Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

105
LAPORAN HASIL PENELITIAN OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Oleh: Eko Sabar Prihatin (Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP) Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TAHUN 2009

description

pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan

Transcript of Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Page 1: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

LAPORAN HASIL PENELITIAN

OTONOMI DAERAH DAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Oleh: Eko Sabar Prihatin

(Bagian Hukum Tata Negara FH UNDIP)

Dibiayai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Republik Indonesia Tahun Anggaran 2009

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG TAHUN 2009

Page 2: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

HALAMAN PENGESAHAN HASIL PENELITIAN 1. a. Judul Penelitian : OTONOMI DAERAH DAN PENGELOLAAN SUMBER

DAYA ALAM 2. Ketua Peneliti :

a. Nama Lengkap : Eko Sabar Prihatin,SH,MS b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Gol./Pangkat/NIP : IVB/Pembina Tk.I/131458541 d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala e. Jabatan Struktural : - f. Bagian : Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNDIP

3. Jumlah Peneliti : 11 (sebelas) orang

a. Wakil Ketua : Untung Dwi Hananto, SH, MHum b. Sekretaris : Indarja,SH,M H c. Anggota : Lita Tyesta ALW, SH,MHum d. Anggota : Untung Sri Harjanto,SH,MH e. Anggota : Amiek Sumarmi,SH,MHum f. Anggota : Amalia Diamantina,SH, MHum g. Anggota : Fifiana Wisnaeni, SH, MHum h. Anggota : Retno Saraswati, SH, MHum i. Tenaga Pendukung : Susilo, SH j. Tenaga Pendukung : Triyono, SH, MH k. Tenaga Pendukung : Heru Setiyono, Ssi

4. Lokasi Penelitian : Jawa Tengah 5. Lama Penelitian : 2 (dua) bulan 6. Biaya yang diperlukan : Rp. 108.250.000,- (seratus delapan juta dua ratus lima puluh

rupiah )

Semarang, 28 Agustus 2009 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum UNDIP Ketua Peneliti, Prof. Dr. Arief Hidayat, SH, MS Eko Sabar Prihatin,SH,MS NIP. 130 937 134 NIP. 131 458 541

Page 3: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya penelitian dengan judul

“OTONOMI DAERAH DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM” ini.

Pada kesempatan ini kami tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapaun sehingga penelitian ini dapat

diselesaikan.

Tim peneliti juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Karenanya atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam hasil penelitian ini,

kami mohon maaf dan mengharapkan saran, kritik serta masukan agar hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya

Semarang, 28 Agsutus 2009

Tim Peneliti

i

Page 4: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………..... ...... i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...... ii

ABSTRAK ………………………………………………………………….... . iv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………........ 1

A. Latar Belakang Penelitian …………………………………........ 1

B. Rumusan Masalah..…………………………………................... 5

C. Tujuan Penelitian …………………………………………… ..... 6

D. Kontribusi Penelitian ………………………………………… ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...... 7

BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………... 16

A. Metode Pendekatan ……………………………………………... 16

B. Spefikasi Penelitian ....................................................................... 16

C. Metode Pengumpulan Data …………………………………....... 16

D. Metode Penyajian Data ……………………………………......... 17

E. Metode Analisis Data ……………………………………............ 17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMABAHASAN ………………... 19

1. Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Pembangunan Berkelanjutan .......................................................... 19

2. Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup........................................................................... 22

3. Pengelolaan Sumber Daya Alam ..................................................... 34

4. Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah.............. 47

ii

Page 5: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB V PENUTUP …………………………………………………… ........ 93

A. Kesimpulan …………………………………………………….. 93

B. Saran ………………………………………………………….... 95

DAFTAR PUSTAKA

iii

Page 6: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

ABSTRAK

Banyak permasalahan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.

Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Permasalahannya adalah Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan? Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di daerah? Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan? Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders di daerah? Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif. Metode yuridis digunakan sehubungan dalam penelitian ini yang diteliti adalah peraturan hukum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

Kata kunci : otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam

iv

Page 7: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB I

PENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG MASALAH

Otonomi Daerah adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah

dengan rakyat sehingga ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi menjadi terbuka.

Dengan dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat

kebijakan seharusnya, kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang

terpusat, bahkan lebih menjamin adanya pluralitas (tidak menggunakan pendekatan yang

seragam seperti pada masa orde baru), karena menghindari dominasi suatu kekuasaan

berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi

maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan

sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, otonomi daerah berarti:

a. Menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dengan ekosistem setempat.

b. Menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat didalam

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari.

c. Tidak berdasarkan batas administratif, tetapi berdasarkan batas ekologi

(bioecoregion).

d. Meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan

menghancurkan daya dukung ekosistem dengan eksploitasi yang melewati daya

dukung.

1

Page 8: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

e. Pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang

paling berkepentingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan kekuasaan daerah dapat

memenuhi rasa keadilan, kebutuhan dan keadilan masyarakat setempat, maka

pelaksanaan otonomi harus memenuhi prasyarat sebagai berikut :

1) Otonomi bukan hanya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan pemerintah atau pun

legislatif, tetapi yang lebih penting lagi adalah merupakan perwujudan kedaulatan

rakyat. Oleh karena itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini

terpusat harus menjadi bagian dari proses demokratisasi yang dicirikan oleh adanya

pengembangan kemampuan (capacity) dan sistem pertanggung-jawaban secara

politik maupun hukum (tanggung-gugat) secara terbuka oleh para pejabat daerah;

serta pengembangan kemampuan dan peluang rakyat setempat dalam melakukan

pengawasan.

2) Untuk menjamin adanya demokratisasi dan pertanggung-jawaban pemerintah daerah

dan DPRD maka sangatlah penting untuk mengubah sistem pemilihan umum.

Pemilihan umum harus dilakukan dengan sistem distrik, sehingga para anggota

DPRD yang dipilih langsung oleh rakyat akan lebih bertanggung-jawab kepada para

pemilihnya dan bukan kepada partai seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, sistem

pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa/Lurah)

hingga pemerintah yang ada pada unit terkecil harus dilakukan dengan cara

pemilihan langsung. Ini akan menghindari munculnya persokongkolan antara partai

atau DPRD dengan kepala daerah, bahkan membuka peluang bagi rakyat untuk

2

Page 9: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

mempersoalkan atau menggugat kebijakan pemerintah setempat yang merugikan

kepentingan rakyat.

3) Otonomi yang paling dasar haruslah ada pada tingkat komunitas masyarakat yang

terkecil seperti desa atau sejenis. Disini rakyatlah yang memutuskan dalam

pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Rakyat diberi hak dan

jaminan hukum untuk ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di

desanya, misalnya soal penataan ruang atau kawasan, pemberian ijin investasi,

bahkan hak untuk memperoleh prioritas dalam memanfaatkan atau menikmati hasil

pengelolaan sumberdaya alam setempat.

4) Agar otonomi terhindar dari sistem negara di dalam negara, maka pengelolaan

daerah-daerah otonom harus dilandaskan pada konstitusi nasional maupun pada

peraturan perundangan lainnya yang berlaku secara nasional dan universal yaitu

peraturan perundangan yang mengatur lingkungan hidup, hak azasi manusia,

moneter, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.

5) Daerah otonom juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakati

oleh banyak negara, misalnya konvensi tentang hak-hak buruh; tentang anak-anak

dan perempuan; tentang keanekaragaman hayati; tentang perdagangan bahan beracun

berbahaya atau B3 (konvensi Basel); tentang perdagangan satwa (CITES); tentang

hak azasi manusia; tentang hak untuk berpindah dan menetap; diskriminasi etnik dan

ras, dan sebagainya.

6) Oleh karena itu, otonomi memerlukan adanya masyarakat sipil (civil society) yang

terdiri dari berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat, yang kuat, solid, selalu

berpikir kritis, dan mampu melakukan kontrol atau pengawasan terhadap

3

Page 10: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

penyelenggaraan kekuasaan daerah yang berada di tangan eksekutif, legislatif dan

yudikatif.

7) Otonomi haruslah mengubah pandangan dan perilaku penyelenggara kekuasaan di

daerah untuk benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Artinya pemerintah benar-

benar meletakkan kepentingan dan suara masyarakat sebagai pijakan dari semua

kebijakan publik yang dibuat.

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa begitu banyak masalah yang terkait

dengan pengelolaan lingkungan hidup khususnya pemanfaatan sumber daya alam yang

berkaitan dengan otonomi daerah. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses

pembangunan daerah yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era

otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin

bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan

bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di

mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam

yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.

Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-

mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang

menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses

pembangunan daerah, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-

hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala

lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam

pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal

4

Page 11: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat

dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-

baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat

terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan

masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan

pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

b. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas peneliti merumuskan masalah

penelitian ini adalah:

1. Apakah di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang

pengelolaan sumber daya alam sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan

berkelanjutan?

2. Bagaimanakah upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan

sumber daya alam di daerah?

3. Bagimanakah penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses

perijinan?

4. Bagaimanakah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan

instansi terkait dan stakeholders di daerah?

5

Page 12: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

c. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan sumber daya alam

sudah memadai berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

2. Mengetahui upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber

daya alam di daerah.

3. Mengetahui penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses

perijinan.

4. Mengetahui upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi

terkait dan stakeholders di daerah.

d. KONTRIBUSI PENELITIAN

a. Diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan kajian lebih jauh

tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.

b. Selain hal itu diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk menambah dan

melengkapi ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan

tentang otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.

6

Page 13: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan sumber daya alam termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan

dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya

berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem

pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan

kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat

hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi)

dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa

pengelolaan sumber daya alam, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri

sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh

pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.

1. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam bidang

lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah

pusat kepada daerah:

• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.

• Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.

• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.

• Menetapkan pendekatan kewilayahan.

7

Page 14: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004,

pengelolaan sumber daya alam titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional

dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit RPJPN merumuskan program yang

disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu

mencakup :

1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam

dan Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang

lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan

hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.

Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya

informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data

spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat

luas di setiap daerah.

2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi

Sumber Daya Alam.

Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan

pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan

mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya,

sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien

dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-

kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang

tidak terkendali dan eksploitatif

8

Page 15: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan

Hidup.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya

mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas

lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan,

serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya

kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas

lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan

yang ditetapkan.

4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber

Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem

hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk

mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup

yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya

kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan

didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya

penegakan hukum secara adil dan konsisten.

5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam

dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.

Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian

pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

9

Page 16: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya

sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian

fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

2. Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Dengan pesatnya pembangunan nasional yang tujuannya meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah

tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan

landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan

dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan

lingkungan hidup, sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh

karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas

lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan

penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan.

Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya

permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan

lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :

1. Regulasi Perda tentang Sumber Daya Alam.

2. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.

3. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan

4. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan

hidup.

10

Page 17: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

5. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan

stakeholders

6. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.

7. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup.

8. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.

9. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pengelolaan Sumber Daya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,

pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan

yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi

penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan

keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya

pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan

lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.

Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan

terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang

penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam UUPLH, maka undang-undang ini

merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam

11

Page 18: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini

mengingat pengelolaan sumber daya alam memerlukan koordinasi dan keterpaduan

secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen

sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang

No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No.

26 Th 2007 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan

Gubernur.

Mengingat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahan yang

bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan daerah

diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang sejalan

dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya,

lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling

memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta

ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan.

Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta

penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk

mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan

berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada

slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa

yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari

waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal

12

Page 19: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah dalam era otonomi

daerah antara lain sebagai berikut.

• Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan

sebagian kewenangan mengelola sumber daya alam di daerah belum mampu

dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam

pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam, demikian juga ego sektor.

Pengelolaan sumber daya alam sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang

satu dengan sektor yang lain, tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan

menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan sumber

daya alam) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain

• Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program

dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan

keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan

hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada

kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program

pengelolaan sumber daya alam, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN

yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan sumber daya alam.

• Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan

sumber daya alam selain dana yang memadai juga harus didukung oleh

sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum

mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan

sumber daya alam (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara

baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.

13

Page 20: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

• Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi

ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian;

eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat,

aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta

menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan

hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang

semestinya.

• Lemahnya implementasi paraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam

implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak

melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan baik, bahkan mencari

kelemahan dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna

mencapai tujuannya.

• Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan.

Berkaitan dengan implementasi peraturan perundang-undangan adalah sisi

pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran

yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat

lemah didalam pemberian sanksi hukum.

• Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran

akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini,

perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga

14

Page 21: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun

masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.

• Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak

ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat

dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan

dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak

tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang

sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun.

Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-

daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang

kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin

mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di

atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi

lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini

sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi,

banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang

menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang

mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah

manusia itu sendiri.

15

Page 22: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis

normatif, yaitu suatu pendekatan secara yuridis yang mendasarkan pada kaidah-

kaidah hukum publik.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis, artinya suatu

cara pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan memamarkan

keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta – fakta yang tampak

sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis secara objektif.

Deskriptif artinya memberikan gambaran tentang objek yang diteliti, yaitu segala

ketentuan dan prosedural yang berhubungan dengan otonomi daerah dan pengelolaan

sumber daya alam. Sedangkan analitis artinya melakukan kajian deduktif, yaitu

kajian yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

(diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan (yang merupakan pengetahuan baru

yang bersifat lebih khusus) terhadap objek penelitian. Analitis ini dilakukan dalam

rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

C. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lengkap, diperlukan data yang bersifat primer dan

sekunder.

16

Page 23: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

1. Data Primer

Adalah data yang diperoleh melalui penelitian di lapangan dengan cara :

a. Observasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek

yang diteliti.

b. Wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara langsung secara terpimpin.

Dalam hal ini dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan sebagai

pedoman , tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang

disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.

2. Data Sekunder

adalah data yang diperoleh secara tidak langsung, dalam arti bahwa data ini

diperoleh dari buku-buku karya ilmiah para sarjana, peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan, arsip-arsip.

D. Metode Penyajian Data

Data Primer dan Data Sekunder yang telah diperoleh selama penelitian disajikan

dalam bentuk laporan sesuai dengan sifat data itu sendiri.

E. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif, yaitu data yang diperoleh, dipilih dan disusun secara sistematis untuk

kemudian dianalisa secara kualitatif untuk menggambarkan hasil penelitian,

selanjutnya disusun dalam karya ilmiah.

17

Page 24: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Data-data yang telah terkumpul diteliti dan dianalisis dengan menggunakan metode

berfikir deduktif, yaitu pola berfikir yang mendasarkan dari suatu fakta yang sifatnya

umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus.

