurut harfiyah meminta berbuat kebaikan, yakni
menganggapnya baik. Menurut istilah banyak definisi diantaranya:
Menurut pendapat Al Ghazali berpendapat semua hal yang dianggap
baik oleh Mujtahid menurut akalnya.
Adapun menurut Abu Ishaq berpendapat pengambilan suatu
kemaslahatan yang bersifat juz‟i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
Sebagian ulama yang lain mengatakan sebuah perbutan adil dalam
hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.
Mengenai kehujjahan istihsan ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah,
ulama Hanabilah, golongan inilah yang menerima istihsan sebagai hujjah.
Sedangkan ulama Syafi‟iyah menolak, bahkan beliau berkata barang siapa
yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari‟at sendiri. Beliau
juga berkata segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT. Setidaknya ada
yang meyerupai sehingga boleh memakai qiyas, namun tidak boleh memakai
istihsan.25
24
Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hal. 86 25
Ibid, hal. 111-112
28
3. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan
ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat
tapi tidak berlaku pada masa/tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan „ ibadah mahdhah. Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi,
akibat, kemaslahatan26
Jadi si mujtahid dalam berijtihad itu, tidaklah harus dengan pikirannya
sendiri semata-mata, tetapi harus dengan beristinbath dari al-Qur‟an atau as-
sunnah, dan cara menghukumnya harus dengan mengemukakan keterangan dari
hasil ijtihad (istinbath) dari Al-Qur‟an atau As-sunnah.27
26
Kedudukan Ijtihad, http://almanaar.wordpress.com/2007/10/22/kedudukan-ijtihad/ 27
KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Qur‟an dan As-sunnah, op.cit, hal. 431
29
D. Perbedaan Ijtihad Ulama Dalam Memandang Fiqih Muamalah
Sebelum penulis membahas mengenai fiqih Muamalah penulis mencoba
menggambarkan mengenai apa yang dimaksud dengan fiqih, secara garis besar
fiqih dibagi kedalam dua yaitu fiqih ibadah (mahdhah) hukum Islam yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan fiqih muamalah (ghairu
mahdhah) hukum Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia
yang lain dan alam semesta.28
1. Fiqih Ibadah
Jika kita berbicara mengenai fiqih ibadah maka terdapat dua suku kata yaitu
fiqih dan ibadah yang dimaksud keduanya adalah:
a. Fiqih adalah secara bahasa fiqih berarti faham yang mendalam,
mengetahui batinya samapi kedalamnya, sedangkan secara istilah fiqih
adalah ilmu tentang hukum-hukum syar‟i yang bersifat amaliyah, yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.
Menurut ulama lain fiqih adalah apa yang dicapai oleh mujtahid dengan
zannya. Sedangkan Al Amidi memberikan definisi yang tidak berbeda
degan diatas : “fiqih adalah ilmu tentang seperangkat hukum-hukum
syara‟ yang bersifat furu‟iyah (cabang) berhasil didapatakan melalui
penalaran atau istidlal29
28
Dr. Hj. Zurinal z, Fiqih Ibadah, (Lembaga Penelitian UIN: Jakarta 2008), hal. 7 29
Dr. Hj. Zurinal z, Ibid, hal, 5
30
Dari pengertian diatas dafat kita simpulkan bahwa fiqih adalah ilmu
tentang hukum Allah yang bersifat amaliyah furu‟iyah yang diperoleh dari
dalil tashili yang digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal
seseorang mujtahid atau faqih.
b. Ibadah
Ibadah adalah bahasa Arab yang secara etimologi berasal dari akar kata
عبادة- عبدا – يعبد –عبد yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri
dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makana yang bedekatan.
Seseorang yang tunduk, patuh merendahkan dan hina diri di hadapan yang
disembah disebut abid (yang beribadah) budak disebut dengan عبد karena
dia harus tunduk dan patuh serrta merendahkan diri terhadap
majikannya.30
Pengertian umum ibadah mencakup segala bentuk hukum, baik yang dapat
dipahami maknanya (ma‟qulat al-ma‟na) sepertu hukum yang mencakup
dengan muamalah pada umunya, maupun yang tidak dapat dipahami
maknanya (ghair ma‟qulat al-ma‟na), seperti taharah dan shalat. Semua
ini termasuk kedalam ibadah31
Fiqih ibadah jauh lebih luas dari pada fiqih muamalah karena fiqih ibadah
mencakup fiqih munakahat dan fiqih muamalah dalam arti sempit dan
fiqih lain-lainnya.
30
Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ibadah fi al-Islam, Muassasah al-Rislah, cet. 6, Beirut, 1979. Hal.
27 31
Dr. A. Rahman Ritonga, MA, “Fiqih Ibadah” (Gaya Media Pratama, Jakarta: 1997), hal. 1
31
Dari pengertian diatas antara fiqih dan ibadah dapat kita simpulkan bahwa
fiqih ibadah adalah ilmu yang mengatur tata cara bagai mana cara berhubungan
antara manusia dengan sang pencipta yaitu Allah SWT yaitu bagi mana cara
bersuci, ibadah, puasa, zakat dan haji.32
2. Pengertian Muamalah
kata Muamalah berasal dari bahasa Arab معاملاث yang merupakan
bentukan dari kata معاملت- يعامل –عامل yang menurut bahasa memiliki arti
saling bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan, bisnis dan transaksi.33
Secara terminologi pengertian fiqih muamalah dibagi dalam dua macam
yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan hukum
Islam yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan keduniaan
seperti jual beli, gadai, perdagangan, sewa, syarikat, mudharabah, nikah, hibah,
waris, wasiat, perang, perdamaian dan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam
hidupnya.34
Muamalah bisa diartikan segala aturan agama yang mengatur hubungan
antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara
manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya/alam
semesta.35
32
Dr. A. Rahman Ritonga, MA, Ibid, hal. 2 33
Ah. Azharudin Lathif, Fiqih Muamalah, (UIN Jakarta Press: Jakarta 2005), hal. 3 34
Ah. Azharudin, Ibid, hal. 3 35
. Majfuk Zuhadi, Studi Islam Jilid III Muamalah, (PT. Raja Grafindo: Jakarta, 1993), hal. 2
32
Aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik
sesama agama maupun tidak seagama, dapat kita temukan dalam hukum Islam
tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat/testamen, hibah, perdagangan,
perburuan, perkoperasian, sewa-menyewa, pinjam meminjam, hukum tata
negara/pemerintahan, hukum antara bangsa dan golongan dan sebagainya.
Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan
kehidupannya, dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makan,
minuman dan pakaian, mata pencarian dan rezeki yang dihalalkan dan yang
diharamkan.
Dari pengertian muamalah diatas, maka jelaslah bahwa muamalah
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sebab dapat mengenai segala aspek
kehidupan manusia misalnya bidang agama, politik, hukum ekonomi, pendidikan,
sosial – budaya dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
1689 Artinya: Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl/16 : 89)
Dan juga firman Allah dalam surat al-An‟am.
638
Artinya: Tiada Kami meninggalkan/mengembalikan sesuatu apapun didalam
Al-Quran. (QS. Al-An‟am/6 : 38).
33
Adapun menurut Wahbah Zuhaili memakai istilah fiqih muamalat dalam
arti luas yang dihubungkan dengan kata ahkam (ahkam al-muamalah/hukum
muamalah) sebagai bandingan dari ahkam al-ibadah (hukum ibadah) menurutnya
hukum muamalah merupakan hukum yang mengatur hubungan antara manusia
baik yang bersifat individual maupun kolektif, yang berdiri dari hukum keluarga,
hukum kebendaan, hukum pidana, hukum acara, perundang-undangan, hukum
internasional, hukum ekonomi dan hukum keuangan.36
Sedangkan muamalah
dalam arti sempit hanya dibatasi pada hubungan hukum yang terkait dengan
persoalan harta benda.
