orto

30
Review Konsep Terkini Tren Penatalaksanaan Fraktur Terbuka Antibiotic sebaiknya diberikan kepada pasien dengan fraktur terbuka sesegera mungkin untuk mengurangi resiko infeksi Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa ke kamar operasi secara urgen, dengan stabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi, dan pertolongan yang tepat Rumusan masalah yang ada terkait dengan solusi dan metode yang optimal dalam irigasi fraktur terbuka Penutupan luka yang sudah didebrideman secara adekuat sesegera mungkin memberikan keamanan dan dapat memperbaiki luaran (outcomeI) pasien Terapi tambahan, seperti penggunaan cangkok (graft) tulang dan rhBMP-2, padat meningkatkan proses penyembuhan fraktur Seratus lima puluh tahun yang lalu, mortalitas fraktur terbuka sangatlah tinggi. Seiring dengan berkembangnya terapi modern, outcome pasien fraktir terbuka telah membaik secara dramatis. Tujuan ahli bedah dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dalah mencegah infeksi, memicu penyembuhan fraktur, dan mengembalikan fungsi tulang seoptimal mungkin. Semua pasien dengan fraktur terbukan membutuhkan stabilisasi, profilaksis tetanus, antibiotic sistemik, debrideman yang adekuat, irigasi yang banyak, stabilisasi fraktur, penutupan luka sesegera mungkin, rehabilitasi dan follow up yang adekuat. Selain itu, pada pasien tertentu mungkin juga diperlukan antibiotic local, rawat luka

description

jurnal orto

Transcript of orto

Review Konsep Terkini Tren Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

Antibiotic sebaiknya diberikan kepada pasien dengan fraktur terbuka sesegera mungkin untuk mengurangi resiko infeksi

Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa ke kamar operasi secara urgen, dengan stabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi, dan pertolongan yang tepat

Rumusan masalah yang ada terkait dengan solusi dan metode yang optimal dalam irigasi fraktur terbuka

Penutupan luka yang sudah didebrideman secara adekuat sesegera mungkin memberikan keamanan dan dapat memperbaiki luaran (outcomeI) pasien

Terapi tambahan, seperti penggunaan cangkok (graft) tulang dan rhBMP-2, padat meningkatkan proses penyembuhan fraktur

Seratus lima puluh tahun yang lalu, mortalitas fraktur terbuka sangatlah tinggi. Seiring dengan

berkembangnya terapi modern, outcome pasien fraktir terbuka telah membaik secara dramatis.

Tujuan ahli bedah dalam penatalaksanaan fraktur terbuka dalah mencegah infeksi, memicu

penyembuhan fraktur, dan mengembalikan fungsi tulang seoptimal mungkin. Semua pasien

dengan fraktur terbukan membutuhkan stabilisasi, profilaksis tetanus, antibiotic sistemik,

debrideman yang adekuat, irigasi yang banyak, stabilisasi fraktur, penutupan luka sesegera

mungkin, rehabilitasi dan follow up yang adekuat. Selain itu, pada pasien tertentu mungkin juga

diperlukan antibiotic local, rawat luka (mungkin dengan penutupan dengan bantuan vaccum),

cangkok (grafting) tulang, atau terapi-terapi tambahan lain. Pada review ini, kami menganalisa

bukti ilmiah yang berkaitan dengan isu-isu penting dalam penatalaksanaan fraktur terbuka

termasuk klasifikasi, penggunaan antibiotic, waktu untuk intervensi operatif, irigasi, fiksasi,

cakupan jaringan lunak (soft tissue), dan terapi-terapi tambahan lainnya.

Klasifikasi Ftraktur Terbuka

Suatu fraktur dikatakan terbuka jika lesi pada kulit dan jaringan lunak di bawahnya

membuat terjadinya kontak antara tulang yang fraktur dengan lingkungan luar. Fraktur terbuka

sebagian besar diklasifikasikan berdasarkan sistem Gustilo dan Anderson yang kemudian

dimodifikasi oleh Gustilo. Berdasarkan sistem ini (table 1), fraktur terbuka dibagi menjadi:

fraktur terbuka tipe I dengan ciri luka <1 cm dengan kontaminasi, kominutif dan kerusakan

jaringan lunak yang minimal; fraktur terbuka tipe II dengan ciri adanya laserasi >1 cm dan jejas

sedang pada jaringan lunak namun, namun cakupan luka masih adekuat dan lesi periosteum tidak

terlalu melebar; fraktur terbuka tipe III dibagi menjadi 3 subtipe yakni tipe IIIA yakni fraktur

karena trauma dengan energi besar, kerusakan jaringan lunak yang luas, dan kontaminasi, namun

cakupan luka masih adekuat setelah dilakukan debrideman. Tipe III B sama dengan tipe IIIA,

kecuali pada cakupan luka yang tidak lagi adekuat. Tipe IIIC adalah fraktur terbuka yang

berkaitan dengan lesi pada arteri dan membutuhkan upaya perbaikan. Karena prognosa jejas

pada jaringan luna dan tulang bergantung pada kedalamam luka, maka penting untuk

mengklasifikasikan fraktir terbuak tidak di UGD namun di meja operasi, setelah eksplorasi

pembedahan, dan debrideman yang adekuat.

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Gustilo et al, Definisi dan Angka Infeksi

Tipe Fraktur

Definisi Angka infeksi(%)

I Luka<1cm, kontaminasi, kominutif dan kerusakan jaringan lunak yang minimal,

0-2

II Luka >1 cm, kerusakan sedang jaringan lunak, lesi periostela yang minimal

2-5

IIIA Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, cakupan luka adekuat

5-10

IIIB Kerusakan soft tissue berat, kontaminasi yang bermakna, cakupan luka tidak adekuat

20-50

IIIC Jejas pada arteri yang memerlukan upaya perbaikan 25-50

Saat ini peneliti-peneliti dua studi terdahulu menyatakan bahwa sistem klasifikasi Gustilo

dan Anderson berhubungan dengan rendahnya tingkat persetujuan antar ahli. Brumback dan

Jone mempresentasikan 12 rekaman video kasus fraktur terbuka kepada 245 ahli bedah dimana

video kasus tersebut menceritakan data demografi, riwayat luka, hasil dari pemeriksaan fisik,

tampilan luka sebelum operasi, radiografi preoperatif, menceritakan proses debrideman, dan

kemudian meminta para ahli bedah tersebut untuk mengklasifikasikan fraktur terbuka dengan

menggunakan sistem Gustilo dan Anderson. Tingkat persetujuan (didefinisikan sebagai

prosentase terbesar dari para ahli yang memilih satu klasifikasi) rata-rata adalah 60%, yang mana

penulis menggambarkan hasilnya sebagai “sedang ke buruk”. Namun, masih belum jelas apakah

tingkat persetujuan para ahli tersebut dikarenakan oleh fakta bahwa klasifikasi dilakukan hanya

berdasarkan hasil rekaman video.

