P2PM HIV DAN TB

19
LAPORAN KEGIATAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM) F5. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR HIV-AIDS KOINFEKSI TB PARU OLEH: Dr. YOVAN INDRA BAYU PRAKOSA

Transcript of P2PM HIV DAN TB

Page 1: P2PM HIV DAN TB

LAPORAN KEGIATAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)

F5. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

HIV-AIDS KOINFEKSI TB PARU

OLEH:

Dr. YOVAN INDRA BAYU PRAKOSA

PUSKESMAS DHARMA RINI TEMANGGUNG

(Periode 11 Maret 2013 – 11 Juli 2013)

Page 2: P2PM HIV DAN TB

BAB I

LATAR BELAKANG

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa hingga tahun 2011

didapatkan + 34 juta orang penderita HIV dan hampir 12 juta orang diantaranya juga

terinfeksi tuberkulosis (TB). Hampir seperempat kematian pada pasien HIV-AIDS

disebabkan oleh TB, penyebab kematian terbanyak pada penderita TB. Pada tahun 2010,

tercatat sebanyak 350.000 orang penderita HIV koinfeksi dengan TB meninggal.

Diperkirakan ada sekitar 1,1 juta kasus TB baru yang positif HIV di seluruh dunia pada tahun

2010. Sekitar 82% berasal dari Sub-Sahara Afrika. (WHO, 2012)

Setidaknya sepertiga dari 34 juta penderita HIV di dunia koinfeksi dengan TB. Orang

dengan koinfeksi HIV-TB 21-34 kali lebih mudah berkembang menjadi TB aktif daripada

penderita TB yang HIV negatif (WHO, 2012). TB sendiri dapat berupa infeksi TB laten dan

TB aktif. TB laten berarti ada bakteri TB dalam tubuh pasien tapi tidak menimbulkan gejala

dan juga tidak dapat menular ke orang lain. Pasien HIV dengan TB laten harus segera

mendapat tatalaksana agar dapat menghambatnya menjadi TB aktif (CDC, 2012)

Data tahun 2011, diperkirakan ada 2,5 juta pasien baru terinfeksi HIV. Sebanyak 1,8

juta (72%) berasal dari Sub-Sahara Afrika. Pada tahun 2011, Sub-Sahara Afrika juga

menyumbang penderita HIV terbanyak sejumlah 23,5 juta (69% dari penderita HIV dunia).

Sedangkan di Asia Pasifik sendiri tecatat sebanyak 372.000 pasien baru terinfeksi HIV pada

tahun 2011, sehingga jumlah penderita HIV/AIDS di Asia Pasifik sekitar 5 juta dan sekitar 2

jutanya disertai koinfeksi TB. (WHO, 2012; UNAIDS World AIDS Day Report 2012).

Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka

morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara.

Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa

alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45%

berbanding 30%), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh

lebih besar di Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi

obat yang lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak

efektif. WHO memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia

pada dekade berikut (Iceman, 2000).

Artikel ini akan membahas tentang penanggulangan HIV/AIDS dengan koinfeksi TB

yang kebetulan ditemukan di wilayah Kecamatan Temanggung. Penulis juga akan membahas

tentang peran Puskesmas dalam penanggulangan HIV/AIDS koinfeksi TB.

Page 3: P2PM HIV DAN TB

BAB II

PERMASALAHAN

Kabupaten Temanggung menempati urutan keenam penderita HIV-AIDS terbanyak

se-Jawa Tengah. Hingga akhir triwulan pertama tahun 2013 (Januari-Maret 2013) jumlah

penderita HIV-AIDS di Kabupaten Temanggung bertambah 11 orang. Maka total penderita

mulai kali pertama ditemukan di Temanggung tahun 1997 sampai sekarang menjadi 217

orang. Dua kasus ditemukan di Kecamatan Temanggung, tiga kasus dari Kecamatan

Kandangan, tiga kasus dari luar kabupaten, dan masing-masing satu kasus dari Kecamatan

Gemawang, Bejen, serta Kedu. Penderita lainnya tersebar di 20 kecamatan yang ada di

