Palinologi Pp

45
PALINOLOGI

description

mata kuliah palinologi

Transcript of Palinologi Pp

PALINOLOGI Palinologi adalah studi

tentang polen dan spora. Berasal dari kata palunein

yang berarti serbuk sari, tepung atau debu.

POLEN adalah serbuk berwarna kuning, yang

dihasilkan dari bunga (Angiosperm dan Gymnosperm). SPORA adalah serbuk yang dihasilkan oleh

Pteridophyta dan tumbuhan tingkat rendah (seperti ganggang, jamur, lumut, dsbnya).

Menurut Morley (1990), palinologi adalah

studi tentang modern polen dan spora, serta mikrofosil organik yang terdiri dari polen, spora dan organisme mikroskopis beserta sisa-sisanya yang secara kimiawi sama.

Palinologi dibagi menjadi 2 group (Morley, 1990): AKTUOPALINOLOGI Studi morfologi modern polen dan spora untuk taksonomi tanaman. Kegunaan lain: Melissopalinologi (asal-usul madu), kriminologi dan forensik, arkeologi dan penyerbukan. PALEOPALINOLOGI Studi mikrofosil organik yang ditemukan dalam preparat batuan sedimen. Umumnya akan lebih sering dijumpai polen dan spora, tapi mungkin juga ditemui mikrofosil organik tipe lain, terutama pada batuan Pre-Mesozoikum dan lingkungan laut.

Fosil-fosil polen.

Fosil-fosil polen.

Fosil-fosil spora.

SIFAT-SIFAT POLEN DAN SPORA Resisten terhadap pengrusakan dibandingkan dengan bagian lain

dari tumbuhan, sehingga mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi fosil.sehingga mudah ditransport dan diendapkan seperti partikel sedimen lainnya. perhitungan statistik.

Ukurannya sangat kecil (< 200 mikron), rata-rata 20-100 mikron,

Produksinya besar/banyak, sehingga memungkinkan dilakukan Bentuknya khas, sehingga mudah dibedakan antara satu dengan

lainnya (dalam tingkat Famili, Genus ataupun Species.

SEJARAH PALINOLOGI di INDONESIA Polak (1933) adalah orang pertama yang melakukan

studi kandungan polen pada gambut Holosen dari berbagai lokasi di Jawa dan Sumatra. Polak (1949) membuat pengamatan stratigrafi detil dan kandungan polen di Rawa Lakbok, Jawa Tengah. Morley (1976), Flenley (1979), dll, juga melakukan pengamatan di Indonesia.

Alat dan Bahan yang Diperlukan

Paleopalinologi digunakan untuk 4 tujuan utama:1. Geokronologi 2. Korelasi 3. Paleoekologi/biostratigrafi 4. Geokimia hidrokarbon

1. Geokronologi / Penentuan Umur Dengan mengambil referensi waktu absolut atau pola

zonasi dari grup fosil lain, seperti foraminifera dan nannofosil. Dapat diketahui dengan mengenali palinomorph yang telah diketahui range umurnya.

Korelasi biozona-biozona foraminifera planktonik, calcareous nannoplankton dan palinomorph NEOGEN (Rahardjo dkk, 1994, dimodifikasi oleh LEMIGAS, 1994).

2. Korelasi Berdasarkan perubahan kumpulan lokal. Memungkinkan korelasi dengan jarak beberapa

kilometer atau skala antar benua.

A. Korelasi dengan menggunakan perubahan jumlah kelompok takson.

B. Korelasi dengan menggunakan jumlah takson maksimum.

3. Paleoekologi Interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan

karakter dan kuantitas kumpulan palinomorph. Perubahan kumpulan palinomorph merefleksikan perubahan vegetasi, sebagai respon perubahan lingkungan atau iklim.

Perbandingan prosentase kelimpahan Polen/Spora, Dinoflagellate, Foraminifera dan Nannoplankton.

4. Geokimia Hidrokarbon Studi maturasi (kematangan) batuan induk. Fluorescence

di bawah sinar ultraviolet dari sedimen yang telah dipanaskan, memberi index warna pada dinding polen dan spora. Dengan demikian, level maturasi dapat diketahui. Tipe kerogen menentukan tipe dan jumlah hidrokarbon

dari batuan induk.

Klasifikasi Botani (Polunin, 1990)A.

SchizophytaCyanophyceae (ganggang biru)

B.

Thallophyta

Perkembangbiakan dengan sporaC.

Chlorophyceae (ganggang hijau) Dinophyceae (termasuk Dinoflagellatae) Rhodophyceae (ganggang merah) Fungi (cendawan)

Bryophyta

Hepaticae (lumut hati) Musci (lumut daun)

D.