Meskipun dengan keterbatasan tersebut di atas, klasifikasi Gustilo dan Anderson masih

tetap dipilih sebagai sistem klasifikasi guna menggolongkan fraktur terbuka karena tipe fraktur

sangat berhubungan dengan resiko infeksi dan komplikasinya. Sebagai contoh, angka kejadian

infeksi pada tipe I dilaporkan berkisar 0-2%, tipe II 2-5%, tipe IIIA 5-10% dan tipe IIIB berkisar

25-50% (table 1). Jumlah pasien dalam laporan tersebut berkisar antara 84-1104 orang.

Baru-baru ini, Bowen dan Widnaier meneliti 174 pasien dengan fraktur terbuka tulang-

tulang panjang dan menemukan tidak hanya klasifikasi Gustilo dan Anderson, namun juga

jumlah kemungkinan komorbiditas yang terjadi untuk menjadi predictor yang bermakna untuk

terjadinya infeksi melalui analisa multivariate. Pasien dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan ada

atau tidaknya 14 faktor medis dan immune kompromis yang meliputi usia > 80 tahun, pengguna

nikotin, diabetes, keganasan, indufisiensi pulmonal, dan imunodefisiensi sistemik. Infeksi

ditemukan pada 4% (2 dari 78 pasien) pasien dengan kelas A (tanpa factor kompromis), 15% (13

dari 89) untuk pasien dengan kelas B (memiliki 1 atau 2 faktor kompromis), dan 31% (5 dari 16)

untuk pasien dengan kelas C ( > 3 faktor kompromis) (p = 0.007).

Penggunan Antibiotik

Antibiotik telah digunakan sebagai terapi standar pada fraktur tebuka sejak tahun 1974, ketika

Patzkis dkk melaporkan penelitian randomized control trial mereka mengenai pemberian

sefalotin (sefalosporin generasi pertama) pada tatalaksana fraktur terbuka. Keuntungan

penggunaan antibiotik juga telah dilaporkan pada review sistematik Cochrane yang menunjukan

bahwa pemberian antibiotic pada fraktur terbuka menurunkan resiko infeksi hingga 59%

(relative risk 0.41; 95% CI 0,27-0.63) (table II). Meskipun dulu kultur bakteri dilakukan baik

sebelum maupun sesudah debrideman fraktur tebuka, para peneliti terkini telah mempertanyakan

manfaatnya. Lee meneliti tentang kultur bakteri predebrideman dan menelukan hanya 8% (18)

dari 226 mikroorganisme yang tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi,

dan 7% (7) dari 106 pasien dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Kultur

postdebrideman juga tidak lebih baik, karena hanya 25% (8) dari 32 mikroorganisme yang

tumbuh pada media kultur yang mampu menyebabkan infeksi, dan 12% (10) dari 87 pasien

dengan hasil kultur negative menjadi menderita infeksi. Sehingga saat ini, kami tidak

merekomendasikan untuk dilakukan kultur rutin baik sebelum mamupun sesudah debrideman

(table II).

Seperti yang dinyatakan oleh studi-studi sebelumnya, bahwa mikroorganisme yang

ditemukan pada fraktur tebuka dengan kontaminasi, tidaklah mewakili mikroba yang akan

menyebabkan infeksi. Faktanya, justru banyak bukti yang menyatakan bahwa kasus infeksi pada

lokasi fraktur tebuka lebih dikarenakan infeksi bakteri nosokomial. Pada studi yang dilakukan

oleh Carsenti-Etese dkk, 92% (35) dari 38 kasus infeksi fraktur terbuka disebabkan oleh bakteri

yang didapat ketika pasien berada di rumah sakit. Saat ini, sebagian besar infeksi fraktur terbuka

disebabkan oleh bacil Gram negative dan stafilococcus Gram positif. Akan tetapi, methicilin

resistance staphylococcus aureus (MRSA) telah banyak terbukti sebagai penyebab dari infeksi

pada fraktur tebuka. Pada tahun 1980 di rumah sakit Texas, MRSA terdapat dalam 23 pasien

yang mengalami fraktur terbuka, sebagian besar memiliki outcome yang buruk. Infeksi MRSA

pada fraktur tebuka juga dilaporkan pada studi yang dilakukan carsenti-Etese dkk. Sehingga

studi-studi tersebut diatas telah mengindikasikan pentingnya perawatan luka sedini mungkin.

Meskipun banyak data yang mendukung penggunaan antibiotic pada fraktur terbuka,

namun data mengenai regimen yang optimal masih terbatas. Pada studi randomized controlled

trial yang dilakukan oleh Patzkis dkk, pasien yang menerima sefalosporin generasi pertama

memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi penicillin

dan streptomisin (2,3% dibandingkan dengan 9,7%). Pada studi berikutnya yang dilakukan oleh

peneliti yang sama, menyatakan bahwa teapi dengan cefamandole dan tobramycin pada fraktur

terbuka lebih baik dibandingkan kombinasi penicillin dan streptomisin (4.5% vs 10%), namun

tidak lebih baik dari terapi dengan sefalotin (5,6%). Pada studi prospektif double blind yang

dilakukanoleh Benson dkk, menyatakan bahwa clindamycin juga sama efektifnya dengan

sefazolin untuk mencegah infeksi paska fraktur terbuka.

Siprofloksasin juga dapat dipertimbangkan guna tata laksana fraktur terbuka, karena

dapat melawan bakteri Gra, positif dan Gram negative. Patzkis dkk melakukan studi prospektif

double blind randomized control trial membandingkan monoterapi siprofloksasin dengan terapi

kombinasi cefamandole dan gentamisin dan menyatakan bahwa pada 2 macam regimen, angka

kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe I dan II adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan

monoterapi siprofloksasin berkaitan dengan tingginya kejadian infeksi pada fraktur terbuka tipe

III (31% [8 dari 26] vs 7,7% [2 dari 27] ; p = 0.05). sedangkan studi pada hewan dan in vitro

menyatakan bahwa siprofoksasin dan golongan kuinolon lain dapat menghambat kinerja

osteoblas dan menghambat proses penyembuhan tulang, studi klinis dari antibiotic ini diperlukan

guna menentukan kebijakan terapi fraktur terbuka.