18

Page 25: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DALAM PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN

Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development sebenarnya bukanlah

suatu konsep yang baru di tingkat global maupun nasional. Namun dalam pelaksanaannya

masih belum dipahami dengan baik, karena masih banyak menimbulkan kerancuan pada

tingkat kebijakan dan pengaturan serta mempunyai banyak hambatan pada tataran

implementasi atau pelaksanaan.

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian

sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan

hidup. Dalam pelaksanaannya konsep tersebut sudah menjadi topik pembicaraan dalam

konferensi Stockholm (UN Conference on the Human Environment) tahun 1972 yang

menganjurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor

lingkungan, menurut Siti Sundari Rangkuti Konferensi Stocholm telah membahas

masalah lingkungan serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan

memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).

Dilaksanakannya konferensi tersebut adalah sejalan dengan keinginan dari PBB

untuk menanggulangi dan memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi, bertepatan

dengan di umumkannya “Strategi Pembangunan Internasional” bagi “Dasawarsa

Pembangunan Dunia ke–2” (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada

tanggal 1 Juni 1970. Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan

19

Page 26: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

tindakan nasional serta Internasional guna menanggulangi “proses pemerosotan kualitas

lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi

kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang Umum PBB No. 2657

(XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian

kepada usaha “melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang

sedang berkembang” dengan menyesuaikan dan memperpadukan secara serasi kebijakan

nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana Pembangunan Nasional. Amanat

inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stocholm yang

dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep Pembangunan Berkelanjutan.

Pengaruh Konferensi Stocholm terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin

dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan

terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di

Indonesia. Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disahkan oleh resolusi SU PBB

No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB tentang

Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapat

dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai

“a first step in developing international environment law”.

Bagi Indonesia konsep ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang relatif baru.

Menurut Emil Salim, inti pokok dari Pembangunan yang lama tidak mempertimbangkan

lingkungan, dan memandang kerusakan lingkungan sebagai biaya yang harus dibayar.

Walaupun demikian konsep ini sebenarnya sudah dibahas mendahului Konferensi

Stockholm dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Nasional di Bandung tanggal 15-18 Mei 19972 sedangkan Konferensi Stockholm

berlangsung tanggal 15-18 Juni 1972. Menurut Daud Silalahi Seminar Nasional

20

Page 27: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional 1972 di UNPAD yang

bekerjasama dengan BAPPENAS telah mengawali konsep pembangunan yang

berwawasan lingkungan (ecodevelopment). Menurut pendapatnya pertemuan ini

membawa pengaruh pada pengaturan hukum lingkungan dan pada konsep pembangunan

dengan masuknya pertimbangan lingkungan dalam setiap keputusan rencana

pembangunan.

Seminar Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional (1972) dengan tema

“hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik,

dan hanya dengan lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. Otto Sumarwoto

menilai seminar tersebut sebagai suatu tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan

hidup di Indonesia. Karena itu perbincangan tentang pembangunan tentang Pembangunan

Berkelanjutan sudah dibahas di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, namun

hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum dapat diwujudkan secara baik.

Dalam kurun waktu tersebut bangsa Indonesia telah berusaha untuk menjadikan

Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang berkelanjutan bahkan ditambah

dengan berwawasan lingkungan, namun prakteknya menunjukkan lain. Dalam gambaran

tentang kondisi umum mengenai pengelolaan Sumber daya alam dan lingkungan hidup,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa Konsep

Pembangunan Berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam

pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak

terkendali. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah sebuah harapan yang harus

diwujudkan dan dalam upaya mewujudkannya itu peranan hukum menjadi sangat

relevan.

21

Page 28: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

2. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN YANG BERWAWASAN LING-

KUNGAN HIDUP .

Istilah pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yang kita

pergunakan disini merupakan terjemahan dari “sustainable development” yang sangat

populer dipergunakan di negara-negara Barat. Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara

resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan

istilah Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup digunakan

dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu juga

dikenal ada istilah lingkungan dan pembangunan, sedang sebelumnya lebih popular

digunakan istilah Pembangunan yang berwawasan Lingkungan sebagai terjemah dari

Eco-development. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan

pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pertama kali istilah ini muncul dalam

World Conservation Strategy dari the International Union for the conservation of nature,

lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981).

Istilah tersebut kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our

Common Future (1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang

akhirnya pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigma

Pembangunan Berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk

semua negara di dunia.

Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi Hardjasoemantri,

didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment and Development, disingkat

WCED. WCED dibentuk PBB memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983

No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr.

22

Page 29: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Mansour Khalid (Sudan), salah satu anggotanya dari Indonesia adalah Prof. Dr. Emil

Salim. Salah satu tugas WCED adalah mengajukan strategi jangka panjang pengembang-

an lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya.

WCED telah memberikan laporannya pada tahun 2000 yang diberi judul “Our Common

Future” yang memuat banyak rekomendasi khusus untuk perubahan institusional dan

perubahan hukum. Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan

laporan yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Buku ini diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Hari Depan Kita Bersama” 1988. Salah satu

tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia ini adalah agar pemahaman tentang

perlunya wawasan lingkungan dalam Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan

terkenal dengan istilah “Sustainable Development”.

Dalam laporan WCED “Our Common Future” ditemui sebuah rumusan tentang

“Sustainable Development” sebagai berikut: “Suistainable Development is defined as

development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future

generations to meet their own needs”. Ada beberapa penekanan yang kita temukan dalam

terjemahan rumusan ini. Dalam terjemahan Laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan

dan Pembangunan disebutkan “Umat memiliki kemampuan untuk menjadikan

pembangunan ini berkesinambungan (sustainable) untuk memastikan bahwa Pembangun-

an ini dapat memenuhi kebutuhanya” .

Selanjutanya dalam laporan Komisi Dunia untuk lingkungan hidup dan

pembangunan tentang “Hari Depan Kita Bersama” (1988) dikemukakan beberapa

penegasan lebih lanjut tentang pembangunan berkelanjutan ini. Dikatakan konsep

pembangunan yang berkesinabungan memang mengimplikasikan batas - bukan batas

absolut akan tetapi batas yang ditentukan oleh tingkat teknologi dan organisasi sosial

23

Page 30: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sekarang ini mengenai sumber daya lingkungan serta oleh kemampuan biosfer menyerap

pengaruh-pengaruh kegiatan manusia, akan tetapi teknologi untuk memberi jalan bagi era

baru pertumbuhan ekonomi. Kemudian ditambahkan pula bahwa Pembangunan global

yang berkesinambungan juga mensyaratkan mereka yang hidup lebih mewah untuk

mengambil gaya hidup dalam batas-batas kemampuan ekologi planet ini dalam hal

penggunaan energi, misalnya. Lebih lanjut penduduk yang bertambah cepat dapat

meningkatkan tekanan pada sumber daya dan penyelamatan naiknya taraf hidup, jadi

pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dikejar bila besarnya populasi penduduk

dan pertumbuhan selaras dengan potensi produktif yang terus berubah dari ekosistem.

Akhirnya pembangunan yang berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang

tetap, akan tetapi lebih berupa suatu proses dengan pemanfaatan sumber daya, arah

investasi, orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang

konsisten dengan kebutuhan hari depan dan kebutuhan masa kini. Kami menyadari

bahwa proses itu tidak mudah. Pilihan-pilihan yang menyakitkan harus dibuat. Jadi dalam

analisis akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan pasti bersandar pada kemauan

politik.

Dalam menanggapi rumusan Pembangunan Berkelanjutan, Emil Salim dalam

terjemahan laporan ke dalam bahasa Indonesia mengemukakan bahwa rumusan

pembangunan berkelanjutan memuat dua konsep pokok yakni, pertama, konsep

“kebutuhan”, khususnya kebutuhan pokok kaum miskin sedunia, terhadap siapa prioritas

utama perlu diberikan; dan kedua, gagasan keterbatasan yang bersumber pada keadaan

teknologi dan organisasi sosial yang dikenakan terhadap kemampuan lingkungan untuk

memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan. Dengan demikian keprihatinan

kemiskinan dan ikhtiar menanggapi keterbatasan akibat keadaan teknologi dan organisasi

24

Page 31: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sosial menjadi latar belakang pembahasan masalah-masalah lingkungan dan

pembangunan. Selain hal itu dikemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok

yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan ini, yaitu :

Pertama, proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut, terus menerus di

topang oleh sumber daya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara

berlanjut,

Kedua, sumber daya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, sehingga

penggunaannya akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Penurunan itu berarti

berkurangnya kemampuan sumber daya alam tersebut untuk menopang pembangunan

secara berkelanjutan, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber daya

alam dengan sumber daya manusia.

Ketiga, kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik

kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain

tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya

tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan, akan

memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.

Keempat, pembangunan berkelanjutan menumbuhkan solidaritas transgenerasi, dimana

pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraan-

nya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan

kesejahteraannya.

Pandangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Ignas Kleden yang antara

lain menyatakan bahwa ada dua hal yang dipertaruhkan disini, yaitu daya dukung

sumber-sumber daya tersebut, dan solidaritas transgenerasi; maksudnya adalah

bagaimana kita mengekang diri untuk tidak merusak sumber-sumber daya yang ada, agar

25

Page 32: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

dapat bersikap adil terhadap masa depan umat manusia. Kegagalan kita untuk

memelihara daya dukung sumber-sumber daya itu akan menyebabkan kita berdosa karena

telah melakukan sesuatu (sin of commission) sementara kegagalan untuk mewujudkan

solidaritas transgenerasi itu akan menyebabkan kita berdosa karena telah melalaikan

sesuatu.

Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan tidak lepas dari berbagai

interpretasi. Moeljarto Tjokrowinoto misalnya menyebutkan ada interpretasi yang lahir

dari pemikiran kaum environmentalist dan ada pula interpretasi yang datang dari para

pakar lembaga-lembaga donor. Kedua interpretasi pembangunan berkelanjutan tadi

mempunyai implikasi administratif tertentu. Menurut Moeljarto munculnya konsep

pembangunan berkelanjutan didorong oleh kenyataan tingginya mortality rate proyek-

proyek pembangunan di negara berkembang. Alokasi input yang berkesinambungan tidak

menjadikan proyek pembangunan tadi berkembang dengan kekuatan tersendiri.

Dikatakan pula bahwa sustainable development atau pembangunan berkelanjutan ini

mungkin diwujudkan melalui keterkaitan (interlinkages) yang tepat antara alam, aspek

sosio-ekonomis dan kultur. Dikatakan juga bahwa sustainable development bukanlah

suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, akan tetapi merupakan suatu proses perubahan

dimana eksploitasi sumber daya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi,

perubahan kelembagaan konsisten dengan kebutuhan pada saat ini dan di masa

mendatang.

Pandangan lain diungkapkan Sonny Keraf. Dikemukakannya bahwa paradigma

pembangunan berkelanjutan adalah sebuah kritik pembangunan di satu pihak tetapi di

pihak lain adalah suatu teori normatif yang menyodorkan praksis pembangunan yang

baru sebagai jalan keluar dari kegagalan developmentalisme selama ini.

26

Page 33: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Sedangkan menurut Mas Achmad Santoso istilah sustainable development

mengandung berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan

berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian.

Disamping konsep sustainable development yang berasal dari WCED, muncul

pula batasan tentang pembangunan yang didukung oleh Bank Dunia, World Conservation

Society (IUCN) serta IUCN bersama UNEP dan WWF yang antara lain menekankan pada

perbaikan sosial ekonomi, pelestarian sumber daya alam dan perhatian pada daya dukung

sumber daya alam serta keanekaragamannya dalam jangka panjang. Konsep ini

dirumuskan dalam apa yang dinamakan “ Carrying for the Earth: The Strategy for

Sustainable Living” menggantikan World Conservation Strategy (WCS). Dalam

rumusan Carrying for the Earth disingkat CE (1991) perumusan tentang sustainable

development digariskan sebagai berikut:

“improving the quality of human life while living within the carrying capacity of

supporting ecosystem. A sustainable economy is the product of sustainable development.

It maintains natural resources base, it can continue to develop by adopting and through

improvement in knowledge, organization, technical efficiency and wisdom”.

Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengakui tentang pentingnya peranan

hukum untuk menopang terlaksananya pembangunan berkelanjutan. Menurut Koesnadi

Hardjosoemantri, pertama kali dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan telah

dilakukan upaya untuk menggariskan kerangka hukum yang komprehensif guna

menetapkan pembangunan berkelanjutan. Dalam mengemukakan pentingnya mekanisme

hukum dalam tingkat nasional, regional dan global dalam menetapkan dan melaksanakan

pembangunan berkelanjutan. CE menyatakan bahwa hukum lingkungan, dalam

pengertiannya yang luas, adalah sarana esensial bagi mencapai keberlanjutan.

27

Page 34: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Konsep pembangunan berkelanjutan dikembangkan lebih jauh dalam KTT Bumi

yang diselenggarakan di Rio de Jenairo pada tanggal 3-14 Juni 1992, konferensi ini

merupakan momentum global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) dan membentuk kemitraan dunia untuk mencapai kehidupan dan kualitas

dunia, yang lebih baik. Konferensi ini menghasilkan banyak keputusan penting antara

lain “The Rio Declaration on Environment and Development” dan agenda 21. Prinsip

pertama dari Rio Declaration menyatakan bahwa:” human beings are as the center of the

concern for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in

harmony with nature (manusia merupakan perhatian dari pembangunan berkelanjutan.

Mereka berhak untuk mendapatkan suatu kehidupan yang baik dan produktif yang

harmonis dengan alam).

Selanjutnya berdasarkan Agenda 21, pada tahun 1992 telah diselenggarakan

Sidang Umum PBB dan The Economic and Social Council (ECOSOC) yang membentuk

Commision on Sustainable Development (CSD) yang beranggota 53 negara yang dipilih

oleh ECOSOC dengan memperhatikan kelayakan distribusi geografis. Sekretariat CSD

berkedudukan di New York dan pertemuan-pertemuan diselenggarakan di New York dan

Genewa. CSD bertujuan untuk : “ ensure the effective follow-up of UNCED, as well as to

enhance international cooperation and rationalize the intergovermental decision making

capacity for the integration of environment and development issues and to examine the

progress of the implementation of agenda 21 at the national, regional and international

levels, fully guided by the principles of the Conference, in other to achive sustainable

development. Dengan demikian sudah ada suatu badan dunia yan menangani

pengembangan pembangunan berkelanjutan yang meliputi tatanan nasional, regional dan

global.