PteridophytaEquisetinae (ekor kuda) Lycopodiinae (paku kawat) Filicinae (paku benar)

Perkembangbiakan dengan polen

E.

SpermatophytaGymnospermae (tumbuhan biji terbuka) Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)

Gymnospermae Mempunyai bakal biji yang lahir tanpa penutup pada organ-organ mirip daun (sisiksisik kerucut). Gamet jantan dan gamet betina terbentuk pada daun-daun yang terkumpul menjadi kerucut-kerucut terminal. Biasanya tumbuhan ini gemuk, pendek dan tidak bercabang, contoh Pakis haji (Cycas rumphii).

Simplifikasi siklus hidup dari coniferous Gymnosperm.

Angiospermae Merupakan tumbuhan dengan bunga

yang sesungguhnya. Merupakan golongan dengan evolusi tertinggi. Bijinya terdapat dalam bakal buah. Setelah pembuahan bakal buah menjadi buah. Mempunyai kelopak, mahkota, benang sari, serta satu atau beberapa daun buah yang terletak di pusat yang menghasilkan bakal buah.

Simplifikasi siklus hidup dari Angiosperm.

Morfologi Polen dan Spora, dilihat dari:1. Struktur (lapisan dinding polen) 2. Sculpture (pahatan) 3. Tipe, jumlah dan posisi aperture 4. Bentuk butir

1. Struktur Terdiri 3 lapisan: extexine, endexine dan intine. Extexine dan endexine tersusun oleh

sporopollenin, dan tahan terhadap asam dan basa. Intine larut dalam asam dan basa, jadi tidak terlihat pada fosil.

Extexine dibagi menjadi 4 komponen:

sculpture, tectum, columella dan foot layer. Jika tectum hadir di atas columella dan

Ilustrasi dari lapisan dinding polen Angiospermae (Faegri, 1956; Faegri and Iversen, 1964).

menerus, maka disebut tectate. Jika menerus hanya sebagian disebut semitectate. Jika tectum absen disebut intectate. Jika exine tidak mempunyai struktur internal disebut atectate.

Kenampakan exine bagian luar Gymnosperm

biasanya spongy (seperti bunga karang/alveolar). Dinding spora lebih sederhana dan tidak mempunyai columella.

2. Sculpture Variasi morfologi pada permukaan tectum. Gambar di samping: tipe-tipe sculpture

(Moore dan Webb, 1978).A.

B.

Warna terang menandakan daerah yang tinggi, warna gelap menandakan daerah yang rendah atau lubang. Sculpture yang menonjol keluar.

Deskripsi tipe-tipe sculpture (Moore dan Webb, 1978).

3. Tipe, jumlah dan posisi aperture Mempunyai 2 fungsi: Melalui aperture, pembuluh polen muncul untuk membuahi stigma bunga betina. Melalui aperture, dinding polen dapat melebar atau berkontraksi untuk

mengakomodasi variasi kelembaban dan mencegah biji kering.

Susunan aperture Posisi butiran dalam sel ibu, dimana umumnya butiran tersusun dalam satu grup

tetrahedral.

Ada 2 tipe aperture: colpus dan pore. Colpus: aperture berbentuk ellips, perbandingan panjang dan lebar > 2. Butiran yang

memiliki colpus disebut colpate. Pore: berbentuk bulat atau sedikit ellips, perbandingan panjang dan lebar < 2. Butiran yang memiliki pore disebut porate. Butiran dengan colpus dan pore dalam aperture yang sama disebut colporate.

Posisi aperture dalam mother cell (sel ibu) (Moore dan Webb, 1978). A. Butiran tetrahedral. Proximal pole paling dekat dengan pusat tetrat, distal pole paling jauh. Polar axis adalah garis yang menghubungkan proximal dan distal poles. B. Aperture pada pandangan equatorial dan polar.

Tipe-tipe pollen berdasarkan jumlah dan susunan aperture. Contohcontoh ditunjukkan dalam pandangan polar dan equatorial.

4. Bentuk butir Bentuk polen dan spora dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial.

Bentuk butir berdasarkan rasio polar dan equatorial.

Aplikasi palinologi untuk studi facies. DASAR: Keterkaitan antara tumbuhan, iklim dan

lingkungan.

Pembagian zona tumbuhan (van Steenis, 1935): Alpine Zone Subalpine Zone Montane Zone Submontane zone Tropical Zone Colline subzone/ Hill zone

: > 4150 m : 2400-4150 m : 1000-2400 m::

1000-1500 m500-1000 m

: 0-1000 m

Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) Hutan subalpine/Hutan kabut (3000-4000 m) Pohon rapat, jenisnya sedikit. Ericaceae, Rapanca, Polysma, Potentilla.

Hutan hujan pegunungan tinggi (1500-3000 m)

(Upper montane rain forest) Pohon rapat, ukuran besar. Jenis pohon sedikit. Banyak tumbuhan epifit. Podocarpus, Phyllocladus, Tristania, dll.

Hutan hujan pegunungan rendah (500-1500 m)

(Lower montane rain forest) Pohon rapat, jenisnya banyak. Podocarpus, Pinus, Pometia, Quercus, dll.(bersambung)

(sambungan)

Hutan Rawa Air Tawar (Freshwater Swamp Forest) Terbentuk pada genangan air tawar. Kaya mineral, pH>6. Permukaan air tidak tetap. Campnosperma, Nessia, Pandanus, Shorea, Timonius, Lophophetalum, Elaeocarpus.

Hutan Rawa Gambut (Peatswamp Forest) Lapisan gambut tebal. Tumbuhan mirip hutan rawa air tawar. Shorea, Campnosperma, Elaeocarpus, Salacca, Durio, Dryobalanops.

Hutan Pantai (Beach Forest) Dipengaruhi pasang-surut laut. Energi gelombang tinggi. Lebih dikenal dengan istilah Formasi Baringtonia, terdiri dari Baringtonia,

Casuarina equisetifolia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus, Terminalia catappa.

Hutan Mangrove (Mangove Forest) Dipengaruhi pasang-surut laut. Energi gelombang rendah. Avicennia, Sonneratia, Rhizopora, Bruguiera, Xylocarpus, Oncosperma, Nypa.

Mangrove Saenger, 1983: Komunitas tumbuhan yang terdapat di daerah

pasang-surut yang terlindung, khas daerah tropis dan subtropis.

Surianegara, 1987: Hutan yang tumbuh pada lingkungan

berlumpur di alluvial pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang-surut air laut. Pasokan sedimen klastik halus dari darat. Salinitas. Energi gelombang. Iklim.

Pembentukan mangrove dipengaruhi oleh:

Selain itu, Morley (1977) in Sulaeman (1996), juga membagi beberapa zona vegetasi:

APPLIKASI PALINOLOGI pada SEQUENCE STRATIGRAPHY

Karakteristik Palinomorph dalam perubahan muka air laut

The composition of palynomorphs indicates the changes of sea level, so that they can be used to differentiate systems tracts. Morley (1995) described typical palynomorphs character which correspond with particular systems tract as follows: LOWSTAND SYSTEMS TRACT During a relative sea-level fall the position of the shoreline moves basinward, resulting in erosion and incision along the coasts. The extent of mangrove would be minimum and the development of freshwater swamp is restricted to incised valleys. Lowstand sediments are characterized by the low quantity of coastal palynomorphs, but increase in pollen from well-drained inland settings. During the lowstand wedge phase, the extent of coastal swamp would be maximum, especially where the deposition takes places in a ramp, as opposed to a shelf-break setting, and it would be possibly reflected by an increase of mangrove and freshwater swamp palynomorphs in marine depositional setting. When the sediments during this stage are transported by mass flow processes, the palynomorphs which derived from terrestrial sediments would be transported into the deep water setting, so that the terrestrial palynomorphs become incorporated into marine sediment. TRANSGRESSIVE SYSTEMS TRACT During the sea-level rise, the brackish, mangrove-dominated lower coastal plain becomes very widespread due to an extensive flooding. This would result in a marked increase of mangrove palynomorphs quantity in marine sediments such as dinoflagellate cysts, compared to those in lowstand systems tract. The increase would be particularly well marked in shelf-break setting, following the transgressive surface. The palynomorphs have lowest accumulation at the maximum flooding surface. HIGHSTAND SYSTEMS TRACT When the highstand prograded, the upper delta plain expanded, and the environment are dominated by freshwater and alluvial swamps. The lower delta plain tends to remain well developed. When the deposition takes place proximal to the lower delta plain, the quantity of mangrove palynomorphs will be very low.

Applikasi Palinologi dalam Sequence Stratigrafi

Well Name : MSU-2.Interv al Scale : 3220' - 4090' : 1:1500 Chart date: 14 September 2000

Palynology chart of MSU-2 well.*1

LEMIGAS, Biostratigraphy Division. Jakarta, IndonesiaPr oje ct : MSU -2A C har t : msu 2-2 a

Marine*2 *3 *2 *3

AA

Back Mangrov e Pollen% within discipline (100mm=100%) Palinofasies filtered

LEMIGAS.