Table II. Rekomendasi Tatalaksana Fraktur TerbukaRekomendasi Tingkat RekomendasiAntibiotik

Sistemik Local

Waktu debridemanUrgenDalam 6 jam

Irigasi Lavase tekanan tinggi pulsatifAdditives†

Fiksasi Femur (intramedullary nailing) TibiaFiksasi eksternalIntramedullary nailing Reaming (melebarkan)

Perawatan dan penutupan lukaPenutupan primer Penutupan dibantu vaccum

Terapi tambahan profilaksis bone-grafting l rhBMP-2 lokal

Modalitas yang tidak direkomendasikan Kultur luka

AB

BC

II

BBBII

BI

CB

B *A = bukti yang baik untuk melawan atau merekomendasikan intervensi (studi level I dengan hasil yang kosisten), B = bukti yang cukup (studi Level-II or III dengan hasil kosisten), C= bukti kualitas rendah (studi Level-IV or V dengan hasil kosisten), dan I = data yang insufisien dan controversial, tidak dianjurkan untuk rekomendasi. †Antibiotic, antiseptic, atau sabun.

Terdapat kontroversi penggunaan agen antibiotic yang diberikan pada fraktur terbuka.

Sedangkan beberapa penelitian merekomendasikan pemberian kombinasi sefalosporin generasi

pertama dan aminoglikosida pada semua kasus fraktur terbuka. Namun beberapa studi

lainmenganjurkan untuk pemberian monoterapi dengan sefalosporin generasi pertama pada

fraktur terbuka tipe I dan II dengan tambahan aminoglikosida (biasanya gentamisin) untuk

fraktur tipe III. Sebagian besar peneliti setuju bahwa penicillin dan ampicilin sebaiknya

diberikan ketika terdapat resiko tinggi terinfeksi bakteri anaerob (contohnya, luka yang terkait

dengan pertanian).

Bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa antibiotic sebaiknya diberikan sesegera

mungkin. Pada studi pada 1104 kasus fraktur terbuka, Patzkis dan Wilkins melaporkan angka

infeksi sebesar 4,7% (17 dari 364) ketika antibiotic diberikan dalam 3 jam setelah fraktur,

dibandingkan dengan ketika antibiotic diberikan lebih dari 3 jam paska fraktur yang angka

infeksinya mencapau 7,4% (49 dari 661; 79 pasien tidak menerima antibiotik). Durasi optimal

pemberian antibiotic masih belum jelas. Banyak penulis yang merekomendasikan pemberian

antibiotic inisial selama 3 hari, dilanjutkan lagi 3 hari jika diperlukan, meskipun bukti klinis

untuk mendukung pernyataan tersebut masih terbatas. Dellinger dkk mengusulkan untuk

pemberian antibiotic 1 hari berdasarkan studi prospektif double-blind, randomized, controlled

trial, yang menunjukan bahwa pemberian antibiotic hanya 1 hari sama efektifnya dengan

pemberian selama 5 hari dalam pencegahan infeksi.

Dalam institusi kami, kami merekomendasikan pemberian antibiotic cefazolin (1 g

intravena) setiap 8 jam dalam 24 jam setelah penutupan luka. Gentamisin intravena (dosis

disesuaikan berat badan) atau levofloksasin (500 mg setiap 24 jam) juga ditambahkan untuk

fraktur terbuka kelas III.

Selama satu decade terakhir, telah berkembang penggunaan antibiotic local untuk

pencegahan infeksi dalam kasus fraktur terbuka. Terapi local memiliki keuntungan yakni,

konsentrasi antibiotic yang mencapai target lebih tinggi dengan konsentrasi yang beredar secara

sistemik rendah, sehingga menurunkan resiko efek samping sistemik. Antibiotic yang digunakan

haruslah stabil terhadap panas, dalam bentuk serbuk, dan aktif melawan kuman pathogen.

Aminoglikosida dan vankomisin memiliki persyaratan antibiotic topikan tersebut.

Aminoglikosida lebih disukai dikarenakan dapat digunanan untuk mengatasi kuman yang

ressten terhadap vankomisin.

Namun, penggunaan aminoglikosida dosis tinggi dapat menghambat fungsi osteoblas,

studi in vitro menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi pada dosis ratusan microgram per

milliliter atau berkisar di atas 10-20 μg/mL di dalam luka. Namun, beberapa studi terkini

menyatakan bahwa nilai ambang dosis toksik amonoglikosida mungkin lebih kecil, yakni

berkisar 12,5 μg/mL. temuan-temuan ini sebaiknya diteliti kembali pada penelitian-penelitian

selanjutnya.

Penggunaan aminoglikosida yang tercampur dengan serbuk polymethylmethacrylate

telah diteliti oleh beberapa peneliti. Ostermann dkk melakukan analisa retrospektif pada 1085

kasus fraktur terbuka dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan tobramisin yang

tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi yang lebih rendah

(3,7% [31 dari 845]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (12,1% [29 dari 240]).

Namun, luka yang diterapi dengan antibiotic local menunjukanpenutupan luka yang lebih cepat,

sehingga menimbulkan kemungkinan suatu bias. Keating dkk melakukan analisa retrospektif

pada 81 kasus fraktur terbuka tibia dan menemukan bahwa pasien yang diterapi dengan

tobramisin yang tercampur dengan polymethylmethacrylate memiliki angka kejadian infeksi

yang lebih rendah (4% [2 dari 50]) dibandingkan dengan tanpa polymethylmethacrylate (16% [4

dari 25]), meskipun hasilnya tidak signifikan, mungkin dikarenakan sampel penelitian yang

terlalu kecil. Baru-baru ini, beberapa peneliti menyelidiki penggunaan terapi antibiotic saja.

Moehring dkk melakukan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan

terapi antibiotic local dan sistemik pada tatalaksana fraktur terbuka tipe II, IIIA dan IIIB. Setelah

menerima terapi standar di UGD dan kamar operasi (termasuk antibiotic sistemik inisial dose),

pasien diacak untuk selanjutnya diterapi dengan antibiotic local serbuk tobramisin dan grup lain

menerima antibiotic sistemik dengan sefalosporin generasi pertama. Terdapat kesamaan angka

infeksi pada kedua grup tersebut (8% [2 dari 24] untuk topical vs 5% [2 dari 38] untuk sistemik).

Akan tetapi, studi tersebut tidak memiliki kekuatan yang adekuat (karena sampel penelitian yang

terlalu kecil) dan terdapat 15% pasien yang diterapi dengan kedua regimen tersebut.