Kabupaten Temanggung. Kecamatan Parakan masih menjadi kecamatan terbanyak, yakni 54

orang, disusul Kecamatan Temanggung 24 orang, dan Kandangan 14 orang. Rincian terdiri

dari 127 orang berjenis kelamin laki-laki dan 90 orang perempuan. Faktor heteroseksual

masih mendominasi penularan dengan jumlah 121 orang, disusul narkoba 70 orang, perinatal

16, dan homoseksual 10 orang. Dari 217 orang penderita, 109 diantaranya masih HIV dan

108 orang sudah AIDS. Dari 217 orang, 106 orang diantaranya telah meninggal. 82 orang

masih hidup sementara 29 orang lainnya tidak diketahui keberadaannya karena tempat

tinggalnya berpindah-pindah. Berdasarkan kategori usia, penderita yang masih balita usia 0-4

tahun ada 14 orang, usia 5-9 tahun ada 2 orang, usia 15-19 tahun 2 orang, usia 20-24 tahun 43

orang, usia 25-29 tahun 53 orang, 30-34 tahun 51 orang, usia 35-39 tahun 20 orang, usia 40-

44 tahun 20 orang, 45-49 tahun 9 orang, dan usia 50-55 tahun ada 3 orang. (KPA

Temanggung, 2013)

Pada tahun 2012, Puskesmas Dharma Rini sebagai UPT DKK Kabupaten

Temanggung mencatat ada 113 kasus baru klinis TB paru di wilayahnya. Dan bukan tidak

mungkin, dari 11 pasien tersebut ada yang koinfeksi HIV-TB. Seperti pada kasus berikut:

“Seorang perempuan, Ny. X, berumur 25 tahun, seorang janda tanpa

anak, menunjukkan klinis HIV-AIDS dengan TB paru. Awalnya pasien

mengeluhkan diare sejak 3 bulan yang lalu, kumat-kumatan. Pasien juga

mengeluhkan demam yang sumer-sumer. Saat diare, pernah dibawa dan

dirawat inap ke RSUD, didiagnosis dengan sakit thypoid. Selang beberapa

waktu, pasien juga mengeluhkan batuk lama yang tak kunjung sembuh.

Demam juga masih dirasakan, batuk dengan dahak kental berwarna putih.

Menurut keluarga dan pasien sendiri, berat badannya turun sangat drastis

lebih dari 8 kg selama 3 bulan ini. Saat batuk dada terasa sakit sekali.

Page 4: P2PM HIV DAN TB

Pasien pernah dilakukan pemeriksaan foto rontgen paru di RSUD dan

dikatakan menderita sakit TB Paru. Pasien diharuskan untuk menjalani

terapi pengobatan selama minimal 6 bulan dan ada satu obat yang harus

diminum seumur hidup untuk sakit parunya. Pengobatan untuk TB sudah

berjalan 2 bulan untuk obat berwarna merah, dan sekarang sudah seminggu

minum obat berwarna oranye. Selama pengobatan ini, batuk sudah

dirasakan berkurang. Dianjurkan untuk kontrol lagi minggu depan untuk

ambil obat yang lain. Pasien mempunyai faktor risiko penularan HIV-AIDS

yaitu free sex tanpa status pernikahan dan tanpa alat pengaman. Pasien

pernah menikah sekitar 4 tahun yang lalu, dan baru saja cerai tidak lebih

dari 6 bulan yang lalu. Setelah masa iddah selesai, rencana pasien ingin

menikah lagi dengan seorang laki-laki. Pasien sudah pernah berhubungan

intim dengan calon suaminya ini. Pada pemeriksaan fisik, secara umum

terlihat pasien tampak sangat lemah, kurus, dan susah untuk berjalan

(merasa gringgingen/kesemutan pada seluruh kakinya). TB 163 cm, BB 42

kg. Pasien tampak anemis, candidiasis oral (-), pemeriksaan thorax dbn,

extremitas neuropati perifer. Menurut sumber, hasil pemeriksaan penunjang

foto rontgen paru menunjukkan TB paru aktif (ada perbaikan dengan

pengobatan), BTA sudah konversi ke (-), dan CD4 masih tinggi (>200).

Diagnosis: Klinis HIV-AIDS koinfeksi TB paru aktif.”

Permasalahan yang timbul:

1. Bagaimana penatalaksanaan medis dan psikososial-spiritual untuk pasien ini (pasien

HIV-AIDS dengan koinfeksi TB)?

