Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya
-
Upload
delta-milano -
Category
Documents
-
view
291 -
download
3
Transcript of Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KAITANNYADENGAN KEHIDUPAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN
TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Pancasila adalah kesepakatan luhur antara samua golongan yang hidup di tanah air
kita.Namun, sebuah kesepakatan seluhur apa pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak
didudukan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya
dirumuskan sebagai ideologi bangsa, artinya setiap warga negara RI terikat oleh ketentuan-
katentuannya yang sangat mendasar, yang tertuang dalam sila yang ke-5 .Pandangan hidup
dan warga secara keseluruhan harus tertumpu pada Pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya
sekedar masing-masing sila. Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka
berfikir yang harus diikuti dalam menyusun UU dan produk-produk hukum yang lain, dalam
merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-
lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa
ditentukan oleh sebuah falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan
konsistensinya oleh negara, kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga dapat
terjaga dengan baik.
Justru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara inilah dirasa adanya
tumpang-tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi-sisi baragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa
memiliki lingkup masing-masing yang berjangkauan universal, berlaku pada samua umat
manusia, sehingga terasa sulit untuk dibatasi pada ”sisi ke-Indonesia-an” belaka.Hal ini
langsung tampak pada upaya Pancasila untuk menekankansisi kelapangan dada dan toleransi
kehidupan antara umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jelas
setiap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Maha Esa memiliki visi akslusivistiknya
sendiri, disamping visi universal yang mempersamakan semua agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa . Dengan kata lain, wawasan Pancasila tentang kebersamaan
antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya
sama dengan wawsan sekian agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
satu sama lain saling berbeda itu.
Dalam keadaan demikian banyak kalangan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa melihat adanya keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas-
batas minimal untuk pengaturan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Dengan demikian, pancasila diharapkan berperan sebagai “ polisi lalu lintas”
kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belaka. Kesulitan
yang dirasakan dalam mempertimbangkan ini adalah kenyataan, bahwa pengaturan lalu lintas
memerlukan aturan yang disepakati dan ditunduki bersama, dan itu berarti harus ada pihak
yang membuat itu. Fungsi Pancasila lalu jelas harus terwujud juga dalam membuat aturan
permainan antara umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain, fungsi minimal itu pun memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri,
yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas kita sebagai bangsa saat ini justru adalah menemukan garis
batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa mengganggu kebebasan beragama
danberkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah contoh dapat dikemukakan
dalam hal ini. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang
benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum muslimin yang tidak dapat menerima
adanya persamaan agama ( umumnya tertuang dalam peernyataan bahwa ”semua agama
adalah sama”). Kalau pancasila memaksakan parsamaan mutlak seperti tergambar dalam
pernyataan di atas, tentunya independensi Islam sebagai agama menjadi terganggu.
Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling
berbeda itu, dengan sendirinya ia menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu
kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti “ semua agama diperlukan sama
dimuka Undang- undang dan diperlakukan sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena
dalam hal ini.
Gambaran posisi Pancasila seperti dikemukakan di atas, dengan sendirinya lalu
membawakan ketegangan kreatifnya sendiri bagi (dan dalam) kehidupan bangsa kita. Tidak
selayaknya hal itu dicoba untuk ditutup-tutupi dengan rumusan-rumusan kabur yang
menjauhkan kita dari persoalan adanya perbedaan antara wawasan Pancasila dengan
wawasan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sikap untuk
menonjolkan konvergensi wawasan dan menutup-nutupi devergensi pandangan antara
Pancasila dan agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
justru akan mengaburkan posisi strategis Pancasila dalam kehidupan, bernegara dan
bermasyarakat.
Dalam upaya mengenal devergensi pandangan antara Pancasila di satu pihak dan agama-
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa itu, dalam uraian selanjutnyaakan
dikemukakan beberapa titik strategis yang memerlukan pemecahan. Pengenalan masalah
terlebih dahulu harus dilihat dari latar belakang yang berbeda- beda antara agama yang saling
berlainan. Karenanya, pada hakikatnya Pancasila harus difungsikan dalam proses memahami
wawasan terjauh dari agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pengertian kata “Esa” yang digunakan baik dalam Pancasila maupun dalam UUD 1945 ,
tentunya akan difahami secara berlainan oleh agama yang saling berdeda itu.
Sisi lain dari masalah ini adalah kenyataan, bahwa titk divergensi antara wawasan
Pancasila dan pandangan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
ternyata berbeda dari satu ke lain agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa. Bagi
agama Nasrani(khatolik dan kristen), masalah pokok yang dihadapi dalam kaitannya dengan
Pancasila terletak pada titk kelembagaan. Benarkah Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber, dalam artian meniadakan tempat gereja sebagai putusan keagamaan?. Jawabnya
tentu bergantung pada dimana batas keputusan keagamaan dapat diterima. Gereja harus
menentukan sikap keagamaan, namun yang memiliki dimensi serba bagai (termasuk dimensi
politik), tapi dimanakah dimensi-dimensi itu harus disesuaikan dengan formal yang dibuat
oleh negara, semisal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)?. Karena hal inilah
penerimaan kalangan Nasrani atas gagasan penerimaan asas tunggal Pancasila yang
dilontarkan Presiden/Mandataris MPR-RI dicapai hanya setelah melalui pembahasan sangat
alot, baik secara internal maupun dengan pihak pemerintah. Masalah pokoknya adalah
yurisdiksi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara atas gereja, haruskah ia
menghilangkan hak-hak gereja dan umat untuk menentukan keputusan keagamaannya sendiri
?. setelah para pemimpin gereja yakin dengna tetap untuhnya kedaulatan theolologis masing-
masing secara internal, barulah penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat
dilakukan dengan rasa penuh tangguang jawab.