Kami mempertimbangkan bahwa terapi dengan antibiotic topical mungkin lebih

menguntungkan dibandingkan dengan antibiotic sistemik (table II). Serbuk gentamisin sudah

dikomersialkan dan beredar di Eropa, sedangkan antibiotic yang tercampur dengan serbuk

polymethylmethacrylate masih belum beredar di USA. Meskipun demikian, antibiotic serbuk

dapat dibuat dengan mencampur serbuk polymethylmethacrylate dengan serbuk tobramycin

dengan dosis 3.6 g antibiotic per 40 g polymethylmethacrylate. Saat ini, sejumlah studi dengan

hewan coba telah menyatakan potensi dari penggunaan antibiotic topical untuk kasus tertentu

antara lain antibiotic topical yang dapat ditanamkan dalam cangkok (graft) tulang, . antibiotic

yang terbungkus dalam intramedullary nails. Namun, sepengetahuan kami inovasi ini belum

diteliti dalam seting klinis.

Waktu yang tepat dalam tatalaksana operatif

Tatalaksana operatif emergensi telah menjadi standar terapi untuk fraktur terbuka sejak

lama. Asal-muasal terapi operatif disebut sebagai “six hour rule” atau “aturan 6 jam” masih

belum jelas. Beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari percobaan yang dilakukan oleh

Friedrich (1898) yang menyatakan bahwa babi yang mengalami kontaminasi pada lukanya,

memiliki angka kejadian infeksi lebih rendah jika debrideman dilakukan dalam 6 jam.

Sedangkan beberapa percaya bahwa istilah tersebut datang dari Robson dkk (1973) yang

melaporkan bahwa 105 mikroorganisme per gram jaringan merupakan nilai ambang infeksi pada

fraktur tebuka, dan angka tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 5,17 jam.

Sampai saat ini, dua studi telah menunjukan sebuah penurunan angka infeksi ktika

debrideman dilakukan dalam 6 jam. Pada sebuah studi pada 47 fraktur terbuka tibia, Kindsfater

dan Jonassen menemukan bahwa terapi operatif dalam 5 jam berhubungan dengan lebih

rendahnya resiko infeksi (7% [1 dari 50]) jika dibandingkan dengan lebih dari 5 jam yakni

mencapai 38% (12 dari 32) (p <0.03). Akan tetapi, pada fraktur yang berat terapi operatif

nampaknya dilakukan lebih dari 5 jam post fraktur: fraktur terbuka tipe III yang dilakukan terapi

operatif dalam waktu 5 jam berkisar 33% (5 dari 15), sedangkan dalam waktu lebih dari 5 jam

berkisar 53% (17 dari 32). Kreder dan Armstrong menemukan bahwa 56 fraktur tibia pada anak-

anak, 42 kasus yang diterapi dalam waktu 6 jam menunjukan angkan infeksi yang lebih rendah

(12% [5 kasus]) dibandingkan dengan yang mengalami penundaan terapi lebih dari 6 jam (25%

[2 kasus]). Akan tetapi, studi tersebut memiliki sampel yang terlalu kecil (hanya ada 1 kasus

fraktur yang mengamami penundaan terapi, namun memiliki angka kejadian infeksi yang lebih

rendah).

Sebuah studi telah mempertanyakan istilah “aturan 6 jam”. Bednar dan Parikh mereview

hasil-hasil penelitian yang behubungan dengan 82 kasus fraktur tibia dan femur, dan tidak

menemukan perbedaan yang bermakna antara fraktur yang dilakukan debrideman dalam 6 jam

dan dalam 7 jam (9 % vs 3,4%; p > 0.05). .Ashford dkk melaporkan kejadian fraktur tibia pada

pasien dari pedalaman Australia yang tidak mampu mencapai pusat pelayanan kesehatan dalam

waktu 6 jam paska fraktur karena alasan jarak yang etrlalu jauh. Pada penelitian tersebut, peneliti

menemukan tidak terdapat perbedaan signifikan antara angka kejadian infeksi pada individu

yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (17% [2 dari 12] vs 11% [4 dari 36]; p >

0.05). Spencer dkk, yang melakukan studi prospektif terhadap 142 fraktur terbuka tulang panjang

di Inggris juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara individu atau pasien

yang diterapi dalam waktu 6 jam dan lebih dari 6 jam (10.1% [7 dari 69] vs 10.9% [5 dari 46 ]; p

> 0.05). selain itu , Pollack and the LEAP investigators meneliti 315 kasus fraktur terbuak pada

ekstremitas bawah dan menemukan interval wantu antara kejadian fraktur sampai diterapi

debrideman tidak berhubungan dengan angka kejadian infeksi. Sangat menarik untuk dicatat,

namun, pasien yang telah dibawa ke rumah sakit dalam waktu 6 jam paska fraktur memiliki

prevlasensi infeksi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dibawa ke rumah sakit

lebih dari 6 jam (22% vs 39%; p < 0.01).

Satu lagi yang perlu diperhatikan, yakni ketika menyimpulkan laporan-laporan

tersebut. Karena studi tidak dilakukan secara randomized, terdapat potensi untuk terjadinya bias;

fakta bahwa fraktur berat sebaiknya diterapi secara urgen, sebagai contoh peningkatan angka

infeksi pada kelompok yang menerima terapi dalam waktu 6 jam jika dibandingkan dengan

dalam waktu lebih dari 6 jam. Selain itu banyak penelitian yang tidak memiliki kekuatan yang

adekuat, dengan sampel penelitian yang terlalu kecil sehingga tidak mampu mendeteksi

perbedaan bermakma angka infeksi secara klinis.

Sedikit peneliti yang lebih jauh meneliti bahwa debridemn operatif mungkin tidak

dibutuhkan pada fraktur terbuka derajat ringan. Orcutt dkk melakukan studi retrospektif

membandingkan 99 fraktur terbuka derajat ringan (tipe I dan II) yang diterapi dengan rawat luka

dan antibiotic intravena (tanpa debrideman) dengan 50 fraktur terbuka dengan derajat yang sama

yang diterapi dengan rawat luka dan antibiotic intravena, disertai debrideman operatif. Mereka

menemukan angka infeksi yang lebih kecil (3% vs 6%) pada kelompok tanpa debrideman,

namun perbedaanya tidaklah signifikan (p>0.05). peneliitian terkini yang dilakukan oleh Yang

dan Eisler melaporkan luaran pasien yang baik, dengan angka infeksi 0% pada studi retrospektif

91 kasus fraktur terbuka tipe I tanpa debrideman. Akan tetapi, peneliti tersebut mengakui

kesulitan memprediksi keparahan fraktur hanya berdasar temuan superficial saja dan perlu

dicatat bahwa banyak fraktur yang sudah digolongkan menjadi tipe I di UGD, kemudian

direklasifikasikan kembali saat di meja operasi saat dilakukan debrideman.

