ORASI ILMIAH -...

74

Transcript of ORASI ILMIAH -...

Page 1: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan
Page 2: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

ORASIILMIAH

KOLABORASIPARAPIHAKUNTUK

RESTORASIEKOSISTEMGAMBUT

Prof.Dr.GustiZakariaAnshari,MES

NIDN:0020076201

GuruBesarTetap

FakultasPertanian

UniversitasTanjungpura

AuditoriumUniversitasTanjungpura

9Juli2018

Page 3: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

i

RINGKASAN

Anshari, Gusti Zakaria. 2018. Kolaborasi para pihak untuk restorasi ekosistem gambut. Orasi ilmiah pada pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura disampaikan pada tanggal 9 Juli 2018 di Pontianak.

Sebagian besar hutan rawa gambut tropis di Indonesia telah ditebang kayu-kayunya, dan diubah menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan hutan tanaman industri. Pemanfaatan gambut untuk kepentingan ekonomi dan kebutuhan lain tidak bersifat eksklusif terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi pada gambut-gambut non-tropis lainnya. Fenomena degradasi gambut adalah global karena tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga negara-negara lain baik yang berada pada kawasan tropis maupun non-tropis.

Tanah gambut adalah lahan basah yang memiliki ketebalan bahan organik minimum 50 cm atau lebih. Bahan organik gambut tropis berasal dari berbagai jenis tumbuhan berkayu yang mati dalam waktu ratusan sampai ribuan tahun lalu, dan berada dalam proses-proses pelapukan. Gambut tidak seragam berdasarkan asal usul bahan organik, pelapukan, proses dan waktu pembentukan. Pembentukan gambut membutuhkan waktu jangka panjang melalui proses-proses alami yang terpadu, kolaborasi antara tumbuhan, sebagai penyedia bahan baku yaitu bahan organik mati, dengan komunitas mikroba yang melapukan bahan organik tersebut secara bertahap. Berbagai gangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan kebakaran menyebabkan degradasi lahan gambut, berakibat pada penurunan fungsi-fungsi ekosistem hutan rawa gambut.

Pemerintah Indonesia pada saat ini memiliki komitmen untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Kebijakan restorasi gambut tropis dijalankan dengan pendekatan tiga R, yaitu pembasahan kembali (Rewetting), penanaman kembali (Revegetasi); dan pengembangan mata pencaharian (Revitalisasi). Restorasi gambut merupakan upaya-upaya pengelolaan lintas sektor atas komponen-komponen dinamis dari kebijakan, tata kelola, kondisi sosial-ekonomi-budaya, dan ekologis. Dengan demikian, kolaborasi menjadi keniscayaan dalam pelaksanaan restorasi gambut.

Kata kunci: Gambut tropis; tanah organik; degradasi; restorasi

Page 4: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

ii

SALAM SELAMAT DATANG

• Assalamu’alaikum wr wb, Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua

• Yang terhormat:

Ø Rektor dan wakil-wakil rektor Universitas Tanjungpura

Ø Ketua, Sekretaris, anggota-anggota senat Universitas Tanjungpura

Ø Dekan, dan wakil-wakil dekan pada seluruh Fakultas di Universitas Tanjungpura

Ø Ketua program studi/departemen, dan jurusan di Universitas Tanjungpura

Ø Ketua lembaga-lembaga beserta staf di Universitas Tanjungpura

Ø Kepala dan Sekretaris Badan Restorasi Gambut

Ø Ketua Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut

Ø Staf ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Ø Kepala Dinas dan Lembaga Provinsi Kalimantan Barat

Ø Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung dan Betung Kerihun Danau Sentarum

Ø Pimpinan Smart Agri, Sintang Raya dan Mayangkara Tanaman Industri

Ø Pimpinan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat

Ø Rekan-rekan dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa dan alumni

Page 5: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

iii

Ø Ibunda tercinta, isteri terkasih, kedua anakku, dan seluruh anggota keluarga, dan sahabat-sahabat

Ø Segenap undangan dan hadirin yang saya muliakan

Pertama-tama, izinkanlah saya mengucapkan permohonan maaf lahir batin kepada seluruh hadirin, mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan yang dianugerahkanNya kepada kita semua. Saya juga menyampaikan salam Perayaan Idul Fitri, dan semoga Allah menerima puasa Ramadhan yang telah kita jalani. Kepada Rektor dan pimpinan Universitas Tanjungpura, saya menyampaikan ucapan terima kasih dan permohonan maaf karena acara orasi ilmiah ini baru dapat diselenggarakan pada hari ini, setelah kurang lebih 5 tahun pengangkatan saya sebagai guru besar tetap pada Fakultas Pertanian, UNTAN.

Izinkanlah saya untuk menyampaikan pidato ilmiah yang berjudul: KOLABORASI PARA PIHAK UNTUK RESTORASI EKOSISTEM GAMBUT

Pidato ini merupakan hasil perjalanan panjang karir saya sebagai dosen di Universitas Tanjungpura, yang telah mencapai 30 tahun. Pidato ini menekankan kebutuhan pendekatan interdisiplin dalam upaya mewujudkan restorasi ekosistem gambut. Pertama-tama, saya akan menguraikan dan membagi pengetahuan saya yang sangat terbatas tentang gambut, dan menganalisis dinamika kolaborasi para pihak.

Page 6: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

iv

DAFTAR ISI

Ringkasan iSalamSelamatDatang iiDaftarIsi ivDaftarTabel vDaftarGambar viI. Pendahuluan 1II. Gambutdanekosistemgambut 1A. PengertianGambut 1B. PaludifikasidanTerestrialisasi 3C. AkumulasiBahanOrganikTanah 4D. PenyebaranGambut 7E. Tipe-tipeGambut 10F. KegunaanGambut 12

III. EkosistemGambuttropis 17A. Pengertian 17B. KomponenAntropologis 19

a. KebijakanPemerintah 19b. TataKelolaKorporasi 22c. TataKelolaMasyarakatSipil 23

C. KomponenSosialEkonomidanBudaya 24a. PandanganParaPihak 24b. SistemKearifanLokal 25

Page 7: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

v

c. SumberMataPencaharian 26D. KomponenEkologis 28

a. TataAir 28b. FloradanFauna 29c. Lahan 35

IV. Kolaborasiparapihak 36A. PengertianKolaborasidanParaPihak 36B. KeberhasilanKolaborasi 41C. ForumRestorasi 42D. PentingnyaIlmuPengetahuanInterdisiplin 44E. SkaladanEvaluasi 45

V. Penutup 48DaftarPustaka 50UcapanTerimaKasih 55DaftarRiwayatHidup 57Foto-FotoKegiatanPenelitianGambut 65FotoKeluarga 66

DAFTAR TABEL

Tabel1 PenyebaranGambutdiPermukaanBumi 8Tabel2 PenyebaranGambutTropis 9Tabel3 PerkiraanLuasGambutdiIndonesia 10Tabel4 Luastargetrestorasigambutpadatujuhprovinsi

prioritas 20Tabel5 LuasKesatuanHidrologiGambut(KHG) 20

Page 8: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

vi

Tabel6 ParaPihakyangBeragamdalamRestorasiGambut 37Tabel7 SkaladanIndikatorEvaluasiHasilRestorasiGambut 46Tabel8 EvaluasiKekuatan,Kelemahan,Kesempatandan

AncamanRestorasiGambut 48

DAFTAR GAMBAR

Gambar1 Paludifikasi,akumulasibahanorganikpadarawa 4Gambar2 Terestrialisasibahanorganikpadabadanair 4Gambar3 ModelPembentukanKubahGambutTropisyang

TergantungatasDinamikaPertumbuhanVegetasidanPermukaanAirTanah 5

Gambar4 KompilasiumurgambuttropisdiBorneo,SumateradanPeninsulaMalaysia 7

Gambar5 Klasifikasigambutmenurutgeo-spasialdantopografi 12

Gambar6 Sistembudidayamonokulturhutantanamanindustri(Acaciacrassicarpa)padaLahanGambut 14

Gambar7 Sistembudidayapolikulturtanamansayurdanhortikulturapadalahangambut 14

Gambar8 Gambutnon-tropisdipanendandikeringkanuntukbahanbakardiIrlandia 15

Gambar9 Faktorsukses,sikapdanperilakukolaborasi 40Gambar10ForumRestorasiGambut:ParaPihakFokusuntuk

MewujudkanTargetdanTujuanBersama(a),daninterkasiparapihakdalamberbagiperan(b) 43

Gambar11KerangkaKolaborasidalamRestorasiGambut,menekankanpentingnyailmupengetahuan,teknologi,kearifanlokaldantatakelolasebagaidasarkebijakandanimplementasirestorasi 45

Page 9: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

1

I. PENDAHULUAN

Telah banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa gambut tropis terluas berada di Indonesia, dengan prakiraan luas antara 15 sampai 21 juta hektar (Page et al., 2011; Page dan Baird, 2016; Rieley dan Page, 2015; Ritung et al., 2011). Namun, sebagian besar gambut tersebut telah diubah peruntukannya dari hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman industri. Dampak positif dari penebangan dan perubahan penggunaan lahan tersebut menyumbang pertumbuhan ekonomi, dan dampak negatif yang terjadi adalah degradasi gambut. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi tersebut mudah terbakar. Sejak tahun 2016, pemerintah mencanangkan program restorasi gambut, dengan target 2 juta hektar selama lima tahun pada tujuh provinsi prioritas restorasi, yaitu Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua (Peraturan Presiden No.1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut).

Restorasi gambut adalah upaya-upaya sistematis, kompleks, jangka panjang, dan bersifat lintas sektor, dan interdisiplin ilmu. Karena itu, pemahaman tentang gambut tropis menjadi keniscayaan. Dalam implementasi program restorasi gambut diperlukan kepakaran para pihak yang memiliki komitmen untuk belajar, berbagi dan berbuat untuk mencapai tujuan-tujuan bersama (common goals). Pengelolaan restorasi adalah kolaborasi para pihak.

II. GAMBUT DAN EKOSISTEM GAMBUT

A. Pengertian Gambut

Orang Melayu di Pontianak menggunakan istilah Sepok untuk memaparkan apa yang dimaksud dengan gambut. Arti kata Sepok mengandung makna tersirat negatif, yang berarti “ketinggalan zaman” atau “kampungan”. Penggunaan kata sepok nampaknya digunakan sebagai sebuah peringatan dini atau rasa kuatir supaya tidak

Page 10: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

2

memasuki kawasan gambut karena banyak air, dan tanah yang labil. Pada sisi yang lain, kata sepok menyiratkan suatu kearifan lokal yang menunjukkan bahwa tanah gambut umumnya tidak diganggu dan tidak digunakan untuk pertanian karena tanahnya tidak subur dan sulit dikelola. Baik suku Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat tidak membuka hutan rawa gambut untuk mempraktekkan perladangan.

Suku Iban tidak membuka hutan kerangas, yang biasanya terdapat lapisan gambut di atas pasir. Kata kerangas dalam bahasa Iban berarti tidak cocok untuk perladangan. Pengetahuan suku Iban bahwa jika hutan kerangas dibuka, maka berubah menjadi paparan pasir ketika lapisan gambut hilang.

Di dalam kawasan Taman Nasional Danau Sentarum suku Melayu Kapuas Hulu sepakat untuk melindungi hutan rawa gambut. Hutan itu dijadikan hutan adat rawa gambut Nung, dan disebut Hutan Nung. Kawasan hutan adat ini dimiliki bersama beberapa desa. Keberadaan hutan rawa gambut pada hulu Sungai Kapuas telah diketahui sejak zaman kolonial Belanda.

Tinjauan ini menjelaskan bahwa baik masyarakat Melayu, maupun suku-suku Dayak di Kalimantan tidak mengubah tanah-tanah gambut dalam sebagai lahan pertanian, karena lahan tersebut sulit diakses, banyak air, dan tidak subur untuk perladangan padi. Namun, lahan gambut dibuka oleh kaum pendatang yang berasal dari Jawa dan Sulawesi. Suku Madura dan Bugis menempati lahan rawa dekat sungai atau pantai, karena lahan gambut umumnya tidak dihuni oleh penduduk asli Kalimantan. Artinya, ketika terjadi perpindahan suku Madura dan Bugis ke Kalimantan pada masa lalu, hanya lahan-lahan rawa gambut yang bebas dari penguasaan pemerintah dan masyarakat, maka terbuka bagi kaum pendatang untuk memanfaatkannya.

Dalam kebijakan pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 juncto PP No. 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, gambut diartikan sebagai:

Page 11: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

3

“Gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi pada rawa”.

Gambut adalah ampas hasil pelapukan berbagai jenis sedimen bahan organik tanah (BOT) dari sekumpulan tumbuhan pada lahan yang permukaan air tanah tinggi, karena tergenang permanen, tergenang musiman pada musim hujan, atau tidak tergenang tetapi jenuh air (saturation), dalam jangka waktu pengawetan ratusan sampai beberapa ribu tahun.

Yang dimaksud dengan BOT adalah sekumpulan senyawa organik dari tumbuhan, yang memiliki ukuran diameter lebih dari 2 mm (Soil Survey Staff 2014), dan memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu kemampuan menyerap air yang besar dibandingkan bahan mineral tanah (BMT). BOT pada gambut tropis berasal dari berbagai jenis tumbuhan berkayu, sedangkan gambut non-tropis berasal dari lumut (Sphagnum spp).

B. Paludifikasi dan Terestrialisasi

Paludifikasi dan terestrialisasi menjelaskan mekanisme terjadinya akumulasi BOT pada area drainase terhambat, yang bercirikan selalu tergenang (water logged environment). Paludifikasi terjadi ketika bahan organik menumpuk pada area yang buruk drainasenya tersebut atau telah menjadi rawa (Lihat Gambar 1). Area tersebut tidak berasal dari badan air, namun merupakan rawa tanah mineral yang secara lambat laun ditutupi atau diselimuti oleh lapisan-lapisan bahan organik. Sebagian besar gambut hasil paludifikasi berasal dari tumbuhan hutan bakau (Anderson & Muller 1975).

Gambar 2 memberikan ilustrasi terestrialisasi, yang merupakan proses perubahan ekosistem akuatik menjadi daratan. Misalnya penutupan danau atau sebagian sungai oleh bahan organik tanah.

Page 12: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

4

Gambar 1 Paludifikasi, akumulasi bahan organik pada rawa

Gambar 2 Terestrialisasi, akumulasi bahan organik pada badan air

C. Akumulasi Bahan Organik Tanah

Curah hujan berfungsi sebagai faktor pengawet BOT sebagai dalam pembentukan gambut tropis. Temperatur dingin berfungsi sebagai faktor pengawet BOT dalam pembentukan gambut non-tropis. Pada gambut tropis, jumlah curah hujan lebih besar daripada

Mineral Sapris Hemis Fibris

Hutan Rawa

Sungai

Tahap awal Tahap Lanjutan

Air

Lapisan mineral Sedimen danau Hemis Fibris Sapris

Muka Air Tanah

Page 13: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

5

penguapan (evapotranspirasi). Surplus air menciptakan lingkungan yang tergenang atau banyak air untuk memperlambat pelapukan BOT, supaya terjadi pembentukan gambut. Secara geo-morfologi, terdapat substrat mineral di bawah gambut yang menghambat aliran air, karena ada “lapisan kedap air”

Keterangan: garis putih putus-putus melambangkan pergerakan muka air tanah minimum dan maksimum, yang ditentukan oleh curah hujan, evapotranspirasi, dan aliran air (lihat tanda panah warna abu-abu dan putih)

Sumber : Cobb et al. (2017)

Gambar 3 Model Pembentukan Kubah Gambut Tropis yang Tergantung atas Dinamika Pertumbuhan Vegetasi dan Permukaan Air Tanah

Gambar 3 menjelaskan proses pembentukan kubah gambut tropis. Dinamika curah hujan mempengaruhi fluktuasi permukaan air tanah, yang selalu berubah secara sistematis, dan terbatas. Pada kondisi alami, ketinggian muka air tanah bervariasi maksimum dan minimum. Artinya, naik dan turun permukaan air tanah tidak secara drastis, tetapi

Curah Hujan

Evapotranspirasi

±10 km

500

cm Kubah

Gambut

Aliran Permukaan

Konduktivitas hidrolik

Page 14: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

6

sistematis. Pembentukan kubah gambut tersebut sangat ditentukan oleh dinamika pertumbuhan vegetasi yang menyediakan bahan-bahan organik untuk diawetkan menjadi gambut.

Proses pembentukan gambut terjadi secara bertahap. Model pembentukan gambut secara bertahap ditunjukan pada hasil penelitian pada Taman Nasional Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Berbeda dengan gambut-gambut tropis lainnnya, gambut yang berada pada kawasan hulu Sungai Kapuas terbentuk pada masa es terakhir dari era Pleistosen1, yang sebagian umurnya mencapai 20.000 tahun (Anshari et al. 2001; Anshari et al. 2004), dan yang lain sekitar 12.000 tahun (Anshari et al. 2012). Gambut Pleistosen Akhir ini termasuk gambut yang terbentuk pada tahap awal, dan penyebarannya terbatas dibandingkan gambut-gambut lain yang terbentuk pada masa Holosen (kurang dari 12.000 tahun), dan menyebar lebih luas pada kawasan pantai. Hal ini terjadi ketika permukaan air laut meningkat akibat pemanasan global pada masa Holosen (Dommain et al. 2011).

Hasil kompilasi umur pembentukan gambut disampaikan pada Gambar 4, menunjukkan sebagian besar gambut tropis yang terdapat pada kawasan pantai Timur Sumatera, Peninsula Malaysia dan Borneo berumur antara 4.000 – 10.000 tahun. Gambut yang berumur lebih dari 10.000 tahun sementara ini berada pada Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, dan Sebangau, Kalimantan Tengah.

Gambut tropis di Indonesia umumnya berumur antara 3.000 sampai 6.000 tahun (Cobb et al,. 2017; Dommain et al,. 2011; Neuzil, 1995), dan sebagian gambut berumur lebih dari 20.000 tahun (Anshari et al. 2001; Anshari et al. 2004). Kecepatan akumulasi bahan organik menjadi gambut diperkirakan antara 0,5 mm sampai 2 mm per tahun (Hapsari et al,. 2017; Page et al,. 2004).

1 Pleistosen adalah zaman es terakhir (the last glacial epoch) di permukaan

bumi mulai dari sekitar 2,6 juta tahun lalu sampai kurang lebih 11.700 tahun ketika lapisan es mulai mencair (inter-glacial) pada awal Holosen

Page 15: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

7

(Sumber : Biagioni et al. 2015)

Gambar 4 Kompilasi umur gambut tropis di Borneo, Sumatera dan Peninsula Malaysia

D. Penyebaran Gambut

Gambut dijumpai pada setiap benua, dan terdapat dari kawasan beriklim dingin, sedang (temperate), sub tropis, dan tropis. Sebagian gambut terdapat pada dataran tinggi (>1000 m DPL), pada kawasan cekungan atau basin yang bercirikan drainase terhambat, atau tergenang untuk mendukung pengawetan bahan organik. Sebagian besar gambut terdapat pada dataran rendah, yang tidak jauh dari kawasan pantai, delta, dan danau-danau tanduk kuda (ox-bow lakes), yang terbentuk dari perubahan aliran sungai.

Luas gambut di permukaan bumi sekitar 3-4% (Gorham 1991), dan terutama terdapat pada kawasan bumi belahan Utara. Sekitar 90% gambut terdapat di Eropa, Amerika Utara dan Asia (Rieley dan

Page 16: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

8

Page, 2015). Hanya 5% gambut terdapat di Afrika, Amerika Selatan, Australia, dan Ocenia (Lihat Tabel 1).

Luas gambut tropis diperkirakan sekitar 44 juta hektar (±�10%) dari luas gambut di seluruh dunia (lihat Tabel 1 dan Tabel 2). Menurut hasil pemetaan gambut oleh Gumbricht et al. (2017), luas gambut tropis diperkirakan mencapai 170 juta hektar, karena banyak ditemukan gambut-gambut tropis di Amazon, Asia, dan Afrika.

Kawasan gambut tropis terluas terdapat di Asia Tenggara, yang pada saat ini tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Papua New Guinea, dan negara-negara lainnya di Amerika (Page et al. 2011b). Luas gambut tropis di Afrika banyak terdapat di Congo mencapai 14,6 juta hektar, dengan total perkiraan cadangan karbon sebesar 30,6 Gt (Dargie et al. 2018).

Tabel 1 Penyebaran Gambut di Permukaan Bumi

No Benua Luas (ha) Persen

1 Amerika Utara 209.640.000 49,19%

2 Eropa Timur 151.957.800 35,66%

3 Eropa Barat 25.986.200 6,10%

4 Asia 24.886.500 5,84%

5 Amerika Selatan 6.173.000 1,45%

6 Afrika 4.856.500 1,14%

7 Amerika Tengah 2.524.000 0,59%

9 Kepulauan Pasifik 165.000 0,04%

10 Total Prakiraan Dunia 426.189.000 100,00%

Sumber: Modifikasi Andriesse (1988)

Page 17: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

9

Tabel 2 Penyebaran Gambut Tropis

Kawasan Luas ( Ha) Persentase

Asia Tenggara 24.777.800 56,18%

Amerika Selatan 10.748.600 24,37%

Afrika 5.586.000 12,67%

Amerika Tengah dan Karibia 2.337.400 5,30%

Asia Lain 633.700 1,44%

Pasifik 19.000 0,04%

TOTAL 44.102.500 100,00%

Sumber: Page et al. (2007, 2011)

Luas gambut di Indonesia diperkirakan antara 15 juta sampai 21 juta hektar (Agus dan Subiksa, 2008; Andriesse, 1988; Page et al. 2007, 2011; Page dan Baird, 2016; Ritung et al. 2011), yang terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sebagian kecil gambut terdapat di Sulawesi dan Jawa. Data resmi luas gambut yang dipakai pemerintah Indonesia saat ini adalah 14,9 juta hektar (Ritung et al. 2011). Umumnya gambut di Indonesia terdapat pada kawasan pantai, seperti pada kawasan pantai bagian Timur pulau Sumatera, dan kawasan pantai pulau Kalimantan. Provinsi Riau di Sumatera dan Kalimantan Tengah memiliki gambut terluas di Indonesia, yaitu sekitar 4 dan 3 juta hektar. Tabel 3 menguraikan luas gambut di Indonesia menurut Ritung et al (2011) dan Wahyunto et al (2014).

Page 18: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

10

Tabel 3 Perkiraan Luas Gambut di Indonesia

Provinsi Luas (ha) Ketebalan

< 3 m > 3 m

Aceh 215.704 144.274 71.430

Sumater Utara 261.234 245.807 15.427

Sumatera Barat 100.567 35.705 64.862

Riau 3.867.414 1.417.762 2.449.652

Kep. Riau 8.186 8.186 0

Jambi 621.089 234.532 386.557

Bengkulu 8.053 4.658 3.395

Sumatera Selatan 1.262.384 1.220.757 41.627

Kep. Babel 42.568 42.568 0

Lampung 49.331 49.331 0 SUMATERA 6.436.530 3.403.580 3.032.950

Kalimantan Barat 1.680.134 1.240.157 439.977

Kalimantan Tengah 2.659.234 1.081.020 1.578.214

Kalimantan Selatan 106.271 31.309 74.962

Kalimantan Timur dan Utara 332.366 85.939 246.427 KALIMANTAN 4.778.005 2.438.425 2.339.580

Papua 2.644.510 2.644.438 72

Papua Barat 1.046.511 1.046.483 28 PAPUA 3.691.021 3.690.921 100

TOTAL 14.905.556 9.532.926 5.372.630

Sumber: Ritung et al. (2011), Wahyunto et al. (2014)

E. Tipe-tipe Gambut

Berdasarkan tinggi tempat (elevasi), sebagian besar gambut terdapat pada kawasan dataran rendah, dan sebagian berada pada

Page 19: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

11

dataran tinggi. Pada prinsipnya, kawasan drainase terhambat, jika terdapat sekelompok vegetasi pembentuk gambut, maka secara lambat laun akan terjadi akumulasi gambut. Di daerah tropis, faktor air menjadi pengawet atau memperlambat kecepatan pelapukan pada kawasan tropis, dan faktor temperatur yang dingin memperlambat pelapukan bahan organik pada kawasan non-tropis. Curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang masa membantu pertumbuhan vegetasi, yang berfungsi sebagai pemasok sedimentasi bahan organik.

Berdasarkan topografi dan geo-spasial, gambut dapat berada antara dua badan air, yaitu gambut basin, baik yang memiliki satu kubah, lebih dari satu kubah, dan tidak membentuk kubah. Gambut juga dapat dijumpai antara bukit-bukit kecil (Natai/Mungguk). Gambut dapat terjadi pada cekungan kecil (small depression) pada lereng (Lihat Gambar 5). Gambut-gambut juga dijumpai pada bagian hilir sungai (kawasan pantai), paparan banjir hulu sungai, dan kepulauan.

Berdasarkan sumber air, sebagian kecil proses pembentukan gambut dipengaruhi oleh air tanah dan luapan air yang banyak mengandung mineral, dan dikenal sebagai gambut topogen. Gambut yang semata-mata dipengaruhi oleh air hujan disebut gambut ombrogen. Gambut topogen kadang kala disebut gambut mineratrofik yang lebih subur tanahnya dibandingkan gambut omborgen.

Page 20: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

12

Gambar 5 Klasifikasi gambut menurut geo-spasial, dan topografi

F. Kegunaan Gambut

Sebagai sumberdaya alam, gambut lebih dominan digunakan untuk kegunaan ekonomi langsung. Misalnya, penebangan kayu, pemungutan hasil hutan non-kayu, dan kegiatan serupa yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di Eropa, gambut juga digunakan langsung. Misalnya dikeringkan sebagai lembaran (peat sod) yang kemudian digunakan sebagai bahan bakar. Di Indonesia, hutan rawa gambut dijadikan kawasan pembalakan kayu pada tahun 1970-an, ditebangi beberapa kayu komersial yang berharga seperti meranti rawa, ramin, kayu cin, dan nyatoh. Setelah penebangan kayu, sebagian hutan rawa gambut di Pulau Kalimantan dan Sumatera diubah peruntukannya sebagai lahan pertanian, perkebunan kelapa

Gambut Mineral Aliran air Muka air tanah

Gambut Kubah

Gambut Kubah tanpa Kubah

Gambut dengan Kubah-kubah pada dataran banjir/kawasan pasang-surut

Gambut antara natai/mungguk

Gambut pada lereng

Page 21: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

13

sawit (Elaeis guineensis), dan hutan tanaman industri (HTI), budidaya tanaman akasia (Acacia crassicarpa). Gambar 6 menampilkan foto sistem monokultur HTI pada lahan gambut, dengan saluran drainase.

Sistem budidaya polikultur yang dikembangkan oleh masyarakat umumnya tidak luas. Dengan sistem manajemen yang baik dan dibantu oleh sejumlah tenaga kerja dari luar keluarga, seorang petani dapat mengusahakan sampai 16 hektar. Namun, umumnya satu keluarga petani jika tidak ada tenaga kerja dari luar, hanya dapat mengusahakan kurang dari satu hektar, atau bahkan hanya 0,5 hektar karena sangat besar waktu yang diperlukan untuk melakukan budidaya tanaman sayur-mayur dan hortikultura pada lahan gambut. Secara ekologis, sistem budidaya polikultur terlihat seperti peniruan komposisi hutan rawa gambut, dan relatif lebih toleran terhadap gangguan hama dan penyakit. Gambar 7 menyajikan salah satu sistem budidaya polikultur pada lahan gambut.

Lahan gambut satu juta hektar atau sering juga disebut Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah dibuka pada tahun 1995/1996. Tujuan pembukaan lahan gambut pada awalnya berkaitan dengan program transmigrasi, dan berkaitan dengan pengembangan pertanian tanaman pangan, namun sayang tidak berhasil. Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan hutan tanaman akasia dan kemudian pengembangan kelapa sawit marak pada era 2000-an. Hal ini terjadi karena lahan-lahan kering telah penuh dengan izin perkebunan dan kehutanan, dan lahan yang masih belum ada pemilik izinnya adalah tanah-tanah gambut. Walaupun lahan gambut telah terbakar sebelumnya, sejak kebakaran besar pada tahun 1997/1998, kebakaran gambut di Indonesia selalu terjadi dan menjadi masalah nasional dan internasional sampai saat ini.

Page 22: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

14

Gambar 6 Sistem budidaya monokultur hutan tanaman industri (Acacia

crassicarpa) pada Lahan Gambut

Gambar 7 Sistem budidaya polikultur tanaman sayur dan hortikultura

pada lahan gambut

Gambut non-tropis di Inggeris, Irlandia, negara-negara Eropa lainnya serta di Amerika Utara digunakan sebagai bahan bakar. Gambut dipanen dan dikeringkan, dan kemudian dibakar untuk pemanasan pada musim dingin. Gambut juga digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di Eropa. Penambangan gambut telah

Page 23: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

15

menyebabkan kerusakan habitat gambut, seperti pada kawasan Bord Na Mona, Irlandia. Sekitar 47% kawasan gambut di Irlandia telah habis karena penambangan untuk energi. Kegiatan penambangan gambut ini, mulai dari skala rumah tangga, dan industri telah berlangsung selama 400 tahun. Sejak tahun 1999, pemerintah Irlandia telah menerbitkan kebijakan dan upaya untuk menghentikan penambangan gambut (http://www.ipcc.ie/a-to-z-peatlands/peatland-action-plan/over-exploitation-of-peatlands-for-peat/, akses 13 Maret 2018). Gambar 8 menunjukkan pemanenan gambut non-tropis yang akan dijadikan bahan bakar.

Gambar 8 Gambut non-tropis dipanen dan dikeringkan untuk bahan bakar

di Irlandia

(Gambar pada pojok kiri: potongan gambut yang dikeringkan tersebut)

Selain untuk bahan bakar, gambut digunakan sebagai media tanam untuk industri hortikultura di Eropa dan Amerika Utara. Di

Page 24: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

16

Inggeris, volume gambut yang dipanen untuk media tanaman hortikultura mencapai 3 juta m3 per tahun, dan menimbulkan berbagai dampak ekologis. Alternatif untuk mengganti gambut dengan media buatan lainnya sedang diusahakan oleh berbagai pihak (http://www.iucn-uk-peatlandprogramme.org/resources/peat-and-horticulture, akses 14 April 2018).

Kegunaan hutan rawa gambut dan gambut sebagai material organik tidak terbatas untuk kepentingan ekonomi langsung, hutan rawa gambut tropis memiliki keanekaragaman hayati, baik fauna dan flora, yang sangat tinggi dan sebagian bersifat endemik, atau hanya terdapat pada hutan rawa gambut tropis. Misalnya spesies langka dan dilindungi kayu ramin (Gonystylus bancanus), mabang (Shorea pachyphylla), dan orang utan (Pongo spp). Danau dan sungai yang berkaitan dengan rawa gambut kaya akan fauna air, seperti berbagai jenis ikan air tawar, dan salah satunya ikan Arwana Golden Red (Sclerophagus formosus).

Material gambut menyimpan banyak elemen Karbon, dan berperan sebagai penyimpan Karbon yang sangat besar. Semakin tebal gambut, maka sebagian besar jumlah Karbon yang disimpan, yang volumenya dapat mencapai 10 – 12 kali dari simpanan Karbon pada tumbuhan (Agus et al., 2011; Anshari et al., 2010; Anshari, 2010; Kurnianto et al., 2014; Warren, Matthew, Frolking, Steve., Dai, Zhaohua, dan Kurnianto, 2016; Warren et al., 2017, 2012). Cadangan karbon dalam gambut berperanan penting sebagai pengatur kadar CO2 pada atmosfer, berfungsi sebagai salah satu gas rumah kaca, yang mengatur temperatur permukaan bumi menjadi hangat, dan mendukung kehidupan. Ketika terjadi degradasi gambut, yaitu kecepatan pelapukan bahan organik menjadi lebih cepat dari pada kecepatan sedimentasi bahan organik, elemen karbon yang terikat dalam bahan organik terlepas dan menjadi gas CO2. Kebakaran dan pelapukan gambut akibat pengeringan menyebabkan terjadinya pelepasan karbon yang sangat besar.

Kegunaan lain material gambut sebagai arsip alami perubahan lingkungan pada masa lalu, dan sering digunakan oleh ahli geologi

Page 25: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

17

untuk memahami lingkungan masal lalu yang mendukung pembentukan bahan tambang batubara. Gambut adalah bahan baku untuk menjadi batubara dalam waktu jutaan tahun. Kandungan fosil serbuk sari (pollen), diatom, dan amoeba dapat digunakan untuk memahami proses suksesi hutan, dinamika perairan, dan perubahan iklim.

III. EKOSISTEM GAMBUT TROPIS

A. Pengertian

Ekosistem sering diartikan sebagai interaksi antara mahluk-mahluk hidup (biotik) dengan mahluk tak hidup (abiotik) dalam suatu waktu dan ruang. Interaksi dalam ekosistem sering berarti kompetisi dalam menguasai ruang dan bahan makanan untuk berkembang biak. Pada kenyataannya sebagian mahluk hidup melakukan kolaborasi dalam upaya mendapatkan makanan, dan berkembang biak.

Paradigma pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya berdasarkan eksploitasi untuk menguasai dan mendominasi, atau berdasarkan pendekatan perlindungan, pengawasan dan perawatan (stewardship). Manusia membutuhkan tata kelola yang baik, yang menciptakan kondisi lingkungan yang baik untuk menciptakan kenyamanan, keadilan dan kesejahteraan bagi manusia, dan mahluk-mahluk lain yang hidup bersama-sama di bumi ini.

Pada saat ini, paradigma pengelolaan sumberdaya alam adalah pengelolaan kolaboratif inter-disiplin, yang tidak berdasarkan batas-batas sektor, atau mono-disiplin, tetapi berdasarkan kerjasama yang menguntungkan antara berbagai pihak yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kepakaran yang berbeda-beda. Para pihak tersebut dapat berbeda pendapat, namun tujuan yang ingin dicapai sama, yaitu pelestarian sumberdaya alam untuk menciptakan kebaikan bersama, dan bukan hanya untuk manusia tetapi juga mahluk-mahluk lain yang mendiami bumi. Keberadaan mahluk-mahluk lain, baik kelompok biotik maupun abiotik, adalah keniscayaan dalam membangun kehidupan yang sejahtera antara generasi yang satu

Page 26: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

18

dengan yang lain. Manusia diharapkan membangun peradaban yang menguntungkan seluruh mahluk yang hidup bersama di permukaan bumi. Manusia bukan satu-satunya mahluk yang memiliki moral, dan dapat menderita tetapi mahluk-mahluk hidup lain juga memiliki moral dan dapat menderita. Hanya saja ada keterbatasan komunikasi antara manusia dengan mahluk-mahluk lain. Diakui, bahwa manusia yang hanya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban. Karena itu, manusia menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih besar atas pelestarian sumberdaya alam di permukaan bumi.

Paradigma pengelolaan tersebut dapat diartikan sebagai upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang menguntungkan generasi saat ini tetapi tidak menyengsarakan generasi yang akan datang (Brundtland 1987). Setelah penerbitan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) tersebut, banyak diskusi tentang makna pembangunan, baik pada tingkat Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi antara bangsa, maupun pada jurnal-jurnal ilmiah. Sampai saat ini, umat manusia masih berjuang untuk mewujudkan cita-cita pembangunan berkelanjutan, dan telah merumuskan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainabel Development Goals, SDGs). (https://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/, akses 2 Pebruari 2018).

Salah satu dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan adalah merevitalisasi kerjasama antara para pihak (pemerintah, korporasi, dan masyarakat) pada berbagai tingkat untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, yang telah menjadi keniscayaan bagi keselamatan umat manusia, dan seluruh mahluk di planet bumi (https://www.un.org/sustainabledevelopment/globalpartnerships/, akses 2 Pebruari 2018).

Sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut, pengelolaan sumberdaya hutan rawa gambut memerlukan kerjasama interdisiplin, yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antropologis, sosial ekonomi dan budaya, serta ekologis. Komponen-

Page 27: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

19

komponen ekosistem gambut tersebut menciptakan kesatuan antro-sosio-ekologis dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut tropis.

B. Komponen Antropologis

Mengapa tata kelola dikategorikan sebagai komponen antropologis? Tata kelola (governance) bertujuan menciptakan kesejahteraan publik bagi seluruh lapisan para pihak, baik yang berstatus sebagai pemerintah, korporasi dan masyarakat sipil. Tata kelola umumnya berpusat pada perilaku manusia. Tata kelola hanya dapat dilaksanakan oleh manusia, dan baik buruknya tata kelola tergantung atas kerangka interaksi antara kelompok manusia yang satu dengan lainnya. Ada tiga sub bahasan dalam bagian ini, yaitu tata kelola pemerintah (kebijakan), tata kelola korporasi, dan tata kelola masyarakat sipil.

a. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut di Indonesia sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara lain. Kebijakan pemerintah Indonesia terlihat sangat luar biasa dalam upaya untuk merestorasi gambut yang telah rusak. Target yang dicanangkan sangat besar, yaitu 2 juta hektar dalam periode lima tahun, dari 2016 sampai 2020. Artinya, ratusan ribu hektar lahan gambut terdegradasi harus dikelola oleh pemerintah. Kalau diasumsikan kurang lebih 1.100 hari kerja dalam lima tahun, luas lahan gambut terdegradasi yang harus dikelola sekitar 1.800 hektar per hari.

Sejak tahun 2016, pemerintah telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang bertugas melakukan koordinasi dan fasilitasi program restorasi gambut. Perubahan ini menandakan perubahan tata kelola lahan dan hutan rawa gambut di Indonesia. BRG menjadi fasilisator antara kementerian dan lembaga terkait untuk mewujudkan target restorasi gambut sebesar 2 juta hektar yang terdapat pada tujuh provinsi prioritas, yaitu Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua berdasarkan Peraturan Presiden No.1/2016 tentang Badan Restorasi

Page 28: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

20

Gambut. Berdasarkan SK Kepala BRG No. 05/BRG/KPTS/2016 tentang Penetapan Peta Indikatif Restorasi Gambut, luas target restorasi pada tujuh provinsi adalah 2,5 juta hektar (Lihat Tabel 4). Luas target restorasi yang terdapat pada kawasan budidaya, baik perkebunan kelapa sawit dan HTI diperkirakan mencapai 1,4 juta hektar.

Tabel 4 Luas Target Restorasi Gambut Pada Tujuh Provinsi Prioritas

Provinsi Kawasan Lindung (Ha)

Kawasan Budidaya Berizin (Ha)

Kawasan Budidaya Tidak Berizin (Ha)

Total per Provinsi

Kalimantan Barat 28.318 64.077 27.239 119.634

Kalimantan Selatan - 27.609 11.153 38.762

Kalimantan Tengah 520.314 29.811 162.951 713.076

Riau 43.811 707.368 63.535 814.714

Sumatera Selatan 61.247 477.864 76.797 615.908

Jambi 25.880 99.775 26.008 151.663

Papua 5.068 4.422 29.262 38.752

Total per Kawasan 684.638 1.410.926 396.945 2.492.509

Sumber: Keputusan Kepala Badan Restorasi Gambut Nomor SK. 05/BRG/KPTS/2016 tentang Penetapan Peta Indikatif Restorasi Gambut

Tabel 5 Luas Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG)

No Pulau Luas KHG (juta Ha) Fungsi KHG Budidaya Lindung

1 Sumatera 9,18 4,47 4,71 2 Kalimantan 8,41 4,32 4,09 3 Sulawesi 0,06 0.04 0,02 4 Papua 6,57 3,29 3,28 Total 24,22 12,12 12,10

Sumber: Keputusan Menteri LHK Nomor SK. 129 dan 130 tahun 2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional dan Fungsi Ekosistem Gambut Nasional

Secara spasial, target restorasi tersebut berada dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yang didefinisikan keberadaan lahan

Page 29: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

21

gambut dan mineral antara dua badan air. Luas KHG nasional adalah 24,22 juta hektar menurut Keputusan Menteri LHK No. 129/2017. Selanjutnya KHG tersebut dibagi menjadi dua fungsi, yaitu fungsi budidaya dan fungsi lindung menurut Surat Keputusan KLHK No.130/2017 (Lihat Tabel 5).

Luas gambut yang jadi rujukan adalah 14,9 juta hektar (Ritung et al., 2011). Artinya, sekitar 9,32 juta hektar adalah tanah mineral. KHG yang lebih luas dari luas gambut menjadi isu, dan perdebatan para pihak. Tanah-tanah mineral yang termasuk dalam KHG pada prinsipnya tidak termasuk gambut, namun kemungkinan berfungsi penting dalam perlindungan ekosistem gambut. Hal ini perlu dihubungkan dengan hasil studi yang lain, seperti areal bernilai konservasi tinggi atau high conservation value (HCV) yang sering dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan HTI. Kelemahan lain pada pemetaan KHG tersebut adalah sebagian lahan-lahan gambut yang terdapat antara bukit-bukit atau natai dan lereng tidak termasuk dalam KHG.

Program restorasi gambut dirumuskan dalam tiga kegiatan utama, yaitu pembasahan kembali (rewetting), penanaman vegetasi (revegetasi), dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Konsep ini dikenal sebagai pendekatan 3 R, yang unik; model restorasi gambut ala Indonesia. Sebagian ahli lain berpendapat bahwa yang dilaksanakan bukan restorasi tetapi rehabilitasi atau pemulihan. Secara harafiah, restorasi berarti mengembalikan kondisi yang telah berubah atau telah rusak menjadi kondisi awal sebelum terjadi kerusakan. Rehabilitasi berarti memulihkan atau memperbaiki kondisi yang rusak menjadi lebih baik. Dengan kata lain, restorasi sangat sulit dicapai apabila tidak terjadi rehabilitasi. Kedua kegiatan tersebut, baik restorasi maupun rehabilitasi membutuhkan waktu dan manajemen atau tata kelola yang baik supaya target restorasi yang telah dicanangkan akan tercapai. Implementasi yang terencana dan terukur dalam program restorasi kemungkinan dapat menjadi salah satu contoh praktek terbaik.

Page 30: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

22

Pada saat sekarang, terlalu dini untuk mengharapkan hasil restorasi yang signifikan. Hasil yang nyata baru dapat dirasakan setelah program restorasi dilaksanakan dengan sistematik, efektif, dan kolaboratif lebih dari 10 tahun. Pada saat sekarang, yang bisa dinilai adalah tata kelola air, dan pembangunan infrastruktur air. Program revegetasi mungkin dapat dinilai berdasarkan dokumen perencanaan revegetasi, yang meliputi pemetaan blok tanam, perencanaan pembibitan, dan perencanaaan penanaman, serta perencanaan model-model penanaman menurut keragaman jenis dan sifat-sifat tanah gambut yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut.

Perspektif waktu jangka panjang untuk restorasi gambut tidak hanya menjadi komitmen pemerintah, tetapi juga menjadi suatu keniscayaan bagi korporasi dan masyarakat. Korporasi yang memiliki kawasan fungsi lindung gambut wajib melaksanakan penanaman untuk mengembalikan tutupan lahan, dan memperbaiki iklim mikro. Pengelolaan tata air wajib dilaksanakan dengan membangun titik-titik penaatan. Tata air yang baik diharapkan berdampak tidak terjadi kekeringan pada musim kemarau, dan kebanjiran pada musim hujan.

b. Tata Kelola Korporasi

Korporasi diartikan sebagai perusahan besar, yang memiliki jaringan global, dan memiliki kapital yang besar. Korporasi menguasai sumberdaya lahan, termasuk lahan dan hutan rawa gambut, menurut perizinan yang diperoleh dari pemerintah. Seringkali peranan korporasi lebih dominan, karena keberadaan pemerintah pada kawasan yang terpencil tidak begitu dirasakan oleh masyarakat. Korporasi dapat dipandang sebagai pelaku pembangunan ekonomi, yang menimbulkan berbagai dampak positif dan negatif bagi pembangunan ekonomi, pelestarian sumberdaya alam, ketidakadilan, konflik sosial, dan konflik dengan satwa liar.

Pada saat ini, tata kelola korporasi tidak lagi hanya menguasai sumberdaya alam untuk produksi, dan semata-mata menghasilkan keuntungan ekonomi. Korporasi dituntut berperan sebagai agen pembangunan yang peduli pada pelestarian lingkungan, dan

Page 31: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

23

kesejahteraan sosial masyarakat. Perilaku korporasi diharapkan mengikuti standar yang ditetapkan oleh pasar atau lembaga sertifikasi, dan diawasi oleh berbagai kamera dan satelit, yang rutin menjelajahi ruang angkasa. Masyarakat internasional melalui berbagai organisasi masyarakat sipil aktif melakukan kampanye-kampanye untuk memberikan kritikan-kritikan atas perilaku-perilaku korporasi yang melanggar standar-standar tersebut.

Korporasi yang melakukan budidaya kelapa sawit dan hutan tanaman industri memiliki kewajiban mutlak untuk memelihara lahan gambut dengan baik da tidak terjadi kebakaran. Lembaga-lembaga sosial masyarakat (LSM) internasional memiliki jaringan dan kapasitas untuk melaporkan berbagai pelanggaran yang dilakukan, seperti pembukaan lahan gambut ketebalan > 3 meter, dan terganggunya satwa liar, seperti orang utan, pada ekosistem gambut. Kampanye-kampanye atas perilaku korporasi yang dimasukkan dalam kategori merusak lingkungan sering dilakukan di Eropa dan Amerika, dan berdampak pada boikot minyak sawit, dan larangan pemakaian bahan bakar solar nabati dari kelapa sawit.

c. Tata Kelola Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil yang berada ditengah pemerintah dan korporasi sering dipandang sebagai kelompok marjinal, yang berada dalam posisi terbawah atau paling lemah. Tata kelola masyarakat sipil tidak mudah diuraikan karena sangat bervariasi skala dan modelnya. Sebagaian masyarakat sipil lebih berperan sebagai penerima bantuan, dan sebagian lain melakukan klaim-klaim atas lahan konsesi yang telah diberikan izin oleh pemerintah. Pada kasus yang lain, ada masyarakat sipil yang baik organisasi dan kepemimpinannya, dan dapat menunjukkan praktek-praktek terbaik dalam pengelolaan dan perlindungan ekosistem hutan rawa gambut, dan perairan sekitarnya. Interaksi yang harmonis antara kelompok masyarakat dengan alam akan terbentuk apabila telah terdapat hubungan saling ketergantungan dalam jangka panjang, dan dengan tujuan untuk mewujudkan keadlian dan kesejahteraan publik. Banyak contoh praktek terbaik yang telah

Page 32: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

24

dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat dalam berbagai skala komunitas adat, yang letaknya terpencil.

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana membangun tata kelola terbaik untuk kelompok-kelompok masyarakat, yang masih belum dapat berinteraksi baik dengan pemerintah dan korporasi. Upaya-upaya revitalisasi dalam program restorasi gambut hendaknya tidak hanya upaya mencarikan alternatif mata pencaharian, tetapi juga sebuah upaya untuk menata interaksi-interaksi dan nilai-nilai, yang menekankan perlindungan ekosistem hutan rawa gambut. Pandangan pemerintah, korporasi dan masyarakat (world view) atas sumber daya lahan dan hutan rawa gambut menentukan pencapaian restorasi gambut dan pelestarian sumberdaya alam.

C. Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya

a. Pandangan Para Pihak

Pandangan (world view) kelompok kepentingan atau para pihak (stakeholder) menentukan sistem tata kelola yang akan terjadi. Saat ini, umumnya sebagian besar para pihak memiliki pandangan yang terbatas jangka pendek, dan semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Pemerintah, korporasi dan masyarakat cenderung melakukan ekspansi untuk membuka lahan dan hutan rawa gambut demi tercapainya tujuan ekonomi atau tujuan lainnya dalam waktu singkat. Lebih dari 50% masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Palung memandang bahwa pelestarian sumberdaya alam tidak penting (Sudrajat et al. 2018). Fenomena ini bukan hal baru dan telah lama dibahas, seperti dalam artikel yang ditulis Hardin (1968), memaparkan sebuah contoh runtuhnya sumberdaya rumput untuk penggembalaan ternak karena setiap individu mementingkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Sebaliknya, Ostrom (1999) menjelaskan bahwa masyarakat memiliki kapasitas dan potensi untuk mengelola sumberdaya alam apabila jelas kepemilikan (tenure), perencanaan dan partisipasi para pihak, kepemimpinan yang terpecaya dan handal, dan adanya pemantauan dan sanksi jika terjadi pelanggaran. Kenyataannya, selalu ada kelompok-kelompok yang

Page 33: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

25

ingin menguasai, merambah, dan menggunakan jalan pintas untuk mencapai tujuannya. Pada sisi lain, ada kelompok-kelompok masyarakat yang berkomitmen untuk melindungi sumberdaya alam.

Hanya masyarakat yang memiliki hubungan jangka panjang dan dalam dapat memahami bagaimana mengelola sumberdaya alam secara bijak, dan membangun sistem nilai-nilai yang memberikan keuntungan publik, dan melindungi sumberdaya alam tersebut. Dan biasanya berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) bahwa sumberdaya alam bersifat terbatas.

Banyak contoh yang dapat dipelajari. Misalnya kelompok masyarakat adat pada Danau Empangau, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, bisa mengembangkan budidaya ikan Arwarna yang memberikan keuntungan publik dan sekaligus membangun nilai dan modal sosial bagi masyarakat untuk membangun desanya.

b. Sistem Kearifan Lokal

Dalam berbagai skala, masyarakat telah membangun sistem-sistem kearifan lokal. Misalnya, masyarakat asli di Borneo tidak membuka hutan rawa gambut, dan hutan kerangas untuk pemukiman dan perladangan karena tanaman padi tidak dapat tumbuh dengan baik pada kedua lahan tersebut. Pengetahuan ini mengarahkan masyarakat untuk menjauhi hutan rawa gambut, dan membuka lahan mineral yang lebih subur dan mudah dikelola. Sebagian hutan rawa gambut dipandang sakral dan dijadikan kawasan hutan adat yang dilindungi. Sistem-sistem kearifan lokal tersebut banyak terdapat, dan sayang informasinya belum terkumpul, sehingga tidak digunakan sebagai dasar untuk membangun skema pengelolaan lahan dan hutan rawa gambut.

Sistem kearifan lokal juga menghadapi berbagai tantangan ketika interaksi antara berbagai pihak, yang berasal tidak hanya dari lokal tetapi juga kaum pendatang atau migran. Dinamika pasar dan perubahan kebijakan pemerintah dan politik sangat berpengaruh pada kelangsungan praktek kearifan lokal, dan dapat apabila tidak

Page 34: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

26

diperbaharui kemungkinan akan ditinggalkan karena tidak sesuai dengan zaman.

c. Sumber Mata Pencaharian

Hutan rawa gambut dan perairan sekitarnya memberikan hasil berupa komoditas-komoditas untuk konsumsi dan perdagangan. Umumnya, masyarakat yang hidup sekitar kawasan hutan tidak pernah mengalami fenomena kelaparan atau kekurangan pangan. Ciri khas masyarakat ini adalah mengumpulkan bahan pangan dari sumberdaya alam dan teknologi sederhana yang diciptakan juga berkaitan dengan berbagai teknik penangkapan, seperti panah, sumpit, senjata api rakitan, berbagai jenis alat tangkap ikan, seperti bubu, jaring, dan lain-lain. Keragaman mata pencaharian berdasarkan sistem mengumpul dijalankan seirama dengan musim, dan terbatas panennya sesuai dengan apa yang disediakan oleh alam. Perilaku ini menguntungkan karena hanya tidak menyebabkan degradasi sumberdaya alam.

Pelestarian sumberdaya alam menjadi keharusan karena memberikan kepastian untuk selalu memperoleh pangan, papan, obat-obatan dan kebutuhan lainnya. Teknologi pengembangan dan perbanyakan benih, baik flora maupun fauna belum berkembang, dan mungkin tidak dipikirkan. Masyarakat membangun kapasitas untuk beradaptasi dengan baik terhadap kekayaan hayati yang tersedia dan membangun interaksi harmonis dengan alam. Sistem produksi dibangun berdasarkan kebutuhan untuk hidup subsisten, dan hanya kelebihan panen (surplus) yang diperdagangkan secara musiman. Sebagian sumberdaya diperlakukan sebagai “tabungan”, yang dipanen jika diperlukan untuk memenuhi kepentingan khusus, seperti biaya perkawinan anak.

Sistem mata pencaharian tradisional tersebut hanya dapat ditemui pada kawasan hutan yang masih baik, dan dapat menyediakan kebutuhan subsisten masyarakatnya secara pasti. Pola eksploitasi sumberdaya perairan pada kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dapat dijadikan sebuah contoh yang menarik. Masyarakat Kapuas Hulu yang tinggal sekitar danau-danau tersebut

Page 35: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

27

mengembangkan berbagai alat tangkap, seperti berbagai jenis bubu, jaring, dan tabung, untuk menangkap berbagai jenis ikan ketika musim panen ikan tiba. Keahlian menangkap ikan sangat berkembang, tetapi pengetahuan untuk membudidayakan ikan tidak berkembang. Masyarakat banyak membesarkan ikan toman, dan memberi makan ikan-ikan toman yang dibesarkan dalam karamba dengan anak-anak ikan yang ditangkap dengan menggunakan mata jaring yang sangat kecil. Maraknya perbesaran ikan toman pada kawasan ini menunjukkan dua hal. Pertama, semakin besarnya tekanan populasi manusia atas sumberdaya perikanan. Kedua, keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam budidaya ikan.

Sistem mata pencaharian modern berbeda, dan tergantung pada satu komoditas, yang produksinya ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Untuk mencapai target produksi, maka memerlukan areal tanam yang luas, dan ekspansif, serta membudidayakan varitas tanaman unggul secara intensif untuk memperoleh hasil panen yang setinggi-tingginya. Sistem produksi dibangun dengan mekanisme investasi yang padat modal, kepakaran dan keterampilan, serta keterbatasan waktu. Sistem produksi dengan perencanaan menurut tenggat waktu (dead line), dan keterbatasan sumberdaya lahan, yang sering kali tidak subur atau dalam kondisi sub-optimal. Sumberdaya manusia dikerahkan untuk bekerja secara sistematis supaya menghasilkan produksi, sesuai dengan permintaan pasar dalam dan luar negeri.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat cepat. Sistem-sistem produksi modern pada zaman ini adalah hasil interaksi berbagai level, mulai dari tingkat global, nasional, dan lokal. Saat ini, perlu pertimbangan lintas sektor, yang memperhatikan tidak hanya target produksi yang diminta pasar, tetapi juga sekumpulan nilai-nilai baru yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang baik, perlindungan flora dan fauna, perlindungan hak-hak azazi manusia, dan ketaatan pada peraturan dan undang-undang yang berlaku. Misalnya, pada usaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri pada lahan gambut, penebangan hutan rawa gambut, kebakaran lahan dan hutan, dan konflik dengan satwa liar menjadi isu-

Page 36: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

28

isu lingkungan yang sangat penting. Deforestasi dan degradasi lahan gambut menjadi justifikasi bagi pasar Eropa dan Amerika Serikat untuk menolak produk-produk yang dihasilkan dari minyak kelapa sawit dan tanaman akasia.

Pengelolaan sistem produksi modern ternyata kompleks dan menjadi lebih rentan atas fluktuasi kebijakan, perubahan politik, isu-isu lingkungan, dan harga komoditas. Kompleksitas pengelolaan tersebut membutuhkan solusi-solusi berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang penerapannya berdasarkan pendekatan lintas sektor, tata kelola yang betingkat-tingkat, dan kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu atau kepakaran.

Tata kelola pemerintah, korporasi dan masyarakat bersifat kompleks dari segi administrasi, manajemen, dan perilaku. Para pihak bersifat banyak tingkatan, banyak perbedaan, dan banyak kepentingan, dan banyak kejutan (perubahan tak terduga). Karena itu perlu dibangun kolaborasi para pihak yang adaptif, dan berdasarkan pengetahuan ekologis yang dalam terhadap ekosistem hutan rawa gambut.

D. Komponen Ekologis

a. Tata Air

Air merupakan komponen penting dalam gambut. Tanpa air tidak ada akumulasi gambut. Secara singkat, tata air bertujuan untuk memastikan ketersediaan air dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut, baik pada fungsi lindung maupun budidaya, sepanjang tahun. Dengan demikian, tidak terjadi kelebihan air pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Tinggi muka air menurut peraturan pemerintah minimum 40 cm dari atas permukaan tanah (Peraturan Menteri LHK No. P15/2017). Untuk merancang tata air yang baik, maka perlu disiapkan hal-hal berikut ini.

Page 37: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

29

1) Peta Gambut 2) Peta Mikro-topografi 3) Peta Aliran Air 4) Peta Zona Tata Air 5) Rancangan Bangunan Air 6) Rancangan Sistem Pemantauan Muka Air Tanah

Pemetaan tanah gambut dapat dilaksanakan bersamaan dengan survai tanah. Secara teknis, pemetaan dapat merujuk berbagai pendekatan seperti metode grid, dan transek. Selain menggunakan citra satelit, dan foto-foto udara, survai lapangan perlu dilakukan untuk validasi model. Pada prinsipnya, pemetaan dan survai tanah dapat fokus mempelajari tata air yaitu pola aliran air, yang digunakan sebagai dasar pembuatan zona-zona air, yang beda elevasi tidak lebih dari 100 cm.

Yang perlu mendapatkan perhatian adalah kesiapan teknis dan ketersediaan sumberdaya manusia yang bertugas menata air, serta berkomitmen untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Sering kali, tidak cukup tersedia sumberdaya manusia untuk melaksanakan tugas pengaturan air, melakukan pengamatan dan pendataan aliran dan volume air, yang sifatnya selalu dinamis tidak tersedia dengan cukup. Pengetahuan teknis tentang hidrologi gambut umumnya masih sangat rendah, dan menyebabkan buruknya manajemen air yang dipraktekkan oleh masyarakat dan korporasi.

Untuk mencapai tinggi muka air yang stabil, artinya kurang lebih 40 cm sepanjang tahun, dibutuhkan model kesetimbangan air (water balance), dan bangunan-bangunan air yang berfungsi baik untuk mengatur kecepatan aliran air dari satu zona ke zona yang lain. Dengan demikian, data curah hujan jangka panjang dan sifat-sifat hidrolik lahan gambut sangat diperlukan dan dipahami dengan baik.

b. Flora dan Fauna

Hutan rawa gambut tropis adalah tempat hidup (habitat) berbagai flora dan fauna, yang sebagin bersifat endemik dan khas pada hutan

Page 38: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

30

rawa gambut. Keanekaragaman hayati merupakan kekayaan genetik yang tidak dapat tergantikan apabila punah. Jika suatu spesies tanaman atau binatang telah punah dari permukaan bumi, maka keturunannya dari spesies tersebut tidak ditemukan sama sekali.

Hutan rawa gambut tidak seragam, dan setiap bentang gambut memiliki variasi kekayaan flora dan fauna. Anderson dan Muller (1975) mengklasifikasi ada 6 tipe formasi vegetasi pada hutan rawa gambut, yang berbeda-beda menurut perbedaan sifat-sifat fisik bahan organik, sifat kimia, dan ketebalan gambut pada suatu kubah gambut di Brunei Darussalam. Enam tipe formasi tumbuhan tersebut adalah:

1. Hutan Rawa Gambut Campuran (mixed peat swamp forest)

Formasi vegetasi pada hutan rawa gambut campuran didominansi oleh asosiasi Gonystylus-Dactylocladus-Neoscortechinia (Anderson dan Muller, 1975; Bruenig 1990). Menurut Anderson dan Muller (1975) memperkirakan bentuk formasi vegetasi yang terdapat pada pinggir kubah gambut, dan dekat sungai. Formasi tersebut menggambarkan tahap awal dari proses pembentukan kubah gambut apabila akumulasi gambut mulai dari bagian pinggir, dan hal ini masih merupakan dugaan saja. Tinggi pohon antara 40 sampai 58 meter, dengan jenis pohon-pohon besar pada lapisan tertinggi, yaitu Gonystylus bancanus, Shorea spp, Dactylocladus stenostachys, Dryobalanops rappa, dan Copaifera palustris. Pada lapisan tengah, umumnya dijumpai Palaquium, Ganua, Calophyllum, Garcinia, Eugenia, Horsfieldia, Gymnacranthera, Knema, Myristica, Combretocarpus rotundatus, dan Dyera lowii. Pada lapisan terendah, banyak dijumpai Neoscortechinia, Alangium havilandii, Stemonurus secundiflorus var., lanceolatus, Tetractomia parviflora, Cephalomappa paludicola, dan Ganua curtisii. Dan pada tingkat tumbuhan bawah, terdapat rumput Thoracostachyum bancanum, jenis Pandanus, dan kantong semar Nepenthes. Pada area terbuka, sering dijumpai pakis-pakis, antaranya Stenochlaena palustris. Famili-famili yang sering dijumpai adalah Guttiferae, Euphorbiaceae, Myrtaceae dan Sapotaceae.

Page 39: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

31

2. Hutan Rawa Gambut Alan (Shorea spp)

Formasi hutan rawa gambut Alan menempati zona transisi antara formasi hutan rawa gambut campuran dengan hutan rawa gambut Alan Bunga. Formasi ini relatif tidak luas, dan tidak rapat dibandingkan dengan formasi vegetasi pada hutan rawa gambut campuran. Jenis penting pada lapisan teratas adalah Shorea albida, yang diameternya pernah dijumpai mencapai 3 meter (Anderson dan Muller 1975). Pada lapisan di bawah Shorea albida, sering dijumpai jenis Gonystylus bancanus dan Stemonurus secundiflorus var., lanceotus. Tumbuhan bawah seperti herba dan pakis-pakis agak jarang dijumpai karena rapatnya tajuk. (Anderson dan Muller 1975; Bruenig 1990).

3. Hutan Rawa Gambut Alan Bunga (Shorea albida)

Formasi berikutnya adalah didominasi jenis Shorea albida, yang dapat mencapai tinggi 50 dan 60 meter. Gonystylus bancanus, Combretocarpus rotundatus, dan Dyera lowii sering juga dijumpai, dan lebih menyebar pada lapisan pertengahan. Vegetasi pada lapisan bawah sangat jarang, dan sering didominansi oleh satu spesies, seperti Tetractomia parviflora di Lembah Baram, Cephalomappa paludicoladi Delta Rejang, dan Ganua curtisii rawa Badas, Brunei. Tumbuhan bawah yang sering dijumpai adalah pohon Pandanus andersonii dan beberapa jenis kantong semar (Nephentes spp). Jenis herba, rotan dan pemanjat lainnya jarang ditemukan (Anderson dan Muller 1975; Bruenig 1990).

4. Hutan Gambut Padang Alan Bunga

Hutan gambut padang Alan Bunga dicirikan oleh dua jenis yang dominan, yaitu Alan Bunga (Shorea albida) dan Medang (Litsea crassifolia). Formasi vegetasi pada hutan ini sering juga terdiri atas asosiasi Shorea albida-Litsea-Parastemon (Bruenig 1990). Formasi vegetasi tersebut terdapat pada bagian tengah dari kubah gambut. Tinggi pohon antara 35 sampai 40 meter. Umumnya ukuran pohonnya berupa tiang, dan jarang mencapai diameter lebih dari 40 cm. Jenis-jenis lain yang sering dijumpai adalah Calophyllum obliquinervum, Litsea crassifolia, dan Combretocarpus rotundatus, Parastemon

Page 40: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

32

spicatum dan Tristania obovata (Anderson dan Muller 1975). Jenis rumput dan herba termasuk jarang. Banyak dijumpai jenis Ficus deltoidea var. motleyana, Euthemis minor, dan Nepenthes spp. Banyaknya kantong semar menunjukkan tingkat kesuburan tanah yang rendah (Anderson dan Muller 1975; Bruenig 1990).

5. Hutan Gambut Padang Selunsor

Formasi hutan gambut padang Selunsor mewakili tipe hutan tiang agak kerdil, yang terdiri atas jenis-jenis Tristania-Parastemon-Palaquium. Tinggi tajuk berkisar antara 15 sampai 20 meter. Jenis-jenis lain yang terdapat pada formasi ini adalah Tristania obovata, T. beccarii, Parastemon spicatum, Palaquium cochleariifolium, Combretocarpus rotundatus, dan Dactylocladus stenostachys. Pada lantai hutan, banyak terdapat Pandanus sigmoideus dan Thoracostachyum bancanum. (Anderson dan Muller 1975; Bruenig 1990).

6. Hutan Gambut Padang Keruntum

Formasi pada pusat kubah gambut adalah asosiasi Combretocarpus-Dactylocladus, dan disebut Padang Keruntum. Hutan ini termasuk tidak rapat vegetasinya, terbuka dan banyak pohon kerdil. Daun-danunya banyak dilapisi lilin (sclerophyllous). Tinggi pohon umumnya kurang dari 12 meter (Bruenig 1990). Jenis pohon terbesar dan tertinggi adalah Combretocarpus rotundatus. Jenis-jenis pohon lain tumbuh kerdil, seperti tanaman herba, misalnya Litsea crassifolia, Ilex cymosa dan Garcinia cuneifolia. Tumbuhan bawah umumnya Pandanus, Nephentes dan rumput Thoracostachyum bancanum. Jenis-jenis pakis tidak banyak dijumpai. Yang menarik dicatat, terdapatnya jenis lumut Sphagnum junghuhnianum. (Anderson dan Muller 1975). Kedalaman gambut pada pusat kubah dapat mencapai 20 meter (Bruenig 1990).

Berbeda dengan hasil penelitian Anderson dan Muller (1975), dan Bruenig (1990) di hutan rawa gambut Brunei dan Sarawak, formasi vegetasi pada hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah tidak persis sama dengan tipe-tipe formasi vegetasi yang telah diuraikan di atas.

Page 41: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

33

Pada hutan rawa gambut di DAS Sebangau, Kalimantan Tengah, terdapat formasi pohon hutan tinggi (high pole forest) pada bagian pusat kubah gambut, yang jauhnya kurang lebih 12 meter dari pinggir sungai, dan kedalaman gambut mencapai 13 meter. Adanya hutan tinggi pada pusat gambut yang dalam sulit dijelaskan karena gambut dalam seharusnya tidak mendukung pertumbuhan pohon-pohon yang tinggi dan besar karena kesuburan tanah yang rendah. Morley (2000) dan Anshari et al (2001; 2004) menjelaskan bahwa faktor umur gambut kemungkinan berpengaruh pada perkembangan hutan gambut. Hutan-hutan dengan formasi pohon besar, tinggi dan lebat dapat tumbuh pada gambut-gambut Pleistosen, yang mulai terbentuk sejak 15,000 dan 30,000 tahun yang lalu. Sedangkan pada gambut yang terbentuk saat ini pada era Holosen, membentuk formasi-formasi vegetasi yang dijelaskan oleh Anderson dan Muller (1970) dan Bruenig (1990).

Hutan rawa gambut campuran terdapat pada kawasan bebas banjir, kurang lebih 1,5 km dari sungai jauhnya. Sedangkan kawasan yang dipengaruhi langsung oleh banjir, terdapat formasi hutan riparian. Hutan dengan tajuk-tajuk yang rendah terdapat menyebar, umumnya pada area berelevasi relatif tinggi (Page et al. 1999).

Jenis-jenis yang umum terdapat di hutan rawa gambut campuran dan hutan tinggi di DAS Sebangau adalah Calophyllum hosei, C. lowii, C. sclerophyllum, Combretocarpus rotundatus, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Dipterocarpus coriaceus, Shorea balangeran, Shorea teysmanniana, Vatica mangachopai, Palaquium cochlearifolium, Palaquium leiocarpum, Dyera costulata, Koompasia malaccensis, Agathis dammara, Xanthophyllum spp, dan Gymnostoma sumatrana. Pakis dan Pandanus jarang dijumpai. Sebagian pohon pada hutan rawa gambut campauran dilengkapi dengan banyak pneumatophores dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan tinggi (Page et al. 1999).

Jenis-jenis yang biasa dijumpai pada hutan rawa tiang rendah (low pole forest) dan rawa gambut kerdil (stunted swamp) di Sebangau adalah Combretocarpus rotundatus, Calophyllum fragrans, C. hosei,

Page 42: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

34

Dactylocladus stenostachys, Litsea, Cratoxylum spp, Tristania spp dan Ploiarium alternifolium. Banyak pneumatophores baik pada hutan kerdil dan hutan tiang rendah. Pada lantai hutan, banyak dijumpai jenis rumput Thorachostachyum bancanum, Nepenthes dan Pandanus. (Page et al. 1999).

Jenis-jenis flora yang terdapat pada hutan rawa gambut mencapai seratus atau lebih spesies kelompok pohon. Hutan rawa gambut pada Taman Nasional Danau Sentarum memiliki kurang lebih 107 jenis pohon, yang terbagi dalam 48 famili, yang didominansi keluarga kayu Meranti (Randi et al. 2014). Jumlah spesies pohon pada taman nasional Sebangau, Kalimantan Tengah ada 103 spesies yang terdiri atas 34 famili, yang didominansi oleh keluarga Clusiaceae dan Sapotaceae (Mirmanto 2010). Pada hutan rawa gambut di Mindano, Filipina, terdapat 101 spesies dari 58 famili, antaranya Rubiaceae, Myrtaceae, Aquifoliaceae, Clusiaceae, Araliaceae, Lauraceae, Symplocaceae, Sapotaceae, Junglandiaceae, Fabaceae, dan Euphorbiaceae (Aribal dan Fernando 2014). Selain jenis-jenis pohon, hutan rawa gambut juga dihuni oleh berbagai jenis anggrek, hoya, rotan, efifit, paku-pakuan, herba, palma, pandan, dan rumput.

Dalam Peraturan Menteri LHK No. P16/2017 telah dicantumkan sekumpulan jenis-jenis pohon, rotan, dan herba yang dapat digunakan untuk restorasi, yang diklasifikasikan menurut tingkat gangguan, yaitu kebakaran, penebangan hutan, dan manfaat bagi sosial-ekonomi. Spesies pohon yang dicantumkan antaranya prepat (Combretocarpus rotundatus), kayu kawi (Shorea blangeran), jelutong (Dyera polyphylla), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma coriaceaum), ramin (Gonystylus bancanus) dan lain-lain.

Sistem budidaya untuk restorasi gambut wajib tanpa membuat saluran drainase, namun tidak berarti lahan gambut berada di bawah permukaan air tanah. Jika terus-menerus tergenang, lahan tidak terbakar, tetapi tanaman akan sulit tumbuh. Faktor lain adalah kondisi pencahayaan. Sebagian lahan gambut yang direstorasi bersifat

Page 43: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

35

terbuka, dan banyak spesies tumbuhan hutan rawa gambut tidak toleran terhadap pencahayaan langsung.

Untuk melakukan penanaman, perlu menyiapkan bibit yang cukup, yang ditargetkan minimal 500 tanaman per hektar setelah tiga tahun pelaksanaan restorasi (Peraturan Menteri LHK No. P16/2017). Pembibitan sering menjadi kendala, karena sulit mendapatkan pohon induk, dan berbagai kesulitan, seperti jarak, dan tidak tersedianya media tanam. Secara umum, bibit hendaknya memenuhi kriteria berikut ini sebelum ditanam, yaitu:

1) Kondisi sehat (bebas dari hama dan penyakit) 2) Batang lurus dan normal, atau belum terjadi percabangan 3) Tinggi bibit minimum 30 cm, dan diameter batang 3,0 mm.

Jika ditanam pada daerah yang tergenang, tinggi bibit harus di atas permukaan air, dan perakaran tidak disarankan tergenang permanen.

4) Akar tumbuh baik dan rapat/kompak (rootball compactness) 5) Jumlah daun cukup, minimum 8 helai atau setara 50-70% dari

tinggi bibit ditumbuhi daun

Sumber: Rusmana (2012)

c. Lahan

Selain faktor hidrologi, flora dan fauna, lahan gambut perlu dipelihara yang baik. Artinya, lahan selalu dalam keadaan lembab sepanjang tahun, tidak terbakar, tidak mengalami subsiden secara cepat, tidak menjadi tidak subur apabila digunakan untuk budidaya, dan jika berfungsi sebagai kawasan lindung gambut, hutan rawa gambut berfungsi sebagai kawasan penyimpan dan pengatur air, serta kaya keanekaragaman hayati.

Pengelolaan lahan gambut sangat tergantung atas pengelolaan air, karena air adalah komponen utama dari gambut. Tanpa air bahan organik dalam gambut akan rusak. Air mengatur fungsi-fungsi ekosistem gambut sebagai penyimpan cadangan karbon, yang penting bagi pengaturan temperatur atmosfer. Ketika gambut rusak atau

Page 44: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

36

terbakar, cadangan karbon dalam gambut akan lepas ke atmosfer dalam wujud gas CO2. Peningkatan konsentrasi gas CO2 dalam atmosfer menyebabkan peningkatan temperatur, yang selanjutnya berdampak pada perubahan iklim secara global.

Pelapukan dan subsiden pada lahan gambut yang telah diubah peruntukannya tidak dapat dihindari dan terus-menerus terjadi. Kegiatan yang dapat dilakukan hanya mengurangi kecepatan pelapukan dan memperlambat turunnya permukaan tanah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.150/2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa batas kecepatan subsiden adalah 35 cm per 5 tahun. Pengukuran subsiden dilakukan dengan membuat patok subsiden, yang tertancap sampai tanah mineral, dan dipagari supaya tidak terganggu permukaan tanahnya akibat pemadatan oleh manusia dan binatang.

Produktivitas lahan gambut dipelihara menurut fungsi-fungsi yang telah ditetapkan. Untuk kawasan lindung ukurannya adalah kerapatan dan keragaman vegetasi, dan sifat-sifat hidrologi yang stabil sepanjang tahun. Pada kawasan fungsi budidaya, penting memelihara kesuburan lahan, dan produksi panen yang tinggi sesuai dengan kemampuan varitas tanaman yang diusahakan, baik untuk perkebunan kelapa sawit, akasia ataupun jenis-jenis lain. Pencegahan kebakaran mutlak dipastikan baik untuk kawasan gambut fungsi lindung maupun budidaya.

IV. KOLABORASI PARA PIHAK

A. Pengertian Kolaborasi dan Para Pihak

Makna kolaborasi adalah kerjasama, atau gotong royong. Kata kolaborasi berasal dari bahasa Latin, collaborare, yang berarti kerja bersama-sama. Kolaborasi para pihak untuk restorasi gambut diartikan kerjasama para pihak, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat untuk mengelola kawasan restorasi gambut, yaitu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut. Apabila kawasan lindung gambut tersebut berada dalam konsesi korporasi, maka para pihak

Page 45: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

37

terdiri atas pemerintah, perusahaan pemegang izin konsesi, dan masyarakat. Apabila kawasan lindung gambut tersebut berada pada tanah negara, maka para pihak yang dimaksud adalah pemerintah dan masyarakat, yang dapat diwakili oleh kelompok-kelompok sipil yang peduli pada restorasi gambut. Kelompok profesional adalah para pihak yang berperan sebagai tenaga-tenaga ahli, yang membantu dalam kegiatan mempelajari aspek kebijakan, sosial-ekonomi, geo-bio-fisik dan kimia gambut, vegetasi, tata air, dan lain-lain. Kegiatan kelompok profesional misalnya penelitian, pemetaan, analisis hidrologi gambut, perancangan manajemen dan bangunan air, analisis pengembangan matapencaharian masyarakat, dan pemantauan dan evaluasi hasil restorasi. Kelompok profesional berperanan penting untuk mencapai restorasi, tetapi tidak secara langsung melaksanakan kegiatan-kegiatan restorasi dilapangan.

Tabel 6 Para Pihak yang Beragam dalam Restorasi Gambut

Para Pihak Status Lahan Utama Pendukung

Pemerintah Korporasi Masyarakat Profesional - Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

- Badan Restorasi Gambut (BRG)

- Kementerian Pertanian

- Badan Lingkungan Hidup Provinsi

- Dinas Kehutanan

- Dinas Perkebunan

- Dinas Pertanian

- Perkebunan Kelapa Sawit

- Hutan Tanaman Industri

- Perkebunan Sagu

- Pimpinan Desa

- Kelompok Tani

- Kelompok Tarang Taruna

- Masyarakat Peduli Api

- Masyarakat Peduli Gambut

- Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD)

- Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut

- Universitas - Lembaga

Penelitian - Konsultan - Lembaga

Sosial Masyarakat

- Lembaga Donor

- Konsesi Perkebunan Kelapa Sawit;

- Konsesi Perkebunan Sagu

- Lahan Pertanian Rakyat

- Konsesi Hutan Tanaman Industri

- Hutan Lindung (Areal Penggunaan Lain; Hutan produksi; Hutan Lindung)

Page 46: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

38

Kolaborasi untuk restorasi tersebut terdiri atas perencanaan, implementasi program restorasi, pemantauan, dan pelaporan. Tabel 6 menggambarkan para pihak yang beragam-ragam dalam hal status, pengetahuan, kemampuan, dan pengaruh untuk mensukseskan restorasi gambut.

Anggota para pihak yang berasal dari pemerintah terdiri atas lembaga dan kementerian yang berada pada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Tugas BRG, sebagai badan setara kementerian yang langsung berada di bawah presiden, melaksanakan koordinasi dan fasilitasi kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah tersebut. Sebagai lembaga baru lahir pada tahun 2016, jaringan komunikasi BRG dengan K/L pemerintah belum berkembang menjadi hubungan-hubungan personal dan informal yang kuat. Hubungan yang hanya berlandaskan birokrasi formal cukup efektif untuk menyelesaikan urusan-urusan administrasi dan birokrasi saja. Untuk melaksanakan program restorasi gambut, komunikasi formal tidak cukup, tetapi juga hubungan-hubungan informal yang “dalam” dan lentur. Untuk membangun hubungan-hubungan personal dan informal tersebut memerlukan waktu investasi yang banyak, karena perlu pertemuan langsung untuk berdiskusi atau berdialong secara informal. Salah satu masalah yang dihadapi para birokrat adalah ketiadaan waktu atau kesulitan dalam pengaturan waktu. Walaupun demikian, hubungan-hubungan informal dapat dibangun dalam keterbatasan waktu melalui pertemuan-pertemuan informal yang berkualitas dan produktif.

Tataran birokrasi yang setara dalam senioritas, pengalaman dan pengetahuan kadang kala menjadi hambatan-hambatan, karena sering terjadi fenomena bahwa makin dominan anggota-anggota para pihak yang memiliki pengetahuan yang sama tingginya atau sama level dalam posisi/jabatan cenderung menjadi tidak produktif (Cratton dan Erickson, 2013). Untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut, maka menjadi penting memilih anggota-anggota para pihak yang beragam levelnya, siap belajar dan berbagi untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas kolaborasi. Komunikasi rutin para pihak merupakan salah satu kunci sukses restorasi.

Page 47: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

39

Pengaruh faktor budaya perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi bahwa budaya beragam, dan tidak dapat disetarakan antara budaya-budaya yang berbeda-beda tersebut. Para pihak perlu memahami dan saling apresiasi atas perbedaan tersebut, dan fokus membangun kerjasama untuk restorasi gambut.

Dalam prakteknya membangun kolaborasi, antara para pihak membutuhkan waktu, strategi, dan komunikasi lintas batas untuk melakukan dialog, membangun saling percaya (trust), dan membentuk mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan secara transparan. Kolaborasi akan membuahkan hasil apabila para pihak aktif saling memberi; berkontribusi atau berbagi untuk membangun kerjasama yang produktif (LIhat Gambar 9).

Perilaku yang bersifat antagonis, atau menimbulkan persaingan (kompetisi) cenderung menjadikan kerjasama di atas kertas, tidak produktif, dan mungkin menimbulkan rasa tidak suka, dan ketidakpercayaan. Akhirnya, para pihak cenderung menunjukkan rasa ego masing-masing dan menjadi sulit untuk saling berbagi dan bekerjasama.

Yang dibutuhkan adalah sikap-sikap saling membantu (resiprokal) dan melengkapi (komplementer). Sebagian ahli filsafat berpendapat bahwa sikap resiprokal dapat melemahkan karena kelompok yang dibantu menjadi tergantung. Hal ini terjadi apabila muncul sikap-sikap yang menunjukkan bahwa yang memberi lebih kuat, dominan, dan lebih berkuasa dibandingkan yang menerima bantuan. Untuk mengatasi hal ini perlu dibentuk manajemen yang mengatur bagaimana bantuan-bantuan disalurkan untuk memberdayakan kelompok-kelompok lemah supaya tidak semakin tertinggal, atau menjadi kelompok yang pasif. Kolaborasi para pihak didesain untuk menyediakan ruang belajar bersama, dan berbagi untuk meningkatkan derajad rasa percaya diri, kepercayaan, dan pemahaman atas ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi.

Page 48: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

40

Gambar 9 Faktor sukses, sikap dan perilaku kolaborasi

Para pihak korporasi terdiri atas pemegang izin usaha perkebunan dan HTI pada lahan gambut. Kelompok ini cukup mudah diidentifikasi, dan umumnya memiliki cukup modal dan dapat sumberdaya lain. Pertanggungjawaban kelompok korporasi telah diminta secara tertulis, sesuai dengan peraturan tentang pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut yang berlaku. Para pihak korporasi melaporkan kegiatan restorasi kepada KLHK.

Yang masih memerlukan perhatian adalah kerjasama antara korporasi dengan korporasi, dan antara korporasi dengan masyarakat untuk mengelola hutan dan lahan rawa gambut pada skala bentang alam (lanscape). Pengelolaan hidrologi gambut dan program revegetasi harus dilaksanakan skala bentang alam, dan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Komitmen

Kebijakan

Kepakaran Kepemimpinan

Koordinasi

Page 49: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

41

B. Keberhasilan Kolaborasi

Ada delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan kolaborasi. Dalam hal ini, para pihak yang berkolaborasi dipandang sebagai satu tim. Delapan faktor yang dimaksud adalah (Sumber: Cratton dan Erickson 2013; Angelstam et al. 2017; Westerink et al. 2017).

a) Pimpinan melakukan investasi untuk membangun kolaborasi antara anggota-anggota para pihak. Komitmen ini penting dan dapat mendorong terjadinya proses-proses kolaborasi. Misalnya, ada program yang mendorong komunikasi para pihak dapat dilaksanakan secara partisipatif, terbuka, dan terpecaya serta menyenangkan.

b) Pimpinan menjadi model kolaborasi sebagai contoh atau praktek terbaik, yang ditiru oleh anggota-anggota para pihak.

c) Ada program pembinaan (mentoring dan pelatihan) yang membuka ruang bagi anggota-anggota untuk belajar dan mempraktekkan pengetahuan dan keterampilannya. Dalam hal ini, diharapkan terjadi pertukaran informasi dan pengetahuan antara anggota-anggota.

d) Ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan yang dibutuhkan dipelajari, dikuasai dan dipraktekkan oleh anggota-anggota.

e) Kebersamaan dan komitmen antara anggota-anggota para pihak untuk membangun kolaborasi, melalui proses belajar bersama dan bertukar pengalaman, informasi, pengetahuan, dan teknologi.

f) Pimpinan melakukan tugas-tugas dengan baik, dan bertanggung jawab, serta juga membangun hubungan personal yang baik dengan seluruh anggota.

g) Anggota-anggota para pihak saling mengenal, memahami, dan menghargai (apresiasi) perbedaan dalam perilaku, pengetahuan, dan pengalaman para pihak. Anggota-anggota para pihak tidak setara dalam tingkat pendidikan, etnis, agama, budaya dan lain-lain.

Page 50: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

42

h) Yang terakhir, para pihak memahami dengan baik peranan dan tanggung jawabnya dalam upaya mencapai tujuan bersama. Pimpinan perlu membuat delegasi-delegasi penugasan untuk memastikan akuntabilitas, dan kepercayaan para pihak.

Para pihak bersama-sama menyusun kerangka kerjasama, melalui lokakarya dan pertemuan-pertemuan lain untuk memperoleh masukan-masukan dari berbagai sumber. Kerangka kerjasama tersebut akan menguraikan visi, misi, tujuan, program, peran dan tanggung jawab para pihak, yang selanjutnya menjadi rujukan para pihak dalam bertindak dan mengambil keputusan. Dalam pelaksanaannya, tata kelola atau pengelolaan kolaboratif tersebut bersifat adaptif, artinya senantiasa tersedia ruang bagi para pihak untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam upaya memperbaiki mutu kegiatan, atau mengantisipasi resiko dan ketidakpastian.

Pengelolaan kolaboratif adalah proses para pihak belajar, melaksanakan program, memantau pelaksanaan program, mengevaluasi hasil yang dicapai, dan merevisi program untuk dilaksanakan dengan lebih baik pada tahun berikutnya. Perencanaan restorasi adalah proses-proses partisipatif para pihak yang menerjemahkan perencanaan nasional menjadi rencana pengelolaan skala bentang alam, hutan, komunitas tumbuhan, dan spesies. Dalam menyusun perencanaan tersebut pertimbangan-pertimbangan mencakup aspek legalitas dan kebijakan, kondisi sosio-ekonomi, dan aspek geo-bio-fisik dan kimia dari ekosistem gambut atau bagian ekosistem gambut yang akan direstorasi.

C. Forum Restorasi

Para pihak memerlukan media untuk membangun hubungan, komunikasi, belajar, dan berbagi serta fokus bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan restorasi (Lihat Gambar 10). Media belajar, komunikasi dan berbagi tersebut dapat berupa forum, yang diartikan sebagai media para pihak untuk mendiskusikan isu-isu publik dan masalah teknis yang berkaitan dengan restorasi gambut. Forum dapat

Page 51: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

43

disetarakan dengan kelompok kerja, atau kelompok tani pada komunitas masyarakat petani. Dalam pembentukan forum perlu memperhatikan tujuan, keahlian anggota forum. ukuran dan ruang lingkup forum. Sering kali, pemerintah membentuk suatu kelompok masyarakat, atau kelompok kerja yang berukuran besar, tetapi sering tidak produktif. Demikian juga, berbagai kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk oleh korporasi sering tidak sesuai harapan. Sebaliknya, kelompok yang dibangun oleh masyarakat secara mandiri lebih sering bekerja efektif dan produktif.

Gambar 10 Forum Restorasi Gambut: Para Pihak Fokus untuk Mewujudkan Target dan Tujuan Bersama (a), dan interkasi para pihak dalam berbagi peran (b)

Keterangan: P = pemerintah; M = masyarakat; K = korporasi

Keberhasilan forum restorasi selain tergantung atas komposisi anggota forum juga ditentukan oleh proses-proses partisipatif dan demokratis dalam pembentukan dan manajemen forum. Faktor-faktor manajemen yang mempengaruhi forum menurut Achyar et al. (2017) adalah:

a b

Tujuan Restorasi Gambut

MK P

Page 52: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

44

a) Dinamika koordinasi antara anggota forum b) Proses pengambilan keputusan yang transparan dan

demokratis c) Kualitas belajar bersama d) Desentralisasi dalam pelaksanaan program

D. Pentingnya Ilmu Pengetahuan Interdisiplin

Pelaksanaan restorasi diharapkan menjadi kegiatan praktek terbaik, harus dijadikan teladan oleh para pihak. Replikasi praktek terbaik tersebut tidak diartikan secara verbatim, tetapi mungkin perlu pertimbangan-pertimbangan spesifik lokasi, yang berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal-hal yang bisa diduplikasi adalah kunci-kunci sukses dalam pelaksanaan restorasi, sedangkan kegiatan detil pelaksanaan restorasi disesuaikan dengan kondisi antro-sosio-ekologis setempat. Artinya, program restorasi akan berbeda-beda, walaupun esensinya sama yaitu memelihara dan melindungi ekosistem hutan rawa gambut dari kerusakan.

Program restorasi gambut di Indonesia pada saat ini setara dengan kegiatan rehabilitasi, yaitu pembasahan kembali (rewetting), penanaman kembali (revegetasi), dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat. Dalam jangka waktu lima tahun, hasil yang diperoleh lebih dominan bersifat pembelajaran daripada pulihnya ekosistem gambut, yang ditandai dengan kembalinya tutupan lahan menjadi hutan yang berfungsi secara sosio-ekonomis dan ekologis. Untuk memulihkan ekosistem rawa gambut yang telah rusak tersebut diperlukan tahap-tahap dan syarat-syaratnya, antaranya kebijakan pemerintah, komitmen para pihak, penguasaan ilmu pengetahuan, ketersediaan sumberdaya manusia, biaya yang besar, dan waktu jangka panjang.

Gambar 11 menguraikan kerangka kolaborasi yang perlu diwujudkan. Terlihat bahwa hasil restorasi ditentukan oleh dua faktor yaitu penguasaan pengetahuan, teknologi dan tata kelola, yang selanjutnya menentukan perilaku para pihak dalam berkolaborasi. Dari kedua faktor tersebut, yang paling krusial adalah perilaku para pihak untuk menciptakan nilai-nilai dan implementasi program restorasi yang

Page 53: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

45

sebaik-baiknya. Sifat-sifat adaptif dalam kolaborasi menegaskan bahwa ada kelenturan dan fleksibilitas bagi para pihak untuk selalu menyesuaikan dan memperbaiki perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil-hasil kolaborasi.

Sumber: Modifikasi Primmer et al. (2014)

Gambar 11 Kerangka Kolaborasi dalam Restorasi Gambut, menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal dan tata kelola sebagai dasar kebijakan dan implementasi restorasi

E. Skala dan Evaluasi

Skala restorasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu skala tapak lahan, skala batas kepemilikan, dan skala bentang alam (landscape). Dengan demikian, penilaian hasil restorasi disesuaikan dengan rencana dan skala restorasi (LIhat Tabel 7).

Struktur, sifat dan tipe gambut, iklim serta sifat hidrologi (Rewetting)

Revegetasi Revitalisasi

Hasil Restorasi

Pengetahuan-teknologi-kearifan lokal-tata kelola

Kolaborasi Para Pihak

Page 54: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

46

Tabel 7 Skala dan Indikator Evaluasi Hasil Restorasi Gambut

No Skala Restorasi

Fokus Kegiatan Indikator Penilaian/Evaluasi

1 Tapak Lahan - Pemetaan lahan gambut

- Studi sifat-sifat lahan

- Studi hidrologi - Studi sosial

ekonomi - Rencana Restorasi

(Jangka Waktu Panjang dan Menengah) : • Rencana

Tahunan Pembasahan; Penanaman; Revitalisasi

• Rencana Evaluasi Tahunan

- Kualitas laporan pemetaan dan lampiran peta lahan gambut; peta tutupan lahan; peta topografi; peta zona air; peta blok tanam (skala 1:50.000)

- Kualitas laporan analisis vegetasi dan fauna

- Kualitas laporan studi sifat-sifat lahan

- Kualitas laporan hasil studi sosial ekonomi

- Kondisi bangunan air dalam zona air

- Metode dan data iklim, dan data muka air tanah, serta data subsiden

- Pembibitan vegetasi asli hutan rawa gambut

- Penanaman jenis-jenis pohon asli hutan rawa gambut

- Partisipasi masyarakat dalam penanaman

- Partisipasi masyarakat dalam manajemen kebakaran

- Pengembangan sumber mata pencaharian

2 Batas Kepemilikan

- Revisi dan Rencana Detil Restorasi per tahun

- Pemeliharaan bangunan air; zona air, dan manajemen air

- Pemeliharaan dan penanaman vegetasi

- Peningkatan

- Data permukaan air tanah, subsiden dan fauna dikumpulkan dan dianalisis dengan baik

- Perbaikan tata air - Keragaman dan kualitas

bibit untuk revegetasi - Perluasan tutupan lahan

pada kawasan lindung - Kerapatan pohon lebih

dari 500 pohon per hektar

Page 55: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

47

No Skala Restorasi

Fokus Kegiatan Indikator Penilaian/Evaluasi

partisipasi masyarakat

- Perbaikan manajemen kebakaran

- Manajemen data permukaan air tanah, subsiden dan fauna (jika ada)

- Persiapan kolaborasi para pihak

- Jumlah spesies pohon pada kawasan lindung lebih dari 10 spesies, termasuk pertumbuhan regenerasi alami

- Ketinggian muka air tanah selalu tinggi, kurang lebih 40 cm dari atas permukaan tanah sepanjang tahun

- Analisis para pihak, dan dialog awal para pihak

3 Bentang Alam (landscape)

- Analisis bentang alam/KHG

- Analisis para pihak - Pembentukan

lembaga atau forum kolaborasi para pihak

- Analisis hidrologi, flora dan fauna

- Pemetaan gambut dalam KHG

- Pemetaan para pihak, dan analisis para pihak

- Hasil analisis hidrologi, flora dan fauna

- Penyusunan anggota-anggota pengurus dan perwakilan forum para pihak restorasi

- Program kerja forum para pihak

- Laporan tahunan kegiatan forum

Penanggung jawab skala restorasi tingkat tapak lahan dan batas kepemilikan dapat ditentukan dengan mudah berdasarkan status lahan. Lahan tersebut dapat milik pemerintah atau korporasi. Penanggung jawab skala restorasi bentang alam (landscape) cukup sulit ditentukan, kecuali diambil alih oleh pemerintah atau lembaga sosial masyarakat untuk memfasilitasi pembentukan forum para pihak. Anggota forum dapat membangun aturan-aturan dan kesepakatan untuk melindungi ekosistem gambut pada skala bentang alam (landscape). Manfaat restorasi gambut akan terasa nyata apabila keberhasilan restorasi pada skala bentang alam.

Page 56: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

48

Program restorasi gambut baru mulai, dan program-program restorasi perlu ditingkatkan mutunya. Hal ini dapat dilakukan pendekatan evaluasi secara kualitatif, melalui penilaian kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman. Tabel 8 menggambarkan hasil evaluasi tersebut.

Tabel 8 Evaluasi Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan dan Ancaman Restorasi Gambut

Kekuatan Kelemahan • Komitmen Pemerintah • Kebijakan Pengelolaan

dan Perlindungan Ekosistem Gambut

• Kearifan lokal • Kepatuhan Sebagian

korporasi

• Kolaborasi lintas sektor dan inter-disiplin ilmu:

• Kepemimpinan • Koordinasi • Kepakaran

• Persaingan lintas sektor

Kesempatan Ancaman • Bantuan donor • Pengendalian pemanasan

global • Pengembangan ilmu

gambut tropis • Pengembangan mata

pencaharian baru • Pengembangan dan

inovasi sistem manajemen, teknologi dan praktek terbaik

• Kolaborasi para pihak

• Tekanan besar atas lahan • Isu-isu lingkungan

berkaitan dengan degradasi gambut

• Perubahan iklim dan kebakaran gambut

• Penolakan pasar global untuk membeli komoditas yang dibudidayakan pada lahan gambut

V. PENUTUP

Sering terjadi asumsi yang kurang benar bahwa gambut adalah tanah organik yang memiliki sifat-sifat yang sama. Gambut terlihat sama rupanya, tetapi berbeda-beda dalam proses, waktu dan, tempat pembentukan. Bahan organik yang membentuk gambut juga memiliki sifat-sifat tanah, baik fisik, kimia, dan biologi, yang beragam. Sifat-sifat hidrolik pada lahan gambut juga sangat kompleks. Gambut akan terbentuk apabila suplai bahan organik lebih besar daripada

Page 57: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

49

pelapukan, yang terjadi secara bertahap-tahap dalam jangka waktu panjang, lebih dari 200 tahun lamanya.