Kasus diatas justeru tidak menjadi persoalan di kalangan kaum muslimin. Islam tidak
mengenal pembedaan antara wewenang kenegaraan dan wewenang keagamaan. Karenanya,
secara kelembagaan Islam justru mengundang peranan negara dalam kehidupan kaum
muslimin. Semakin banyak soal ummat Islam diurus oleh pemerintah, semakin baik menurut
sudut pandangan ini. Masalah yang timbul justru tentang orientasi yang dimilikki oleh
langkah-langkah yang diambil negara. Akankah status pancasila sebagai “sumber segala
sumber” berarti Pancasila bebas menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku dengan
sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam ?. jika itu terjadi, bukankah berlaku
sekularisme, sesuatu yang secara mutlak diolak oleh ajaran agama Islam ?. Ajaran-ajaran
Islam telah dikongkretkan menjadi hukum-hukum agam (figh), haruskah warisan demikian
berharga itu di buang begitu saja, untuk digantikan oleh Pancasila dengan hal-hal lain yang
diambil dari ‘luar’ ?. Sedangkan Allah berfirman “Barang siapa menghukumkan tidak dengan
apa yang diturunkan Allah, orang itu (termasuk kaum) zalim”. Bagaiman tidak langsung
sekalipun penggunaan ajaran agama sebagai referensi bagi pancasila, Islam harus diupayakan
menjadi nilai nilai dasar yang ditarik dari pancasila dan UUD 1945. Penerimaan atas
Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam baru dapat
dilakukan oleh kesemua organsasi,setelah ada kejelasan sikap pemerintah sendiri terhadap
Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan diagamakan & tidak berfungsi
menggantikan (kedudukan) agama. Dalam rasionale yang diajukan oleh ulama dijelaskan,
bahwa pancasila secara kualitatif berbeda dari agama, karena ia tidak diturunkan secara
wahyu. Dengan demikian, ia tidak memiliki dimensi keakhiratan, sehingga semua produk
hukum & tindakan yang didasarkan atas Pancasila hanyalah merupakan sesuatu yang duniawi
semata-mata. Secara teorik, status Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebagai ideologi
bangsa &falsafah negara, tidaklah mengancam supremasi theologis dari kebenaran yang
dibawakan oleh agama. Dengan ungkapan lain, Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan
agama, karena ia tak memiliki sisi keberadaan dirinya sebagai kebenaran mutlak, sesuatu
yang dimiliki oleh agama.
Pemahaman yang demikian atas status Pancasila dalam kehidupan bangsa sebenarnya
merupakan sesuatu yang masih problematik. Dalam kasus perkawinan berlainan agama,
misalnya, jelas Islam menentang perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non
muslim, sesuai dengan perintah Al-Qur’an. Bukankah Pancasila harus menjawab pertanyaan
apa pandangannya tentang keputusan agama seperti itu. Akan dilarang seterusnya, demi
mengikuti ajaran yang sudah dibakukan dalam Islam itu, berarti mengabaikan kebutuhan
akan pengaturan hal itu secara defenitif, mengingat hal telah terjadi secara cukup luas dalam
kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Dengan adanya pengundangan hukum waris Islam
mmelalui Undang-undang Peradilan Agama (UUPA) yang akan disyahkan tidak lama lagi,
lalu timbul kebutuhan akan kepastian hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan campur
agam itu akan diselesaikan urusaan pewarisannya melalui hukum Isalm atau hukum barat.
Dengna demikian akan timbul pula kebutuhan untuk memperkenakan perkawinan antara
pasangan yang berlainan agama itu. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin yang akan
sesuatu yang sama peliknya dengan apa yang dihadapi para pemimpin gereja ketika harus
mengambil keputusan tentang asas Pancasila di tahum 1984-1985 itu.
Dengn melihat apa yang telah dikemukakan, dan mengenal hubungan problematik antara
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara (yang mengejawantah dalam bentuk
asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi) di satu pihak dan agama-agama dan
kepercayaan yang ada Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baru dapat dikembangkan nilai-nilai
dasar bagi kehidupan bangsa kita. Sebenarnya sudah tidak relevan lagi untuk melihat, apakah
nilai-nilai dasar itu ditari oleh pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi
Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “Polisi
Lalu-Lintas” yang akan mejamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan
bangsa tanpa kecuali.
Jika itu yang terjadi, artinya Pancasila bersikap netral dan tidak memenangkan pihak
manapun di antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
berkembangdi negeri kita, maka dapat tidak akan muncul persoalan apapun. Namun, dapat
pula terjadi keadaan rawan jika ada keluhan tentang pemberian konsesi terlalu berlebih
kepada satu pihak saja, seperti dirasakan kaum khatolik dan kristen sehubungan dengan
pengajuan RUU-PA (Rancangan Undang Undang Peradilan Agama) ke Dewan Perwakilan
Rakyat, yang dianggap memberikan perlakuan istimewa dan tersendiri kepada kaum
muslimin, atas kerugian kaum non-muslimin.
Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan tetap saling
berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi kehidupannya. Namun, dibalik
perbedaan-perbedaan itu, secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah pandangan yang bersifat universal. Tekanan
pada kejujuran (baik sikap maupun perilaku),keikhlasan dan ketulusan dalam sikap dan
tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam porsi cukup seimbang, dan
sejmalh hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini lalu dapat dilakukan
inventarisasi sejumlah etos tertentu yang dianggap disepakati bersama, untuk dijadikan
landasan seterusnya.