Menurut pendapat kami, debrideman operatif sebaiknya dijadikan sebagai standar terapi

untuk semua fraktur tebuka. Meskipun debrideman memiliki keuntunga yang tidak berbeda

signifikan pada fraktur derajat ringan, namun debrideman operatif masih perlu dilakukan untuk

klasifikasi luka. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, fraktur tebuka yang diklasifikasikan

hanya berdasarkan cirri-ciri superfial kerap kali misklasifiasi. Padahal, kegagalan dalam

eksplorasi dan debrideman fraktur di kamar operasi dapat beresiko tinggi terhadap infeksi.

Sebaliknya, tidak mungkin untuk memperdebatkan istilah “aturan 6 jam” dalam

tata laksana fraktur tebuka. Pada pencegahan infeksi paska fraktur terbuka, durasi waktu fraktur

sampai kapan dilakukan debrideman tidaklah terlalu penting, diabandingkan dengan factor lain

seperti batas waktu perawatan jaringan lunak. Pasien dengan fraktur terbuka sebaiknya dibawa

ke kamar operasi secara urgen, dengan tabilisasi pasien terlebih dahulu, persiapan kamar operasi,

ketersediaan komponen penolong (dokter orthopaedic, asisten operasi, teknisis radiografi, dan

personel lain di kamar operasi).

Irigasi Luka

Irigasi luka merupakan komponen penting dalam usaha mencegah infeksi setelah fraktur terbuka,

karena dapat menurunkan bacterial load dan menyingkirkan benda asing. Meskipun banyak

guideline menginstruksikan untuk member irigasi sebanyak mungkin, namun terdapat data yang

membahas mengenai berapa banyak volume yang diperlukan untuk irigasi luka pada fraktur

tebuka. Karena kantung irigasi mengandung 3 L cairan, beberapa merekomendasikan pemberian

1 kantong (3 L) untuk irigasi fraktur terbuka tipe I, 2 kantong (6L) untuk tipe II, dan 3 kantong

(9L) untuk tipe III.

Mengenai cara pemberian irigasi, aliran/lavase tekanan dan pulsatil tinggi nampaknya

lebih merupakan cara yang paling efektif untukmenyingkirkan bakteri dan kontaminan yang lain.

Dengan sistem irigasi pulsatil dengan batuan tenaga batrai (misalnya, Surgilav Plus Debridement

System, Stryker Instruments, Kalamazoo, Michigan), tekanan yang dihasilkan berkisar 70 lb psi

dengan 1050 pulsasi per menit untuk aliran bertekanan tinggi (untuk aliran tekanan rendah

tekanan yang dihasilkan adalah 14 lb psi dan 550 pulsasi per menit). Anglen dkk menemukan

bahwa aliran tekanan dan pulsatif tinggi mampu meningkatkan penyingkiran bakteri penghasil

lumpur dari sekrup stainless steel (logam anti karat) dengan factor 100. Pada sebuah studi in

vitro dengan model tibia, Bhandari dkk menemukan bahwa meskipun aliran tekanan dan pulsatil

rendah dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 3 jam setelh fraktur, namun hanya aliran

tekanan dan pulsatil yang tinggi yang dapat menyingkirkan bakteri dan kontaminan 6 jam setelah

fraktur.

Terdapat data dari studi binatang coba dan in vitro yang menyatakan bahwa aliran/lavase

tekanan dn pulsatil yang tinggi memiliki efek samping yang merugikan. Pada studi in vitro oleh

Bhandari dkk, aliran tersebut dapat secara signifikan menyebabkan kerusakan tulang secara

makroskopis jika dibandingkan denganlavase tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). Selain itu,

analisa histology menunjukan bahwa aliran tekanan dan pulsatil tinggi berhubungan dengan

defek cortical tulang yang secara signifikan lebih besar dan banyak jika dibandingkan dengan

aliran tekanan dan pulsatil rendah (p<0.001). pada studi dengan tikus, Adili dkk, menemukan

bahwa aliran/lavase tekanan dan pulsatile besar pada fraktur terbuka diafise femoral tanpa

kontaminasi berhubungan dengan penurunan kekuatan mekanik pada minggu ke-3 (namun tidak

pada minggu ke-6). Selain itu Hassnger dkk, menemukan juga bahwa lavase/aliran tersebut

berkaitan dengan semakin dalamnya penetrasi bakteri ke otot domba. Namun, berdasarkan

pengetahuan kami, tidak terdapat studi klinis mengenai aliran tekanan dan pulsatil tinggi maupun

rendah untuk irigasi luka fraktur terbuka. Oleh karena itu, tidak terdapat data yang sufisien

untuk membuat suatu rekomendasi mengenai cara irigasi (table II).

Larutan garam fisiologis steril, baik dengan additive maupun tidak, biasanya digunakan

sebagai cairan irigasi. Additive yang tersedia dapat dibagi menjadi 3 kategori umum: antiseptic,

seperti iodium providon (betadine), klorheksidin glukonat (hibitane), dan heksaklorofen

(pHisoHex); antibiotic seperti bacitracin;dan sabun yang berfungsi untuk menyingkirkan bakteri

(ketimbang membunuh bakteri). cairan-cairan tersebut telah diuji dan dibandingkan dalam

banyak studi. Pada studi yang dilakukan oleh Anglen dkk, sabun merupakan additive yang paling

efektif untuk menyingkirkan bakteri penghasil lumpur pada sekrup logam baja anti karat,

sedangkan antibiotic tidak memberikan perbedaan efek yang signifikan jika dibandingkan

dengan larutan garam fisiologis (p>0.05). Bhandari dkk, membandingkan berbagai larutan irigasi

in vitro dan menemukan bahwa povidone-iodine, chlorhexidine gluconate, dan sabun cair paling

efektif untuk menyingkirkan bakteri dari tulang, sabun memiliki efek samping yang paling

minimal terhadap fungsi osteoblas maupun osteoclast.

Baru-baru ini, Anglen melaporkan hasil penelitian prospektif, randomized, controlled

trial membandingkan sabun non steril dengan larutan bacitracin untuk irigasi 398 kasus fraktur

terbuka ekstremitas bawah. Cariran irigasi tersebut menganding 80 mL sabun cair (Triad

Medical, Franklin, Wisconsin) atau 100,000 unit bacitracin (Baciim; Pharma-Tek, Huntington,

New York) dalam 3 L kantong larutan normal saline. Volume irigasi bervariasi tergantung dari

tipe fraktur tebuka (3 L untukr type I, 6 L untuk type II, dan 9 L untuk type III) dan dialirkan

dengan power irrigator system (Pulsavac; Zimmer, Dover, Ohio). Tidak terdapat perbedaan

bermakna terhadap angka kejadian infeksi dan terkait dengan proses penyembuhan tulang,

namun proses penyembuhan luka lebih baik pada kelompok dengan bacitracin (9.5% [19 dari

199] vs 4% [8 dari 199]; p = 0.03).

