p 3242052

7
56 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 S alah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak domba adalah dengan melakukan perkawinan silang antara domba lokal dengan domba unggul dari luar seperti dilaporkan Soebandrio (2003, tidak diterbitkan) pada persilangan domba Sumatera dan Inounu et al. (2003) pada persilangan domba Garut. Pemasukan domba impor ini selain bermanfaat untuk meningkatkan mutu genetik domba lokal, dikhawatirkan dapat menimbulkan dam- pak negatif akibat terbawanya penyakit eksotis melalui ternak domba yang diimpor. Salah satu penyakit eksotis tersebut adalah penyakit bluetongue (BT) yang pernah terjadi pada domba impor Suffolk asal Australia pada tahun 1981 (Sudana dan Malole 1982). Bluetongue merupakan salah satu penyakit arbovirus yang infeksius, nonkontagius, dan menular melalui serangga Culicoides spp. Penyakit ini dapat menyerang ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing, serta ternak liar seperti rusa, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Namun demikian gejala klinis hanya ditemukan pada domba breed tertentu, seperti breed Inggris. Sebagian besar infeksi BT pada domba bersifat subklinis (Housawi et al. 2004), sedangkan pada sapi dan kerbau, gejala klinis umumnya tidak tampak (Barzilai dan Shimpshony 1985). Di India, kasus klinis BT telah ditemukan pada domba lokal (Sreenivasulu et al. 1996), sedangkan di PENYAKIT BLUETONGUE PADA RUMINANSIA, DISTRIBUSI DAN USAHA PENCEGAHANNYA DI INDONESIA Indrawati Sendow dan Sjamsul Bahri Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 ABSTRAK Tulisan ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian penyakit bluetongue pada ternak di Indonesia dan bertujuan untuk memberikan gambaran tentang situasi penyakit tersebut di Indonesia dan antisipasi pencegahannya mengingat penyakit ini tergolong penyakit strategis yang berada dalam kelompok A pada Office International Epizootica/Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Data serologis menunjukkan bahwa ternak ruminansia besar memiliki prevalensi yang lebih tinggi sebagai reaktor daripada ternak ruminansia kecil. Serotipe BTV 1, 3, 6, 7, 9, 12, 16, 21, dan 23 berhasil diisolasi dari darah sapi yang tampak sehat, sedangkan serotipe 1, 6, dan 21 juga dapat diisolasi dari serangga Culicoides spp. Uji patogenitas virus BT (serotipe 1, 9, dan 21) pada domba lokal dan impor menunjukkan hasil yang tidak patogen. Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus BT pada biakan jaringan. Sifat-sifat molekuler dari isolat BT ini menunjukkan adanya hubungan dengan isolat BT Asean, Australia, dan Malaysia. Untuk mencegah terjadinya wabah BT, disarankan melakukan vaksinasi terhadap domba impor. Selain itu penempatan domba impor atau domba yang peka terhadap BT sebaiknya tidak berdekatan dengan peternakan sapi. Penularan melalui vektor serangga dapat diperkecil dengan cara peningkatan sanitasi kandang dan penyemprotan serangga. Kata kunci: Bluetongue, serologi, isolasi, vektor, epidemiologi ABSTRACT Bluetongue disease on ruminants, its distribution and prevention in Indonesia The aim of the review on several bluetongue researches in Indonesia was to give a feature on bluetongue virus infection situation and the anticipation to prevent an outbreak because bluetongue is a strategic disease in list A of Office International Epizootica (OIE). Serological surveys for bluetongue viruses (BTV) indicated that large ruminants had a higher prevalence of reactors than small ruminants. BTV serotypes 1, 3, 6, 7, 9, 12, 16, 21, and 23 were successfully isolated from blood from apparently healthy cattle, and BTV serotypes 1, 6, and 21 were also isolated from pools of Culicoides spp. The pathogenicity of BTV isolates was determined in local and imported sheep. The polymerase chain reaction (PCR) technique was adopted to detect bluetongue virus in cell culture. The nucleotide sequences of amplification products of Indonesian isolates indicated that there was a relationship with Asean, Australian, and Malaysian BTV. It was suggested that to prevent bluetongue out break, vaccination must be conducted in imported sheep and the place of imported sheep or sensitive breed preferable not be close to the cattle farm. BT transmission through vector can be minimized by increasing the sanitation and insecticide fogging. Keywords: Bluetongue, serology, isolation, vector, epidemiology

Transcript of p 3242052

Page 1: p 3242052

56 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Salah satu upaya untuk meningkatkanproduktivitas ternak domba adalah

dengan melakukan perkawinan silangantara domba lokal dengan domba ungguldari luar seperti dilaporkan Soebandrio(2003, tidak diterbitkan) pada persilangandomba Sumatera dan Inounu et al. (2003)pada persilangan domba Garut. Pemasukandomba impor ini selain bermanfaat untukmeningkatkan mutu genetik domba lokal,dikhawatirkan dapat menimbulkan dam-pak negatif akibat terbawanya penyakit

eksotis melalui ternak domba yangdiimpor. Salah satu penyakit eksotistersebut adalah penyakit bluetongue (BT)yang pernah terjadi pada domba imporSuffolk asal Australia pada tahun 1981(Sudana dan Malole 1982).