2. Bagaimana memutus rantai penularan ke orang lain, khususnya keluarganya?

3. Bagaimana prinsip counseling dan confedential pada pasien HIV-AIDS?

4. Bagaimana peran Puskesmas dalam pencegahan penularan HIV?

Page 5: P2PM HIV DAN TB

BAB III

PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

Permasalahan umum yang ditemui dalam penanggulangan HIV AIDS karena penyakit

ini sangat sensitif dan berdampak psikososial besar di masyarakat. Intervensi selama ini

dipegang sepenuhnya oleh tim VCT, mulai dari preventif, promotif, kuratif, dan

rehabilitatifnya. VCT yang saat ini diterapkan Indonesia untuk mendeteksi ODHA

merupakan tes yang dilakukan secara sukarela oleh seseorang yang ingin mengetahui status

HIV/AIDS-nya dengan terlebih dulu melalui tahap konseling secara empat mata sehingga

kerahasiaan terjamin. Akan tetapi VCT memiliki kelemahan, antara lain membutuhkan waktu

lama, sekitar satu jam per klien sehingga cakupannya sedikit. Kondisi tersebut dapat

diperbaiki dengan tes HIV yang inisiatifnya bukan berasal dari klien melainkan dari

penyedia/petugas layanan kesehatan atau Provider Initiated HIV Testing and Counseling

(PITC) (Mangku, 2007). Dalam hal ini, perlu dikembangkan lagi kerja sama antara tim VCT,

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dan juga Puskesmas sebagai UPT dari Dinas

Kesehatan terkait.

Perencanaan dan pemilihan intervensi pada pasien ODHA ini dapat dibagi menjadi

tiga, intervensi secara personal ODHA, keluarga dan orang di sekitarnya yang berisiko

tertular, lingkungan/masyarakat secara umum.

Perencanaan dan pemilihan intervensi untuk:

1. Pasien ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS)

a. Pengobatan dengan anti retroviral (ARV) untuk menekan replikasi virus.

b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang

menyertai, seperti tuberkulosis, jamur, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi,

limfoma.

c. Pengobatan suportif, seperti imunonutrisi, dukungan psikososial, dan dukungan

agama.

d. Segala hal berkaitan dengan konseling dan terapi, juga tentang promotif-preventif

risiko penularan secara personal diberikan oleh tim VCT.

Pada pasien ODHA koinfeksi dengan TB:(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,

2010)

- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam

jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat.

Page 6: P2PM HIV DAN TB

- Pada pasien koinfeksi HIV/AIDS dan TB yang tidak memberi respon terhadap

terapi, selain dipikirkan terdapat resistensi obat juga harus dipikirkan terdapatnya

malabsorbsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi

yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang

diterima menjadi suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.

- Pemberian obat pada koinfeksi HIV/AIDS dan TB harus memperhatikan jumlah

limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi berikut.

Tabel 1. Pengobatan TB-HIV/AIDS

Jumlah CD4 Rejimen yang Dianjurkan Keterangan

< 200/mm3 - Mulai terapi TB

- Mulai anti retroviral

therapy (ART) segera

setelah terapi TB dapat

ditoleransi (antara 2

minggu hingga 2 bulan)

- Paduan yang mengandung

Efavirenz (EFV) b,c,d

Dianjurkan ART:

EFV merupakan kontraindikasi untuk ibu

hamil atau perempuan usia subur tanpa

kontrasepsi efektif.

EFV dapat diganti dengan:

- SQV/RTV 400/400 mg 2 kali sehari

- SQV/r 1600/200 mg 4 kali sehari (dalam

formula soft gel-sgc) atau

- LPV/RTV 400/400 mg 2 kali sehari

- ABC

200-350/mm3 Mulai terapi TB Pertimbangan ART

Mulai salah satu paduan di bawah ini

setelah selesai fase intensif:

- Paduan yang mengandung EFV: b

(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau

800 mg/hari)

- Paduan yang mengandung NVP (bila

paduan TB fase lanjutan tidak

menggunakan rifampisin):

