Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka · Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka tersebut merupakan...

1
Indonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tumbuhan, dimana 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut, 180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional. Kenyataan tersebut menunjukkan potensi Indonesia yang sangat besar sebagai pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi besar dalam produksi biofarmaka khususnya rimpang-rimpangan, namun masih banyak hambatan dalam pengembangan biofarmaka. Kuantitas dan kualitas produk olahan biofarmaka sangat dipengaruhi oleh peralatan yang digunakan. Alat mesin pengolahan biofarmaka telah banyak dijual di pasaran namun demikian penggunaannya masih sangat terbatas. Beberapa kendala yang menghambat penggunaannya oleh para pengrajin di tingkat UKM antara lain harga yang relatif mahal, dan penggunaan bahan bakar yang belum efisien. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP) telah melakukan rekayasa dan rancang bangun alat dan mesin untuk pengolahan komoditas biofarmaka khususnya jenis rimpang, berupa alsin pencuci dan perajang rimpang, mesin penepung rimpang dan rumah pengering. BBPMP pada tahun 2009 telah mengembangkan unit pengolahan biofarmaka skala UKM dalam ujud Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka. Pendirian Pabrik Mini tersebut dilakukan di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora ,Jawa Tengah, bekerja sama dengan PT Perhutani I, asosiasi LMDH, Balai Tanaman Rempah dan Obat dan BPTP Jawa Tengah. Kecamatan Randublatung merupakan area hutan jati yang sebagian besar tanahnya dikelola oleh Perum Perhutani. Oleh Perum Perhutani diberikan pelajaran kepada penduduk yang tergabung dalam LMDH dalam bercocok tanam temu lawak diantara tegakan pohon jati, daerah ini menghasilkan temu lawak dalam jumlah yang besar. Tercatat saat ini ada 20 ha tanaman temu lawak siap panen, dan mulai dikembangkan hingga akan mencapai 2 kalinya. Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran, karena temu lawak tidak lazim digunakan untuk bumbu masak sehingga tidak mudah dijual ke pasar tradisional. Karena sulitnya pemasaran, temu lawak di Randublatung hanya dihargai Rp1000,- , jauh dari harga di pasar khusus rimpang yang mencapai Rp3000,- s/d Rp7000,-. Pemilihan Randublatung sebagai lokasi uji coba pabrik mini pengolahan biofarmaka-rimpang didasarkan pada: (1). kesulitan pemasaran yang dialami petani setempat; (2). potensi dan luas tanam yang relatif tinggi; (3). pasar bagi olahan temu lawak sangat terbuka (pabrik jamu dan ekspor); (4). antusiasme petani (LMDH) dan pihak perum Perhutani setempat terhadap pengolahan temu lawak. Pada pembuatan pabrik yang telah tepasang paket alat dan mesin pertanian pengolah rimpang yang pengoperasiannya akan dikelola oleh pengrajin lingkup UKM ini, telah dijajagi pula untuk dilakukan kerja sama dengan beberapa industri pengolah biofarmaka. Diharapkan nantinya tercipta kontinuitas penjualan produk olahan pengrajin UKM ke industri pengolah dengan harga lebih tinggi dibandingkan sebelum menggunakan paket alat dan mesin penanganan pengolahan rimpang ini. Hasil pengolahan dengan mutu dan jumlah produksi yang meningkat akan menjadi keunggulan dari produk pengrajin UKM ini, dimana hal tersebut akan menjadi dasar penetapan harga antara pengrajin dengan industri. Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka tersebut merupakan percontohan bagi LMDH atau kelompok tani biofarmaka di tempat lain. Apabila usaha ini berhasil maka akan berdampak positip bagi LMDH atau kelompok tani biofarmaka di seluruh Indonesia. Penggunaan paket teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan penghasilan pengolah biofarmaka di semua lini dengan target hingga 20%. Dengan biaya investasi pembangunan pabrik mini tersebut sebesar Rp. 140 juta. Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka

Transcript of Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka · Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka tersebut merupakan...