28

Page 35: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pertemuan terakhir yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan ini

adalah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan

(2002) sebagai kelanjutan dari KTT Rio de Jenairo. Dalam KTT ini lebih ditegaskan lagi

mengenai perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak

saja harus dilihat sebagai pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus

memperhatikan dimensi sosial yaitu tentang manusianya sendiri dan alam ciptaan Tuhan

yang dianugrahkan kepada manusia. Melalui pendekatan tersebut maka pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) mempunyai dasar dan landasan yang lebih

kokoh untuk diterapkan, hanya saja konsep tersebut masih harus di sosialisasikan secara

lebih luas.

Sebagai tindak lanjut dari seminar pengelolaan lingkungan hidup dan

pembangunan nasional (1972) untuk tingkat nasional dan UN conference on the human

and environment (1972) untuk tingkat global pemerintah tidak hanya memasukkan aspek

lingkungan hidup dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tetapi juga

membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973

aspek lingkungan hidup masuk dalam GBHN. Kemudian pengelolaan lingkungan hidup

dimasukkan ke Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan

penjabarannya dalam Repelita III. Pada tahun 1978 dibentuk Menteri Negara Pengawasan

Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 1982 diubah

menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian

pada 1992 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) sampai sekarang.

Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan aspek lingkungan

bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita.

29

Page 36: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pada tahun 1982 telah diundangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN

1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup

(UULH) secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan

pelaksanaan pembangun-an dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang

dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan” Undang-Undang ini mempunyai arti

penting tersendiri, menurut Siti Sundari Rangkuti UULH ini mengadung berbagai

konsepsi dari pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun

internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan

Indonesia, sehingga perlu dikajinya perundang-undangan lingkungan modern sebagai

satu sistem keterpaduan.

Dalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan

pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan berwawasan

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang”. Mengenai pengertian

pembangunan bewawasan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 yang

menyatakan bahwa “pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan

terencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam

pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup”. Penjelasan

UULH (TLN.3215) dinyatakan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara

bijaksana berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap

lingkungan serta kemampuan sumber daya alam untuk menopang pembangunan secara

berkesinambungan. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan

berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan”

istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan acuan istilah sustainable

30

Page 37: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

development karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa

Indonesia mempunyai makna yang sama.

Hal lain yang ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan

lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa “pengelolaan Lingkungan

Hidup Berazaskan Pelestarian Kemampuan Lingkungan yang serasi dan seimbang untuk

menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan

manusia. Sedangkan penjelasannya menyatakan bahwa pengertian pelestarian

mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan

peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang

dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, UULH ini

mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah

satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka 13) atau

sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 3).

Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 4 Tahun 1982 dicabut dan digantikan

dengan UU No. 23 Tahun 1997 (LN 1997:68) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPLH). Dalam UUPLH ini tidak lagi diadakan pembedaan antara pembangunan yang

berwawasan lingkungan dengan pembangunan yang berkesinambungan seperti

dikemukakan di atas akan tetapi UUPLH ini menggunakan istilah baru lagi yaitu

“Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan Hidup”.

Konsideran UU No. 23 Tahun 1997 antara lain menjelaskan tentang mengapa kita

harus melaksanakan ‘Pembangunan Berkelanjutan Yang Berwawasan Lingkungan

Hidup” seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendaya-gunakan

sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam

UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu

31

Page 38: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan

memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Penegasan

tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pengelolaan SDA sebagai suatu

asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam pertimbangan berikutnya (huruf c)

ditegaskan bawa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk

melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras dan

seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup. Dalam pertimbangan ini pengelolaan lingkungan hidup dianggap

sebagai penunjang terhadap pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan.

Dalam UUPLH ini diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup (Pasal 1 butir 3). Disebutkan dalam

ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan

hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk

sumber daya alam ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,

kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

Selanjutnya dalam UUPLH ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas

pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup”

sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan:

“pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara,

asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

32

Page 39: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan UUPLH (TLN 3699) menyatakan “asas

berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung

jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk

terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan

hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi

tumpuannya dalam meningkatkan pembangunan. Hal ini kemudian ditegaskan dalam

UUD 1945 amandmen ke-4 (2002) yang menambahkan ayat (4) dan (5) terhadap Pasal 33

yang sebelumnya tidak pernah mengalami perubahan yang menyebutkan:

a) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan

ekonomi nasional.

b) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini diatur dalam undang-

undang.

Sejalan dengan pembahasan tersebut juga diadakan perubahan terhadap judul Bab XIV

Undang-Undang Dasar yang melengkapi pasal tersebut dan judul semula “Kesejahteraan

Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Dalam konteks ini

tampak ada penonjolan dimensi ekonomi dalam penguasaan sumber daya alam, yang

perlu mendapat perhatian adalah aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan

hanya berada dalam dimensi ekonomi belaka tetapi juga dalam dimensi kehidupan

menusia termasuk dimensi sosial budaya, kesejahteraan sosial pada dasarnya juga harus

menonjolkan aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan dengan demikian konsep

pembangunan berkelanjutan di Indonesia pada umumnya dan sistem hukum lingkungan

33

Page 40: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pada khususnya. Walaupun penjabarannya dalam pengaturan mengenai pengelolaan

sumber daya alam masih belum begitu tampak secara jelas.

3. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pengaturan tentang bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah

dilakukan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia. Selain Pasal 33 UUD 1945 yang

merupakan ketentuan dasar, ada seperangkat Undang-Undang yang mengatur tentang hal

tersebut, antara lain Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria,

Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan pokok Kehutanan, kemudian

dicabut dan digantikan dengan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang no. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok Pertambangan yang

direncanakan akan diganti dalam waktu dekat, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974

Tentang Pengairan, berikut seperangkat ketentuan pelaksanaannya, selain hal itu juga

peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang telah kita sebutkan di atas dan

seperangkat ketetapan MPR yang mengatur tentang hal ini seperti TAP MPR No.

IX/MPR/2001 tentang pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam.

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sebagaimana telah dirubah dalam Tahun 2002 berbunyi selengkapnya :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasi Negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

34

Page 41: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-

Undang

Pengelolaan sumber daya alam adalah seperti apa yang disebutkan dalam ayat (3)

yaitu melingkupi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.

Ketentuan ini kemudian diperluas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dengan

menambah unsur ruang angkasa sehingga meliputi “ Bumi, air dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang dua hal

yaitu:

1. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk “menguasai” bumi dan air serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sehingga negara mempunyai “Hak

Menguasai”. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak

penguasaan sumber daya alam di Indonesia.

2. Membebaskan di satu sisi serta memberikan kewajiban di sisi lain kepada negara

untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa

rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di

Indonesia. Secara singkat pasal ini memberikan hak kepada negara untuk mengatur dan

menggunakan sumber daya alam yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia, juga

35

Page 42: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

membebankan suatu kewajiban kepada negara untuk menggunakan sumber daya alam

untuk kemakmuran rakyat, bilamana hal ini merupakan kewajiban negara, maka pada sisi

lain adalah merupakan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendapat kemakmuran melalui

pengelolaan sumber daya alam.

Pertanyaan yang muncul adalah rakyat Indonesia yang mana yang paling berhak

untuk mendapatkan kemakmuran dari pengelolaan sumber daya alam Indonesia? Pada

dasarnya seluruh rakyat Indonesia yang berdiam di seluruh wilayah Negara Kesatuan

Indonesia pada tingkat atau lapisan manapun mempunyai hak yang sama untuk

menikmati kemakmuran tersebut, namun kalau kita membicarakan siapa yang lebih

diutamakan tentu saja masyarakat yang berada disekitar sumber daya alam itu berada

harus lebih diutamakan dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari sumber daya alam

yang dimaksud.

Hal ini ditegaskan antara lain dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan MPR No.

XV/MPR/1998 tetang penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan pembangunan dan

pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan serta perimbangan keuangan Pusat dan

daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa

keseluruhannya. Dalam pasal ini disebutkan lebih dahulu masyarakat daerah dari bangsa

Indonesia secara keseluruhan. Mengisyaratkan kepada kita bahwa masyarakat setempat

harus diberikan prioritas haknya untuk menikmati kemakmuran dalam pemanfaatan

sumber daya alam ketimbang orang-orang yang jauh bertempat dari sumber daya alam

dimaksud. Hak ini telah diberi penekanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah

sebagai reaksi dari apa yang selama ini dikenal hegemoni pusat. Orang-orang yang ada di

pusat lebih banyak menikmati kemakmuran dari pada masyarakat daerah atau masyarakat

setempat. Selain itu kemakmuran dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam bukan

36

Page 43: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

hanya sekedar menjadi hak dari generasi masa kini saja. Anak cucu kita sebagai generasi

mendatang juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati kemakmuran dari

pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia. Karena itu kemakmuran yang ingin

diwujudkan menurut Undang-Undang Dasar adalah bersifat transgeneration dan oleh

karenanya hak untuk mendapat kemakmuran harus berkesinambungan atau berkelanjutan

(sustainable). Karena hal ini sejalan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan

dan berwawasan lingkungan .

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan

sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan

lingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa sumber daya

adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam

baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini

menentukan:

1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.

2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah:

a) Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup.

b) Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan

hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya

genetika.

c) Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau

subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam

dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.

37

Page 44: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

d) Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.

e) Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup

sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

peraturan pemerintah.

Kemudian dalam Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan

hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya

alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konsensus sumber daya alam hayati

dan eksistensinya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam yang dikaitkan dengan

pembangunan yang berkelanjutan tampak dengan jelas dalam Undang-Undang No. 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 3 dari Undang-Undang ini misalnya menentukan:

“Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang

berkeadilan dan berkelanjutan:

a) Menjamin keberadaan hutan dengan luasnya yang cukup dan sebaran yang

proporsional.

b) Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi komunikasi, fungsi

lindung, dan fungsi produksi. Untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya

dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

c) Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.

d) Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga

mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap

akibat perubahan eksternal, dan

38

Page 45: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

e) Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Karena itu Undang-Undang ini menganut prinsip pengelolaan hutan yang

berkelanjutan atau “sustainable forest management”.

Selanjutnya UU lain yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam

adalah UU No. 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)

Tahun 2005-2025. Dalam Lampiran UU tersebut Bab II Kondisi Umum arah kebijakan

pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup disebutkan:

1. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat

bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari satu generasi ke generasi lain.

2. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup

dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan

menerapkan teknologi ramah lingkungan.

3. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan

pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang

diatur dengan Undang-Undang.

4. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,

pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat

lokal, serta penataan ruang yang pengusahaanya diatur dengan Undang-Undang.

5. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan,

keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah

kerusakan yang tidak dapat balik.

39

Page 46: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Lima prinsip ini kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam gambaran umum mengenai pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup ditegaskan bahwa peran pemerintah dalam

perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber

daya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan

negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta

perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan

secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal

dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.

Ditegaskan lebih jauh dalam UU ini, dengan memperhatikan permasalahan dan

kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang sumber

daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya:

1. Mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak

dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan

memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.

2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan

sumber daya alam dan pencemaran lingkungan .

3. Mendelegasikan kewenangan dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.

4. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber

daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

global.

40

Page 47: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

5. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui

keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

6. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan

konservasi baru di wilayah tertentu, dan

7. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan

lingkungan global.

Bilamana kita teliti pengarusutamaan tentang rencana pembangunan sebagaimana

disebutkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tersebut khususnya yang berkenaan dengan

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup – menggambarkan telah

dimasukkannya perkembangan pemikiran di bidang lingkungan dalam pelaksanaan

pembangunan nasional, sehingga cukup beralasan bahwa di Indonesia, pembangunan

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup telah dilaksanakan walaupun mungkin

baru sebatas dalam aturan hukum.

Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah Tap MPR/IX/2001 tentang

pembaharuan Agraria dan pengelolaan Sumber daya alam Pasal 3 ketetapan ini

menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, lautan

dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kemudian dalam Pasal 4 ditentukan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan

sumber daya harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:

a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

c) Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam

unifikasi hukum.

41

Page 48: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia

e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi

partisipasi rakyat.

f) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

peruntukan, penggunaan, pemanfatan dan pemeliharaan sumber daya

agraria/sumber daya alam.

g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk

generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap

memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan

h) Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi

sosial budaya setempat.

i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah

dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,

daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat) masyarakat dan

individu.

l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan, ditingkat nasional,

daerah propinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan

alasan dan pengelolaan sumber daya agraris/sumber daya alam.

Prinsip-prinsip ini memberikan landasan formal pengelolaan sumber daya alam

yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

42

Page 49: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) ketetapan ini menentukan bahwa arah

kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:

a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sosialisasi

kebijakan antar sektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud

Pasal 4 ketetapan ini.

b) Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui

identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai

potensi pembangunan

c) Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi

sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab

sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi

tradisional.

d) Memeperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan

melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya

alam tersebut.

e) Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul

selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna

menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip

sebagai mana dimaksud Pasal 14 ketetapan ini.

f) Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber

daya alam yang berlebihan.

43

Page 50: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

g) Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada

optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan

masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.

Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia secara umum sudah mempunyai

landasan formal yang cukup kuat dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang

berbasis pembangunan berkelanjutan.

Namun apakah dalam realitanya memang sudah seperti apa yang ditentukan

dalam ketentuan dimaksud? Dalam gambaran tentang kondisi umum mengenai

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup UU No. 17 Tahun 2007 tentang

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 menentukan : konsep

pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijakan, namun dalam

pengalaman praktek selama ini, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak

terkendali dengan akibat perusakan lingkungan yang mengganggu pelestarian alam;

ungkapan ini menunjukkan adanya pengakuan dari lembaga negara di Indonesia tentang

masih belum terlaksananya pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya

alam.

Konsideran Tap IX/MPR/2001 menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya

agraria/ sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan

kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian disebutkan pula bahwa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria

atau sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.

Persoalan ini tidak hanya dihadapi di Indonesia akan tetapi juga berlaku secara

global dan proses globalisasi itu sendirilah sebenarnya yang memperlemah pelaksanaan

44

Page 51: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikatakan oleh Martin Khor bahwa proses

globalisasi telah semakin mendapat kekuatan, dan proses tersebut telah dan akan semakin

menenggelamkan agenda pembangunan berkelanjutan.