Karena studi yang dilakukan memiliki kekuatan yang adekuat, kegagalan untuk

mendeteksi perbedaan yang tidak signifikan terhadap angka kejadian infeksi mungkin tidak

berhubungan dengan jumlah sampel. Oleh karena itu, berdasarkan temuan ini, tidak mungkin

untuk dianjurkan pemilihan additive tertentu untuk irigasi luka fraktur.

Peran Fiksasi

Fiksasi faraktur tebuka memiliki berbagai keuntungan seperti melindungi jaringan lunak

(soft tissue) dari fragmen fraktur, meningkatkan efektifitas rawat luka, dan memicu

penyembuhan luka di jaringan, merangsang mobilisasi dan rehabilitasi dan mungkin juga

menurunkan angka infeksi. Pada pasien dengan jejas yang multiple, fiksasi fraktur juga dapat

menurunkan resiko acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan kegagalan organ multiple

(MODS) yang mungkin dikarenakan efek menenangkan respon inflamasi. Sejumlah metode

telah tersedia guna memfiksasi fraktur terbuka yakni meliputi splinting (pembidaian), cast

immobilization (gibs) , atau traksi, fiksasi eksternal, plat dan sekrup, dan intramedularry nailing

atau pemakuan intrameduler (dengan atau tanpa reaming). Paku intrameduler bisa solid, dengan

slot yang cekung, atau berkanul, dengan paku solid menunjukan tahanan yang lebih besar

terhadap infeksi pada studi dengan hewan coba.

Pada situasi apapun, pilihan terbaik untuk fiksasi tergantung dari jumlah factor yang

mempengaruhinya yaitu tukang yang terlibat, lokasi fraktur, lokasi luka, dan kondisi pasien.

Femur

Sampai saat ini, terdapat konsensus mengenai stabilisasi fraktur terbuka diafise femur.

Kebanyakan ahli bedah menggunakan intramedullary nailing dengan reaming pada awalnya, dan

terdapat data yang sufisien yang mendukung hal ini (table II). Pada thun 1989, Brumback dkk,

yang diterapi dengan reamed intramedullary nailing dan mencatat tidak terdapat infeksi pada 62

pasien dengan fraktur terbuka tipe I, II dan IIIA, dan hanya terjadi 3 kasus infeksi (11%) dari 27

pasien fraktur terbuka tipe IIIB. Bahkan, angka kejadian infeksi tidak berbeda signifikan antara

pasien yang diterapi dalam 24 jam paska fraktur, maupun lebih dari 24 jam paska fraktur. Pada

tahun yang sama, Bone dkk, melaporkan sebuah studi prospektif randomized, controlled trial

membandingkan stabilisasi dini (dalam 24 jam) dan stabilisasi terlambat (lebih dari 48 jam) dari

178 pasien fraktur tebuka dan tertutup. Dan tidak terdapat perbedaan signifikan angka terjadinya

komplikasi pulmonal (ARDS, emboli lemak, dan pneumonia) baik pada pasien dengan fraktur

femur saja, maupun pasien yang juga disertai jejas multiple. Lama rawat inap lebih pendek pada

pasien yang diterapi dalam 24 jam. Sejak saat itu sejumlah studi juga mengkonfirmasi outcome

pasien yang baik jika dilakukan intramedulary nailing sedini mungkin pada fraktur terbuka

femur. Pada studi kecil dengan 18 pasien fraktur terbuka femur yang diterapi dengan fiksasi

eksternal dan disertai intramedullary nailing, Wu dan Shih melaporkan bahwa infeksi

berkembang pada 2 pasien dan penyatuan kembali tulang (union) terjadi pada 14 pasien.

Tibia

Tatalaksana fraktur terbuka tibia yang optimal masih belum jelas. Pada tahun 1980an, sejumplah

penelitian menyatakan bahwa external fiksasi memberikan outcome yang baik. Bach dan

Hansen melakukan sebuah studi prospektif, randomized, controlled trial membandingkan antara

fiksasi eksternal dan internal dengan plat dan menyatakan bahwa, meskipun kedua metode

tersebut memberikan outcome yang bagus, fiksasi eksternal nampak memberikan komplikasi

yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fiksasi internal. Kira-kira pada tahun yang sama,

Edward dkk, melaporkan hasil studi prospektif dari 202 pasien dengan fraktur terbuka os tibia

tipe III yang diterapi dengan fiksasi eksternal dan menyimpulkan bahwa metode tersebut sukses

dalam menterapi fraktur terbuka os tibia yang berat.

Sepanjang tahun 1990, sejumlah penelitian menyatakan bahwa intramedullary nailing

(pemakuan intrameduler) banyak digunakan pada fiksasi ekternal. Henley dkk, melaporkan hasil

studinya dengan 172 pasien fraktur terbuka os tibia (tipe II, IIIA dan IIIB) dan menyatakan

enreamed intramedullary nailing berkaitan dengan lebih rendahnya angka kejadian mal-

alignnment jika dibandingkandengan fiksasi eksternal (8%[8 dari 104] vs 31% [20 dari 70]; p

<0.01), lebih sedikit prosedur berikutnya yang harus dilakukan (mean 1,7 vs 2,7; p = 0.001), dan

lebih rendahnya angka infeksi (13% [14 dari 104] vs 21% [15 dari 70]; tidak signifikan p = 0.73)

Schandelmaier dkk mereview hasil dari tatalaksana fraktur terbuka os tibia pada 114 kasus

dengan jejas jaringan lunak yang berat dan menemukan bahwa unreamed nailing berhubungan

dengan lebih sedikitny aprosedur terapi yang harus akan dijalani (mean 0.81 vs 1.84; p< 0.001)

dam outcome fungsional yang lebih baik (mean Karlstrom outcome score 31,4 vs 29,6; p = 0.02.

akhirnya Tornetta dkk melakukan studi prospektif randomized, controlled trial membandingkan

unreamed intramedullaru nailing dengan dengan fiksasi eksternal pada fraktur terbuka tibia tipe

IIIB. Meskipun sample studi sangat kecil (29 pasien fraktur) membuat tidak ditemukannya

perbedaan bermakna, para peneliti menyimpulkan bahwa nailing lebih disuki karena dikira

lebih mudah tata laksananya, dan meningkatnya kepuasan pasien.