3. Prinsip – Prinsip Dasar Fiqih Muamalah
Ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dijaga dalam menjalankan fiqih
muamalah diantaranya:
a. Seluruh Tindakan Muamalah dilakukan atas Dasar Nilai-Nilai Ketuhanan
(Tauhid). Artinya apapun jenis Muamalah yang dilakukan oleh seorang
Muslim harus senantiasa berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan
mengawasi tindakan tersebut. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam
surat Al-Dzariyat yang berbunyi:
5156
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat/51: 56 )
36
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqih al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut:Dar al-Fikr, 2002) cet 4, hal 33-
34
34
b. Muamalah harus didasarkan pada pertimbangan moral yang luhur.
Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara akhlak dengan ekonomi,
keduanya harus berjalan seiring. Tidak bisa saling dipisahkan bila kedua
prinsip ini dipisahkan maka yang terjadi adalah yang kuat akan memangsa
yang lemah.
Atas dasar prinsip ini maka segala kegiatan muamalah harus dilakukan
dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti kejujuran,
keterbukaan, kasih sayang, kesetiakawanan, suka sama suka, persamaan,
tanggung jawab, dan profesional.
Dengan demikian, segala bentuk transaksi bisnis yang mengandung riba,
penipuan, ketidakpastian, pemerasan, diskriminatif, pemaksaan, penyogokan dan
unsur-unsur lain yang merugikan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan
harus dihindarkan dan apabila telah berjalan maka harus dibatalkan karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral dalam syari‟at Islam.37
4. Kedudukan Muamalah dalam Islam
Secara garis besar ajaran Islam membagi kedalam dua bagian yaitu ibadah
dan muamalah. Kaidah fiqih ibadah :
Artinya: Hukum asal dalam ibadah adalah menunggu dan mengikuti
tuntunan38
37
Ah. Azharudin, Op.Cit, hal. 6-7 38
Ibnu Taimiyah, Juz II, hal. 306
35
Artinya: Hukum Asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil
yang memerintahkannya”
Dari kedua kaidah diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam bidang ibadah
itu tidak boleh dikerjakan sebelum ada dalil yang memerintahkannya, contohnya
pada dasarnya sholat dilarang untuk dilakukan akan tetapi ada dalil, hadisnya dan
bahkan dicontohkan oleh Rasullah untuk mengerjakan sholat makan umat Islam
wajib mendirikan sholat.
Sedangkan Kaidah fiqih muamalah :
Artinya: Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”39
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dalam transaksi
pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama,
(mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali tegas-tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudharatan, tipuan, judi dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain:
Artinya: Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang
diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT, tidak ada
yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT.40
39
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih, (Kencana : Jakarta, 2007) cet. 2 hal. 130 40
Ibnu Taimiyah, al-Qawa‟id al-Nuraniyah al-Fiqhyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusysd, 1422
H/2001 M cet.1), Juz, hal. 306
36
Artinya: Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak
yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan.41
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada kedua belah pihak. Artinya tidak
suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga
merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi
kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka
akad tersebut bisa batal.
Dari beberapa pengertian diatas jelas dikatakan bahwa bermuamalah
didalam Islam diperbolehkan dan memang diatur keberadaannya, asalkan tidak
bertentangan dengan syari‟at yang ada. Selain itu juga pada tulisan diatas ada
prinsip-prinsip muamalah yang harus kita taati sehingga bermuamalah tidak
menjadi haram dilakukan.
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bersama bahwa dalam bidang
ibadah ahrus ada dalilnya, baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis Nabi. Sebab,
ibadah itu tidak akan sah apabila tanpa dalil yang memerintahkannya atau
menganjurkannya.
Sedangkan dalam bidang muamalah justru sebaliknya, pada dasarnya
muamalah boleh dilakukan akan tetapi menjadi haram dilakukan apabila
diketemukan dalil yang mengharamkan melakukan kegiatan muamalah.
41
Prof H. A. Djazuli, Op.Cit, hal. 130
37
BAB III
PROFIL PD. PK KEC. PARUNG
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah Singkat Perusahaan
Sebelum saya membahas sejarah singkat PD.PK Parung penulis
sedikit menjelaskan istilah-istilah sebagai berikut: LPK, PD.PK dan PD.BPR
pada dasarnya perusahaan ini adalah sama akan tetapi perbedaanya terletak
pada permodalan, yaitu jika perusahaan kecamatan bernama LPK berarti
permodalan yang diterima LPK hanya dari Pemda saja, jika bernama PD.PK
maka permodalan perusahaan tersebut diberikan oleh Propinsi dan Pemda
sedangkan jika bernama PD.BPR maka permodalan perusahaan tersebut
diberikan oleh Propinsi, Pemda dan Bank Jabar.
Pada awal pendirian pada tahun 1993 Pemda Kab. Bogor mendirikan
perusahaan tersebut sebanyak 40 PD.PK, seiring berjalannya waktu dari 40
PD.PK banyak yang mengalami kebangkrutan akibat krisis pada tahun 1998
sehingga banyak nasabah yang tidak mampu mengembalikan pinjaman
akibatnya beberapa PD.PK kehabisan modal untuk menjalankan perusahaan.1
Pada tahun 2000 dikeluarkanlah Peraturan Gubernur Jawa Barat
Nomor 25 tahun 2000 untuk mendirikan kembali PDPK yang mengalami
1 Wawan Cara, Ade Marpensyah, Pimpinan PD. PK Parung. , Jum’at 13 Agustus 2010 Jam.
09.30
38
kebangkrutan serta menambahkan permodalan bagi PD.PK yang masih
berjalan. 2
Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD.PK) Parung adalah
usaha jasa keuangan di wilayah Kecamatan Parung yang didirikan oleh
PEMDA Bogor pada tahun 1993. PD.PK Parung yang terletak di Pertokoan
Kita Jaya Lt.2 Jl. H.Mawi no 7 Kecamatan Parung. Namun pada bulan
Februari 2007 PD.PK Parung ini dipindahkan ke sebuah ruko di Jl. H. Mawi
No.81B, dengan jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Bogor Cibinong
kurang lebih 20 km.
Visi dan misi dari PD.PK Parung adalah menjadikan PD.PK yang
membantu permodalan para pelaku UMKM dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan cara memberikan permodalan untuk mendirikan usaha.
2. Permodalan Perusahaan
Melalui peraturan menteri dalam negeri tentang pengelolaan bank
perkreditan rakyat milik pemerintahan daerah ditetapkan permodalan bagi
PD.PK sebanyak 2.000.000.000 (2 milyar)3 yang diturunkan secara bertahap
dari tahun 2006 sampai dengan sekarang PD.PK Parung sudah menerima
modal sebanyak 1.260.000.000 (satu milyar dua ratus enam puluh juta)4
2 Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah
Bank Perkreditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, hal. 1 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank
Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah 4 Laporan Bulan Juli 2010 PD.PK Parung
39
Adapun kepemilikan modal terhadap PD.PK Parung sebagai brikut:
Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebesar 45 %
Pemerintah Kabupaten Bogor sebesar 55 %5
Tujuan utama didirikannya PD.PK bukan hanya untuk menyalurkan
kredit tetapi untuk menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan.
Dengan adanya PD.PK Parung ini diharapkan tingkat kesejahteraan
masyarakat khususnya di wilayah Kecamatan Parung Bogor dapat meningkat
yang pada akhirnya dapat meningkatkan pula jumlah akumulasi pendapatan
daerah.
Dengan tambahan modal yang diterima PD.PK Parung berusaha untuk
meningkatkan usaha dengan melakukan promosi dan memulihkan
kepercayaan masyarakat serta mulai mencari nasabah baru, baik untuk
nasabah tabungan maupun nasabah kredit yang telah berjalan sampai saat ini
adalah penyaluran kredit pada sektor UKM yaitu meliputi usaha rumahan
yang langsung menjual sendiri hasil produksinya dan sebagian kecil sektor
pegawai dan sektor jasa.
B. Produk-Produk PD. PK Parung
1. Produk PD.PK Parung diantaranya adalah:
a. Produk dan Jasa Pelayanan
PD.PK Parung mempunyai beberapa produk dan jasa pelayanan yang
disediakan bagi para nasabahnya, yaitu sebagai berikut:
5 Op. Cit, hal. 6
40
1) Kredit
Guna membiayai bisnis yang produktif atau peningkatan kesejahteraan
keluarga melalui usaha kecil, PD.PK Parung menawarkan beberapa
jenis kredit antara lain:
a) Kredit Umum
Kredit umum adalah kredit yang diberikan khusus kepada usaha
kecil dan menengah.
b) Kredit Tani
Kredit ini diberikan kepada para petani yang banyak ditemukan
pada masyarakat Parung.
c) Kredit Syariah
Kredit Syariah adalah produk baru yang dikeluarkan oleh PD.PK
Parung.