Bluetongue merupakan salah satupenyakit arbovirus yang infeksius,nonkontagius, dan menular melaluiserangga Culicoides spp. Penyakit inidapat menyerang ternak ruminansiaseperti sapi, kerbau, domba, dan kambing,

serta ternak liar seperti rusa, sehinggamenimbulkan kerugian ekonomi yangcukup besar. Namun demikian gejala klinishanya ditemukan pada domba breedtertentu, seperti breed Inggris. Sebagianbesar infeksi BT pada domba bersifatsubklinis (Housawi et al. 2004), sedangkanpada sapi dan kerbau, gejala klinisumumnya tidak tampak (Barzilai danShimpshony 1985). Di India, kasus klinisBT telah ditemukan pada domba lokal(Sreenivasulu et al. 1996), sedangkan di

PENYAKIT BLUETONGUE PADA RUMINANSIA,DISTRIBUSI DAN USAHA PENCEGAHANNYA

DI INDONESIA

Indrawati Sendow dan Sjamsul Bahri

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK

Tulisan ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian penyakit bluetongue pada ternak di Indonesia danbertujuan untuk memberikan gambaran tentang situasi penyakit tersebut di Indonesia dan antisipasi pencegahannyamengingat penyakit ini tergolong penyakit strategis yang berada dalam kelompok A pada Office InternationalEpizootica/Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE). Data serologis menunjukkan bahwa ternak ruminansia besarmemiliki prevalensi yang lebih tinggi sebagai reaktor daripada ternak ruminansia kecil. Serotipe BTV 1, 3, 6, 7, 9,12, 16, 21, dan 23 berhasil diisolasi dari darah sapi yang tampak sehat, sedangkan serotipe 1, 6, dan 21 juga dapatdiisolasi dari serangga Culicoides spp. Uji patogenitas virus BT (serotipe 1, 9, dan 21) pada domba lokal dan impormenunjukkan hasil yang tidak patogen. Teknik polymerase chain reaction (PCR) telah digunakan untuk mendeteksikeberadaan virus BT pada biakan jaringan. Sifat-sifat molekuler dari isolat BT ini menunjukkan adanya hubungandengan isolat BT Asean, Australia, dan Malaysia. Untuk mencegah terjadinya wabah BT, disarankan melakukanvaksinasi terhadap domba impor. Selain itu penempatan domba impor atau domba yang peka terhadap BT sebaiknyatidak berdekatan dengan peternakan sapi. Penularan melalui vektor serangga dapat diperkecil dengan carapeningkatan sanitasi kandang dan penyemprotan serangga.

Kata kunci: Bluetongue, serologi, isolasi, vektor, epidemiologi

ABSTRACT

Bluetongue disease on ruminants, its distribution and prevention in Indonesia

The aim of the review on several bluetongue researches in Indonesia was to give a feature on bluetongue virusinfection situation and the anticipation to prevent an outbreak because bluetongue is a strategic disease in list A ofOffice International Epizootica (OIE). Serological surveys for bluetongue viruses (BTV) indicated that largeruminants had a higher prevalence of reactors than small ruminants. BTV serotypes 1, 3, 6, 7, 9, 12, 16, 21, and23 were successfully isolated from blood from apparently healthy cattle, and BTV serotypes 1, 6, and 21 were alsoisolated from pools of Culicoides spp. The pathogenicity of BTV isolates was determined in local and importedsheep. The polymerase chain reaction (PCR) technique was adopted to detect bluetongue virus in cell culture. Thenucleotide sequences of amplification products of Indonesian isolates indicated that there was a relationship withAsean, Australian, and Malaysian BTV. It was suggested that to prevent bluetongue out break, vaccination must beconducted in imported sheep and the place of imported sheep or sensitive breed preferable not be close to the cattlefarm. BT transmission through vector can be minimized by increasing the sanitation and insecticide fogging.

Keywords: Bluetongue, serology, isolation, vector, epidemiology

Page 2: p 3242052

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 57

Malaysia (Sharifah et al. 1995) danAustralia (St George 1992), kasus klinistidak ditemukan, tetapi antibodi dan isolatvirus telah terdeteksi.

Walaupun penyakit BT di Indonesiatidak dijumpai secara klinis, keberadaanisolat dan serologis positif meng-indikasikan bahwa penyakit ini perludiwaspadai agar tidak sampai munculdan mewabah (Sendow et al. 1992).Sebagai penyakit strategis, BT termasukdalam daftar A pada Office InternationalEpizootica (OIE), BT akan mempengaruhiekspor dan impor ternak dan produkternak pada era globalisasi. Atas dasarpertimbangan tersebut, penelitian BTdilakukan di Indonesia bekerja samadengan CSIRO Australia sejak tahun1989.

Hingga saat ini penyakit BT diIndonesia belum menyebabkan kerugiansecara ekonomi, karena tidak tampaknyagejala klinis pada ternak ruminansia,meskipun virus dan antibodi BT telahberhasil ditemukan (Sendow et al. 1992).Kejadian wabah BT pada domba importahun 1981 di Jawa Barat (Sudana danMalole 1982) mengindikasikan bahwapenyakit BT perlu mendapat perhatian,sehingga wabah dapat diantisipasi sedinimungkin. Pada awalnya penelitian BTdilakukan untuk mendapatkan informasitentang infeksi BT di Indonesia, termasukmempelajari gambaran musim penyakitdan mendapatkan isolat serta karakteri-sasi isolat yang diperoleh.

Data ilmiah tentang status BT diIndonesia dapat membantu memperlancarperdagangan ternak dan menyertakanIndonesia dalam pencegahan BT secarainternasional. Monitoring yang ber-kelanjutan dapat dijadikan suatu pe-ringatan akan masuknya virus BT yanglebih virulen dari daratan Asia keIndonesia.

Makalah ini menguraikan berbagaiaspek penyakit BT di Indonesia ber-dasarkan serangkaian hasil penelitianyang telah dilakukan sejak 1989. Di ulaspula upaya dalam mencegah kemungkinanmasuknya penyakit BT ke wilayahIndonesia.

GAMBARAN UMUM VIRUSBLUETONGUE

Penyakit BT disebabkan oleh virus BTdari kelompok Orbivirus, famili Reoviridae.

Hingga saat ini virus BT mempunyai 24serotipe. Masing-masing serotipe tidakdapat memberikan proteksi silang danmasing-masing tipe mempunyai pato-genitas yang berbeda (Gard et al. 1988).

Virus BT merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang mempunyai 10segmen double stranded RNA dengandiameter virus berkisar antara 40–80 nm(Wade Evans 1990). Virus ini tahanterhadap media dengan pH 6,50–8,kloroform, eter, dan sodium deoksikolat,juga tahan pada penyimpanan suhu 4oC,-70oC atau pada cairan nitrogen. Namunvirus ini sensitif terhadap tripsin, akti-nomisin B, hidroksil amin, B propilaktondan etilenimin, dan tidak stabil pada suhu-20oC (Yang 1985).

Virus BT dapat menginfeksi berbagaispesies hewan seperti sapi, kerbau,kambing, domba, unta, dan ruminansialiar, termasuk rusa, antelop dan rodensia.Namun demikian penyakit BT lebihsering ditemukan pada ternak dombadengan menimbulkan gejala klinis, se-hingga menyebabkan kerugian ekonomiyang signifikan bagi peternak (Osburn1994; Mac Lachlan 1996). Pada domba,sensitivitas sangat bergantung padajenis (breed) dan tipe virus BT yangmenginfeksi. Domba breed Afrika Selatanseperti ras Afrikander, Persia dan Awassilebih peka dibanding domba lokal Afrikapada umumnya, tetapi domba breedAfrika Selatan kurang sensitif diban-ding domba Merino, sedangkan dombaMerino kurang peka dibanding dombaras Dorset Horn (Erasmus 1975). Dombalokal Indonesia juga kurang peka ter-hadap infeksi BT (Sendow 2005).

Gejala klinis akibat infeksi BT antaralain berupa demam, hiperemia padaselaput lendir mulut, mata dan hidung,ulkus pada rongga mulut, oedem padabibir, muka dan mata sehingga hewanmalas untuk makan, yang menyebabkanhewan menjadi lemas (Aruni et al. 2001;Sendow 2005). Pada domba bunting,infeksi BT dapat menyebabkan kegugur-an dan kemandulan temporer. Selainkeguguran, kelainan seperti stillbirth dandeformities pada bayi domba yangdilahirkan sering terjadi (Housawi et al.2004). Keguguran dalam jumlah banyaksangat merugikan peternak seperti yangterjadi saat wabah BT tahun 1981.Kerugian terjadi antara lain akibat abor-tus, kemandulan sementara, serta pe-nurunan bobot badan dan produksi susu(Housawi et al. 2004).

Cara Penyebaran

Bluetongue adalah salah satu penyakitarbovirus. Penularan penyakit tidakmelalui kontak langsung, tetapi harusmelalui vektor nyamuk. Jenis nyamuk yangdapat bertindak sebagai vektor antara lainadalah jenis Culicoides spp.

Penularan virus melalui vektor terjadisecara mekanis maupun biologis, ataumelalui inseminasi buatan dengan semenyang telah terkontaminasi virus BT.Penularan ini tidak dapat melalui kontaklangsung, makanan dan udara. Penularansecara mekanis terjadi apabila virusditularkan tanpa melalui proses replikasipada tubuh serangga. Penularan secarabiologis terjadi apabila virus bereplikasipada tubuh vektor sebelum ditularkan keternak lainnya. Vektor berupa seranggamemainkan peranan yang sangat pentingdalam menularkan penyakit BT dari hewanyang satu ke hewan yang lain. Hinggasaat ini vektor BT yang telah diketahuiantara lain adalah C. brevitarsis, C.fulvus, (Standfast et al. 1985) C. imicola,dan C. variipennis (Mellor et al. 2000;Mellor dan Hamblin 2004) .

Diagnosis

Diagnosis penyakit BT dilakukanberdasarkan gejala klinis, perubahanpatologis anatomis dan diikuti olehpemeriksaan serologis, isolasi agenpenyebab dan karakterisasi dari isolatvirus yang diperoleh. Pada kejadianwabah BT di Indonesia tahun 1981,diagnosis dilakukan berdasarkan gejalaklinis, perubahan patologis anatomis,dan hasil pemeriksaan serologis denganteknik Agar Gel Immunodiffusion (AGID)(Sudana dan Malole 1982).

Uji serologis dengan AGID mem-punyai beberapa kelemahan antara lainterjadinya reaksi silang antara kelom-pok orbivirus seperti BT, EpizooticHaemmorhagic Disease (EHD) danEubenangee (Della Porta et al. 1983).Untuk mengidentifikasi serotipe virusBT diperlukan uji serum netralisasi.Kendala lain dalam pengujian ini adalahdiperlukannya seluruh serotipe BTsebanyak 24, yang tentunya hanyadimiliki oleh laboratorium rujukan saja.Untuk mengatasi masalah tersebut,diperlukan uji kelompok yang sensitifdan spesifik dalam mendiagnosis BT.