Pada tahun-tahun terkini, perdebatan telah terjadi pada apakah intramedullary nailing

sebaiknya dilakukan dengan atau tanpa reaming. Karena reaming diketahui memiliki manfaat

dalam tatalaksana fraktur tertutup os tibia yakni waktu yang lebih singkat dalam penyembuhan

tulang, rendahnya prevalensi malunion (tidak menyatunya kedua fragmen tulang yang fraktur),

dan rendahnya pemakaian sekrup- studi pada hewan coba menunjukan penurunan aliran darah ke

tulang tibia pada cortical. Hal ini juga bis terjadi pada fraktur terbuka, dimana jaringan tubuh

yang rusak dan suplai darah yang berkurang, merupakan factor yang krusial dalam

pemnyembuhan dan pencegahan infeksi.

Studi-studi yang memandingkan metode pemakuan (nailing) reamed dan unreamed

pada pasien dengan fraktur terbuka os tibia masih belum tersimpulkan dengan jelas. Keating

dkk, melakukan sebuah studi prospektif , randomized, controlled trial pada 88 pasien dengan

fraktur os tibia yang diterapi dengan intramedullary nailing baik dengan reamed maupun

unreamed , dan menunjukan hasil tidak terdapat perbedaan angka kejadian infeksi maupun

nonunion (tidak menyatu) atau outcome fungsional, meskipun sekrup yang lepas sangat jarang

terjadi pada kelompok yang diterapi dengan reaming (p = 0.014). Finkemeier dkk, menemukan

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nailing reamned dan nonreamed terhadap

penyatuan (union) tulang, jumlah prosedur tambahan yang harus dilakukan, dan kejadian infeksi

(p > 0.05). Studi tersebut merupakan studi prospektif, randomized, controlled trial pada 45

Ziran dkk, juga mereview secara retrospektif hasil dari 51 pasien dengan fraktur terbuka os tibia

dan menemukan angka kejadian nonunion (tidak menyatunya tulang) dan infeksi yang sama baik

pada nailing reamned maupun nonreamed. Namun, terdapat penurunan angka diperlukannya

prosedur tambahan pada grup dengan reaming (41% [9 dari 22] vs 69% [20 dari 29]; p<0.05).

oleh karena itu, kegagalan untuk mendeteksi perbedaan signifikan antara intramedullary nailing

dengan reaming maupun tidak dapat disebabkan oleh kecilnya sampel (kekuatan penelitian yang

tidak adekuat). Bhandari dkk juga gagal menunjukan perbedaan yang signifikan terkait dengan

infeksi, nonunion (tidak menyatunya tulang), atau reoperasi. Sebuah studi definitive

membandingkan nailing dengan reaming dan unreaming sedang berjalan, dan hasilnya masih

belum tersedia. Sampai saat ini, masih dimungkinkan untuk memberikan rekomendasi untuk

tidak menganjurkan reaming pada fiksasi fraktur os tibia (table II).

Perawatan dan penutupan luka

Secara historis, penutupan luka pada fraktur terbuka telah tertunda guna mencegah infeksi

Clostridium dan organisme kontaminan lainny . Strategi pendekata terapi ini pada umumnya

diterima terutama pada kasus fraktur terbuka yang didapat di area pertanian atau peternakan yang

mengandung banyak kontaminan. Sedangkan di negara-negara maju banyak para ahli ortopedi

melakukan penutupan luka pada fraktur terbuka sesegera mungkin setelah dilakukan debrideman

secara adekuat. Dalam seting dimana bakteri nosokomial merupakan sumber infeksi pada

fraktur terbuka, beberapa penelitian telah melaporkan outcome lebih baik secara signifikan pada

penutupan sedini mungkin luka fraktur terbuka (dalam waktu tujuh hari) dibandingkan dengan

penutupan yang tertunda (p <0,05). selain itu , sejumlah studi menyatakan terdapat out come

yang sangat baik dengan penutupan luka yang dilakukan dalam waktu tiga hari setelah cedera

fraktur.

Baru-baru ini, sejumlah penulis telah meneliti kelayakan penutupan luka sesegera

mungkin (dalam dua puluh empat jam setelah cedera). Dalam sebuah penelitian terhadap 119

fraktur terbuka, DeLong dkk. Tidak menemukan penutupan langsung (dalam dua puluh empat

jam) untuk dihubungkan dengan lebih tingginya angka kejadian infeksi atau nonunion ketika

dibandingkan dengan penutupan tertunda (lebih dari dua puluh empat jam) Gopal et al. secara

retrospektif meninjau hasil studi dengan delapan puluh empat pasien fraktur terbuka od tibia tipe

IIIB dan IIIC yang diterapi dengan fiksasi internal dan penutupan luka sesegera mungkin dan

melaporkan lebih rendahnya tingkat infeksi dan amputasi serta membutuhkan waktu yang lebih

singkat bagi tulang untuk menyatu pada penutupan dini luka (pada 24-72 jam) bila

dibandingkan dengan hasil penutupan terlambat (lebih dari tujuh puluh dua jam), meskipun

tidak sugnifikan (p>0.05). Akhirnya, Hertel dkk. melakukan sebuah studi retrospektif dengan

dua puluh sembilan pasien fraktur terbuka od tibia tipe-IIIA dan IIIB dan menemukan bahwa

perawatan luka secepat mungkin berkaitan dengan rendahnya tingkat infeksi (0% [nol empat

belas]) berkurangnya jumlah reoperasi (rata-rata 1,6 vs 3,9 ; p = 0,0001), dan lebih singkatnya

waktu penyatuan tulang (union) (rata-rata 5,6 bulan vs 11,6 bulan; p = 0,005) 89. Menurut

pendapat kami penutupan luka sedini mungkin paska debrideman secara adekuat adalah aman

dan dapat meningkatkan outcome pasien(Tabel II).

Sebagai catatan, kecenderungan untuk menutup luka fraktur sesegera mungkin

berlawanan dengan rekomendasi debrideman pada fraktur terbuka. Dengan debrideman pada

saat presentasi awal, dimungkinkan politrauma atau kondisi lain mungkin menyebabkan ahli

bedah meragukan adekuatnya hasil debrideman di awal tersebut. Selain itu, sangat sulit untuk

mengevaluasi viabilitas jaringan otit pada fase akut. Pada kasus ini, debrideman ulang

diperbolehkan.

Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk penutupan luka termasuk menjahit luka

langsung, split-thickness skin-grafting, dan penggunaan lapisan penutup otot (muscle flaps).