2) Tabungan
a) Tabungan Wajib
Tabungan khusus bagi nasabah yang meminjam uang di PD.PK
Parung. Tabungan wajib ditetapkan 3 % dari plafond kredit yang
diberikan.
b) Tabungan Masyarakat
Tabungan masyarakat adalah tabungan yang dibuka untuk umum
artinya boleh menabung kepada PD.PK walaupun orang tersebut
tidak meminjam uang kepada PD.PK
41
c) Tabungan anak Sekolah
Tabungan yang penabungnya adalah anak usia sekolah mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas.6
b. Prosedur Pemberian Kredit7
PD.PK Parung memiliki prosedur dalam pemberian kredit yang harus
dipenuhi oleh para debitur. Proses tersebut meliputi:
a) Permohonan kredit
Debitur datang ke bagian kredit untuk mengajukan
permohonan kredit dengan menyertakan data-data sebagai berikut:
(1) Formulir permohonan kredit yang sudah diisi
(2) Proposal pengajuan kredit
(3) Foto copy jaminan:
Jika jaminan BPKB
(1) Foto copy KTP suami dan istri (2 lembar)
(2) Foto copy Kartu Keluarga (2 lembar)
(3) Foto copy STNK (2 lembar)
(4) Foto copy BPKB (2 lembar)
(5) Kendaraan jaminan dan data asli harus dibawa
Jika jaminan sertifikat tanah
(1) Foto copy KTP suami dan istri (3 lembar)
6 Pedoman Operasional Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) di Jawa
Barat, Bandung, 1999. 7. Wawan cara dengan Bpk. Ucok bidang kredit , Jum’at 13 Agustus 2010 Jam. 10.30
42
(2) Foto copy Kartu Keluarga (3 lembar)
(3) Foto copy sertifikat tanah (2 lembar)
(4) Bukti pembayaran pajak tanah dan bangunan (SPPT)
Sertifikat aslinya harus dibawa
b) Analisis kredit
Setelah debitur memenuhi syarat-syarat kredit yang
lengkap, maka petugas kredit akan melakukan wawancara yang
meliputi:
(1) Jenis kredit yang diajukan
(2) Tujuan penggunaan kredit
(3) Sejarah atau latar belakang usaha
(4) Jaminan yang diberikan
(5) Rencana pengembalian yang akan datang
(6) Hubungan dengan bank
Pihak bank harus mengadakan kunjungan atau survey ke
debitur untuk mendapatkan data atau informasi yang lebih detail
dan terinci serta mencari tambahan informasi yang berkaitan
dengan permohonan kredit. Data-data tersebut meliputi 5C yaitu
character, capacity, capital, collateral, condition. Kemudian data
tersebut dianalisa untuk mengetahui serta menentukan
kesanggupan dan kesungguhan debitur dalam membayar kembali
43
pinjaman sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam
perjanjian kredit.
Petugas kredit akan menganalisa permohonan kredit
tersebut berdasarkan analisis berbasis 5C, serta aspek-aspek
lainnya dalam penilaian kredit. Hal tersebut didasarkan pada tujuan
analisis kredit yaitu menyelidiki dengan baik secara kuantitatif dan
kualitatif calon nasabah dan menentukan besar dan jenis kredit,
kemauan dan kemampuan nasabah untuk mengembalikan
pinjaman tepat waktu.
c) Keputusan kredit
Setelah proses analisis tersebut sudah dilaksanakan, maka
petugas kredit dapat memutuskan, apakah kredit tersebut disetujui,
ditolak, dikurangi, ditambah ataupun diperpanjang.
d) Administrasi kredit
Permohonan kredit dapat dicairkan jika, didalam
permohonan atau perpanjangan kredit secara tertulis telah
memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat
melindungi kepentingan bank, baik yang memuat besarnya kredit,
jangka waktu kredit, suku bunga kredit, tata cara dan syarat
pencairan.
Kredit dapat dicairkan jika permohonan atau perpanjangan
kredit telah ditanda tangani, pengikatan jaminan telah dilakukan,
44
debitur telah melunasi biaya-biaya dan seluruh aspek yuridis telah
memberikan perlindungan yang memadai, bagi bank.
e) Pemantauan kredit
Setelah permohonan kredit disetujui, maka untuk
meminimalisir terjadinya kredit bermasalah, maka pihak bank
sebaiknya melakukan pemantauan kredit. Pemantauan bukan
hanya berusaha untuk mengukur dan mengawasi saja, akan tetapi
seharusnya juga mengarah kepada analisa dan langkah tindak
lanjut yang tepat untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah. 8
C. Struktur Organisasi
a. Struktur Organisasi dan Deskripsi Pekerjaan
PD.PK Parung sangat memahami bahwa keberhasilan dan daya
tahan sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh sistem dan struktur
organisasi yang baik. Struktur organisasi berfungsi untuk mempermudah
proses pencapaian tujuan. Pada PD.PK Parung terdapat beberapa unit
bagian kerja yang masing-masing mempunyai tugas yang berbeda-beda.
Pada dasarnya struktur organisasi diperlukan agar ada pemisahan batas-
batas atau wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing bagian.
Struktur organisasi PD.PK Parung Bogor sebagai berikut:
8 . Wawancara dengan pimpinan PD. PK Parung, Jum’at 13 Agustus 2010 Jam. 09.30
45
Sum
ber
: PD
.PK
Par
un
g B
ogo
r
RU
PS
Rap
at U
mu
m P
emeg
ang
Sah
am
DEW
AN
PEN
GA
WA
S
PIM
PIN
AN
SEK
DEW
AN
PEN
GA
WA
S
HR
D
CA
BA
NG
B
AG
DA
NA
B
AG
KR
EDIT
B
AG
KA
S B
AG
PEM
BU
KU
AN
ST
RU
KT
UR
OR
GA
NIS
AS
I P
D.P
K
KA
BU
PA
TE
N B
OG
OR
CU
STO
MER
SER
VIC
E
STA
F D
AN
A
STA
F K
RED
IT
STA
F K
AS
TELL
ER
STA
F P
EMB
UK
UA
N
SPI
46
1) Dewan Pengawas
Dewan pengawas yang terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih yang
dipimpin oleh seorang Ketua, bertugas dalam pengawasan intern
PD.PK serta mengarahkan pelaksanaan dalam pengelolaan PD.PK
yang dijalankan pimpinan agar tetap mengikuti kebijakan PD.PK dan
ketentuan yang berlaku.
2) Pimpinan PD.PK
Pimpinan bertugas dalam memimpin dan mengendalikan kegiatan
PD.PK sehari-hari sesuai dengan kebijakan umum yang telah disetujui
Dewan Pengawas dan disahkan oleh PUPS.
3) Humas Resources Development (HRD)
Membantu pimpinan di bidang umum dan personalia yang meliputi
kepersonaliaan, perlengkapan, administrasi dan hukum.
4) Satuan Pengawas Intern
Menjaga kekayaan bank melalui pengawasan, pemeriksaan maupun
sistem monitoring yang telah diprogramkan
5) Bagian Dana
Membantu pimpinan dalam menangani tugas-tugas khususnya yang
menyangkut pemasaran bagian pendanaan.
6) Bagian kredit
Membantu pimpinan dalam menangani tugas-tugas khususnya
menyangkut pemasaran kredit
47
7) Bagian Kas / Teller
Melaksanakan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan transaksi
kas, mengatur dan bertanggung jawab atas semua pelaksanaan
administarasi dan laporan perincian kas setiap hari.
8) Bagian Pembukuan
Bertanggungjawab atas kelengkapan data, bukti-bukti mutasi
pembukuan dan kebenaran pencatatan transaksi sesuai dengan prinsip
akuntansi serta membuat laporan keuangan untuk internal bank
maupun pihak lain (Dewan Pengawas, Kantor Pajak dll) tepat pada
waktunya.