Dalam tulisannya, Sonny Keraf menyebutkan ada dua penyebab kegagalan

penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menurut pendapatnya salah satu

sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma

tersebut kurang dipahami sebagai prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai

seluruh proses pembangunan. Paradigma ini tidak dipahami sebagai bentuk prinsip pokok

politik pembangunan itu sendiri. Pada akhir cita-cita yang dituju dan ingin diwujudkan

dibalik paradigma tersebut tidak tercapai. Karena, prinsip politik pembangunan yang

seharusnya menuntut pemerintah dan semua pihak lainnya dalam rencana dan

implementasi pembangunan tidak dipatuhi dengan kata lain, paradigma pembangunan

berkelanjutan harus dipahami sebagai etika politik pembangunan, yaitu sebuah komitmen

moral tentang bagaimana seharusnya pembangunan itu diorganisir dan dilaksanakan

untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan dengan itu, paradigma pembangunan berkelanjutan

bukti sebuah konsep tentang pembangunan lingkungan hidup. Paradigma pembangunan

berkelanjutan juga bukan hanya tentang pembangunan ekonomi. Ini sebuah etika politik

pembangunan mengenai pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan

itu seharusnya dijalankan. Dalam arti ini, selama paradigma pembangunan berkelanjutan

tersebut tidak dipahami, atau dipahami secara luas, cita-cita moral yang terkandung di

dalamnya tidak akan terwujud . Alasan kedua, mengapa paradigma itu tidak jalan,

khususnya mengapa krisis ekologi tetap saja terjadi, karena paradigma tersebut kembali

menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de

Janeiro tujuh belas tahun lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi usulan tentang

45

Page 52: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pembangunan, dengan fokus utama berupa pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, selama

tujuh belas tahun terakhir ini, tidak banyak perubahan yang dialami semua negara di

dunia dalam rangka mengoreksi pembangunan ekonominya yang tetap saja sama, yaitu

penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam dengan segala dampak negatifnya bagi

lingkungan hidup, baik kerusakan sumber daya alam maupun pencemaran lingkungan

hidup.

Sekalipun pembangunan berkelanjutan berada pada suatu titik terendah, menurut

Martin Khor, namun muncul juga tanda kebangkitannya kembali sebagai suatu

paradigma. Keterbatasan dan kegagalan globalisasi telah menyebabkan munculnya reaksi

negatif dari sebagian masyarakat yang pada akhirnya mungkin akan berdampak pada

terjadinya perubahan sejumlah kebijakan. Dengan munculnya kekuatan pro pembangunan

berkelanjutan dalam pemerintahan di negara-negara sedang berkembang (NSB) mereka

menjadi lebih sadar akan hak-hak dan tanggungjawab untuk meralat berbagai persoalan

yang ada pada saat ini termasuk mengubah sejumlah peraturan dalam WTO.

World Summit On Sustainable Development - WSSD (Konferensi Dunia tentang

Pembangunan Berkelanjutan) memberikan kesempatan untuk memusatkan kembali

perhatian masyarakat maupun upaya-upaya pemantapan, bukan semata-mata mengenai

persoalan itu, melainkan juga kebutuhan untuk menggeser paradigma-paradigma.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia

patut di catat penilaian dari D. Pearce & G Atkinson dalam tulisanya “A Measure of

Sustainable Development” sebagaimana dikutip oleh Soerjani. Dua penulis ini menilai

pembangunan Indonesia dinilai masih belum sustainable. Hal ini dengan alasan bahwa

depresiasi sumber daya alam Indonesia besarnya adalah 17% dari GDB, sedangkan

investasinya hanya 15 %. Pembangunan itu baru dinilai sustainable dalam memanfaatkan

46

Page 53: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sumber daya alam itu melalui rekayasa teknologi dan seni, sehingga kalau yang kita

konsumsi nilai tambahnya, sangat mungkin dapat ditabung untuk investasi senilai 17%

atau bahkan lebih. Jadi jelas bahwa kemampuan sumber daya manusia untuk memberi

“nilai tambah” sumber daya pendukung pembangunan melalui penerapan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni merupakan kunci apakah pembangunan yang

dilaksanakan itu sustainable berkelanjutan, berkesinambungan atau tidak.

Dengan demikian sekalipun secara formal sudah jelas pembangunan yang

dilaksanakan di Indonesia harus berupa Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan

Lingkungan Hidup tetapi masih baru pada tataran das solen dan melalui perangkat hukum

diharapkan dapat diwujudkan pada tataran das sein. Namun keberhasilan ini masih

tergantung pada banyak faktor, selain faktor yang bersifat yuridis, juga politis dan budaya

termasuk kondisi sumber daya manusia yang menjadi pelaksanaanya.

4. PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI ERA OTONOMI DAERAH

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 5

menyebutkan bahwa Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Konsep dasar dari Otonomi Daerah adalah memberikan wewenang kepada daerah

untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing sesuai

dengan apa yang mereka kehendaki dan mereka butuhkan, dan pemerintah pusat akan

membantu dan memelihara kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan didaerah

47

Page 54: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

seperti masalah moneter, pembangunan jalan antar kota dan provinsi, maupun

pemeliharaan sistem pengairan yang melintasi berbagai wilayah.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat

hukum dengan batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Tujuan dari Otonomi Daerah adalah :

a. Memberdayakan masyarakat.

b. Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.

c. Meningkatkan peran serta masyarakat.

d. Mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Dalam memahami penggunaan istilah perlu dipahami perbedaan pengertian antara

istilah desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan

wewenang ke daerah; sedangkan dekonsentrasi sebagai pelimpahan wewenang

pemerintah pusat kepada daerah otonom yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah

kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan atau perangkat pusat didaerah.

Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan

yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang

diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang

berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah disamping itu

penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi,

peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan

pemerintahan yang mencakup kewenangan semua urusan pemerintahan, kecuali urusan

48

Page 55: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pemerintahan dibidang politk luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan

agama, serta urusan pemerintahan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

(PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan). Disamping itu

keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam

penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian

dan evaluasi. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) merupakan urusan pemerintahan

yang telah diserahkan ke daerah berdasarkan PP No. 38 tahun 2007 tersebut.

Pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia sudah

berlangsung sejak lama, dan ini adalah sangat manusiawi, yang jadi persoalan adalah

dampak negarif dari kesalahan dalam pengelolaan tersebut. Di Indonesia kerusakan alam

dan lingkungan sangat signifikan terjadi sejak orde baru, bahkan sampai era yang disebut

sebagai era reformasi hal ini malah semakin tidak terkendali.

Dalam soal koordinasi pengelolaan sumber daya alam misalnya, kekhawatiran

munculnya ketidakpaduan cukup beralasan. Kekhawatiran ini bukan hanya karena UU

No. 22 Tahun 1999 tidak tegas dalam soal itu tapi juga dikuatkan oleh pengalaman

semenjak UU tersebut efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2001. Hingga UU No. 22

Tahun 1999 direvisi pada tahun 2004 telah dikeluarkan berbagai bentuk peraturan

perundangan dan kebijakan yang menampilkan aura ego sektoral yang berujung pada

semakin kacaunya regulasi sumber daya alam. Eksesnya mudah untuk dilihat, yakni

pengurasan dan pengrusakan terhadap sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut tanpa

menunjukan tanda-tanda berkurang, apalagi berhenti.

Pengelolaan sumber daya alam selama ini yang telah mendatangkan berbagai

dampak dan permasalahan berawal dari berbagai produk perundang-undangan yang

berkaitan dengan sumber daya alam memberikan legitimasi kepada praktek pemanfaatan

49

Page 56: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sumber daya alam yang tidak memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan

kepentingan masyarakat daerah. Berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang

sumber daya alam mempunyai kelemahan substansial antara lain;

• Berorientasi pada ekspolitasi sumber daya alam untuk mengejar keuntungan

ekonomi semata, sehingga lebih berpihak kepada para pengusaha besar.

• Berpusat pada negara, sehingga menggunakan pendekatan kekuasaan secara

sentralisitis.

• Bersifat sektoral, sehingga banyak regulasi, kebijakan, kepentingan maupun

pengelolaan yang tumpang tindih.

• Mengabaikan keadilan terhadap masyarakat daerah setempat.

1. Regulasi Peraturan Daerah tentang Sumber Daya Alam.

Desentralisasi adalah salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah

dengan rakyat. Dari sini ruang partisipasi rakyat demi demokratisasi terbuka. Dengan

dekatnya ‘jarak’ baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat peraturan

seharusnya, kontrol terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintahan daerah

semakin besar. Namun, pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa kontrol baik

dari rakyat maupun organisasi non pemerintah di daerah terhadap peraturan perundang-

undangan yang muncul sebagai penjabaran UU diatasnya sangat lemah. Sehingga sangat

mungkin, peraturan-peraturan daerah ini justru malah bertolak belakang dari jiwa UU di

atasnya tersebut.

Hal-hal di atas terjadi walaupun advokasi kebijakan dan pengorganisasian serta

pendampingan rakyat telah dilakukan baik bersama ornop maupun oleh rakyat sendiri.

Refleksi beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kapasitas dan kualitas

50

Page 57: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

pengawalan oleh rakyat beserta ornop dalam memulihkan kerusakan sosial dan ekologis

ini masih relatif lemah1. Pemahaman tentang pokok permasalahan relatif masih tidak

lengkap. Dalam banyak kasus, metode yang digunakan juga tidak dipahami secara kritis.

Akibatnya, seringkali, alih-alih menyelesaikan masalah, justru telah menimbulkan

masalah baru. Bahkan di beberapa wilayah ornop masih sibuk membenahi permasalahan

internal organisasinya. Hal ini diakui memang terjadi, selain faktor tidak seimbangnya

jumlah ornop yang ada (terlalu sedikit) dengan kerusakan-kerusakan yang harus

dipulihkan. Seharusnya, ornop bersama rakyat memperkuat dirinya dengan mendalami

substansi permasalahan juga metode untuk resolusi konflik. Selain itu pengorganisasian

harus diperkuat dan sikap kritis dipertajam sehingga peraturan-pearatran daerah yang

keluar dari pemerintahan daerah dapat mencerminkan aspirasi rakyat dan ditujukan untuk

memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama ini terjadi.

Sumber daya alam memang tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, yaitu

kepentingan negara, kepentingan modal dan kepentingan rakyat. Konflik antar

kepentingan ini selalu memposisikan rakyat sebagai pihak yang kalah. Agenda

desentralisasi yang dimaksudkan menyerahkan sejumlah kewenangan dari pemerintahan

pusat ke pemerintahan daerah seharusnya memposisikan rakyat sebagai pelaku utama

pengelolaan sumber daya alam. Namun, “segala penyakit yang tadinya ada di pemerintah

pusat beralih ke pemerintahan daerah”. Selain landasan undang-undangnya sendiri yang

harus direvisi, political will dari pemerintah daerah dan DPRD belum muncul serta

struktur politik yang ada juga tidak memungkinkan perubahan.

1 Zakaria, Yando. 2003. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang disajikan

dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat”

51

Page 58: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Contoh ;Rekapitulasi Tema Perda di Jawa Tengah 1999-2004No. Daerah Kategori Jumla

hKelembagaan

Keuangan

Pajak

Retribusi

Kesehatan

Tenagakerja

Lainnya

1 Provinsi Jateng 12 13 6 17 3 4 17 72

2 Kota Semarang 7 11 8 9 2 1 8 46

3 Kudus 17 14 2 17 0 1 9 60

4 Pekalongan 17 11 5 12 0 1 5 51

5 Blora 11 7 2 13 1 2 0 36

6 Surakarta 9 14 1 14 2 0 4 44

7 Sragen 23 11 4 28 3 2 11 82

8 Purbalingga 27 15 2 15 2 3 5 69

9 Kebumen 20 10 1 25 2 1 29 88

10 Wonosobo 34 19 4 26 0 2 38 123

11 Cilacap 10 0 6 20 0 1 16 53

Jumlah 187 125 41 196 15 18 142 724

Sumber: Enny Nurbaningsih et al, Dinamika Implementasi Perda, 2006.

Sejalan dengan penyusunan dan pembahasan suatu Raperda Pengelolaan Sumber

Daya Alam maka dalam proses penyusunan dan pembahasannya memperhatikan aspek

demokrasi. Jika selama ini para stakeholders tidak dilibatkan secara optimal maka

sekarang untuk Raperda-PSDA dapat diikutsertakan. Keikutsertaan para stakeholders

yang meliputi antara lain pemerintah daerah, legislatif, kalangan dunia usaha, unsur dari

masyarakat lokal/adat, unsur pencinta lingkungan dan sebagainya akan dapat

memberikan masukan dan pertimbangan yang komprehensif terhadap substansi dan

materi Raperda-PSDA.

Dengan demikian proses penyusunan dan pembahasan Raperda secara demokratis

akan melahirkan Raperda yang mampu menampung berbagai kepentingan dari para

stakeholders dan sekaligus akan mengurangi kemungkinan masuknya substansi yang

bersifat diskriminatif.

dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung,

52

Page 59: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Melalui proses penyusunan dan pembahasan yang demokratis diharapkan

Raperda-PSDA yang akan mengatur kegiatan pengelolaan sumber daya alam di daerah

ini dapat mengandung muatan nilai keadilan. Dengan demikian tidak akan ada lagi

monopoli dari pihak tertentu dalam pengelolaan SDA. Semua kalangan dunia usaha

diberi kesempatan secara fair untuk ikut serta dalam pengelolaan sesuai aturan main yang

berlaku. Demikian juga daerah diberi kesempatan secara adil untuk dapat menikmati hasil

pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Selanjutnya aspek keadilan ini hendaknya juga meliputi keadilan dalam

kewenangan menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jadi disamping

kewenangan yang dimiliki pusat hendaknya daerah juga diberikan kewenangan dalam

menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan aspirasi

masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih mengetahui dan

memahami secara dekat dan langsung tentang kondisi daerah dan masyarakatnya.

Desentralisasi kewenangan kepada daerah akan membatasi dominasi berlebihan pusat

terhadap daerah.

Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak

yang harus dimiliki oleh Raperda-PSDA yang akan disusun. Pengelolaan sumber daya

alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan

berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and

Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ;

“Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan

generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”.

Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

53

Page 60: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya

alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan dan

kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber daya

alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan baik sehingga

dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Sedangkan SDA

yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi

sekarang.

Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari

masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi

sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi mendatang

tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam yang baik untuk

diwariskan kepada generasi berikutnya.