(AZT atau d4T) + 3TC + NVP

>350/mm3 Mulai terapi TB Tunda ART

CD4 tidak

mungkin

diperiksa

Mulai terapi TB Pertimbangan ART

Page 7: P2PM HIV DAN TB

Keterangan tabel:

a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan

dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART

harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi tanpa

memandang CD4.

b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau

cgc 1600/200 mg 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari), dan ABC

(300 mg 2 kali sehari).

c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)

sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung

NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP.

d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV/3TC/EFV.

e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai.

f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan

perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB

diselesaikan.

g. Penggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam

pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa

permasalahan yaitu adanya tumpang tindih toksisitas dari obat antiretrovirus

dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan obat antiretrovirus yang

kompleks, serta adanya reaksi paradoksal. (Burman, 2001)

h. Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda

manifestasi radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan

bukan disebabkan oleh kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi

paradoksal ini sudah mulai didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada

penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga merupakan gambaran

reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman TB yang

mati akibat OAT (Burman, 2001). Gejala klinis reaksi paradoksal yang

berkaitan dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran

kelenjar getah bening, timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang

sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan

lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. Reaksi paradoksal dapat juga terjadi

pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus (Fishman, 2000).

Page 8: P2PM HIV DAN TB

2. Keluarga sekitar yang berisiko tertular

Promotif dan preventif untuk menghindari penularan HIV. Yang menjadi

permasalahan, confedential (kerahasiaan) pasien sangat dijaga sekali oleh tim VCT.

Penderita berhak menentukan kepada siapa saja informasi ini dapat diberitahukan,

termasuk juga jika pasien tidak menginginkan satu orang pun dalam keluarganya

yang mengetahuinya. Sebaiknya tim VCT memberikan pertimbangan kepada pasien

tentang untung ruginya informasi diberikan kepada satu-dua orang dari keluarganya.

3. Lingkungan masyarakat secara umum

Penulis mengkhususkan tentang peran yang bisa dilakukan Puskesmas, yaitu:

a. Puskesmas sebagai garis terdepan dalam promotif dan preventif penularan HIV.

“Sasaran khususnya orang-orang yang berisiko tinggi; remaja sekolah, usia

produktif, dan para pekerja seks komersial. Program dapat berupa penyuluhan

tentang bahaya free sex, penularan HIV dan penyakit menular seksual lainnya,

bahaya merokok dan narkoba, pendidikan tentang sex yang aman.”

b. Puskesmas dapat bertindak dan membantu melakukan PITC (Provider Initiated

HIV Testing and Counseling).

“Menurut pedoman PITC, fasilitas kesehatan yang dapat direkomendasikan PITC

adalah RS, klinik TB/suspek TB, IMS, KIA/KB, pelayanan kesehatan untuk

populasi yang berisiko, pelayanan kesehatan untuk anak dan remaja, pelayanan

bedah, serta pelayanan kesehatan reproduksi. (Sary, 2009) Walaupun belum

seideal yang diharapkan, Puskesmas dapat membantu screening ODHA dengan

TB paru sehingga bisa segera dirujuk ke tim VCT. Yang perlu diingat, hanya

pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, yaitu:

- Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV

- Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan

- MDR TB / TB kronik.” (PDPI. 2010)

c. Pengendalian HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari pengendalian TB.

Peningkatan penemuan kasus HIV/AIDS dapat berhubungan dengan peningkatan

penemuan kasus TB, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Puskesmas Dharma

Rini perlu meningkatkan angka penemuan kasus (CDR) TB.

Epidemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak

bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik

tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab

utama kematian pada orang dengan HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).

Page 9: P2PM HIV DAN TB

BAB IV

PELAKSANAAN

Telah dilakukan kunjungan ke rumah pasien dan ke tim VCT pada tanggal 4 dan 6

April 2013 dengan hasil sebagai berikut:

1. Program untuk penanggulangan HIV/AIDS perlu melibatkan banyak pihak. Lingkup kerja

program ini di tingkat daerah dilakukan oleh tim VCT, KPA, dan Puskesmas sebagai UPT

Dinas Kesehatan Kabupaten. Tim VCT RSUD bergerak dan bekerja secara interpersonal

dengan pasien HIV/AIDS, mulai dari tindakan preventif, promotif, kuratif, dan

rehabilitatif pasien itu. Tim KPA memiliki data-data tentang perkembangan penyakit ini di

wilayah. Tim KPA dan Puskesmas bekerja dalam lingkup promotif dan preventif untuk

mengurangi dan menekan angka penularan HIV supaya masyarakat dapat terbebas dari

hal-hal berisiko untuk terjangkit penyakit ini.

