Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

8
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA Pancasila adalah kesepakatan luhur antara samua golongan yang hidup di tanah air kita.Namun, sebuah kesepakatan seluhur apa pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa, artinya setiap warga negara RI terikat oleh ketentuan-katentuannya yang sangat mendasar, yang tertuang dalam sila yang ke- 5 .Pandangan hidup dan warga secara keseluruhan harus tertumpu pada Pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya sekedar masing- masing sila. Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun UU dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga- lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa ditentukan oleh sebuah falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara, kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga dapat terjaga dengan baik. Justru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara inilah dirasa adanya tumpang-tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi-sisi baragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa memiliki lingkup masing-masing yang berjangkauan universal, berlaku pada samua umat manusia, sehingga terasa sulit untuk dibatasi pada ”sisi ke-Indonesia-an” belaka.Hal

Transcript of Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

Page 1: Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI DALAM KAITANNYADENGAN KEHIDUPAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN

TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Pancasila adalah kesepakatan luhur antara samua golongan yang hidup di tanah air

kita.Namun, sebuah kesepakatan seluhur apa pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak

didudukan dalam status yang jelas. Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya

dirumuskan sebagai ideologi bangsa, artinya setiap warga negara RI terikat oleh ketentuan-

katentuannya yang sangat mendasar, yang tertuang dalam sila yang ke-5 .Pandangan hidup

dan warga secara keseluruhan harus tertumpu pada Pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya

sekedar masing-masing sila. Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka

berfikir yang harus diikuti dalam menyusun UU dan produk-produk hukum yang lain, dalam

merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-

lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa

ditentukan oleh sebuah falsafah yang harus terus-menerus dijaga keberadaan dan

konsistensinya oleh negara, kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga dapat

terjaga dengan baik.

Justru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara inilah dirasa adanya

tumpang-tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi-sisi baragama dan berkepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa

memiliki lingkup masing-masing yang berjangkauan universal, berlaku pada samua umat

manusia, sehingga terasa sulit untuk dibatasi pada ”sisi ke-Indonesia-an” belaka.Hal ini

langsung tampak pada upaya Pancasila untuk menekankansisi kelapangan dada dan toleransi

kehidupan antara umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jelas

setiap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Maha Esa memiliki visi akslusivistiknya

sendiri, disamping visi universal yang mempersamakan semua agama dan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa . Dengan kata lain, wawasan Pancasila tentang kebersamaan

antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya

sama dengan wawsan sekian agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang

satu sama lain saling berbeda itu.

Dalam keadaan demikian banyak kalangan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa melihat adanya keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas-

batas minimal untuk pengaturan kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Dengan demikian, pancasila diharapkan berperan sebagai “ polisi lalu lintas”

Page 2: Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belaka. Kesulitan

yang dirasakan dalam mempertimbangkan ini adalah kenyataan, bahwa pengaturan lalu lintas

memerlukan aturan yang disepakati dan ditunduki bersama, dan itu berarti harus ada pihak

yang membuat itu. Fungsi Pancasila lalu jelas harus terwujud juga dalam membuat aturan

permainan antara umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan kata lain, fungsi minimal itu pun memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri,

yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas kita sebagai bangsa saat ini justru adalah menemukan garis

batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa mengganggu kebebasan beragama

danberkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah contoh dapat dikemukakan

dalam hal ini. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang

benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum muslimin yang tidak dapat menerima

adanya persamaan agama ( umumnya tertuang dalam peernyataan bahwa ”semua agama

adalah sama”). Kalau pancasila memaksakan parsamaan mutlak seperti tergambar dalam

pernyataan di atas, tentunya independensi Islam sebagai agama menjadi terganggu.

Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling

berbeda itu, dengan sendirinya ia menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu

kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti “ semua agama diperlukan sama

dimuka Undang- undang dan diperlakukan sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena

dalam hal ini.