Chronostratigraphy

Lithostratigraphy

BioZone.

Back mangrove (Lower tidal deltaic plain-proximal)

Mangrove (Lower tidal deltaic plain-distal))

Discoidites novaguineensis

Upper tidal deltaic plain (distal)

Camptostemon aff. Excocaria type Zonocostites ramonae Acrostichum spp.

Florschuetzia trilobata

Oncosperma sp. Florschuetzia levipoli Discoidites acutus

Dinoflagellate cysts

Age

Gamma Log0 (API)

Deep Induction2000

200 0.2 (ohm m/m)

32 20

32 20

32 20

3220.00' CU :

Occurrence of Florschuetzia trilobata, F. levipoli

32 20

3220.00-3230.00' CU 3240.00' CU 2 .61 .61 5 .61

3250' 3300' 3350' 3400'

Florschuetzia levipoli

Upper part of Early Miocene

3280.00' CU 3300.00' CU

1 1

1 4

1 1

1 1

1 2

1

TST

33 80

33 80

3380.00' CU :

First appearance of F. levipoli

3380.00' CU

19

1

.75

3420.00-3425.00' CU

13 13 8 12 3 2 2 2 4 12 14 4 4 7 1 6

3450' 3500' 3550' 3600' 3650' 3700' 3750' 3800' 3850' 3900' 3950' 4000' 4050'40 90 40 90 40 90

HST34 70

3450.00-3460.00' CU 3470.00' CU 3490.00' CU 3520.00' CU 3550.00' CU 3570.00' CU 3590.00' CU

HST35 20

LOWER SIHAPAS

35 90

HST

TST

TST

Lower part of Early Miocene

3640.00' CU

2

6

Florschuetzia trilobata

3680.00' CU37 00

11 1 4 3 3 1 11 1 3

5 18 8 3

3700.00' CU 3730.00' CU 3740.00' CU

HSTTST37 80

TST

3810.00' CU

14

38 30

LST

TST/HST

38 90

3890.00' CU

2

2

2

9

39 40

3940.00' CU 3970.00' CU

1

1

15

1 12

7 12 12

39 90

LST

LST

4030.00-4032.00' CU

6

2

12

4090.00' CU :

Occurrence of Florschuetzia trilobata

40 90

4090.00' CU

Chenopodipollis aff.2

Comments

Formation

Sequence

Avicennia type

Samples

Depth

Delta front

Zone

Pro delta

Barren

Well Name : MSU-4.Interv al Scale : 3250' - 3910' : 1:1500 Chart date: 14 September 2000

Palynology chart of MSU-4 well.*1

LEMIGAS, Biostratigraphy Division. Jakarta, IndonesiaPr oje c t : MSU -4A C har t : MSU -4a

M arine*2 *2

AA

Back M angrov e Pollen% within discipline (100mm=100%)

LEM IGAS.

Chronostratigraphy

Lithostratigraphy

BioZone.

Back mangrove (Lower tidal deltaic plain-proximal)

Mangrove (Lower tidal deltaic plain-distal))

Discoidites novaguineensis

Upper tidal deltaic plain (distal)

Zonocostites ramonae Acrostichum spp.

Age

Gamma Log0 (API)

Deep Induction2000

200 0.2 (ohm m/m)

3250'

Upper part of Early Miocene

32 60

32 60

32 60

3260.00' CU :

Occurrence of Florschuetzia trilobata, F. levipoli

32 60

3260.00' CU

3300' 3350' 3400' 3450' 3500' 3550' 3600' 3650' 3700' 3750' 3800' 3850'

Florschuetzia levipoli

3300.00' CU

TST

33 90

33 90

3390.00' CU :

First appearance of F. levipoli

3390.00' CU

HST T ST34 90

3450.00' CU

LOWER SIHAPAS

HST

Lower part of Early Miocene

35 60

Florschuetzia trilobata

35 90

HST36 20

TST

3560.00' CU

3620.00' CU 3630.00' CU

TST

37 15

TST/HST LST

36 82

3682.00' CU

3730.00' CU 3750.00' CU

37 90

38 60

LST

3900'

39 10

39 10

39 10

TST

3870.00' CU

3910.00' CU :

Occurrence of Florschuetzia levipoli

39 10

3910.00' CU

Florschuetzia trilobata

Discoidites pilosus Florschuetzia levipoli

Dinoflagellate cysts

Comments

Formation

Sequence

Avicennia type

Samples

Depth

Delta front

Zone

Pro delta

Barren

Korelasi paleoenvironment.

Perkembangan delta.