2. Intervensi medis dilakukan oleh pihak tim VCT. Pasien ODHA yang kami hadapi

koinfeksi dengan TB terdiagnosis melalui klinis TB dan pemeriksaan foto thorax. Pasien

telah diberikan konseling dan terapi. Konseling berupa pengetahuan tentang HIV/AIDS,

cara penularan, cara meningkatkan kualitas kehidupan, yang sudah mencakup preventif,

promotif, dan kuratif.

a. Intervensi kepada pasien HIV/AIDS koinfeksi TB

1) Pasien dalam pengobatan TB kategori I, baru saja menyelesaikan fase intensif

selama 2 bulan dan mulai masuk pada fase lanjutan. Pada saat menyelesaikan fase

intensif, pasien mengalami perbaikan baik secara klinis (keluhan batuk berkurang),

maupun perbaikan dalam pemeriksaan penunjang BTA dan rontgen thorax. Fase

lanjutan direncanakan selama minimal 4 bulan dan akan dilanjutkan dengan

pemberian INH seumur hidup.

2) Pasien belum diberi ART untuk menekan replikasi virus, mengingat jumlah CD4

dalam darah pasien masih tinggi >200/mm3.

3) Saat ini pasien mengeluh kesemutan yang diperkirakan akibat efek samping INH.

Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dosis 100 mg per hari atau

dengan pemberian vitamin B kompleks.

4) Pemberian informasi tentang imunonutrisi dengan pemberian diet makanan tinggi

kalori dan protein. Juga disarankan untuk mengonsumsi makanan yang banyak

mengandung zat besi untuk mencegah anemia. Penelitian menyatakan bahwa

adanya hubungan bermakna secara statistik antara kadar hemoglobin dengan

Page 10: P2PM HIV DAN TB

terjadinya koinfeksi tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS. Penelitian Muhammed

Taha menunjukkan bahwa anemia akan memperberat defisiensi imun dan

meningkatkan risiko terjadinya tuberkulosis. Penelitian Tendesayi Kufa (2011)

menyebutkan bahwa kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL meningkatkan

kemungkinan sebesar tiga kali lipat terhadap terjadinya tuberkulosis.

5) Motivasi penderita untuk tetap hidup bersosialisasi dengan masyarakat, dan

meningkatkan kualitas dan kuantitas dan beribadah agar hidupnya lebih bermakna.

b. Keluarga sekitar yang berisiko tertular

Pemberian informasi kepada keluarga tergantung dari keinginan pasien. Sesuai

izin dari pasien, tim VCT telah memberikan KIE kepada salah satu keluarga pasien

tentang penyakit pasien, cara penularan, dan tips untuk memotivasi pasien agar tetap

semangat hidup berkualitas dan memutus rantai penularan. Cara penularan yang perlu

diwaspadai adalah penularan melalui darah, cairan mani atau vagina, air susu, luka-

luka kecil, dan tidak menular melalui keringat, berjabat tangan, tinggal serumah,

penggunaan alat makan, batuk atau bersin. Mengingat pasien juga menderita TB,

diberi tahu juga tentang penularan TB dan pencegahannya. Pencegahan TB dengan

menjaga kebersihan diri dan rumah, pemakaian masker, tidak meludah di sembarang

tempat, tidak membiarkan kamar dalam rumah lembah dengan cara ventilasi dan

pencahayaan dari cahaya matahari langsung.

Permasalahan yang lain adalah pasien berencana untuk menikah lagi dan sudah

telanjur melakukan hubungan intim dengan calon suaminya. Pemberian konseling

kepada pasien dan menanyakan apakah sudah dipertimbangkan baik-baik tentang

risikonya kelak ketika calon suami mengetahui penyakit pasien, juga ketika akan

memutuskan untuk memiliki anak yang sangat berisiko untuk menularkan ke calon

anaknya. Saat ini pasien masih memikirkannya dan memang tidak akan menikah

dalam waktu dekat ini karena memang kondisinya masih lemah.

c. Lingkungan masyarakat secara umum

1) Puskesmas sebagai garis terdepan dalam promotif dan preventif penularan HIV.

2) Puskesmas dapat bertindak dan membantu melakukan PITC (Provider Initiated

HIV Testing and Counseling) dengan cara melakukan screening kasus khususnya

pada penderita TB di wilayah kerjanya yang berisiko untuk menderita HIV/AIDS

juga.

3) Puskesmas Dharma Rini perlu meningkatkan angka penemuan kasus (CDR) TB.

Page 11: P2PM HIV DAN TB

BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

Proses monitoring dan evaluasi pasien HIV/AIDS juga melibatkan Puskesmas. Dalam

hal ini Puskesmas bertindak sebagai penyokong kerja tim VCT dan KPA.

1. Puskesmas ikut memotivasi penderita untuk rutin dan semangat menjalani segala macam

terapi yang diberikan oleh tim VCT.

Saat ini pasien rutin kontrol ke tim VCT, pasien masih dalam pengobatan TB fase

lanjutan. Direncanakan akan diberikan obat ARV ketika CD4 serialnya terus mengalami

penurunan sampai <200/mm3. Dengan pemberian piridoksin, keluhan neuropati pasien

mulai berkurang dan dapat mulai berjalan normal kembali.

2. Puskesmas selalu memantau keluarga pasien yang memiliki risiko tertular penyakit, baik

itu penyakit HIV/AIDS atau TB nya.

Pemberian informasi selalu tentang gejala-gejala penyakit TB. Apabila salah satu

dari keluarga sakit atau menunjukkan gejala sakit TB, disarankan untuk segera periksa

ke Puskesmas untuk menjalani berbagai pemeriksaan untuk diagnosis penyakit TB.

Puskesmas mengambil sampel dahak keluarga pasien dan memerlukan pemeriksaan ter

tuberkulin untuk pasien anak-anak.

3. Pengendalian HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari pengendalian TB. Peningkatan

penemuan kasus HIV/AIDS dapat berhubungan dengan peningkatan penemuan kasus TB,

begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Puskesmas Dharma Rini perlu meningkatkan

angka penemuan kasus (CDR) TB.

Angka penemuan kasus TB dinilai masih rendah. Perlu dilakukan strategi untuk

meningkatkan angka penemuan kasus TB ini. Evaluasi tahunan harus selalu diarahkan

untuk meningkatkan CDR TB Puskesmas.

Page 12: P2PM HIV DAN TB

DAFTAR PUSTAKA

Burman WJ, Jones BE. 2001. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy. Am J Respir Crit Care Med: 164: 7-12.

CDC. 2012. HIV and Tuberculosis. Diakses pada tanggal 8 April 2013 di http://www.cdc.gov/hiv/resources/factsheets/hivtb.htm

Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp: 37-57.

Desy AP. 2012. Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Karyadi Semarang. Semarang: Jurnal Media Medika Muda

Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient chest radiographic worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000; 174: 43-9.

Iceman MD. 2000. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp: 199-243.

Kufa T, Mngomezulu V, Charalombous S, Hanifa Y, Fielding K, Grant A, et al. 2011. Undiagnosed Tuberculosis Among HIV Clinic Attendees: Association With Antiretroviral Therapy and Implications for Intensified Case Finding, Isoniazid Preventive Therapy, and Infection Control.

Mangku. 2007. Kesehatan: Mana Lebih Dulu Diobati, HIV atau TB? Diakses di http://www.suarakarya-online.com/ news.html?category_name=Sehat

Nasronudin. 2007. HIV dan AIDS: Pendekatan BIologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, pp: 47-50

Sary, Lolita. 2009. Analisis Pelaksanaan Strategi Pelayanan Provider Initiated HIV Testing And Counseling / PITC (Studi Kasus Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4, pp: 86-92.

Taha M, Deribew A, Tessema F, Assegid S, Duchateau L, Colebunders R. 2011. Risk factors of active tuberculosis in people living with HIV/AIDS in Southwest Ethiopia: A case control study.

WHO. 1997. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2nd Ed. World Health Organization, pp: 45-8.

World Health Organization. 2012. TB/HIV facts 2011/2012. Diakses 8 April 2013.