Lunt et al. (1988) telah mengem-bangkan teknik deteksi antibodi yang

Page 3: p 3242052

58 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

spesifik terhadap semua serotipe BT.Teknik tersebut akhirnya diadopsi sebagaiuji penyaringan dengan menggunakanantibodi monoklonal terhadap virus BTyang dikenal sebagai uji kompetitif ELISA(C-ELISA). Uji ini telah digunakan untukmendeteksi antibodi terhadap kelompokvirus BT sebagai pengganti uji AGIDdalam rangka penelitian epidemiologiinfeksi BT, sehingga gambaran musimpenyakit BT dapat diketahui.

Hasil penelitian Sendow et al. (1992)menunjukkan bahwa infeksi BT terjadipada awal dan akhir musim hujan, danprevalensi reaktor lebih tinggi padaruminansia besar dibanding ruminansiakecil. Hal tersebut berkaitan denganpopulasi vektor sebagai penular BT darihewan ke hewan.

Lebih lanjut Purse et al. (2004)menunjukkan bahwa terjadinya wabahdapat diprediksi dan sangat berhubungandengan perubahan variabel iklim. WabahBT dapat terjadi pada kondisi suhu udararendah dengan kelembapan yang tinggi.

SITUASI DAN PERKEM-BANGAN BLUETONGUE DIINDONESIA

Kasus Bluetongue

Kasus BT di Indonesia pada ternak lokalbelum pernah dilaporkan. Wabah BThanya terjadi pertama kali dan terakhirkali pada domba impor Suffolk padatahun 1981 (Sudana dan Malole 1982).Saat itu morbiditasnya mencapai 90%dengan mortalitas 30%.

Kasus klinis yang tampak berupademam yang tinggi, mencapai 42oC selama2−11 hari. Pada stadium akut, terlihatadanya peningkatan frekuensi pernafasandan sering disertai dengan hiperaemiaselaput lendir hidung dan pipi. Hiper-salivasi, muntah dan bau pada sekitarmulut sering ditemukan, yang kadang-kadang diikuti dengan lidah yang sulitdigerakkan. Ingus mulai dari lendir beninghingga mukopurulen atau disertai darahbila mengering akan menimbulkan kerakhidung. Terdapat cairan eksudat matadan konjungtivitis. Oedema pada bibir,lidah, dan muka sering tampak, yangberlanjut pada bagian leher, dagu, dantelinga yang diikuti dengan kemerahanpada kulit muka, bibir, pangkal tandukatau pada seluruh tubuh. Bahkan padastadium lanjut, lidah membengkak dan

dapat menjadi kebiruan (sianosis). Apabilagejala klinis tersebut tampak, biasanyaternak tidak mau makan dan menjadidepresi. Kadang-kadang disertai diareyang dapat bercampur dengan darah.Lesi pada kaki seperti koronitis mulaitampak, yang menyebabkan kuku kakiterasa panas dan sakit apabila tersentuhsehingga domba malas berjalan. Kalau-pun dapat berjalan sering menggunakanlutut. Beberapa domba tampak tortikolis.Pada domba yang sedang bunting umurtriwulan pertama, BT dapat menyebab-kan keguguran dan berlanjut dengankemandulan temporer (Sudana danMalole 1982).

Serologi

Secara serologis, Indonesia dikategori-kan sebagai daerah endemik BT, karenapada uji serologis tersebut antibodi dapatditemukan hampir di semua provinsi.Ternak ruminansia besar mempunyaiprevalensi reaktor yang lebih tinggidibanding ruminansia kecil. Berdasar-kan penyebaran serotipenya, antiboditerhadap virus BT serotipe 1, 15, 16, 20,21, dan 23 merupakan serotipe yangpaling dominan ditemukan pada sapi,meskipun antibodi terhadap serotipe 1,2, 3, 5, 7, 9, 12, 15, 16, 17, 20, 21, dan 23dapat terdeteksi pada sapi sentinel didaerah Jawa Barat. Data serologis ter-sebut mengindikasikan bahwa virus BTmultiserotipe telah bersirkulasi di ke-pulauan Indonesia. Hasil survei inihanya memberikan gambaran awal dariaktivitas serotipe virus BT di Indonesia,tetapi tidak dapat menentukan gambaranmusim penyakit BT, epidemiologi dandinamika infeksi BT. Untuk mendapatkanisolat virus BT, maka sistem sentinelhewan harus ditegakkan.

Sapi sentinel telah didirikan dibeberapa daerah di Indonesia sepertiJawa Barat, Kalimantan, Nusa TenggaraBarat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua(Sendow et al. 1992). Hasil yang diper-oleh menunjukkan bahwa infeksi BTterjadi paling banyak pada awal dan akhirmusim hujan. Hal ini sesuai dengangambaran longitudinal serangga yangdikoleksi di daerah dekat dengan kandangsapi sentinel, di mana pada saat tersebutpopulasi Culicoides spp. yang tertang-kap meningkat (Sukarsih et al. 1993).Berdasarkan ketinggian daerah, ternyataprevalensi reaktor terjadi lebih banyak didataran rendah dibanding dataran tinggi.

Di samping itu, sanitasi kandang ikutberperan terhadap tinggi rendahnyaprevalensi reaktor BT.

Menurut Mellor et al. (2000), kotor-an sapi merupakan media yang palingbaik bagi perkembangbiakan Culicoidesspp. Makin banyak dan lama kotoransapi menumpuk di sekitar kandang,makin banyak Culicoides spp. yang akantertangkap. Gambaran ini terlihat darirendahnya prevalensi reaktor BT padasapi di dataran tinggi dan sanitasikandangnya telah sangat baik. Suhu dankelembapan ikut berpengaruh terhadapdaya tetas telur Culicoides spp. Prevalensireaktor pada kambing dan domba lebihrendah dibanding pada sapi, meskipungambaran musim penyakit sama.

Isolasi

Lebih dari 100 isolat telah diperoleh dariprogram sentinel ini, namun kurang dari40 isolat yang teridentifikasi sebagaivirus BT. Hingga saat ini sembilanserotipe virus BT telah berhasil diisolasidan diidentifikasi dari darah sapi sentineldi Jawa Barat dan Papua. Serotipe ter-sebut adalah 1, 3, 6, 7, 9, 12, 16, 21, dan 23(Sendow et al. 1992; 1993a, 1993b). VirusBT serotipe 1 dan 21 merupakan serotipeyang paling sering diisolasi. Virus BTserotipe 2, 5, 6, 15, dan 16 dapat terdeteksi,namun isolat virus dari serotipe tersebutbelum berhasil diisolasi. Data tersebutmemperlihatkan bahwa masih banyakserotipe virus BT yang belum terjaring.

Virus BT serotipe 2, 4, dan 18 banyakdijumpai di India (Sreenivasulu et al.1996; Sreenivasulu 1999). Di Malaysia BTserotipe 2 juga berhasil diisolasi (Sharifahet al. 1995). Tidak ditemukannya serotipe2 dan 4 di Indonesia menunjukkanperlunya teknik diagnosis yang lebihsensitif dan akurat untuk mendeteksiantigen BT baik dari darah ternak maupundari serangga. Untuk itu pengembangandan aplikasi teknik diagnosis BT perludilakukan agar pengertian tentangepidemiologi penyakit BT dapat diketahuidengan rinci dan jelas.

Vektor yang Diduga

Hasil studi longitudinal terhadap Culi-coides spp. di beberapa lokasi sentinelhewan di Indonesia menunjukkan bahwaC. peregrinus, C. brevitarsis, C. orientalis,C. sumatrae, C. parahumeralis, C.

Page 4: p 3242052

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 59

oxystoma, C, fulvus, dan C. actonimerupakan spesies yang paling dominan(Sukarsih et al. 1993; 1996). C. peregrinusdan C. oxystoma adalah spesies yangpaling sering ditemukan di Indonesia.Masing-masing lokasi mempunyaikarakteristik spesies Culicoides yangberbeda. Beberapa spesies Culicoidesyang ditemukan di suatu daerah belumtentu ditemukan di daerah lain (Tabel 1).

Isolasi virus dari serangga Culicoi-des spp. yang dikoleksi dekat kandangsapi sentinel mendapatkan 16 isolat dari1.155 pool Culicoides. Beberapa spesiesCulicoides yang telah diketahui sebagaivektor di Australia seperti C. fulvus danC. brevitarsis (Standfast et al. 1992), jugaditemukan di Indonesia (Sukarsih et al.1993). C. orientalis dan C. wadaimempunyai potensi sebagai vektor BT diAustralia (Standfast et al. 1992). Lebihlanjut virus BT serotipe 1, 6, dan 21 telahberhasil diisolasi dari C. fulvus, C.orientalis, dan C. wadai (Sendow 2003).Sedikitnya isolat yang diperoleh dariserangga menunjukkan bahwa teknikyang digunakan tidak cukup sensitifuntuk menjaring isolat virus terutama bilaCulicoides yang tertangkap sangatsedikit. Teknik molekuler seperti poly-merase chain reaction (PCR) dapatditerapkan untuk mendeteksi antigen BTasal serangga Culicoides spp. Selanjut-nya produk PCR yang dihasilkan dapatdisekuen untuk mempelajari perbedaanmolekuler dari isolat yang diperolehsehingga dapat diketahui apakah dalamtubuh vektor tersebut telah terjadi mutasiatau reassortan sehingga terbentukserotipe-serotipe virus BT yang baru.

Penelitian lanjutan terhadap serotipeBT yang ditularkan dari vektor yangdiduga, perlu dilakukan. Data tersebutakan mendukung penelitian lebih lanjuttentang vektor kompeten untuk kon-firmasi status vektor.

Penelitian Molekuler

Hasil uji serologis memastikan bahwainfeksi BT telah terjadi di Indonesia,sehingga Indonesia tergolong negaraendemis BT, tetapi isolat virus hanyaberhasil diperoleh di Jawa Barat danPapua. Penelitian lebih lanjut diperlukanuntuk mendeteksi apakah isolat virus asalJawa Barat dan Papua merupakan satupopulasi yang besar dan homogen secara

nasional atau merupakan wakil daripopulasi-populasi yang lebih kecil darisumber yang berbeda.

Penelitian molekuler terhadap bebe-rapa isolat virus yang diperoleh telahdilakukan dengan membandingkansekuen nukleotida dari daerah yangspesifik dari genom virus setelah diampli-fikasi dengan PCR. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa sebagian isolat BTIndonesia terbagi menjadi tiga sub-kelompok topotipe (Sendow et al. 1996).Penelitian lebih lanjut terhadap semuaisolat BT lokal telah dikembangkan padasegmen gen RNA3 (540 bp) untukmenunjukkan originalitas virus BT yangterbagi dalam empat genotipe. Beberapaisolat lokal BT mempunyai kesamaandengan isolat-isolat BT yang berada didaratan Asia (Pritchard et al. 2004)

Patogenitas

Sejumlah isolat virus telah diperolehnamun keganasannya masih belumbanyak diketahui. Uji patogenitas ter-hadap isolat BT serotipe 1, 9, dan 21 telahdilakukan pada domba lokal dan dombaimpor (Sendow 2005). Hasilnya menunjuk-kan bahwa gejala klinis yang dihasilkanpada domba lokal lebih ringan dibandingpada domba impor. Dari ketiga serotipeyang diuji, BT serotipe 9 menghasilkangejala klinis yang paling ringan baik padadomba lokal maupun domba impor. Gejalaklinis yang dihasilkan berupa demam, lesidan perdarahan pada mulut, bibir, kaki danmata, lakrimasi, ingusan dan koronitisdengan derajat ringan. Kematian dombatidak terjadi. Hasil penelitian patogenitasini menyimpulkan bahwa isolat lokaltersebut tergolong tidak patogen.

Meskipun BT serotipe 1 dan 21paling sering diisolasi di Indonesia,serotipe tersebut tidak menyebabkangejala klinis. Demikian pula dengan isolatserotipe 9. Data tersebut mengindikasi-kan bahwa virulensi virus BT lokal lebihhandal dibanding yang ditemukan diAfrika, Timur Tengah, dan India. Di Eropa,wabah BT yang terjadi tahun 1998disebabkan BT serotipe 9 dan merupakanserotipe baru (Anderson et al. 2000).

Daniels et al. (1997) yang menarikgaris transektoral dari India ke Australia,menunjukkan bahwa makin ke selatanpatogenitas BT makin rendah. Hal initerlihat dari ditemukannya kasus klinis diIndia sedangkan di bagian selatan India

kasus klinis makin berkurang bahkan tidakterjadi pada domba lokal. Meskipunantibodi dan isolat virus dapat terdeteksi,faktor yang menyebabkan penurunanpatogenitas BT tersebut masih belumdiketahui.

PENCEGAHAN DANPENGENDALIAN

Dalam upaya pengendalian penyakit BT,hewan yang menunjukkan tanda-tandaklinis akut harus dimusnahkan. Hewanyang tampak sehat, meskipun secaraserologis menunjukkan adanya antiboditerhadap BT, dapat dikonsumsi. PenyakitBT bukan merupakan penyakit zoonosissehingga tidak menular ke manusia.

Tindakan yang dapat dilakukanuntuk mencegah atau mengendalikanpenyakit BT adalah sebagai berikut:1) Bila dijumpai kasus BT segera la-

porkan kepada Direktur JenderalPeternakan termasuk tindakan se-mentara yang telah diambil dengantembusan kepada Kepala DinasPeternakan setempat.

2) Tindakan pencegahan dapat dilaku-kan dengan melarang impor hewandari negara yang endemis BT.Penerapan karantina yang ketatterutama di daerah port of entry perluditekankan agar masuknya serotipevirus BT yang baru dan patogen dapatdiantisipasi. Penerapan karantinaterhadap lalu lintas ternak dari daerahtertular juga harus dilaksanakan.Impor semen beku perlu disertaisertifikat bebas terhadap virus BT.

3) Impor ternak domba dari daerahbebas BT perlu diikuti dengan vak-sinasi terhadap BT karena sebagianbesar daerah di Indonesia positifterdapat virus BT. Vaksinasi di-lakukan sesuai dengan serotipe virusyang berada di daerah penerima ternak,sehingga kemungkinan terjadinyawabah BT dapat dihindarkan.

4) Penyakit BT merupakan salah satupenyakit arbovirus di mana vektorserangga memainkan peranan yangsangat penting dalam penularanpenyakit dari hewan ke hewan.Pengendalian vektor dapat dilakukandengan sanitasi kandang serta pe-nyemprotan dengan insektisida.

Page 5: p 3242052

60 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Tabel 1. Koleksi Culicoides spp. di beberapa daerah di Indonesia.

SubgenusLam- Banjar-

Depok CisaruaJawa Denpa-

Kupang Sumba Rote BiakJaya- Wame Merau-

Timikapung baru Tengah sar pura na ke

AvaritiaActoni * * * * * * * *Brevipalpis *Brevitarsis * * * * * * * *Dumduni *Flavipunctatus * * * * * *Fulvus * * * * * * * * * * * *Jacobsoni * * * *Maculatus * * * * * * *Nudipalpis * * * * * *Orientalis * * * * * * * * * * *Pungens *Wadai * * * * * * * *

HaemophorectusGemellus * * * * *

HoffmaniaEffusus * * * *Insignipennis * *Liui *Parabubalus *Peregrinus * * * * * * * * * * * * * *Sumatrae * * * * * * * * * * *

TrithecoidesAlbibasis * *Anophelis * * *Barnetti * * * * * *Flavescens *Gewertzi * * * *Huberti *Palpifer * * * * * * *Parabarnetti *Parahumeralis * * * * * * * * *

MeijereheleaArakawae * * * * * * * *Guttifer * * * * * * * * * *Histrio * * * * *

LainnyaArdleyi *Austropalpalis *Cameronensi * *Clavipalpis *Geminus * * * * * * * * * *Huffi * *Zeomelanesia *Ornatus * *Pampangensis *Oxystoma * * * * * * * * * * * * * *Pangkorensis * *Papuensis *Peliliouensis * * *Petersi *Pseudostigmatus * * *Pygmaeus *Semicircum * * * *Shortii * * *

Sumber: Sukarsih et al. (1993).

Page 6: p 3242052

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 61

KESIMPULAN DAN SARAN

Penyakit BT telah terdapat di Indonesiaberdasarkan isolasi virus penyebabpenyakit BT dan data serologis dari ternakruminansia di beberapa daerah diIndonesia, tetapi tidak ditemukan gejalaklinis pada ternak tersebut. Meskipundemikian perlu kewaspadaan terhadapkemungkinan mewabahnya penyakit ini,terutama terhadap ternak (domba) impordari daerah endemis BT.

Impor domba harus melalui karantinayang ketat serta diiringi dengan pemerik-

saan serologis untuk mengetahui bahwadomba tersebut mempunyai kekebalanterhadap BT. Domba ditempatkan padadaerah yang kurang berisiko untukmenghindari terjadinya wabah. Apabilahewan tidak mengandung anti-boditerhadap virus BT maka vaksinasi mutlakdilakukan. Penelitian lanjutan untukmempelajari peranan vektor dalamkaitannya dengan penempatan dombaimpor di daerah yang rawan terinfeksi BTperlu ditindaklanjuti.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J., V. Moennig, O. Papadoupoulos,P. Roy, P.S. Mellor, J. Pearson, and J.T.Paweska. 2000. Possible use of vaccinationagainst bluetongue in Europe. ScientificCommittee in Animal Health and AnimalWelfare. European Commission. Health andConsumer Protection Directorate General.p. 1−26.

Aruni, A.W., G. Jayapal, and M. Kathirchelvan.2001. Report on combined outbreak ofbluetongue and sheep pox in Sivagangaidistrict. Indian Vet. J. 78(1): 1−3.

Barzilai, E. and A. Shimpshony. 1985. Blue-tongue: Virological and epidemiologicalobservation in Israel. In T.L. Barber andM.M. Jochim (Eds.). Bluetongue and RelatedOrbiviruses. Progress in Clinical andBiological Research, Vol 178. R. Alan LissInc., New York. p. 545–553.

P.W. Daniels, Melville, L., Pritchard, I., Sendow,I., Sreenivasulu, and B.T. Eaton. 1997.Reviews of bluetongue viral variability alonga South Asia Eastern Australia Transect. InB.H. Kay, M.D Brown, and J.G. Aascov(Eds.). Arbovirus Research in Australia.Proceedings 7th Arbovirus Research inAustralia Symposium and The 2nd MosquitoControl Association of Australia Con-ference, Goldcoast Q.I.M.R., Brisbane,Australia, 25−29 November 1996. p. 66-71.

Della-Porta, A.J., R.F. Sellers, K.A.J. Herniman,I.R. Lettlejohns, D.H. Cyinski, T.D. St.George, D.A. Mc. Phee, W.A. Snowdon, J.Campbell, C. Cargill, A. Corbould, Y.S.Chung, and V.W. Smith. 1983. Serologicalstudies of Australian and Papua New Guineancattle and Australian sheep for the presenceof antibodies against bluetongue groupviruses. Vet. Microbiol. 8: 147-162.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan.2004. Buku Statistik Peternakan. DirektoratJenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

Pritchard, I.L., I. Sendow, R. Lunt, S.H. Hassa,J. Kattenbelt, A.R. Gould, P.W. Daniels, andB.T. Eaton. 2004. Genetic diversity ofbluetongue viruses in south east Asia. VirusRes. 101(2): 193−201.

Purse, B.V., M. Baylis, A.J. Tatem, D.J. Rogers,P.S. Mellor, M. Van Ham, A. Chizov-Ginzburg, and Y. Braverman. 2004. Pre-dicting the risk of bluetongue through time:Climate models of temporal patterns ofoutbreaks in Israel. Rev. Sci. Tech. Off. Int.Epiz. 23(3): 761−775.

Sendow, I. 2003. Isolasi virus bluetongue dariserangga nyamuk di Jawa Barat. Jurnal IlmuTernak dan Veteriner 7(4): 272-278.

Sendow, I. 2005. Studi patogenitas isolat lokalvirus bluetongue pada domba lokal danmerino. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner10(1): 49−55.

Sendow, I., I. Chard, P.W. Daniels, and B.T. Eaton.1996. Estimation of the divergence ofbluetongue viral population in Indonesia onthe basis of the viral isolation and PCRSequence analysis. In Proceedings of TheFirst South East Asia and Pasific RegionalBluetongue Symposium, Kunming, China,22−24 Agustus 1995. p. 208−213.

Sendow, I., E. Soleha, P.W. Daniels, D. Sebayang,J. Achdiyati, K. Karma, and B.J. Erasmus.1993a. Isolation of bluetongue viral sero-types 1, 21, and 23 from healthy sentinelcattle in Irian Jaya, Indonesia. Aust. Vet. J.70: 229−230.

Sendow, I., P.W. Daniels, E. Soleha, B. Eras-mus, Sukarsih, and P. Ronohardjo. 1993b.Isolation of bluetongue virus serotypes newto Indonesia from sentinel cattle in WestJava. Vet. Rec. 133: 166−168.

Sendow, I., P.W. Daniels, E. Soleha, and Sukarsih.1992. Epidemiological studies of bluetongueviral infection in Indonesian livestock. InT.E. Walton and B.I. Osburn (Eds.). Blue-

Erasmus, B.J. 1975. Bluetongue in sheep andgoats. Aust. Vet. J. 51: 165–170.

Gard, G.P., R.P. Weoir, and S.S. Walsh. 1988.Arboviruses recovered from sentinel cattleusing several virus isolation method. Vet.Microbiol. 18: 119−125.

Housawi, F.M.T., E.M.E. Abu Elzein, R.O.Ramadan, A.A. Gameel, A.I. Al Afaleq, andJ. Al-Mousa. 2004. Abortions, stillbirths anddeformities in sheep at the Al-Asha oasisin eastern Soudi Arabia: Isolation of a blue-tongue serogroup virus from the affectedlambs. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 23(3):913−920.

Inounu, I., N. Hidayati, Soebandrio, B. Tres-namurti, dan L.O. Nafru. 2003. Analisiskeunggulan relatif domba Garut anak danpersilangannya. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner 8(3): 170−182.

Lunt, R.A., J.R. White, and S.D. Blacksell.1988. Evaluation of monoclonal antibodyblocking ELISA for the detection of groupspecific antibodies to bluetongue virus inexperimental and field sera. J. Gen. Virol.69: 2.729–2.740.

Mac Lachlan, N.J. 1996. Bluetongue virusInfection in postnatal cattle. In T.D. St.George and K.G. Peng (Eds.). Proc.Bluetongue Disease in Southeast Asia andthe Pacific. ACIAR Proc. No. 66, ACIAR,Canberra. p. 239−243.

Mellor, P.S. and C. Hamblin. 2004. AfricanHorse Sickness. Vet. Res. 35: 445−466.

Mellor, P.S., J. Boorman, and M. Baylis. 2000.Culicoides biting midges: Their role asarbovirus vectors. Annu. Rev. Entomol. 45:307−340.

Osburn, B.I. 1994. The impact of bluetonguevirus on reproduction. Comp. Immunol.Microbiol. Inf. Dis. 17: 189−196.

Dengan berjalannya waktu dikhawa-tirkan serotipe BT yang tidak patogenakan berubah menjadi patogen. Untuk itumonitoring dan penelitian molekuler perludilakukan.

Meskipun infeksi BT tidak menim-bulkan gejala klinis di Indonesia, kewas-padaan terhadap kemungkinan terjadinyawabah perlu ditingkatkan. Kebijakanuntuk mencegah terjadinya wabah BTperlu disempurnakan sesuai dengankebutuhan masa kini.

Page 7: p 3242052

62 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

tongue, African Horse Sickness, and RelatedOrbivirus. Proc. 2nd International Sym-posium. CRC Press, Boca Raton. p. 147−154.

Sharifah, S.H., M.A. Ali, G.P. Gard, and I.G.Polkinghorne. 1995. Isolation of multipleserotypes of bluetongue virus from sentinellivestock in Malaysia. Trop. Anim. Hlth.Prod. 27: 37−42.

Sreenivasulu, S. Rao, and G.P. Gard. 1996.Bluetongue viruses in India: A review. In T.DSt. George and P. Kegao (Eds.). Bluetonguein South East Asia and the Pacific Region.ACIAR Proc. No. 66. ACIAR, Canberra. p.15−19.

Sreenivasulu, D.R. 1999. Occurence of bluetonguein Andhra Pradesh. Indian Vet. J. 76(5): 461−462.

Standfast, H.A., A.L. Dyce, and M.J. Muller.1985. Vectors of bluetongue virus inAustralia. In T.L. Barber and M.M. Jochim(Eds.). Bluetongue and Related Orbiviruses.

Progress in Clinical and Biological Research,Vol 178, R. Alan Liss Inc., New York. p.177–186.

Standfast, H.A., M.J. Muller, and A.L. Dyce.1992. An overview of bluetongue virus vectorbiology and ecology in the Oriental andAustralasian regions of the Western Pacific.In T.E. Walton and B.I. Osburn. (Eds.). Proc.2nd Int. Symp. Bluetongue, African HorseSickness and Related Orbiviruses. CRC Press,Boca Raton. p. 253−261.

St George, T.D. 1992. Occupation an ecologicalniche in Pacific Ocean countries by blue-tongue and related viruses. In T.E. Waltonand B.I. Osburn (Eds). Proc. 2nd Int. Symp.of Bluetongue, African Horse Sickness andRelated Orbiviruses. CRC Press, Boca Raton.p. 76−84.

Sudana, I.G. dan M. Malole. 1982. Penyidikanpenyakit hewan bluetongue di Desa Caringin,Kabupaten Bogor. Annual Report of DiseaseInvestigation in Indonesia during the Period

of 1975−1981. Direktorat Kesehatan Hewan,Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.hlm. 110−121.

Sukarsih, I. Sendow, S. Bahri, M. Pearce, andP.W. Daniels. 1996. Culicoides surveys inIndonesia. In T.D. St. George and P. Kegao(Eds.). Bluetongue in South East Asia andthe Pacific Region. ACIAR Proc. No. 66.ACIAR, Canberra. p. 123−128.

Sukarsih, P.W. Daniels, I. Sendow, and E. Soleha.1993. Longitudinal studies of Culicoides spp.associated with livestock in Indonesia. InProceedings Arbovirus Research in Australiathe 6th Symposium, Brisbane, Australia, 12−18 December 1992. p. 203−208.

Wade-Evans, A.M. 1990. Complete of blue-tongue virus serotype 1 from South Africa.Nucleic Acid Res. 18: 4.920.

Yang, C.G. 1985. Study on uninactivated antigen of bluetongue virus. Chinese J. Vet. Sci.Tech. 3: 9-13.