Gambaran posisi Pancasila seperti dikemukakan di atas, dengan sendirinya lalu

membawakan ketegangan kreatifnya sendiri bagi (dan dalam) kehidupan bangsa kita. Tidak

selayaknya hal itu dicoba untuk ditutup-tutupi dengan rumusan-rumusan kabur yang

menjauhkan kita dari persoalan adanya perbedaan antara wawasan Pancasila dengan

wawasan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sikap untuk

menonjolkan konvergensi wawasan dan menutup-nutupi devergensi pandangan antara

Pancasila dan agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

justru akan mengaburkan posisi strategis Pancasila dalam kehidupan, bernegara dan

bermasyarakat.

Dalam upaya mengenal devergensi pandangan antara Pancasila di satu pihak dan agama-

agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa itu, dalam uraian selanjutnyaakan

dikemukakan beberapa titik strategis yang memerlukan pemecahan. Pengenalan masalah

terlebih dahulu harus dilihat dari latar belakang yang berbeda- beda antara agama yang saling

berlainan. Karenanya, pada hakikatnya Pancasila harus difungsikan dalam proses memahami

Page 3: Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

wawasan terjauh dari agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pengertian kata “Esa” yang digunakan baik dalam Pancasila maupun dalam UUD 1945 ,

tentunya akan difahami secara berlainan oleh agama yang saling berdeda itu.

Sisi lain dari masalah ini adalah kenyataan, bahwa titk divergensi antara wawasan

Pancasila dan pandangan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

ternyata berbeda dari satu ke lain agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa. Bagi

agama Nasrani(khatolik dan kristen), masalah pokok yang dihadapi dalam kaitannya dengan

Pancasila terletak pada titk kelembagaan. Benarkah Pancasila merupakan sumber dari segala

sumber, dalam artian meniadakan tempat gereja sebagai putusan keagamaan?. Jawabnya

tentu bergantung pada dimana batas keputusan keagamaan dapat diterima. Gereja harus

menentukan sikap keagamaan, namun yang memiliki dimensi serba bagai (termasuk dimensi

politik), tapi dimanakah dimensi-dimensi itu harus disesuaikan dengan formal yang dibuat

oleh negara, semisal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)?. Karena hal inilah

penerimaan kalangan Nasrani atas gagasan penerimaan asas tunggal Pancasila yang

dilontarkan Presiden/Mandataris MPR-RI dicapai hanya setelah melalui pembahasan sangat

alot, baik secara internal maupun dengan pihak pemerintah. Masalah pokoknya adalah

yurisdiksi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara atas gereja, haruskah ia

menghilangkan hak-hak gereja dan umat untuk menentukan keputusan keagamaannya sendiri

?. setelah para pemimpin gereja yakin dengna tetap untuhnya kedaulatan theolologis masing-

masing secara internal, barulah penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat

dilakukan dengan rasa penuh tangguang jawab.

Kasus diatas justeru tidak menjadi persoalan di kalangan kaum muslimin. Islam tidak

mengenal pembedaan antara wewenang kenegaraan dan wewenang keagamaan. Karenanya,

secara kelembagaan Islam justru mengundang peranan negara dalam kehidupan kaum

muslimin. Semakin banyak soal ummat Islam diurus oleh pemerintah, semakin baik menurut

sudut pandangan ini. Masalah yang timbul justru tentang orientasi yang dimilikki oleh

langkah-langkah yang diambil negara. Akankah status pancasila sebagai “sumber segala

sumber” berarti Pancasila bebas menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku dengan

sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam ?. jika itu terjadi, bukankah berlaku

sekularisme, sesuatu yang secara mutlak diolak oleh ajaran agama Islam ?. Ajaran-ajaran

Islam telah dikongkretkan menjadi hukum-hukum agam (figh), haruskah warisan demikian

berharga itu di buang begitu saja, untuk digantikan oleh Pancasila dengan hal-hal lain yang

diambil dari ‘luar’ ?. Sedangkan Allah berfirman “Barang siapa menghukumkan tidak dengan

apa yang diturunkan Allah, orang itu (termasuk kaum) zalim”. Bagaiman tidak langsung

Page 4: Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

sekalipun penggunaan ajaran agama sebagai referensi bagi pancasila, Islam harus diupayakan

menjadi nilai nilai dasar yang ditarik dari pancasila dan UUD 1945. Penerimaan atas

Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam baru dapat

dilakukan oleh kesemua organsasi,setelah ada kejelasan sikap pemerintah sendiri terhadap

Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan diagamakan & tidak berfungsi

menggantikan (kedudukan) agama. Dalam rasionale yang diajukan oleh ulama dijelaskan,

bahwa pancasila secara kualitatif berbeda dari agama, karena ia tidak diturunkan secara

wahyu. Dengan demikian, ia tidak memiliki dimensi keakhiratan, sehingga semua produk

hukum & tindakan yang didasarkan atas Pancasila hanyalah merupakan sesuatu yang duniawi

semata-mata. Secara teorik, status Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebagai ideologi

bangsa &falsafah negara, tidaklah mengancam supremasi theologis dari kebenaran yang

dibawakan oleh agama. Dengan ungkapan lain, Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan

agama, karena ia tak memiliki sisi keberadaan dirinya sebagai kebenaran mutlak, sesuatu

yang dimiliki oleh agama.

Pemahaman yang demikian atas status Pancasila dalam kehidupan bangsa sebenarnya

merupakan sesuatu yang masih problematik. Dalam kasus perkawinan berlainan agama,

misalnya, jelas Islam menentang perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non

muslim, sesuai dengan perintah Al-Qur’an. Bukankah Pancasila harus menjawab pertanyaan

apa pandangannya tentang keputusan agama seperti itu. Akan dilarang seterusnya, demi

mengikuti ajaran yang sudah dibakukan dalam Islam itu, berarti mengabaikan kebutuhan

akan pengaturan hal itu secara defenitif, mengingat hal telah terjadi secara cukup luas dalam

kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Dengan adanya pengundangan hukum waris Islam

mmelalui Undang-undang Peradilan Agama (UUPA) yang akan disyahkan tidak lama lagi,

lalu timbul kebutuhan akan kepastian hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan campur

agam itu akan diselesaikan urusaan pewarisannya melalui hukum Isalm atau hukum barat.

Dengna demikian akan timbul pula kebutuhan untuk memperkenakan perkawinan antara

pasangan yang berlainan agama itu. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin yang akan

sesuatu yang sama peliknya dengan apa yang dihadapi para pemimpin gereja ketika harus

mengambil keputusan tentang asas Pancasila di tahum 1984-1985 itu.

Dengn melihat apa yang telah dikemukakan, dan mengenal hubungan problematik antara

Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara (yang mengejawantah dalam bentuk

asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi) di satu pihak dan agama-agama dan

kepercayaan yang ada Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baru dapat dikembangkan nilai-nilai

dasar bagi kehidupan bangsa kita. Sebenarnya sudah tidak relevan lagi untuk melihat, apakah

Page 5: Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kaitannya

nilai-nilai dasar itu ditari oleh pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi

Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “Polisi

Lalu-Lintas” yang akan mejamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan

bangsa tanpa kecuali.

Jika itu yang terjadi, artinya Pancasila bersikap netral dan tidak memenangkan pihak

manapun di antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang

berkembangdi negeri kita, maka dapat tidak akan muncul persoalan apapun. Namun, dapat

pula terjadi keadaan rawan jika ada keluhan tentang pemberian konsesi terlalu berlebih

kepada satu pihak saja, seperti dirasakan kaum khatolik dan kristen sehubungan dengan

pengajuan RUU-PA (Rancangan Undang Undang Peradilan Agama) ke Dewan Perwakilan

Rakyat, yang dianggap memberikan perlakuan istimewa dan tersendiri kepada kaum

muslimin, atas kerugian kaum non-muslimin.

Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan tetap saling

berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi kehidupannya. Namun, dibalik

perbedaan-perbedaan itu, secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah pandangan yang bersifat universal. Tekanan

pada kejujuran (baik sikap maupun perilaku),keikhlasan dan ketulusan dalam sikap dan

tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam porsi cukup seimbang, dan

sejmalh hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini lalu dapat dilakukan

inventarisasi sejumlah etos tertentu yang dianggap disepakati bersama, untuk dijadikan

landasan seterusnya.