Di Indonesia, instrumen hukum yang berkaitan dengan pengelolaan SDA dan

lingkungan hidup pada masa lalu memiliki karakteristik dan kelemahan-kelemahan

substansial seperti berikut:

Pertama, berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam (resources use-oriented)

sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya

alam. Hukum semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum (legal instrument) untuk

mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan peningkatan

pendapatan dan devisa negara;

Kedua, berorientasi dan berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented),

sehingga mengabaikan akses dan kepentingan serta mematikan patensi-potensi

pekonomian masyarakat daerah;

54

Page 61: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Ketiga, menganut ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berpusat

pada negara pemerintah (state-based resource management), sehingga orientasi

pengelolaan sumberdaya alam bercorak sentralistik;

Keempat, manajemen pengelolaan sumber daya alam menggunakan pendekatan sektoral,

sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi

(ecosystem);

Kelima, corak sektoral dalam kewenangan dan kelembagaan menyebabkan tidak adanya

koordinasi dan keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam; dan

Keenam, tidak diakui dan dilindunginya hak-hak asasi manusia secara utuh, terutama

hak-hak masyarakat daerah/lokal dan kemajemukan hukum dalam penguasaan dan

pemanfaatan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya berbagai

kelemahan substansial di atas, maka sejumlah upaya perbaikan dilakukan dengan

membuat undang-undang baru. seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU No. 24 Tahun 1992 tentang

Penataan Ruang yang saat ini telah direvisi, dan (3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun demikian, persoalan mendasar dalam

pengelolaan sumberdaya alam masih belum terjawab dalam substansi maupun

implementasi dari undang-undang tersebut, karena masih ditemukan kelemahan-

kelemahan seperti berikut: Pertama, pemerintah masih mendominasi peran dalam

penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (state-dominated resource management);

kedua, keterpaduan dan koordinasi antar sektor masih lemah; ketiga, pendekatan dalam

pengelolaan sumber daya alam tidak komprehensif; keempat, hak-hak masyarakat

daerah/local atas penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum diakui secara

55

Page 62: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

utuh; kelima, ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam

masih diatur sacara terbatas; keenam, transparansi dan akuntabilitas pemerintah kepada

publik dalam pengelolaan sumber daya alam belum diatur secara tegas.

Sementara itu, beberapa undang-undang seperti : (1) UU No. 5 Tahun 1994

tentang Pengesahaan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (2) UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak

Asasi Manusia, mengatur prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber

daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan. Tetapi, prinsip-prinsip global

pengelolaan sumber daya alam antara lain seperti: konservasi dan keberlanjutan fungsi

sumberdaya alam, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya alam, desentralisasi, dan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak

masyarakat adat/lokal, belum terakomodasi dan terintegrasi dalam undang-undang yang

berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang telah ada.

Karena itu, persoalan-persoalan mendasar dalam pengaturan mengenai

pengelolaan sumber daya alam yang berpotesi mengancam kebelanjutan fungsi

sumberdaya alam dan kelangsungan hidup bangsa perlu segera diselesaikan. Salah satu

agenda nasional yang mendesak untuk direalisasikan untuk menjamin kelestarian dan

keberlanjutan fungsi sumber daya alam, meningkatkan partisipasi masyarakat,

transparansi dan mendukung proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam,

menciptakan koordinasi dan keterpaduan antar sektor, serta mendukung terwujudnya

good environmental governance, adalah membentuk peraturan perundang-undangan

pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, demokratis,

dan berkelanjutan.

56

Page 63: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dengan demikian masalah regulasi peraturan daerah tentang pengelolaan sumber

daya alam di daerah sangat berkaitan dengan:

1. Visi dan misi strategi pembangunan daerah tidak terpadu (Political will)

2. Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan “Good Environment Governance” (GEG)

Rendah

3. Menguatnya persepsi,sikap dan perilaku Egosentrisme/sektoral

4. Proses pembuatan Kebijakan tidak melibatkan semua elemen masyarakat

(stakeholders)

5. Eksploitasi sumber daya alam untuk peningkatan PAD tidak diimbangi upaya

konservasi

6. Memaksakan program yang tidak sesuai dengan peruntukan perencanaan tata

ruang dan aspirasi masyarakat.

7. Proses perijinan usaha tidak transparan

8. Munculnya Konflik Kepentingan/antar Daerah

9. Lemahnya Penegakan Hukum

10. Alokasi Dana Pengelolaan SDA/LH minim

Dengan memperhatikan aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam

penyusunan perda tentang pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai

permasalahan yang dialami dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini

dapat diatasi dengan baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.

57

Page 64: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

2. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, seharusnya dilakukan

secara komprehensif dan terintegrasi serta mengarah kepada perbaikan 6 (enam) hal,

yaitu:

a. Lembaga Perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif

(effective representative system);

b. Peradilan yang bebas dari campur tangan eksekutif, bersih (tidak korup), dan

professional;

c. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang professional dan memiliki integritas yang

kokoh;

d. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi public control

(public watchdog) dan penekanan (pressure);

e. Desentralisasi dan lembaga perwakilan Daerah yang kuat serta didukung oleh

local civil society yang juga kuat (democratic decentralization);

f. Adanya mekanisme resolusi konflik.

Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan merupakan komitmen kelembagaan di

tingkat global, yang tercantum dalam berbagai konvensi yang merupakan tindak lanjut

dari KTT di Rio de Janeiro. Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan

Berkelanjutan sebagai hasil WSSD dinyatakan di antaranya, bahwa Majelis Umum PBB

harus mensahkan pembangunan berkelanjutan sebagai satu unsur kunci dalam

menentukan kerangka kegiatan PBB khususnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

pembangunan yang telah disepakati secara internasional, termasuk yang terdapat pada

Deklarasi Millenium dan harus memberikan arahan politik yang menyeluruh terhadap

pelaksanaan Agenda 21 dan pengkajiannya. Rencana tersebut menyatakan pula bahwa

58

Page 65: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Commission for Sustainable Development (CSD) harus terus menjadi komisi tingkat

tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem PBB dan berfungsi sebagai

forum untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan integrasi ketiga dimensi

pembangunan berkelanjutan. CSD harus memberikan penekanan yang lebih pada

tindakan-tindakan yang mendukung pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk

memajukan dan memfasilitasi kemitraan yang melibatkan pemerintah, organisasi

internasional dan para pemangku kepentingan terkait untuk pelaksanaan Agenda 21.

Rencana tersebut di atas menekankan pula perlunya lembaga-lembaga internasional, baik

di dalam maupun di luar sistem PBB, termasuk lembaga keuangan internasional, WTO

dan GEF, untuk memperkuat, dalam mandatnya, usaha kerjasama mereka untuk

memajukan dukungan kolektif dan efektif bagi pelaksanaan Agenda 21 pada semua

tingkatan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan pula komitmen regional. Dalam Rencana

Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan dinyatakan bahwa pelaksanaan Agenda

21 dan hasil-hasil KTT harus secara efektif dilakukan pada tingkatan regional dan

subregional, melalui komisi-komisi regional dan badan-badan serta lembaga-lembaga

regional dan sub-regional lainnya. Komitmen regional di antaranya dapat dilihat dalam

Asean Environmental Program (ASEP).

Dalam Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan tercantum bahwa

setiap negara mempunyai tanggung-jawab utama terhadap pembangunan

berkelanjutannya, dan peran dari kebijakan nasional dan strategi pembangunan sangatlah

penting. Setiap negara harus memajukan pembangunan berkelanjutan pada tingkat

nasional dengan antara lain, memberlakukan dan menegakkan Undang-Undang yang

jelas dan efektif yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Semua negara harus

59

Page 66: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

memperkuat lembaga-lembaga pemerintah, termasuk melalui penyediaan infrastruktur-

infrastruktur yang diperlukan dan dengan memajukan transparansi, akuntabilitas dan

lembaga-lembaga administrative dan lembaga-lembaga peradilan yang adil.

Dengan pencantumannya dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang

dimulai dengan GBHN 1993 yang dipengaruhi oleh hasil UNCED pembangunan

berkelanjutan senantiasa menjadi kebijakan nasional, yang dijabarkan lebih lanjut dalam

berbagai produk legislative pada tingkat nasional dan tingkat daerah, diantaranya dengan

diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, dimasukkannya ketentuan tentang pembangunan berkelanjutan dalam UU No. 17

Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional , serta Peraturan-

peraturan daerahnya masing-masing. Penerapan kebijakan tentang pembangunan

berkelanjutan ini dalam praktek menimbulkan deviasi yang cukup jauh, yang diakibatkan

oleh kurang singkronnya peraturan satu dengan yang lainnya dan oleh berbedanya

persepsi para aparat penegak hukum tentang suatu peraturan. Cukup banyak peraturan

yang ketentuan-ketentuannya dapat diinterpretasikan berbeda-beda (multi interpretable)

yang mempengaruhi pelaksanaan yang sering bertubrukan satu dengan yang lainnya.

Penguatan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam membawa kepada

keharusan adanya sinkronisasi pelaksanaan agar terdapat penanganan terpadu dengan

pendekatan lintas sector dan multi-serta interdisipliner.

Penguatan Kelembagaan Pengolaan sumber daya alam antara lain dilaksanakan

dengan:

a. Mendorong diterapkannya prinsip pembangunan berkelanjutan.

b. Meningkatkan “Political Will” dan kapasitas pengelolaan sumber daya

alam.

60

Page 67: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

c. Meningkatkan keterlibatan & tanggung jawab semua pihak (Pemerintah,

dunia usaha dan masyarakat).

d. Pengembangan berbagai kebijakan, norma, standar, pedoman dan

melakukan pembinaan dan supervisi.

e. Memperjelas urusan wajib pemerintahan daerah dalam “pengendalian LH”

berkaitan dengan SPM

f. Pengembangan pendelegasian sebagian kewenangan Pemerintah melalui

dekonsentrasi dan tugas pembantuan

g. Pengembangan SDM-LH melalui Diklat.

h. Penataan sarana dan prasarana kerja.

i. Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi serta data base

kelembagaan sumber daya alam di Daerah.

j. Fasilitasi kerjasama antar Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.

k. Pembinaan pelaksanaan program pengelolaan sumber daya alam.

Sedangkan kendala dalam penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam

antara lain:

a. Fragmentaris – ego sektoral

b. Inkonsistensi – disharmoni

c. Political will lemah

d. Sumber daya manusia lemah

Pilar pilar penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dapat

digambarkan sebagai berikut:

61

Page 68: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

3. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan

UU No 32/2004 meletakkan otonomi atas dasar lima landasan yaitu:

(1) demokrasi,

(2) partisipasi dan pemberdayaan,

(3) persamaan dan keadilan,

(4) pengakuan atas potensi daerah dan perbedaannya,

(5) penguatan parlemen lokal

Lima landasan tersebut apabila dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam

maka hal tersebut merupakan landasan dalam proses pemberian ijin pengelolaan sumber

daya alam di era otonomi daerah.

Perijinan pengelolaan sumber daya alam adalah usaha mengoptimalkan sumber

daya lokal yang melibatkan pemerintah, legislatif, dunia usaha, akademisi, masyarakat

lokal dan organisasi masyarakat madani (NGO) untuk mengembangkan ekonomi pada

suatu wilayah.

Proses perijinan merupakan suatu tahapan yang harus dilalui untuk keluarnya ijin.

Dalam proses perijinan ini diperlukan beberapa dokumen yang terkait.

62

Page 69: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Gambaran sekilas dokumen pengelolaan sumber daya alam:

a. Feasibility Study untuk memberikan justifikasi ilmiah dalam perumusan Rancangan

Peraturan Perundangan harus berpijak dari isu dan masalah lingkungan hidup yang

dikaji secara obyektif, metodologis, futuristik yang dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah

b. Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi penyelenggara kebijakan sesuai

paradigma Good Environment Governance (GEG)

c. Memberikan ruang aspirasi dan partisipasi semua pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam proses perencanaan, perumusan, penetapan dan implementasi

kebijakan

d. Memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pelaku

lingkungan dari risiko yang mungkin terjadi akibat kerusakan lingkungan.

21

Pengembangan dan Penguatan

Kemitraan

Pengumpulan Data

Analisis Data

PemetaanStatus

PEL

PenetapanFaktor

Pengungkit

Identifikasi Stakeholder

Penyusunan Rencana Tin

Penyusunan

PengelolaanSDA

Monitoring dan Evaluasi

Pengelolan SDA

TAHAPI

TAHAP II

TAHAP III

TAHAPIV

TAHAPV

RPJM/D

Dokumen Pengelolaan

SDA.LH

RKPD

APBD

IJIN PRINSIP

IJIN LOKASI

IJIN OPERASI1.FS2.AMDAL

RKL/RPL3. AUDIT L

OPERASIONAL

PENEGAKANHUKUM LEMAH

Bagan Proses Perijinan

63

Page 70: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Kumpulan dokumen yang sangat terkait dengan proses perijinan adalah Analisis

mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Amdal merupakan studi mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh

suatu rencana kegiatan atau usaha / studi ilmiah yang memberikan informasi ada/

tidaknya dampak negatif yang merupakan suatu kewajiban untuk terbitnya ijin. Amdal ini

berkaitan dengan perizinan/ Amdal merupakan bagian dari proses perizinan persepsinya

amdal itu sama dengan keputusan tata usaha negara.

Menurut UU No. 23/ 1997 Amdal adalah : Kajian mengenai dampak besar dan

penting suatu usaha/ atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang

diperlukan bagi proses terbitnya keputusan tentang penyelenggaraan usaha/ kegiatan.

Mengenai peraturan pemerintah yang mengatur tentang Amdal tersebut adalah PP No.

29/ 1986. Kemudian dicabut dengan PP No. 51/ 1993 dan terakhir dicabut lagi dan

diganti dengan PP No. 27/ 1999.

Amdal berguna untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan layak

lingkungan, melalui pengkajian Amdal, sebuah rencana usaha atau kegiatan

pembangunan diharapkan telah secara optimal meminimalkan kemungkinan dampak

lingkungan hidup yang negatif, serta dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya

alam secara efisien. Agar pelaksanaan Amdal berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran

yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan

pemerintah tentang Amdal secara jelas menegaskan bahwa Amdal adalah salah satu

syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi

Amdal sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.

64

Page 71: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dokumen Amdal terdiri dari :

• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)

• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)

• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)

• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi

dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan ANDAL.

Dokumen ini dinilai di hadapan Komisi Penilai AMDAL. Setelah disetujui isinya,

kegiatan penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL barulah dapat dilaksanakan.

Dokumen ANDAL mengkaji seluruh dampak lingkungan hidup yang

diperkirakan akan terjadi, sesuai dengan lingkup yang telah ditetapkan dalam KA-

ANDAL. Rekomendasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup untuk

mengantisipasi dampak-dampak yang telah dievaluasi dalam dokumen ANDAL disusun

dalam dokumen RKL dan RPL.

Ketiga dokumen ini diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai

Amdal. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan

tersebut layak secara lingkungan atau tidak, dan apakah perlu direkomendasikan untuk

diberi ijin atau tidak.

Dokumen Amdal harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau

kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting dan belum memiliki kepastian

pengelolaan lingkungannya. Kewajiban menyusun dokumen Amdal didasarkan atas

kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, sehingga tidak semua jenis kegiatan yang

membutuhkan ijin perlu menyusun Amdal.