Metode yang optimal tergantung pada jumlah factor yang mempengaruhi yakni, lokasi defek,

ukuran defek, cedera lain yang berkaitan, karakteristik pasien seperti jumlah fugsi tubuh yang

masih baik. Baru-baru ini, penutupan dengan batuan vaccum (vaccum assisted closure) (V.A.C.;

KCI, San Antonio,Texas) merupakan metode yang sagat berguna untuk mempecepat

penyembuhan luka dengan mengurangi edema kronis, meningkatkan aliran darah local,

meningkatkan pembentukan jaringan granulasi. Sejumlah kecil studi melaporkan penggunaann

vaccum assisted closurepada penatalaksanaan luka ortopedik, dengan outcome lyang baik. Sebagai

contoh Defranzo dkk yang menngunakan VAC dalam tatalaksana 55 pasien dengan luka pada ekstremitas

bawah dengan tulang yang terekspose dan hasilnya adalah terdapat penurunan edema jaringan,

penyunyutan ukuran luka, merangsang granulasi jaringan. Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh

Labrer dkk dimana mebandingkan VAC dengan penggunaan membrane sintetik Epigard ( Biovision,

Ilmenau, Germany) dalam tatalaksana fraktur terbuka tipe IIIA dan IIIB pada ekstremitas bawah.

VAC menunjukan outcome yang lebih baik jika dibandingkan dengan penutupan luka dengan

membrane sintetik.

VAC biasa digunakan pada akhir irigasi dan debrideman sampai luka tersebut sudah

dikatakan bersih. Setelah itu, sponge dapat diganti tiap 2 atau 3 hari sekali. VAC dapat

digunakan selama 10-12 hari pada penelitian-peneltian yang dilakukan di atas. Oleh karena itu

VAC dapat menjadi modalitas terapi yang menjanjikan, namun studi lebih lanjut perlu dilakukan

untuk membuat rekomendasi yang definitive (table II).

Terapi Tambahan

Terdapat data mengenai penggunaan terapi tambahan (additive) yang mungkin dapat digunakan

pada tatalaksana fraktur terbuka. Profilaksis cangkok tulang 9bone0grafting0 yang mana

biasanya dilakukan dalam 12 minggu setelah cedera (namun tidak sebelum 2 minggu setelah

penutupan luka) telah menunjukan bermanfat pada beberapa studi kecil. Blick dkk, melakukan

review restrospektif pada 53 pasien dengan fraktur tibia high energy (karena paparan energy

tinggi; kebanyakan tipe IIIB)yang diterapi secara profilaksisi dengan bone grafting

posteriolateral dalam waktu 10 minggu setelah cedera (8 minggu setelah penyembuhan jaringan

lunak). Pasien yang diterapi dengan bone grafting profilaksis memiliki waktu yang lebih singkat

untuk penyatuan tulang (union) jika dibandingkan dengan kontrol (rata-rata 47,7 minggu vs 57, 4

minggu). Pada studi yang dilakukan Trabulsy dkk juga menunjukan hal yang serupa, yakni

dengan menggunakan studi prospektif pada 45 pasien fraktur tibia IIIB, menunjukan pasien yang

diterapi dengan bone grafting 8-12 minggu setelah cedera memiliki waktu yang lebih singkat

untuk penyatuan osseus (mean, 41 minggu vs 52 minggu). Akan tetapi, pemberian fiksasi

eksternal merupakan sbabilisasi pasien yang utama pada studi-studi tersebut, satu hal yang perlu

diperhatikan ketika mengenerailasi hasil studi ke fraktur terbuka os tibia yang diterapi dengan

intramedullary nailing. Stidi lain juga dibutuhkan untuk menciptakan rekomendasi yang

definitive terkait penggunaan profilaksis bone grafting pada tatalaksana fraktur terbuka (table II).

Saat ini, terdapat bukti terkait penggunaan recombinant human bone

morphogenetic protein-2 (rhBMP-2). Pada studi multisenter, prospektif ,

randomized, controlled trial dari 450 pasien dengan fraktur terbuka os tibia,

penggunaan implant rhBMP-2 mampu secara signfikan menurunkan resiko

untuk intervesi sekunder berikutnya (26% vs 46%; risk ratio = 0.56; 95%

confidence interval = 0.40 to 0.78; p = 0.0005). pasien yang diterapi dengan

rhBMP-2 juga memiliki angka kejadian kegagalan hardware yang lebih

rendah (11% vs 22%; p = 0.0476), penyembuhan fraktur yang lebih cepat,

(median healing time, 22 minggu vs 52 minggu), dan percepatan

penyembuhan luka (83% vs 65% sembuh pada minggu ke-6; p = 0.001).

Terapi fraktur terbuka os tibia tipe IIIa dan IIIB dengan rhBMP-2

berhubungan dengan penurunan resiko infeksi (21% vs 40%; p = 0.0234)

dan prosedur (9% vs 28%; p = 0.0065) dan bone grafting (2% vs 20%; p =

0.0005). Diantara semua pasien yang diterapi dengan reamed

intramedullary nailing (untuk semua jenis fraktur), penggunaan rhBMP-2

berkaitan dengan penurunan kecenderungan untuk diperlukannya terapi

invasive pada prosedur (8% [5 dari 65] vs

15% [7 dari 48 ]) dan bone-grafting (2% [1 dari 65] vs 6% [3 dari 48]),

namun hasilnya tidak signifikan (p = 0.35 and 0.31). Oleh karea itu karena

analisisnya tidak adekuat dan dilakukan post hoc, perlu diperhatikan ketika

mengambil kesimpulan. Selain itu studi lebih lanjut rhBMP-2 dalam tata

laksana fraktur terbuka khususnya dengan tingkat keparahan yang tinggi

(Table II).

Ulasan

Fraktur terbuka menunjukan tantangan tersendiri bahkan bagi para ahli

bedah orthopaedi. Antibiotic dapat diberikan sesegera mungkin. Debrideman

sedini mungkin perlu dilakukan, meskipun terdapat kontroversi mengenai

aturan 6 jam “6 hours rule”. Irigasi yang banyak sangatlah penting, namun

metode pemberian dan larutan yang dipakai irigasi yang optimal masih

dalam petanyaan. Fiksasi internal sedini mungkin dapat dikatakan aman,

dan memiliki berbagai keuntungan jika dilakukan dengan metode stabilisasi

yang tergantung dari tulang yang terkait dan factor-faktor lain. Bukti yang

ada saat ini mendukung hal-hal mengenai tren penutupan dan perawatan

luka pada fraktur terbuka. VAC nampak mampu mengurangi ukuran luka,

mempercepat penyembuhan luka, namun studi lain di bidang orthopaedi

perlu dilakukan. Terapi tambahan seperti penggunaan profilaksis bone

grafting dan recombinant human bone morphogenetic protein-2 (rhBMP-2) mungkin dapat

mempercepat penyembuhan tulang dan memingkatkan outcome pasien.