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 spesies tumbuhan, dimana 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut, 180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional. Kenyataan tersebut menunjukkan potensi Indonesia yang sangat besar sebagai pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu.

Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi besar dalam produksi biofarmaka khususnya rimpang-rimpangan, namun masih banyak hambatan dalam pengembangan biofarmaka. Kuantitas dan kualitas produk olahan biofarmaka sangat dipengaruhi oleh peralatan yang digunakan. Alat mesin

pengolahan biofarmaka telah banyak dijual di pasaran namun demikian penggunaannya masih sangat terbatas. Beberapa kendala yang menghambat penggunaannya oleh para pengrajin di tingkat UKM antara lain harga yang relatif mahal, dan penggunaan bahan bakar yang belum efisien.

Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBPMP) telah melakukan rekayasa dan rancang bangun alat dan mesin untuk pengolahan komoditas biofarmaka khususnya jenis rimpang, berupa alsin pencuci dan perajang rimpang, mesin penepung rimpang dan rumah pengering. BBPMP pada tahun 2009 telah mengembangkan unit pengolahan biofarmaka skala UKM dalam ujud Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka. Pendirian Pabrik Mini tersebut dilakukan di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora ,Jawa Tengah, bekerja sama dengan PT Perhutani I, asosiasi LMDH, Balai Tanaman Rempah dan Obat dan BPTP Jawa Tengah.

Kecamatan Randublatung merupakan area hutan jati yang sebagian besar tanahnya dikelola oleh Perum Perhutani. Oleh Perum Perhutani diberikan pelajaran kepada penduduk yang tergabung dalam LMDH dalam bercocok tanam temu lawak diantara tegakan pohon jati, daerah ini menghasilkan temu lawak dalam jumlah yang besar. Tercatat saat ini ada 20 ha tanaman temu lawak siap panen, dan mulai dikembangkan hingga akan mencapai 2 kalinya.

Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran, karena temu lawak tidak lazim digunakan untuk bumbu masak sehingga tidak mudah dijual ke pasar tradisional. Karena sulitnya pemasaran, temu lawak di Randublatung hanya dihargai Rp1000,- , jauh dari harga di pasar khusus rimpang yang mencapai Rp3000,- s/d Rp7000,-. Pemilihan Randublatung sebagai lokasi uji coba pabrik mini pengolahan biofarmaka-rimpang didasarkan pada: (1). kesulitan pemasaran yang dialami petani setempat; (2). potensi dan luas tanam yang relatif tinggi; (3). pasar bagi olahan temu lawak sangat terbuka (pabrik jamu dan ekspor); (4). antusiasme petani (LMDH) dan pihak perum Perhutani setempat terhadap pengolahan temu lawak.

Pada pembuatan pabrik yang telah tepasang paket alat dan mesin pertanian pengolah rimpang yang pengoperasiannya akan dikelola oleh pengrajin lingkup UKM ini, telah dijajagi pula untuk dilakukan kerja sama dengan beberapa industri pengolah biofarmaka. Diharapkan nantinya tercipta kontinuitas penjualan produk olahan pengrajin UKM ke industri pengolah dengan harga lebih tinggi dibandingkan sebelum menggunakan paket alat dan mesin penanganan pengolahan rimpang ini. Hasil pengolahan dengan mutu dan jumlah produksi yang meningkat akan menjadi keunggulan dari produk pengrajin UKM ini, dimana hal tersebut akan menjadi dasar penetapan harga antara pengrajin dengan industri.

Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka tersebut merupakan percontohan bagi LMDH atau kelompok tani biofarmaka di tempat lain. Apabila usaha ini berhasil maka akan berdampak positip bagi LMDH atau kelompok tani biofarmaka di seluruh Indonesia. Penggunaan paket teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan penghasilan pengolah biofarmaka di semua lini dengan target hingga 20%. Dengan biaya investasi pembangunan pabrik mini tersebut sebesar Rp. 140 juta.

Pabrik Mini Pengolahan Biofarmaka