9) Customer Service
Bertanggung jawab dalam memasarkan produk bank dalam
melaksanakan pelayanan yang prima sehingga memberikan kontribusi
terhadap laba perusahaan dengan memperhatikan kelancaran atas
layanan lembaga.9
D. Sistem Pengawasan PD.PK
Pengawasan PD.PK dapat diartikan sebagai kegiatan mengamati, meneliti
proses kegiatan dari mulai perencanaan sampai dengan pelaksanaan serta
melakukan tindakan yang diperlukan untuk memeriksa, mencegah, memperbaiki
penyimpangan yang terjadi agar sesuai dengan rencana pencapaian tujuan secara
efektif dan efisien.
9 Standar Operasional Prosedur Organisasi dan Tata Kerja, PD.PK Parung, Kab. Bogor
48
Pengawasan terhadap PD.PK dapat dilakukan oleh manajemen/pengelola
PD.PK itu sendiri melalui (satuan pengawas intern / SPI dan dewan pengawas)
serta oleh pihak luar / ekstern yaitu Akuntan publik dll.
Jenis pengawas diantaranya:
a. Pengawasan Preventif
Adalah pengawasan yang dilakukan secara terus menerus untuk menghidari
terjadinya penyimpangan dan pemborosan yang dilakukan oleh pengelola
PD.PK
b. Pengawasan Represif
Adalah pengawasan yang dilakukan dan membuat langkah penyelesaian yang
diperlukan setelah diketahui adanya penyimpangan dan penyelewengan dalam
pengelolaan PD.PK langkah pengawasan yang dilakukan adalah dengan
melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik terhadap sebab-sebab
terjadinya penyimpangan dan penyelewengan yang ditindaklanjuti dengan
membuat berita acara pemeriksaan oleh team pemeriksa yang ditugaskan yang
selanjutnya dilaporkan kepada manajemen untuk mengambil tindakan
penyelesaian.10
Adapun keputusan yang paling tertinggi didalam pengelolaan PD.PK dari
kesemuanya adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
10
Standar Operasional Prosedur Satuan Pengawas Internal PD.PK Parung Kab. Bogor
49
E. Sistem Pembagian Hasil PD.PK
Adapun sistem pembagian hasil dari PD.PK laba bersih setelah dipotong
pajak sebagai berikut:
a. Devidem untuk para pemegang saham 50 %
b. Cadangan umum 15 %
c. Cadangan tujuan 15 %
d. Dana kesejahteraan 10 %
e. Jasa Produksi 10 %
Sistem pembagian ini dilakukan satu tahu sekali setelah dilakukan
perhitungan selama satu tahun dengan cara menghitung Pemasukan dikurangi
modal. 11
F. Dampak Positif dan Negatif PD.PK Parung Menurut Perspektip Masyarakat
Jika dilihat dari segala aktif yang dilakukan PD.PK parung yaitu
meminjamkan dana serta menghimpun dana makan PD.PK bisa digolongkan
seperti bank akan tetapi rung lingkupnya hanya sebatas daerah yang ditempati
yaitu satu kecamatan.
Ada beberapa pendapat masyarakat dampak positf dan Negatif hadirnya
PD.PK ditengah masyarakat yang tujuannya membantu usaha-usaha kecil dan
menengah yaitu
11
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan Daerah
Bank Perkereditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan, hal. 25
50
1. Dampak Positif
a. System peminjaman yang lebih mudah
b. Administrasi yang tidak sulit
c. Dapat mengurang rentenir yang ada ditengah masyarakat
d. Sifatnya kekeluargaan
e. Langsung keberadaanya ditengah masyarakat
2. Dampak Negative
a. Bunga pinjaman sama besarnya dengan bank konpensional pada
umumnya
b. System yang digunakan menggunakan system yang sama pada bank yang
lainya yaitu suku bunga dan denda apabila terlamabat mengembalikan
pinjaman.
c. Peminjaman modal harus menggunakan agunan
d. Setelah memberikan modal kepada seseorang yang mau melakukan usaha
pihak PD. PK tidak melakukan pembimbingan terhadap orang yang mau
melakukan usaha.
e. Kurang kontrolnya bidang kredit dalam memberikan pinjamman kepada
seseorang yang tidak memiliki usaha sehingga terjadilah kredit
komsumtif.12
12
Wawan cara dengan beberapa nasabah PD. PK
51
BAB IV
AKTIPITAS PD.PK MENURUT
PANDANGAN PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
A. Persamaan dan Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syari’ah
1. Bank Konvensional
Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia artinya adalah meja. Dulu
para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di
pelabuhan-pelabuhan tepat para kelasi datang dan pergi, para pengembara,
dan wirasatawan turun naik kapal. Money changer meletakan uang diatas
meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas penukaran uang di atas banco
inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi dalam menyelusuri sejarah
perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak
dalam bidang ini, dengan nama “bank”. Kalu demikian bank disini berfungsi
sebagai lembaga penukar uang anatar bangsa yang berbeda-beda mata uang
mereka.1
Sedangkan yang dimaksud dengan bank menurut Kasmir yaitu
lembaga keungan yang kegitan usahanya adalah menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kebali dana tersebut kemasyarakat serta
1 Muh. Zuhri, Riba Dalam al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif.
(Jakarta; PT. Raja GrafindoPersada, 1998), hal. 143.
52
memberikan jasa-jasa bank lainnya.2 Menurut Moh. Hatta, bank adalah sendi
kemajuan masyarakat. Sekiranya tidak ada bank, maka tidak akan terdapat
kemajuan seperti sekarang ini.3
Menurut undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan
yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kemasyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat”.4
Dalam perekonomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga
perantara dan penyalur dana antara pihak yang berkelebihan dengan pihak
yang kekuarangan dana. Peran ini disebut financial intermediay. Dalam
melaksanakan tugasnya yang paling menonjol sebagai financial intermediay,
bank dapat dikatakan mengumpulkan uang dari masyarakat pemilik dana
ketika ia menerima simpanan, dana meminjamkan uang kepada masyarakat
yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam
kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga.
Ada beberapa alasan mengapa bank perlu membayar “bunga” kepada
penyimpan diantaranya:
2 Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 2
3 Hamzah Ya‟qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Poloa Pembinaan Hidup Dalam
Berekonomi, (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), hal. 193 4 Undang – undang Perbankan, Sinar Grafika, cet. 3, hal, 9.
53
a. Dengan menyimpan uangnya dibank, penabung telah mengorbankan
kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian
dana itu.5
b. Dengan menyimpan uangya dibank, penabung telah mengorbankan
kesempatan pemakaian dana untuk keperluan yang lain.
c. Faktor inflasi juga menjadi pertimbangan perlunya imbalan kepada
penabung.6
Adapun landasan dasar hukum bank konvensional yaitu mengacu pada
undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang memuat
tentang: ketentuan umum, asas, fungsi, dan tujuan, jenis dan usaha bank,
perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan, pembinaan dan pengawasan,
dewan komisaris, direksi dan tenaga asing, rahasia bank, ketentuan pidana dan
sanksi administratif, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Sedangkan landasan operasional dari bank konvensional yaitu
didasarkan kepada sesuatu yang bebas nilai (berdasarkan prinsip
materialistis), uang dijadikan sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan, dan
bunga sebagai instrumen imbalan terhadap pemilik uang yang telah ditetapkan
dimuka (di awal)7
5 Dr. Muh. Zuhri, “Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan” op.cit, hal. 146
6 Muhamad Zuhri, Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 146. 7 Karim Anggar Prinato, “Konsep Operasional Bank Syariah” , Makalah Seminar
Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta 2003), hal. 1
54
Dapat disimpulkan bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang
kegiatanya adalah :
a. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan.
b. Menyalurkan dana kemasyarakat dengan memberi pinjaman (kredit)
c. Memberikan jasa-jasa bank lainya.