65

Page 72: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Kriteria kewajiban Amdal pada dasarnya mencakup :

- potensi kegiatan menimbulkan dampak penting;

- tidak pastinya ketersediaan pengelolaan lingkungan dalam mengontrol dampak

penting tersebut.

Dalam penyusunan studi Amdal, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk

menyusunkan Amdal. Penyusun dokumen Amdal diharapkan telah memiliki sertifikat

Penyusun Amdal (lulus kursus AMDAL B) dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar

minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal

Nomor 09/2000. Berbagai pedoman penyusunan yang lebih rinci dan spesifik menurut

tipe kegiatan maupun ekosistem yang berlaku juga diatur dalam berbagai Keputusan

Kepala Bapedal.

Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam Amdal adalah Komisi

Penilai, pemrakarsa, masyarakat terkena dampak, dan pemberi Ijin.

Komisi Penilai Amdal; Komisi Penilai Amdal adalah komisi yang bertugas menilai

dokumen Amdal. Di tingkat pusat berkedudukan di Bapedal, di tingkat Propinsi

berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat

Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedal/Instansi pengelola lingkungan hidup

Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat

yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan

komposisi keanggotaan Komisi Penilai Amdal ini diatur dalam Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai Amdal di propinsi

dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

Pemrakarsa; pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas

suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

66

Page 73: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Warga Masyarakat yang terkena dampak; yaitu seorang atau kelompok warga

masyarakat yang akibat akan dibangunnya suatu rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut

akan menjadi kelompok yang banyak diuntungkan (beneficiary groups), dan kelompok

yang banyak dirugikan (at-risk groups). Lingkup warga masyarakat yang terkena

dampak ini dibatasi sebagai berada dalam ruang dampak rencana usaha dan atau kegiatan

tersebut.

Pemberi Ijin; adalah pejabat yang berwenang membuat keputusan tata usaha negara.

Kegiatan yang tidak wajib menyusun Amdal tetap harus melaksanakan upaya

pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)

Upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; serangkaian

kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa suatu

rencana usaha/kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Amdal; yaitu kegiatan yang

diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak penting.

Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan terdiri dari

dua kategori, yaitu :

- harus melewati suatu kajian lingkungan terlebih dulu yang disebut Dokumen UKL-

UPL;

- tidak perlu melewati kajian lingkungan dalam Dokumen UKL-UPL.

Ada beberapa kegiatan yang walaupun tidak akan menimbulkan dampak penting

tetap membutuhkan identifikasi dampak terlebih dulu sebelum dapat dipastikan upaya

pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungannya. Identifikasi dampak ini

dibutuhkan karena ada kombinasi antara frekuensi kegiatan yang tinggi dengan intensitas

dampak yang tinggi sehingga menyebabkan munculnya ketidakpastian pengelolaan

dampak yang perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait lainnya.

67

Page 74: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Kajian lingkungan yang dibutuhkan dikenal dengan nama Dokumen Upaya

Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Dokumen ini berisi uraian singkat dari proses identifikasi dampak yang dilakukan secara

sistematis, dan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan

dilaksanakan.

Kegiatan-kegiatan tidak berdampak penting yang frekuensi kegiatan dan

intensitas dampaknya relatif rendah sehingga tidak ada lagi ketidakpastian masalah

pengelolaan dampaknya tidak perlu menyusun Dokumen UKL - UPL, dan dapat

langsung melakukan berbagai upaya pengelolaan dan upaya pemantauan lingkungan yang

sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.

Amdal adalah perangkat wajib yang penggunaannya diharapkan komplemen

dengan perangkat-perangkat lainnya.

Kaitannya dengan dokumen lingkungan wajib lainnya; ada beberapa dokumen

lingkungan maupun kajian lingkungan yang sifatnya diwajibkan. Pada dasarnya,

dokumen-dokumen lingkungan wajib seperti ini sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang

satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali ada kondisi-kondisi

khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Kepala Bapedal.

Dokumen-dokumen lingkungan wajib tersebut adalah Dokumen UKL-UPL, Audit

Lingkungan Wajib, Revisi RKL-RPL, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan

oleh Kepala Bapedal.

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan menyusun UKL-UPL tidak lagi diwajibkan

menyusun Amdal; kegiatan berjalan yang diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak

membutuhkan Amdal baru; pengubahan kegiatan yang hanya membutuhkan penyesuaian

RKL-RPL tidak perlu menyusun Amdal lagi.

68

Page 75: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Kaitannya dengan dokumen lingkungan sukarela yang dikenal; penyusunan

dokumen lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib Amdal tidak secara

otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen Amdal. Walau

demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa

karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan

sekaligus dapat "menambal" ketidaksempurnaan dokumen Amdal.

Dokumen-dokumen lingkungan yang sifatnya sukarela ini sangat bermacam-macam dan

terbukti amat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan

perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit

Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-

dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan

macam-macam lainnya.

Prosedur AMDAL di Indonesia terdiri dari :

• Proses penapisan (screening) wajib AMDAL

• Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat

• Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL

• Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL

Proses penapisan; atau kerap juga disebut proses seleksi wajib AMDAL, yaitu

menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; berdasarkan Keputusan Kepala

BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya

selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang

diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum

menyusun KA-ANDAL.

69

Page 76: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Proses penilaian KA-ANDAL; setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan

dokumen kepada Komisi Penilai Amdal untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama

waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan

penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Proses penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan ANDAL,

RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati

(hasil penilaian Komisi Amdal). Setelah selesai disusun, pemrakarsa dapat mengajukan

dokumen kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama

waktu maksimal penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari diluar waktu yang dibutuhkan

penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Sebagaimana disebutkan diatas, prosedur Amdal pada dasarnya terbagi dalam 4

bagian. Hal-hal yang harus diperhatikan dengan seksama oleh penyusun Amdal adalah:

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat; walaupun tata cara pengumuman dan

konsultasi masyarakat tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam Keputusan Kepala

Bapedal Nomor 08/2000, pemrakarsa/penyusun Amdal bebas mengadopsi berbagai

teknik dan metodologi pengumuman dan konsultasi masyarakat yang telah dikenal,

selama tidak melanggar ketentuan minimal yang telah ditetapkan. Proses pengumuman

diharapkan memperhatikan keunikan bahasa dan pola komunikasi setempat yang efektif;

dan proses konsultasi masyarakat harus memperhatikan pola dan struktur sosial budaya

setempat.

World Bank, ADB, dan beberapa negara di dunia seperti Kanada menerapkan aturan

khusus pelaksanaan pengumuman dan konsultasi masyarakat dalam proses penyusunan

Environmental Assessment yang bisa dijadikan referensi. Diharapkan dalam waktu dekat

70

Page 77: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

akan diterbitkan pedoman pelaksanaan konsultasi masyarakat dalam Amdal yang khas

Indonesia.

Proses penyusunan dokumen KA-ANDAL; secara garis besar, hal terpenting yang perlu

terangkum dengan baik dalam KA-ANDAL adalah hasil konsultasi masyarakat dan

masukan dari masyarakat. Hal-hal tersebut menentukan proses pelingkupan dan

penentuan isu pokok dari potensi dampak di lokasi rencana kegiatan tersebut. Hasil

pelingkupan adalah kunci dari KA-ANDAL, dimana hasil konsultasi dengan masyarakat

serta masukan masyarakat yang diberikan selama masa pengumuman menjadi sumber

informasi utama proses pelingkupan tersebut.

Pedoman pelaksanaan pelingkupan diatur dalam Keputusan Menteri Negara

Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1992, walaupun sangat

disarankan untuk menggunakan referensi lain yang ada untuk menyempurnakan dan

melengkapi proses pelaksanaan tersebut.

Proses penilaian KA-ANDAL; tahap pengajuan dokumen KA-ANDAL dapat dilalui

dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam

lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000

2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai

Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan

3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak

jumlah yang ditetapkan sekretariat

4. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal

Proses penyusunan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL; penyusunan dokumen ANDAL,

RKL, dan RPL perlu mencermati kekhasan aspek, teknis kegiatan, dan ekosistem rencana

71

Page 78: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, pedoman penyusunan yang diatur dalam Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000 tidak cukup. Berbagai pedoman

yang secara khusus membahas metodologi penyusunan ANDAL dari aspek sosial,

kesehatan masyarakat, valuasi ekonomi; dari tipe kegiatan seperti pemukiman terpadu;

dan dari tipe ekosistem seperti lahan basah dan kepulauan, telah diterbitkan dalam bentuk

Keputusan Kepala Bapedal. Sangat disarankan untuk melihat referensi-referensi

internasional lainnya dalam memperkaya penyusunan dokumen tersebut.

Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL; tahap pengajuan dokumen ANDAL, RKL,

dan RPL dapat dilalui dengan cepat selama memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Telah memperhatikan kelengkapan dokumen sesuai aturan yang ditetapkan dalam

lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02/2000

2. Menyampaikan 1 (satu) paket sampel dokumen kepada sekretariat Komisi Penilai

Amdal yang berwenang untuk dicek apakah telah memenuhi semua persyaratan

3. Mempersiapkan dokumen yang telah dianggap memenuhi syarat sebanyak

jumlah yang ditetapkan sekretariat

4. Memastikan waktu pertemuan dengan tim teknis

5. Merangkum masukan dari tim teknis sebagai bekal dalam menghadapi Komisi

Penilai Amdal

6. Memastikan kembali jadwal penilaian oleh Komisi Penilai Amdal

Istilah revisi RKL dan RPL tidak dikenal dalam prosedur resmi Amdal. Namun

demikian istilah ini sering disebut/dipergunakan untuk situasi perbaikan isi dokumen

RKL dan RPL saja untuk menyesuaikan atas perubahan pola pengelolaan dan

pemantauan lingkungan dari suatu kegiatan yang telah beroperasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai revisi RKL dan RPL adalah :

72

Page 79: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

• Revisi RKL dan RPL bukan merupakan prosedur umum bagi sebuah kegiatan yang

membutuhkan perubahan atas pola pengelolaan dan pemantauan lingkungannya.

Penerapannya bersifat kasuistik.

• Revisi RKL dan RPL tidak selalu harus dinilai di Komisi Penilai AMDAL.

Penilaian dilakukan apabila ada situasi khusus yang menyebabkan perubahan

pengelolaan dan pemantauan lingkungan kegiatan tersebut wajib dikomunikasikan

kepada seluruh pihak yang terkait.

• Penyempurnaan RKL dan RPL harus selalu dilakukan secara otomatis oleh

pemrakarsa sendiri untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungannya.

Penyempurnaan yang bersifat sukarela ini tidak usah diproses secara formal apabila

memang tidak ada perubahan detail kegiatan yang berarti.

• Perubahan detail kegiatan pada dasarnya berimplikasi pada penyusunan AMDAL

baru. Keputusan untuk hanya mengubah RKL dan RPLnya saja harus diambil

setelah yakin bahwa studi AMDAL yang lama memang dianggap telah

mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak baru akibat perubahan kegiatan.

4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan

stakeholders

Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, maka kewenangan Pemerintahan Daerah dalam

pengelolaan sumber daya alam sangat beragam. Dengan demikian penyelenggaraan

pengelolaan sumber daya alam pada era otonomi daerah menemui beberapa kendala,

khususnya untuk pengelolaan sumber daya alam lintas kabupaten/propinsi, karena

73

Page 80: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

hambatan koordinasi dan integrasi program dalam pengelolaan sumber daya alam antar

kabupaten/kota propinsi. Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota

dalam pengelolaan sumber daya alam hanya terbatas pada pertimbangan teknis dalam

penyusunan rencana pengelolaan, dan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam

skala provinsi / kabupaten / kota. Penetapan pengelolaan sumber daya alam prioritas dan

penyusunan rencana pengelolaan sumber daya alam terpadu masih ditangani oleh

Pemerintah Pusat. Padahal, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara

terpadu dan menyeluruh dan harus dipandang sebagai satu sistem yang utuh dari hulu

sampai hilir, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di daerah

pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Mengingat hal tersebut, perlu adanya pembagian peran yang tepat dan selaras baik

antar wilayah kabupaten/kota dalam propinsi (vertikal) maupun antar institusi dalam

kabupaten/kota (horisontal) secara harmonis.

Beberapa sektor atau departemen secara kelembagaan terkait dengan pengelolaan

sumber daya alam antara lain adalah kehutanan, pertambangan, pekerjaan umum,

lingkungan hidup, pertanian dan pertanahan. Sampai saat ini konsep yang mapan dan

jelas tentang pengelolaan sumber daya alam secara nasional belum dapat diwujudkan,

karena sifatnya masih bersifat sektoral sehingga pengelolaan sumber daya alam belum

merupakan suatu pengelolaan yang terpadu, dimana semua kepentingan sektor dapat

terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar sektor

dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Namun, pengaturan mengenai koordinasi

tersebut dapat ditemukan di sejumlah peraturan perundangan-undangan yang lain.

74

Page 81: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dalam pengelolaan sumber daya alam perlu adanya koordinasi antar sektor

terkait. Koordinasi tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam satu kerjasama yang

operasional sifatnya, tetapi juga koordinasi dalam pembuatan kebijakan. Koordinasi

dalam kerjasama operasional dan kebijakan diharapkan akan menjamin terjadinya

sinkronisasi pengelolaan sumber daya alam, Dengan adanya koordinasi dalam

penyusunan kebijakan diharapkan akan menghasilkan kebijakan yang sistematis dan tidak

berbenturan satu dengan yang lain.

Masalah koordinasi dalam pengelolaan sumber daya alam juga tidak hanya

menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja sama yang bersifat operasional tetapi juga

masalah koordinasi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Dua hal ini

memang tidak menjamin terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antar berbagai lembaga

yang memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai sumber daya alam, namun

berdasarkan aturan yang berlaku maka koordinasi dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam akan menghasilkan suatu

peraturan yang sistematis dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya

dengan otonomi daerah, ternyata UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sama sekali tidak mengatur masalah koordinasi antar sektor dalam rangka pengelolaan

sumber daya alam.

Pengaturan mengenai koordinasi tersebut dapat ditemukan dalam sejumlah

peraturan dan kebijakan di sektor lain. Sektor dimaksudkan sebagai lingkungan kegiatan

atau dapat juga disebut sebagai ruang lingkup pekerjaan suatu departemen atau

kementerian tertentu.