Pemerintah telah menerbitkan berbagai aturan tentang pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut. Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, dan bertugas merestorasi lahan gambut terdegradasi sebesar 2 juta hektar dari tahun 2016 sampai 2020, dan target menurut peta indikatif restorasi gambut yang dikeluarkan oleh BRG sebesar 2,4 juta hektar. Kurang lebih 1,4 juta hektar target restorasi ini terdapat pada kawasan budidaya yang berizin.

Restorasi gambut merupakan proses-proses yang kompleks, lintas sektor, dan memerlukan kolaborasi para pihak yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melaksanakan program restorasi. Para pihak tersebut jika dibagi dalam kelompok besar terdiri dari pemerintah, korporasi dan masyarakat. Ada hambatan untuk membangun kolaborasi karena masih lemahnya kepemimpinan, koordinasi lintas sektor dan kepakaran tentang ekosistem gambut.

Restorasi gambut sebagaimana halnya proses pembentukan gambut membutuhkan waktu jangka panjang. Dalam lima tahun belum nampak hasil-hasil restorasi. Yang baru diperoleh hanya pembelajaran (lesson learned) dari keberhasilan dan kegagalan kegiatan-kegiatan restorasi, baik berupa administrasi, manajemen, dan teknis. Masih banyak waktu yang diperlukan, dan masih banyak keahlian yang dibutuhkan untuk berkolaborasi, yaitu belajar bersama, berbagi dan meningkatkan keberhasilan restorasi ekosistem gambut.

Kebijakan restorasi masih perlu dipahami dan diperkuat supaya dapat diterima dan dipatuhi oleh berbagai pihak. Realitas menunjukkan bahwa gambut yang dibuka dan diubah peruntukkannya telah berubah, dan mungkin telah rusak, dan restorasi hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila pengetahuan tentang gambut terus menerus diperbaharui.

Pada suatu sisi, pengetahuan tentang gambut tropis sangat dibutuhkan untuk memperkuat kebijakan restorasi. Pada sisi yang lain,

Page 58: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

50

kegiatan penelitian dasar dan terapan tentang ekosistem gambut tropis sangat kurang. Kelemahan ini merupakan peluang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang ekosistem gambut tropis. Dalam hal ini, program riset gambut tropis, khususnya ilmu-ilmu eksakta, sosial, dan humaniora yang berkaitan dengan restorasi gambut, seharusnya menjadi prioritas nasional.

Sikap dan perilaku untuk menciptakan bentuk-bentuk dan mekanisme kolaborasi tidak mudah dipraktekkan. Ada kekakuan administrasi yang berhubungan dengan keterbatasan ruang dan batas-batas kebijakan yang berlaku, sehingga sikap dan perilaku kolaborasi tidak dapat dipraktekkan. Walaupun forum restorasi dibutuhkan, namun tidak mudah diwujudkan ketika para pihak masih berjauhan dan tidak sering melakukan dialog-dialog produktif.

DAFTAR PUSTAKA

Achyar, E., Schmidt-Vogt, D. & Shivakoti, G., 2017. Chapter 10 - Dynamics and Effectiveness of the Multistakeholder Forum in Promoting Sustainable Forest Fire Management Practices in South Sumatra, Indonesia*. Redefining Diversity and Dynamics of Natural Resources Management in Asia, Volume 1, 13, pp.157–174. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780128054543000104.

Agus, F. et al., 2011. Pengukuran cadangan karbon tanah gambut, Bogor: World Agroforestry Center-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

Agus, F. & Subiksa, I.G.M., 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan, Bogor: World Agroforestry Center and Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development. Available at: http://www.worldagroforestry.org/sea/publications/files/book/BK0135-09.PDF.

Anderson, J.A.R. & Muller, J., 1975. Palynological study of a holocene peat and a miocene coal deposit from NW Borneo. Review of Palaeobotany and Palynology, 19(4).

Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils FAO Soil B., Rome.

Page 59: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

51

Angelstam, P. et al., 2017. Collaborative learning to unlock investments for functional ecological infrastructure: Bridging barriers in social-ecological systems in South Africa. Ecosystem Services, 27(May), pp.291–304.

Anshari et al., 2010. Drainage and land use impacts on changes in selected peat properties and peat degradation in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences, 7(11), pp.3403–3419. Available at: http://www.biogeosciences.net/7/3403/2010/ [Accessed July 19, 2012].

Anshari, G. et al., 2004. Environmental change and peatland forest dynamics in the Lake Sentarum area, West Kalimantan, Indonesia. Journal of Quaternary Science, 19(7), pp.637–655. Available at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jqs.879/abstract.

Anshari, G., Peter Kershaw, a & van der Kaars, S., 2001. A Late Pleistocene and Holocene pollen and charcoal record from peat swamp forest, Lake Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 171(3–4), pp.213–228. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0031018201002462.

Anshari, G.Z. et al., 2012. A Study of Carbon Balance in Customary Peat Forest (Hutan Nung) in Taman Nasional Danau Sentarum. , (April).

Anshari, G.Z., 2010. Carbon content of the freshwater peatland forests of Danau Sentarum. Borneo Research Bulletin, 41, pp.62–73.

Aribal, L.. & Fernando, E.., 2014. Vascular Plants of the Peat Swamp Forest in Vascular Plants of the Peat Swamp Forest in Caimpugan , Agusan del Sur Province on Mindanao Island , Philippines. Asian Journal of Biodiversity, 5(January), pp.1–17.

Biagioni, S. et al., 2015. 8000years of vegetation dynamics and environmental changes of a unique inland peat ecosystem of the Jambi Province in Central Sumatra, Indonesia. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 440, pp.813–829.

Bruenig, E.F., 1990. Oligotrophic forested wetlands in Borneo. In: Goodall, D.W., Lugo, A.E., Brinson, M., Brown, S. (Eds.), Ecosystems of the World: Forested Wetlands, vol. 15. Elsevier, Amsterdam, pp. 299–334.

Brundtland, G., 1987. Report of the World Commision on Environement and Development: Our Common Future, UK. Available at: http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm.

Cobb, A.R. et al., 2017. How temporal patterns in rainfall determine the geomorphology and carbon fluxes of tropical peatlands. Proceedings of the National Academy of Sciences, p.201701090. Available at:

Page 60: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

52

http://www.pnas.org/lookup/doi/10.1073/pnas.1701090114.

Cratton, L. & Erickson, T., 2013. Eight Way to build Collaborative Teams. In J. Katzenbach, K. M. Eisenhardt, & L. Cratton, eds. Massachussets, USA: Harvard Business Review, pp. 55–74.

Dargie, G.C. et al., 2018. Congo Basin peatlands: threats and conservation priorities. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, pp.1–18.

Dommain, R., Couwenberg, J. & Joosten, H., 2011. Development and carbon sequestration of tropical peat domes in south-east Asia: Links to post-glacial sea-level changes and Holocene climate variability. Quaternary Science Reviews, 30(7–8), pp.999–1010. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.quascirev.2011.01.018.

Gorham, E., 1991. Northern Peatlands: Role in the Carbon Cycle and Probable Responses to Climatic Warming. Ecological Applications, 1(2), pp.182–195. Available at: http://doi.wiley.com/10.2307/1941811 [Accessed February 10, 2017].

Gumbricht, T. et al., 2017. An expert system model for mapping tropical wetlands and peatlands reveals South America as the largest contributor. , (February), pp.3581–3599.

Hapsari, K.A. et al., 2017. Environmental dynamics and carbon accumulation rate of a tropical peatland in Central Sumatra, Indonesia. Quaternary Science Reviews, 169, pp.173–187. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.quascirev.2017.05.026.

Hardin, G., 1968. The tragedy of commons. Science, 162 (June), pp.1243–1248.

Kurnianto, S. et al., 2014. Carbon accumulation of tropical peatlands over millennia: a modeling approach. Global change biology, pp.1–14. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25044171 [Accessed November 23, 2014].

Mirmanto, E., 2010. Vegetation analyses of Sebangau peat swamp forest, Central Kalimantan. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity, 11(2), pp.82–88. Available at: http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D1102/D110206.pdf.

Neuzil, S.G., 1995. Onset and Rate of Peat and Carbon Accumulation in Four Domed Ombrogenous Peat Deposits , Indonesia. In W. J. and S. P. Riley, ed. Tropical Peatlands.

Ostrom, E., 1999. Revisiting the Commons: Local Lessons, Global Challenges.

Page 61: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

53

Science, 284(5412), pp.278–282. Available at: http://www.sciencemag.org/cgi/doi/10.1126/science.284.5412.278 [Accessed November 5, 2012].

Page, S.E. et al., 2004. A record of Late Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog(Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science, 19(7), pp.625–635. Available at: http://doi.wiley.com/10.1002/jqs.884 [Accessed February 10, 2017].

Page, S.E. et al., 1999. Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat swamp forest. Philosophical transactions of the Royal Society of London. Series B, Biological sciences, 354(1391), pp.1885–1897.

Page, S.E. & Baird, A.J., 2016. Peatlands and Global Change: Response and Resilience. Annual Review of Environment and Resources, 41(1).

Page, S.E., Banks, C.J. & Rieley, J.O., 2007. Tropical Peatlands: Distribution, Extent and Carbon Storage – Uncertainties and Knowledge Gaps. Peatlands International, 2/2007(2), pp.26–27.

Page, S.E., Rieley, J.O. & Banks, C.J., 2011. Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), pp.798–818. Available at: http://doi.wiley.com/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x [Accessed February 10, 2017].

Primmer, E. et al., 2014. Governance of Ecosystem Services: A framework for empirical analysis. Ecosystem Services, 16, pp.158–166.

Randi, A., Manurung, T.F. & Siahaan, S., 2014. Identifikasi Jenis-Jenis Pohon Penyusun Vegetasi Gambut Taman Nasional Danau Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu (Identification of Tree Species as the Compiler of Peat Swamp Vegetation in Danau SentarumNational Park Kapuas Hulu Regency). Hutan Lestari, 2(1), pp.66–73.

Rieley, J. & Page, S., 2015. Tropical peatland of the world. In Tropical Peatland Ecosystems. Ed. by Osaki, M & Tsuji, N. Springer. pp.3-32

Ritung, S. et al., 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250 000 S. Ritung, ed., Bogor: Kampus Penelitian Pertanian.

Rusmana, 2012. Pembenihan dan Pembibitan Balangeran. In Suryanto, T. . Hadi, & E. Savitri, eds. Budidaya Shorea balangeran di lahan gambut. Banjarbaru: Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, pp. 5–28.

Soil Survey Staff, 2014. Keys to soil taxonomy. Soil Conservation Service, 12,

Page 62: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

54

p.410. Tersedia pada: http://www.nrcs.usda.gov/Internet/FSE_DOCUMENTS/nrcs142p2_051546.pdf.

Sudrajat, J. et al., 2018. People’s views towards Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia. Biodiversitas, 19(3).

Wahyunto, Nugroho, K. & Agus, F., 2014. Perkembangan Pemetaan dan Distribusi Lahan Gambut di Indonesia. In A. Fahmuddin et al., eds. Lahan Gambut Indonesia: Pembentukan, Karakteristik dan Potensi Mendukung Ketahananan Pangan. Bogor: IAARD Press, pp. 33–60.

Warren, Matthew, Frolking, Steve., Dai, Zhaohua, and Kurnianto, S., 2016. Impacts of land use, restoration, and climate change on tropical peat carbon stocks in the twenty-first century: implications for climate mitigation. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Vhange.

Warren, M. et al., 2017. An appraisal of Indonesia’s immense peat carbon stock using national peatland maps: Uncertainties and potential losses from conversion. Carbon Balance and Management, 12(1).

Warren, M.W. et al., 2012. A cost-efficient method to assess carbon stocks in tropical peat soil. Biogeosciences, 9(11), pp.4477–4485. Available at: http://www.biogeosciences.net/9/4477/2012/ [Accessed November 14, 2012].

Westerink, J. et al., 2017. Collaborative governance arrangements to deliver spatially coordinated agri-environmental management. Land Use Policy, 69(September), pp.176–192.

Page 63: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

55

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyusunan buku ini. Para pihak yang membantu antaranya Universitas Tanjungpura, dimana penulis bekerja sebagai dosen sejak tahun 1988; Badan Restorasi Gambut (BRG), dimana penulis menjadi anggota Kelompok Ahli BRG sejak tahun 2016; dan perusahaan-perusahaa swasta serta lembaga sosial masyarakat, terutama Flora Fauna Internasional (FFI), dan World Resources Institute (WRI). Penulis mohon maaf karena tidak semuanya dapat disebutkan satu per satu.

Ucapan terima kasih disampaikan dengan tulus kepada Prof. Dr. Thamrin Usman, DEA, rektor Universitas Tanjungpura; Dr. Radian, MS, dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura (Faperta UNTAN), Dr. Denah Suswati, Wakil Dekan Faperta UNTAN, dan Dr. Urai Edi Suryadi, Ketua Jurusan Ilmu Tanah Faperta UNTAN. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan istimewa kepada rekan-rekan dan mahasiswa-mahasiswa yang melaksanakan berbagai kegiatan dalam penelitian gambut, antaranya Evi Gusmayanti, M, Nuriman, M. Afifudin, M. Afif, Tri Tiana Ahmadi Putri, Agus Muliono, M. Yasir, Elfiandi Fathin, Randi Ade Chandra, dan Ilham. Suzilawati dan Nurhasanah yang juga berjasa dalam manajemen administrasi dan keuangan di Magister Ilmu Lingkungan.

Berbagai peneliti mitra dari berbagai lembaga dan universitas sangat besar bantuannya, dan penulis merasa berutang budi kepada Daniel Murdiyarso, Carol Colfer, M. Moeliono, Robert Delinom, Frank Momberg, Faizal Parish, Charles Harvey, Laure Gandois, Alex Cobb, Alison Hoyt, Hendi Hidayat, Mamoru Kanzaki, Masahiro Amano, H. Kubo, Dan Gavin, Boone Kauffman, dan Ton Hoitink. Rekan-rekan dari Badan Restorasi Gambut (BRG), dan Kelompok Ahli BRG (KA BRG) juga banyak memberikan kesempatan untuk mempelajari kompleksitas gambut, penulisa sampaikan terima kasih kepada Nazir Foead, Myrna Savitri, Harris Gunawan, Alue Dohong, Budi Wardhana, Nugroho

Page 64: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

56

Priyono, Azwar Maas, Hanni Adiati, dan Martua Sirait, serta Jalaluddin Rahmat sebagai staf administrasi KA BRG. Kepada Hariadi Kartodihardjo diucapkan terima kasih atas saran-sarannya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak dan ibu guru dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, dan bapak dan ibu dosen pada Fakultas Pertanian Untan, School for Resources and Environmental Studies, Dalhousie University, dan School for Geography and Environmental Science, Monash University.

Terima kasih yang sebesar-besarnya dan dari lubuk hati yang terdalam buat Ibunda Hasanah dan Ayahanda Gusti Harunnur Rasyid (almarhum), serta saudara-saudara kandung: Gusti Sayuti; Gusti Nurul. Gusti Fachrulladji; Gusti Zukifli Mulki; Gusti Emir Razali; dan Gusti Chairul Anwar.

Yang paling berperanan dan sangat penting, dan ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk isteri tercinta Delianuzri, dan kedua putra tersayang Alam dan Adli.

Semoga orasi ilmiah ini bermanfaat dan mendatangkan berkah buat kita semua.

Disclaimer Opini, hasil analisis, kesimpulan dan saran yang terdapat dalam

buku ini menjadi tanggung jawab penulis, dan tidak mewakili sikap atau pendapat Universitas Tanjungpura, BRG, dan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan topik tulisan ini.

Page 65: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

57

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Gusti Zakaria Anshari lahir di Pontianak pada tanggal 20 Juli 1962 dari pasangan ibunda Hasanah, dan ayahanda Gusti Harunnur Rasyid (almarhum). Semasa hidup, ayah bekerja sebagai anggota angkatan darat, dan ibu bekerja rumah tangga.

Saya anak ke-6 dari delapan saudara kandung, yaitu Gusti Ahmad Nur Sayuti; Gusti Nurul; Gusti Fachrulladji; Gusti Zulkifli Mulki; Gusti Chairinissah (almarhumah); Gusti Emir Razali; dan Gusti Chairul Anwar.

Saya menempuh pendidikan sekolah dasar sampai sarjana (pertanian) di Pontianak, yaitu SD Bruder Melati, SMP Bruder, SMA Santo Paulus dan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Sejak SMP saya menyukai tulis-menulis, memimpin majalah dinding sekolah dan menerbitkan buletin. Semasa kuliah, saya aktif pada organisasi intra dan ekstra kurikuler, yaitu sebagai pimpinan Himpunan Mahasiswa Agronomi pada tahun 1985, dan kepala bidang kader pada Himpunan Organisasi Islam (HMI) cabang Pontianak. Semasa kuliah, saya juga menjadi guru honorer pada SMA Wisuda dari tahun 1984 sampai 1986. Saya menjadi mahasiswa teladan pada tahun 1987.

Saya mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) untuk menjadi dosen, dan kemudian diangkat menjadi dosen pada Fakultas Pertanian UNTAN pada tahun 1988, setelah lulus sebagai sarjana Pertanian pada tahun 1987. Selanjutnya, saya menempuh pendidikan magister pada School for Resource and Environmental Studies, Dalhousie University, Kanada dari tahun 1992 sampai 1994. Saya mendapatkan beasiwa dari Canadian International Development Agency (CIDA). Kemudian saya memperoleh beasiswa AUSAID untuk menempuh pendidikan doktoral pada School of Geography & Environmental Science, Monash University di Australia pada tahun 1996-2000. Saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, dan berbagai pihak atas beasiswa tersebut.

Saya mendapatkan dana-dana penelitian dari berbagai sumber, yaitu Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, USAID Amerika Serikat, JICA Jepang, Taiwan, Inggeris, dan Belanda. Hasil riset tersebut telah dipublikasi dalam berbagai jurnal internasional, seperti Biogeosciences, Palaeogeography Palaeoclimatology Palaeoecology, Journal of Quaternary Science, dan lain-lain. Pada saat ini saya memiliki kurang lebih 800 kutipan dan

Page 66: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

58

indeks-h mencapai 11 pada Google Scholar pada bulan Juli 2018. Indeks h sebesar 8, dengan jumlah 350 sitasi dari 15 artikel ilmiah pada tahun 2014 sampai Juli 2018 menurut laporan Scopus.

Saya membina keluarga pada tahun 1990 dengan Delianuzri M. Suud Amir, dan memperoleh dua buah hati, Gusti Muhammad Alamnusa yang lahir tahun 1991, dan Gusti Adli Anshari yang lahir tahun 1994. Saya sangat beruntung karena keluarga saya selalu mendampingi selama pendidikan pasca sarjana di Kanada dan Australia. Tanpa doa, perhatian dan dukungan dari ibunda, isteri, anak-anak, dan saudara-saudara tidak mungkin saya berarti, dan mampu berkarya.

Data Pribadi dan Pekerjaan

Nama Lengkap : Gusti Zakaria Anshari Emai dan HP : [email protected], [email protected] HP: 08125724433 Pekerjaan : Fakultas Pertanian, dan Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Tanjungpura Alamat : Jalan Prof.Dr. Hadari Nawawi Pontianak Telepon : (0561) 7401919 Jabatan : Guru Besar sejak 31 Desember 2013 Bidang : Ekologi Sumberdaya Lahan Pangkat/Gol : IV/D/Pembina Utama Madya NIP/NIDN : 196207201988101001/0020076201 Tugas Tambahan : Anggota Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut sejak 2016-sekarang

Riwayat Pendidikan

Jenjang Nama Institusi Bidang Studi Tahun Lulus

Sekolah Dasar SD Bruder Melati, Pontianak 1975 Sekolah Menengah Pertama

SMP Bruder, Pontianak 1979

Sekolah Menengah Atas

Santo Paulus, Pontianak 1982

Sarjana (S1) Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak

Budidaya Pertanian

1987

Page 67: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

59

Magister (S2) School for Resource and Environmental Studies, Dalhousie University, Kanada

Ilmu-ilmu Lingkungan

1995

Doktoral (S3) School of Geography and Environmental Science

Ilmu-ilmu Lingkungan

2002

Pelatihan

a. 2014, Rainforest Alliance, a day training on Conservation Policy Auditing for Timber Plantation, Pekanbaru, Riau, Mei 2014

b. 2007, Wageningen International and CIFOR, Interactive Forest and Nature Policy in Practice, 27 Nov – 8 Des. 2007, Bogor, Indonesia

c. 2006, Southeast Asia START Regional Committee (IHDP,IGBP,WCRP), Southeast Asia Regional Carbon and water issues advanced training workshop, Taiwan, 14-25 November 2006

d. 2002, CIDA and Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor, An Assessment of Environmental Degradation Caused by Forest and Land Fire, Bogor, 22 - 31 Juli 2002

Mata Kuliah Yang Diampu

Mata Kuliah Program Lembaga 1. Klimatologi Dasar S1 Faperta 2. Dinamika dan Sifat Lahan Basah dan Gambut S1 Faperta 3. Ekologi dan Konservasi Ekosistem Gambut S1 Faperta 4. Sistem Produksi pada Lahan Basah dan

Gambut S1 Faperta

5. Pengantar Ilmu Lingkungan S2 MIL 6. Metode Penelitian S2 MIL 7. Penulisan Ilmiah S2 MIL

MIL = Magister Ilmu Lingkungan

Page 68: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

60

Kegiatan Penelitian (5 Tahun Terakhir)

1. Sustained peat: overcoming barriers to sustainable livelihoods and

environments in smallholder agricultural systems on tropical peatland. Tahun 2018-2020. Kerjasama dengan Universitas Leicester dan Nottingham, Inggeris

2. Holocene Fire History in West Kalimantan, Indonesia: The Vulnerability of a Primary Rainforest to Fire Encroachment. Tahun 2017-2019. Kerjasama dengan University of Oregon, USA

3. Assessing degradation of tropical peat domes and Dissolved Organic Carbon (DOC) from the Belait, Mempawah and Lower Kapuas Rivers in Borneo, 2012-2016, Proyek PEER (USAID dan NSF)

4. Model sistem dinamik penurunan emisi karbon dari perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, 2015-2018

5. Penelitian tentang Pengelolaan Berbasis Resor pada Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). 2017-2018, Indonesian Japan REDD Project.

6. Study on Improvement of Peatland Map and GHG Emissions from Peatlands in West Kalimantan, 2014-2015, Indonesian Japan REDD Project.

Publikasi

Anshari, G. 2010. Carbon contents in freshwater peatland forest of Danau Sentarum National Park. Borneo Research Bulletin 41: 62-73

Anshari, G., Afifudin, M., Nuriman, M., Gusmayanti, E., Arianie, L., Susana, R., Nusantara, R.W., Sugardjito, J., and Rafiastanto, A. 2010. Drainage and land use impacts on changes in selected peat properties and peat degradation in West Kalimantan Province, Indonesia. Biogeosciences, 7: 3403–3419, www.biogeosciences.net/7/3403/2010/. doi:10.5194/bg-7-3403-2010

Anshari, G., Kershaw, A.P., and vand der Kaars, S. 2001. A late Pleistocene and Holocene pollen and charcoal record from peat swamp forest,

Page 69: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

61

Lake Sentarum wildlife reserve, West Kalimantan, Indonesia. Paleogeography Paleoclimatology Paleoecology 171 (3): 213-228

Anshari, G., Kershaw, A.P., van der Kaars, S., and Jacobsen, G. 2004. Environmental change and peatland forest dynamics in the Lake Sentarum area, West Kalimantan, Indonesia. J. Quaternary Sci. 19(7): 637-656

Basuki, I., Kauffman, J. B., Peterson, J., Anshari, G. and Murdiyarso, D. 2018. Land cover changes reduce net primary production in tropical coastal peatlands of West Kalimantan, Indonesia, Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Chang., doi:10.1007/s11027-018-9811-2.

Hidayat, H., Teuling, A. J., Vermeulen, B., Taufik, M., Kastner , K., Geertsema, T. J., Bol, D. C. C., Hoekman, D. H., Haryani, G. S., Van Lanen, H. A. J., Delinom, R. M., Dijksma, R., Anshari, G. Z., Ningsih, N. S., Uijlenhoet, R., and Hoitink, A. J. F., 2016. Hydrology of inland tropical lowlands: the Kapuas and Mahakam wetlands. Hydrology and Earth System Sci. doi:10.5194/hess-2016-388

Hooijer, A., Page, S., Jauhiainen, J., Lee, W. a., Lu, X. X., Idris, a., and Anshari, G. 2012. Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences, 9(3), 1053–1071. doi:10.5194/bg-9-1053-2012

Huang, T. H., Chen, C. T. A., Tseng, H. C., Lou, J. Y., Wang, S. L., Yang, L., Kandasamy, S., Gao, X., Wang, J. T., Aldrian, E., Jacinto, G. S., Anshari, G. Z., Sompongchaiyakul, P., and Wang, B. J., Riverine carbon fluxes to the South China Sea Journal of Geophysical Research: Biogeosciences 122, doi:10.1002/2016JG003701.

Gumiri, S., Ardianor, Syahrinudin, Anshari, G. Z., Komai, Y., Kazuo, T. and Harukuni, T.: Seasonal yield and composition of an inland artisanal fishery in a humic floodplain ecosystem of Central Kalimantan , Indonesia, Biodiversitas, J. Biol. Divers., 19(4), 1181–1185, doi:10.13057/biodiv/d190401, 2018.

Loh, Pei Sun., Chen, Chen-Tung Arthur., Anshari, Gusti Z., Lou, Jiann-Yuh.,

Wang, Jough-Tai., Wang, Shu-Lun.,

and Wang, Bing-Jye.

Sedimentary Organic Matter and Phosphate along the Kapuas River (West Kalimantan, Indonesia). Journal of Chemistry. Volume 2016, Article ID 6874234, 9 pages http://dx.doi.org/10.1155/2016/6874234

Page 70: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

62

Loh, P.S., Chen, C.T.A., Anshari, G., Wang, J.T., Lou, J.U., and Wang, S.L., 2012. A comprehensive survey of lignin geochemistry in the sedimentary organic matter along the Kapuas River (West Kalimantan, Indonesia). Journal of Asian Earth Sciences 43 (1): 118-129

Nuriman, M. Djajakirana, G., Darmawan, Anshari, G., 2015. An alternative method for estimating dissolved organic carbon (DOC) concentration in drainage canal and peat pore water. Jurnal Tanah dan Iklim 39 (1): 1-8 (http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=372:metode-alternatif-memperkirakan-konsentrasi-karbon-m.-nuriman&Itemid=185)

Putri, T.A., Syaufina, L., and Anshari, G. 2016. Rhizospheric and non rhizospheric carbon dioxide (CO2) emissions from oil palm (Elaeis guineensis) plantation on shallow peats. Jurnal Tanah dan Iklim 40 (1): 43-50 (http://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=609:05-jti-40-1-2016-tritiana&Itemid=185)

Schrier-Uijl, A.P., and Anshari, G. 2013. Methods for determining greenhouse gas emissions and carbon stocks from oil palm plantation and their surroundings in tropical peatlands. RSPO. Kuala Lumpur, Malaysia

Schrier-Uijl, A.P., Silvius, M., Farish, F., Lim, K.H., Roesdiana, S., and Anshari, G. 2013. Environmental and social impact of oil palm cultivation on tropical peat: a scientific review. RSPO. Kuala Lumpur, Malaysia

Sudrajat, J., Sawerah, S., Permatasari, N., Suharyani, A., Karmoni, A., Anshari, G. Z., Wardhana, D. and Rossanda, D. 2018.. People’s views towards Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia, Biodiversitas, 19(3), doi:10.13057/biodiv/d190349.

Warren, M., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D., Anshari, G., Hergoulc’h, K., Kurnianto, S., Purbopuspito, J., Gusmayanti, E., Afifudin, M., Rahajoe, J., Alhamd, L., Limin, S., and Aswandi, A. 2012. A cost-efficient method to assess carbon stocks in tropical peat soil. Biogeosciences 9: 4477-4485

Wijedasa, Lahiru S., et al (all 139 authors, including Gusti Anshari). 2016. Denial long-term issues with agriculture on tropical peatlands will have devastating consequences (the final edited and typeset version

Page 71: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

63

of record will appear in future). Global Change Biology. DOI:10.1111/gcb.13516

Yasmi, Y., Anshari, G., Komarudin, H., and Alqadri, S. 2006. Stakeholder conflicts and forest decentralization policies in West Kalimantan: Their dynamics and implications for future forest management. Forests, Trees and Livelihoods 16 (2): 167-180

Yoshikura, T., Amano, M., and Anshari, G. 2018. Exploring Potential of REDD+ Readiness with Social Safeguard through Diverse Forest Use Practices in Gunung Palung National Park in West Kalimantan, Indonesia. Open Journal of Forestry 8: 141-154.

Penghargaan

1. Tahun 2001 : START Young Scientist Award for a scientific break through paper published in Paleogeography Paleoclimatology Paleoecology 171 (3):213-228

2. Tahun 2008 : one of finalists at the World Bank Development Market Place, Washington D.C.

3. Tahun 2011-2013 : A Lead Author for IPCC on the 2013 Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Wetlands

4. Tahun 2017: One of five finalists for Indonesian Peat Prize, a member of SkyTem, Stanford University, and Duke University

5. Tahun 2018-2021 : A Lead Author for IPCC AR6 Working Group II on Climate Change 2021: Impacts, Adaptation and Vulnerability. IPCC AR 6 Report

Penyunting (Reviewer)

No Jurnal Status 1 Jurnal Tanah dan Iklim Penyunting Terdaftar 2 Geoderma Penyunting Undangan 3 Catena Penyunting Undangan 4 Plant and Soil Penyunting Undangan 5 Forest Ecology and Management Penyunting Undangan

Page 72: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

64

Organisasi Profesi

1. Peat Society of Indonesia (HGI, a chair for West Kalimantan Chapter)

2. Indonesian Society for Climate Change and Forestry (APIKI, a coordinator for Kalimantan Region)

3. Indonesian Soil Science Society (HITI, a regular member) 4. Society for Indonesian Biodiversity (MBI, a regular member) 5. International Peat Society (IPS, a regular member) 6. American Geoscience Union (AGU, a regular member)

Mitra Kerja Akademik

Charles Harvey, Department of hydrology, MIT, USA; Ton Hoitink, Department of environmental sciences, Wageningen University; Amano Masahiro, Department of human sciences, Waseda University; Mamoru Kanzaki, Graduate school of agriculture, Kyoto University; Robert Delinom, Research center for geotechnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bandung; Danield Murdiyarso, CIFOR; Boone Kauffman, Oregon State University, USA; Dan Gavin, Department of Geography, University of Oregon, USA; Rosemary Knight, Stanford University, USA; Susan Page, University of Leicester, Inggeris; Sofie Sjögersten, University of Nottingham, Inggeris.

Mitra Kerja Profesi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK); Kelompok Ahli Badan Restorasi Gambut; DPRD Provinsi Kalimantan Barat; Tim Restorasi Gambut Daerah Provinsi Kalimantan Barat; Forum DAS Kapuas; PT Wana Subur Lestari; PT Mayangkara Tanaman Industri; PT Agro Mandiri Lestari; SMART AGRI; WWF; FFI; RSPO, Kuala Lumpur; Global Environment Center (GEC), Kuala Lumpur

Pontianak, 9 Juli 2018

Gusti Z Anshari

Page 73: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

65

FOTO-FOTO KEGIATAN PENELITIAN GAMBUT

Page 74: ORASI ILMIAH - mil.untan.ac.idmil.untan.ac.id/wp-content/uploads/01GB-ANSHARI-FINALGOOD-RFS-NEW.pdfgangguan manusia, seperti penebangan kayu, penurunan muka air tanah, dan ... perkebunan

66

FOTO KELUARGA

Dari kanan : Gusti Adli Anshari; Gusti Muhammad Alamnusa; dan Delianuzri, serta Gusti Anshari