2. Bank Syari’ah
Dalam al-Qur‟an, istilah bank tidak disebutkan secara ekxplisit. Tetapi
jika dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur,
manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan
jelas, seperti zakat, sadaqah, ghanimah, (rampasan perang), bai‟ (jual beli),
dayn (utang dagang), maal (harta) dan sebagainya, yang memiliki fungsi yang
dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.8
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah
bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank syariah
juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan yang operasional
dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadits Nabi
SAW. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian,
yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam.
Bank Islam adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan
bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-
8 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskriptif dan Ilustrasi,
(Yogyakarta : Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003) cet, 1 hal, 18
55
Qur‟an dan Hadits. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam
adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.9
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa bank syariah
merupan sebuah wujud perbankan yang berdasarkan ketentuan-ketentuan al-
Quran dan Hadis baik itu berupa larangan-larangan yang harus dijahui
maupun perintah yang harus dijalankan.
3. Persamaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Bank konvensional dan bank syariah dalam beberapa hal memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum pembiayaan, dan lain
sebagainya.
Selain hal teknis yang sama, persamaan lainya adalah dimana antara
bank konvensional dan syari‟ah sebuah lembaga prantara dan penyalur dana
antara pihak yang berkelebihan dengan pihak yang kekurangan dana atau disebut
sebagai peran financial intermediary, lebih lanjut Zuhri mengatakan kedua
bank ini hanya berbeda pada sistem pembagaian hasil, pada bank
konvensional pembagain hasilnya berupa bunga sedagkan bank syari‟ah
sistem pembagian hasilnya bagi sama antara pihak bank dan pihak
sipeminjam modal.10
9 Muhammad Safi‟i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta; 1999), hal 40
10 Muh, Zuhri “Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Titik Antisipatif
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 144
56
Persamaan lainya adalah bank konvensional didirikan sebagai penunjang
kemajuan sedi-sendi perekonomian masyarakat, sepertihalnya juga bank syari‟ah
didirikan sebagai penunjang perkembangan ekonomi masyarakat, menurut
Muhammad Hatta bank adalah sumber kemajuan sedi-sedi masyarakat.
4. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Antara lain Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah
titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam.
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah
memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan
pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara
suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest
difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah
memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian
terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang
sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai
lembaga perantara saja.11
11
http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/perbedaan-bank-syariah-dan-bank.html
57
Perbedaan yang sangat principal bank islam (Syariah) dengan bank-
bank lain (konvensional) terletak pada cara penentuan tambahan atau
keuntungan. Bank konvensional menggunakan sistem prosentase (bunga),
sedangkan bank syariah menggunakan sistem bagi hasil.12
Perbedaan sistem bunga dengan sistem bagi hasil sebagai berikut:
a. Bunga
1) Penentuan bunga dibuat waktu akad dengan asumsi harus selsai
untung
2) Besarnya persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
3) Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijalankan pihak nasabah untung atau rugi.
4) Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekali pun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
5) Eksistensi bunga diragukan (kalu tidak dikecam) oleh semua agama
termasuk Islam.13
b. Bagi Hasil
1) Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
12
Ibid, hal. 87 13
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud “Perbankan syariah” (PT. Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta: 2007) hal. 90
58
2) Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh.
3) Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila
usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak.
4) Jumbalh pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan
5) Tidak ada yang merugikan bagi hasil14
B. Kredit
1. Pengertian kredit
Pengertian kredit itu sendiri mempunyai dimensi yang beraneka
ragam, dimulai dari arti “kredit” yang berasal dari bahasa Yunani “credere”
yang berarti “kepercayaan” karena itu dasar kredit adalah kepercayaan15
.
Dengan demikian seseorang memperoleh kredit pada dasarnya adalah
memperoleh kepercayaan. Kredit dalam bahasa latin adalah “creditum” yang
berarti kepercayaan akan kebenaran.16
Adapun definisi kredit menurut undang-undang No. 10 tahun 1998
tentang perbankan yang tertuang dalam pasal 1 ayat 11 yang berbunyi:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di
persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
14
Ibid, hal. 90 15
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditiya
Bakri, 1996), hal. 229 16
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar
Lega, Officer, (Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998), hal. 95
59
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.” 17
2. Jenis-Jenis Kredit
Jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi diantar lain:
a. Dilihat dari segi kegunaan
1) Kredit invlasi
Kredit invlasi merupakakan suatu kredit pinjaman yang diberikan bank
untuk menanamkan modalnya pada suatu pendanaan atas proyek
tertentu dan diharpakan dapat memberikan keuntungan yang besar
dengan tingkat bunga tertentu.
2) Kredit modal kerja
Keredit modal kerja ini terdiri dari; damand Loan / Overdraft
fasilities, permanem working capital, dan seasonal loan / Asset
convertion lending.18
b. Dilihat dari segi tujuan kredit
1) Kredit produktif
Yaitu yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau
invlasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa,
sebagai contoh kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan
17
Undang – undang No. 10 tahun 1998, Pasal 1 ayat 11 18
Hasanuddin Rahman., Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan Dasar
Lega, Officer, op.cit.hal. 98
60
menghasilkan barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk
pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan bahan tambang atau
kredit industri lainya.
2) Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi, dalam kredit
ini tidak ada pertambahan apapun karena keredit ini digunakan secara
pribadi contoh: kerdit rumah, kredit untuk mobil pribadi, kredit motor
pribadi, kredit prabotan rumah tangga dan kredit pribadi lainya.
c. Kredit dari segi jangka waktu
1) Kredit jangka pendek
Yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu 1
(satu) tahun
2) Kredit jangka menengah
Yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
3) Kerdit jangka panjang
Yaitu kredit yang diberikan melebihi dari 3 (tahun)
d. Ditinjau dari segi jaminan19
1) Kredit dengan jaminan (secured loan)
Kredit yang diberikan dengan jaminan, jaminan tersebut dapat
diberbentuk barang berwujud atau tidak berujud atau jaminan orang.
19
Kasmir, Bank dan Lembaga Keungan Lainya; Edisi Revisi, (Jakarta; Rajawali Press, 2001)
hal. 100
61
Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan
yang diberikan si calon debitur.
2) Kredit tanpa jaminan
Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang
tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan
karekter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama ini.20
C. Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Bank Dan Kredit
1. Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut
istilah para ulama, sedikit berbeda akantetapi mempunyai esensi yang sama,
antara lain :
a. Al-Qurthubi: “Riba itu berarti tambahan (al-ziyadah). Riba itu ada dua
macam, yaitu riba yang haram dan riba yang halal. Riba yang halal itu
ialah hadiah yang diberikan seseorang kepada orang lain dengan motif
untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pada hadiah yang
diberikannya itu. Pemberian dengan motif seperti ini tidak akan
mendapatkan pahala dan juga tidak terkena dosa”21
b. Badr ad Din0 al_Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-
Bukhari: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. yaitu
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”
20
Ibid, hal 101 21
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, (Kairo: Dar al-Sya‟b, 1372H), jilid 23, h. 36
62
c. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi‟i menjelaskan : “salah satu bentuk riba
yang dilarang al-Quran dan as-Sunnah adalah penambahan atas harta
pokok karena unsur waktu.22
2. Jenis-Jenis Riba
Dalam literature fikih, pada umumnya para fuqaha membedakan riba
dalam dua katagori, yaitu:
a. Riba nasi‟ah, yang juga lazim disebut sebagai riba Al-Quran, Riba al-
duyun, atau riba al-nasi‟ah didefinisikan, tambahan atas benda yang
dihutangkan, yang berbeda jenisnya, baik yang dapat ditakar dan atau
dapat ditimbang, maupun yang sejenis, tetapi tidak dapat ditakar dan tidak
dapat ditimbang.23
Sedangkan dalam Mazhab Hanafim riba nasi‟ah didefinisikan,
(perjanjian) hutang untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan pada
waktu pelunasan hutang, tanpa adanya pergantian yang sepadan.24
Secara simple Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan riba nasi‟ah
mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari jumlah hutang
pokok (dan ini lazim disebut riba Jahiliyyah)25
22
A. Akrom, Nabilah Perspektif Ekonomi Islam, Dalam Hal Hutang, Riba Dan Kredi,
nabila.blogdetik.com 23
Zaid „Abd al-Makarim, Madzhab ibn Abbas fil al-Ribabain Madzhab Fuqha al-Sunnah wa
as-Syi‟ah, Al-Qahirah: Dar al-Ittihad al- A rabi lial-Thi ba‟ah, 1972 h. 16. 24
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqih al-Islam wa Adillatuh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1985, Jilid 4) hal.
672 25
Ibid.
63
b. Riba Fadhl, yang juga lazim dikenal sebagai riba al-sunnah, riba al-buyu,
riba An-Nisa, dan atau riba al-khaffi. Secara definitive dalam Mazhab
Hanafi riba Al-fadhl ini dirumuskan sebagai berikut:
Kelebihan (yang diperoleh) dari sebuah transaksi tanpa adanya pergantian
meskipun secara hukmi berdasarakan parameter yang ditetapkan syari‟at
yang disaratkan terhadap salah satu pihak dari dua pihak yang saling
melakukan pertukaran.26
Sedangkan dalam mazhab Syafi‟I, riba fadhl itu didefinisikan akad yang
ditetapkan pada sebuah transaksi pertukaran barang tertentu yang tidak
diketahui kesesuaianya berdasarkan parameter yang ditetapkan syari‟at
sewaktu akad tersebut dibuat atau karena adanya keterlambatan
penyerahan salah satu atau kedua jenis barang yang dipertukarkan.27
3. Hukum Riba
Setelah kita mengetahui pengertian riba dan jenis-jenis riba maka kita
mencoba mencari tahu hukum dari riba, keharaman riba sudah dijelaskan secara
sangat eksplisit dengan adanya perintah meninggalkan riba sebagaimana
tercantum dalam ayat 275 – 280 surat Al-Baqarah yang berbunyi sebagai berikut:
26
Abd al-Azhim Jalal Abu Zaid, hal, 37 27
Ibid, hal. 38
64
275280
Artnya: 275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya
dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa[178]. 277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
65
Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 280. Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.28
Menurut As-Suyuti, ayat tersebut turun bertalian dengan kasus Tsaqif
yang telibat hutang piutang dengan Mughirah. Pada tahun 9 H Tsaqif memeluk
Islam. Setelah memeluk Islam, Tsaqif menagih hutang yang belum dilunasi Al-
Mughirah. Ketika ditagih, Al-Mughirah tidak bersedia membayar riba kepada
Tsaqif yan telah mengetahui larangan riba dalam Islam. Kejadian tersebjut
dilaporkan kepada Nabi. Kemudian turunlah ayat 275-280 surat Al-Baqarah
tersebut yang pada intinya memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan sisa-
sisa riba.29
Sertelah turunya ayat tersebut, Nabi Muhammad SAW segera mengirim
surat yang berisi perintah untuk menggalkan riba sebagaimana termaktub dalam
surat Al-baqarah tersebut kepada gubernur Mekkah Atab Ibn Asid. Atab ibn Asid
segera menyampaikan isi surat tersebut kepada Tsaqif. Setelah menerima
penjelasan Nabi dalam suarat tersebut Tsaqif pun mematuhinya.30
Ayat tersebut merupakan ayat terakhir tentang riba yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat tersebut, paling sedikit, berisi penjelasan
tentang 3 dampak negatif dari riba, yaitu : (1) riba menjadikan pelakunya laksana
28
Al-Quran Tejemah 29
Amin, A. Riawan, op.cit., hal. 38 30
Al-Alusi, Run al-Ma ani, (Bairut: Darn al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid 3), hal 85
66
kerasukan setan, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara yang hak dengan
bathil, seperti tidak dapat membedakan jual beli yang jelas-jelas halal dengan riba
yang nyata-nyata haram, (2) dalam riba terdapat unsur-unsur zhulm (penindasan
terhadap orang lain) yang tidak ada pada jual beli. Karena itu, jual beli halal,
sementara riba, haram dilakukan, dan (3) pada ahri kiamat nanti, pemakan riba
akan mendapat siksa yang kekal abadi dalam Neraka.31
Setelah mengetahui arti, jenis-jenis dan dasar hukum diharamkannya riba,
maka timbul pertanyaan, riba jenis apa yang termasuk diharamkan oleh Islam itu?
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa yang termasuk riba yang diharamkan
menurut ayat 39 surat Ar-Rum tersebut adalah riba Nasi‟ah. Pendapat ini
didasarkan pada riwayat Al-suddi (Isma‟il Ibn Abdur Rahman Ibn Al-Karimah,
wafat tahun 127 H), yang menyatakan, ayat 39 surat Ar-Rum tersebut, turun
bertalian dengan kasus riba yang dipraktikkan keluarga Tsaqif.32
Sedangkan hukum riba fadhl, ulama banyak yang berbeda pendapat.
Namun pendapat yang lebih kuat menunjukan bahwa riba fadhl pun haram
hukumnya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
31
.A. Riawan Amin “Menata Perbankan Syariah di Indonesia” (UIN, Press, Jakarta2009)
hal. 39 32
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, op.cit.
67
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, „Amru bin
Naaqid, dan Ishaaq bin Ibraahiim – dan lafadh ini kepunyaan Ibnu Abi
Syaibah. Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami;
sedangkan yang dua yang lain berkata : Telah menceritakan kepada
kami Wakii‟ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Khaalid
Al-Hadzdzaa‟, dari Abu Qilaabah, dari Abu Asy‟ats, dari „Ubaadah bin
Ash-Shaamit, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
„alaihi wa sallam : “Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan
perak, gandum ditukar dengan gandum, sya‟iir (sejenis gandum) ditukar
dengan sya‟iir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan
garam; dengan sepadan/seukuran dan harus secara kontan. Apabila
komoditasnya berlainan, maka juallah sekehendak kalian asalkan
secara kontan juga”33
Termasuk hal yang dilarang namun banyak dipraktekkan di jaman
sekarang adalah menukar emas 24 karat dengan emas 21 karat atau menukar beras
berkualitas baik dengan beras berkualitas kurang baik; dengan ukuran
(timbangan/takaran) yang berbeda. Dasarnya :
33
Shahih Muslim no. 1587
68
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ishaaq : Telah menceritakan kepada
kami Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami
Mu‟aawiyyah bin Sallaam, dari Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar
„Uqbah bin „Abdil-Ghaafir, bahwasannya ia mendengar Abu Sa‟iid Al-
Khudriy radliyallaahu „anhu berkata : “"Bilaal datang menemui Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam dengan membawa kurma Barniy (jenis
kurma terbaik). Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepadanya : "Dari mana kurma ini?". Bilaal menjawab : "Kami
memiliki kurma yang jelek, lalu aku jual dua shaa' kurma tersebut
dengan satu shaa' kurma yang baik agar kami dapat menghidangkannya
kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam”. Mendengar hal itu, Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Celaka celaka, ini benar-
benar riba. Janganlah engkau melakukannya. Jika engkau ingin
membelinya, maka juallah kurmamu dengan harga tertentu, baru
kemudian belilah kurma yang baik ini" 34
Hadits ini juga memberi pengajaran bagi kita bagaimana praktek yang
seharusnya dilakukan; yaitu menguangkan (menjual) terlebih dahulu barang yang
kita miliki, baru setelah itu kita beli barang sejenis yang lebih baik atau lebih
rendah kualitasnya.
5. Kredit Menurut Perspektif Hukum Islam
Kredit merupakan aktifitas utama didalam PD.PK, kredit yang ada di
PD.PK tergolong didalam katagori kredit konvensional yang sangat jelas
mengandung unsur riba, pada tulisan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa riba
sangat dilarang oleh Agama.
Jika kita mengamati pada Bab III kredit yang ada di PD.PK Parung adalah
jenis kredit investasi, kredit investasi jika dikonversikan ke dalam sistem syari‟ah,
34
Al-Bukhaariy no. 2312
69
maka PD.PK dapat menerapkan dengan pedoman produk-produk syari‟ah yang
sesuai atas pembiyayaan proyek tersebut.
Kredit investasi ini dapat PD.PK terapkan pada prinsip syari‟ah dengan
pola Musyarakah maupun Mudharabah yang melandaskan pada prinsip Profit dan
Loss sharing.
a. Pola/Bentuk Musyarakah
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam wa Adillatuh
mengutuip pendapat Imam Hanafi bahwa musyarakah merupakan suatu
bentuk akad yang dilakukan oleh dua pihak yang melakukan kerjasama atas
modal pokok dan keuntungan yang diperoleh.35
Landasan hukum musyarakah ini ditetapkan berdasarkan Al-Quran,
Hadis dan Ijma.
Adapun landasan Al-Quran adalah (Surat Shaad: 24)
24
Artinya: Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh; dan amat sedikitlah mereka ini"
Adapun landasan hadis diambil dari hadis qudsi sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh Abu Hurairuh, RA:
35
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Daar Fikr, 1989) Vol, IV, h.
793
70
Artinya: Abi Hurairah, Rasulullah SAW, bersabda: “sesungguhnya Allah
Azza wa Jala berfirman: aku pihak ketiga dari dua orang yang
beserikat selama mereka tidak menghianati satu sama lain, apabila
salah satu menghianatinya aku keluar diantara keduanya (yang
berserikat), “(HR. Abu Dawud dan Hakim).36
Adapun Ijma‟ adalah berdasarkan penjelasan Ibnu Qudamah dalam
kitabnya, Al-Mugni bahwa kaum muslim telah berkonsensus terhadap dalam
beberapa elemen darinya.37
Akada musyarakah menurut Accounting and Auditing Standar Of
Islamic Financial Instition adalah suatu bentuk kemitraan diantara bank Islam
dan para nasabahnya, dimana masing-masing bagian akan memberikan
sumbangsihnya kepada modal tersebut dengan tingkat yang setara atau
berbeda-beda untuk mendirikan suatu proyek yang telah ada, dimana masing-
masing mereka akan menjadi pemegang saham modal atas dasar tetap atau
menurun, dan akan memperoleh bagian keuntungan sebagaimana mestinya.
Dalam akad musyarkah ini, pihak bank dan nasabah melakukan
kesepakatan pembiayaan atas proyek tertentu. Masing-masing pihak tersebut
memberikan kontribusi modal atas proyek tersebut berdasarkan proposi modal
masing-masing yang sama atau berdasarkan kesepakatan.
36
Ibid, h. 793 37
Abdullah Ibn Ahmad ibn Qudamah, “Mugni Syarh Kabir” (Beirut Daar Fila, 1979) Vol, V,
h. 109
71
b. Pola/Bentuk Mudharabah
Menurut ulama Fiqih mudharabah merupakan penyertaan modal atau
harta yang dimiliki pada seseorang untuk diperniagakan pada suatu usaha
sehingga menghasilkan suatu keuntungan atas modal tersebut. Adapun
kerugian atas usaha tersebut ditanggung seluruhnya oleh pemilik harta/modal,
sedangkan pengelola usaha mengalami kerugian atas waktu dan kesempatan
usaha serta tenaga.38
Landasan hukum atas mudharabah adalah brdasarkan pada Al-Quran
dan hadis serta Ijma‟ulama atas kebolehannya.
Landasan Al-Quran surat Al-Muzammil:20 :
20
Artinya: “dan sebagaian dari mereka orang-orang berjalan di muka bumi
mencari karunia Allah SWT, “(Q.S, Al-Muzammil:20)
10
Artinya: “ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung” (Q.S, Al-Jumu‟ah: 10)
1
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu” (Q.S, Al-Baqarah: 198)
38
Wahbah Az-Zuhaili, op.cit, h. 873
72
Adapun landasan Hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya: Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah SWT, yaitu:
menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat sendiri. (HR
Ibnu Maja)
Landasan Ijma, adalah berdasarkan sonsensus kaun muslimin atas
kebolehan mudharabah sebagai bagian dari kegiatan muamalah dan tidak ada
pertentangan seseorang atas mudharabah ini, dan mudharabah itu sendiri telah
lama dikenal sejak masa jahiliyah, yaitu sejak sebelum diangkatnya nabi
Muhammad SAW atas kenabian beliau, pada waktu itu bangsa arab telah
banyak melakukan perdagangan, khususnya kaum Quraisy, mereka telah
melakukan perkongsian usaha baik dengan cara Musyarakah maupun
Mudharabah,39
kemudian Islam menetapakannya atas kebolehan mudharabah
tersebut karena mengandung unsur kemaslahatan.40
6. Pendapat Faqaha Terhadap Bank Konvensional
Pada awal bab IV telah dijelaskan perbedaan antara bank konvensional
dengan bank syari‟ah, dan prinsip dasar yang membedakannya adalah sistem
39
Devi Nurliani, et.all, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang: Terjemah, (Yayasan Swarna
Bhumy: Jakarta, 1997) cet-2, h. 3 40
Abdul Rohman Al-Juzairy, “Kitab Fiqih Ala Mazhahibi Ar Ba‟ah, (Beirut: Daar Fikr,
1996) Vo, III, h.45
73
pembagian keuntungan. Apabila bank konvensional menerapkan sistem bunga
dalam pembagiannya, tanpa mempedulikan kerugian didepan, sedangkan bank
syari‟ah menerapkan sistem bagi hasil dengan mempertimbangkan rasio kerugian
yang mungkin didapat pada saat usaha telah berjalah, pada waktu akad.
Bank konvensional yang menerapkan sistem prosentase/bunga dalam
prakteknya jelas sangat diharamkan oleh Islam, karena disinyalir mengandung
unsur riba.
Beberapa pendapat yang mengharamkan bunga bank, diantaranya:
a. Majelis Tarjih Muhammadiyah Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada
nomor b dan c : bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa
riba hukumnya halal bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada
para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya
yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat.
b. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat
yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan
hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga
hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.41
41
Ares Mufti “Bunga bank masalah atau muslihat” (Pustakan Quantum, Jakarta: 2004) hal.
19
74
c. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan
Desember 1970 telah menyepakati dua hal : Praktek Bank dengan sistem
bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera didirikan bank-
bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam.
d. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989
menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba
yang diharamkan.42
e. Konsul Kajian Islam
Dunia Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan
bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti
yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat
nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof.
Dr. Mustafa Ahmad Zarqa‟, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga
dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.43
Mengenai Hukum riba jelas diharamkan oleh Islam, akan tetapi penentuan
42
Ibid, hal. 21 43
Http://Elfadhi.Wordpress.Com, Riba Bunga Bank Konvensional
75
jenis riba yang diharamkan, para Ulama sedikit berbeda pendapat. Untuk
lebih detailnya, sebelum menentukan jenis riba yang diharamkan sesuai
dengan Al-Qur‟an dan hadits, maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu
arti dan jenis-jenis riba.
Dari uraian diatas mengenai Bank secara konvensional maupun secara
Syari,ah, kredit dan pandangan-pandangan para ulam Fiqih memandang aktifias
PD.PK maka penulis dapat menyimpulkan bahwasanya PD. PK Parung
merupakan bagian dari lembaga keuangan seperti Bank konvensional pada
umumnya..
Dilihat dari aktivitasnya maka PD.PK parung merupakan lembaga
keungan yang termasuk kedalam bank konvensional yang menganut sistem bunga
dari semua aktivitasnya baik itu, tabungan dan kredit. Pada tulisan diatas jelas
bahwasanya para ulama berpendapat segala aktivitas yang mengandung unsur
bunga atau kata yang lain riba jelas hukumnya haram.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan penelitian baik secara lapangan maupun secara
study perpustakaan tentang Pandangan Mazhab Fiqih Terhadap Aktifitas
Perkereditan Perusahaan Daerah Perkereditan Kecamatan (PD.PK) (Study Kasus
PD.PK Kec Parung), maka penulis dapat menyimpulkan diantaranya yaitu:
1. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) adalah sama merupakan
lembaga keuangan seperti bank pada umumnya, jenis dan kegiatannya sama
apa yang dilakukan oleh bank pada umumnya akan tetapi cakupannya hanya
skala kecil yaitu 1 kecamatan di mana PD.PK itu berada.
2. Perusahaan Daerah Perkreditan Kecamatan (PD PK) baru hanya mampu
menyediakan permodalan saja akan tetapi PD.PK belum mampu melakukan
pembinaan terhadap UMKM.
3. Secara pandangan hukum Islam keberadaan PD.PK tidaklah apa-apa akan
tetapi aktipitas atau produk-produk yang ditawarkan oleh PD.PK Parung
Khususnya atau semua PD.PK yang ada di Kab. Bogor tidak ada bedanya
dengan bank konpensional selalu mengandalkan bunga bank sebagai
operasional dan lain-lainnya, kita ketahui bersama dari uraian di bab IV
bahwa hukum dari bunga bank adalah haram karena bunga bank adalah
termasuk kedalam riba.
77
B. Saran-Saran
Dalam hal ini penulis menyarankan kepada Perusahaan Daerah
Perkreditan Kecamatan (PD PK) agar melakukan langkah sebagai berikut:
1. Agar masyarakat merasakan manfaat keberadaan PD.PK Parung maka
disarankan agar PD.PK Parung mengubah system bunga menjadi system
mudarabah (bagi hasil) yang sesuai dengan ajaran Islam.
2. PD.PK sebuah lembaga keuangan yang membantu pengusaha kecil dan
menengah dalam hal permodalan, penulis menyarankan bisa menggunakan
system yang dilakukan oleh seorang ekonom yaitu Muhammad Yunus yang
memberikan permodalan kepada pengusaha kecil dan menengah, akan tetapi
yang hanya bisa meminjamkan modal tersebut adalah perempuan saja dengan
cara ibu-ibu membuat kelompok sebanyak 10 orang yang terdiri dari ketua
sekretaris, bendahara dan anggota lalu kelompok tersebut diberikan modal
usaha cara pengembalian modal tersebut dibayarkan kepada ketuanya setelah
itu ketuanya menyetorkan kepada pihak bank jika salah satu anggota
kelompok ada yang tidak mampu mengembalikan maka anggota yang lain
menanggung pembayarannya istilahnya ini disebut tanggug renteng. Padahal
system ini sudah dugunakan oleh PNPM Pedesaan yang disebut SPP (simpan
pinjam perempuan)
3. Saran penulis terakhir adalah kepada PD.PK agar segera mengkonversi
produk-produknya yang ada menjadi berbasis syari’ah salah satunya adalah
kredit dikonversi menjadi sistem Musyarakah dan Mudharabah
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran terjemah
A. Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih, Kencana : Jakarta, 2007, cet. 2
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
Al-Alusi, Run al-Ma ani, Bairut: Darn al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid 3
al-Birri, Zakaria, Masadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Ittihad al-Arabi
Littiba‟ah, 1975
Al-Ghazali, al-Mustasfa Min „Ilmi al-Ushul, Mesir: Maktabah al-Jumdiyah, 1971
al-Makarim, Zaid „Abd, Madzhab ibn Abbas fil al-Ribabain Madzhab Fuqha al-
Sunnah wa as-Syi‟ah, Al-Qahirah: Dar al-Ittihad al- A rabi lial-Thi ba‟ah,
1972
Almath, Muhammad Faiz, 1100 Hadis terpilih, Gema Insani : Jakarta, 1991
Arifin,Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1989
Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian Jakarta : PT. Bina Aksara,1985, cet. Ke-2,
h.139
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li ahkami Al-Qur‟an, Kairo: Dar al-Sya‟b, 1372H, jilid 23
al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqih al-Islam wa Adillatuh, Bairut: Dar al-Fikr, 1985, Jilid 4
Amin, A. Riawan, “Menata Perbankan Syariah di Indonesia”, UIN, Press,
Jakarta2009
Antonio, Muhammad Safi‟i, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, Jakarta; 1999
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (terj.) Pustaka Firdaus dari judul
asli Mabahits fi Ulum Al-Qur‟an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991, Cet. II.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : PT. Bulan Bintang,
Cet. I,
79
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditiya
Bakri, 1996
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1996
Hasan, Safi‟ Abu Thalib, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah,
Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990
Hasanuddin, Rahman, Aspek – Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan
Dasar Legal Officer, Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998
Http://Elfadhi.Wordpress.Com, Riba Bunga Bank Konvensional
http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/perbedaan-bank-syariah-dan-bank.html
http://one indoskripsi.com.
http://www.scribd.com, 13 November 2009.
http://www.scribd.com/doc/19709042/perkreditan-masyarakat -pedesaan.14
November 2009
Karim, Adiwarman A., Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
Kasmin, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta; Rajawali Press, 2001
Kasmir, “Dasar-Dasar Perbankan”, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Kasmir, Bank dan Lembaga Keungan Lainya; Edisi Revisi, Jakarta; Rajawali Press,
2001
Kedudukan Ijtihad, http://almanaar.wordpress.com/2007/10/22/kedudukan-ijtihad/
KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran dan Assunnah, PT. Bualan
Bintang, Jakarta: 1999
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqih, Gema Risalah Press: Bandung, 1997, Cet. II
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah – Kaidah Hukum Islam, P.T. Rajagrafindo Persada,
Cet,VIII, Jakarta: 2002
Khallaf, Abdul Wahab, Usul Fiqih, Pustaka Firdaus. Cet. VIII: Jakarta, 2003
Laporan Bulan Juli 2010 PD.PK Parung
80
Lathif, Ah. Azharudin, Fiqih Muamalah, UIN Jakarta Press: Jakarta 2005
Lewis, Mervyn K. dan Latifa M. Algaoud “Perbankan syariah”, PT. Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta: 2007
Lubis, Ibrahim, Ekonomi Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 1995
Muchtar, Kamal, Ushul Fiqih, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta, 1995, Jilid 2
Mufti, Ares, “Bunga bank masalah atau muslihat”, Pustakan Quantum, Jakarta: 2004
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001
Muhammad, Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung; PT. Citra Aditya
Bakti, 1996
Muslehuddin, Muhammad, “Sistem Perbankan Dalam Islam” PT. Rineka Cipta,
Jakarta: 2010
Nabilah, A. Akrom, Perspektif Ekonomi Islam, Dalam Hal Hutang, Riba Dan Kredi,
nabila.blogdetik.com
Pedoman Operasional Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) di
Jawa Barat, Bandung, 1999.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan
Kecamatan
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor: 14 Tahun 2006 Tentang Perusahan
Daerah Bank Perkereditan Rakyat dan Perusahaan Daerah Perkreditan
Kecamatan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank
Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah
Prinato, Karim Anggar, “Konsep Operasional Bank Syariah” , Makalah Seminar
Perbankan Syari‟ah, Jakarta : Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Jakarta
2003
Rahman, Hasanuddin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan: Panduan
Dasar Lega, Officer, Bandung; PT. Citra Aditiya Bakti, 1998
81
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I.
1999
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‟an, Mizan, Cet. III, Bandung: 1996.
Staf Pengajar STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, dimuat di Jurnal
Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta. Vol. III, No. 05 – Oktober
2004.
Standar Operasional Prosedur Organisasi dan Tata Kerja, PD.PK Parung, Kab. Bogor
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskriptif dan Ilustrasi,
Yogyakarta : Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2003, cet, 1
Syafe‟I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Taimiyah, Ibnu, al-Qawa‟id al-Nuraniyah al-Fiqhyah, Riyadh: Maktabah al-Rusysd,
1422 H/2001 M cet.1, Juz
Talib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiyah fi al-Bilad al-Arabiyah, Kairo
: Dar al-Nahdah al-Arabiyah, Cet. III, 1990
Undang – undang No. 10 tahun 1998
Undang – undang Perbankan, Sinar Grafika
Wawan cara Ade Marpensyar Pimpinan PDPK Parung
Wawan cara dengan Bpk. Ucok bidang kredit
Wawan cara, Muhammad Wawa, Bidang Kreditur
Wawancara dengan pimpinan PD. PK Parung
Ya‟qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, Bandung: CV. Diponegoro, 1984
Zuhadi, Majfuk, Studi Islam Jilid III Muamalah, PT. Raja Grafindo: Jakarta, 1993
Zuhri, Muh, Riba Dalam Al-Qur‟an dan Masalah Perbankan : titik antisipatif,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990