75

Page 82: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

a. Koordinasi Kelembagaan Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam

Beberapa departemen maupun sektor yang secara kelembagaan terkait erat dengan

pengelolaan sumber daya alam, antara lain adalah kehutanan, lingkungan hidup,

kimpraswil (pemukiman dan prasarana wilayah), kelautan dan pesisir, pertanahan,

pertambangan, pertanian dan perkebunan. Koordinasi pengelolaan sumber daya alam

antar departemen/sektor seharusnya dilakukan sejak proses perencanaan, pembahasan

sampai pada penetapan peraturan atau kebijakan.

Kewenangan departemen maupun sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya

alam diatur dalam Keputusan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen atau tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi)

Departemen, termasuk tupoksi 6 departemen yang berhubungan langsung dengan

pengelolaan sumber daya alam. Keenam departemen tersebut adalah:

1. dalam negeri;

2. energi dan sumberdaya mineral (ESDM);

3. pertanian;

4. kehutanan;

5. kelautan dan perikanan (DKP), serta

6. kimpraswil.

Selain departemen, terdapat juga Menteri Negara (Menneg) yang diatur dalam

Keppres tersendiri. Dari sepuluh Menneg yang diatur dalam Keppres ini ada dua Meneg

yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya alam yakni Menneg Lingkungan

Hidup (LH) dan Menneg Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.

76

Page 83: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pengaturan koordinasi antar departemen/sektor dalam menyusun peraturan perundang-

undangan dapat ditemukan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 18 ayat (1) UU ini mengatakan bahwa rancangan

undang undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan

lembaga pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung

jawabnya. Lebih jauh dikatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh

menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

Oleh Keppres No. 102 Tahun 2001 tugas koordinasi tersebut dilimpahkan kepada

Menteri Kehakiman dan HAM, yang sekarang berganti nama menjadi Menteri Hukum

dan HAM. Tetapi metode, definisi, maksud dan tujuan koordinasi tidak diuraikan secara

jelas dalam Keppres ini.

Sebelum UU No. 10 Tahun 2004 lahir, aturan mengenai proses penyusunan

peraturan per-UU-an terdapat dalam Keppres 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara

Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Keppres ini juga menyinggung-nyinggung

perihal harmonisasi antar departemen/sektor. Namun, Keppres ini tidak menegaskan

bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan sarana menuju koordinasi.

Dengan begitu, sampai saat ini tak satupun peraturan perundangan yang secara terang-

terangan mengatur koordinasi antar departemen/sektor dalam rangka penyusunan

peraturan per-UU-an. Departemen/sektor masih berpegangan pada tupoksi -nya masing-

masing. Sehingga departemen/sektor tidak melakukan inovasi dalam rangka koordinasi

karena takut akan menyalahi peraturan perundang-undangan.

77

Page 84: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

b. Koordinasi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Uraian berikut ini akan menyajikan koordinasi dalam tingkat yang operasional

dengan memperhatikan dua faktor, yakni kebijakan yang dikeluarkan dan penegakan

hukum. Keduanya dilihat karena mempunyai andil besar dalam membentuk sistem

pemerintahan yang terpadu dan terintegrasi.

1. Koordinasi Kelembagaan dalam Merumuskan Kebijakan Operasional

Dalam melakukan koordinasi antar departemen/sektor ada dua hal yang menjadi

poin penting yakni lembaga yang melakukan koordinasi dan cara atau metode melakukan

koordinasi.

Untuk menjembatani koordinasi dan sinkronisasi antar sektor dalam pembuatan

kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu ketentuan yang termuat dalam Keppres

No. 100 tahun 2001 Tentang Tugas Pokok dan Fungsi Menteri Koordinator. Menurut

Keppres ini, Menteri Koordinator (Menko) mempunyai tupoksi membantu Presiden

dalam mengkoordinasikan dan menyinkronkan penyiapan dan penyusunan kebijakan

serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara. Saat ini

terdapat 3 Menko yakni:

1) Menko Bidang Politik dan Keamanan disingkat Menko Polkam;

2) Menko Bidang Perekonomian disingkat Menko Ekuin; dan

3) Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat disingkat Menko Kesra.

Masing-masing Menko membawahi sejumlah departemen/sektor. Menko Polkam

mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar

Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri

78

Page 85: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Negara Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara,

Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan

Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian departemen/sektor/lembaga yang

berada di bawah Menko ini, tak satupun yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber

daya alam. Menko Perekonomian sendiri mempunyai kewenangan mengkoordinasikan

Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri

Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan,

Menakertrans, Menteri Kimpraswil, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan

Timur Indonesia, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Dari sekian sektor/lembaga yang

disebutkan di atas, departemen/sektor yang tupoksinya terkait langsung dengan sumber

daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan, Permukiman

dan Prasarana Wilayah, dan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.

Sedangkan Menko Kesra mempunyai kewenangan mengkoordinasikan Menteri

Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri

Negara Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Meneg

Pemberdayaan Perempuan dan Pimpinan instansi lain yang dianggap perlu. Departemen/

Sektor yang tupoksi-nya terkait langsung dengan sumber daya alam adalah Kementerian

Negara Lingkungan Hidup. Dengan begitu, secara keseluruhan, departemen/sektor yang

terkait dengan pengelolaan sumber daya alam adalah Pertanian, ESDM, Kehutanan,

Kelautan dan Perikanan, Permukiman dan Prasarana Wilayah, Percepatan Pembangunan

Kawasan Timur Indonesia dan Lingkungan Hidup.

79

Page 86: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Menurut Pasal 30 Keppres No. 100 Tahun 2001 ada empat cara untuk melakukan

koordinasi yakni:

1) rapat koordinasi Menko atau rapat koordinasi gabungan antar Menko,

2) rapat-rapat kelompok kerja yang dibentuk oleh Menko sesuai dengan kebutuhan,

3) forum-forum koordinasi yang sudah ada sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dan

4) konsultasi langsung dengan para Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non

Departemen, dan pimpinan lembaga lain yang terkait.

Khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, tidak semua

kebijakan departemen/sektor dikoordinasikan oleh Menko untuk disinkronkan dengan

departemen/sektor lainnya. Pasal 2 Keppres No 100 Tahun 2001 hanya menyebut

“kebijakan tertentu dalam bidang pemerintahan negara”. Tetapi kebijakan tertentu itu

tidak diuraikan lebih lanjut dalam Keppres ini.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan UU atau Peraturan Pemerintah,

departemen/sektor menerbitkan Keputusan atau Peraturan Menteri. Karena sifatnya

sebagai kebijakan maka secara formal beberapa dari Keputusan, peraturan menteri

ataupun kebijakan lain yang lebih rendah tidak begitu patuh dengan beberapa kaidah

perundang-undangan seperti lex superior derogat legi inferiori (hukum yang

kedudukannya lebih tinggi membatalkan hukum yang kedudukannya lebih rendah), lex

specialis derogat legi generali (hukum yang berlaku khusus membatalkan hukum yang

berlaku umum) maupun lex posterior derogat legi inferior (hukum yang berlaku

kemudian membatalkan hukum yang ada sebelumnya). Selain itu, secara material

banyaknya kebijakan yang bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi dan juga

bertentangan dengan kebijakan lainnya disebabkan karena masing-masing departemen/

80

Page 87: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sektor merasa perlu untuk membuat kebijakan tentang suatu masalah yang sama tetapi

justru tidak saling mendukung. Misalnya, Keputusan Menhutbun No 317/KPTS-II/1999

Tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat Hukum Adat pada Areal Hutan

Produksi dengan Permen Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman

Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat mempunyai pengaturan yang sama tentang

Masyarakat Adat tetapi bertentangan satu sama lain. Dalam Keputusan Menhutbun

dikatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu

dinyatakan dan ditentukan atas Keputusan Bupati sementara hal yang sama oleh Permen

Agraria dikatakan bahwa keberadaan masyarakat adat ditentukan oleh Peraturan Daerah.

Di sini terjadi perbedaan mengenai bentuk formal atas pengaturan mengenai keberadaan

masyarakat adat di daerah. Keputusan Menhutbun menghendaki wadah pengaturannya

dalam bentuk Keputusan Bupati yang umumnya dipakai untuk pengaturan materi yang

bersifat konkrit, terikat dengan ruang dan waktu tertentu. Sedangkan peraturan daerah

cenderung merupakan ketentuan yang bersifat lebih umum dan abstrak sehingga perlu

diterjemahkan lebih lanjut lewat ketetapan. Tetapi selain hal itu, perbedaan mendasar

antara Keputusan Bupati dengan Perda adalah pada kekuatannya dalam relasi hierarkhis

peraturan perundang-undangan. Keputusan Bupati adalah tindakan hukum bersegi satu

atau sepihak dari pejabat administrasi (Bupati) sehingga pencabutannya merupakan

kewenangan sepihak bupati. Sedangkan peraturan daerah merupakan ketentuan yang

dibentuk dengan melibatkan DPRD, Pemda dan masyarakat. Sehingga kelahirannya

melibatkan banyak pihak. Karena itu pencabutannya juga merupakan keputusan yang

harus melibatkan banya pihak. Dengan demikian kedudukan perda jauh lebih kuat

daripada Keputusan Bupati.

81

Page 88: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Selain koordinasi antar departemen yang umumnya berbentuk kebijakan,

koordinasi pengelolaan sumber daya alam juga dilakukan di dalam internal departemen.

Departemen Kehutanan misalnya, mencanangkan jangka waktu 20 sampai 30 tahun ke

depan sebagai era rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam. Untuk itu Dephut telah

menetapkan lima kebijakan prioritas yaitu:

(1) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan;

(2) pemberantasan illegal logging;

(3) penanggulangan kebakaran hutan;

(4) restrukturisasi sektor kehutanan;

(5) penguatan desentralisasi kehutanan.

Tetapi Dephut dan Departemen ESDM baru-baru ini mengajukan Perpu No. 1

Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang pada

prinsipnya menambah ketentuan baru pada UU Nomor 41 tahun 1999, yaitu Pasal 83 (a)

dan pasal 83 (b). Pasal 83 (a) mengatakan bahwa semua perizinan atau perjanjian di

bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU Nomor 41 tahun 1999

tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian

tersebut. Tetapi, dalam Perpu ini penambangan yang dimaksud bukan berada pada

wilayah hutan produksi atau hutan pemanfaatan lainnya tetapi hutan kawasan lindung

yang secara substantif jelas berseberangan dengan undang-undang yang juga mengatur

soal hutan yakni UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

termasuk UU No 41 Tahun 1999. Selain hal itu, perpu tersebut juga berseberangan

dengan visi dan misi Dephut sendiri. Menindaklanjuti Perpu ini telah dikeluarkan

Keppres No. 41 Tahun 2004 yang member ijin bagi 13 perusahaan terkait untuk

82

Page 89: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

melakukan penambangan di kawasan hutan lindung. Isi Keppres ini jelas-jelas

bertentangan dengan sejumlah UU yang kedudukannya berada di atasnya.

2. Koordinasi Dalam Penegakan Hukum

Koordinasi dalam hal penegakan hukum umumnya ditemukan pada ketentuan

yang mengatur mengenai penyidikan. Boleh dibilang, seluruh UU yang mengatur

mengenai pengelolaan sumber daya alam, memiliki bab mengenai ini. Ambil contoh pada

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya

Air dan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penyidik yang dimaksud oleh

berbagai UU tersebut adalah penyidik dari kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS). Pelanggaran terhadap UU Perikanan dapat disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri

Sipil, Perwira TNI AL dan pejabat polisi.

Meskipun dalam penegakan hukum atas pengelolaan sumber daya alam,

kepolisian dapat bekerja sama dengan sektor yang bersangkutan sebagaimana dijabarkan

dalam keempat undang undang di atas, dalam beberapa kasus, polisi justru sering

berseberangan dengan sektor terkait. Dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh

tailing hasil limbah tambang emas PT Newmont Minahasa Raya telah terjadi perbedaan

pendapat antara Menneg LH dengan Mabes Polri. Kompas mencatat pernyataan Menneg

LH Nabiel Makarim yang menegaskan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Tim

Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa air di perairan Teluk Buyat,

Minahasa Sulawesi Utara, maupun ikan yang ada di perairan tersebut tidak tercemar. Hal

ini berseberangan dengan hasil penelitian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor)

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang secara tegas menyebutkan bahwa

pencemaran Teluk Buyat melebihi baku mutu.

83

Page 90: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dalam penegakan hukum yang menyangkut masalah penebangan liar (illegal

logging) juga terjadi miskoordinasi antara Departemen Perindustrian, Departemen

Kehutanan dan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di Kaltim misalnya, Kompas

mencatat bahwa industri kayu Malaysia sangat membutuhkan kayu dari Kalimantan yang

umumnya diperoleh lewat penyelundupan dan pencurian kayu. Tetapi, Departemen

Perindustrian belum melakukan tindakan apapun untuk mencegah mengalirnya kayu-

kayu dari penebangan liar di Kalimantan ke industri-industri pengolahan kayu di

Malaysia. Bahkan ada dugaan, bahwa maraknya illegal logging tidak terlepas dari

kebijakan instansi tertentu yang mengizinkan masuknya alat-alat berat seperti traktor dan

buldoser ke daerah perbatasan. Dugaan ini jelas ditujukan ke departemen perindustrian.

Di sisi lain, Dep Kehutanan baru sampai pada rencana mengeluarkan Perpu Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon Dalam Hutan Secara Illegal. Disini

tidak terlihat adanya titik temu antara beberapa lembaga tersebut yang diharapkan

menunjang penegakan hukum.

Konsep otonomi daerah yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah sebetulnya

bukan desentralisasi secara total. Dua konsep lain yang juga dilaksanakan bersamaan

dengan desentralisasi tersebut yakni dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh UU No.

32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7).

Sedangkan dekonsetrasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada

Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu

(Pasal 1 angka 8). Adapun tugas pembantuan didefenisikan sebagai penugasan dari

Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa dari pemerintah Provinsi kepada

84

Page 91: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan

tugas tertentu (Pasal 1 angka 9). Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada bagian lain dikatakan bahwa pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah

provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan begitu desentralisasi tidak

hanya berada dalam ruang lingkup kabupaten/kota tetapi juga provinsi. Dalam soal

pembagian kewenangan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi:

(a) politik luar negeri,

(b) pertahanan,

(c) keamanan,

(d) yustisi,

(e) moneter dan fiskal nasional, dan

(f) agama.

Secara tersirat, Undang-Undang ini menyerahkan kewenangan urusan

pengelolaan sumber daya alam kepada daerah sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam

Pasal 17 yang mengatur hubungan pemanfaatan sumber daya alam antara pusat-daerah.

