P2PM HIV DAN TB
-
Upload
yovan-prakosa -
Category
Documents
-
view
74 -
download
10
Transcript of P2PM HIV DAN TB
LAPORAN KEGIATAN USAHA KESEHATAN MASYARAKAT (UKM)
F5. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR
HIV-AIDS KOINFEKSI TB PARU
OLEH:
Dr. YOVAN INDRA BAYU PRAKOSA
PUSKESMAS DHARMA RINI TEMANGGUNG
(Periode 11 Maret 2013 – 11 Juli 2013)
BAB I
LATAR BELAKANG
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa hingga tahun 2011
didapatkan + 34 juta orang penderita HIV dan hampir 12 juta orang diantaranya juga
terinfeksi tuberkulosis (TB). Hampir seperempat kematian pada pasien HIV-AIDS
disebabkan oleh TB, penyebab kematian terbanyak pada penderita TB. Pada tahun 2010,
tercatat sebanyak 350.000 orang penderita HIV koinfeksi dengan TB meninggal.
Diperkirakan ada sekitar 1,1 juta kasus TB baru yang positif HIV di seluruh dunia pada tahun
2010. Sekitar 82% berasal dari Sub-Sahara Afrika. (WHO, 2012)
Setidaknya sepertiga dari 34 juta penderita HIV di dunia koinfeksi dengan TB. Orang
dengan koinfeksi HIV-TB 21-34 kali lebih mudah berkembang menjadi TB aktif daripada
penderita TB yang HIV negatif (WHO, 2012). TB sendiri dapat berupa infeksi TB laten dan
TB aktif. TB laten berarti ada bakteri TB dalam tubuh pasien tapi tidak menimbulkan gejala
dan juga tidak dapat menular ke orang lain. Pasien HIV dengan TB laten harus segera
mendapat tatalaksana agar dapat menghambatnya menjadi TB aktif (CDC, 2012)
Data tahun 2011, diperkirakan ada 2,5 juta pasien baru terinfeksi HIV. Sebanyak 1,8
juta (72%) berasal dari Sub-Sahara Afrika. Pada tahun 2011, Sub-Sahara Afrika juga
menyumbang penderita HIV terbanyak sejumlah 23,5 juta (69% dari penderita HIV dunia).
Sedangkan di Asia Pasifik sendiri tecatat sebanyak 372.000 pasien baru terinfeksi HIV pada
tahun 2011, sehingga jumlah penderita HIV/AIDS di Asia Pasifik sekitar 5 juta dan sekitar 2
jutanya disertai koinfeksi TB. (WHO, 2012; UNAIDS World AIDS Day Report 2012).
Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka
morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara.
Situasi di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa
alasan yaitu karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45%
berbanding 30%), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh
lebih besar di Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi
obat yang lebih besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak
efektif. WHO memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia
pada dekade berikut (Iceman, 2000).
Artikel ini akan membahas tentang penanggulangan HIV/AIDS dengan koinfeksi TB
yang kebetulan ditemukan di wilayah Kecamatan Temanggung. Penulis juga akan membahas
tentang peran Puskesmas dalam penanggulangan HIV/AIDS koinfeksi TB.
BAB II
PERMASALAHAN
Kabupaten Temanggung menempati urutan keenam penderita HIV-AIDS terbanyak
se-Jawa Tengah. Hingga akhir triwulan pertama tahun 2013 (Januari-Maret 2013) jumlah
penderita HIV-AIDS di Kabupaten Temanggung bertambah 11 orang. Maka total penderita
mulai kali pertama ditemukan di Temanggung tahun 1997 sampai sekarang menjadi 217
orang. Dua kasus ditemukan di Kecamatan Temanggung, tiga kasus dari Kecamatan
Kandangan, tiga kasus dari luar kabupaten, dan masing-masing satu kasus dari Kecamatan
Gemawang, Bejen, serta Kedu. Penderita lainnya tersebar di 20 kecamatan yang ada di
Kabupaten Temanggung. Kecamatan Parakan masih menjadi kecamatan terbanyak, yakni 54
orang, disusul Kecamatan Temanggung 24 orang, dan Kandangan 14 orang. Rincian terdiri
dari 127 orang berjenis kelamin laki-laki dan 90 orang perempuan. Faktor heteroseksual
masih mendominasi penularan dengan jumlah 121 orang, disusul narkoba 70 orang, perinatal
16, dan homoseksual 10 orang. Dari 217 orang penderita, 109 diantaranya masih HIV dan
108 orang sudah AIDS. Dari 217 orang, 106 orang diantaranya telah meninggal. 82 orang
masih hidup sementara 29 orang lainnya tidak diketahui keberadaannya karena tempat
tinggalnya berpindah-pindah. Berdasarkan kategori usia, penderita yang masih balita usia 0-4
tahun ada 14 orang, usia 5-9 tahun ada 2 orang, usia 15-19 tahun 2 orang, usia 20-24 tahun 43
orang, usia 25-29 tahun 53 orang, 30-34 tahun 51 orang, usia 35-39 tahun 20 orang, usia 40-
44 tahun 20 orang, 45-49 tahun 9 orang, dan usia 50-55 tahun ada 3 orang. (KPA
Temanggung, 2013)
Pada tahun 2012, Puskesmas Dharma Rini sebagai UPT DKK Kabupaten
Temanggung mencatat ada 113 kasus baru klinis TB paru di wilayahnya. Dan bukan tidak
mungkin, dari 11 pasien tersebut ada yang koinfeksi HIV-TB. Seperti pada kasus berikut:
“Seorang perempuan, Ny. X, berumur 25 tahun, seorang janda tanpa
anak, menunjukkan klinis HIV-AIDS dengan TB paru. Awalnya pasien
mengeluhkan diare sejak 3 bulan yang lalu, kumat-kumatan. Pasien juga
mengeluhkan demam yang sumer-sumer. Saat diare, pernah dibawa dan
dirawat inap ke RSUD, didiagnosis dengan sakit thypoid. Selang beberapa
waktu, pasien juga mengeluhkan batuk lama yang tak kunjung sembuh.
Demam juga masih dirasakan, batuk dengan dahak kental berwarna putih.
Menurut keluarga dan pasien sendiri, berat badannya turun sangat drastis
lebih dari 8 kg selama 3 bulan ini. Saat batuk dada terasa sakit sekali.
Pasien pernah dilakukan pemeriksaan foto rontgen paru di RSUD dan
dikatakan menderita sakit TB Paru. Pasien diharuskan untuk menjalani
terapi pengobatan selama minimal 6 bulan dan ada satu obat yang harus
diminum seumur hidup untuk sakit parunya. Pengobatan untuk TB sudah
berjalan 2 bulan untuk obat berwarna merah, dan sekarang sudah seminggu
minum obat berwarna oranye. Selama pengobatan ini, batuk sudah
dirasakan berkurang. Dianjurkan untuk kontrol lagi minggu depan untuk
ambil obat yang lain. Pasien mempunyai faktor risiko penularan HIV-AIDS
yaitu free sex tanpa status pernikahan dan tanpa alat pengaman. Pasien
pernah menikah sekitar 4 tahun yang lalu, dan baru saja cerai tidak lebih
dari 6 bulan yang lalu. Setelah masa iddah selesai, rencana pasien ingin
menikah lagi dengan seorang laki-laki. Pasien sudah pernah berhubungan
intim dengan calon suaminya ini. Pada pemeriksaan fisik, secara umum
terlihat pasien tampak sangat lemah, kurus, dan susah untuk berjalan
(merasa gringgingen/kesemutan pada seluruh kakinya). TB 163 cm, BB 42
kg. Pasien tampak anemis, candidiasis oral (-), pemeriksaan thorax dbn,
extremitas neuropati perifer. Menurut sumber, hasil pemeriksaan penunjang
foto rontgen paru menunjukkan TB paru aktif (ada perbaikan dengan
pengobatan), BTA sudah konversi ke (-), dan CD4 masih tinggi (>200).
Diagnosis: Klinis HIV-AIDS koinfeksi TB paru aktif.”
Permasalahan yang timbul:
1. Bagaimana penatalaksanaan medis dan psikososial-spiritual untuk pasien ini (pasien
HIV-AIDS dengan koinfeksi TB)?
2. Bagaimana memutus rantai penularan ke orang lain, khususnya keluarganya?
3. Bagaimana prinsip counseling dan confedential pada pasien HIV-AIDS?
4. Bagaimana peran Puskesmas dalam pencegahan penularan HIV?
BAB III
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
Permasalahan umum yang ditemui dalam penanggulangan HIV AIDS karena penyakit
ini sangat sensitif dan berdampak psikososial besar di masyarakat. Intervensi selama ini
dipegang sepenuhnya oleh tim VCT, mulai dari preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatifnya. VCT yang saat ini diterapkan Indonesia untuk mendeteksi ODHA
merupakan tes yang dilakukan secara sukarela oleh seseorang yang ingin mengetahui status
HIV/AIDS-nya dengan terlebih dulu melalui tahap konseling secara empat mata sehingga
kerahasiaan terjamin. Akan tetapi VCT memiliki kelemahan, antara lain membutuhkan waktu
lama, sekitar satu jam per klien sehingga cakupannya sedikit. Kondisi tersebut dapat
diperbaiki dengan tes HIV yang inisiatifnya bukan berasal dari klien melainkan dari
penyedia/petugas layanan kesehatan atau Provider Initiated HIV Testing and Counseling
(PITC) (Mangku, 2007). Dalam hal ini, perlu dikembangkan lagi kerja sama antara tim VCT,
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), dan juga Puskesmas sebagai UPT dari Dinas
Kesehatan terkait.
Perencanaan dan pemilihan intervensi pada pasien ODHA ini dapat dibagi menjadi
tiga, intervensi secara personal ODHA, keluarga dan orang di sekitarnya yang berisiko
tertular, lingkungan/masyarakat secara umum.
Perencanaan dan pemilihan intervensi untuk:
1. Pasien ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS)
a. Pengobatan dengan anti retroviral (ARV) untuk menekan replikasi virus.
b. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai, seperti tuberkulosis, jamur, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi,
limfoma.
c. Pengobatan suportif, seperti imunonutrisi, dukungan psikososial, dan dukungan
agama.
d. Segala hal berkaitan dengan konseling dan terapi, juga tentang promotif-preventif
risiko penularan secara personal diberikan oleh tim VCT.
Pada pasien ODHA koinfeksi dengan TB:(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2010)
- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat.
- Pada pasien koinfeksi HIV/AIDS dan TB yang tidak memberi respon terhadap
terapi, selain dipikirkan terdapat resistensi obat juga harus dipikirkan terdapatnya
malabsorbsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi
yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang
diterima menjadi suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.
- Pemberian obat pada koinfeksi HIV/AIDS dan TB harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi berikut.
Tabel 1. Pengobatan TB-HIV/AIDS
Jumlah CD4 Rejimen yang Dianjurkan Keterangan
< 200/mm3 - Mulai terapi TB
- Mulai anti retroviral
therapy (ART) segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 2 bulan)
- Paduan yang mengandung
Efavirenz (EFV) b,c,d
Dianjurkan ART:
EFV merupakan kontraindikasi untuk ibu
hamil atau perempuan usia subur tanpa
kontrasepsi efektif.
EFV dapat diganti dengan:
- SQV/RTV 400/400 mg 2 kali sehari
- SQV/r 1600/200 mg 4 kali sehari (dalam
formula soft gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2 kali sehari
- ABC
200-350/mm3 Mulai terapi TB Pertimbangan ART
Mulai salah satu paduan di bawah ini
setelah selesai fase intensif:
- Paduan yang mengandung EFV: b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari)
- Paduan yang mengandung NVP (bila
paduan TB fase lanjutan tidak
menggunakan rifampisin):
(AZT atau d4T) + 3TC + NVP
>350/mm3 Mulai terapi TB Tunda ART
CD4 tidak
mungkin
diperiksa
Mulai terapi TB Pertimbangan ART
Keterangan tabel:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART
harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi tanpa
memandang CD4.
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau
cgc 1600/200 mg 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari), dan ABC
(300 mg 2 kali sehari).
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)
sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang mengandung
NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP.
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV/3TC/EFV.
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai.
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan.
g. Penggunaan antiretrovirus pada penderita HIV/AIDS yang sedang dalam
pengobatan dengan obat antituberkulosis (OAT) dapat menimbulkan beberapa
permasalahan yaitu adanya tumpang tindih toksisitas dari obat antiretrovirus
dan OAT, malabsorbsi OAT, interaksi OAT dan obat antiretrovirus yang
kompleks, serta adanya reaksi paradoksal. (Burman, 2001)
h. Reaksi paradoksal adalah perburukan sesaat dari gejala dan tanda-tanda
manifestasi radiologis TB yang terjadi setelah dimulainya pengobatan TB dan
bukan disebabkan oleh kegagalan terapi atau adanya proses sekunder. Reaksi
paradoksal ini sudah mulai didapatkan sebelum era HIV/AIDS dan pada
penderita yang imunokompeten reaksi ini diduga merupakan gambaran
reaktifitas sistem imun terhadap antigen yang dilepaskan oleh kuman TB yang
mati akibat OAT (Burman, 2001). Gejala klinis reaksi paradoksal yang
berkaitan dengan pengobatan antiretrovirus adalah demam, pembesaran
kelenjar getah bening, timbul infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat yang
sudah ada sebelumnya, serositis (pleuritis perikarditis, asites), lesi kulit dan
lesi desak ruang pada susunan saraf pusat. Reaksi paradoksal dapat juga terjadi
pada penderita yang belum mendapatkan obat antiretrovirus (Fishman, 2000).
2. Keluarga sekitar yang berisiko tertular
Promotif dan preventif untuk menghindari penularan HIV. Yang menjadi
permasalahan, confedential (kerahasiaan) pasien sangat dijaga sekali oleh tim VCT.
Penderita berhak menentukan kepada siapa saja informasi ini dapat diberitahukan,
termasuk juga jika pasien tidak menginginkan satu orang pun dalam keluarganya
yang mengetahuinya. Sebaiknya tim VCT memberikan pertimbangan kepada pasien
tentang untung ruginya informasi diberikan kepada satu-dua orang dari keluarganya.
3. Lingkungan masyarakat secara umum
Penulis mengkhususkan tentang peran yang bisa dilakukan Puskesmas, yaitu:
a. Puskesmas sebagai garis terdepan dalam promotif dan preventif penularan HIV.
“Sasaran khususnya orang-orang yang berisiko tinggi; remaja sekolah, usia
produktif, dan para pekerja seks komersial. Program dapat berupa penyuluhan
tentang bahaya free sex, penularan HIV dan penyakit menular seksual lainnya,
bahaya merokok dan narkoba, pendidikan tentang sex yang aman.”
b. Puskesmas dapat bertindak dan membantu melakukan PITC (Provider Initiated
HIV Testing and Counseling).
“Menurut pedoman PITC, fasilitas kesehatan yang dapat direkomendasikan PITC
adalah RS, klinik TB/suspek TB, IMS, KIA/KB, pelayanan kesehatan untuk
populasi yang berisiko, pelayanan kesehatan untuk anak dan remaja, pelayanan
bedah, serta pelayanan kesehatan reproduksi. (Sary, 2009) Walaupun belum
seideal yang diharapkan, Puskesmas dapat membantu screening ODHA dengan
TB paru sehingga bisa segera dirujuk ke tim VCT. Yang perlu diingat, hanya
pasien TB paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, yaitu:
- Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
- Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
- MDR TB / TB kronik.” (PDPI. 2010)
c. Pengendalian HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari pengendalian TB.
Peningkatan penemuan kasus HIV/AIDS dapat berhubungan dengan peningkatan
penemuan kasus TB, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Puskesmas Dharma
Rini perlu meningkatkan angka penemuan kasus (CDR) TB.
Epidemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak
bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik
tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab
utama kematian pada orang dengan HIV/AIDS (Nasronudin, 2007).
BAB IV
PELAKSANAAN
Telah dilakukan kunjungan ke rumah pasien dan ke tim VCT pada tanggal 4 dan 6
April 2013 dengan hasil sebagai berikut:
1. Program untuk penanggulangan HIV/AIDS perlu melibatkan banyak pihak. Lingkup kerja
program ini di tingkat daerah dilakukan oleh tim VCT, KPA, dan Puskesmas sebagai UPT
Dinas Kesehatan Kabupaten. Tim VCT RSUD bergerak dan bekerja secara interpersonal
dengan pasien HIV/AIDS, mulai dari tindakan preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif pasien itu. Tim KPA memiliki data-data tentang perkembangan penyakit ini di
wilayah. Tim KPA dan Puskesmas bekerja dalam lingkup promotif dan preventif untuk
mengurangi dan menekan angka penularan HIV supaya masyarakat dapat terbebas dari
hal-hal berisiko untuk terjangkit penyakit ini.
2. Intervensi medis dilakukan oleh pihak tim VCT. Pasien ODHA yang kami hadapi
koinfeksi dengan TB terdiagnosis melalui klinis TB dan pemeriksaan foto thorax. Pasien
telah diberikan konseling dan terapi. Konseling berupa pengetahuan tentang HIV/AIDS,
cara penularan, cara meningkatkan kualitas kehidupan, yang sudah mencakup preventif,
promotif, dan kuratif.
a. Intervensi kepada pasien HIV/AIDS koinfeksi TB
1) Pasien dalam pengobatan TB kategori I, baru saja menyelesaikan fase intensif
selama 2 bulan dan mulai masuk pada fase lanjutan. Pada saat menyelesaikan fase
intensif, pasien mengalami perbaikan baik secara klinis (keluhan batuk berkurang),
maupun perbaikan dalam pemeriksaan penunjang BTA dan rontgen thorax. Fase
lanjutan direncanakan selama minimal 4 bulan dan akan dilanjutkan dengan
pemberian INH seumur hidup.
2) Pasien belum diberi ART untuk menekan replikasi virus, mengingat jumlah CD4
dalam darah pasien masih tinggi >200/mm3.
3) Saat ini pasien mengeluh kesemutan yang diperkirakan akibat efek samping INH.
Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dosis 100 mg per hari atau
dengan pemberian vitamin B kompleks.
4) Pemberian informasi tentang imunonutrisi dengan pemberian diet makanan tinggi
kalori dan protein. Juga disarankan untuk mengonsumsi makanan yang banyak
mengandung zat besi untuk mencegah anemia. Penelitian menyatakan bahwa
adanya hubungan bermakna secara statistik antara kadar hemoglobin dengan
terjadinya koinfeksi tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS. Penelitian Muhammed
Taha menunjukkan bahwa anemia akan memperberat defisiensi imun dan
meningkatkan risiko terjadinya tuberkulosis. Penelitian Tendesayi Kufa (2011)
menyebutkan bahwa kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL meningkatkan
kemungkinan sebesar tiga kali lipat terhadap terjadinya tuberkulosis.
5) Motivasi penderita untuk tetap hidup bersosialisasi dengan masyarakat, dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas dan beribadah agar hidupnya lebih bermakna.
b. Keluarga sekitar yang berisiko tertular
Pemberian informasi kepada keluarga tergantung dari keinginan pasien. Sesuai
izin dari pasien, tim VCT telah memberikan KIE kepada salah satu keluarga pasien
tentang penyakit pasien, cara penularan, dan tips untuk memotivasi pasien agar tetap
semangat hidup berkualitas dan memutus rantai penularan. Cara penularan yang perlu
diwaspadai adalah penularan melalui darah, cairan mani atau vagina, air susu, luka-
luka kecil, dan tidak menular melalui keringat, berjabat tangan, tinggal serumah,
penggunaan alat makan, batuk atau bersin. Mengingat pasien juga menderita TB,
diberi tahu juga tentang penularan TB dan pencegahannya. Pencegahan TB dengan
menjaga kebersihan diri dan rumah, pemakaian masker, tidak meludah di sembarang
tempat, tidak membiarkan kamar dalam rumah lembah dengan cara ventilasi dan
pencahayaan dari cahaya matahari langsung.
Permasalahan yang lain adalah pasien berencana untuk menikah lagi dan sudah
telanjur melakukan hubungan intim dengan calon suaminya. Pemberian konseling
kepada pasien dan menanyakan apakah sudah dipertimbangkan baik-baik tentang
risikonya kelak ketika calon suami mengetahui penyakit pasien, juga ketika akan
memutuskan untuk memiliki anak yang sangat berisiko untuk menularkan ke calon
anaknya. Saat ini pasien masih memikirkannya dan memang tidak akan menikah
dalam waktu dekat ini karena memang kondisinya masih lemah.
c. Lingkungan masyarakat secara umum
1) Puskesmas sebagai garis terdepan dalam promotif dan preventif penularan HIV.
2) Puskesmas dapat bertindak dan membantu melakukan PITC (Provider Initiated
HIV Testing and Counseling) dengan cara melakukan screening kasus khususnya
pada penderita TB di wilayah kerjanya yang berisiko untuk menderita HIV/AIDS
juga.
3) Puskesmas Dharma Rini perlu meningkatkan angka penemuan kasus (CDR) TB.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Proses monitoring dan evaluasi pasien HIV/AIDS juga melibatkan Puskesmas. Dalam
hal ini Puskesmas bertindak sebagai penyokong kerja tim VCT dan KPA.
1. Puskesmas ikut memotivasi penderita untuk rutin dan semangat menjalani segala macam
terapi yang diberikan oleh tim VCT.
Saat ini pasien rutin kontrol ke tim VCT, pasien masih dalam pengobatan TB fase
lanjutan. Direncanakan akan diberikan obat ARV ketika CD4 serialnya terus mengalami
penurunan sampai <200/mm3. Dengan pemberian piridoksin, keluhan neuropati pasien
mulai berkurang dan dapat mulai berjalan normal kembali.
2. Puskesmas selalu memantau keluarga pasien yang memiliki risiko tertular penyakit, baik
itu penyakit HIV/AIDS atau TB nya.
Pemberian informasi selalu tentang gejala-gejala penyakit TB. Apabila salah satu
dari keluarga sakit atau menunjukkan gejala sakit TB, disarankan untuk segera periksa
ke Puskesmas untuk menjalani berbagai pemeriksaan untuk diagnosis penyakit TB.
Puskesmas mengambil sampel dahak keluarga pasien dan memerlukan pemeriksaan ter
tuberkulin untuk pasien anak-anak.
3. Pengendalian HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari pengendalian TB. Peningkatan
penemuan kasus HIV/AIDS dapat berhubungan dengan peningkatan penemuan kasus TB,
begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Puskesmas Dharma Rini perlu meningkatkan
angka penemuan kasus (CDR) TB.
Angka penemuan kasus TB dinilai masih rendah. Perlu dilakukan strategi untuk
meningkatkan angka penemuan kasus TB ini. Evaluasi tahunan harus selalu diarahkan
untuk meningkatkan CDR TB Puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Burman WJ, Jones BE. 2001. Treatment of HIV-related Tuberculosis in The Era of Effectife Antiretroviral Therapy. Am J Respir Crit Care Med: 164: 7-12.
CDC. 2012. HIV and Tuberculosis. Diakses pada tanggal 8 April 2013 di http://www.cdc.gov/hiv/resources/factsheets/hivtb.htm
Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-7. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pp: 37-57.
Desy AP. 2012. Faktor Risiko Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Karyadi Semarang. Semarang: Jurnal Media Medika Muda
Fishman JE, Narita M, Hollender ES. Pulmonary tuberculosis in AIDS patients; transient chest radiographic worsening after initiation of antiretrovirus therapy. AJR 2000; 174: 43-9.
Iceman MD. 2000. A Clinical Guide to Tuberculosis. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp: 199-243.
Kufa T, Mngomezulu V, Charalombous S, Hanifa Y, Fielding K, Grant A, et al. 2011. Undiagnosed Tuberculosis Among HIV Clinic Attendees: Association With Antiretroviral Therapy and Implications for Intensified Case Finding, Isoniazid Preventive Therapy, and Infection Control.
Mangku. 2007. Kesehatan: Mana Lebih Dulu Diobati, HIV atau TB? Diakses di http://www.suarakarya-online.com/ news.html?category_name=Sehat
Nasronudin. 2007. HIV dan AIDS: Pendekatan BIologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, pp: 47-50
Sary, Lolita. 2009. Analisis Pelaksanaan Strategi Pelayanan Provider Initiated HIV Testing And Counseling / PITC (Studi Kasus Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4, pp: 86-92.
Taha M, Deribew A, Tessema F, Assegid S, Duchateau L, Colebunders R. 2011. Risk factors of active tuberculosis in people living with HIV/AIDS in Southwest Ethiopia: A case control study.
WHO. 1997. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes, 2nd Ed. World Health Organization, pp: 45-8.
World Health Organization. 2012. TB/HIV facts 2011/2012. Diakses 8 April 2013.