Bahkan dalam hal pengelolaan laut, pemerintah pusat menyerahkan urusan pemerintahan

tersebut kepada pemerintah daerah (pemda) secara utuh. Tetapi relasi pusat-daerah

tersebut disertai dengan catatan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi

85

Page 92: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. UU ini juga mengatakan bahwa

penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan

antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar

pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem

pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan harus memperhatikan keserasian

hubungan antara susunan pemerintahan. Terminologi “keserasian” dalam konteks ini

tidak begitu jelas, seperti apa dan bagaimana. Jika diinterpretasikan secara administratif

maka otonomi seluas-luasnya tetap dalam kerangka kewenangan administrasi pusat-

daerah, provinsi-kabupaten, dan kabupaten-desa.

Dengan melihat bingkai pembagian penyelenggaran pemerintahan seperti itu UU

ini potensial mengembalikan bandul kewenangan pengelolaan sumber daya alam ke pusat

(resentralisasi). Pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang berkaitan dengan daerah

dijabarkan dengan mengatakan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:

(a) pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi

kewenangan daerah;

(b) kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya antar pemerintahan daerah; dan

(c) pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya.

Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004, pengaturan desentralisasi juga terdapat

dalam sejumlah Undang-Undang yang mengatur mengenai pengelolaan sumber daya

alam maupun pada sejumlah kebijakan. Instrumen kebijakan seringkali dipakai untuk

86

Page 93: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

mendesetralisasikan pemberian izin seperti ijin peruntukan sumber daya alam, maupun

kewenangan mengurus dan mengatur pengelolaan sumberdaya alam.

c. Kewenangan Mengatur dan Mengurus Pengelolaan Sumberdaya Alam oleh

Daerah

Sejak berlakunya Otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 hingga

direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004, ada beberapa undang-undang yang berhubungan

dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tampil dengan semangat otonomi daerah.

Beberapa diantaranya adalah UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Perikanan.

Pada ketiga UU ini ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai kewenangan daerah

dalam pengelolaan sumberdaya alam. Secara umum, ada dua jenis kewenangan yang

diserahkan kepada pemerintah daerah, yakni:

(1) kewenangan teknis pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan ini erat kaitannya

dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan

pengusahaan sumber daya alam di daerah; dan

(2) kewenangan mengatur dan mengurus sumber daya alam yang merupakan satu

kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/

pengelolaan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan

penegakan hukum.

Dalam UU Sumber Daya Air dua jenis kewenangan ini dinyatakan secara detail

(Pasal 16 sampai 18). UU Sumberdaya Air memberikan kewenangan dan tanggung jawab

daerah atas pengelolaan sumberdaya air yakni dalam hal menetapkan kebijakan

pengelolaan sumber daya air, menetapkan pola pengelolaan sumber daya air, menetapkan

rencana pengelolaan sumber daya air, menetapkan dan mengelola kawasan lindung

87

Page 94: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

sumber air, melaksanakan pengelolaan sumber daya air, mengatur, menetapkan dan

memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air, membentuk

dewan sumber daya air, memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air dan

menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber

daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. Dengan cara seperti itu, UU

Sumber Daya Air secara lengkap menguraikan tentang kewenangan baik yang sifatnya

substantif maupun teknis. Kewenangan teknis terutama menyangkut pengaturan,

penetapan, pemberian izin, penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air

serta pembentukan dewan sumberdaya air sedangkan kewenangan substantif adalah

delapan kewenangan lainnya yang secara singkat dapat dikatakan sebagai kewenangan

otonomi pengelolaan sumber daya alam.

Berbeda dengan UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan menyerahkan pengaturan

soal penyerahan kewenangan kepada daerah melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 66).

Adalah PP No 32 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Hutan, pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur lebih jauh

dan detail soal penyerahan kewenangan tersebut. Oleh PP ini, desentralisasi tersebut

berlaku pada kewenangan dalam bentuk perijinan untuk usaha pemanfaatan kawasan

(Pasal 37), pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu (Pasal 38), dan usaha

pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 39). Ketiga izin di atas bisa diberikan oleh Gubernur,

Bupati dan Walikota. Sekalipun begitu, daerah tidak mempunyai kewenangan mengurus

dan mengatur hutan secara otonom. Dengan demikian, kewenangan daerah hanya

merupakan kewenangan perijinan.

Dalam bidang pertanahan, salah satu kebijakan desentralisasi bisa ditemukan pada

Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres

88

Page 95: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

ini mengatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 1). Kewenangan dimaksud

meliputi:

(a) pemberian ijin lokasi;

(b) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

(c) penyelesaian sengketa tanah garapan;

(d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

(e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;

(f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

(g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

(h) pemberian ijin membuka tanah;

(i) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Dari kewenangan-kewenangan yang didesentralisasikan ini beberapa diantaranya

adalah kewenangan yang sifatnya teknis dan operasional yang mengatur soal ijin dan

kebijakan-kebijakan administratif pertanahan. Tetapi di samping kewenangan administra-

tif langkah maju dalam Keppres ini adalah kewenangan yang sifatnya mengatur dan

mengurus yakni perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota dan

kewenangan land reform yang menyangkut redistribusi tanah, pemanfaatan dan

penyelesaian tanah kosong serta penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menyebut tentang

desentralisasi pengelolaan Minyak dan Gas Bumi ke daerah. UU ini hanya mengatakan

bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu

wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan

89

Page 96: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Pajak yang terdiri dari pajak-pajak; bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;

pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam hal ini daerah hanya mempunyai kewenangan

untuk menarik retribusi dari pengelolaan Minyak dan Gas yang ada di wilayahnya.

Pengelolaan minyak dan gas bumi secara keseluruhan belum didesentralisasikan. Salah

satu alasan karena kedua sumber daya tersebut masih dikontrol ketat dalam kewenangan

BUMN Pertamina yang memiliki pengaturan otonom, terlepas dari daerah. Selain hutan,

air dan tanah, pengaturan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,

yang secara eksplisit mengatur soal penyerahan kewenangan ke daerah adalah Panas

Bumi. Pengaturan mengenai Panas Bumi ditemukan pada UU No. 27 Tahun 2003 tentang

Panas Bumi. UU ini menyebutkan bahwa Kewenangan kabupaten/kota dalam

pengelolaan pertambangan Panas Bumi meliputi:

(a) pembuatan peraturan perundang-undangan di daerah di bidang pertambangan Panas

Bumi di kabupaten/kota;

(b) pembinaan dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;

(c) pemberian izin dan pengawasan pertambangan Panas Bumi di kabupaten/kota;

(d) pengelolaan informasi geologi dan potensi Panas Bumi di kabupaten/kota;

(e) inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi di

kabupaten/kota;

(f) pemberdayaan masyarakat di dalam ataupun di sekitar Wilayah Kerja di

kabupaten/kota.

Dalam ketentuan ini secara tersurat ditegaskan bahwa daerah mempunyai

kewenangan untuk membuat peraturan pengelolaan panas bumi sendiri. Perkembangan

ini merupakan langkah maju karena dalam beberapa Undang-Undang lainnya

kewenangan membuat aturan sendiri tidak disebutkan secara tegas.

90

Page 97: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Dalam UU Perkebunan, desentralisasi juga diatur dalam beberapa hal, diantaranya

menyangkut perencanaan perkebunan. Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan

nasional, provinsi, kabupaten/kota. Perencanaan perkebunan tersebut dilakukan oleh

pemerintah, provinsi, kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

UU ini mengedepankan kepentingan masyararakat dan bukan struktur administrasi

pemerintahan sebagai dasar perencanaan. Sehingga, perkebunan dapat diharapkan

mewakili kepentingan masyarakat daerah ketimbang mengabdi kepada kewenangan

pusat. Tetapi segera terlihat bahwa kebutuhan masyarakat kemudian dibatasi oleh

beberapa patokan semisal kepentingan pasar.

UU Perikanan baru yang merevisi UU No. 9 Tahun 1985, juga mengatur soal

desentralisasi tetapi dengan sangat terbatas dan lagipula bertentangan dengan UU

Pemerintahan Daerah. UU ini menyebutkan bahwa penyerahan sebagian urusan

perikanan maupun penarikan kembali kepada pemerintah daerah ditetapkan dengan PP

(Pasal 65 ayat 1). Selanjutnya dikatakan kemungkinan pemberian urusan tugas

pembantuan di bidang perikanan kepada daerah. Tentu saja norma semacam itu

bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang secara tegas mengatakan bahwa

daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya

di wilayah laut (Pasal 18). Pembagian kewenangan pengelolaan laut juga diatur sangat

jelas. Kewenangan daerah meliputi:

(a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

(b) pengaturan administratif;

(c) pengaturan tata ruang;

(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

91

Page 98: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

(e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

(f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Dengan demikian dalam desentralisasi pengelolaan sumber daya alam ada

berbagai bentuk dan jenis desentralisasi yang telah dijabarkan. Masing-masing

pengelolaan sumber daya alam diatur tersendiri dan berdiri sendiri yang sekaligus

menentukan jenis desentralisasi dan sejauh mana desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah itu direalisasikan. Pengaturan yang sendiri-sendiri

itulah yang seringkali membedakan ukuran desentralisasi antara satu departemen/sektor

dengan departemen/sektor lainnya.

92

Page 99: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya

alam yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan

dan kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang.

Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana

dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun

kuantitasnya. Sedangkan sumber daya alam yang non renewable tidak

dieksploitasi habis-habisan hanya demi kepentingan generasi sekarang. Melalui

prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari masa ke

masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan potensi

sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi

mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam

yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya. Dengan memperhatikan

aspek demokratis, keadilan dan berkelanjutan dalam penyusunan Perda tentang

pengelolaan sumber daya alam diharapkan berbagai permasalahan yang dialami

dan hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam selama ini dapat diatasi dengan

baik dan juga dapat memenuhi kepentingan para stakeholders.

2. Di era otonomi daerah saat ini, peraturan daerah (perda) di bidang pengelolaan

sumber daya alam baik yang sudah ada maupun yang sedang disusun belum

93

Page 100: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

cukup memadai atau masih minim dalam memasukkan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan.

3. Upaya penguatan kelembagaan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam di

daerah sudah cukup memadai walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu

dieliminasi.

4. Penerapan dokumen pengelolaan sumber daya alam dalam proses perijinan sudah

cukup baik secara prosedural, walaupun secara substansial masih perlu

peningkatan fungsi dokumen tersebut, yaitu tidak hanya sekedar sebagai syarat

keluarnya ijin.

5. Dalam mengelola sumber daya alam koordinasi antar departemen/sektor tidak

hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional

sifatnya tetapi juga koordinasi dalam pembuatan peraturan. Dua hal ini memang

tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang

memproduksi peraturan dan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam,

tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan

diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematis

dan tidak tumpang tindih satu sama lain. Dalam kaitannya dengan otonomi

daerah, UU No. 32 Tahun 2004 sama sekali tidak mengatur soal koordinasi antar

departemen/sektor dalam rangka pengelolaan sumber daya alam. Karenanya

diperlukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi

terkait dan stakeholders di daerah.

94

Page 101: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

a. Saran

1. Perlunya pendekatan yang tidak fragmentaris dan ego sektoral dalam pengelolaan

sumber daya alam di daerah

2. Perlunya konsistensi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undang

mulai dari UU, PP sampai Perda di bidang pengelolaan sumber daya alam di

daerah

95

Page 102: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 juli 2003

Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan

Bebas, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2000) ALW, Lita Tyesta. Proses Penyusunan Perda Tentang Pengelolaan Sumber Daya

Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Ali, Achmad, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta : Yarsif

Watampone, 1998) Anu Lounela dan Yando Zakaria (eds), Berebut Tanah dalam Beberapa Kajian

Berperspektif Kampus dan Kampung, Insist Press, Jurnal Antropologi Universitas Indonesia dan Karsa, 2002.

Danusaputro, Munadjat, Hukum Lingkungan I : Umum, (Jakarta : Binacipta, 1985) Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

1999. Hadi, Sudharto P. Koordinasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era

Otonomi Daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Perlindungan Lingkungan (Konservasi Sumber

Daya Hayati dan Ekosistemnya), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991

______________________, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986

______________________, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 1990

Page 103: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Hidayat, Arief. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Jogjakarta, 2003. Husein, M Harun, Lingkungan Hidup, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992) M. Arief Nurdu’a dan Nursyam B. Sudharsono, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah

Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, (Semarang : Satya Wacana,1991)

Mahfud, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan

Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Perpsektif Sosial, (Bandung : Alumni, 1981) Rangkuti, Siti Sundari Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,

Surabaya, Airlangga University Press, 1996 Salim, Emil, Pola Pembangunan Berkelanjutan dalam Hari Depan Kita Bersama,

(Jakarta : PT. Gramedia, 1988 ) Samekto, FX. Aji. Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Upaya

Memformulasikan Pengaturan Sumber Daya Alam, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Soemantri, Koesnadi Harja, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press, 1987) Santoso, Edi, Penerapan Dokumen Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Proses

Perijinan, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Susanto, I.S, Kejahatan Korporasi, (Semarang : Badan Penerbit Undip, 1995) Santosa, Mas Achmad, Hak Gugat Organisasi Lingkungan, (Jakarta: ICEL,1997) _________________ , Good Governance dan Hukum Lingkungan, (Jakarta : ICEL,

2001)

Page 104: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

Setianto, Benny D. Meng-Governance-kan Pengawas, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta :

Djambatan, 1991) Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan I dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia, (Bandung, Alumni, 1996) Suparni, Niniek, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,

(Jakarta : Sinar Grafika, 1992) Sembiring, Sulaiman, Hukum dan Advokasi Lingkungan, (Jakarta : ICEL, 1998) Soesilo, R., RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor : Politea, 1995) Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1985) Soemitro, Ronny Hanitijo, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah

Sosial, (Semarang, Agung Press, 1989) Steni Bernadinus. Desentralisasi, Koordinasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam Pasca Otonomi Daerah, http://www.huma.or.id

Tobing, M.L, Ikhtisar Hukum Lingkungan Hidup, (Jakarta : Erlangga, 1985) Turtiantoro. Sosialisasi peraturan dan pengetahuan pengelolaan sumber daya alam

di daerah, Bahan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang diselenggarakan oleh FH Undip bekerjasama dengan DPD RI, Semarang 1 Agustus 2009

Wijoyo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya : Airlangga

University Press,1999) Zaidun, M., Pengendalian dampak Lingkungan Melalui Pendekatan Pemberdayaan

masyarakat, (Semarang : Makalah, 1995) Zakaria, Yando. Mewujudkan Otonomi Daerah : Menunggu Godot ?. Makalah yang

disajikan dalam Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang Relasi Negara dan Masyarakat Adat” dalam rangka Kongres Masyarakat Adat Nusantara II, 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Page 105: Otonomi Daerah Dan Pengelolaan SDA

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman UU No 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi UU No 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan